Anda di halaman 1dari 58

DISTOSIA/PERSALINAN LAMA

DEFINISI

Distosia adalah waktu persalinan yang memanjang karena kemajuan persalinan yang

terhambat. Persalinan lama, disebut juga distosia, di definisikan sebagai persalinan yang abnormal

atau sulit. Sebab sebabnya dapat dibagi dalam 3 golongan berikut:

1. Kelainan tenaga (his). His yang tidak normal dalam kekuatan atau sifatnya menyebabkan

kerintangan pada jalan lahir yang lazim terdapat pada setiap persalinan, tidak. dapat diatasi

sehingga persalinan mengalami hambatan atau kemacetan.

2. Kalalnan janin. Persalinan dapat mengalami gangguan atau kemacetan karena kelaman dalam

letak atau dalam bentuk janin.

3. Kelainan jalan lahir. Kelainan dalam ukuran atau bentuk jalan lahir bisa menghalangi kemayuan

pcrsallnan atau menyebabkan kemacetan

Jenis-icnis Kclainan His

1. Inersia uteri

Di sini his hersifat hiasa dalam arti bahwa fundus berkontraksi lebih kuat dan Iebih da‘

hulu daripada bagian-bagian lain, pcranan fundus tetap menoniol. Kelainannya terietak dalam hal

kontraksi uterus lebih aman, singkat, dan jarang dari pada biasa. Keadaan umum pcndcrita

biasanya baik dan rasa nyeri tidak seberapa. Selama ketuban masih umh umumnya tidak

berbahaya, baik bagi ibu maupun janin, kecuali persalinan berlangsung terlalu lama; d'lam hal

terakhir ini morbiditas ibu dan mortalitas janin baik. Keadaan ini dinamakan inersia uteri primer

atau hypotonic uterine contraction. Kalau timbul set telah berlangsung his kuat untuk waktu yang
lama, dan hal itu dinamakan inersia uten‘ sekunder. Karena dewasa ini persalinan tidak dibiarkan

berlangsung demikian lama 'sehingga dapat menimbulkan kelclahan Uterus, maka inersia uteri

sekunder scperti dit gambarkan di bawah jarang ditemukan, kccuali pada ibu yang tidak diberi

pcngawasan baik waktu persalinan. Dalam menghadapi inersia Uteri, harus diadakan penilaian

yang saksama untuk menentukan sikap yang harus diambil. Jangan dilakukan tindakan yang

tergesa-gesa untuk mempercepat lahirnya janin. Tidak dapat diberikan waktu yang pasti, yang

dapat dipakai sebagai pegangan untuk membuat diagnosis inersia uteri atau untuk memulai terapi

aktif.

Diagnosis inersia uteri paling sulit ditegakkan pada masa laten. Kontraksi uterus yang

disert'ai dengan rasa nyeri, tidak cukup untuk meniadi dasar utama diagnosis bahwa persalinan

sudah dimulai. Untuk sampai pada kesimpulan ini diperlukan kenyataan bahwa sebagai akibat

kontraksi itu terjadi perubahan pada scrviks yakni pendataran dan/atau pembukaan. Kesalahan

yang sering dibuat ialah mengobati seorang penderita untuk inersia uteri padahal persalinan belum

mulai (false labour).

2. His Terlampau Kuat

His terlampau kuat atau disebut juga bypertonic uterine contraction. Walaupun pada

golongan coordinated bypertonic uterine contraction bukan merupakan pcnyebab died tosia.

Namun, hal ini dibicarakan juga di sini dalam subbab kelainan his. His yang terr lalu kuat dan

terlalu efisien menyebabkan persalinan selesai dalam waktu yang sangat singkat. Partus yang

sudah selesai kurang dari 3 jam dinamakan partus presipitatus yang ditandai oleh sifat his yang

nomial, tonus otot di luar his ‘juga biasa, kelainannya terletak pada kekuatan his. Bahaya partus

presipitatus bagi ibu iaiah terjadinya perlukaan luas pada jalan lahir, khususnya vagina dan
perineum. Bayi bisa mengalami perdarahan dalam tengkorak karena bagian tersebut mcngalami

tekanan kuat dalam waktu yang singkat.

Batas antara bagian atas dan segmen bawah rahim atau lingkaran retraksi menjadi gangat

jelas dan meninggi. Dalam kcadaan demikian lingkaran ini dinamakan lingkaran retraksi patologik

atau lingkaran Bandl. Ligamenta rotunda menjadi tegang serta lebih teraba, penderita merasa nyeri

terus-menerus dan menjadi gelisah. Akhimya, apa.bdfq ndak diberi pertolongan, regangan segmen

bawah uterus melampaui kekuatan Janngan sehingga dapat menyebabkan terjadinya ruptura uteri.

3. Incoordinate uterine action

Di samping itu, tonus uterus yang menaik mcnycbabkan rasa nyeri yang lcbih hens dan

lama bagi ibu dapat pula menyebabkan hipoksia pad: janin. His jcnis ini yang disehut scbagai

inmordinated hypertonic uterine contraction. Kadang-kadang pada pen Salinan lama dcngan

kctuban yang sudah lama pecah, kelainan his ini menycbabkan spasmus sirkulcr sctempat,

schingga teriadi penyempiun kavum uteri pada tempat itu\ Ini dinamakar lingkaran kontraksi atau

lingkaran konsrriksi. Sccara teoritis lingkam‘ ini dapat terjadi di mam-mam, tctapi biasanya

ditemukan pad: batas antara bagian atas dcngan segmen bawah Uterus. Lingkaran konsrriksi tidak

dapat dikctahui dengah pcmcriksaan dalam, kccuali kalau pembukaan sudah lengkap, schingga

tangan dapat dimasukkan kc dalam kavum uteri. Oleh sebab itu, jika pcmbukaan belum lcngkap)

biasanya tidak mungkin mengcnal kelainan ini dengan pasa. Ada kalanya pcrsalinan tidak maju

karena kelainan pad: serviks yang dinamakan disrosia servikaiis. Kclainan ini bisa primer atau

sekunder. Distosia scrvikalis dinamakan primer kalau scrviks lidak membuka karena tidak

mengadakan rclaksasi bcrhubung dcngan incoordinate uterine action. Pcnderita biasanya seorang

primigravida. Kala I mcnjadi lama. dan dapat diraba jelas pinggir serviks yang kaku. Kalau

keadaan ini dibiarkan, maka tckanan menerus dapat menyebabkan nekrosis iaringan serviks dan
dapat mcngakibatkan lcpas. nya bagian tengah serviks sccara sirkulcr. Distosia servikalis sekundcr

disebabkan olch kelainan organik pads serviks, misalnya karena iaringan parut atau karena

karsinoma" Dcngan his kuat serviks bisa robek dan robckan ini dap'it menialar kc bagian bawah

uterus. Oleh karena itu, sctiap ibu yang pemah operasi pada serviks, selalu harus di. awasi

persalinannya di rumah sakit.

Etiologi

Kclainan his terutama ditcmukan pada primigravida. khususnya primigravida tua. Pada

multipara lebih banyak ditemukan kelairian yang bersifat inersia uteri. Faktor hereditcr mungkin

memegang peranan pula dalam kclainan his. Sampai seberapa iauh faktor cmosi (ketakutan dan

lain-lain) mempengaruhi kclainan his, khususnya inersia uteri, ialah apabila bagian bawah janin

tidak berhubungan rapat dengan segmen bawah uterus seperti pads kelainan letak janin atau pads

disproporsi sefalopelvik. Peregangan rahim yang bcrlebihan pada kehamilan ganda ataupun

hidramnion juga dapat merupakan pe' nycbab inersia uteri yang mumi. Akhimya, gangguan dalam

pembentukan uterus pads mas: embrional, misalnya uterus bikomis unikolis, dapat pula

mengakibatkan kelainan his. Akan tetapi, pada sebagian besar kasus kurang lcbih separuhnya,

pcnyebab inersia uteri tidak dikctahui.

Penanganan

Dalam mcnghadapi persalinan lama oleh sebab apa pun, keadaan ibu yang bersangkutan

hams diawasi dengan saksama. Tekanan darah diukur tiap empat jam, bahkan periksaan ini perl'u

dilakukan lebih sering apabila .ada gejala preeklampsia. Denyut jantung dicatat setiap screngah

iam dalam kala I dan lebih scring dalam kaia IL Kcmungkinan dehidrasi dan asidosis hams

mendapat perhanan sepcnuhnya. Karena pcrsalinan lama selalu ada kemungkinan untuk
melakukan tindakan pcmbcdahan aengan narkosis, hendaknya ibu jangan dibcri makan biasa

mclainkan dalam bentuk cairan. Sebaiknya diberikan infus larutan glukosa 5% dan larutan NaCl

isotonik intravcna berganti-ganti. Umuk mengurangi rasa nyeri dapat diberikan petidin 50 mg yang

dapat diulangi; pada permulaan kala I dapat diberikan 10 mg morfin. Pemeriksaan dalam perlu

dilakukan, tetapi harus selalu disadari bahwa setiap pcmcriksaan dalam mengandung bahaya

infeksi. Apabila persalinan berlangsung 24 jam tanpa yang berarti, perlu diadakan penilaian yang

saksama tcntang kcadaan. Sclain penilaian kcadaan umum, pcrlu ditetapkan apakah persalinan

benar-benar sudah mulai mu masih dalam tingkat false labour, apakah ada inersia meri atau

incoordinate uterine action; dan apakah tidak ada disproporsi sefalopelvik biarpun ringan. Untuk

mcnetapkan hal yang terakhir ini, jika pcrlu dilakukan pelvimetri roentgenologik atau Magnetic

Resonance Imaging (MRI). Apabila serviks sudah terbuka untuk sedikit-scdikimya 3 cm, dapat

diambil kesimpulan bahwa persalinan sudah mulai.

Kelainan Kala Satu

1. Fase Laten Memanjang

Friedman mengembangkan konsep tiga tahap fungsional pada persalinan unruk menjelaskan

rujuan-rujuan fisiologis persalinan. Walaupun pada tahap persiapan (preparatory division) hanya

terjadi sedikit pembukaan serviks, cukup banyak perubahan yang berlangsung di komponen

jaringan ikat serviks. Tahap pcrsalinan ini mungkin peka terhadap sedasi dan anestesia regional.

Tahap pcmbukaan/dilatasi saat pembukaan berlangsung paling cepat, tidak dipengaruhi oleh

sedasi atau anestesia regional. Tahap Panggul (pelvic division) berawal dari fase deselerasi

pembukaan serviks. Mekanisme klasik persalinan yang melibatkan gerakan-gerakan pokok janin

pada presentasi kepala, masuknya janin ke panggul (engagement), flcksi. rotasi internal (putamn
paksi dalam), ekslensi, dan rmasi eksternal (puraran paksi luar) terutama bcrlangsung sclama tahap

panggul. Namun, dalam praktik sebcnarnya awitan tahap panggul jarang diketahui dengan jclas.

Awitan persalinan laren didefinisikan menurut Friedman sebagai saar kcrika ibu mulai

merasakan kontraksi yang terarur. Selama fase ini kontraksi uterus berlangsung bersama

perlunakan dan pcndataran serviks. Kriteria minimum Friedman untuk fase laten ke dalam fase

aktif adalah keceparan pcmbukaan serviks 1,2 cm/iam bagi nulipara dan 1,5 cm/jam untuk ibu

multipara. Kecepatan pcmbukaan scrviks ini tidak dimulai pada pembukaan tertentu.

Friedman dan Sachtleben mendefinisikan fase laten berkepaniangan apabila lama fase ini

lebih dari 20 jam pada nulipara dan 14 jam pada ibu multipara. Kedua patokan ini adalah persentil

ke-95. Dalam laporan sebelumnya, Friedman menyajikan data me.ngenai durasi fase laten pada

nulipara. Durasi rata-ratanya adalah 8,6 jam (+2 SD 20,6 . jam) dan rentangnya dari 1 sampai 44

jam. Dengan demikian, lama fase laten sebesar 20 jam pada ibu nulipara dan 14 jam pada ibu

multipara mencerminkan nilai maksimun secara statistik..

Faktor-faktor yang mempengaruhi durasi fase laten antara lain adalah anastesia regional

atau sedasi yang berlebihan, keadaan serviks yang buruk (misal tebal, tidak mengalami pendataran,

atau tidak membuka), dan persalinan palsu. Friedman mengldaim bahwa istirahat atau stimulasi

oksitoksin sama efektif dan amannya dalam memperbaiki fase laten yang berkepanjangan.

Isrirahat lebih disarankan karena pcrsalinan palsu sering tidak disadari. Dengan sedatif kuat, 85%

dari para ibu ini akan memulai persalinan aktif. Sekitar 10 % lainnya berhenti berkrontraksi, dan

karenanya mengalami persalinan palsu. Akhirnya, 5% mengalami rekurensi fase laten abnormal

dan memerlukan stimulasi oksitosin. Amniotomi tidak dianiurkan karena adanya insiden

persalinan palsu tersebut.


2. Fase Aktif Memanjang

Kcmajuan persalinan pada ibu nulipara memiliki makna khusus karena kurva-kurva

memperliharkan perubahan cepat dalam kecuraman pembukaan serviks antara 3 4 cm. Secara

spesifik ibu nulipara yang masuk ke fase akrif dengan pembukaan 3 4 Cm dapat diharapkan

mencapai pembukaan 8 sampai 10 cm dalam 3 sampai 4 jam. Pengamatan ini mungkin bermanfaat.

Sebagai contoh, apabila pembukaan serviks mencapai 4 cm, dokter dapat memperkirakan bahwa

pembukaan lengkap akan tercapai dalam 4 jam apabila persalinan spontan berlangsung "normal".

Namun, kelainan persalinan fase akrif sering dijumpai. Sokol dan rekan" melaporkan bahwa 25

person persalinan nulipara di. persulit kelainan fase-akrif, sedangkan pada mulrigravida angkanya

adalah 15 persen. .

Memahami analisis Friedman rentang fase akrif bahwa kecepatan penurunan janin

diperhirungkan selain kecepatan pembukaan serviks, dan keduanya berlangsung bersamaan.

Penumnan dimulai pada tahap akhir dilarasi aktif, dimulai pada sekitar 7 sampai 8 cm pada

nulipara dan paling cepat setelah 8 cm. Friedman membagi lagi masalah fase akrif menjadl

gangguan protraction (berkepanjangan/berlarut-larur) dan arrest (macet, tak main). la

mendefinisikan prorraksi sebagai keceparan pembukaan atau penurunan yang lambat, yang unruk

nulipara adalah kecepatan pembukaan kurang dari 1,2 cm per jam arau penumnan kurang dari 1

cm per jam. Untuk multipara, prorraksi didefinisikan sebagai keceparan pembukaan kurang darl

1,5 cm per jam atau pcnurunan kurang darl 2 cm per jam. Ia mendefinisikan sebagai berhenrinya

secara toral pembukaan atau penumnan. Kemaceran pembukaan (arrest of dilatation) didefinisikan

sebagai tidak adanya pembahan serviks dalam 2 jam, clan kemacetan penumnan (arrest of descent)

sebagai ridak adanya penumnan janin dalam 1 jam. Prognosis persalinan. yang berkepanjangan

dan mace: cukup berbeda. la mendaparkan sekirar 3O % ibu dengan persalinan berkepanjangan
mengalaml disproporsi cephalopelvic, sedangkan kelainan ini didiagnosis pada 45% ibu yang

mengalami gangguan kemacetan persalinan.

Penurunan Kepala Janin Pada Persalinan Aktif

Penurunan diameter biparietal janin sampai setinggi spina iskiadika panggul ibu (station 0)

disebut sebagai engagement. Friedman dan Sachtleben melaporkan keterkaitan Yang bermalma

antara station (pcnurunan) yang tinggi saat awitan persalinan dengan distosia pada tahap

selaniutnya. Mereka melaporkan tcrjadinya partus lama dan partus macet pada ibu dengan station

kepala janin di atas + 1 cm dan bahwa semakin tinggi station i saat persalinan dimulai pada

nulipara, semakin lama persalinan bcrlangsung. Handa dan Laros7 mendapatkan bahwa penumnan

janin pada saat persalinan macet juga mempakan faktor risiko distosia. Roshanter dkk.

menganalisis penurunan janin pada 803 nulipara yang melahirkan aterm setelah persalinan aktif

didiagnosis. Sekitar 3O persen di antara mereka yang datang ke rumah sakit dengan kepala janin

terletak pada atau bawah station 0, dan angka seksio sesarea adalah 5 persen dibandingkan dengan

14 persen pada mereka yang penumnan ianinnya lebih tinggi. Namun, prognosis untuk distosia

tidak berkaitan dengan penumnan kepala janin yang lebih tinggi di atas bidang tengali panggul

(station 0). Yang utama, 86 persen ibu nulipara tanpa masuknya kepala ianin saat didiagnosis

persalinan aktif kemudianmelahirkan pervaginam. Dengan demikian, tidak masuknya kepala pada

permulaan persalinan, walaupun secara statistik merupakan faktor risiko untuk distosia,

seyogianya tidak dianggap paSti mengisyaratkan adanya disproporsi sefalopelvik. Hal ini terutama

berlaku untuk ibu multipara karena penurunan kepala janin saat persalinan biasanya rerjadi relatif

belakangan.

DIAGNOSIS
Distosia pada kala I fase aktif: grafik pembukaan serviks pada partograf berada di antara garis

waspada dan garis bertindak, atau sudah memotong garis bertindak, ATAU

Fase ekspulsi (kala II) memanjang: tidak ada kemajuan penurunan bagian terendah janin pada

persalinan kala II. Dengan batasan waktu:

- Maksimal 2 jam untuk nulipara dan 1 jam untuk multipara, ATAU

- Maksimal 3 jam untuk nulipara dan 2 jam untuk multipara bila pasien menggunakan analgesia

epidural

TATALAKSANA

a. Tatalaksana Umum
Segera rujuk ibu ke rumah sakit yang memiliki pelayanan seksio sesarea.

b. Tatalaksana Khusus

Tentukan penyebab persalinan lama.

 Power: His tidak adekuat (his dengan frekuensi<3x/10 menit dan durasi setiap

kontraksinya <40 detik)

 Passenger: malpresentasi, malposisi, janin besar.

 Passage: panggul sempit, kelainan serviks atau vagina, tumor jalan lahir

Gabungan dari faktor-faktor di atas

Sesuaikan tatalaksana dengan penyebab dan situasi. Prinsip umum:

 Lakukan augmentasi persalinan dengan oksitosin dan/atau amniotomi bila terdapat gangguan

Power. Pastikan tidak ada gangguan passenger atau passage.

 Lakukan tindakan operatif (forsep, vakum, atau seksio sesarea)untukgangguan

Passengerdan/atau Passage, serta untuk gangguan Power yang tidak dapat diatasi oleh

augmentasi persalinan

 Jika ditemukan obstruksi atau CPD, tatalaksananya adalah seksio sesarea.

 Berikan antibiotika (kombinasi ampisilin 2 g IV tiap 6 jam dan gentamisin 5 mg/kgBB tiap

24 jam) jika ditemukan:

• Tanda-tanda infeksi (demam,cairan pervaginam berbau), ATAU

• Ketuban pecah lebih dari 18 jam, ATAU

• Usia kehamilan <37 minggu

 Pantau tanda-tanda gawat janin.

 Catat hasil analisis dan seluruh tindakan dalam rekam medis lalu jelaskan pada ibu dan
keluarga hasil analisis serta rencana tindakan selanjutnya

PROLAPS TALI PUSAT

Definisi

Prolaps tali pusat adalah penurunan tali pusat ke dalam vagina mendahului bagian terendah

janin yang mengakibatkan kompresi tali pusat di antara bagian terendah janin dan panggul ibu.Ini

merupakan keadaan darurat obstetrik langka yang terjadi ketika tali pusat turun di samping atau di

luar bagian presentasi janin. Hal ini dapat mengancam jiwa janin karena aliran darah melalui

pembuluh pusat tidak mampu beradaptasi dengan kompresi tali pusat diantara janin dan rahim,

leher rahim, atau leher panggul. Keadaan ini membuat janin dapat mengalami hipoksia yang dapat

berakibat pada asfiksia.Oleh karena itu, diperlukan keputusan dan pengelolaan yang matang.

Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa prolaps tali pusat adalah letak tali

pusat yang berada di samping atau dibagian terendah yaitu jalan lahir janin yang dapat

menyebabkan kompresi pada tali pusat sehingga fungsi tali pusat menjadi terganggu.

Talipusat dapat berada dalam vagina ( occult prolapse ) atau berada diluar vagina (di

perineum) seperti terlihat pada gambar dibawah :


Prolapsus talipusat melalui dilatasi servik yang masih belum lengkap

Prolaps umbilical cord dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

 Tali pusat terkemuka, bila tali pusat berada dibawah bagian terendah janin dan ketuban

masih intak.

 Tali pusat menumbung, bila tali pusat keluar melalui ketuban yang sudah pecah, ke serviks,

dan turun ke vagina.

Tali pusat menumbung (prolapsus funikuli) secara langsung tidak mempengaruhi keadaan

ibu, sebaliknya sangat membahayakan janin karena tali pusat dapat tertekan antara bagian

depan janin dan dinding panggul yang akhirnya menimbulkan asfiksia pada janin. Bahaya

terbesar pada presentasi kepala, karena setiap saat tali pusat dapat terjepit antara bagian

terendah janin dengan jalan lahir dapat mengakibatkan gangguan oksigenasi janin. Pada

tali pusat terdepan atau tali pusat terkemuka, sebelum terdepan ketuban pecah, ancaman

terhadap janin tidak seberapa besar, tetapi setelah ketuban pecah, bahaya kematian janin

sangat besar.

 Occult prolapsed ( tali pusat tersembunyi ) adalah keadaan dimana tali pusat terletak di

samping kepala atau di dekat pelvis tapi tidak dalam jangkauan jari pada pemeriksaan

vagina
Tali pusat lebih mungkin mengalami prolapsus jika ada sesuatu yang mencegah bagian

presentasi janin di segmen bawah uterus atau penurunannya ke dalam panggul ibu.

Presentasi tali pusat dan tali pusat tersembunyi jarang terdiagnosis, sehingga memerlukan

pemeriksaan yang teliti. Pemeriksaan ini harus dilakukan pada semua kasus persalinan,

seperti pada persalinan preterm atau jika terdapat malpresentasi atau malposisi janin.

Gambar 1. Tali pusat terkemuka

Gambar 2. Tali pusat menumbung (Prolapsus funikuli)


Gambar 3. Occult Prolapse ( tali pusat tersembunyi )

Gambar 4. Letak tali pusat normal


Gambar 5. Prolapsus tali pusat

Insiden

Insidens dari prolaps tali pusat diperkirakan 1.4 hingga 6.2 setiap 1000 kehamilan.Prolaps

tali pusat merupakan komplikasi yang jarang terjadi, kurang dari 1 per 200 kelahiran, tetapi dapat

mengakibatkan tingginya kematian janin. Dulunya prolaps tali pusat dihubungkan dengan kondisi

perinatal yang buruk, dengan mortalitas 32% hingga 47% padapertengahan abad ke-20. Saat ini

angka mortalitas bayi dengan prolaps tali pusat diperkirakan kurang dari 10%. Hasil ini disebabkan

karena lebih banyak dilakukannya operasi caesar dan pekembangan dalam prosedur resusitasi

anak.

Sementara itu, Myles melaporkan hasil penelitiannya dalam kepustakaan dunia bahwa

angka kejadian prolaps tali pusat berkisar antara 0,3% sampai 0,6% persalinan atau sekitar 1: 3000

kelahiran, tali pusat menumbung kira-kira 1: 200 kelahiran, tetapi insiden dari occult prolapse 50

% tidak diketahui. Keadaan prolaps tali pusat mungkin terjadi pada malpresentasi atau malposisi

janin, antara lain: presentasi kepala 0,5% , letak sungsang 5%, presentasi kaki 15%, dan letak
lintang 20%. Prolaps tali pusat juga sering terjadi jika tali pusat panjang dan jika plasenta letak

rendah.

Etiologi

Setiap factor yang mengganggu adaptasi bagian terendah janin dengan pintu atas panggul

akan memberi kecenderungan (predisposisi) terjadinya prolapse tali pusat. Beberapa predisposisi

tersebut, sebagai berikut :

1. Presentasi atau letak janin yang tidak normal seperti letak lintang terutama pada

a) punggung janin di fundus

b) letak sungsang

c) presentasi muka atau dahi, dan presentasi ganda.

Keadaan-keadaan tersebut biasanya dapat membuat jalan lahir tidak terisi penuh, sehingga

memudahkan timbulnya prolapse tali pusat.

2. Keadaan dimana presentasi janin masih tinggi atau belum masuk PAP, seperti pada

multiparitas, prematuritas dan panggul sempit.

3. Polihidramnion, dimana air ketuban lebih banyak dari normal sehingga sewaktu ketuban

pecah, air ketuban keluar sering disertai prolapse tali pusat.

4. Kehamilan ganda, prolaps tali pusat sering terjadi saat melahirkan bayi yang kedua

5. Ada kelainan pada tali pusat seperti tali pusat yang panjang atau insersi tali pusat di tepi

plasenta bagian yang terendah.

6. Kondisi obstetri dimana pintu atas panggul tidak sepenuhnya ditempati dengan bagian

terendah janin (presentasi) akan memudahkan terjadinya prolapsus tali.


7. Prematuritas, Seringnya kedudukan abnormal pada persalinan prematur, yang salah

satunya disebabkan karena bayi yang kecil.

Manifestasi klinis

Diagnosis prolaps tali pusat dapat meilbatkan beberapa cara :

1. Melihat tali pusat keluar dari introitus vagina

2. Teraba secara kebetulan tali pusat pada agina waktu pemeriksaan dalam.

3. Auskultasi terdengar jantung janin yang ireguler,sering dengan bradikardi yang jelas,terutama

berhubungan dengan kontraksi uterus. Terdapat bradikardia janin ( DJJ <120x/menit)

4. Hipoksia janin ditandai dengan gerakan janin yang jarang dan lemah.

5. Monitoring denyut jantung janin yang berkesinambungan memperlihatkan adanya deselerasi

variabel.

6. Tekanan pada bagian terendah janin oleh manipulasi eksterna terhadap pintu atas panggul

menyebabkan menurunnya detak jantung secara tiba-tiba yang menandakan kompresi tali pusat.

Diagnosis dini sangat penting untuk kehidupan janin. Meskipun demikian,keterlambatan

diagnosis adalah biasa. Pada setiap gawat janin harus segera dilakukan pemeriksaan dalam.

Penderita yang mempunyai resiko tinggi terjadinya prolaps tali pusat harus dipantau FHR

yang berkesinambungan,yang memberi peringatan dini adanya kmpresi tali pusat lebih dari 80%

kasus.

Pemeriksaan penunjang

Jika tali pusat dapat diraba pada pemeriksaan vagina, harus dicari pulsasinya dan bunyi

jantung janin diperiksa untuk menentukan apakah masih rentang normal atau menunjukkan
takikardia atau bradikardia. Bunyi jantung normalnya 120-140x per menit.

Gambar 7. Prolapsus tali pusat pada pemeriksaan ultrasonografi

Diagnosis prolapsus tali pusat ditegakkan jika pada pemeriksaan dalam teraba tali pusat yang

berdenyut pada pemeriksaan vagina atau jika tali pusat tampak keluar dari vagina, namun

adakalanya hal ini tidak teraba pada pemeriksaan dalam yang disebut occult prolapse / tali pusat

tersembunyi. Selain itu prolapsus tali pusat harus dicurigai bila bunyi jantung janin menjadi tidak

teratur disertai dengan periodik bradikardi atau takikardi dengan durasi bervariasi. Diagnosis pasti

juga dapat ditegakkan melalui pemeriksaan ultrasonografi (USG) obstetri.

Dua masalah utama yang terjadi pada tali pusat dan keduanya akan menyebabkan terhentinya

aliran darah pada tali pusat dan kematian janin.

1. Talipusat terjepit antara bagian terndah janin dengan panggul ibu

2. Spasme pembuluh darah talipusat akibat suhu dingin diluar tubuh ibu
Pemeriksaan cardiotocography selalu memperlihatkan gambaran gawat janin dalam bentuk

deselerasi lambat yang sangat dalam atau deselerasi berkepanjangan tunggal seperti terlihat pada

gambar dibawah:

Gambaran CTG seperti ini merupakan indikasi untuk melakukan vaginal touche untuk melihat

kemungkinan adanya prolapsus talipusat

Pada beberapa keadaan diagnosa sangat mudah ditegakkan yaitu dengan terlihatnya tali pusat di

luar vagina, namun dugaan diagnosa yang mendorong perlunya dilakukan pemeriksaan VT adalah

adanya gambaran CTG yang sangat mencurigakan diatas.

Sangat dianjurkan untuk memeriksa kemungkinan adanya prolapsus tali pusat pasca melakukan

tindakan amniotomi

Penatalaksanaan

Ditemukannya prolaps tali pusat diperlukan tindakan yang cepat. Terapi definitif adalah

melahirkan janin dengan segera.Penilaian yang cepat sangat penting untuk menentukan sikap

terbaik yang akan diambil.

Persalinan peraginam segera hanya mungkin bila pembukaan lengkap,,bagian terendah

janin telah masuk ke panggul dan tidak ada CPD. Bahaya terhadap ibu dan janinakan
berkurang bila dilakukan sectio sesarea dari p[ada persalinan pervaginam yang dipaksakan pada

pembukaan yang belum lengkap.

Sambil menungu persiapan seksio sesarea,tekanan pada tali pusat oleh bagian terendah

janin dapat diminimallisasi dengan posisi knee chest, trendelenburg, atau posisi sim.

Bila sebelumnya diberi oksitoksin,obat ini harus dihentikan. Sebaiknya jenis apapun dari

prolaps tali pusat,bila syarat-syarat untuk melakukan persalinan peraginam belum terpenuhi

sebaiknya dilakukan sectio sesarea untuk menyelamatkan janin.

Secaraumum penatalaksanaan tali pusat adalah sebagai berikut:

1. Tali pusat berdenyut

a. Jika tali pusat berdenyut, berarti janin masih hidup.

b. Beri oksigen 4-6 liter/ menit melalui masker atau nasal kanul

c. Posisi ibu knee chest, trendelenburg atau posisi sim

d. Diagnosis tahapan persalinan melalui pemeriksaan dalam segera.

e. Jika ibu pada persalinan kala I :

 Dengan sarung tangan desinfeksi tingkat tinggi (DTT) masukan tangan

kedalam vagina dan bagian terendah janin segera didorong ke atas, sehingga

tahanan pada tali pusat dapat dikurangi.

 Tangan yang lain menahan bagian terendah di supra pubis dan evaluasi

keberhasilan reposisi.

 Jika bagian terbawah janin sudah terpegang dengan kuat diatas rongga

panggul, keluarkan tangan dari vagina, letakan tangan tetap di dalam vagina

sampai dilakukan seksio cesarea.


 Jika tersedia, berikan terbutalin 0,25 mg IM untuk mengurangi kontraksi

rahim.

 Segera lakukan seksio cesarea

f. Jika ibu pada persalinan kala II :.

 Pada persentasi kepala, lakukan persalinan segera dengan ekstraksi vakum

atau menggunakan forceps.

 Jika persentase bokong/sungsang lakukan ekstraksi bokong atau kaki,dan

gunakan forseps pipa panjang untuk melahirkan kepala yang menyusul.

 Jika letak lintang, siapkan segera seksio caesarea.

 Siapkan segera resusitasi neonatus.

2. Tali pusat tidak berdenyut

Jika tali pusat tidak berdenyut berarti janin telah meninggal. Keadaan ini sudah tidak

merupakan tindakan darurat lagi, lahirkan bayi secara normal tanpa mencederai ibu.

Pergunakan waktu untuk memberikan konseling pada ibu dan keluarganya tentang apa

yang terjadi serta tindakan apa yang akan dilakukan.

3. Di luar rumah sakit

a. Lakukan pemeriksaan dalam bila ketuban sudah pecah dan bagian terbawah janin belum

turun

b. Jika teraba tali pusat, pastikan tali pusat masih berdenyut atau tidak dengan meletakkan tali

pusat diantara 2 jari


c. Lakukan reposisi tali pusat. Jika berhasil usahakan bagian terendah janin memasuki rongga

panggul, dengan menekan fundus uteri dan usahakan segera persalinan pervaginam.

d. Suntikkan terbutalin 0,25 mg sub cutan

e. Dorong ke atas bagian terbawah janin dan segera rujuk ke Puskesmas/ RS.

Gambar 2. Arrows indicate direction of pressure against presenting part to relieve

compression of prolapsed umbilical cord. Pressure exerted by examiner's fingers in A,

vertex presentation, and B, breech presentation. C, Gravity relieves pressure when woman

is in modified Sims position with hips elevated as high as possible with pillows. D, Knee-

chest position.
Komplikasi

1. Pada Ibu
Dapat menyebabkan infeksi intra partum, pecahnya ketuban menyebabkan bakteri di dalam

cairan amnion menembus amnion dan menginvasi desidua serta pembuluh korion sehingga

terjadi bakterimia dan sepsis pada ibu dan janin. Sedangkan pemeriksaan serviks dengan jari

tangan akan memasukkan bakteri vagina kedalam uterus. Pemeriksaan ini harus dibatasi

selama persalinan, terutama apabila dicurigai terjadi distosia. Infeksi merupakan bahaya

yang serius yang mengancam ibu dan janinnya pada partus lama.

2. Pada janin

a. Gawat janin

 Distres janin sehingga bisa mengakibatkan bayi mati.

 Gawat janin adalah keadaan atau reaksi ketika janin tidak memperoleh oksigen

yang cukup, terjadi hipoksia.

 Gawat janin dapat diketahui dari tanda-tanda berikut:

1) Frekuensi bunyi jantung janin kurang dari 120 x / menit atau lebih dari 160 x /

menit.

2) Berkurangnya gerakan janin (janin normal bergerak lebih dari 10 x / hari).

3) Adanya air ketuban bercampur mekonium, warna kehijauan (jika bayi lahir

dengan letak kepala).

b. Cerebral palsy adalah gangguan yang mempengaruhi otot, gerakan, dan ketrampilan

motorik (kemampuan untuk bergerak dalam cara yang terkoordinasi dan terarah) akibat

dari rusaknya otak karena trauma lahir atau patologi intrauterin (Chuningham dkk, 2005).

DAFTAR PUSTAKA
1. Prawirohardjo, Sarwono. 2014. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono

Prawirohardjo

2. Phelan, T. Sharon dkk. 2013. Umbilical Cord Prolaps.Contemporary OB/GYN editorial

board

3. Sodikin. 2011. Buku Saku Perawatan Tali Pusat. Jakarta: EGC.

4. Kahana B, Sheiner E, Levy A, et al. Umbilical cord prolapse and perinatal outcomes. Int

J Gynaecol Obstet. 2004; 84:127–132.

5. Wikajosastro, H., 2011. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono

Prawirohardjo.

6. Rustam, mochtar. 1998. Sinopsis obstetric; obstetric fisiologi, obstetric patologi edisi ke

2. Jakarta: EGC.

7. Cunningham, Gary. 2009. Obstetri Williams edisi ke 23. Jakarta: EGC


HIPOKSIA JANIN

Definisi

Asfiksia pada bayi baru lahir (BBL) menurut IDAI (Ikatatan Dokter Anak Indonesia) adalah

kegagalan nafas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir.

Menurut AAP asfiksia adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh kurangnya O2 pada

udara respirasi, yang ditandai dengan:

a. Asidosis (pH<7,0) padadarah arteri umbilikalis

b. Nilai APGAR setelah menitke-5 tetep 0-3

c. Menifestasi neurologis (kejang, hipotoni, koma atau hipoksikiskemia ensefalopati)

d. Gangguan multiorgan sistem.

Keadaan ini disertai dengan hipoksia, hiperkapnia dan berakhir dengan asidosis. Hipoksia

yang terdapat pada penderita asfiksia merupakan faktor terpenting yang dapat menghambat

adaptasi bayi baru lahir (BBL) terhadap kehidupan uterin.

Asfiksia berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis. Bila proses ini

berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan otak atau kematian. Asfiksia juga dapat

mempengaruhi fungsi organ vital lainnya.Pada bayi yang mengalami kekurangan oksigen akan

terjadi pernapasan yang cepat dalam periode yang singkat.Apabila asfiksia berlanjut, gerakan

pernafasan akan berhenti, denyut jantung juga mulai menurun, sedangkan tonus neuromuscular

berkurang secara berangsur – angsur dan bayi memasuki periode apnea yang dikenal sebagai

apneprimer. Perlu diketahui bahwa kondisi pernafasan megap-megap dan tonus otot yang turun
juga dapat terjadi akibat obat-obat yang diberikan kepada ibunya. Biasanya pemberian

perangsangan dan oksigen selama periode apnea primer dapat merangsang terjadinya pernafasan

spontan. Apabila asfiksia berlanjut, bayi akan menunjukkan pernafasan megap – megap yang

dalam, denyut jantung terus menurun, tekanan darah bayi juga mulai menurun dan bayi akan

terlihat lemas (flaccid). Pernafasan makin lama makin lemah sampai bayi memasuki periode

apnea yang disebut apnea sekunder.

Patofisiologi

Gangguan suplai darah ter oksigenasi melalui vena umbilical dapat terjadi pada saat

antepartum, intrapartum, dan pascapartum saat tali pusat dipotong. Hal ini diikuti oleh

serangkaian kejadian yang dapat diperkirakan ketika asfiksia bertambah berat.

1. Awalnya hanya ada sedikit nafas. Sedikit nafas ini dimaksudkan untuk mengembangkan

paru, tetapi bila paru mengembang saat kepala dijalan lahir atau bila paru tidak

mengembang karena suatu hal, aktivitas singkat ini akan diikuti oleh henti nafas komplit yang

disebut apnea primer.

2. Setelah waktu singkat – lama asfiksia tidak dikaji dalam situasi klinis karena dilakukan

tindakan resusitasi yang sesuai–usaha bernafas otomatis dimulai. Halini hanya akan

membantu dalam waktu singkat, kemudian jika paru tidak mengembang, secara bertahap

terjadi penurunan kekuatan dan frekuensi pernafasan. Selanjutnya bayiakan memasuki

periode apnea terminal. Kecuali jika dilakukan resusitasi yang tepat, pemulihan dari keadaan

terminal ini tidak akan terjadi.

3. Frekuensi jantung menurun selama apnea primer dan akhirnya turun di bawah 100

kali/menit. Frekuensi jantung mungkin sedikit meningkat saat bayi bernafas terengah-
engah tetapi bersama dengan menurun dan hentinya nafas terengah – engah bayi, frekuensi

jantung terus berkurang. Keadaan asam - basa semakin memburuk, metabolisme selular

gagal, jantung pun berhenti. Keadaan ini akan terjadi dalam waktu cukup lama.

4. Selama apnea primer, tekanan darah meningkat bersama dengan pelepasan ketokolamin dan

zat kimia stress lainnya. Walupun demikian, tekanan darah yang terkait erat dengan frekuensi

jantung, mengalami penurunan tajam selama apnea terminal.

5. Terjadi penurunan pH yang hampir linier sejak awitan asfiksia. Apnea primer dan apnea

terminal mungkin tidak selalu dapat dibedakan. Pada umumnya bradikardi berat dan kondisi

syok memburuk apnea terminal.

Etiologi

Faktor-faktor yang dapat menimbulkan gawat janin (asfiksia) antara lain :

a. Faktor ibu

1) Preeklampsia dan eklampsia

2) Pendarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)

3) Partus lama atau partus macet

4) Demam selama persalinan Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)

5) Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)

b. Faktor Tali Pusat

1) Lilitan tali pusat

2) Talipusat pendek
3) Simpul talipusat

4) Prolapsus talipusat.

c. Faktor bayi

1) Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)

2)Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi vakum, ekstraksi

forsep)

3)Kelainan bawaan(kongenital)

4)Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan).

Manifestasi klinik

Asfiksia biasanya merupakan akibat hipoksia janin yang menimbulkan tanda-tanda klinis pada

janin atau bayi berikut ini :

a. DJJ lebih dari 100x/menit atau kurangdari 100x/menit tidak teratur

b. Mekonium dalam air ketuban pada janin letak kepala

c. Tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot, dan organ lain

d. Depresi pernafasan karenaotak kekurangan oksigen

e. Bradikardi (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen pada otot-otot jantung

atau sel-sel otak

f. Tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot jantung, kehilangan darah atau

kekurangan aliran darah yang kembali ke plasenta sebelum dan selama proses persalinan
g. Takipneu (pernafasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru atau nafas tidak

teratur/megap-megap

h. Sianosis (warna kebiruan) karena kekurangan oksigen didalam darah

i. Penurunan terhadap spinkters

j. Pucat

Tabel 1. Skor Apgar

Sko 0 1 2

Frekuensi
r jantung Tidak ada <100x/menit >100x/menit
Usaha pernafasan Tidak ada Tidak teratur, Teratur,

Tonus otot Lemah lambat


Beberapa Semua
menangis
Iritabilitas reflex Tidak ada tungkai
Menyeringai tungkai
Batuk/menangi

Warna kulit Pucat Bi s Merah muda


flek flek
ru
si si
Nilai Apgar pada umumnya dilaksanakan pada 1 menit dan 5 menit sesudah bayi

lahir. Akan tetapi, penilaian bayi harus dimulai segera sesudah bayi lahir. Apabila bayi

memerlukan intervensi berdasarkan penilaian pernafasan, denyut jantung atau warna bayi,

maka penilaian ini harus dilakukan segera. Intervensi yang harus dilakukan jangan sampai

terlambat karena menunggu hasil penilaian Apgar 1 menit. Kelambatan tindakan akan

membahayakan terutama pada bayi yang mengalami depresi berat.

Diagnosis

Untuk dapat menegakkan gawat janin dapat ditetapkan dengan melakukan pemeriksaan sebagai

berikut :
1. Denyut jantung janin.

Frekeunsi denyut jantung janin normal antara 120–160 kali per menit. Peningkatan kecepatan

denyut jantung umum nya tidak banyak artinya, akan tetapi apabila frekeunsi turun sampai

dibawah 100 per menit diluar his, dan lebih – lebih jika tidak teratur, hal itu merupakan tanda

bahaya.

2. Mekonium di dalam air ketuban.

Mekonium pada presentasi - sunsang tidak ada artinya, akan tetapi pada presentasi – kepala

mungkin menunjukkan gangguan oksigenisasi dan harus menimbulkan kewaspadaan.

Adanya mekonium dalam air ketuban pada presentasi-kepala dapat merupakan indikasi

untuk mengakhiri persalinan bil ahal itu dapat dilakukan dengan mudah.

3. Pemeriksaan pH darah janin.

Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukan lewat servikdibuat sayatan kecil pada kulit

kepala janin, dan diambil contohdarah janin. Darah ini diperiksa pH-nya. Adanya

asidosismenyebabkan turunnya pH. Apa bila pH itu turun sampai dibawah 7,2 hal itu dianggap

sebagai tanda bahaya oleh beberapa penulis.

Penatalaksanaan

Bayi baru lahir dalam apnu primer dapat memulai pola pernapasan biasa, walaupun

mungkin tidak teratur dan mungkin tidak efektif, tanpa intervensi khusus. Bayi baru lahir

dalam apnu sekunder tidak akan bernapas sendiri. Pernapasan buatan atau tindakan ventilasi

dengan tekanan positif (VTP) dan oksigen diperlukan untuk membantu bayi memulai pernapasan

pada bayi baru lahir dengan apnu sekunder.


Langkah-langkah resusitasi neonatus

Pada pemeriksaan atau penilaian awal dilakukan dengan menjawab 3 pertanyaan:

Apakah bayi cukup bulan

Apakah bayi bernapas atau menangis?

Apakah tonus otot bayi baik atau kuat

Bila semua jawaban ”ya” maka bayi dapat langsung dimasukkan dalam prosedur perawatan rutin

dan tidak dipisahkan dari ibunya. Bayi dikeringkan, diletakkan di dada ibunya dan diselimuti

dengan kain linen kering untuk menjaga suhu. Bila terdapat jawaban ”tidak” dari salah satu

pertanyaan diatas maka bayi memerlukan satu atau beberapa tindakan resusitasi berikut ini secara

berurutan:

1. Langkah awal dalam stabilisasi

(a) Memberikan kehangatan

Bayi diletakkan dibawah alat pemancar panas (radiant warmer) dalam

keadaan telanjang agar panas dapat mencapai tubuh bayi dan memudahkan

eksplorasi seluruh tubuh.

(b)Memposisikan bayi dengan sedikit menengadahkan

Kepalanya Bayi diletakkan telentang dengan leher sedikit tengadah dalam

posisi menghidu agar posisi farings, larings dantrakea dalam satu garis lurus yang

akan mempermudah masuknya udara.

(c) Membersihkan jalan napas sesuai keperluan


Aspirasi mekoneum saat proses persalinan dapat menyebabkan pneumonia

aspirasi.

Cara yang tepat untuk membersihkan jalan napas adalah bergantung pada

keaktifan bayi dan ada/tidak nya mekonium. Bila terdapat mekoneum

dalam cairan amnion dan bayi tidak bugar (bayi mengalami depresi

pernapasan, tonus otot kurang dan frekuensi jantung kurang dari 100x/

menit) segera dilakukan penghisapan trakea sebelum timbul pernapasan

untuk mencegah sindrom aspirasi mekonium.

(d)Mengeringkan bayi ,merangsang pernapasan dan meletakkan pada posisi yang

benar. Meletakkan pada posisi yang benar, menghisap sekret, dan

mengeringkanakan memberi rangsang yang cukup pada bayi untuk memulai

pernapasan.

2. Ventilasi Tekanan Positif (VTP)

Pastikan bayi diletakkan dalam posisi yang benar.

Agar VTP efektif, kecepatan memompa (kecepatan ventilasi) dan tekanan

ventilasi harus sesuai.

Kecepatan ventilasi sebaiknya 40-60 kali/menit.

Tekanan ventilasi yang dibutuhkan sebagai berikut. Nafas pertama setelah

lahir, membutuhkan : 30-40 cmH2O. Setelah nafas pertama,

membutuhkan : 15-20cmH2O. Bayi dengan kondisi atau penyakit paru –

paru yang berakibat turunnya compliance, membutuhkan : 20-40 cmH2O.


Tekananventilasi hanya dapat diatur apabila digunakan balonyang

mempunyai pengukuran tekanan.

Observasi gerak dada bayi : adanya gerakan dada bayi turun naik

merupakan bukti bahwa sungkup terpasang dengan baik dan paru-paru

mengembang. Bayi seperti menarik nafas dangkal. Apabila dada bergerak

maksimum, bayi seperti menarik nafas panjang, menunjukkan paru-paru

terlalu mengembang, yang berarti tekanan diberikan terlalu tinggi. Hal ini

dapat menyebabkan pneumothoraks.

Observasi gerak perut bayi: gerak perut tidak dapat dipakai sebagai

pedoman ventilasi yang efektif. Gerak paru mungkin disebabkan masuk

nya udara kedalam lambung.

Penilaian suara nafas bilateral: suara nafas didengar dengan menggunakan

stetoskop. Adanya suara nafas di kedua paru-paru merupakan indikasi

bahwa bayi mendapat ventilasiyang benar.

Observasi pengembangan dada bayi: apabila dada terlalu berkembang,

kurangi tekanan dengan mengurangi meremas balon. Apabila dengan

tahapan diatas dada bayi masih tetap kurang berkembang sebaiknya

dilakukan intubasi endotrakea dan ventilasi pipa-balon.

3. Kompresi dada

Teknik kompresi dada2 cara:

a.Teknik ibu jari (lebih dipilih)


o Kedua ibu jari menekan sternum, ibu jari tangan melingkari

dadadan menopang punggung

o Lebih baik dalam megontrol kedalaman dan tekanan konsisten

o Lebih unggul dalam menaikan puncak sistolik dan tekanan perfusi

coroner

b.Teknik dua jari

o Ujung jari tengah dan telunjuk/ jari manis dari 1 tangan menekan

sternum, tangan lain nya menopang punggung

oTidak tergantung

oLebih mudah untuk pemberian obat

c.Kedalaman dan tekanan

o Kedalaman ±1/3 diameter antero posterior

o Lama penekanan lebih pendek dari lama pelepasan curah jantung

maksimum

d.Koordinasi VTP dan kompresi dada

1 siklus :3 kompresi + 1 ventilasi (3:1) dalam 2 detik

Frekuensi: 90 kompresi +30 ventilasi dalam 1 menit (berarti 120

kegiatan per menit)

Untuk memastikan frekuensi kompresi dada dan ventilasi yang tepat,

pelaku kompresi mengucapkan “satu–dua–tiga-pompa-…” .


4. Intubasi Endotrakeal

Cara:

a. Langkah 1: Persiapan memasukkan laringoskopi

Stabilkan kepala bayi dalam posisi sedikit tengadah

Berikan O2 aliran bebas selama prosedur

b. Langkah 2: Memasukkan laringoskopi

Daun laringoskopi di sebelah kanan lidah

Geser lidah kesebelah kiri mulut

Masukkan daun sampai batas pangkal lidah

c. Langkah 3: Angkat daunlaringoskop

Angkat sedikit daun laringoskop

Angkat seluruh daun, jangan hanyabujungnya

Lihat daerah farings

Jangan mengungkit daun

d. Langkah 4: Melihat tanda anatomis

Cari tanda pitasuara,seperti garis vertical pada keduasisi glottis (huruf

“V”terbalik)

Tekan krikoid agarglotis terlihat


Bila perlu, hisap lender untuk membantu visualisasi

e. Langkah 5: Memasukkanpipa

Masukkan pipa dari sebelah kanan mulut bayi dengan lengkung pipa

pada arah horizontal

Jika pita suarat ertutup, tunggu sampai terbuka

Memasukkan pipa sampai garis pedoman pita suara bera dadi batas

pitasuara

Batas waktu tindakan 20 detik

(Jika 20 detik pita suara belum terbuka, hentikan dan berikan VTP)

f. Langkah 6: mencabut laringoskop

Pegang pipa dengan kuat sambil menahan kearah langit – langit

mulut bayi,cabut laringoskop dengan hati-hati.

Bila memakai stilet, tahan pipa saat mencabut stilet.

5. Obat-obatan dan cairan:

a. Epinefrin

Larutan =1 : 10.000

Cara= IV (pertimbangkan melalui ET bila jalur IV sedang

disiapkan)

Dosis : 0,1 –0,3 mL/kgBBIV


Persiapan=larutan 1:10.000 dalam semprit 1 ml (semprit lebih besar

diperlukan untuk pemberian melalui pipa ET. Dosis melalui pipa

ET 0,3-1,0 mL/kg)

Kecepatan = secepat mungkin

Jangan memberikan dosis lebih tinggi secara IV.

b. Bikarbonat Natrium4,2%

c. Dekstron 10%

d.Nalokson

DAFTAR PUSTAKA

1. F. G Cunningham, KJ. Leveno, SL. Bloom. Abortion in William Obstetrics, 22nd edition.

Mc-Graw Hill, 2005

2. McPhee S, Obsterics and obstretrics disoders,Current medical diagnosis and treatment,

2009 edition, Mc Graw Hill, 2008

3. Sarwono prawiroharhdjo.Perdarahan pada kehamilan muda dalam Ilmu Kandungan, edisi

2008

4. Saifuddin A. Perdarahan pada kehamilan muda dalam Buku Panduan Praktis Pelayanan

Kesehatan Maternal dan Neonatal,Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,

Jakarta,2006 Hal M9-M17

5. Standard Pelayanan Medis Ilmu Kebidanan dan Kandungan, RS Efarina Etaham, 2008, ms

33-35
RUPTUR PERINEUM

A. Definisi

Ruptur perineum adalah luka pada perineum yang diakibatkan oleh rusaknya

jaringan secara alamiah karena proses desakan kepala janin atau bahu pada saat persalinan.

Bentuk ruptur biasanya tidak teratur sehingga jaringan yang robek sulit dilakukan

penjahitan.

MenurutOxom (2010), robekan perineum adalah robekan obstetrik yang terjadi

pada daerah perineum akibat ketidakmampuan otot dan jaringan lunak pelvik untuk

mengakomodasi lahirnya fetus. Persalinan sering kali menyebabkan perlukaan jalan lahir.

Luka yang terjadi biasanya ringan tetapi seringkali juga terjadi luka yang luas dan

berbahaya, untuk itu setelah persalinan harus dilakukan pemeriksaaan vulva dan perineum

Robekan perineum terjadi hampir pada semua persalinan pertama dan tidak jarang

pada persalinan berikutnya. Namun hal ini dapat dihindarkan atau dikurangi dengan

menjaga sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin dengan cepat

B. Klasifikasi Ruptur Perineum

1. Robekan Derajat Pertama

Robekan derajat pertama melitupi mukosa vagina, fourchetten dan kulit perineum tepat

dibawahnya. Robekan perineum yang melebihi derajat satu di jahit. Hal ini dapat

dilakukan sebelum plasaenta lahir, tetapi apabila ada kemungkinan plasenta harus

dikeluarkan secara manual, lebih baik tindakan itu ditunda sampai menunggu palasenta

lahir. Dengan penderita berbaring secara litotomi dilakukan pembersihan luka dengan

cairan anti septik dan luas robekan ditentukan dengan seksama.


2. Robekan Derajat Kedua

Laserasi derajat dua merupakan luka robekan yang paling dalam.Luka ini terutama

mengenai garis tengah dan melebar sampai corpus perineum. Acapkali musculus

perineus transverses turut terobek dan robekan dapat turun tapi tidak mencapai spinter

recti. Biasanya robekan meluas keatas disepanjang mukosa vaginadan jaringan

submukosa. Keadaan ini menimbulkanluka laserasi yang berbentuk segitiga ganda

dengan dasar pada fourchette, salah satu apexpada vagina dan apex lainnya didekat

rectum.

Pada robekan perineum derajat dua, setelah diberi anastesi local otot-otot difragma

urogenetalis dihubungkan digaris tengah jahitan dan kemudian luka pada vagina dan

kulit perineum ditutup dengan mengikutsertakanjaringan-jaringandibawahnya.

3. Robekan derajat ketiga

Robekan derajat ketiga meluas sampai corpus perineum, musculus transverses

perineus dan spinter recti. Pada robekan partialis derajat ketiga yang robek hanyalah

spinter recti; pada robekan yang total, spinter recti terpotong dan laserasi meluas hingga

dinding anterior rectum dengan jarak yang bervariasi. Sebagaian penulis lebih senang

menyebutkan keadaan ini sebagai robekan derajat keempat

Menjahit robekan perineum derajat tiga harus dilakukan dengan teliti, mula-mula

dinding depan rectum yang robek dijahit, kemudian fasia prarektal ditutup, dan

muskulus sfingter ani eksternus yang robek dijahit. Selanjutnya dilakukan penutupan

robekan seperti pada robekan perineum derajat kedua. Untuk mendapatkan hasil yang

baik pada robekan perineum total perlu diadakan penanganan pascapembedahan yang

sempurna.
4. Robekan derajat keempat

Robekan yang terjadi dari mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum, otot

perineum, otot spinter ani eksterna, dinding rectum anterior (Sumarah, 2009). Semua

robekan derajat ketiga dan keempat harus diperbaiki diruang bedah dengan anastesi

regional atau umum secara adekuat untuk mencapai relaksasi sfingter. Ada argument

yang baik bahwa robekan derajat ketiga dan keempat, khususnya jika rumit, hanya

boleh diperbaikioleh profesional berpengalaman seperti ahli bedah kolorektum, dan

harus ditindak-lanjuti hingga 12 bulan setelah kelahiran. Beberapa unit maternitas

memiliki akses ke perawatan spesialis kolorektal yang memiliki

bagianpentinguntukberperan.

C. Etiologi Ruptur Perineum

Robekan pada perineum umumnya terjadi pada persalinan dimana:

a. Kepala janin terlalu cepat;

b. Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya;

c. Sebelumya pada perineum terdapat banyak jaringan parut;

d. Pada persalianan dengan distosia bahu;

e. Presentasi defleksi (dahi,muka);

f. Primipara;

g. Letak sungsang;

h. Pada obstetri dan embriotomi: ekstraksi vakum, ekstraksiforsep, danembriotomi/

Robekan perineum berkaitan dengan kelahiran primipara, kala dua persalinan yang

lama, arcus pubis yang sempit, posisi kepala yang kurang fleksi dan oksipital

posterior, presipitasi persalinan,bayi besar (lebih dari 4000 g), distosia bahu,
kelahiran pervaginam dengan bantuan misalnya forcep tetapi lebih sedikit dengan

ventiouse.

D. Tanda – Tanda dan Gejala Robekan Jalan lahir

Bila perdarahan masih berlangsung meski kontraksi uterus baik dan tidak

didapatkan adanya retensi plasenta maupun adanya sisa plasenta, kemungkinan telah

terjadiperlukaanjalanlahir.

Tanda dan gejala robekan jalan lahir diantaranya adalah perdarahan, darah segar

yang mengalir setelah bayi lahir, uterus berkontraksi dengan baik, dan plasenta normal.

Gejala yang sering terjadi antara lain pucat, lemah, pasien dalam keadaan menggigil.

E. Ciri Khas Robekan Jalan Lahir

a. Kontraksi uterus kuat, keras dan mengecil.

b. Perdarahan terjadi langsung setelah anak lahir, perdarahan ini terus menerus setelah

massase atau pemberian uterotonika langsung mengeras tapi perdarahan tidak

berkurang. Dalam hal apapun, robekan jalan lahir harus dapat diminimalkan karena tak

jarang perdarahan terjadi karena robekan dan ini menimbulkan akibat yang fatal seperti

terjadinya syok.

c. Bila perdarahan berlangsung meski kontraksi uterus baik dan tidak didapatkan adanya

retensi plasenta maupun sisa plasenta, kemungkinan telah terjadi perlukaan jalan lahir.

F. Pencegahan Terjadinya Ruptur Perineum

Laserasi spontan pada vagina atauperineum dapat terjadi saatbayi dilahirkan,

terutama saat kelahiran kepala dan bahu. Kejadian laserasi akan meningkat jika bayi

dilahirkan terlalu cepat dan tidak terkendali. Janin bekerjasama dengan ibu selama

persalinan dan gunakan manufer tangan yang tepat untuk mengendalikan kelahiran bayi
serta membantu mencegah terjadinya laserasi. Kerjasama ini dibutuhkan terutama saat

kepala bayi dengan diameter 5-6 cm telah membuka vulva (crowning). Kelahiran kepala

yang terkendali dan perlahan memberikan waktu pada jaringan vagina dan perineum untuk

melakukan penyesuaian dan akan mengurangi kemungkinan terjadinya robekan. Saat

kepala mendorong vulva dengan diameter 5-6 cm bimbing ibu untuk meneran dan berhenti

untuk beristirahat atau bernapas dengan cepat.

G. Penanganan Ruptur Perineum

Menurut nugroho (2012) ada beberapa langka untuk menangani ruptur perineum.

a. Sebelum merepair luka episiotomy laserasi, jalan lahir harus diekpose/ditampilkan

dengan jelas, bila diperlukan dapat menggunakan bantuan speculum sims.

b. Identifikasi apakah terdapat laserasi serviks, jika harus direpair terlebih dahulu.

c. Masukkan tampon atau kassa kepuncak vagina untuk menahan perdarahan dari dalam

uterus untuk sementara sehingga luka episiotomi tampak jelas.

d. Masukkan jari ke II dan III dalam vagina dan regangkan untuk dinding vagina untuk

mengekpose batas atas (ujung) luka.

e. Jahitan dimulai 1 cm prosimal puncak luka, luka dinding vagina dijahit kearah distal

hingga batas commissura posterior.

f. Rekontruksi diapgrama urogenital (otot perineum) dengan cromic catgut 2-0.

g. Jahitan diteruskan dengan penjahitan perineum.

H. Pengobatan Robekan Jalan Lahir

Pengobatan yang dapatdilakukan untuk robekan jalan lahir adalah dengan

memberikan uterotonika setelah lahirnya plasenta, obat ini tidak boleh diberikan sebelum
bayi lahir. Manfaat dari pemberian obat ini adalah untuk mengurangi terjadinya perdarahan

pada kala III dan mempercepat lahirnya plasenta.

Perawatan luka perineum pada ibu setelah melahirkan berguna untuk mengurangi

rasa ketidaknyamanan, menjaga kebersihan, mencegah infeksi dan mempercepat

penyembuhan luka. Perawatan perineum umumnya bersamaan dengan perawatan vulva.

Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah: a)Mencegah kontaminasi dengan rectum; b)

Menangani dengan lembut jaringan luka; c) Menbersihkan darah yang menjadi

sumberinfeksidanbau.

A. Komplikasi

Resiko komplikasi yang mungkin terjadi jika ruptur perineum tidak segera diatasi, yaitu:

1. Perdarahan

Seorang wanita dapat meninggal karena perdarahan pasca persalinan dalam

waktu satu jam setelah melahirkan. Penilaian dan penataksanaan yang cermat

selama kala satu dan kala empat persalinan sangat penting. Menilai kehilangan

darah yaitu dengan cara memantau tanda vital, mengevaluasi asal perdarahan, serta

memperkirakan jumlah perdarahan lanjutan dan menilai tonus otot.

2. Fistula

Fistula dapatterjaditanda diketahui penyebabnya karena perlukaan pada

vagina menembus kandung kencing atau rectum. Jika kandung kencing luka, maka

air kencing akan segera keluar melalui vagina. Fistula dapat menekan kandung

kencing atau rektum yang lama antara janin dan panggul,sehingga terjadi iskemia

3. Hematoma
Hematoma dapat terjadi akibat trauma partus pada persalinan karena adanya

penekanan kepala janin serta tindakan persalinan yang ditandai dengan rasa nyeri

pada perineum dan vulva berwarna biru dan merah.

Hematoma dibagian pelvis bisa terjadi dalam vulva perineum dan fosa

iskiorektalis. Biasanya karena trauma perineum tetapi bisa juga dengan

varikositasvulva yang timbul bersamaan dengan gejala peningkatan nyeri.

Kesalahan yang menyebabkan diagnosis tidak diketahui dan memungkinkan

⁵banyak darah yang hilang. Dalamwaktu yang singkat, adanya pembengkakan biru

yang tegang pada salahsatusisiintroitus di daerah ruptur perineum

4. Infeksi

Infeksi pada masa nifas adalah peradangan di sekitar alat genitalia pada kala nifas. Perlukaan pada

persalinan merupakan tempat masuknya kuman ke dalam tubuh sehingga menimbulkan infeksi.

Dengan ketentuan meningkat suhu tubuh melebihi 38℃, tanpa menghitung pireksia nifas. Setiap

wanita yang mengalami pireksia nifas harus diperhatikan, diisolasi, dan dilakukan inspeksi pada

traktus genetalis untuk mencari laserasi, robekan atau luka episiotomy.


PLASENTA PREVIA

A. DEFENISI

Implantasi plasenta yang normal ialah pada dinding depan, dinding belakang rahim, atau

di daerah fundus uteri. Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada bagian

segmen bawah rahim, sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh jalan lahir yang

ditandai dengan perdarahan uterus yang dapat keluar melalui vagina tanpa adanya rasa

nyeri pada kehamilan trimester ketiga.


B. KLASIFIKASI

Plasenta previa dibagi berdasarkan kemungkinan implantasinya:

1. Plasenta previa totalis, yaitu seluruh ostium uteri internum tertutupi oleh plasenta

2. Plasenta previa parsialis, yaitu sebagian ostium uteri internum tertutupi oleh plasenta

3. Plasenta previa marginalis, yaitu bila pinggir plasenta tepat berada di pinggir ostium

uteri internum

4. Low-laying placenta (Plasenta letak rendah), yaitu tepi plasenta terletak pada 3-4 cm

dari tepi ostium uteri internum


Derajat plasenta previa sebagian besar akan bergantung pada derajat dilatasi serviks

pada saat pemeriksaan. Sebagai contoh, plasenta letak rendah pada pembukaan 2 cm

mungkin menjadi plasenta previa parsialis pada pembukaan 8 cm karena serviks yang

berdilatasi menyebabkan plasenta terpajan. Sebaliknya, plasenta previa yang tampaknya

total sebelum pembukaan serviks dapat menjadi partial pada pembukaan 4 cm karena

serviks berdilatasi melebihi tepi plasenta. Dokter harus mewaspadai bahwa palpasi dengan

jari untuk memastikan perubahan hubungan antara tepi plasenta dan ostium internal

sewaktu serviks berdilatasi ini dapat memicu perdarahan hebat. Jika plasenta terletak di

atas ostium internal, pembentukan segmen bawah uterus dan pembukaan ostium internal

pasti akan menyebabkan robekan tempat perlekatan plasenta yang diikuti oleh perdarahan

dari pembuluh-pembuluh uterus. Perdarahan diperparah oleh ketidakmampuan serat-serat


myometrium pada segmen uterus bawah berkontraksi dan beretraksi untuk menekan

pembuluh-pembuluh yang terputus, seperti yang biasanya terjadi, jika plasenta terlepas dari

uterus yang sudah kosong selama partus kala tiga

C. EPIDEMIOLOGI

Plasenta previa terjadi sekitar 1 dalam 200 kelahiran, tetapi hanya 20% termasuk

dalam plasenta previa totalis. Insiden meningkat 20 kali pada grande multipara. Dari

seluruh kasus perdarahan antepartum, plasenta previa merupakan penyebab yang

terbanyak. Oleh karena itu, pada kejadian perdarahan antepartum, kemungkinan plasenta

previa harus dipikirkan lebih dahulu.

D. ETIOLOGI

Plasenta previa meningkat kejadiannya pada keadaan-keadaan yang

endometriumnya kurang baik, misalnya karena atrofi endometrium atau kurang baiknya

vaskularisasi desidua.
1 Keadaan ini bisa ditemukan pada : 1 1. Multipara, terutama jika jarak antara

kehamilannya pendek.

2. Mioma uteri.

3. Kuretase yang berulang.

4. Umur lanjut.

5. Bekas seksio sesarea.

6. Perubahan inflamasi atau atrofi, misalnya pada wanita perokok atau pemakai kokain.

Hipoksemi yang terjadi akibat karbon monoksida akan dikompensasi dengan hipertrofi

plasenta. Hal ini terjadi terutama pada perokok berat (lebih dari 20 batang sehari). Keadaan

endometrium yang kurang baik menyebabkan plasenta harus tumbuh menjadi luas untuk

mencukupi kebutuhan janin. Plasenta yang tumbuh meluas akan mendekati atau menutup

ostium uteri internum. Endometrium yang kurang baik juga dapat menyebabkan zigot

mencari tempat implantasi yang lebih baik, yaitu di tempat yang rendah dekat ostium uteri

internum. Plasenta previa juga dapat terjadi pada plasenta yang besar dan yang luas, seperti

pada eritroblastosis, diabetes mellitus, atau kehamilan multipel.

E. PATOFISIOLOGI

Pada usia kehamilan yang sudah lanjut, umumnya trimester ketiga dan mungkin

juga lebih awal, oleh karena telah mulai terbentuk segmen bawah rahim, tapak plasenta

akan mengalami pelepasan. Sebagaimana diketahui tapak plasenta terbentuk dari jaringan

maternal yaitu bagian desidua basalis yang bertumbuh menjadi bagian dari uteri. Dengan

melebarnya isthmus uteri menjadi segmen bawah rahim, maka plasenta yang berimplantasi

di situ sedikit banyak akan mengalami laserasi akibat pelepasan pada desidua sebagai tapak
plasenta. Demikian pula pada waktu serviks mendatar (effacement) dan membuka

(dilatation) ada bagian tapak plasenta yang terlepas. Pada tempat laserasi itu akan terjadi

perdarahan yang berasal dari sirkulasi maternal yaitu dari ruangan intervillus dari plasenta.

Oleh karena itu fenomena pembentukan segmen bawah rahim itu perdarahan dari plasenta

previa betapa pun pasti akan terjadi (unavoidable bleeding). Perdarahan ditempat itu

relative dipermudah dan diperbanyak oleh karena segmen bawah rahim dan serviks tidak

mampu berkontraksi dengan kuat karena elemen otot yang dimilikinya sangat minimal.,

dengan akibat pembuluh darah pada tempat itu tidak akan tertutup dengan sempurna.

Perdarahan akan berhenti karena terjadi pembekuan kecuali jika ada laserasi mengenai

sinus yang besar dari plasenta pada masa perdarahan akan berlangsung lebih banyak dan

lebih lama. Oleh karena pembentukan segmen bawah rahim itu akan berlangsung progresif

dan bertahap, maka laserasi baru akan mengulang kejadian perdarahan. Demikian

perdarahan akan berulang tanpa sesuatu sebab lain (causeless). Darah yang keluar

berwarna merah segar tanpa rasa nyeri (painless). Pada plesenta yang menutupi seluruh

ostium uteri internum perdarahan terjadi lebih awal dalam kehamilan oleh karena segmen

bawah rahim terbentuk lebih dahulu pada bagian terbawah yaitu pada ostium uteri

internum. Sebaliknya pada plasenta previa parsialis atau letak rendah, perdarahan baru

terjadi pada waktu mendekati atau mulai persalinan. Perdarahan pertama sudah biasa

terjadi pada kehamilan di bawah 30 minggu tetapi lebih separuh kejadiannya pada umur

kehamilan 34 minggu ke atas. Berhubung tempat perdarahan terletak dekat dengan ostium

uteri internum, maka perdarahan lebih mudah mengalir ke luar rahim dan tidak membentuk

hematoma retroplasenta yang mampu merusak jaringan lebih luas dan melepaskan
tromboplastin ke dalam sirkulasi maternal. Dengan demikian, sangat jarang terjadi

koagulopati pada plasenta previa.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah dinding segmen bawah rahim yang tipis

mudah diinvasi oleh pertumbuhan vili dan trofoblas, akibatnya plasenta melekat lebih kuat

pada dinding uterus. Lebih sering terjadi plasenta akreta dan plasenta inkreta, bahkan

plasenta perkreta yang pertumbuhan villinya bisa sampai menembus ke buli – buli dan ke

rectum bersama plasenta previa. Plsenta akreta dan inkreta lebih sering terjadi pada uterus

yang sebelumnya pernah bedah sesar. Segmen bawah Rahim dan serviks yang rapuh

mudah robek oleh sebab kurangnya elemen otot yang terdapat di sana. Kedua kondisi ini

berpotensi meningkatkan kejadian perdarahan pascapersalinan pada plasenta previa,

misalnya dalam kala tiga karena plasenta sukar melepas dengan sempurna (retention

placentae) atau setelah uri lepabkarena segmen bawah Rahim tidak mampu berkontraksi

dengan baik.

F. MANIFESTASI KLINIS

Ciri yang menonjol pada plsenta previa adalah perdarahan uterus keluar melalui

vagina tanpa rasa nyeri. Perdarahan biasanya baru terjadi pada akhir trimester kedua ke

atas. Perdarahan pertama berlangsung tidak banyak dan berhenti sendiri. Perdarahan

kemudian terjadi tanpa sesuatu sebab yang jelas setelah beberapa waktu kemudian, jadi

berulang. Pada setiap pengulangan terjadi perdarahan yang lebih banyak bahkan seperti

mengalir.

Pada plasenta letak rendah perdarahan baru terjadi pada waktu mulai persalinan ;

perdarahan biasa sedikit sampai banyak mirip pada solusio plasenta. Perdarahan diperhebat
berhubung segmen bawah rahim tidak mampu berkontraksi sekuat segmen atas rahim.

Dengan demikian, perdarahan biasa berlangsung sampai pasca persalinan. Perdarahan juga

biasa bertambah disebabkan serviks dan segmen bawah rahim pada plasenta previa lebih

rapuh dan mudah mengalami robekan. Robekan lebih mudah terjadi pada upaya

pengeluaran plasenta dengan tangan misalnya pada retensio plasenta sebagai komplikasi

plasenta akreta.

Berbagai hubungan plasenta terletak pada bagian bawah, maka pada palpasi

abdomen sering ditemukan bagian terbawah janin masih tinggi di atas simfisis dengan letak

janin tidak dalam letak memanjang. Palpasi abdomen tidak membuat ibu hamil merasa

nyeri dan perut tegang.

G. DIAGNOSIS

Dari anamnesis didapat perdarahan tanpa keluhan nyeri dan perdarahan berulang.

Pemeriksaan fisik dengan ispeksi dapat dilihat

perdarahan yang keluar pervaginam banyak atau sedikit, darah beku dan sebagainya.

Palpasi abdomen, sering dijumpai kelainan letak pada janin, tinggi fundus uteri yang

rendah karena belum cukup bulan. Juga sering dijumpai bahwa bagian terbawah janin

belum turun, apabila letak kepala, biasanya kepala masih bergoyang, terapung atau

mengolak di atas pintu atas panggul.

Pemeriksaan inspekulo, dengan menggunakan spekulum secara hati-hati dilihat

dari mana sumber perdarahan, apakah dari uterus, ataupun terdapat kelainan pada serviks,

vagina, varises pecah. Diagnosis plasenta previa (dengan perdarahan sedikit) yang diterapi

ekspektatif ditegakkan dengan pemeriksaan Ultrasonografi (USG). Dengan pemeriksaan

USG transabdominal ketepatan diagnosisnya mencapai 95-98%. Dengan USG transvaginal


atau transperineal (translabial), ketepatannya akan lebih tinggi lagi. Penggunaan magnetic

resonance imaging (MRI) masih terasa sangat mahal pada saat ini

Dengan bantuan USG, diagnosis plasenta previa/letak rendah sering kali sudah

dapat ditegakkan sejak dini sebelum kehamilan trimester ketiga. Namun, dalam

perkembangannya dapat terjadi migrasi plasenta. Sebenarnya, bukan plasenta yang

“berpindah”, tetapi dengan semakin berkembangnya segmen bawah rahim, plasenta akan

ikut naik menjauhi ostium uteri internum.

Sikap untuk segera mengirim pasien ke rumah sakit (yang mempunyai fasilitas

operasi) tanpa lebih dulu melakukan pemeriksaan dalam atau pemasangan tampon sangat

dihargai, hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa :

 Perdarahan pertama pada plasenta previa jarang membawa maut.

 Pemeriksaan dalam dapat menimbulkan perdarahan yang hebat.

H. KOMPLIKASI
Kemungkinan infeksi nifas besar karena luka plasenta lebih dekat pada ostium, dan

merupakan port d’ entrée yang mudah tercapai. Lagi pula, pasien biasanya anemis karena

perdarahan sehingga daya tahannya lemah. Juga harus dikemukakan bahwa pada plasenta

previa mungkin sekali terjadi perdarahan pascapersalinan karena :

1. Kadang-kadang plasenta lebih erat melekat pada dinding rahim (plasenta akreta).

2. Daerah perlekatan luas.

3. Kontraksi segmen bawah rahim kurang sehingga mekanisme penutupan pembuluh darah

pada insersi plasenta tidak baik. Bahaya untuk ibu pada plasenta previa, yaitu :

1. Syok hipovolemik.

2. Infeksi-sepsis.

3. Emboli udara (jarang).

4. Kelainan koagulopati sampai syok.

5. Kematian. Sedangkan bahaya untuk anak, yaitu :

1. Hipoksia.

2. Anemi.

3. Kematian.

I. PENATALAKSANAAN

Prinsip penanganan awal pada semua pasien dengan perdarahan antepartum adalah

mencegah keadaan syok karena perdarahan yang banyak, untuk itu harus segera diperbaiki

keadaaan umumnya dengan pemberian cairan atau transfuse darah, selanjutnya dapat

dilakukan penanganan lanjutan yang disesuaikan dengan keadaan umum, usia

kehamilan,maupun jenis plasenta previa.


1. Penanganan pasif / ekspektatif Tujuan ekspektatif ialah supaya janin tidak terlahir

premature, penderita dirawat tanpa melakukan pemeriksaan dalam melalaui kanalis

servisis. Upaya diagnosis dilakukan secara non invasive. Pemantauan klinis dilakukan

secra ketat dan baik. Kriteria : usian kehamilan < 37 minggu, perdarah sedikit, belum

ada tanda persalinan, keadaan umum baik. Penanganan : - Istirahat, tirah baring -

Pemberian antibiotic profillaksis - Lakukan pemeriksaan USG untuk mengetahui

implantasi plasenta, usia kehamian, profil biofisik, letak dan presentase janin.

2. Penanganan aktif Kriteria

umur kehamilan 37 minggu, BB janin 2500 gram, perdarahan 500 cc atau lebih, ada

tanda – tanda persalinan, keadaan umum pasien kurang baik.

Persalinan spontan pervaginam

Dilakukan pada plasenta previa marginalis atau lateralis pada multipara dan sudah

meninggal. Jika pembukaan serviks sudah agak besar (4 – 5 cm), ketuban pecah

(amniotomi) jika his lemah, diberikan oksitosin drips. Bila perdarahan masih terus

berangsung dilakukan SC. Tindakan versi Braxton – hicks dengan pemberat untuk

menghentikan perdarahan (kompresi atau temponade bokong dan kepala janin terhadap

plasenta) hanya dilakukan pada keadaan darurat. Anak masih kecil atau sudah

meninggal dan tidak ada fasilitas untuk melakukan operasi.

Seksio cesaria

Prinsip utama dalam melakukan seksio sesaria adalah untuk menyelamatkan ibu,

sehingga walaupun janin meninggal atau tidak memiliki harapan hidup, tindakan ini

tetap dilakukan. Tujuan seksio cesare :


 Melahirkan janin dengan segera sehingga uterus dapat segera berkontraksi

dan menghentikan perdarahan. Tempat implantasi plasenta previa terdapat

banyak vaskularisasi sehingga serviks uteti dan segmen bawah Rahim

menjadi tipis dan mudah robek. Selain itu, bekas tempat implantasi plasenta

erring menjadi sumberperdarahan karena adanya vaskularisasi dan susunan

srabut otot dengan korpus uteri.

 Menghindari kemungkinan terjadinya robekan pada serviks uteri, jika janin

dilahirkan pervaginam

Indikasi seksio cesarean :

 Plasenta previa totalis

 Plasenta previa pada primigravida

 Plasenta previa dengan janin letak lintang atau sungsang

 Fetal distress

 Plasenta previa lateralis jika :

1. Pebukaan masih kecil dan perdarahan banyak

2. Sebagian besar OUI ditutupi plasenta

3. Plasenta teretak di sebelah kanan belakang (posterior)

 Profuse bleeding, perdarahan sangan banyak dan mengalir dengan cepat.


DAFTAR PUSTAKA

1. Sastrawinata S, Martaadisoebrata D, Wirakusumah FF, editor. Obstetri Patologi: Ilmu


Kesehatan Reproduksi. Edisi II. Jakarta : EGC ; 2004.

2. Prawirohardjo.Sarwono.2010. Ilmu Kebidanan.P.T. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.


Jakarta

3. Cunningham, F. Gary; Gant, Norman F; Leveno Md. 2003. Williams Obstetrics. 21st Ed.
McGraw-Hill Professional.

4. Cunningham, F. Gary; Gant, Norman F; Leveno Md. 2010. Williams Obstetrics. 23st Ed.
McGraw-Hill Professional

5. Gant.Norman F; Cunningham, F. Gary.2011. Dasar-dasar Ginekologi dan


obsetri . EGC

6. Miller, 2009. Placenta Previa. Online, http://www.obfocus.com/highrisk/placentaprevia.htm


,akses pada tanggal 8 maret 2016

Anda mungkin juga menyukai