Hal yang kerap luput dari perhatian ialah obat statin dapat berinteraksi dengan beberapa jenis obat jantung.
Interaksi ini patut diwaspadai karena dapat menyebabkan sejumlah risiko yang merugikan kesehatan pasien.
American Heart Associaton (AHA) telah merangkum daftar obat-obatan untuk penyakit jantung yang dapat
menimbulkan interaksi atau reaksi jika dikonsumsi bersama dengan statin. Salah satunya ialah gemfibrozil,
yaitu obat kolesterol dari kelompok fibrate. Obat lainnya dari daftar AHA ialah obat hipertensi calcium channel
blockers, seperti amplodipine, verapamil, dan diltaizem.
Obat pencegah pembekuan darah, seperti warfarin dan ticagrelor, juga masuk ke dalam daftar AHA, juga
beberapa obat masalah ritme jantung, seperti amiodarone, dronedarone, dan digoxin. Obat lain yang juga dapat
berinteraksi dengan statin menurut AHA ialah obat-obatan gagal jantung, seperti ivabradine dan sacubitril atau
valsartan.
Ahli farmasi klinis dari divisi kardiogi Medical University of South Carolina, Amerika Serikat, Barbara
Wiggins mengatakan, masalah umum yang ditemukan ialah kombinasi obat-obatan jantung dapat meningkatkan
kadar statin di dalam darah. Inilah yang membuat risiko efek samping yang berkaitan dengan otot meningkat.
Wiggins menga takan, kombinasi obat jantung dan obat statin umumnya menimbul kan reaksi 'minor' dan dapat
diatasi dengan pengurangan dosis statin. Namun, menurut AHA, ada beberapa obat jantung yang sepatut nya
tidak dikombinasikan bersama dengan statin.
Contohnya, gemfibrozil tidak boleh dikonsumsi bersamaan dengan jenis statin, seperti lovastatin, simvastatin,
dan pravastatin. Interaksinya dapat mengakibatkan cedera otot. Kombinasi warfarin dan obat statin juga dapat
meningkatkan risiko pendarahan internal.
Daftar obat yang dapat berinteraksi dengan obat penyakit jantung resep dokter
Obat penyakit jantung diresepkan dokter berdasarkan kondisi dan tingkat keparahannya.
Misalnya, Heparin yang digunakan untuk mencegah komplikasi setelah serangan jantung; obat tekanan darah
tinggi, seperti inhibitor ACE, diuretik, Angiotensin II receptor blocker (ARB), beta blocker, aldosteron, dan
inotropik; hingga aspirin dan statin penurun kolesterol.
Berikut adalah daftar obat yang mungkin memunculkan efek samping berbahaya jika dikonsumsi dengan obat
penyakit jantung di atas — maupun yang tidak tercantum.
NSAID adalah obat pereda rasa sakit yang umum digunakan untuk mengobati nyeri karena keseleo/sakit
kepala/migrain/rematik, juga meringankan demam. NSAID yang paling umum digunakan
adalah aspirin dan ibuprofen. Obat ini biasanya ditemukan di apotek setempat dan dapat dibeli tanpa resep
dokter.
Obat ini tidak dianjurkan dikonsumsi berbarengan dengan obat penyakit jantung karena dapat meningkatkan
tekanan darah dan memperberat kerja jantung. Akibatnya, Anda dapat meningkatkan risiko serangan jantung
atau stroke ketika menggunakan obat NSAID untuk jangka waktu lama padahal memiliki penyakit jantung
aktif. NSAID juga tidak boleh digunakan tepat sebelum atau setelah operasi bypass jantung (CABG).
Dianjurkan untuk mengkonsumsi obat alternatif seperti paracetamol (Panadol 500 g) daripada ibuprofen. Jika
dokter meresepkan Anda aspirin sebagai obat penyakit jantung Anda, pastikan konsumsi dengan dosis yang
tepat dan jangan hentikan/kurangi dosisnya tanpa sepengetahuan dokter.
2. Kortikosteroid
Kortikosteroid digunakan untuk mengobati keluhan kulit bengkak, gatal-gatal, kemerahan akibat reaksi alergi;
flu; pegal-pegal; asma akibat alergi; mata merah (konjungtivitis alergi); penyakit autoimun seperti rheumatoid
arthritis dan lupus; pemulihan transplantasi organ; pembengkakan otak, dan masih banyak lagi.
Kortikosteroid dosis tinggi tidak disarankan untuk dikonsumsi berbarengan dengan obat penyakit jantung
karena dapat menyebabkan irama jantung tak teratur (aritmia) dan meningkatkan tekanan darah.
3. Dekongestan
Dekongestan adalah jenis obat yang biasa digunakan untuk meredakan batuk dan flu. Namun, dalam
dekongestan mungkin terdapat kandungan pseudoefedrin, phenylephrine, ephedrine yang memiliki efek
samping berupa peningkatan tekanan darah dan jantung berdebar bagi orang dengan penyakit jantung.
Obat pencahar untuk mengobati sembelit dapat menyebabkan dehidrasi yang dapat mengganggu keseimbangan
elektrolit tubuh. Ketidakseimbangan elektrolit dapat menyebabkan denyut jantung jadi tidak beraturan.
5. Obat antidepresan
Interaksi obat antidepressan trisiklik dengan obat penyakit jantung seperti epinephrine (Epi-Pen) and cimetidine
(Tagamet) dapat meningkatkan tekanan darah dan mengganggu ritme jantung.
Bagi orang dengan penyakit jantung disarankan untuk berkonsultasi ke dokter sebelum mengkonsumsi obat
untuk menyembuhkan penyakit lain, serta gunakan obat dalam dosis yang tepat. Biasakan membaca label
kandungan pada obat sebelum dikonsumsi, dan untuk orang dengan penyakit tersebut juga dapat membuat list
daftar obat yang harus dihindari agar tidak memperparah kondisi jantung Anda.
TBC
Monitor
Amiodaron Rifampisin Pakai antiaritmik amiodaron
menurunkan alternatif.
konsentarsi Rifampin juga
amiodaron dalam menginduksi
plasma, dapat metabolisme
menurunkan quinidin,
efikasi terapi disopiramid,
propafenon,
verapamil
Khloramfen
ikol Rifampisin Hindari kombinasi Monitor
menurunkan Rifampisin dan Konsentrasi
konsentrasi khloramfenikol Khloramfenikol
khloramfenikol,
mengurangi
efikasi antibakteri
Obat KB Rifampisin dapat Harus diterapkan Monitor adanya
menyebabkan cara KB lain atau efek turunnya
ketidakaturan tambahan metoda estrogen seperti
menstruasi, lain selama Ketidakaturan
ovulasi, dan pengobatan Menstruasi
kadang kegagalan rifampisin dan 1
obat KB oral siklus setelah
rifampisin selesai.
Konsentrasi
siklosporin 2-4 x
untuk menjaga
Konsentrasi
terapinya.
Berhentinya
rifampisin akan
Menyebabkan
Peningkatan
siklosporin dalam
5-10 hari.
Diazepam Rifampisin ternyata Monitor penderita
menurunkan kadardiazepam akan menurunnya
dalam serum dan mungkin efek
dengan benzodiazepin lain. benzodiazepam
Monitor
Harus ada
Rifampisin menurunkan menurunnya
Digitoksin penyesuaian dosis
konsentrasi digitoxin dan efikasi glikosida
untuk glikosida
digoxin dalam serum digitalis
digitalis (terutama
digitoxin.)
Rifampisin
Monitor
Itrakonazol menurunkankonsentras i penurunan efikasi
itrakanazol dalam plasma.
itrakonazol
Menurunkan efikasi
itrakonazol
Rifampisin menurunkan
Ketokonazol Monitor
Pemisahan dosis
konsentrasi ketokonazol, kegagalan terapi
ketokonazol dan
dan ketokonazol untuk
rifampisin 12 jam
menurunkan konsentrasi ketokonazol atau
dapat mencegah
puncak rifampisin sebaliknya
depresi
rifampisin.
konsentrasi
rifampisin
Interaksi Obat
1. Melibatkan Obat Antihipertensi
captopril + furosemide
captopril + aspirin
gemfibrozil + valsartan
candesartan + furosemid
valsartan + furosemid
bisoprolol + amlodipin
CaCO3 + amlodipin
irbesartan + aspirin
irbesartan + furosemid
valsartan + KSR (KCl)
bisoprolol + nicardipin
captopril + KSR (KCl)
metilprednisolon + amlodipin
fenitoin + amlodipin
captopril + allopurinol
Captopril/lisinopril dapat meningkatkan kadar kalium dengan menghambat aktivitas renin angiotensin
aldosteron. Jika captopril/lisinopril dikonsumsi bersamaan dengan pisang, kemungkinan dapat terjadi risiko
hiperkalemia karena pisang merupakan buah tinggi kalium
16
Terdapat 4 golongan obat yang menjadi lini pertama dalam terapi
ACE inhibitor merupakan pilihan obat lini pertama bekerja dengan memblok konversi
angiotensin I menjadi angiotensin II. ACE inhibitor adalah suatu vasokonstriktor poten
dan stimulator sekresi aldosteron. ACE inhibitor juga menghambat degradasi dari
dan prostasiklin. Dosis awal penggunaan ACE inhibitor harus rendah dengan titrasi dosis
kalium serum, namun hiperkalemia dapat terjadi terutama pada pasien dengan CKD
(Wells, 2015)
melibatkan ACE) dan jalur alternatif yang menggunakan enzim lain seperti
Tabel VI. Obat golongan Angiotensin II Receptor Blocker (ARB), dosis dan
frekuensi penggunaannya
Dosis Penggunaan Frekuensi
Obat
(mg/hari) (penggunaan/hari)
Candesartan 8-32 1 atau 2
Eposartan 600-800 2 atau 3
Irbesartan 150-300 1
Losartan 50-100 1 atau 2
Olmesartan 20-40 1
Telmisartan 20-80 1
Valsartan 80-320 1
(Dipiro, 2008)
Tabel VII. Obat golongan Calcium Channel Blocker (CCB), dosis dan frekuensi
penggunaannya (Dipiro, 2008)
Dosis
Frekuensi
Golongan Obat Penggunaan
(penggunaan/hari)
(mg/hari)
Amlodipin 2.5-10 1
Felodopin 5-20 1
Isradipin 5-10 2
Isradipin SR 5-20 1
Dihidropiridin
Nicardipin 60-120 2
Nicardipin 30-90 1
long acting
Nisodipin 10-40 1
Diltiazem SR 180-360 2
Verapamil SR 180-480 1 atau 2
Non Dihidropiridin
Verapamil ER 180-420 1 (malam)
Verapamil oral 100-400 1 (malam)
c. Diuretik
thiazide adalah diuretik yang sering digunakan untuk sebagian besar pasien
tekanan darah (Wells, 2015). Penggunaan diuretik tiazid pada pasien dengan
dapat menghambat ekskrei urat oleh ginjal sehingga meningkatkan kasar asam
menghanbat reabsorbsi NaCl. Diuretik loop memiliki efek diuresis yang lebih
kuat dari diuretik thiazide namun bukan yang ideal jika digunakan untuk pasien
hipertensi kecuali untuk pasien hipertensi yang mengalami edema akibat CKD
yang dialami pasien ketika nilai GFR kurang dari 30 ml/menit/1, 732m2 (Dipiro,
2008) selain digunakan untuk pasien yang memiliki nilai GFR rendah, diuretik
loop digunakan juga untuk pasien yang mengalami kedaruratan hipertensi dan
(Suparsari, 2006).
dikombinasikan dengan diuretik lainnya yang akan membuang kalium (Wells, 2015).
Diuretik hemat kalium bekerja dengan menurunkan reabsorbsi Na+ dengan memblok kanal
Na+ sehingga potensial listrk epitel tubulus menurun akibatnya sekresi K+ terhambat
(Suparsari, 2006).
reabsorbsi Na+ dengan mekanisme antagonis aldosterone sehingga terjadi retensi Na+
(Suparsari 2006), Spironolakton memiliki kerja serupa dengan diuretik hemat kalium
(Chandranata, 2004).
Tabel VIII. Obat golongan Diuretik, dosis dan frekuensi penggunaannya (Dipiro,
2008)
Range dosis Frekuensi
Golongan Obat
(mg/hari) pemakaian
Klortalidon 12.5-25 1
Hidroklortiazid 12.5-25 1
Diuretik tiazid
Idapamide 12.5-25 1
Metolazon 2.5-5 1
Bumetanid 0.5-4 2
Diuretik Loop Furosenmid 20-80 2
Torsemid 5-10 1
Amilorid 5-10 1 atau 2
Diuretik Hemat Kalium
Triamterin 50-100 1 atau 2
Eplerenon 50-100 1 atau 2
Antagonis Aldosteron
Spironolakton 25-50 1 atau 2
•
INTERAKSI OBAT AMLODIPIN + NATRIUM DIKLOFENAK
Interaksi yang terjadi antara amlodipin dan natrium diklofenak yaitu interaksi farmakodinamik
antagonis. Ada beberapa bukti bahwa OAINS dapat meningkatkan tekanan darah pada pasien hipertensi yang
diobati dengan obat antihipertensi. OAINS menghambat sintesis prostaglandin ginjal sehingga menyebabkan
retensi garam dan air. Hal ini dapat meningkatkan tekanan darah dan mempengaruhi terapi antihipertensi
• INTERAKSI OBAT AMLODIPIN + SIMVASTATIN
• Menggabungkan atau kombinasi obat-obat ini dapat secara signifikan meningkatkan kadar
simvastatin dalam darah.
• Interaksi simvastatin dengan amlodipine dapat meningkatkan risiko efek samping seperti
kerusakan hati dan kondisi yang jarang namun serius yang disebut rhabdomyolysis yang
melibatkan pemecahan jaringan otot rangka.
• Dalam beberapa kasus, rhabdomyolysis dapat menyebabkan kerusakan ginjal dan bahkan
kematian
1) Interaksi Minor
a) Captopril + furosemide
Penurunan efek loop diuretic akan terjadi ketika captopril dan furosemide dikombinasikan.
Mekanisme tersebut terjadi karena penghambatan angiotensin II dari ACEi. Monitor status cairan dan berat
badan pasien ketika pasien pertama kali diberikan kombinasi captopril dan furosemide perlu dilakukan
(Tatro, 2009).
b) Captopril + aspirin
Captopril dengan aspirin jika digunakan secara bersamaan, maka akan menurunkan efek dari
captopril tersebut. Penurunan efek tersebut karena mekanisme aspirin dapat menghambat siklooksigenase
penekanan sintesis prostaglandin dan menekan efek hemodinamik yang dimediasi oleh ACEi. Rekomendasi
monitoring tekanan darah jika kedua obat ini sangat diperlukan atau dengan penggunaan dosis aspirin kurang
dari 100mg/hari. Saran lain adalah dengan mengganti ACEi dengan ARB jika memungkinkan (Tatro, 2009).
Pemberian penjedaan pada penggunaan captopril dan aspirin bisa dilakukan untuk manajemen interaksi obat
yang dilakukan oleh farmasis (Ja, 2010).
3) Interaksi Mayor
a) Captopril + spironolakton
Hiperkalemi dapat terjadi ketika captopril digunakan bersama dengan spironolakton. Penelitian
menunjukkan bahwa dari 25 pasien dirawat di rumah sakit yang mendapat terapi captopril dan spironolakton
akan mendapatkan hiperkalemi yang serius. ACEi dapat menyebabkan hiperkalemia karena produksi
aldosteron yang menurun, pemberian suplemen kalium dan penggunaan diuretik hemat kalium harus dihindari
jika pasien mendapat terapi ACEi (Gormer, 2008). Kondisi klinis pasien, serum kalium, dan fungsi ginjal
tetap dimonitor dengan menghitung laju filtrasi glomerolus. Kombinasi harus dihindari jika klirens kreatinin
<30 mL/menit (Baxter, 2008).
b) Amlodipine + simvastatin
Penggunaan amlodipine dapat meningkatkan level simvastatin jika digunakan secara bersamaan.
Penggunaan kedua obat tersebut harus hati-hati dan perlu monitoring ketat karena dapat menyebabkan
rhabdomyolisis atau myopathy (Kartidjo et al., 2014). Perlu dilakukan penyesuaian dosis dan pembatasan
dosis dari golongan statin tersebut (Baxter, 2008).
a) Captopril
Pemberian captopril pada pasien yang sebelumnya memiliki riwayat batuk, sebaiknya diganti dengan
ARB. Batuk kering menjadi efek samping penggunaan ACEi. Batuk kering yang persisten terlihat pada 20%
pasien. Mekanisme terjadinya batuk oleh karena pemberian ACEi karena dapat menghambat penguraian
bradikinin (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006).
Penggunaan antihipertensi captopril tidak diperkenankan pada pasien dengan serum kreatinin lebih
dari 2,5mg/dL. Penggunaan captopril dapat menyebabkan kenaikan nilai kreatinin. Perlu pemantauan ketat
terhadap penggunaan captopril pada kondisi tersebut (Lacy et al., 2008).
Interaksi obat antidiabetes dengan obat lainnya dengan potensi menyebabkan hipoglikemia
Interaksi terjadi antara glimepiride dan asetosal dengan nilai signifikansi 2 sebanyak 4 pasien (5%). Aspirin
menurunkan kadar glukosa plasma dan meningkatkan insulin. Penghambatan sintesis prostaglandin dapat
menyebabkan penghambatan respon akut insulin terhadap glukosa. Perebutan ikatan dengan protein juga diduga
merupakan mekanisme interaksi antara glimepirid dan aspirin20 . Menurut Patel16, aspirin dan glimepiride
berinteraksi pada fase distribusi. Aspirin merebut tempat ikatan glimepirid dengan albumin, sehingga efek
glimepiride menjadi lebih besar. Aspirin juga dapat menurunkan ekskresi glimepiride. Oleh karena itu
diperlukan penyesuaian dosis glimepiride pada pasien yang juga menggunakan aspirin. Pasien juga harus
dimonitor tanda dan gejala hipoglikemia.
Dosis metformin yang dianjurkan adalah dosis awal 500 mg dua kali sehari atau 850 mg satu kali sehari,
kemudian dapat ditingkatkan menjadi 500 mg 3x sehari, dosis maksimumnya yaitu 2550 mg/hari10. Metformin
dengan dosis lebih tinggi dapat menurunkan HbA1c lebih besar tanpa meningkatkan efek samping
gastrointestinal8 . Metformin dosis rendah dapat digunakan pada pasien gangguan ginjal. Penggunaan
metformin terbatas pada pasien gagal ginjal kronis karena resiko terjadinya laktat asidosis. Metformin aman
pada pasien gagal ginjal kronis jika dosis metformin diturunkan dan dilakukan pemantauan kadarnya dalam
darah6 . Bahkan disebutkan metformin adalah obat yang paling aman digunakan pada pasien gangguan ginjal,
dengan catatan kadar kreatinin stabil15. Akan tetapi status pasien dalam penelitian tidak mengalami gagal ginjal
kronis, ditandai dengan nilai kreatinin serum 0,8 mg/d, dan satu pasien lagi tidak diperiksa kadar kreatininnya,
sehingga dosis metformin kurang. Ketidaktepatan dosis juga terjadi pada pasien yang menggunakan akarbose.
Kasus dalam penelitian ini, pasien mendapat akarbose dengan dosis 100 mg dua kali sehari. Pemberian acarbose
dengan frekuensi dua kali sehari adalah tidak tepat. Menurut Lacy dkk. dosis Akarbose yang dianjurkan adalah
dosis awal 25 mg 3x sehari kemudian dapat ditingkatkan menjadi 50-100 mg 3x sehari10. Akarbose sedikit
diabsorpsi lewat saluran gastrointestinal, bioavailabilitas per oral kurang dari 2%. Obat ini dimetabolisme
secara ekstensif oleh amylase menjadi metabolit inaktif, dan waktu paruhnya 2,8 jam.
DAFTAR INTERAKSI OBAT DIABETES MELITUS
Ciprofloksasin
15. Antasida Menurunkan efek
ciprofloksasin
16. Menurunkan efek
Clindamicin
ciprofloksasin
17. Meningkatkan
Sucralfat
eefek antibakteri
18. Menurunkan
absopsi antibiotik
Phenitoin Ranitidine
19. Asam folat Menurunkan
metabolism
fenitoin dan
terjadi toksisitas
20. Asam folat
Diazepam menurunkan
metabolism
fenitoin
21. Vi. B6 Terjadi perubahan
metabolism
fenitoin
22. Rifampicine Vi. B6
menurunkan efek
fenitoin
Meningkatkan
metabolism
phenitoin
23. Meningkatkan
Isoniazid metabolism
phenitoin
24. Menurunkan
CaCo3 Levofloksasin kadar
levofloksasin
Berdasarkan jumlah obat antidiabetik oral yang digunakan dalam satu lembar resep dengan 1 jenis obat antidiabetik oral
merupakan yang terbanyak diresepkan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit X yaitu 262 lembar (85,34%). Hal tersebut dapat
memberikan gambaran bahwa dokter lebih sering meresepkan satu jenis obat antidiabetik oral mungkin dikarenakan kadar
glukosa darah pasien diabetes tersebut tidak terlalu tinggi atau pasien tersebut belum mengalami kegagalan sekunder.
Golongan obat antidiabetik oral yang paling sering diresepkan pada penelitian ini adalah golongan sufonilurea (68,84%),
hal ini mungkin disebabkan karena golongan sulfonilurea lebih efektif dibandingkan golongan lain, dimana golongan ini
dapat menurunkan kadar glukosa darah pada 85 – 90% pasien diabetes melitus tipe 2. Obat antidiabetik oral yang paling
sering diresepkan adalah glimepirid yaitu sebanyak 162 lembar (45,89 %) yang merupakan obat antidiabetik oral
golongan sulfonilurea, hal ini mungkin disebabkan karena glimepirid dapat diberikan dalam dosis tunggal dan lebih lebih
cepat menurunkan kadar glukosa darah dibandingkan glibenklamid dan glipizid serta memiliki efek hipoglikemik yang
setara dengan gliklazid. Metformin merupakan obat golongan biguanid yang juga paling banyak diresepkan yaitu
sebanyak 107 lembar (30,31%). Hal ini mungkin disebabkan karena pasien diabetes melitus tipe 2 tersebut memiliki berat
badan berlebih dan oleh karena itu dokter meresepkan metformin sebagai pilihan utama pada pasien diabetes melitus tipe
2 yang gemuk. Pioglitazone merupakan obat antidiabetik oral golongan thiazolidinedion yang paling sedikit diresepkan
yaitu sebanyak 3 lembar (0,85%). Hal ini mungkin disebabkan karena obat golongan thiazolidinedion ini harganya paling
mahal dibandingkan golongan obat antidiabetik oral lainnya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diperoleh data
144 pasien (46,91%) berjenis kelamin laki-laki dan 163 pasien (53,09%) berjenis kelamin perempuan. Analisis Interaksi
Obat Antidiabetik Oral Di Rumah Sakit X Depok (Santi Purna Sari, Mahdi Jufri, dan Dini Permana Sari) 13 Pada hasil
penelitian ini diperoleh umur pasien yang paling banyak menderita diabetes melitus ada pada kelompok umur 51-60 tahun
yaitu sebanyak 143 orang (46,58%). Populasi pasien diabetes melitus tipe 2 diatas umur 60 tahun semakin sedikit yaitu
pada kelompok umur 61- 70 tahun sebanyak 49 orang (15,96%) dan kelompok umur 71-80 tahun sebanyak 17 orang
(5,54%). Hal ini disebabkan karena pasien yang didiagnosa pada usia lebih dini (sebelum 60 tahun) secara selektif hilang
dari populasi oleh karena kematian setelah menderita diabetes selama waktu yang panjang. Interaksi obat kategori sedikit
(1 interaksi) paling banyak ditemukan dalam peresepan obat antidiabetik oral yaitu sebanyak 73 lembar (57,03%),
interaksi yang terjadi pada peresepan obat antidiabetik oral lebih banyak yang meningkatkan efek dari obat antidiabetik
oral (73,88%) dibandingkan yang menurunkan efek obat antidiabetik oral (16,41%) dan efek lainnya yang terjadi seperti
asidosis laktat (9,74%). Interaksi obat yang sering terjadi adalah interaksi obat antara golongan sulfonilurea yaitu
glibenklamid, glimepirid dan gliklazid dengan golongan penghambat Angiotensin Converting enzym (ACE), yaitu
ramipril dan kaptoprilyang menimbulkan efek hipoglikemik sulfonilurea meningkat. Interaksi ini terjadi karena
penghambat ACE meningkatkan sensitivitas insulin. Selain obat golongan sulfonilurea, obat antidiabetik oral golongan
biguanid yaitu metformin juga memiliki interaksi obat dengan golongan penghambat ACE (kaptopril dan ramipril) yang
mengakibatkan peningkatan efek hipoglikemik metfromin. Interaksi obat yang dapat meningkatkan efek hipoglikemik
lainnya adalah interaksi obat glibenklamid, glimepirid dan gliklazid dengan ranitidin. Mekanisme interaksi obat yang
terjadi yaitu ranitidin menginhibisi metabolisme dari glibenklamid dan gliklazid di hati sehingga menyebabkan kecepatan
metabolisme glibenklamid, glimepirid dan gliklazid berkurang sehingga terjadi akumulasi dari obat-obat tersebut didalam
tubuh. Interaksi obat tersebut umumnya jarang terjadi dikarenakan adanya interval waktu penggunaan antara glibenklamid
yang diberikan sebelum makan dengan ranitidin yang diberikan sesudah makan. Interaksi obat glibenklamid dan gliklazid
dengan antasida (aluminium hidroksida dan magnesium karbonat) melalui mekanisme peningkatan pH lambung sehingga
kelarutan glibenklamid dan gliklazid meningkat, dengan demikian absorpsi glibenklamid dan gliklazid di usus akan
meningkat. Interaksi antara glibenklamid, glimepirid dan gliklazid dengan golongan AINS (diklofenak, asam mefenamat,
meloksikam, tenoksikam, dexketoprofen) terjadi melalui mekanisme pergeseran ikatan protein. Hal ini terjadi akibat
meningkatnya konsentrasi glibenklamid, glimepirid dan gliklazid dalam kondisi bebas (tidak terikat oleh protein plasma).
Interaksi obat antara glibenklamid, glimepirid dan gliklazid dengan asam asetil salisilat terjadi melalui mekanisme aditif.
Interaksi obat glibenklamid, glimepirid dan gliklazid dengan kotrimoksazol, dapat terjadi akibat sulfonamida
menginhibisi metabolisme sulfonilurea sehingga meningkatkan kadar serum sulfonilurea, akibatnya efek hipoglikemik
meningkat. Mekanisme lain yang mungkin terjadi adalah sulfonamida dapat menggeser ikatan protein sulfonilurea dari
tempat Jurnal Farmasi Indonesia Vol. 4 No. 1 Januari 2008: 8 - 14 14 ikatannya. Peningkatan efek hipoglikemik yang
disebabkan karena interaksi obat-obat tersebut diatas dalam batas tertentu dapat menguntungkan pasien dengan kadar
glukosa darah yang tinggi, namun kadar glukosa darah pasien harus tetap dimonitor untuk menjaga agar tidak terjadi
kondisi yang tidak diinginkan seperti hipoglikemia. Pada penelitian ini juga ditemukan sejumlah obat yang memiliki efek
antagonis dengan obat antidiabetik oral yaitu hidroklortiazid, furosemid dan obat kortikosteroid (deksametason dan
prednison). Obatobat tersebut dapat menghambat sekresi insulin, sehingga meningkatkan kadar glukosa darah dan dengan
demikian memperlemah kerja obat antidiabetik oral. Interaksi obat yang terjadi antara metformin dengan ranitidin
mengakibatkan terjadinya asidosis laktat, mekanisme yang terjadi adalah kompetisi pada sistem transport yang sama
sehingga ranitidin menurunkan eliminasi metformin di tubulus ginjal sehingga konsentrasi plasma metabolit metformin
meningkat. Interaksi metformin dengan golongan AINS juga dapat menyebabkan terjadinya asidosis laktat yang
diakibatkan karena terjadinya gangguan fungsi ginjal. Hasil dari penelitian ini menunjukan adanya hubungan antara
jumlah obat dalam satu resep yang mengandung resep obat antidiabetik oral dengan banyaknya interaksi yang terjadi. Hal
ini sesuai dengan teori yang menyatakan semakin banyak jumlah obat yang diresepkan maka semakin banyak interaksi
yang terjadi. KESIMPULAN Dari penelitian yang telah dilakukan terhadap resep obat antidiabetik oral pada bulan
Desember 2005-Mei 2006 di Rumah sakit X depok dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Resep obat antidiabetik
oral umumnya terdiri dari 1 jenis obat antidiabetik oral, dan glimepiride merupakan obat antidiabetik oral yang paling
banyak diresepkan. 2. Resep obat antidiabetik oral yang diketahui berinteraksi sebanyak 41,69% dari jumlah sampel
dengan proporsi lebih besar pada interaksi yang menyebabkanpeningkatan efek hipoglikemik obat antidiabetik oral. 3.
Ada hubungan yang bermakna antara banyaknya interaksi yang terjadi deng
Potensi interaksi obat antidiabetik oral tingkat sedang yang paling sering terjadi
adalah interaksi antara glimepirid dan meloxicam. Potensi interaksi yang terjadi
antara glimepirid dengan meloxicam dapat menyebabkan meningkatnya kadar
glimepirid dalam darah dengan mekanisme interaksi yang belum diketahui. Menurut
Drugs.com Database (2014) obat-obatan yang merangsang sekresi insulin (seperti
sulfonilurea dan biguanid) dapat diperkuat oleh obat-obatan tertentu seperti obat
NSAID, sehingga meningkatkan efek dari obat hipoglikemik oral tersebut. Dalam
Drugs.com Database (2014) juga disebutkan bahwa interaksi antara glimepirid dan
meloxicam dapat dikarenakan adanya penghambatan metabolisme glimepirid, karena
glimepirid dan meloxicam dimetabolisme pada enzim yang sama yaitu enzim
CYP2C9. Dengan meningkatnya efek glimepirid ini dapat menyebabkan gejala
hipoglikemia pada pasien yaitu berupa berkeringat, tremor, takikardia, kesemutan,
pandangan kabur, konsentrasi berkurang, ataksia, hemiplegia dan koma. Bahkan
kadar gula yang rendah dapat menyebabkan otak mengalami kerusakan sehingga
dapat menyebabkan kematian. Menurut Kannan dkk (2011) yang mengutip dari
penelitian Klasco (2006) yang menggunakan data MicroMedex, penggunaan obat
antidiabetik oral yang dipakai bersamaan dengan obat NSAID dapat menyebabkan
peningkatan risiko hipoglikemia, dokter yang meresepkan harus lebih memperhatikan
saat meresepkan kedua obat ini.
Pada tingkat keparahan minor/ringan dalam penelitian ini, metformin paling banyak
berinteraksi dengan sesama obat antidiabetik oral lain yaitu akarbosa, jenis interaksi
yang juga merupakan interaksi yang paling sering terjadi dalam penelitian ini.
Metformin dengan akarbosa berinteraksi dengan tipe mekanisme interaksi
farmakokinetik, akarbosa menurunkan kadar plasma metformin dalam darah dengan
menghambat penyerapan metformin dalam usus. Dalam buku Drug Interactions
Stockley’s (2008), disebutkan bahwa 19 pasien diabetes yang diberikan akarbosa 50
atau 100 mg tiga kali sehari dan metformin 500 mg dua kali sehari mengalami
penurunan AUC 12-13% dan kadar plasma metformin turun 17-20%. Selain dengan
akarbos, metformin juga banyak ditemukan berinteraksi dengan bisoprolol dalam
penelitian ini, interaksi tingkat ringan antara metformin dengan bisoprolol
menyebabkan penurunan efek dari metformin tetapi masih belum diketahui
mekanisme interaksinya. Selain metformin, obat golongan sulfonilurea lain juga
berinteraksi dengan bisoprolol, dan yang paling sering terjadi pada glimepirid. Sama
seperti metformin, interaksi antara glimepirid dengan bisoprolol juga bersifat ringan
dan masih belum diketahui mekanisme interaksinya.
Pada penelitian ini, potensi interaksi yang terjadi pada tingkat keparahan major/berat
hanya antara pioglitazon dengan gemfibrozil. Gemfibrozil menyebabkan
meningkatnya konsentrasi plasma dari pioglitazon dengan cara menghambat
metabolisme pioglitazon melalui penghambatan enzim CYP450-2C8. Menurut
penelitian Jaakola dkk (2005) gemfibrozil meningkatkan rata-rata total AUC pada
pioglitazon sekitar 3,2 kali lipat dan memperpanjang waktu paruh eliminasinya dari
8,3 jam menjadi 22,7 jam (P<0.001) pada 12 sukarelawan sehat, sedangkan menurut
penelitian Deng (2005) pada 10 sukarelawan sehat yang mengonsumsi gemfibrozil
berbarengan dengan pioglitazon dan mengonsumsi pioglitazon 1 jam setelah
menerima gemfibrozil, total AUC pioglitazon meningkat 3,4 kali lipat dalam darah
(P<0.001), dan memperpanjang waktu paruh eliminasinya dari 6,5 jam menjadi 15.1
jam. Menurut Stockley (2008) walaupun sudah dibuktikan bahwa gemfibrozil dapat
meningkatkan AUC pioglitazon, masih dibutuhkan studi lebih lanjut untuk
mendapatkan relevansi klinis yang signifikan, misalnya dengan melakukan penelitian
pada pasien diabetes.
Hasil penelusuran literatur jurnal-jurnal dalam rentang lima tahun terakhir terhadap
potensi interaksi antara obat antidiabetik oral dengan obat lain, hanya ada satu hasil
klinis yang ditemukan yaitu antara glimepirid dengan ramipril. Menurut Sanovi-
aventis Canada (2013) pemberian 2 mg glimepirid dengan 5 mg ramipril secara
bersamaan terhadap pasien diabetes tipe 2 tidak ada gejala hipoglikemik dan tidak
menunjukan adanya interaksi obat yang merugikan; tetapi karena informasi yang
didapat adalah informasi produk yang tidak dapat diketahui bagaimana jenis desain
penelitiannya dan cara penelitiannya secara lengkap, maka hal tersebut belum dapat
dijadikan sebagai bukti yang kuat bahwa tidak ada gejala hipoglikemik antara
penggunaan glimepirid bersamaan dengan ramipril. Selain glimepirid dan ramipril,
ditemukan pula beberapa hasil klinis dari penelusuran jurnal-jurnal tetapi tidak
termasuk dalam jurnal terbaru rentang lima tahun terakhir, salah satunya adalah
interaksi antara glimepirid dengan gemfibrozil, dalam jurnal Niemi, Neuvonen &
Kivisto (2001) disebutkan gemfibrozil dapat meningkatkan konsentrasi plasma
glimepirid sehingga dapat menyebabkan hipoglikemi; hasil penelitian tersebut
dilakukan terhadap 10 sukarelawan sehat yang diberikan gemfibrozil dosis tunggal
600 mg dan 1 jam kemudian diberikan 0,5 mg glimepirid.
Hasil analisis dengan uji Chi-Square atau Kai-Kuadrat menunjukan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara jumlah jenis obat yang diresepkan dengan potensi
interaksi obat dalam resep. Hasil ini sesuai dengan penelitian Sari (2008) dan Utami
(2013) bahwa nilai probabilitas α = 0.00001 ini lebih kecil dari α = 0.05, maka dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara jumlah jenis obat dalam satu
resep yang mengandung obat antidiabetik oral dengan banyaknya interaksi yang
terjadi. Hasil odds ratio menunjukan bahwa pasien yang menerima jumlah jenis obat
≥5 beresiko 10.278 kali lebih tinggi mengalami potensi interaksi obat (95% CI,
5.933- 17.806). Hal ini pun membuktikan teori dimana kemungkinan terjadinya
interaksi obat lebih tinggi dalam terjadinya kompleksitas obat-obat yang diresepkan,
sesuai kata Stockley (2005) dalam Putra (2007) yang menyebutkan bahwa
kompleksnya terapi yang diperlukan memaksa banyaknya penggunaan berbagai
kombinasi obat (polifarmasi) yang cenderung akan meningkatkan risiko terjadinya
interaksi obat