Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH MENGENAI

HUKUM LAUT INTERNASIONAL

NAMA KELOMPOK :

1. ALFIAN DWI FIRMANSYAH 10219474


2. ARIEF BAYU NUGROHO
3. DIMAS ISMU AL-AQSA
4. RAHMAD ALHAMDAH
5. YOHANES CHRISTIAN YOGA

KELAS : 1EA12

FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
2019
KATA PENGANTAR

Segala Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sehingga atas
RahmatNya kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Adapun maksud kami menyusun makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan jurusan S1 Manajemen, Universitas Gunadarma dengan topik
sesuai judul yang kami utarakan diatas.
Dalam penyusunan makalah ini penyusun telah mendapat banyak bantuan dan
petunjuk yang sangat berguna dari berbagai pihak. Oleh karena itu penyusun menyampaikan
banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. DOSEN Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang telah membimbing kita
dalam penyusunan tugas mata kuliah ini.
2. Kepada semua pihak yang telah mendukung terselesaikannya makalah ini.

Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih memerlukan banyak sekali pembenahan,
mengingat penyusun masih dalam taraf belajar, oleh karena itu kami mengharapkan adanya
saran dan kritik dari semua pihak yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Depok, 20 Januari 2020


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii


DAFTAR ISI...................................................................................................... iii

BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan ....................................................................................... 1

BAB II : PEMBAHASAN
2.1 Perkembangan Secara Singkat Konfrensi 1958,1960,1982 .......................
3.1 Pembagian Laut Secara Horizontal ............................................................
3.2 Pembagian Laut Secara Vertikal ................................................................
4.1 Kasus Selat Corfu .......................................................................................

BAB III : PENUTUP


3.1 Kesimpulan ................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam mempelajari hukum laut internasional diharapkan mahasiswa dapat


menguraikan secara singkat perkembangan konfrensi 1958, 1960, 1982.
Mahasiswa juga dapat menguraikan Pembagian Laut secara vertikal dan horizontal dan
kompilasi atas keduanya.

Dalam hukum laut internasional sering ditemukan kasus-kasus yang diselesaikan oleh
mahkamah internasional, seperti kasus yang akan diuraikan yaitu kasus selat corfu.
Kasus Selat Corfu (Inggris-Albania), angkatan laut inggris membersihkan selat corfu
utara bulan oktober 1944, ditemukan ranjau. Bulan 12 1945 diperiksa kembali. Pada
tanggal 22 oktober 1946 beberapa kapal seperti kapal perang inggris.di laut teluk, saranda
saumerez menabrak ranjau dan kapal rusak berat, volege pun mengalami kerusakan akan
tetapi berhasil menarik saumerez kembali ke corfu. 3 minggu kemudian, tanggal 13
November 1946 selat dibersihkan kembali 22 ranjau.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah inggris berhak menuntut ganti rugi dan kepada siapa tuntutan diajukan?
2. Atas dasar apa inggris menuntut ganti rugi?
3. Apakah tindakan inggris dalam kasus tersebut dapat dibenarkan dalam hukum laut
internasional?
4. Dalam pasal berapa kasus tersebut dapat diselesaikan berdasarkan konvensi 1982?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui hukum laut internasional


2. Untuk dapat menguraikan pembagian laut secara vertikal dan horizontal
3. Untuk mengetahui konflik selat corfu
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PERKEMBANGAN SECARA SINGKAT KONFRENSI 1958, 1960, 1982


Konferensi Hukum Laut PBB I (1958) dan PBB II (1960)

Resolusi Majelis Umum PBB tgl 21 Feb 1957 menyetujui untuk mengadakan konferensi
Internasional tentang hukum laut pada bulan Maret 1958.
Konferensi ini akhirnya diadakan pada tgl 24 Feb – 27 April 1958 yang dihadiri oleh 700
delegasi dari 86 negara, yang dikenal dengan UNCLOS I (United Nations Convention on The
Law of The Sea) atau konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hukum laut.
4 buah konvensi dari UNCLOS I

1. Konvensi tentang laut teritorial dan jalur tambahan (convention on the territorial sea and
contiguous zone) belum ada kesepakatan dan diusulkan dilanjutkan di UNCLOS II

2. Konvensi tentang laut lepas (convention on the high seas)


a. Kebebasan pelayaran
b. Kebebasan menangkap ikan
c. Kebebasan meletakkan kabel di bawah laut dan pipa-pipa
d. Kebebasan terbang di atas laut lepas
Konvensi ini telah disetujui.

3. Konvensi tentang perikanan dan perlindungan sumber-sumber hayati di laut lepas


(convention on fishing and conservation of the living resources of the high seas)

4. Konvensi tentang landas kontinen (convention on continental shelf)


Pada 17 Maret – 26 April 1960 UNCLOS II, membicarakan tentang lebar laut teritorial dan
zona tambahan perikanan, namun masih mengalami kegagalan untuk mencapai
kesepakatan, sehingga perlu diadakan konferensi lagi.
Konferensi Hukum Laut PBB III
Konvensi hukum laut 1982 merupakan puncak karya dari PBB tentang hukum laut, yang
disetujui di Montego Bay, Jamaica (10 Des 1982), ditandatangani oleh 119 negara.
Ada 15 negara yang memiliki ZEE besar: Amerika Serikat, Australia, Indonesia, New Zealand,
Kanada, Uni Soviet, Jepang, Brazil, Mexico, Chili, Norwegia, India, Filipina, Portugal, dan
Republik Malagasi.
Dalam dekade abad ke-20 telah 4 kali diadakan usaha untuk memperoleh suatu
himpunan tentang hukum laut, diantaranya adalah:

1. Konferensi kodifikasi Den Haag (1930), di bawah naungan Liga Bangsa-Bangsa


2. Konferensi PBB tentang hukum laut I (1958) UNCLOS I
3. Konferensi PBB tentang hukum laut II (1960) UNCLOS II
4. Konferensi PBB tentang hukum laut III (1982) UNCLOS III

Kepentingan dunia atas hukum laut telah mencapai puncaknya pada abad ke-20.
Faktor-faktor yang mempengaruhi negara negara di dunia membutuhkan pengaturan
tatanan hukum laut yang lebih sempurna adalah:

• Modernisasi dalam segala bidang kehidupan


• Tersedianya kapal-kapal yang lebih cepat
• Bertambah pesatnya perdagangan dunia
• Bertambah canggihnya komunikasi internasional
• Pertambahan penduduk dunia yang membawa konsekuensi bertambahnya perhatian
pada usaha penangkapan ikan
Definisi Penting
• Laut teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 mil laut yang diukur dari garis
pangkal kepulauan Indonesia
• Perairan Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan
perairan pedalamannya.
• Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) adalah jalur di luar dan berbatasan
dengan laut teritorial Indonesia sebagaimana ditetapkan
berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi
dasar laut, tanah dibawahnya, dan air di atasnya dengan batas terluar 200 mil laut
yang diukur dari garis pangkal laut teritorial Indonesia.
• Laut lepas adalah bagian dari laut yang tidak termasuk dalam ZEEI, laut teritorial
Indonesia, perairan kepulauan Indonesia, dan perairan pedalaman Indonesia.
• Landas kontinen Indonesia adalah dasar laut dan tanah di bawahnya, di luar perairan
wilayah Republik Indonesia sampai kedalaman 200 meter atau lebih, dimana masih
mungkin diselenggarakan eksploitasi kekayaan alam.

3.1 PEMBAGIAN LAUT SECARA HORIZONTAL


A. Zonasi neritik
Zonasi neritik merupakan wilayah lingkungan perairan yang terletak diatas
lempeng benua, letaknya yang berdekatan dengan daratan membuat zona ini
kaya kandungan unsur hara dan kandungan sedimen tinggi. zona ini dangkal
sehingga tembus cahaya, meskipun dengan substrat tertentu zona ini keruh karena
sedimentasi.
B. Zonasi Oseanik
Zonasi oseanik merupakan wilayah lingkungan perairan yang terletak di luar
lempeng benua, kandungan unsur hara kurang, kandungan sedimen relative lebih
sedikit sehingga daya tembus cahaya kuat sampai dengan 200m.

3.2 PEMBAGIAN LAUT SECARA VERTICAL


A. Zonasi Epipelagic
Zona epipelagik merupakan bagian kolom air paling atas. zona epipelagik disebut
juga sebagai zona Fotik dengan kedalaman 200m. Pada dan dekat bagian
permukaan zona ini penyinaran matahari siang hari diatas optimal bahkan letal
bagi phytoplankton. Di bawah lapisan ini desebut zona bawah permukaan
merupakan tempat yang aktif bagi phytoplankton. Sedangkan bagian paling bawah
merupakan lapisan dimana terdapat zooplankton pada siang hari.

B. Zona Mesopelagic
Zona mesopelagik terletak dibawah zona epipelagik. Zona ini memiliki kedalaman
201 – 1000 m. Karena letaknya dibawah zona fotik maka mulai dari zona
mesopelagik sampai kepada zona abisopelagik, disebut sebagai zona Afotik.
Artinya, pada zona ini tidak terdapat kegiatan yang menghasilkan produksi primer.
Zona mesopelagik dihuni oleh konsumen primer yang memanfaatkan detritus
(jasad renik) yang turun dari lapisan yang lebih dangkal. Pada zona ini terdapat
lapisan termoklin, yaitu lapisan perairan dimana suhunya berubah secara drastis.

C. Zona Batipelagic
Zona batipelagik memiliki kedalaman antara 1001 m sampai 4000 m atau sama
dengan dasar laut. Sifat-sifat fisiknya seragam.

D. Zona Abisopelagic
Zona abisopelagik disebut juga sebagai zona palung. Biota air yang hidup di zona
ini mengalami kegelapan karena tidak ada cahaya, suhu dingin dan tekanan air
yang tinggi. Di perairan abisopelagik ini tidak ada cahaya kecuali cahaya yang
berasal dari hewan-hewan laut (bioluminescence).
4.1 KASUS SELAT CORFU
Kasus ini berawal ketika pada tanggal 15 Mei 1946, dua kapal perang Inggris jenis
penjelajah, HMS Orion dan HMS Superb, saat melakukan navigasi rutin ke arah
selatan melalui bagian utara Selat ditembaki oleh artileri pantai Albania.
Pemerintah Inggris kemudian melalui saluran-saluran diplomatik yang dimilikinya
mengajukan keberatan atas tindakan yang dilakukan oleh Albania tersebut, serta
menyatakan bahwa hak lintas damai melalui selat internasional adalah merupakan
hak yang dikenal dalam hukum internasional. Membantah pernyataan pemerintah
Inggris tersebut, pemerintah Albania kemudian menolak dengan tegas anggapan
Selat Corfu adalah merupakan selat intrnasional dan menyatakan bahwa setiap
kapal asing baik itu kapal perang maupun kapal dagang tidak berhak untuk
melaluinya karena Selat Corfu merupakan wilayah perairan laut teritorial Albania
sehingga setiap kapal yang akan melaluinya harus melakukan pemberitahuan
terlebih dahulu dan atau izin dari pemerintah Albania.

Mendapatkan pernyataan tersebut pemerintah Inggris kemudian tetap pada


pandangan sebelumnya yaitu bahwa Selat Corfu adalah merupakan selat
internasional karena menghubungkan dua bagian laut bebas. Selain itu pemerintah
Inggris juga mengingatkan pemerintah Albania bahwa apabila artileri pantai pada
waktu yang akan datang kembali menembaki kapal-kapal perang Inggris yang
melalui Selat Corfu, kapal-kapal Inggris akan diperintahkan untuk membalasnya.
Pada tanggal 22 Oktober 1946 pemerintah Inggris kembali mengirim kapal-kapal
perangnya melalui Selat Corfu.

Dua kapal perang jenis penjelajah, yaitu HMS Mauritius dan HMS Leander serta
dua kapal perang jenis perusak, yaitu HMS Saumarez dan HMS Volage. Pada saat
keempat kapal perang tersebut melaksanakan lintas pelayarannya, salah satu dari
kapal perangnya kemudian, yaitu HMS Saumarez terkena ranjau yang
mengakibatkan rusaknya kapal perang tersebut serta menewaskan beberapa awak
kapal. Setelah terjadinya peristiwa tersebut pihak Inggris kemudian pada tanggal
12 dan 13 November 1946 memberitahukan pemerintah Albania bahwa mereka
akan melakukan operasi pembersihan terhadap ranjau-ranjau yang terdapat di Selat
Corfu.

Pihak albania menjawab pemeritahuan tersebut dengan menyatakan bahwa


pemerintah Albania tidak akan memberikan persetujuannya terhadap operasi
pembersihan ranjau tersebut, kecuali terhadap operasi pembersihan yang dilakukan
di luar wilayah perairan Albania. Berkaitan atas terjadinya peristiwa ledakan ranjau
yang merusak kapal perang dan awaknya tersebut, pemerintah Inggris kemudian
mengajukan gugatan pertanggung jawaban terhadap pemerintah Albania atas
terjadinya peristiwa tersebut ke Mahkamah Internasional.

Pada saat persidangan kemudian, dalam pembelaannya pemerintah Albania


menolak bertanggung jawab atas apa yang terjadi dengan kapal perang Inggris
tersebut. Argumentasi utama yang diajukan adalah bahwa pemerintah Albania
sama sekali tidak mengetahui adanya, ranjau di perairan Selat Corfu. Selain itu
menurut pihak albania pada saat terjadinya peristiwa tersebut telah terjadi
pelanggaran terhadap kedaulatan Albania, karena lintas pelayaran yang dilakuan
kapal perang Inggris adalah merupakan lintas tidak damai.

Alasan-alasan yang diajukan untuk mendukung hal tersebut meliputi :

1. Lintas kapal perang Inggris adalah tidak merupakan lintas biasa, akan tetapi
lebih tepat merupakan sebuah misi politik;
2. Kapal-kapal tersebut pada saat berlayar melalui Selat Corfu melakukan
manuver dalam formasi perang;
3. Posisi senjata-senjata yang ada diatas kapal perang pada saat itu tidak
konsisten dengan prinsip hak lintas damai;.
4. Kapal-kapal perang Inggris tersebut pada saat melakukan lintasnya
menempatkan awaknya dalam posisi siap untuk beraksi;
5. Apabila dilihat dari jumlah kapal dan persenjataan yang dimiliki yang melebihi
jumlah seharusnya, dan menunjukan keinginan untuk melakukan intimidasi dan
bukan semata-mata hanya untuk melintas;
6. Kapal-kapal perang Inggris tersebut telah menerima perintah untuk mengamati
dan melaporkan keadaan pertahanan di pantai dan perintah tersebut
dilaksanakan pada saat kapal perang tersebut melintas. Sementara itu sebaliknya
pihak Inggris dalam persidangan menerangkan bahwa apa yang dilakukan oleh
pihaknya dengan mengirim kapal-kapal perang melalui Selat Corfu adalah semata-
mata dalam rangka menegaskan haknya untuk melaksanakan lintas melalui Selat
Corfu yang adalah merupakan selat internasional yang secara tidak adil telah
diingkari oleh pemerintah Albania. Bahwa pihak Inggris tidak terikat untuk tidak
menggunakan hak lintasnya, dimana pemerintah Albania telah secara ilegal
mengingkarinya. Selanjutnya mengenai saat terjadinya peristiwa, dimana
disebutkan oleh pihak albania bahwa kapal-kapal perang Inggris telah
melaksanakan lintas tidak damai adalah tidak benar. Semua senjata dimiliki kapal-
kapal perang Inggris selama melaksanakan lintas dalam posisi tidak untuk
digunakan dan tidak berisi serta tidak diarahkan ke pantai. Meskipun demikian
pemerintah Inggris mengakui berkaitan dengan pelaksanaan operasi pembersihan
ranjau setelah peristiwa ledakan ranjau, pemerintah Inggris tidak pernah meminta
persetujuan pihak Albania dan tidak pula melakukan pemberitahuan kepada
organisasi intelrnasional yang berkaitan dengan pembersihan ranjau. Akan tetapi
hal trsebut terpaksa dilakukan karena mengingat keadaan yang mendesak.
Setelah mendengarkan penjelasan dari kedua belah pihak.
Mahkamah Internasional kemudian memberikan putusan mengenai “Kasus Selat
Corfu”, sebagai berikut:
1.Menyatakan Republik Rakyat Albania bertanggung jawab berdasarkan hukum
internasional atas terjadinya peritiwa ledakan ranjau yang terjadi pada tanggal 22
Oktober 1946 di perairan Albania dan terhadap kerugian serta hilangnya jiwa yang
mengakibatkan oleh peristiwa tersebut;
2. Menyatakan Kerajaan Inggris tidak melakukan pelanggaran terhadap kedaulatan
Republik Rakyat albania atas dasar tindakan-tindakan Angkatan Laut Kerajaan
Inggris di perairan Albania pada tanggal 22 Oktober 1946.
3. Menyatakan atas dasar tindakan-tindakan yang dilakukan oleh angkatan laut
Inggris di perairan laut Albania dalam suatu operasi yang dilaksanakan pada
tanggal 12 dan 13 November 1946, bahwa kerajaan Inggris telah melanggar
kedaulatan Republik Rakyat Albania.

Beberapa point penting yang dapat diambil dari kasus Selat Corfu, khususnya yang
berkaitan dengan masalah pengaturan lintas pelayaran kapal perang pada masa
damai antara lain :
1. Bahwa kasus Selat Corfu telah melahirkan suatu prinsip, sesungguhnya dalam
hukum kebiasaan internasional, kapal perang pada masa damai memiliki hak
lintas damai melalui selat internasional, dan bahwa tidak boleh ada
penangguhan lintas damai melalui selat demikian.

2. Selain itu kasus Selat Corfu menghasilkan precedent baru mengenai kriteria
lintas damai, dimana kriteria lintas damai tidak semata-mata didasarkan atas
kriteria subyektif dari negara pantai, akan tetapi terdapat suatu penilaian yang
obyektif, yaitu bahwa suatu lintas dapat dianggap lintas damai selam dilakukan
dengan cara-cara yang tidak menimbulkan ancaman terhadap negara pantai.
Bahwa tidak sepenuhnya benar jika kapal perang melalui wilayah perairan
negara lain, maka ia berarti melakukan lintas tidak damai, demikian pula
sebaliknya.

3. Bahwa yang dilakukan oleh pemerintah Inggris dengan mengirim sejumlah


kapal perang ke Selat corfu, merupakan salah satu bentuk penggunaan kapal
perang pada masa damai yang berkaitan dengan fungsi diplomasi kapal perang.
Ketika Albania melakukan tindakan yang dianggap merugikan pihak Inggris.
BAB III
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Bahwa pertanyaan-pertanyaan yang muncul mengenai kasus selat Corfu dapat
terjawab yaitu :

1. Bahwa Inggris berhak menuntut ganti rugi kepada Albania berdasarkan hukum
internasional.
2. Inggris menuntut ganti rugi Atas dasar terjadinya peritiwa ledakan ranjau yang
terjadi pada tanggal 22 Oktober 1946 di perairan Albania dan terhadap kerugian serta
hilangnya jiwa yang mengakibatkan oleh peristiwa tersebut;
3. Bahwa tindakan inggris dalam kasus :
- Menuntut ganti rugi atas terjadinya peritiwa ledakan ranjau yang terjadi pada
tanggal 22 Oktober 1946 di perairan Albania dan terhadap kerugian serta hilangnya
jiwa yang mengakibatkan oleh peristiwa tersebut adalah dibenarkan dalam hukum laut
internasional.
- Tindakan-tindakan Angkatan Laut Kerajaan Inggris di perairan Albania pada
tanggal 22 Oktober 1946 adalah dibenarkan dalam hukum laut internasional.
(Menyatakan Kerajaan Inggris tidak melakukan pelanggaran terhadap kedaulatan
Republik Rakyat albania)
- Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh angkatan laut Inggris di perairan laut
Albania dalam suatu operasi yang dilaksanakan pada tanggal 12 dan 13 November
1946, tidak dibenarkan dalam hukum laut internasional karena kerajaan Inggris telah
melanggar kedaulatan Republik Rakyat Albania.
4. Kasus tersebut dapat selesaikan berdasarkan konvensi 1982 Pada pasal sebagai
berikut:
- Pasal 19 ayat 1 : Lintas adalah damai sepanjang tidak merugikan bagi kedamaian,
ketertiban atau keamanan Negara pantai. Lintas tersebut harus dilakukan sesuai
dengan ketentuan Konvensi ini dan peratruan hukum internasional lainnya.
Ayat 2 : Lintas suatu kapal asing harus dianggap membahayakan kedamaian,
ketertiban atau Keamanan Negara pantai, apabila kapal tersebut di laut teritorial
melakukan salah satu kegiatan sebagai berikut :
a. setiap ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan
wilayah atau kemerdekaan politik Negara pantai, atau dengan cara lain apapun yang
merupakan pelanggaran asas hukum internasional sebagaimana tercantum dalam
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa;
b. setiap latihan atau praktek dengan senjata macam apapun;
c. setiap perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang merugikan
bagi pertahanan atau keamanan Negara pantai;
d. setiap perbuatan propaganda yang bertujuan mempengaruhi pertahanan atau
keamanan Negara pantai;
j. kegiatan riset atau survey;
l. setiap kegiatan lainnya yang tidak berhubungan langsung dengan lintas.
- Pasal 24 Ayat :
1. Negara pantai tidak boleh menghalangi lintas damai kapal asing melalui laut
teritorial kecuali sesuai dengan ketentuan Konvensi ini. Dalam penerapan Konvensi
ini atau setiap peraturan perundang-undangan yang dibuat sesuai Konvensi ini,
Negara pantai khususnya tidak akan :
a. menetapkan persyaratan atas kapal asing yang secara praktis berakibat
penolakan atau pengurangan hak litas damai; atau
b. mengadakan diskriminasi formal atau diskriminasi nyata terhadap kapal
Negara manapun atau terhadap kapal yang mengangkut muatan ke, dari atau atas
nama Negara manapun.
2. Negara pantai harus mengumumkan secara tepat bahaya apapun bagi navigasi
dalam laut teritorialnya yang diketahuinya.
- Pasal 25 Ayat:
1. Negara pantai dapat mengambil langkah yang diperlukan dalam laut teritorialnya
untuk mencegah lintas yang tidak damai.
2. Dalam hal kapal menuju perairan pedalaman atau singgah di suatu fasilitas
pelabuhan di luar perairan pedalaman, Negara pantai juga mempunyai hak untuk
mengambil langkah yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran apapun terhadap
persyaratan yang ditentukan bagi masuknya kapal tersebut ke perairan pedalaman atau
persinggahan demikian.
3. Negara pantai, tanpa diskriminasi formil atau diskriminasi nyata di antara kapal
asing, dapat menangguhkan sementara dalam daerah tertentu laut teritorialnya lintas
damai kapal asing apabila penangguhan demikian sangat diperlukan untuk
perlindungan keamanannya, termasuk keperluan latihan senjata. Penangguhan
demikian berlaku hanya setelah diumumkan sebagaimana mestinya.
- Pasal 29 : Untuk maksud Konvensi ini “kapal perang” berarti suatu kapal yang
dimiliki oleh angkatan bersenjata suatu Negara yang memakai tanda luar yang
menunjukkan ciri khusus kebangsaan kapal tersebut, di bawah komando seorang
perwira yang diangkat untuk itu oleh Pemerintah Negaranya dan yang namanya
terdapat di dalam daftar dinas militer yang tepat atau daftar serupa, dan yang diawaki
oleh awak kapal yang tunduk pada disiplin angkatan bersenjata reguler.

- Pasal 30 : Negara pantai oleh kapal perang asing Apabila sesuatu kapal perang
tidak mentaati peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Negara pantai
mengenai lintas melalui laut teritorial dan tidak mengindahkan permintaan untuk
mentaati peraturan perundang-undangan tersebut yang disampaikan kepadanya, maka
Negara pantai dapat menuntut kapal perang itu segera meninggalkan laut teritorialnya.

- Pasal 52 ayat :
1. Dengan tunduk pada ketentuan pasal 53 dan tanpa mengurangi arti ketentuan
pasal 50, kapal semua Negara menikmati hak lintas damai melalui perairan kepulauan
sesuai dengan ketentuan dalam Bab II, bagian 3.
2. Negara Kepulauan dapat, tanpa mengadakan diskriminasi formal maupun
diskriminasi nyata diantara kapal asing, menangguhkan sementara lintas damai kapal
asing di daerah tertentu perairan kepulauannya, apabila penangguhan demikian sangat
perlu untuk melindungi keamanannya. Penangguhan demikian akan berlaku hanya
setelah diumumkan sebagaimana mestinya.
DAFTAR PUSTAKA
https://green-sharks.blogspot.com/2016/05/zonasi-laut-secara-horizontal-dan-vertikal.html

https://www.academia.edu/10370619/Makalah_Hukum_Laut_Internasional

Anda mungkin juga menyukai