Kemajuan diberbagai bidang kehidupan terjadi sebagai akibat dari proses industrialisasi dan modernisasi. Hal ini turut merubah pola hidup masyarakat yang pada akhirnya berdampak pada berubahnya pola penyakit di masyarakat. Perubahan pola penyakit ini terjadi dimana sebelumnya cenderung didominasi oleh penyakit infeksi maka pada saat sekarang berubah menjadi penyakit degenerative. Pada sisi lain pengetahuan dan kesadaran masyarakat dalam hal melakukan pencegahan terhadap penyakit infeksi masih minim. Di tambah lagi dengan factor lingkungan yang kurang mendukung sehingga pada akhirnya penyakit infeksi masih menjadi masalah dan menjadi factor yang turut menentukan derajat kesehatan Masyarakat. Salah satu penyakit infeksi yang masih menjadi masalah kesehatan di masyarakat. Luasnya permasalahan akibat TB Paru mengharuskan kepada semua pihak untuk dapat berkomitmen dan bekerjasama dalam melakukan penanggulangan TB Paru. Kerugian yang diakibatkannya sangat besar, bukan hanya dari aspek kesehatan semata tetapi dari aspek social maupun ekonomi. Dengan demikian TB Paru merupakan ancaman terhadap cita-cita pembangunan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Karenanya perang terhadap TB Paru berarti perang terhadap kemiskinan, ketidakproduktifan, dan kelemahan terhadap TB. Laporan TB dunia oleh WHO yang terbaru (2006), masih menempatkan Indonesia sebagai penyumbang terbesar nomor 3 di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah kasus baru sekitar 539.000, dan jumlah kematian sekitar 101.000 pertahun (pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis,Depkes, Jakarta 2006). Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan yang besar di dunia. Dalam 20 tahun World Health Organitation (WHO) dengan negara-negara yang tergabung di dalamnya mengupayakan untuk mengurangi TB Paru. Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi menular yang di sebabkan oleh infeksi menular oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Sumber penularan yaitu pasien TB BTA positif melalui percik renik dahak yang dikeluarkannya. Penyakit ini apabila tidak segera diobati atau pengobatannya tidak tuntas dapat menimbulkan komplikasi berbahaya hingga kematian (Kemenkes RI, 2015). Menurut WHO tuberkulosis merupakan penyakit yang menjadi perhatian global. Dengan berbagai upaya pengendalian yang dilakukan, insiden dan kematian akibat tuberkulosis telah menurun, namun tuberkulosis diperkirakan masih menyerang 9,6 juta orang dan menyebabkan 1,2 juta kematian pada tahun 2014. India, Indonesia dan China merupakan negara dengan penderita tuberkulosis terbanyak yaitu berturut- turut 23%, 10%, dan 10% dari seluruh penderita di dunia (WHO, 2015). Peningkatan tuberkulosis paru di tanggulangi dengan beberapa strategi dari Kementrian Kesehatan, salah satunya yaitu meningkatkan perluasan pelayanan DOTS (Directly Observed Treatment Short-course). DOTS adalah salah satu strategi untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai TB paru melalui penyuluhan sesuai dengan budaya setempat, mengenai TB paru pada masyarakat miskin, memberdayakan masyarakat dan pasien TB paru, serta menyediakan akses dan standar pelayanan yang diperlukan bagi seluruh pasien TB paru. Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh mycobacterium tuberculosis, Pada tahun 2005 diperkirakan ada 9 juta pasien TB dan 98% kematian akibat TB di dunia, terjadi pada Negara-negara berkembang. Demikian juga kematian wanita akibat TB lebih banyak daripada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas (Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, hal 2, Depkes,Jakarta 2006.) Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal. Akibat TB, maka akan kehilangan pendapatan sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat. (Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis,Depkes,Jakarta2006). Munculnya pandemi HIV/AIDS didunia menambah permasalahan TB. Koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signi_kan. Pada saat yang sama kekebalan ganda kuman TB terhadap obat anti TB (multidrug resistece = MDR) semakin menjadi masalah akibat kasus yang tidak berhasil disembuhkan, keadaan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya epidemi yang sulit ditangani. (Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis,Depkes,Jakarta2006). Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien di Indonesia merupakan ketiga terbanyak didunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total pasien TB didunia. Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per100.000 penduduk. Survey kesehatan rumah tangga (SKRT) pada tahun 1995 menempatkan TB sebagai penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan, dan merupakan nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi (Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis,Depkes,Jakarta2006.) BAB II
Isi
II.1 Pengertian Tuberkulosis
Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular granulomatosa kronik yang telah dikenal sejak berabad-abad yang lalu dan paling sering disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TBC menyerang paru, 85% dari seluruh kasus TBC adalah TBC paru, sisanya (15%) menyerang organ tubuh lain mulai dari kulit, tulang, organ-organ dalam seperti ginjal, usus, otak, dan lainnya (Icksan dan Luhur, 2008). Berdasarkan hasil pemeriksaan sputum, TBC dibagi dalam: TBC paru BTA positif: sekurangnya 2 dari 3 spesimen sputum BTA positif, TBC paru BTA negatif: dari 3 spesimen BTA negatif, foto toraks positif (Rani, 2006). Infeksi pada paru-paru dan kadang-kadang pada struktur-struktur di sekitarnya, yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (Saputra, 2010). Tuberkulosis termasuk juga dalam golongan penyakit zoonosis karena selain dapat menimbulkan penyakit pada manusia, basil Mycobacterium juga dapat menimbulkan penyakit pada berbagai macam hewan misalnya sapi, anjing, babi, unggas, biri-biri dan hewan primata, bahkan juga ikan (Soedarto, 2007).
II.2. Penyebab Tuberkulosis
Penyebab penyakit tuberkulosis adalah bakteri Mycobacterium tuberculosis. Mycobacteria termasuk dalam famili Mycobacteriaceae dan termasuk dalam ordo Actinomycetales. Mycobacterium tuberculosis meliputi M. bovis, M. africanum, M. microti, dan M. canettii (Zulkoni, 2010). Mycobacterium tuberculosis merupakan sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/µm dan tebal 0,3-0,6/µm (Sudoyo, 2007). Mycobacterium tuberculosis adalah suatu basil Gram-positif tahan- asam dengan pertumbuhan sangat lamban (Tjay dan Rahardja, 2007)
II.3. Komplikasi Tuberkulosis
Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut. 1. Komplikasi dini: pleurutis, efusi pleura, empiema, laringitis, usus, Poncet’s arthropathy. 2. Komplikasi lanjut: obstruksi jalan napas -> SOFT (Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat -> SOPT/fibrosis paru, kor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, sindrom gagal napas dewasa (ARDS), sering terjadi pada TBC milier dan kavitas TBC (Sudoyo, 2007). Komplikasi penderita stadium lanjut adalah hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok, kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru, penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal, dan sebagainya (Zulkoni, 2010).
II.4. Cara Penularan
Penyakit TBC ditularkan dari orang ke orang, terutama melalui saluran napas dengan menghisap atau menelan tetes-tetes ludah/dahak (droplet infection) yang mengandung basil dan dibatukkan oleh penderita TBC terbuka. Atau juga karena adanya kontak antara tetes ludah/dahak tersebut dan luka di kulit. Untuk membatasi penyebaran perlu sekali discreen semua anggota keluarga dekat yang erat hubungannya dengan penderita (Tjay dan Rahardja, 2007).
Penularan terjadi melalui inhalasi partikel menular di udara yang bertebaran
sebagai aerosol. Lama kontak antara sumber dan calon kasus baru meningkatkan resiko penularan karena semakin lama periode pemajanan, semakin besar resiko inhalasi. Mikobakteri memiliki dinding berminyak yang kuat. Dapat terjadi infeksi tuberkulosis (primer) dengan atau tanpa manifestasi penuh penyakit (infeksi pascaprimer atau sekunder) (Gould dan Brooker, 2003). Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernapasan. Selama kuman TBC masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TBC tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran napas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular (Zulkoni, 2010). Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus TBC (Sudoyo, 2007).
II.5 Gejala klinik
Gejala klinik tuberkulosis pada anak tidak spesifik. Hal ini merupakan hambatan di dalam deteksi dini penyakit ini sehingga pemeriksaan pembantu seperti: uji tuberkulin, darah rutin, dan rontgen dada mempunyai arti penting dalam diagnosis tuberkulosis pada anak (Hartoyo dan Roni, 2002). Pada anak-anak gejala TBC terbagi 2, yakni gejala umum dan gejala khusus. Gejala umum, meliputi: a. Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas dan tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi yang baik. b. Demam lama atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus, malaria, atau infeksi saluran napas akut) dapat disertai dengan keringat malam. c. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit, paling sering di daerah leher, ketiak, dan lipatan paha. d. Gejala dari saluran napas, misalnya batuk lebih dari 30 hari (setelah disingkirkan sebab lain dari batuk), tanda cairan di dada dan nyeri dada. e. Gejala dari saluran cerna, misalnya diare berulang yang tidak sembuh dengan pengobatan diare, benjolan (massa) di abdomen, dan tanda-tanda cairan dalam abdomen. Gejala khusus, sesuai dengan bagian tubuh yang diserang, misalnya: a. TBC kulit atau skrofultoderma b. TBC tulang dan sendi c. TBC otak dan saraf d. Gejala mata BAB III
Pembahasan
III.1. Hubungan TB dengan Kemiskinan
Ada keterkaitan antara TB paru dengan kemiskinan. Menurut Saad (2005) hubungan antara kemiskinan dengan TB bersifat timbal balik, TB merupakan penyebab kemiskinan dan karena miskin maka manusia menderita TB. Kondisi sosial ekonomi itu sendiri, mungkin tidak hanya berhubungan secara langsung, namun dapat merupakan penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi gizi buruk, serta perumahan yang tidak sehat, dan akses terhadap pelayanan kesehatan juga menurun kemampuannya. Ekonomi rendah secara bersama-sama dengan faktor lainnya menjadi prasyarat timbulnya sakit akan tetapi tidak dapat berdiri sendiri-sendiri (Sugiarto, 2004). Kemiskinan akan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan baik dari segi kesehatan, pendidikan, kondisi rumah dan lain-lain. Bila seseorang miskin maka akan sulit baginya untuk dapat memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan karena mungkin ia merasa mahal dan tidak mampu untuk membayarnya, demikian juga halnya dengan pendidikan, orang yang tidak mampu maka pendidikan baginya seolah sesuatu yang sangat sulit untuk dijangkau, selain biaya pendidikan yang mahal, ia pun akan berpikir bahwa dana yang ia miliki akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan primer terutama pangan sehari-hari. Demikian juga dengan kondisi rumah, selain tak mampu untuk membangun rumah layak huni, merekapun tidak tahu syarat rumah yang sehat karena pendidikan yang rendah. Bila ditelaah kondisi gizi buruk mempengaruhi penularan TB, sebab gizi buruk akan mempengaruhi imunitas seseorang, dan bila imunitasnya menurun maka akan mudah baginya untuk terinfeksi ketika ia terpapar kuman TB. Selain itu, karena TB sangat mudah menular dan bakterinya hanya akan mati bila terkena sinar matahari langsung, maka dengan keadaan lingkungan perumahan yang tidak sehat, seperti padat dan sanitasi buruk akan menjadi lembab dan kuman TB akan menyebar. Penyakit TB paru selalu dikaitkan dengan kemiskinan. Menurut WHO (2003), 90% penderita TB di dunia menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin dan hubungan keduanya bersifat timbal balik, dimana penyakit TB merupakan penyebab kemiskinan dan karena kemiskinan maka manusia menderita TB. Keluarga yang mempunyai pendapatan lebih tinggi akan lebih mampu untuk menjaga kebersihan lingkungan rumah tangganya, menyediakan air minum yang baik, membeli makanan yang jumlah dan kualitasnya memadai bagi keluarga mereka, serta mampu membiayai pemeliharaan kesehatan yang mereka perlukan.14 Sedangkan masyarakat dengan sosial ekonomi rendah mengakibatkan kondisi gizi yang buruk, perumahan yang tidak sehat dan rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan.
III.2. Hubungan TB dengan Pengangguran
Pada penelitian yang dilakukan oleh Ibu Pertiwi di Jakarta Timur (2004) menunjukkan adanya hubungan bermakna antara penghasilan dengan kejadian TB Paru pada anak umur 0-14 tahun mungkin disebabkan masyarakat di Jakarta Timur rata-rata adalah bekerja sebagai tenaga kontrak (73%), daerah kumuh sebanyak (15%), dengan jumlah KK 102.779, keadaan ini menunjukkan jumlah penghasilan yang masih rendah sehingga merupakan tempat berkembang biaknya kuman yang patogen. Dengan kata lain, masyarakat tidak dapat mengusahakan tempat tinggal yang layak karena keterbatasan ekonomi yang mereka miliki. Kondisi ruangan berhubungan dengan kejadian TB paru dimana masyarakat dengan kondisi ruangan yang tidak memenuhi syarat mempunyai peluang 1,18 kali untuk tertular TB paru dibandingkan dengan rumah dengan kondisi ruangan yang memenuhi syarat. Kondisi ruangan memenuhi syarat jika tersedia ventilasi > 10% luas lantai, jendela dibuka setiap hari, pencahayaan cukup baik di ruang tidur, dapur maupun ruang keluarga. Rumah dengan pencahayaan dan ventilasi yang baik akan menyulitkan pertumbuhan kuman, karena sinar ultraviolet dapat mematikan kuman dan ventilasi yang baik menyebabkan pertukaran udara sehingga mengurangi kosentrasi kuman. Penelitian Ahmad Dahlan (2001) menunjukkan bahwa rumah dengan ventilasi rumah < 10% dari luas lantai mempunyai peluang menderita TB 4,56 kali dibandingkan dengan yang mempunyai rumah dengan ventilasi > 10% luas lantai, sedangkan sumber penerangan yang tidak sehat mempunyai risiko menderita TB sebesar 1,8 kali dibandingkan dengan yang menggunakan penerangan yang sehat. Jenis pekerjaan juga dapat berpengaruh terhadap tingkat pendapatan seseorang sesuai tidaknya dengan UMR sebagai standar upah nasional. Jenis pekerjaan juga dapat berdampak pada kehidupan keluarga seperti konsumsi, kondisi fisik rumah yang kurang memenuhi standar dan kemampuan dalam pemeliharaan kesehatan. Menurut Ariani, dkk (2015) faktor lingkungan kerja mempengaruhi seseorang untuk terpapar suatu penyakit. Lingkungan kerja yang buruk mendukung untuk terinfeksi Tb antara lain supir, buruh, tukang becak dan lain-lain dibandingkan dengan orang yang bekerja di daerah perkantoran.
III.3. Hubungan TB dengan masalah generasi muda
Usia produktif merupakan usia dimana seseorang berada pada tahap untuk bekerja/ menghasilkan sesuatu baik untuk diri sendiri maupun orang lain. 75% penderita TB paru ditemukan pada usia yang paling produktif secara ekonomi (15-49 tahun). Pada usia tersebut apabila seseorang menderita TB paru, maka dapat mengakibatkan individu tidak produktif lagi bahkan menjadi beban bagi keluarganya. Dari beberapa artikel didapatkan hubungan antara gaya hidup dengan kejadian TB paru pada remaja meliputi pengetahuan, pendidikan kesehatan, merokok, minuman keras (alkohol), dan keluar dimalam hari. Semua jurnal tersebut terbukti menunjukkan kearah gaya hidup yang mengakibatkan kejadian TB paru pada remaja.. Merokok dan keluar dimalam hari merupakan faktor yang dominan yang mengakibatkan kejadian TB paru pada ramaja. Salah satu kebiasaan yang banyak dilakukan oleh generasi muda yaitu merokok. Merokok merupakan faktor risiko penting untuk terjadinya penyakit kardiovaskular serta penyebab utama lain dari kematian di seluruh dunia yaitu serebrovaskular, infeksi saluran napas bawah, PPOK, TB, dan kanker saluran napas. Hubungan antara merokok dan TB pertama kali dilaporkan pada tahun 1918. Pada penelitian ini diperoleh bahwa perokok mempunyai risiko lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok perokok pasif maupun bukan perokok. Penelitian di India juga menunjukkan hal yang sama dimana perokok mempunyai risiko lebih tinggi untuk terinfeksi TB paru dibandingkan dengan bukan perokok. Merokok dan TB merupakan dua masalah besar kesehatan di dunia, walaupun TB lebih banyak ditemukan di negara berkembang. Penggunaan tembakau khususnya merokok, secara luas telah diakui sebagai masalah kesehatan masyarakat yang utama dan menjadi penyebab kematian yang penting di dunia, yaitu sekitar 1,7 juta pada tahun 1985, 3 juta pada tahun 1990 dan telah diproyeksikan meningkat menjadi 8,4 juta pada 2020. Data World Health Organization (WHO) menunjukkan Indonesia sebagai negara dengan konsumsi rokok terbesar ke-3 setelah Cina dan India dan diikuti Rusia dan Amerika. Padahal dari jumlah penduduk, Indonesia berada di posisi ke-4 setelah Cina, India dan Amerika. Berbeda dengan jumlah perokok Amerika yang cenderung menurun, jumlah perokok Indonesia justru bertambah dalam 9 tahun terakhir. Asap rokok mengandung lebih dari 4.500 bahan kimia yang memiliki berbagai efek racun, mutagenik dan karsinogenik. Asap rokok menghasilkan berbagai komponen baik di kompartemen seluler dan ekstraseluler, mulai dari partikel yang larut dalam air dan gas. Banyak zat yang bersifat karsinogenik dan beracun terhadap sel namun tar dan nikotin telah terbukti imunosupresif dengan mempengaruhi respons kekebalan tubuh bawaan dari pejamu dan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Semakin tinggi kadar tar dan nikotin efek terhadap sistem imun juga bertambah besar. Risiko TB dapat dikurangi dengan hampir dua pertiga jika seseorang berhenti merokok. Tingkat pendidikan berhubungan dengan kejadian TB pada usia produktif. Semakin rendah pendidikan seseorang maka semakin besar risiko untuk menderita TB paru. Pendidikan berkaitan dengan pengetahuan yang nantinya berhubungan dengan upaya pencarian pengobatan. Pengetahuan yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor pencetus (predisposing) yang berperan dalam mempengaruhi keputusan seseorang untuk berperilaku sehat.10 Semakin tinggi pendidikan seseorang maka pengetahuan tentang TB semakin baik sehingga pengendalian agar tidak tertular dan upaya pengobatan bila terinfeksi juga maksimal.
III.4. Hubungan TB dengan pelanggaran norma-norma masyarakat