Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS

DOKTER INTERNSIP

PNEUMOTHORAK

Disusun Oleh:
Dr. Annisa Pratiwi

Pembimbing:
Dr. Indra Wiradinata, Sp.B

Pendamping:
Dr. Azharul Yusri, Sp.OG
Dr. Aisah Bee

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI
2018

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang mana atas berkat
dan karunia-Nya, penulisan laporan kasus ini telah dapat penulis selesaikan.
Adapun laporan kasus dengan judul “Pneumothorak” ini diajukan sebagai salah
satu tugas dalam menjalani Program Internship Dokter Indonesia di RSUD
Kabupaten Kepulauan Meranti. Diharapkan dengan adanya laporan kasus ini
dapat memberikan manfaat dan menambah informasi kepada kita semua.
Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dan
kelemahan dalam penulisan Laporan Kasus ini. Oleh karena itu, dengan segala
kerendahan hati penulis mengharapkan adanya gagasan, saran dan masukan yang
membangun demi penyempurnaan tulisan ini. Akhir kata penulis berharap
semoga Laporan Kasus ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

Selatpanjang, 28 september 2019

dr. Annisa Pratiwi


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Paru-paru merupakan unsur elastis yang akan mengempis seperti
balon dan mengeluarkan semua udaranya melalui trakea bila tidak ada
kekuatan untuk mempertahankan pengembangannya. Paru-paru
sebenarnya mengapung dalam rongga toraks, dikelilingi oleh suatu
lapisan tipis cairan pleura yang menjadi pelumas bagi gerakan paru-paru
di dalam rongga. Jadi pada keadaan normal rongga pleura berisi sedikit
cairan dengan tekanan negatif yang ringan (1).
Pneumotoraks adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam
rongga pleura. Dengan adanya udara dalam rongga pleura tersebut, maka
akan menimbulkan penekanan terhadap paru-paru sehingga paru-paru
tidak dapat mengembang dengan maksimal sebagaimana biasanya ketika
bernapas. Pneumotoraks dapat terjadi baik secara spontan maupun
traumatik. Pneumotoraks spontan itu sendiri dapat bersifat primer dan
sekunder. Sedangkan pneumotoraks traumatik dapat bersifat iatrogenik
dan non iatrogenik (2).
Insidensi pneumotoraks sulit diketahui karena episodenya banyak
yang tidak diketahui. Namun dari sejumlah penelitian yang pernah
dilakukan menunjukkan bahwa pneumotoraks lebih sering terjadi pada
penderita dewasa yang berumur sekitar 40 tahun. Laki-laki lebih sering
daripada wanita, dengan perbandingan 5 : 1 (2).
Sesuai perkembangan di bidang pulmonologi telah banyak
dikerjakan pendekatan baru berupa tindakan torakostomi disertai video
(VATS = video assisted thoracoscopy surgery), ternyata memberikan
banyak keuntungan pada pasien-pasien yang mengalami
pneumotoraks relaps dan dapat mengurangi lama rawat inap di
rumah sakit (2).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Paru


Paru-paru adalah organ penting dari respirasi, jumlahnya ada dua, terletak
di samping kanan dan kiri mediastinum, dan terpisah satu sama lain oleh jantung
dan organ lainnya dalam mediastinum. Paru-paru memiliki area permukaan
alveolar kurang lebih seluas 40 m2 untuk pertukaran udara Karakteristik paru-
paru yaitu berpori, tekstur kenyal ringan; mengapung di air, dan sangat elastis.
Permukaan paru-paru halus, bersinar, dan membentuk beberapa daerah
polihedral, yang menunjukkan lobulus organ: masing-masing daerah dibatasi oleh
garis-garis yang lebih ringan (fisura). Paru kanan dibagi oleh fisura transversa
dan oblik menjadi tiga lobus: atas, tengah, dan bawah. Paru kiri memiliki fisura
oblik dan dua lobus

2.2 Definisi
Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di
dalam pleura yang menyebabkan kolapsnya paru yang terkena (3).
2.3 Klasifikasi
Menurut penyebabnya, pneumotoraks dapat dikelompokkan menjadi
dua, yaitu (2), (3) :
1. Pneumotoraks spontan
Yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba.
Pneumotoraks tipe ini dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu
:
a. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi
secara tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya.
b. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi
dengan didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki
sebelumnya, misalnya fibrosis kistik, penyakit paru obstruktik
kronis (PPOK), kanker paru-paru, asma, dan infeksi paru.

2. Pneumotoraks traumatik,
Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma, baik
trauma penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura,
dinding dada maupun paru.
Pneumotoraks tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua
jenis, yaitu :
a. Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang
terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada,
barotrauma.
b. Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi
akibat komplikasi dari tindakan medis. Pneumotoraks jenis inipun
masih dibedakan menjadi dua, yaitu :
1) Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental
Adalah suatu pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan
medis karena kesalahan atau komplikasi dari tindakan
tersebut, misalnya pada parasentesis dada, biopsi pleura.
2) Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate)
Adalah suatu pneumotoraks yang sengaja dilakukan
dengan cara mengisikan udara ke dalam rongga pleura.
Biasanya tindakan ini dilakukan untuk tujuan pengobatan,
misalnya pada pengobatan tuberkulosis sebelum era
antibiotik, maupun untuk menilai permukaan paru.

Dan berdasarkan jenis fistulanya, maka pneumotoraks dapat


diklasifikasikan ke dalam tiga jenis, yaitu (4) :
1. Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka
pada dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar.
Tekanan di dalam rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat
laun berubah menjadi negatif karena diserap oleh jaringan paru
disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru belum mengalami re-ekspansi,
sehingga masih ada rongga pleura, meskipun tekanan di dalamnya sudah
kembali negatif. Pada waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan udara
di rongga pleura tetap negatif.

2. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax),


Yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga
pleura dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar (terdapat
luka terbuka pada dada). Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama
dengan tekanan udara luar. Pada pneumotoraks terbuka tekanan
intrapleura sekitar nol. Perubahan tekanan ini sesuai dengan perubahan
tekanan yang disebabkan oleh gerakan pernapasan (4).
Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu
(4)
ekspirasi tekanan menjadi positif . Selain itu, pada saat inspirasi
mediastinum dalam keadaan normal, tetapi pada saat ekspirasi
mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang terluka (sucking
wound) (2).

3. Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax)


Adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan
makin lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis
yang bersifat ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk melalui trakea,
bronkus serta percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura
melalui fistel yang terbuka. Waktu ekspirasi udara di dalam rongga
(4)
pleura tidak dapat keluar . Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura
makin lama makin tinggi dan melebihi tekanan atmosfer. Udara yang
terkumpul dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering
menimbulkan gagal napas (2).

Sedangkan menurut luasnya paru yang mengalami kolaps, maka


pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu (4) :

1. Pneumotoraks parsialis, yaitu pneumotoraks yang menekan pada


sebagian kecil paru (< 50% volume paru).
2. Pneumotoraks totalis, yaitu pneumotoraks yang mengenai sebagian besar
paru (> 50% volume paru).

2.4 Penghitungan Luas Pneumotoraks


Penghitungan luas pneumotoraks ini berguna terutama dalam penentuan
jenis kolaps, apakah bersifat parsialis ataukah totalis. Ada beberapa cara yang
bisa dipakai dalam menentukan luasnya kolaps paru, antara lain :

1. Rasio antara volume paru yang tersisa dengan volume hemitoraks, dimana
masing-masing volume paru dan hemitoraks diukur sebagai volume kubus
(2)
.
Misalnya : diameter kubus rata-rata hemitoraks adalah 10cm dan diameter
kubus rata-rata paru-paru yang kolaps adalah 8cm, maka
rasio diameter kubus adalah :
83 512
______ ________
= = ± 50 %
103 1000

2. Menjumlahkan jarak terjauh antara celah pleura pada garis vertikal,


ditambah dengan jarak terjauh antara celah pleura pada garis horizontal,
ditambah dengan jarak terdekat antara celah pleura pada garis horizontal,
kemudian dibagi tiga, dan dikalikan sepuluh (2).

% luas pneumotoraks

A + B + C (cm)
__________________
= x 10
3

3. Rasio antara selisih luas hemitoraks dan luas paru yang kolaps dengan
luas hemitoraks (4).
(L) hemitorak – (L) kolaps paru

(AxB) - (axb)
_______________
x 100 %
AxB

2.5 Gejala klinis


Berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul
adalah (2), (4), (5) :
1. Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien. Seringkali sesak
dirasakan mendadak dan makin lama makin berat. Penderita bernapas
tersengal, pendek-pendek, dengan mulut terbuka.
2. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan tajam
pada sisi yang sakit, terasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri pada
gerak pernapasan.
3. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien.
4. Denyut jantung meningkat.
5. Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang kurang.
6. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10% pasien,
biasanya pada jenis pneumotoraks spontan primer.

Berat ringannya keadaan penderita tergantung pada tipe pneumotoraks


tersebut, (2):
1. Pneumotoraks tertutup atau terbuka, sering tidak berat
2. Pneumotoraks ventil dengan tekanan positif tinggi, sering dirasakan lebih
berat
3. Berat ringannya pneumotoraks tergantung juga pada keadaan paru yang
lain serta ada tidaknya jalan napas.
4. Nadi cepat dan pengisian masih cukup baik bila sesak masih ringan, tetapi
bila penderita mengalami sesak napas berat, nadi menjadi cepat dan kecil
disebabkan pengisian yang kurang.

2.6 Pemeriksaan fisik


Pada pemeriksaan fisik torak didapatkan (3), (4):
1. Inspeksi :
a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper ekspansi
dinding dada)
b. Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal
c. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat
2. Palpasi :
a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar
b. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat
c. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit
3. Perkusi :
a. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak
menggetar
b. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan
intrapleura tinggi
4. Auskultasi :
a. Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang
b. Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni
negatif

2.7 Pemeriksaan Penunjang


1. Foto Röntgen
Gambaran radiologis yang tampak pada foto röntgen kasus
pneumotoraks antara lain (6):
a. Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps
akan tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru
yang kolaps tidak membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler
sesuai dengan lobus paru.
b. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio
opaque yang berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan
kolaps paru yang luas sekali. Besar kolaps paru tidak selalu
berkaitan dengan berat ringan sesak napas yang dikeluhkan.
c. Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium
intercostals melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah.
Apabila ada pendorongan jantung atau trakea ke arah paru yang
sehat, kemungkinan besar telah terjadi pneumotoraks ventil dengan
tekanan intra pleura yang tinggi.
d. Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan
sebagai berikut (3):
1) Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi
jantung, mulai dari basis sampai ke apeks. Hal ini terjadi
apabila pecahnya fistel mengarah mendekati hilus, sehingga
udara yang dihasilkan akan terjebak di mediastinum.
2) Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam
dibawah kulit. Hal ini biasanya merupakan kelanjutan dari
pneumomediastinum. Udara yang tadinya terjebak di
mediastinum lambat laun akan bergerak menuju daerah yang
lebih tinggi, yaitu daerah leher. Di sekitar leher terdapat banyak
jaringan ikat yang mudah ditembus oleh udara, sehingga bila
jumlah udara yang terjebak cukup banyak maka dapat
mendesak jaringan ikat tersebut, bahkan sampai ke daerah dada
depan dan belakang.
3) Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka akan
tampak permukaan cairan sebagai garis datar di atas diafragma

Foto Rö pneumotoraks (PA), bagian yang ditunjukkan dengan


anak panah merupakan bagian paru yang kolaps

2. Analisa Gas Darah


Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemi
meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada pasien
dengan gagal napas yang berat secara signifikan meningkatkan mortalitas
sebesar 10%.

3. CT-scan thorax
CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema
bullosa dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan
ekstrapulmoner dan untuk membedakan antara pneumotoraks spontan
primer dan sekunder.
2.8 Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk
mengeluarkan udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan
untuk kambuh lagi. Pada prinsipnya, penatalaksanaan pneumotoraks adalah
sebagai berikut :
1. Observasi dan Pemberian O2
Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga pleura
telah menutup, maka udara yang berada didalam rongga pleura tersebut
akan diresorbsi. Laju resorbsi tersebut akan meningkat apabila diberikan
tambahan O2. Observasi dilakukan dalam beberapa hari dengan foto
(2)
toraks serial tiap 12-24 jam pertama selama 2 hari . Tindakan ini
terutama ditujukan untuk pneumotoraks tertutup dan terbuka (4).

2. Tindakan dekompresi
Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus
pneumotoraks yang luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan
untuk mengurangi tekanan intra pleura dengan membuat hubungan antara
rongga pleura dengan udara luar dengan cara (2) :
a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura,
dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan
berubah menjadi negatif karena mengalir ke luar melalui jarum
tersebut (2), (4).
b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :
1) Dapat memakai infus set
Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam
rongga pleura, kemudian infus set yang telah dipotong pada
pangkal saringan tetesan dimasukkan ke botol yang berisi
air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak
gelembung udara yang keluar dari ujung infus set yang
berada di dalam botol (4).
2) Jarum abbocath
Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari
gabungan jarum dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada
posisi yang tetap di dinding toraks sampai menembus ke
rongga pleura, jarum dicabut dan kanula tetap ditinggal.
Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa plastik infus
set. Pipa infuse ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang
berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak
gelembung udara yang keluar dari ujung infuse set yang
berada di dalam botol (4).
3) Pipa water sealed drainage (WSD)
Pipa khusus (toraks kateter) steril, dimasukkan ke
rongga pleura dengan perantaraan troakar atau dengan
bantuan klem penjepit. Pemasukan troakar dapat dilakukan
melalui celah yang telah dibuat dengan bantuan insisi kulit di
sela iga ke-4 pada linea mid aksilaris atau pada linea
aksilaris posterior. Selain itu dapat pula melalui sela iga ke-2
di garis mid klavikula.
Setelah troakar masuk, maka toraks kateter segera
dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian troakar dicabut,
sehingga hanya kateter toraks yang masih tertinggal di
rongga pleura. Selanjutnya ujung kateter toraks yang ada di
dada dan pipa kaca WSD dihubungkan melalui pipa plastik
lainnya. Posisi ujung pipa kaca yang berada di botol
sebaiknya berada 2 cm di bawah permukaan air supaya
gelembung udara dapat dengan mudah keluar melalui
perbedaan tekanan tersebut (3), (4).
Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan
intrapleura tetap positif. Penghisapan ini dilakukan dengan
memberi tekanan negatif sebesar 10-20 cm H2O, dengan
tujuan agar paru cepat mengembang. Apabila paru telah
mengembang maksimal dan tekanan intra pleura sudah
negatif kembali, maka sebelum dicabut dapat dilakukuan uji
coba terlebih dahulu dengan cara pipa dijepit atau ditekuk
selama 24 jam. Apabila tekanan dalam rongga pleura
kembali menjadi positif maka pipa belum bisa dicabut.
Pencabutan WSD dilakukan pada saat pasien dalam keadaan
ekspirasi maksimal (2).
3. Torakoskopi
Yaitu suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga toraks
dengan alat bantu torakoskop.
4. Torakotomi
5. Tindakan bedah (4)
a. Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi, kemudian
dicari lubang yang menyebabkan pneumotoraks kemudian dijahit
b. Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura yang
menyebabkan paru tidak bias mengembang, maka dapat dilakukan
dekortikasi.
c. Dilakukan resesksi bila terdapat bagian paru yang mengalami
robekan atau terdapat fistel dari paru yang rusak
d. Pleurodesis. Masing-masing lapisan pleura yang tebal dibuang,
kemudian kedua pleura dilekatkan satu sama lain di tempat fistel.
2.9 Pengobatan Tambahan
1. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan
ditujukan terhadap penyebabnya. Misalnya : terhadap proses TB paru
diberi OAT, terhadap bronkhitis dengan obstruksi saluran napas diberi
antibiotik dan bronkodilator (4).
2. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat (4).
3. Pemberian antibiotik profilaksis setelah setelah tindakan bedah dapat
dipertimbangkan, untuk mengurangi insidensi komplikasi, seperti
emfisema (3).

2.10 Rehabilitasi(4)
1. Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus dilakukan
pengobatan secara tepat untuk penyakit dasarnya.
2. Untuk sementara waktu, penderita dilarang mengejan, batuk atau bersin
terlalu keras.
3. Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif, berilah
laksan ringan.
4. Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada keluhan batuk,
sesak napas.
BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Z
Umur : 60 tahun
Jenis Kelamin : laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Buruh
Alamat : jl. Dorak selat panjang
Tanggal Kunjungan : 19 / 6 / 2019

II. ANAMNESIS
 Keluhan utama :
Nyeri pada dada kanan (+)

 Keluhan Tambahan :
Sesak nafas (+)

 Anamnesis :
Pasien datang ke IGD dengan keluhan nyeri pada dada sebelah kanan disertai
sesak nafas (+) nyeri dirasakan mendadak setelah os terpeleset dan tertabrak kayu
saat sedang bekerja 1 hari ini SMRS.
Sesak bertambah saat pasien bergerak, tidak berkurang dengan perubahan
posisi, Os juga mengatakan saat bernafas dalam atau batuk nyeri semakin
bertambah Sehingga os sulit untuk bernafas.
Batuk berdarah disangkal, demam (-),Pasien tidak mempunyai riwayat batuk
lama sebelumnya, demam malam hari (-), keringat malam (-). Riwayat minum
obat selama 6 bulan (-)
 Riwayat penyakit dahulu :
- Riwayat hipertensi : disangkal
- Riwayat diabetes mellitus : disangkal
- Riwayat Asma : disangkal
 Riwayat penggunaan obat
Tidak ada
 Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat diabetes mellitus : disangkal
- Riwayat hipertensi : disangkal
- Riwayat Alergi : disangkal
 Riwayat Pribadi
- Merokok : dijumpai
- Riwayat konsumsi alkohol : disangkal

III. PEMERIKSAAN FISIK


 Keadaan umum : Sakit sedang
 GCS : E4 M6 V5 = 15
 Vital sign :
- TD : 120/80 mmHg
- Nadi : 110 x/ menit, kuat angkat, irama regular.
- RR : 28x/ menit, nafas spontan.
- Suhu : 36 0C.
- SpO2 : 88 %
 Status internus :
- Kepala : normosefali
- Mata : konjunctiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
reflex cahaya (+/+), pupil bulat isokor (3 mm / 3 mm), eksophthalmus
-/-
- Telinga : normotia, discharge (-/-), massa (-/-)
- Hidung : simetris, napas cuping hidung (-), sekret (-/-), darah (-/-).
- Mulut : mukosa bibir hiperemis (-), sianosis (-), lidah kotor (-),
gusi berdarah (-), faring hiperemis (-), tonsil (T1/T1).
- Leher : pembesaran kelenjar thyroid (-), kelenjar getah bening
membesar (-),
- Thoraks :
Pulmo :
Inspeksi : bentuk dinding dada asimetris dengan dada kanan
lebih cembung , retraksi (-) gerakan nafas dada
kanan tertinggal (+), jejas (-) hematom (-) spider
naevi (-)
Palpasi : fremitus seluruh lapangan paru kanan lebih lemah
dari pari paru kiri
Perkusi : hipersonor di dada sebelah kanan
Auskultasi : pada auskultasi suara napas pada seluruh lapangan
paru kanan melemah dan suara napas vesikuler pada
lapangan paru kiri, suara napas tambahan (-).

Cor :
Inspeksi : Ictus kordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS VI garis midclavicularis
sinistra.
Perkusi :
- Batas jantung atas sejajar garis horizontal setinggi ICS III
garis parasternal sinistra.
- Batas jantung kiri di ICS IV garis midclavicularis sinistra.
- Batas jantung kanan di garis sternalis dextra ICS III,IV dan
V.
Auskultasi : S1-S2 Reguler, Gallop (-), murmur diastolic (-)

- Abdomen :
Inspeksi : Dalam batas normal
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)
Palpasi : Soepel, nyeri tekan suprapubic (+), hepar/ lien tak
teraba, tidak teraba massa, ballottement ginjal tidak teraba, nyeri
ketok CVA (-)

- Ekstremitas
Superior Inferior
Edema -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Refleks fisiologis +N/+N +N/+N
Refleks patologis -/- -/-
CRT < 2 detik < 2 detik
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Pemeriksaan Laboratorium
Darah :
- Hemoglobin : 13,6 gr/dL
- Eritrosit : 4,49 jt/mm
- Leukosit : 6.410/mm
- Hematokrit : 39 %
- Trombosit : 125.000/mm
- MCV : 87 fl
- MCH : 30 pg
- MCHC : 35 %
- HBSag :-

- Pemeriksaan Radiologi

Kesan : tampak pleural visceral line batas tegas dan opak di


lapangan paru kanan

- Pemeriksaan EKG
Tidak dilakukan pemeriksaan

V. DIAGNOSIS KERJA IGD


Pneumothorak Dextra
VI. TATALAKSANA IGD
- O2 5L  Spo2 ; 94%
- Infus RL 20gtt
-
Konsul dr. Indra Sp.B via telpon
Penatalaksanaan Lanjutan
- Pemasangan WSD cito
- Inj Ketorolac 30 mg/8 jam
- Inj Ranitidin 50 mg/12 jam
- Inj Ceftriaxon 1gram / 12 jam
- Konsul anestesi
- Persiapan operasi
- Rawat Inap di Asoka
-
Konsul dr. Sp.An via wa
Acc untuk tindakan anestesi

FOLLOW UP 20/6/19
 Subjektif : sesak berkurang
 Objektif :
Kesadaran : komposmentis
Vital sign : TD : 110/70 mmHg
Nadi : 84 x/menit
RR : 25 x/menit
T : 36,10 C
Paru :
Inspeksi : gerakan nafas simetris
Palpasi : fremitus suara lapangan paru dekstra=sinistra
Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : vesikuler pada kedua lapangan paru
WSD : bubble (+) hanya saat batuk, undulasi (+), keluar
caian berwarna kuning jernih.
 A : Pneumothoraks dextra post op
 P:
- IVFD RL 20 gtt
- Diet MB
- Paracetamol 3 x 500mg
- Cefadroxil 2x500mg

FOLLOW UP 21/6/19
 Subjektif : sesak (-)
 Objektif :
Kesadaran : komposmentis
Vital sign : TD : 120/80 mmHg
Nadi : 84 x/menit
RR : 24 x/menit
T : 36,30 C
Inspeksi : gerakan nafas simetris
Palpasi : fremitus suara lapangan paru dekstra=sinistra
Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : vesikuler pada kedua lapangan paru
 A : Pneumothoraks dextra post wsd
 P : Observasi

FOLLOW UP 22/9/19
 Subjektif : sesak (-)
 Objektif :
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : komposmentis
Vital sign : TD : 110/70 mmHg
Nadi : 80x/menit
RR : 22 x/menit
T : 36,50 C
Inspeksi : gerakan nafas simetris
Palpasi : fremitus suara lapangan paru dekstra=sinistra
Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : vesikuler pada kedua lapangan paru
 A : Pneumothoraks Dextra Post WSD
 P : Pasien diperbolehkan pulang
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien didiagonis menderita pneumotoraks spontan primer karena


didapatkan tanda dan gejala yang mendukung diagnosa tersebut. Dari anamnesa
didapatkan keluhan sesak napas yang muncul tiba-tiba disertai nyeri didads, sesak
bertambah saat bergerak. Dari pemeriksaan fisik didapatkan dinding dada
asimetris dengan dada kanan lebih cembung dan gerakan dinding dada kanan
tertinggal, fremitus kanan<kiri, pada perkusi hipersonor pada paru kanan dan
auskultasi suara napas pada paru kanan menghilang`. Dari pemeriksaan
penunjang dengan foto rontgen didapatkan pleural visceral line, batas tegas dan
opak diparu sebelah kanan
Sesak pada pasien ini terjadi karena tekanan didalam alveoli meningkat
sehingga udara masuk dengan mudah menuju kejaringan peribronkovaskuler.
Pneumothoraks spontan primer terjadi karena pecahnya bulla atau bleb, sehingga
adanya akumulasi udara pada rongga pleura. Sesak berhubungan dengan luas
pneumothoraks, pada pneumothoraks yang luas akan menyebabkan penekanan
dan kolaps paru ipsilateral. Pneumothoraks akan menyebabkan penurunan
kapasitas vital, rasio-ventilasi perfusi yang menurun akibat hipoksemia. Pada
pneumothoraks spontan primer jarang terjadi hiperkapnia karena didasari oleh
jaringan paru yang normal.
Keluhan lain yang membantu diagnosis pneumothoraks adalah nyeri dada.
Nyeri dada terjadi karena adanya udara intrapleura yang menyebabkan regangan
pada pleura parietal. Pada pasien ini dilakukan pemasangan WSD,
Terapi lainnya berupa pemakaian oksigen dengan konsentrasi tinggi.
Berdasarkan literature diperoleh bahwa pemberian oksigen 100% akan
meningkatkan resorbsi oksigen 4 kali lipat. Pada pemberian oksigen dengan
kanul nasal optimal diberikan dengan 3 liter/menit. Pemberian antibiotik
ditujukan untuk mencegah infeksi sekunder akibat pemasangan WSD.

BAB V
KESIMPULAN

Pneumotoraks merupakan suatu keadaan dimana rongga pleura terisi oleh


udara, sehingga menyebabkan pendesakan terhadap jaringan paru yang
menimbulkan gangguan dalam pengembangannya terhadap rongga dada saat
proses respirasi. Oleh karena itu, pada pasien sering mengeluhkan adanya sesak
napas dan nyeri dada.
Berdasarkan penyebabnya, pneumotoraks dapat terjadi baik secara
spontan maupun traumatik. Pneumotoraks spontan itu sendiri dapat bersifat
primer dan sekunder. Sedangkan pneumotoraks traumatik dapat bersifat
iatrogenik dan non iatrogenik. Dan menurut fistel yang terbentuk, maka
pneumotoraks dapat bersifat terbuka, tertutup dan ventil (tension).
Dalam menentukan diagnosa pneumotoraks seringkali didasarkan pada
hasil foto röntgen berupa gambaran translusen tanpa adanya corakan
bronkovaskuler pada lapang paru yang terkena, disertai adanya garis putih yang
merupakan batas paru (colaps line). Dari hasil röntgen juga dapat diketahui
seberapa berat proses yang terjadi melalui luas area paru yang terkena
pendesakan serta kondisi jantung dan trakea.
Pada prinsipnya, penanganan pneumotoraks berupa observasi dan
pemberian O2 yang dilanjutkan dengan dekompresi. Untuk pneumotoraks yang
berat dapat dilakukan tindakan pembedahan. Sedangkan untuk proses medikasi
disesuaikan dengan penyakit yang mendasarinya. Tahap rehabilitasi juga perlu
diperhatikan agar pneumotoraks tidak terjadi lagi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.


Edisi 9. Jakarta : EGC; 1997. p. 598.
2. Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus,
Simadibrata. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II.
Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p. 1063.
3. Bowman, Jeffrey, Glenn. Pneumothorax, Tension and Traumatic.
Updated: 2010 May 27; cited 2011 January 10. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/827551
4. Alsagaff, Hood. Mukty, H. Abdul. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru.
Surabaya : Airlangga University Press; 2009. p. 162-179
5. Schiffman, George. Stoppler, Melissa, Conrad. Pneumothorax
(Collapsed Lung). Cited : 2011 January 10. Available from :
http://www.medicinenet.com/pneumothorax/article.htm
6. Malueka, Rusdy, Ghazali. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta :
Pustaka Cendekia Press; 2014.

Anda mungkin juga menyukai