Anda di halaman 1dari 14

ISSN: 2528-5882

TAMADDUN
JURNAL SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM

Konsep Pemikiran Masyarakat Madani di Indonesia pada Akhir Abad


ke-20 (Studi Pemikiran Nurcholis Madjid tentang Masyarakat Madani)
Oleh:

Haeruddin, H. Didin Nurul Rosidin, Ph. D, Dedeh Nur Hamidah, M. Ag


Sejarah Peradaban Islam, FUAD IAIN Syekh Nurjati Cirebon
Email: ipoelwr@gmail.com

ABSTRAK
Masyarakat madani pertama kali dikenal di Indonesia oleh
Anwar Ibrahim yang ingin menunjukan masyarakat yang ideal dengan
sistem sosial yang subur dan diasaskan pada prinsip moral yang
menjamin keseimbangan antara perorangan dan masyarakat. Penggagas
pemikiran mengenai masyarakat madani di Indonesia salah satunya
yaitu Nurcholis Madjid atau akrab disapa Caknur yang merupakan tokoh
agama, sosial dan politik. Dalam pemikirannya Beliau menghubungkan
masyarakat madani dengan kehidupan yang memiliki tatanan sosial
kemasyarakaan yang ideal, modern, demokratis.
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini akan mendeskripsikan
tentang latar belakang pemikiran Nurcholis Madjid tentang masyarakat
madani dengan latar belakang dirinya sebagai cendekiawan muslim dan
juga tokoh sosial serta politik. Langkah dalam penelitian ini
menggunakan metode library reseach dengan metode kualitatif dan
pendekatan historis.
Konsep Masyarakat madani yang digambarkan oleh Nurcholis
Madjid yang lebih akomodatif terhadap tatanan sosial yang melibatkan
pemerintahan dan negara dengan konsep masyarakat yang ideal dan
dicita-citakan. Konsepnya yang sarat akan kekuasaan tepatnya pada
akhir abad ke 20 yaitu pada rezim orde baru, andangannya tentang
masyarakat madani mengadopsi perilaku umat muslim klasik yang
saleh. Dalam hubungannya dengan keidupan sosial Masyarakat madani
atau civil society adalah rumah bagi tumbuhnya demokrasi dengan
ditopang oleh kualitas civility yang dinamis, memberi ruang kebebasan
bagi masyarakat, memperjuangkan hak dan kewaajiban dan menjadi
sebuah negara dengan masyarakat yang lebih kritis

PENDAHULUAN

Masyarakat merupakan salah satu komponen berdirinya suatu negara.


Perkembangan masyarakat dalam suatu negara akan berpengaruh pada berbagai
hal. Masyarakat dapat menjadi tolak ukur suatu negara berkembang atau tidak,
masyarakat pula yang mampu memberikan kontribusi besar pada
wilayah/tempat yang ditinggalinya. Masyarakat menjadi sangat fundamental
saat kita membicarakan tentang zaman, negara, adat, kebudayaan, kepercayaan
dan kasus-kasus lainnya dalam suatu lingkungan. Masyarakat selalu menjadi
subjek perbincangan atas permasalahan pun menjadi solusi dalam
menyelesaikan permasalahan yang ada.
Peradaban yang baik timbul karena terciptanya masyarakat yang baik
pula. Indonesia sebagai negara yang memiliki masyarakat dengan beraneka
ragam latar belakang, suku yang beranekaragam, budaya, bahasa, adat istiadat
bahkan kepercayaan merupakan keunikan sekaligus tantangan tersendiri bagi
bangsa Indonesia dalam menciptakan masyarakat yang beradab. Masyarakat
yang beradab berarti masyarakat yang berbudi luhur masyarakat yang memiliki
moral dan iman yang selaras sehingga masyarakat tersebut memiliki potensi
besar mengemban perkembangan negara dan lingkungan yang ditempatinya.
Masyarakat seperti itu juga dapat kita kenal sebagai masyarakat madani.
Masyarakat madani, konsep ini merupakan penerjemahan istilah dari
konsep civil society yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim
dalam ceramahnya pada simposium Nasional dalam rangka forum ilmiah pada
acara Festival Istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta. Konsep yang diajukan
oleh Anwar Ibrahim ini hendak menunjukkan bahwa masyarakat yang ideal
adalah kelompok masyarakat yang memiliki peradaban maju. Lebih jelas
Anwar Ibrahim menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani
adalah sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang
menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan
masyarakat.
Menurut Quraish Shibab, masyarakat Muslim awal disebut umat terbaik
karena sifat-sifat yang menghiasi diri mereka, yaitu tidak bosan-bosan menyeru
kepada hal-hal yang dianggap baik oleh masyarakat selama sejalan dengan
nilai-nilai Allah (al-ma’ruf) dan mencegah kemunkaran. Selanjutnya Shihab
menjelaskan, kaum Muslim awal menjadi “khairu ummah” karena mereka
menjalankan amar ma’ruf sejalan dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya.1
Perujukan terhadap masyarakat Madinah sebagai tipikal masyarakat
ideal bukan pada peniruan struktur masyarakatnya, tapi pada sifat-sifat yang
menghiasi masyarakat ideal ini. Seperti, pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar
yang sejalan dengan petunjuk Ilahi, maupun persatuan yang kesatuan seperti
yang tertera pada surat Al-Imran ayat 105 yang berbunyi:
َ ‫اختَلَفُ ْوا ِم ْۢ ْن بَ ْع ِد َما ََجا ََء ُُه ُُم ْالَبَ ِِّيٰنُتُ َواُولِٕىَكَ لَ ُُه ُْم‬
َ ٌ‫َعذَاب‬
‫َع ِظ ِّْي ٌُم‬ ْ ‫َو ََل ت َ ُك ْونُ ْوا َكالَّ ِذيْنَ تَفَ َّرقُ ْوا َو‬
Terjemah Kemenag 2002
105. Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai
berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan
Mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang berat,2

Adapun cara pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar yang direstui Ilahi
adalah dengan hikmah, nasehat, dan tutur kata yang baik sebagaimana yang
tercermin dalam QS an-Nahl ayat 125.
‫س ُن ا َِّن َربََّكَ ُُه َو ا َ َْعلَ ُُم‬ َ ‫سٰنَ ِة َو ََجاد ِْل ُُه ُْم بِالَّتِ ْي ُه‬
َ ْ‫ِي اَح‬ َ ‫ظ ِة ْال َح‬َ ‫سَبِ ِّْي ِل َربَِكَ بِ ْال ِح ْك َم ِة َو ْال َم ْو َِع‬ ُ ‫ا ُ ْد‬
َ ‫ع اِلى‬
َ‫سَبِ ِّْي ِل ٖه َو ُُه َو ا َ َْعلَ ُُم بِ ْال ُم ُْهت َ ِديْن‬
َ ‫َع ْن‬ َ ‫بِ َم ْن‬
َ ‫ض َّل‬
Terjemah Kemenag 2002

1. Quraish Shihab, 2000, Tafsir Al Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,

Jakarta : Lentera hati, Hal. 185


2
125. Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan
pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari
jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.

Dalam rangka membangun “masyarakat madani modern”, meneladani


Nabi bukan hanya penampilan fisik belaka, tapi sikap yang beliau peragakan
saat berhubungan dengan sesama umat Islam ataupun dengan umat lain, seperti
menjaga persatuan umat Islam, menghormati dan tidak meremehkan kelompok
lain, berlaku adil kepada siapa saja, tidak melakukan pemaksaan agama, dan
sifat-sifat luhur lainnya.
Kita juga harus meneladani sikap kaum Muslim awal yang tidak
mendikotomikan antara kehidupan dunia dan akhirat. Mereka tidak
meninggalkan dunia untuk akhiratnya dan tidak meninggalkan akhirat untuk
dunianya. Mereka bersikap seimbang (tawassuth) dalam mengejar kebahagiaan
dunia dan akhirat. Jika sikap yang melekat pada masyarakat Madinah mampu
diteladani umat Islam saat ini, maka kebangkitan Islam hanya menunggu waktu
saja.
Masyarakat madani lebih dikenal dengan civil society. Pada tahun 1990-
an istilah civil society baru dikenal di masyarakat. Kemunculan wacana civil
society dalam banyak hal terkait erat dengan fenomena tentang kondisi sosial
politik global dan meluasnya proses demokratisasi di seluruh dunia pada sekitar
dasawarsa 1980-an, serta dinamika internal politik Indonesia.3 Fenomena itu
berawal daribangkitnya nasionalisme di Eropa timur dan Eropa Tengah yang
menandai tumbangnya rezim-rezim totalitarian yang kemudian disusul oleh
arus demokratisasi di berbagai kawasan, mulai Amerika Latin, tengah dan
sejumlah negara-negara di Afrika dan Asia. Wacana civil society kembali marak
diperbincangkan di Indonesia ketika terjadi perubahan kondisi sosial politik
yang disponsori oleh gerakan besar Reformasi. Seiring dengan proses
perubahan ini, akhirnya tercetuslah sebuah ide membentuk Masyarakat Madani
dalam perspektif ke-Indonesia-an. Ide ini menjadi isu sentral negara bangsa
kontemporer yang didukung oleh para elit politik Indonesia.4
Di kalangan publik, civil society diinterpretasi dan diadaptasi dalam
berbagai kosakata. Ada yang mengistilahkan dengan masyarakat madani,
masyarakat kewargaan, masyarakat warga, masyarakat utama, masyarakat sipil,
dan terakhir tetap menggunakan terminologi civil society, tanpa berupaya
menterjemahkannya lagi sebagaimana yang tetap digunakan dalam penelitian
ini. 5 Di antara beberapa penggunaan terminologi tersebut, secara sederhana
bisa ditemukan adanya dua kecenderungan pemikiran atau referensi besar
dalam perdebatan tentang wacana civil society di Indonesia. Yaitu Masyarakat
Sipil yang disintesakan dari pemikiran filsafat sosial Barat dan Masyarakat
Madani yang diderivasikan dari pemikiran sosial politik Islam. Berbagai kajian
pemikiran sosial politik Islam di Indonesia memang telah banyak
memperbincangkan tentang teori sosial dan konsep-konsep politik modern yang
erat kaitannya dengan civil society, seperti kajian tentang demokrasi, hubungan
negara dengan rakyatnya, posisi agama dan negara maupun civil society itu
3
Ahmad Baso, 1999, Civil Society Versus Masyarakat Madani: Arkeologi Pemikiran “civil society”
dalam Islam Indonesia, Bandung: Pustaka Hidayah, Hal.13
4
A.S. Hikam, Muhamad, 2000, Islam, Demokrasi dan Pemberdayaan. Jakarta: Erlangga, Hal 4-5
5
Ibid, Hal 45-46
sendiri. Namun demikian di antara kajian yang ada tentang civil society selama
ini, lebih bersifat teoritis dan banyak sekali kekurangan data empirik dan kajian
praktik historisitasnya. 6 Sehingga masih membuka kemungkinan untuk
melakukan kajian yang secara khusus membahas gagasan dan pemikiran sosial
politik Islam yang bisa mendorong terjadinya tranformasi bagi terwujudnya
civil society dalam realitas sejarah.
Berbicara mengenai masyarakat madani kita tidak akan lepas dari salah
satu tokoh penggagas dan pemikir tentang Masyarakat Madani yaitu Bapak
Nurcholis Madjid atau lebih dikenal dengan Caknur. Beliau merupakan tokoh
agama, sosial, dan politik. Banyak pemikiran-pemikirannya tentang agama
yang dihubungkan dengan kemoderenan, kehidupan sosial masyarakat, dan
salah satu pemikirannya yang paling tekenal adalah tentang masyarakat madani.
Indonesia merupakan negara yang begitu luas dengan dihuni masyarakat
yang memiliki karakter berbeda-beda, memiliki budaya, bahasa, agama, suku
yang beraneka ragam pula. Keanekaragaman tersebut sangat berpotensi besar
untuk kemajuan negara Indonesianya sendiri. Masyarakat yang berpotensi ini
seharusnya mampu mengoptimalkan pribadinya untuk kemudian hidup di
lingkungan masyarakat dan menciptakan masyarakat yang madani. Masyarakat
madani merupakan keadaan sempurna di mana potensi masyarakat tersalurkan
dan keadaan masyarakat yang sejahtera. Berdasarkan latar belakang tersebut
peneliti tetarik untuk melakukan sebuah penelitian dengan judul: “Konsep
Masyarakat Madani di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20 (Studi
Pemikiran Nurcholis Madjid tentang Masyarakat Madani)”

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat ditarik


permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana wacana tentang Masyarakat Madani di Indonesia di akhir abad
ke 20?
2. Bagaimana konsep pemikiran Nurcholis Madjid tentang Masyarakat
Madani?
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menelaah diskursus tentang Masyarakat Madani.
2. Mendeskripsikan konsep Nurcholis Madjid tentang Masyarakat Madani
di Indonesia di akhir abad ke 20.
Kegunaan penelitian ini diharapkan dapat :
1. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan: Dapat memberikan pemahaman
serta memperkaya khasanah keilmuan terhadap perkembangan
perkembangan masyarakat di Indonesia.
2. Bagi masyarakat luas: Memberikan sumbangan pemikiran kepada
masyarakat luas, berupa informasi secara teoritik-historis tentang
masyarakat madani.
3. Bagi peneliti: memberikan pemahaman tentang masyarakat madani dan
kehidupan sosial serta kontribusi pemikiran Nurcholis Majid (Cak Nur).

A. Landasan Teori/Kerangka Konseptual


Dilihat dari pekembangan sejarah konsep masyrakat madani yang
merujuk pada masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad.

Ahmad Baso, 1999, Civil Society Versus Masyarakat Madani: Arkeologi Pemikiran “civil society”
6

dalam Islam Indonesia, Bandung: Pustaka Hidayah, Hal.85


Masyarakat Madinah dianggap sebagai legistimasi historis ketidakbersalahan
pembentukan civil society dalam masyrakat modern. “Masyrakat Sipil” adalah
terjemahan dari civil society. Konsep civil society lahir dan berkembang dari
sejarah pergumulan barat. Cicero adalah orang Barat yang pertama kali
menggunakan kata “society civilis” dalam filsafat politiknya. Konsep civil
society pertama kali dipahami sebagai Negara (state).
Antara Masyarakat Madani dan Civil Society sebagaimana yang telah
dikemukakan di atas, masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk
menerjemahkan konsep di luar menjadi “Islami”. Menilik dari substansi civil
society lalu membandingkan dengan masyarakat Madinah yang dijadikan
pembenaran atas pembentukan civil society di masyarakat Muslim modern akan
ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara keduanya.
Untuk itu peneliti mengambil konsep pemikiran Nurcholis Madjid
tentang Masyarakat Madani untuk diterapkan di Indonesia yang memiliki
berbagai macam keanekaragaman dari mulai suku, bahasa, budaya dan agama
menandakan bahwa bangsa Indonesia memiliki potensi besar untuk jauh lebih
maju. Masyarakat yang merupakan subjek dari kemajuan suatu bangsa perlu
diperhatikan agar ia mampu menempatkan dirinya di masyarakat sehingga ia
mampu menciptakan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.
Pemikiran Nurcholis Madjid yang ingin negara Indonesia dan
masyarakatnya menjadi negara dan masyarakat yang demokratis ini, dituangkan
dalam ide-ide dan pemikirannya. Berhubungan dengan masyarakat madani atau
civil society, pemikiran Nurcholis Madjid terhadap masyarakat ini memiliki
pengaruh besar. Eksistensi dari civil society yang saat ini mulai semakin
melemah, sementara eksistensi civil society ini merupakan salah satu dari
beberapa hal yang memegang peran penting dalam terwujudnya masyarakat
demokratis.
Kerangka pemikiran ini akan menjadi landasan untuk penyusunan
penelitian yang membahas pemikiran Nurcholis Madjid tentang Masyarakat
Madani dan bagaimana latarbelakang dirinya sebagai seorang cendekiawan
muslim, politikus, serta memiliki pemikiran-pemikiran yang idealis yang
kemudian mempengaruhi pemikirannya tentang konsep masyarakat yang
madani.
Penelitian ini menggunakan metode sejarah dengan langkah-langkah:

1. Heuristik
Tahapan penelitian untuk menemukan sumber-sumber sejarah yang
keterkaitan dengan pokok bahasan penelitian. Adapun cara mengumpulkan
sumber sejarah yaitu:
a. Penelitian pustaka
Penelitian ini merupakan library research dengan bentuk deskriptif
analitis dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan
karena fokus penelitian menitikberatkan pada bagian konseptual yang
berupa konsep pemikiran Nurcholis tentang masyarakat madani. Oleh
karena itu, data yang akan dihimpun merupakan data-data kepustakaan yang
representative dan relevan dengan obyek kajian. Metode yang penulis
gunakan untuk memperoleh data tentang pemikiran Nurcholis Majid,
dengan menggunakan pendekatan historis.

b. Wawancara
Wawancara ini dilakukan kepada narasumber yang memahami
tentang wacana pemikiran dan konsep masyarakat madani yang digulirkan
oleh Nurcholis Madjid pada akhir abad 20.
c. Metode observasi
Metode ini dilakukan untuk memperoleh informasi dengan cara
turun langsung ke lapangan. Pada metode ini peneliti akan meninjau tempat
tempat yang menjadi studi kajian tentang pemikiran Nurcholis Madjid
2. Tahapan Verifikasi
Pada tahapan ini peneliti akan melakukan penyeleksian data-data yang
sudah diperoleh, sebagai upaya untuk mendapatkan data yang objektif.
3. Tahapan Interpretasi
Tahapan ini merupakan penafsiran dari sumber-sumber sejarah yang
sudah dikumpulkan, yang terkait dengan pembahasan yang sedang dikaji.
4. Tahapan Historiografi
Tahapan ini merupakan tahapan akhir, yakni peneliti akan menyajikan
hasil dari penelitian ke dalam tulisan yang tersusun secara sistematis.

Berdasarkan judul penelitian yaitu “Konsep Masyarakat Madani Di


Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20 (Study Pemikiran Nurcholis Madjid tentang
Masyarakat Madani)” maka diperlukan penjelasan yang berkaitan dengan
masyarakat madani dan pemikiran Nurcholis Madjid. Berikut akan dijelaskan
pengertian masyarakat, bentuk-bentuk masyarakat, proses terbentuknya
masyarakat dan macam-macam masyarakat.
Manusia merupakan mahluk hidup yang tidak bisa lepas dari manusia
lainnya dan lingkungan sekitarnya (masyarakat). Sejak lahir manusia sudah
hidup bersosial-masyarakat. Masyarakat memiliki pengertian kelompok
manusia yang hidup bersama dan yang menghasilkan kebudayaan. Dengan
demikian, tak ada masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan dan sebaliknya
tak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya.
Masyarakat berasal dari bahasa Arab “syaraka” yang berarti ikut serta, berpartisipasi, atau
“masyaraka” yang berarti saling bergaul. Di dalam bahasa Inggris dipakai istilah
“society”, yang sebelumnya berasal dari kata lain “socius” berarti “kawan”. Masyarakat
juga bisa diartian sebagai sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem, dimana
sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok
tersebut. Kata “masyarakat” sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab “musyarak“.
Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar
makhluk sosial. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling
tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu
sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia masyarakat dibagi menjadi
beberapa bagian yang mempunyai arti antara lain: Masyarakat adalah pergaulan
hidup manusia, sehimpunan manusia yang hidup bersama dalam sesuatu tempat
dengan aturan ikatan-ikatan yang tentu. Bermasyrakat adalah merupakan
masyarakat yang bersekutu. Permasyarakatan adalah lembaga yang mengurus
orang hukuman. Kemasyarakatan adalah mengenai masyarakat, sifat-sifat atau
hal masyarakat, mendefinisikan masyarakat (society) sebagai berikut :“Setiap
kelompok manusia yang telah hidup dan bekerjasama cukup lama, sehingga
mereka dapat mengatur dan menganggap diri mereka sebagai satu kesatuan
sosial dengan batas-batasnya yang jelas“. David mendefinisikan masyarakat
sebagai berikut: “Masyarakat adalah suatu kumpulan manusia yang berinteraksi
yang aktivitas-aktivitasnya terarah pada tujuan-tujuan yang sama dan yang
cenderung memiliki sistem kepercayaan, sikap serta bentuk kegiatan yang
sama”. “Masyarakat adalah menitikberatkan pada aspek hubungan antar
manusia dan proses timbal baliknya”.7
Masyarakat, dalam arti yang luas, berarti sekelompok manusia yang
memiliki kebiasaan, ide dan sikap yang sama, hidup di daerah tertentu,
menganggap kelompoknya sebagai kelompok sosial dan berinteraksi.8
Pengertian Masyarakat menurut para ahli:
 Koentjaraningrat
Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut
suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu, dan yang terikat oleh
suatu rasa identitas bersama.
 Selo Soemardjan
Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama, yang
menghasilkan kebudayaan.
 Paul B. Horton & C. Hunt
Masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup
bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu,
mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di
dalam kelompok / kumpulan manusia tersebut.
 L Gillin dan J.P Gillin
Masyarakat adalah kelompok manusia yang terbesar dan mempunyai
kebiasaan, tradisi, sikap, dan perasaan persatuan yang sama.
 Emile Durkheim
Masyarakat adalah suatu sistem yang dibentuk dari hubungan antar
anggota sehingga menampilkan suatu realitas tertentu yang mempunyai ciri-
cirinya sendiri.
 Karl Marx
Masyarakat adalah suatu struktur yang menderita suatu ketegangan
organisasi atau perkembangan akibat adanya pertentangan antara kelompok-
kelompok yang terbagi secara ekonomi.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat adalah
manusia yang hidup bersama di suatu wilayah tertentu dalam waktu yang cukup
lama yang saling berhubungan dan berinteraksi dan mempunyai kebiasaan,
tradisi, sikap, dan perasaan persatuan yang sama.
Masyarakat menurut Ferdinan Toennis, berpendapat bahwa masyarakat
adalah karya ciptaan manusia sendiri. Masyarakat bukan organism yang
dihasilkan oleh proses-proses biologis.Juga bukan mekanisme yang terdiri dari
bagian-bagian individual yang masing-masing berdiri sendiri, sedang mereka
didorong oleh naluri-naluri spontan yang bersifat menentukan bagi manusia.
Masyakarat adalah usaha manusia untuk mengadakan dan memelihara relasi-
relasi timbal balik yang mantap, kemauan manusia mendasari masyarakat.
Sejarah masyarakat madani atau masyarakat sipil lahir pertama kalinya
dalam perjalanan politik masyarakat sipil di barat. Istilah masyarakat sipil luas
dengan istiliah Civil Society yang didefenisikan oleh para ahli bahwasanya
karakter dari masyarakat sipil sebagai komunitas sosial dan politik pada

7
(Krech, Crutcfield dan Ballachey, 1962: 308). Kellehear, 1990; Kuper,
1987; Mack dan Young, 1968; Mitchell, 1989
8
ArifinTajul. 2008. “Ilmu Sosial Dasar”. Bandung: Gunung Djati Press. Hal.
45
umumnya memiliki peran dan fungsi yang berbeda dengan lembaga negara.
Istilah “Masyarakat Madani” dimunculkan pertama kalinya di kawasan asia
tenggara oleh Cendikiawan Malaysia yang bernama Anwar Ibrahim.
Masyarakat madani berbeda dengan masyarakat civil barat yang beriorientasi
penuh pada kebebasan individu. Menurut mantan Perdana Mentri Malaysia itu
Masyarakat Madani adalah sistem sosial yang tumbuh berdasarkan prinsip
moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dan mayarakat
yang berupa pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintahan yang berdasarkan
undang-undang dan bukan nafsu keinginan individu. Ia juga mengatakan
masyarakat madani memiliki ciri-ciri yang khas yaitu kemajemukan
kebudayaan (Multicultural), Hubungan timbal balik (Reprocity) dan sikap yang
saling memahami dan menghargai. Anwar Menjelaskan watak masyarakat
madani yang ia maksud adalah guiding ideas, dalam melaksanakan ide-ide yang
mendasari keberadaanya yaitu prinsip moral, keahlian, kesamaan, musyawarah
dan demokratis.
Masyarakat Madani yang pertama kali dikenal di Indonesia atas pemikiran
Anwar ibrahim yang dikenal dengan istilah civil society yang kemudian
mendapat legitimasi dari beberapa pakar di Indonesia termasuk salah satunya
yaitu Nurcholis Madjid yang telah melakukan rekontruksi terhadap masyarakat
madani dalam artikelnya menuju masyarakat madani. 9 Kemudian istilah
masyarakat madani ini mulai dikenal dan semakin banyak disebut oleh kalangan
intelektual seperti Emil Salim, Amien Rais, Abdurrahman Wahid dan lain-lain.
Menurut Abdurahman Wahid bahwa masyarakat madani Civil Society
adalah sebuah wacana atau diskursus.10Sebagai sebuah diskursus, pembahasan
ini terkait dengan diskursus-diskursus sosial (sosial discourse) dan praktik-
praktik iskursif (discoursive practices) sebagai bagian dari perjuangannya. Civil
society adalah sebuah harapan atau bisa juga dikatakan sebagai sebuah teori
tentang masyarakat yang dicita-citakan. Perjuangan untuk mewujudkannya akan
selalu terkait dengan praktik-praktik diskursif dalam masyarakat. Wacana yang
dominan selalu menekankan perbincangan lain melalui pengetahuan dan institusi
sosial. Tetapi wacana yang dominan tidak sepenuhnya terlindungi dari fenomena
persaingan. 11 Demikian pula pemikiran Abdurrahman Wahid. Sebagai sebuah
wacana, ia akan selalu terkait dengan diskursus-diskursus sosial dan praktik-
praktik diskursif sebagai bagian dari yang dipengaruhi dan yang mempengaruhi
perjuangan dan pemikirannya.
Dalam Pandangan islam pada kata masyarakat madani terdapat kata
kunci pada konsep masyarakat madani (civil society), yakni kata “ummah” dan
“madinah”. Dua kata kunci yang memiliki eksistensi kualitatif inilah yang
menjadi nilai-nilai dasar bagi terbentuknya masyarakat madani.Kata “ummah”
misalnya, yang biasanya dirangkaikan dengan sifat dan kualitas tertentu, seperti
dalam istilah-istilah ummah Islamiyah, ummah Muhammadiyah, khaira ummah
dan lain-lain, merupakan pranata sosial utama yang dibangun oleh Nabi

9
Sufyanto, Masyarakat Tamaddun: Kritik Hermeneutis Masyarakat Madani
Nurcholis Madjid, Jogjakarta, Pustaka Pelajar, 2001.
10
Ahmad Baso, Civil Society Versus Masyarakat Madani: Arkeologi
Pemikiran Civil Society dalam Islam Indonesia (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999),
44
11
Soerjono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Press,
1995), 30-31.
Muhammad SAW segera setalah hijrah di Madinah.12“Ummah” dalam bahasa
arab menunjukan pengertian komunitas keagamaan tertentu, yaitu komunitas
yang mempunyai keyakinan keagamaan yang sama. Secara umum, seperti
disyaratkan al-Qur’an, “ummah” menunjukan suatu komunitas yang
mempunyai basis solidaritas tertentu atas dasar komitmen keagamaan, etnis,
dan moralitas.
Nabi Muhammad SAW melakukan penataan negara tersebut, dengan
cara : (1) membangun infrastruktur negara dengan masjid sebagai simbol dan
perangkat utamanya. (2) menciptakan kohesi sosial melalui proses
persaudaraan antara dua komunitas yang berbeda, yaitu Quraisy dan Yatsrib,
serta komunitas Muhajirin dan Anshar dalam bingkai
solidaritas keagamaan. (3) membuat nota kesepakatan untuk
hidup berdampingan dengan komunitas lain, sebagai sebuah masyarakat
pluralistik yang mendiami wilayah yang sama, melalui Piagam Madinah. (4)
merancang sistem negara melalui konsep jihad fi sabilillah (berjuang di jalan
Allah). Dengan dasar ini, negara dan masyarakat Madinah yang dibangun oleh
Nabi Muhammad SAW merupakan negara dan masyarakat yang kuat dan solid.
Peristiwa hijrah telah menciptakan keberagaman penduduk Madinah. Penduduk
Madinah tidak terdiri dari Suku Aus, Khazraj dan Yahudi saja, tetapi
juga Muhajirin Quraisy dan suku-suku Arab lain. Nabi SAW menghadapi
realitas pluralitas, karena dalam struktur masyarakat Madinah yang baru
dibangun terdapat beragam agama, yaitu: Islam, Yahudi, Kristen, Sabi’in, dan
Majusi—ditambah ada pula yang tidak beragama (atheis) dan bertuhan banyak
(polytheis). Struktur masyarakat yang pluralistik ini dibangun oleh
Nabi SAW di atas pondasi ikatan iman dan akidah yang nilainya lebih tinggi
dari solidaritas kesukuan (ashabiyah) dan afiliasi-afiliasi lainnya.
Selain itu, masyarakat pada saat itu terbagi ke dalam beberapa kelompok
yang didasarkan atas ikatan keimanan, yaitu: mu'minun, munafiqun, kuffar,
musyrikun, dan Yahudi. Dengan kata lain, masyarakat Madinah pada saat itu
merupakan bagian dari komunitas masyarakat yang majemuk atau plural.
Kemajemukan masyarakat Madinah diawali dengan membanjirnya kaum
Muhajirin dari Makkah, hingga kemudian mengakibatkan munculnya
persoalan-persoalan ekonomi dan kemasyarakatan yang harus diantisipasi
dengan baik. Dalam konteks itu, sosialisasi sistem persaudaraan menjadi
kebutuhan mendesak yang harus diwujudkan. Untuk mengatasi persoalan
tersebut, Nabi Muhammad SAW bersama semua unsur penduduk madinah
secara konkret meletakkan dasar-dasar masyarakat Madinah yang mengatur
kehidupan dan hubungan antar komunitas, yang merupakan komponen
masyarakat majemuk di Madinah. Kesepakatan hidup bersama yang dituangkan
dalam suatu dokumen yang dikenal sebagai “Piagam Madinah” (Mitsaq al-
Madinah) dianggap sebagai konstitusi tertulis pertama dalam sejarah manusia.
Piagam ini tidak hanya sangat maju pada masanya, tetapi juga menjadi satu-
satunya dokumen penting dalam perkembangan konstitusional dan hukum di
dunia. Dalam dokumen itulah umat manusia untuk pertama kalinya
diperkenalkan, antara lain, kepada wawasan kebebasan, terutama di bidang
agama dan ekonomi, serta tanggung jawab sosial dan politik, khususnya
pertahanan secara bersama. Dalam piagam tersebut juga ditempatkan hak-hak

12
Warson M, Ahmad, 1984, “Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia”, Yogyakarta: Pondok Pesantren
“Al-Munawir”. Hal.95
individu, yaitu kebebasan memeluk agama, persatuan dan kesatuan,
persaudaraan (al-ukhuwwah) antaragama, perdamaian, toleransi, keadilan (al-
'adalah), tidak membeda-bedakan (anti diskriminasi), dan menghargai
kemajemukan.
Dalam konstitusi Piagam Madinah, secara umum masyarakat berada
dalam satu ikatan yang disebut ummah. Yaitu suatu masyarakat yang terdiri dari
berbagai kelompok sosial yang disatukan dengan ikatan sosial dan kemanusiaan
yang membuat mereka bersatu menjadi ummah wahidah. Oleh karena itu,
perbedaan agama bukan merupakan penghambat dalam mencipatakan suasana
persaudaraan dan damai dalam masyarakat plural. Muhammad Abduh dalam
tafsirnya, al-Manar, mengakui bahwa agama bukanlah satu-satunya faktor
ikatan sosial dalam suatu umat, melainkan ada faktor universal yang
dapat mendukung terwujudnya suatu umat, yaitu unsur kemanusiaan.
Karenanya unsur kemanusiaan sangat dominan dalam kehidupan manusia
sebagai makhluk sosial atau makhluk politik. Demikian juga Muhammad
Imarah, dalam karyanya berjudul Mafhum al-Ummah fi Hadharat al-Islam,
menyatakan bahwa umat yang dibentuk oleh Nabi Muhammad SAW di
Madinah merupakan umat yang sekaligus bersifat agama dan politik.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa umat yang dibentuk Nabi
Muhammad SAW di kota Madinah bersifat terbuka, karena Nabi mampu
menghimpun semua komunitas atau golongan penduduk Madinah, baik
golongan yang menerima risalah tauhid beliau maupun yang menolak.
Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa sebenarnya
masyarakat madani yang bernilai peradaban itu dibangun setelah Nabi
Muhammad SAW melakukan reformasi dan transformasi pada individu yang
berdimensi akidah, ibadah, dan akhlak. Dalam praktiknya, iman dan
moralitaslah yang menjadi landasan dasar bagi Piagam Madinah. Prinsip-
prinsip dan nilai-nilai tersebut menjadi dasar bagi semua aspek kehidupan, baik
politik, ekonomi, dan hukum pada masa Nabi SAW.
Masyarakat Madinah yang dibangun Nabi SAW itu sebenarnya identik
dengan civil society, karena secara sosio-kultural mengandung substansi
keadaban atau peradaban. Nabi SAW menjadikan masyarakat Madinah pada
saat itu sebagai classless society (masyarakat tanpa kelas), yaitu tidak
membedakan antara si kaya dan si miskin, atasan dan bawahan, namun, semua
sama dimata hukum. Dari uraian di atas, secara terminologis masyarakat madani
yang berkembang dalam konteks Indonesia setidaknya berada dalam dua
pandangan, yakni, masyarakat Madinah dan masyarakat sipil (civil society).
Keduanya tampak berbeda, tetapi sama. Berbeda, karena memang secara
historis keduanya mewakili budaya yang berbeda, yakni masyarakat Madinah
yang mewakili historis peradaban Islam. Sedangkan masyarakat sipil adalah
hasil dari peradaban Barat, seperti telah dipaparkan di atas. Perbedaan lainnya,
masyarakat Madinah menjadi tipe ideal yang sangat sempurna, karena
komunitas masyarakat dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad SAW.
Apabila masyarakat madani diasosiasikan sebagai penguat peran masyarakat
sipil, maka masyarakat madani hanya bertahan di era empat al-Khulafa’ al-
Rasyidun. Setelah itu, masyarakat Islam kembali kepada masa monarki, di mana
penguasaan negara (state power) kembali menjadi besar, dan peran masyarakat
(society participation) menjadi kecil. Oleh sebab itu, ketiga prinsip yang
dikemukakan di atas, dapat dikatakan sebagai elemen penting terbentuknya
“masyarakat madani”, yaitu masyarakat yang memegang teguh ideologi yang
benar, berakhlak mulia, bersifat mandiri secara kultural-politik-ekonomi,
memiliki pemerintahan sipil, memiliki prinsip kesederajatan dan keadilan, serta
prinsip keterbukaan.
Secara historis kelembagaan civil society muncul ketika proses proses
tranformasi akibat modernisasi terjadi dan menghasilkan pembentukan sosial
baru yang berbeda dengan masyarakat tradisional. Hal ini dapat ditelaah ulang
ketika terjadi perubahan sosial pada masa kolonial, utamanya ketika kapitalisme
mulai di kenalkan oleh Belanda. Hal itu telah mendorong terjadinya
pembentukan sosial lewat proses industrialisasi, urbanisasi dan pendidikan
modern. Pada akhirnya muncul kesadaran dikalangan kaum elit pribumi yang
kemudian mendorong terbentuknya organisasi sosial modern diawal abad ke 20,
gejala ini menandai mulai berseminya masyarakat madani.
Pada tahun 1980-an terjadi perubahan politik yang cukup signifikan
yang dipandang sebagai proses demokratisasi dan perkembangan masyarakat
madani di Indonesia. Kalangan muslim yang sebelumnya berada dimargin
politik mulai berani masuk ketengah kekuasaan dan pada saat yang sama proses
demokratisasi menemukan hal yang baru dan katup yang membendung proses
demokratisasi mulai terbuka terbukti dengan maraknya gerakan prodemokrasi.
Turunnya rezim Soeharto dan munculnya orde baru menunjukkan
proses rekonstruksi politik, ekonomi, sosial dan membawa dampak bagi
perkembangan masyarakat madani di Indonesia. Pada tataran sosial ekonomi
akselerasi pembangunan melalui industrialisasi telah berhasil menciptakan
pertumbuhan ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya dan mendorong
terjadinya perubahan struktur sosial masyarakat Indonesia yang diandaidengan
bergesernya pola-pola kehidupan masyarakat agraris.
Berakhirnya rezim orde baru dibawah pimpinan Soeharto yang
memerintah dengan memperkuat posisi negara disegala bidang yang
menyebabkan merosotnya kemandirian dan partisipasi masyarakat sehingga
menyebabkan kondisi dan pertumbuhan masyarakat madani menampilkan
beberapa produk. Misalnya dengan semakin berkembangnya kelas menengah
seharusnya semakin mandiri sebagai keseimbangan kekuatan negara
sebagaimana yang terdapat dinegara kapatalis Barat, tetapi kenyataannya kelas
menengah yang tumbuh masih bergantung kepada negara.
Pemerintahan orde baru yang telah menghilangkan kekuatan
kebhinekaan dan mencoba menggusur suatu masyarakat yang uniform sehingga
terciptalah suatu struktur kekuasaan yang sangat sentralistik dan birokratik
yang menyebabkan disintegrasi bangsa Indonesia karena dalam usaha menekan
persatuan yang mengesampingkan perbedaan melalui cara-cara represif yang
berakibat mematikan inisiatif dan kebebasan berfikir serta bertindak dalam
pembangunan bangsa. Maka era reformasi yang mempunyai cita-cita
pengakuan kebhinekaan sebagai modal bangsa Indonesia dalam rangka untuk
menciptakan masyarakat madani yang menghargai perbedaan sebagai kekuatan
dan sebagai identitas bangsa yang secara kultural dinilai sangat kaya dan bervari
Dalam konteks ini jelas sekali bahwa Masyarakat Madani adalah
masyarakat yang berbudi luhur atau berahklak mulia, mengacu pada pola
kehidupan masyarakat berkualitas dan berperadaban (mutamaddin, civility).
Nurcholis Madjid mampu mendeskripsikan istilah ini dalam perspektif
keindonesiaan dengan sangat aspiratif. Subtansif dan fungsional. Menurut
Nurcholis Madjid banyak sekali istilah perpolitikan di indonesia pada tataran
tinggi tingkat konseptualnya dipinjam dari istilah bahasa Arab, semisal istilah-
istilah hukum, hakim, mahkamah, adil, aman, tertib, makmur, dan lain-lain.
Sekarang ini padanan istilah masyarakat madani juga sudah mengindonesia,
sehingga sama sekali tidak beralasan untuk memahami sebagai sebuah konsep
yang eksklusif.
Fenomena masyarakat madani bukanlah seperti kehidupan masyarakat
urban industri “primitif” seperti sekarang ini yang bercirikan masyarakat yang
dilukiskan sebagai kota yang penduduknya tidak saling mengenal, melainkan
masyarakat yang akrab, rukun dan penuh semangat kerjasama sebagaimana
yang diidealkan tentang masyarakat pedesaan. Prespektif masyarakat madani
di Indonesia dapat dirumuskan secara sederhana, yaitu membangun
masyarakat yang adil, terbuka dan demokratis, dengan landasan taqwa kepada
Allah dalam arti semangat Ketuhanan Yang Maha Esa. Ditambah lagi dengan
legalnya nilai-nilai hubungan sosial yang luhur, seperti toleransi dsan
pluralisme yang menjadi kelanjutan dari nilai-niali keadaban (tamaddun).
Kehidupan sosial yang berarti kehidupan bermasyarakat, bedemokrasi
dan masyarakat yang ideal seperti yang dicita-citakan dalam masyarakat madani
menurut presfektif Nurcholis Madjid. Nurcholish Madjid seperti menjadi
sebuah icon (tanda) bagi gagasan masyarakat madani. Walaupun telah melalui
perdebatan yang panjang, masyarakat madani atau civil society merupakan
sebuah titik kulminasi dari perjalanan panjang intelektualnya. Sebuah cita-cita
untuk membentuk masyarakat ideal dengan tatanan masyarakat yang
mencontoh pola kehidupan masyarakat Madinah di bawah kepemimpinan
Rasulullah SAW.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dari beberapa kajian-kajian tentang
pemikiran Nurcholis Madjid terhadap masyarakat madani pada abad ke-20 dan
kaitannya dalam kehidupan sosial maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Pada Hakikatnya masyarakat madani ialah sebuah masyarakat yang ideal.
Di Indonesia dengan segala kemajemukannya dan kultur serta agama yang
mungkin akan menjadi pembahasan panjang untuk menerapkan konsep
masyrakat madani dalam sudut pandang hukum agama tertentu, walaupun
hakikatnya masyarakat madani yang dicita-citakan ialah masyarakat yang
adil, bijaksana, makmur dan sejahtera.
2. Pelaksanaan konsep masyarakat madani Menurut Nurcholis Madjid secara
keseluruhan konsep masyarakat madani jika dapat di terapkan di Indonesia
harus dimulai dari dunia pendidikan formal maupun informal. Masyarakat
madani juga adalah harapan besar masyarakat Indonesia tapi hanya menjadi
dongeng negeri di atas langit untuk saat ini karena negara yang diharapkan
menjadi penegak atau penjalan struktural terkadang masih memberi cacat di
sebagian kalangan rakyat indonesia. Selain itu, konsep masyarakat madani
menurut Nurcholis Madjid belum sepenuhnya dapat diterapkan di indonesia
karena masyarakat madani seutuhnya adalah terciptanya masyarakat yang
demokratis, adil, sejahtera, dan memiliki tatanan sosial yang baik. Pada
kenyataannya di Indonesia meskipun sudah diterapkan masyarakat yang
demokratis seperti yang ada dalam pemikiran Nurcholis Madjid namun
keadilan dan kesejahteraan belum sepenuhnya tercipta.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul, Munir. 1998. Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisi Pesantren (Religiusitas
Iptek),. Yogjakarta: Pustaka Pelajar
Arifin, Tajul 2008. “Ilmu Sosial Dasar”. Bandung: Gunung Djati Press.
Arsyad, Sitanala. 2010. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press.
A.S. Hikam, Muhamad. 2000. Islam, Demokrasi dan Pemberdayaan. Jakarta:
Erlangga.
Azra, Azyumardi.2003. Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM,
Masyarakat Madani. Jakarta: Tim ICCE UIN.
Baso, Ahmad. 1999. Civil Society Versus Masyarakat Madani: Arkeologi
Pemikiran “civil society” dalam Islam Indonesia. Bandung: Pustaka
Hidayah.
Hasbullah. 2013. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo Persada
Hatta, Ahmad. 2001. Peradaban yang Bagaimana? Rincian Misi Negara Tauhid
Madinah. http: // rully-indrawan.tripod.com pada tanggal 14 Desember
2016.
Ibrahim, Rustam. 1998. Civil Society dan LSM di Indonesia dalam Kastorius
Sinaga (ed) Menuju Masyarakat Madani. Jakarta: INPI-Pact
Iskandar.2009. Metodelogi Penelitian Pendidikan dan Sosial.Jakarta: GP Press
Kaelani.2000. Islam dan Aspek-Aspek Kemasyarakatan. Bumi
Aksara
Khaerudin, Akhmad. 2002. Membangun Sistem Masyarakat Islam (Study atas
Pemikiran Yusuf Qardhawi). Yogjakarta. Fakultas Dakwah UIN Sunan
Kalijaga
Majid, Nurcholis. 1998. Pikiran-Pikiran Nurcholis ‘Muda’ Islam Kerakyatan dan
KeIndonesiaan”. Jakarta: Mizan
Masykuri Abdillah, Endang Rudiatin. 2007. Dari Civil Society Ke Civil Religion.
MUI: Jakarta.
Rahardjo, Dawan. 1987. Islam dan Modernisasi: Catatan Atas Paham Sekularisasi
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung :
Mizan
Rahardjo,M. Dawam. 1996. Masyarakat Madani: Agama , Kelas Menengah dan
Perubahan Sosial. Jakarta: LP3ES
Ridwan, Nur Khalik. 2002. Pluralisme Borjuis: Kritik atas Nalar Pluralisme Cak
Nur. Yogyakarta: Galang press
Shihab, M. Quraish. 2000. Tafsir Al Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al
Quran. Jakarta: Lentera Hati
Sofyan, Ahmad A. 2001. Masyarakat Tamaddun: Kritik Hermeneutik
Masyarakat Madani Nurcholish Madjid. Yogyakarta: LP2IF dan Pstaka
Pelajar Offset
Syamsudin, Din. 2002. Etika Agama dalam membangun Masyarakat Madani.
Jakarta: Logos
Sanaky, Hujair A.H. 2002. Paradigma Pendidikan Islam : Membangun
Masyarakat Madani Indonesia. Yogyakarta: Safiria Insani Press
Warson M, Ahmad, 1984, “Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia”, Yogyakarta:
Pondok Pesantren “Al-Munawir”.
http://www.nasihudin.com/nurcholish-madjid-biografi-dan-perjalanan-
intelektual/84 diunduh tanggal 14 Desember 2014 pukul 21:57)
(Baruta, Imran. 2011. Masyarakat Tradisional dan Masyarakat Modern.
Dipublikasikan di http://imranuad.wordpress.com/2011/05/19/123/
diakses pada 21 Desember 2016)
(Pambudi, Angga Restu. 2011. Ciri-Ciri Masyarakat Tradisional dan Modern.
Dipublikasikan di http://anggarestupambudi.wordpress.com
/2011/11/17/ciri-ciri-masyarakat-tradisional-dan-modern/ diakses 21
Desember 2016)

Anda mungkin juga menyukai