Anda di halaman 1dari 64

SEVEN JUMP

Mata kuliah : Keperawatan Gawat Darurat II


Tingkat/Semester : 4/7

Perawat A menerima pasien yang dibawa oleh petugas kesehatan puskesmas PONED
menggunakan ambulance di gerbang ruang UGD pada tanggal 26 September 2019 jam 22.25
WIB. Pasien diturunkan dari ambulance oleh dua petugas kesehatan puskesmas PONED
tersebut dibantu oleh satpam UGD. Saat pasien diturunkan, Perawat A melihat pasien tampak
pucat pada wajah dan tangannya, diam, lemah, berkeringat seluruh tubuh dan teraba basah
saat diraba, perutnya besar. Pasien dibawa ke ruangan Triage dan petugas kesehatan
puskesmas PONED melakukan handover pasien ke dokter jaga UGD. Petugas puskesmas
PONED menjelaskan data pasien sebagai berikut :
Nama pasien : Ny. Karomah, usia 39 tahun, alamat Desa Tuk RT 02/RW 06 Kec. Kedawung
Kab. Cirebon, G4P2A1, gestasi 32-33 minggu, ANC sudah 4 kali di bidan praktik swasta,
Pasien keluar darah warna merah segar dan cair sekitar 150 – 200 CC disertai air ketuban
pada jam 18.30 WIB dan pasien datang ke bidan praktik swasta saat itu. Bidan langsung
merujuk ke puskesmas PONED. Saat di puskesmas PONED dilakukan pemeriksaan, pasien
lemah dan pingsan sekitar 10 menit, TD= 90/60 mmHg, denyut nadi = 92 kali/menit, respirasi
16 kali/menit, darah keluar per vagina tidak disertai mules, DJJ 96 kali/menit, PUKA dan
kepala ada di fundus, TFU di pertengahan pusat – procesus xypoid, portio membuka 1-2 cm,
pasien diberikan oksigen 3 liter/menit, IVFD RL 30 gtt/menit. Pasien telah mendapatkan 2
labu RL sampai proses rujukan ke UGD ini. Belum mendapatkan terapi apapun dari
puskesmas. Saat dibawa dari puskesmas, pasien sadar dan lemah.
Dokter jaga menerima laporan tersebut dan petugas kesehatan Puskesmas PONED
meninggalkan ruangan UGD.
Perawat A melakukan pemeriksaan di ruang triage. Didapatkan data sebegai berikut :
Membuka mata spontan, tangan dan kaki tidak mampu menahan tekanan dari atas, suara
terdengar lirih saat menjawab perawat, pupil isokor, tampak pucat seluruh tubuh, TD = 90/60
mmHg, denyut nadi 98 kali/menit dan ireguler, repirasi 16 kali/menit reguler, suhu 35,9ºC,
terpasang nasal kanul dan oksigen 3 liter/menit, terpasang IVFD RL 24 gtt/menit pada
radialis dextra, CRT= 5 detik, keringat seluruh tubuh.
Pasien kemudian diperiksa oleh bidan dan hasil pemeriksaan lanjut didapatkan data sebagai
berikut :
terdapat darah segar pada pembalut dan terdapat rembesan cairan yang keluar pervaginam,
terdapat tampon pada genitalia, DJJ 102 kali/menit, TFU = tiga jari diatas umbilicus, PUKA,
kepala teraba di fundus, hasil PD : pembukaan 2-3 cm, portio kaku, tidak teraba jaringan,
pergerakan janin lemah.
STEP I
KATA KUNCI

1. PONED
2. Ambulance
3. UGD
4. Triage
5. Handover
6. ANC
7. DJJ
8. TFU
9. Gestasi
10. Pergerakanjanin
11. Perdarahanpervaginam

Jawaban Kelompok :
1. PONED (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Dasar). PONED ini ada di Puskesmas,
PONED digunakan untuk penanganan kegawatdaruratan pada persalinan.
2. Ambulance adalah kendaraan yang dilengkapi peralatan medis untuk mengangkut orang
sakit atau korban kecelakaan.
3. UGD adalah salah satu bagian dari rumah sakit, dimana UGD ini merupakan penanganan
awal bagi klien yang menderita sakit atau cedera.
4. Triage adalah perawatan terhadap pasien yang didasarkan pada prioritas pasien. Triage
juga adalah tingkatan klasifikasi pasien berdasarkan penyakit dan tingkat keparahan.
5. Handover adalah serah terima pasien dari pelayanan kesehatan pertama ke pelayanan
kesehatan yang lebih lengkap.
6. ANC (Antenatal Care) adalah pemeriksaan kehamilan oleh bidan atau dokter pada ibu
hamil yang tujuannya untuk mengaoptimalkan kesehatan mental dan fisik.
7. DJJ (denyut jantung janin) pemeriksaan DJJ dilakukan untuk mengetahui denyut jantung
janin, frekuensidenyutjantungbayi normal 120 – 160 x/menit.
8. TFU (Tinggi Fundus Uteri) pemeriksaan tinggi fundus uteri dapat dilakukan tenaga ahli
seperti bidan atau dokter.
9. Usia gestasi adalah periode waktu dimana antara konsepsi atau pembuahan dan kelahiran
normalnya usia gestasi yaitu 37-42 minggu.
10. Pergerakan janin adalah salah satu parameter kesehatan janin dalam kandungan,
pergerakan janin dapat dirasakan oleh ibu sejak usia kandungan 16 minggu.
11. Perdarahan pervaginam (perdarahan vagina abnormal) adalah keluarnya darah dari
STEP II
IDENTIFIKASI MASALAH

1. Apa saja yang tindakan yang dilakukan petugas kesehatan puskesmas PONED pada
kasus sebelum pasien dirujuk ke UGD?
2. Apa saja yang tindakan petugasponeddilakukan saat pasien berada di ambulance pada
kasus tersebut?
3. Pada saat di UGD, pasien tersebut masuk triage apa?
4. Apa tujuan dari pemeriksaan ANC?
5. Berapa nilai normal DJJ?
6. Bagaimana prosedur pemeriksaan TFU?
7. Kasus usia gestasi pasien 32-33 minggu, termasuk trimester berapa pasien tersebut?
8. Apa penyebab terjadinyaperdarahan pervaginam?
STEP III
ANALISIS MASALAH

1. Menurut kelompok, tindakan yang dilakukan oleh petugas puskesmas PONED pada
kasus tersebut adalah dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital, pemeriksaan DJJ,
pemeriksaan TFU, petugas kesehatan memberikan oksigen 3 liter/menit dan pemasangan
infus dengan cairan RL, dan pemeriksaan kala 1.Sedangkan menurut teori puskesmas
PONED harus mampu memberikan pelayanan seperti penanganan
preeklamsia,eklamsia,perdarahan, sepsis, asfiksia, kejang, ikterus, hipoglikemia,
hipotermia, tetanus neonatorum, trauma lahir, BBLR, sindrom gangguan pernafasan dan
kelainan kongenital. (Irianto,2015).Puskesmas PONED harus memiliki tenaga kesehatan
yang telah dilatih PONED yaitu tim PONED (1 dokter dan 2 paramedis). Pelayanan yang
dapat diberikan puskesmas PONED yaitu pelayanan dalam menangani kegawatdaruratan
ibu dan bayi :

a. Kemampuan untuk menangani dan merujuk hipertensi dalam kehamilan


(preeklamsia, eklamsia)

b. Tindakan pertolongan distosia bahu

c. Ekstraksi vakum pada pertolongan persalinan

d. Perdarahan post partum

e. Infeksi nifas

f. Bayi berat lahir rendah (BBLR)

g. Hipotermi

h. Hipoglikemia

i. Ikterus

j. Hiperbilirubinemia

k. Masalah pemberian minum pada bayi


l. Asfiksia pada bayi

m. Gangguan nafas pada bayi

n. Kejang pada bayi baru lahir

o. Infeksi neonatal dan persiapan umum sebelum tindakan kedaruratan obstetri-neonatal


antara lain kewaspadaan universal standar (Susyanty, 2016).
2. Menurut kelompok, tindakan yang dilakukan saat pasien di ambulance yaitu
memonitoring tanda-tanda vital pasien, memonitor cairan infus dan
oksigen.Sedangkanmenurut teori pasien selama berada di ambulance perawat atau tenaga
kesehatan harus memonitor tingkat kesadaran, pernapasan pada pasien, tekanan darah,
denyut nadi, dan daerah perlukaan yang berada pada pasien (Krisanty, 2013).
3. Menurutkelompok, pasienpadakasustersebutmasukketriagemerahkarenatanda-tanda vital
pasien TD 90/60,keluardarahpervaginam,keadaanpasienlemah,DJJ 96x/menit.
Sedangkanmenurutteori pasien pada kasus tersebut masuk ke trige merah karena trige
merah untuk pasien dengan kondisi yang berpotensi mengancam jiwa atau organ
sehingga membutuhkan pertolongan yang sifatnya segera dan tidak dapat ditunda
(Sutrisno, 2014). Pada kasus pasien mengalami perdarahan pervaginam dan kondisinya
menunjukkan pasien mengalami syok hipovolemik, serta pada janin pasien mengalami
gawat janin ditandai dengan DJJ 96 x/menit.
4. Menurut kelompok, tujuan dari pemeriksaan kehamilan yang dilakukan oleh dokter atau
bidan untuk mengoptimalkan kesehatan pada janin dan ibu hamil. Sedangkan menurut
teori tujuan ANC adalah menyediakan antenatal yang terpadu, komprehensif, serta
berkualitas, memberikan konseling kesehatan dan gizi ibu hamil, konseling KB dan
pemberian ASI; meminimalkan “missed opportunity” pada ibu hamil untuk mendapatkan
pelayanan antenatal terpadu, komprehensif dan berkualitas; mendeteksi secara dini
adanya kelainan atau penyakit yang di derita ibu hamil; dapat melakukan intervensi yang
tepat terhadap kelainan atau penyakit sedini mungkin pada ibu hamil; dapat melakukan
rujukan kasus ke fasilitas pelayanan kesehatan sesuai dengan sistem rujukan yang sudah
ada. Selain itu pemeriksaan kehamilan atau antenatal care juga dapat dijadikan sebagai
ajang promosi kesehatan dan pendidikan tentang kehamilan, persalinan, dan persiapan
menjadi orang tua (Novia, 2011).
5. Menurut kelompok, nilai normal DJJ yaitu 120 sampai 160. SedangkanmenurutteoriDJJ
normal ialah 110 sampai 160 denyut/menit (Prawirohardjo, 2012).
6. Menurut kelompok, prosedur pemeriksaan TFU yaitu dengan menggunakan jari dimulai
dengan pangkal atas perut sampai teraba kepala bayi. Sedangkan menurut teori
pengukuran tinggi fundus uteri adalah merupakan pemeriksaan palpasi abdomen, pada
pemeriksaan palpasi ini ada car menurut leopod I,II,III,IV dan atau cara kenebel.
Biasanya bila dilakukan pemeriksan tinggi fundus uteri dengan cara leopold I diteruskan
dengan leopold II,II,IV sekaligus perabaan gerakan janin dan pemeriksaan auskultasi
untuk mendengarkan denyut jantung janin. Pengukuran tinggi fundus arteri juga dapat
dilakukan pada posisi inu tidur terlentang, ibu diminta untuk berkemih seehingga
kandungan kemih dalam keadaan kosong. Titik 0 pada pengukurannya adalah tulang
sympisis pubis. Pemeriksaan dimulai dengan pemeriksaan leopold (Prawirohardjo,
2012).
7. Menurut kelompok usia gestasi 32-33 minggu pada kasus tersebut termasuk ke dalam
trimester ke tiga. Sedangkan menurut teori untuk usia gestasi 32-33 minggu masuk ke
trimester III, karena pada trimester III berlangsung pada minggu ke 28- hingga 40
(Prawirohardjo, 2012).
8. Menurut kelompok,pasien mengalami perdarahan pervaginam disebabkan karena faktor
usia pasien yang berusia 39 tahun. Menurut teori perdarahan pervaginam disebabkan
antara lain :
a. Abortus adalah pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar rahum,
sebagai batasan yaitu kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari
500 g.
b. Blighted ovum yaitu suatu kehamilan yang tidak berkembang sempurna,hanya
tumbuh kantung janin saja tanpa ada tanda-tanda pertumbuhan janin didalamnya.
c. Kehamilan ektopik yaitu kehamilan dengan implantasi yang terjadi di luar rongga
uterus, tuba fallopii merupakan tempat tersering terjadinya implantasi kehamilan
ektopik (lebih dari 90%)
d. Mola hidatidosa atau hamil anggur yaitu kehamilan yang tidak terdapat janin
didalamnya, melainkan hanya gelembung-gelumbung yang berisi darah, berwarna
merah keunguan(Muchtar,2012)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

DIAGNOSA
KEPERAWATAN
STEP IV
MIND MAPPING

ETIOLOGI PATOFISIOLOGI

Patofisiologi KPD
Adanya hipermotilitas rahim
yang sudah lama terjadi sebelum
ketuban pecah, selaput ketuban
DEFINISI telalu tipis, infeksi (amniotitis
KPD atau korioamnionitis), faktor-

GAWAT faktor yang menyerupai


JANIN predisposisi ialah : mutipara-
PARTUS malposisi disproprosi servik
PREMATUR incompeten, ketuban pecah dini
artisial (amniotomi) dimana
ketuban pecah terlalu dini.
Patofisiologi Gawat Janin
Ada beberapa kemungkinan
penyebab gawat janin, namun
biasanya gawat janin terjadi
karena beberapa mekanisme
yang
berkesinambungan.Penurunan
aliran darah plasenta akibat
kontraksi dapat menyebabkan
kompresi terhadap tali pusat
sehingga pada wanita yang
mengalami persalinan lama hal
ini dapat terjadi akibat abrupsio
plasenta, prolapse tali pusat
(terutama dengan presentasi
bokong), keadaan hipertonik
uterine dan penggunaan
oksitosin.Hipotensi dapat terjadi
akibat anastesi epidural atau
dapat mengurangi aliran darah
vena cava kembali ke jantung.
Penurunan aliran darah pada
hipotensi dapat menyebabkan
kegawatan pada janin.
MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi Patofisiologi Partus Prematur


KPD
Tanda dan gejala
ketuban pecah
dini yang terjadi
adalah keluarnya
cairan ketuban KETUBAN PECAH DINI
merembes
melalui vagina, GAWAT JANIN
aroma ketuban PARTUS PREMATUR
berbau amis dan
tidak berbau
amoniak,
mungkin cairan
tersebut masih
merembes atau
menetes, dengan
ciri pucat dan
bergaris warna
darah, cairan ini
tidak akan KOMPLIKASI KPD
berhenti atau
Komplikasi yang timbul akibat
kering kerana
ketuban pecah dini bergantung
tersu diproduksi
pada usia kehamilan. Dapat
sampai kelahiran
terjadi infeksi maternal ataupun
tetapi bila anda
neonatal, persalinan prematur,
duduk atau
hipoksia karena kompresi tali
berdiri kepala
pusat, deformitas janin,
janin yang sudah
meningkatnya insiden SC, atau
terletak dibawah
gagalnya persalinan normal.
biasanya
mengganjal.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

DIAGNOSA
KEPERAWATAN
DIAGNOSA KEPERAWATAN
INTERVENSI
Gangguan Perfusi
Gangguan Perfusi Jaringan
Jaringan
Meng-auskultasi denyut
Resiko Syok
jantung janin.
Hipovolemik
Kaji penyebab terjadinya
perdarahan

Monitor TTV.

Monitor kebutuhan
oksigen.

Elevasikan ekstremitas
bawah

Resiko Syok
Hipovolemik

Monitor jumlah dan sifat


kehilangan darah

Melakukan tirah baring.

Memposisikan klien
dengan tepat

Monitor tanda tanda vital


dan sianosis.

Memposisikan klien
dengan tepat.
Instruksikan untuk
telentang dan pangul di
tinggikan atau semi
fowler hindari posisi
trendelenburg.
Monitor tanda tanda vital
dan sianosis.

STEP V
LEARNING OBJEKTIF
Memantau aktivitas
uterus,
1. Mahasiswa mampu menganalisis definisi KPD, Gawat Janin, dan Partus Prematur
2. Mahasiswa mampu menganalisis etiologi KPD, Gawat Janin, dan Partus Prematur
3. Mahasiswa mampu menganalisis patofisiologi KPD, Gawat Janin, dan Partus
Prematur
4. Mahasiswa mampu menganalisis manifestasi KPD, dan Gawat Janin
5. Mahasiswa mampu menganalisis penatalaksanaan KPD, Gawat Janin, dan Partus
Anjurakan klien/
Prematur
keluargapasien untuk
6. Mahasiswa
melaporkan mampu menganalisis
segera bila ada faktor resiko KPD dan Gawat Janin
7. Mahasiswa mampu menganalisis
tanda-tanda perdarahan diagnosis Gawat Janin dan Partus Prematur
8. Mahasiswa
lebih banyak
mampu menganalisis cara menentukan, pengaruh, dan komplikasi
KPD
9. Mahasiswa mampu menganalisis Denyut Jantung Janin pada Gawat Janin
10. Mahasiswa mampu menganalisis pencegahan Partus Prematur
Kolaborasi mampu
11. Mahasiswa dengan dokter
menganalisis asuhan keperawatan gawat darurat pada pasien
dalam pemberian larutan
yang mengalami KPD, Gawat Janin, dan Partus Prematur.
intravena, ekspander
plasma, darah lengkap,
atau sel-sel kemasan
sesuai indikasi.

Monitor data hasil


penunjang medic dan
pelaporan nilai kritis

STEP VI
INFORMASI TAMBAHAN
Jurnal 1
A. Identitas jurnal

Judul Jurnal :Nursing Care Of Premature Rupture Of Membranes In


Pregnancy: Roy Adaptation Model

Nama Peneliti: Restuning Widiasih, Mira Trisyani, Ida Maryati, Tetti


Solehati, Yanti Hermayanti

Tahun : 2016

B. MASALAH
Premature rupture of membranees (PROM) adalah suatu kondisi yang berhubungan
dengan pecah spontannya selaput ketuban sebelum ada tanda-tanda persalinan aktif. Ini
meningkatkan risiko komplikasi pada kesehatan ibu dan janin. Dalam mencegah
berbagai komplikasi yang akan timbul akibat PROM, perawat harus menerapkan teori
atau model keperawatan yang tepat dalam mengembangkan rencana asuhan keperawatan.
Teori keperawatan dan model konseptual adalah pengetahuan keperawatan yang
mengatur kegiatan keperawatan, dan membimbing perawat dalam penelitian, praktik,
pendidikan, dan manajemen. Namun, di Indonesia, model keperawatan jarang digunakan
oleh praktisi perawat dan peneliti termasuk dalam periode perinatal. Tujuan artikel ini
adalah untuk menentukan penerapan teori adaptasi Roy dalam kasus ketuban pecah dini.
Penelitian ini adalah desain studi kasus. Ada 5 wanita hamil yang berpartisipasi dalam
penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penilaian berdasarkan dua
pendekatan model adaptasi yang diterapkan dalam penelitian ini, enam diagnosis
keperawatan diidentifikasi, dan semua rencana asuhan keperawatan telah dilaksanakan.
Konsep adaptasi sesuai dalam membantu pasien dengan ketuban pecah dini. Namun,
aspek sosial yang terkait dengan praktik budaya klien tidak dijelaskan dengan
jelas.Menggabungkan dua atau lebih teori dalam rencana asuhan keperawatan akan
bermanfaat bagi kesehatan dan kesejahteraan ibu dan bayinya.

C. METODE PENELITIAN
Studi kasus ini melibatkan 5 wanita hamil yang didiagnosis dengan ketuban pecah dini di
rumah sakit rujukan nasional. Studi kasus adalah desain penelitian dengan pendekatan
intensif dan detail yang berfokus pada kasus-kasus tertentu. Tahapan dalam penelitian ini
menerapkan 5 langkah asuhan keperawatan termasuk penilaian, diagnosis keperawatan,
rencana asuhan keperawatan, implementasi, dan evaluasi. Pedoman untuk asuhan
keperawatan pengembangan adalah teori adaptasi Roy. Penilaian dibagi menjadi dua
tahap, tahap pertama meliputi penilaian fisiologis, fungsi peran, konsep diri, dan saling
ketergantungan. Tahap kedua terdiri dari pemeriksaan fokus, rangsangan kontekstual dan
residual. Dan kemudian menciptakan diagnosis keperawatan, rencana tindakan, dan
menerapkan tindakan keperawatan, dan evaluasi.
D. HASIL
Bagian ini menyajikan hasil penerapan teori adaptasi Roy dalam 5 kasus wanita hamil
dengan PROM termasuk karakteristik responden, tahap penilaian, diagnosis
keperawatan, intervensi, implementasi, dan evaluasi.
E. IMPLEMENTASI DAN EVALUASI
Rencana Perawatan Perawat (NCP) telah dikembangkan dan diimplementasikan selama
3-5 hari. 4 dari 5 peserta melahirkan bayi mereka lebih awal dari tanggal perkiraan, itu
karena kesehatan janin semakin memburuk. Tidak ada indikasi komplikasi yang terjadi
pada ibu, seperti infeksi. Ibu dan keluarga telah memahami kondisi risiko PROM
termasuk pergerakan normal janin setiap hari, dan tanda dan gejala persalinan. Satu dari
lima janin meninggal setelah tanda-tanda vital terus menurun.
F. DISKUSI
Karakteristik peserta dalam penelitian ini bervariasi. Usia berkisar antara 20-26 tahun,
tingkat pendidikan minimum adalah sekolah menengah pertama dan maksimum adalah
Sarjana, yang sebagian besar berasal dari tingkat ekonomi yang rendah karena 4 dari 5
memperoleh subsidi asuransi kesehatan dari pemerintah Indonesia. Kondisi
sosialekonomi diidentifikasi sebagai faktor yang mempengaruhi ketuban pecah dini.
Meskipun penyebab pasti PROM belum ditemukan secara jelas, penurunan aktivitas
antibakteri dalam cairan ketuban dalam kelompok sosial ekonomi rendah mungkin
menjadi salah satu penyebab PROM (Hackenhaar, Albernaz, & da Fonseca, 2014).

Jurnal 2
A. Identitas jurnal
Judul Jurnal : Maternity Nurses Performance Regarding Late Ante Partum Hemorrhage:
An Educational Intervention
Nama Peneliti:Afaf Mohamed Mohamed Emam
Tahun : 2018
B. MASALAH
Perdarahan selama periode antepartum adalah keadaan darurat yang mengancam
jiwa bagi ibu dan / atau janin. Perdarahan antepartum lanjut terkait dengan peningkatan
risiko perdarahan postpartum, anemia, syok, berat badan lahir rendah, kematian janin
dalam kandungan, dan asfiksia lahir. Ini berkontribusi 15-20% dari kematian ibu di
duniadengan jelas. Menggabungkan dua atau lebih teori dalam rencana asuhan
keperawatan akan bermanfaat bagi kesehatan dan kesejahteraan ibu dan bayinya.
Perdarahan antepartum lanjut didefinisikan sebagai perdarahan dari saluran genital sejak
saat kelangsungan hidup kehamilan untuk kelangsungan hidup rahim ekstra hingga
kelahiran bayi APH merumitkan 0,5-5% kehamilan dan merupakan salah satu alasan
kunjungan rumah sakit darurat di antara wanita hamil. Penyebab utama APH adalah
plasenta previa dan solusio plasenta; Namun, penyebab pasti perdarahan dalam beberapa
kasus mungkin tidak dapat ditentukan. Dalam proporsi kecil di mana plasenta previa dan
solusio dikecualikan, penyebabnya mungkin terkait dengan lesi lokal serviks dan vagina,
misalnya, servisitis, erosi serviks, tumor genital, varises vulva dan pertunjukan berat dan
kadang-kadang janin asli misalnya, pecah vasa previa dan insersi kabel yang cepat.
Ante partum hemorrhage (APH) adalah salah satu kedaruratan kebidanan yang
paling serius dan merupakan penyebab utama kematian dan kesakitan ibu dan
perinatal. Ini mempengaruhi 2-5% kehamilan.Secara global, ini adalah penyebab utama
hampir seperempat dari semua kematian ibu. Di negara-negara berkembang termasuk
Mesir, ante partum hemorrhage adalah penyebab langsung utama kematian ibu. Secara
khusus, itu adalah penyebab penyebab 21,3% dari semua kematian ibu langsung di Mesir
2013. Karena morbiditas dan mortalitas yang signifikan terkait dengan APH. Perawat
bersalin adalah penyedia layanan kesehatan garis depan yang memiliki banyak tanggung
jawab untuk meningkatkan kesehatan wanita, mengurangi angka kesakitan dan
menyelamatkan hidup ibu. Ini dapat dicapai melalui peningkatan pengetahuan,
keterampilan teknis, selain pengambilan keputusan klinis dan penilaian. Karena itu,
sangat penting untuk berpartisipasi dalam perawat bersalin dalam intervensi
pendidikan. Pendekatan ini membuktikan untuk mempersiapkan perawat untuk
merespons secara kompeten dalam situasi darurat melalui manajemen yang cepat
dari APH terlambat .

C. METODE PENELITIAN
Desain Penelitian : Desain penelitian eksperimental semu digunakan (desain pre / post-
test), kelompok tunggal dipelajari untuk memenuhi tujuan penelitian ini.
Pengaturan : Penelitian ini dilakukan di departemen kebidanan dan ginekologi
di Rumah Sakit Universitas Benha.
Sampel: Semua perawat yang bekerja di pengaturan yang disebutkan di atas pada saat
pengumpulan data dan setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian dimasukkan. Jumlah
total adalah (64) perawat bersalin.
Alat pengumpulan data:dua alat digunakan untuk mengumpulkan data
Alat I: Jadwal Wawancara Terstruktur: Ini dirancang oleh para peneliti setelah
meninjau literatur terkait. Itu ditulis dalam bahasa Arab dalam bentuk pertanyaan tertutup
dan terbuka. Ini mencakup dua bagian utama :
Bagian I: termasuk data sosio-demografis dari sampel yang diteliti seperti usia,
kualifikasi, tahun pengalaman di departemen kebidanan dan ginekologi dan kehadiran
kursus pelatihan tentang manajemen APH yang terlambat.
Bagian II: Penilaian pengetahuan perawat bersalin tentang keterlambatan APH: Bagian
ini digunakan sebelum dan setelah implementasi program intervensi pendidikan (format
pra / pasca-tes), termasuk tiga puluh enam pertanyaan pilihan ganda yang dibagi menjadi
empat bagian;
Bagian (1) pengetahuan tentang definisi dan kejadian late ante partum, terdiri dari (6)
item (definisi dan kejadian pendarahan partum terlambat ante, definisi dan kejadian
plasenta previa, definisi dan kejadian abruptio plasenta)
Bagian (2) pengetahuan tentang etiologi, faktor predisposisi & jenis antum partum
terlambat: terdiri dari (9) item (etiologi, faktor predisposisi & jenis antum partum
terlambat, etiologi, faktor predisposisi & jenis plasenta previa, etiologi, faktor
predisposisi & jenis solusio plasenta).
Bagian (3) pengetahuan tentang manifestasi klinis & komplikasi late ante partum: terdiri
dari (6) item (manifestasi klinis & komplikasi late ante partum, manifestasi klinis &
komplikasi plasenta previa, manifestasi klinis & komplikasi abruptio plasenta).
Bagian (4) pengetahuan tentang diagnosis & manajemen partum ante terlambat: terdiri
dari (15) item (diagnosis & manajemen partum ante terlambat, diagnosis & manajemen
plasenta previa, diagnosis & manajemen abruptio plasenta).

D. HASIL
Tabel (1) Merupakan karakteristik sosial-demografis dari perawat yang
diteliti. Jelas bahwa (39,1%) perawat berusia antara 30- <40 tahun, dengan usia rata-rata
(34,646,04) tahun. Selanjutnya, mayoritas (92,2% ) dari mereka bekerja sebagai
perawat staf. Mengenai kualifikasi pendidikan perawat, tiga perempat (75,0%) dari
mereka memiliki pendidikan keperawatan menengah. Mengenai pengalaman bertahun-
tahun, tiga perempat (75,0%) perawat memiliki lebih dari 10 tahun pengalaman di ruang
bersalin, dengan rata-rata (15,77.75,38 tahun). Hanya (12,5%) dari perawat menghadiri
pelatihan program tentang APH.
Tabel (2) Mewakili itu, ada perbedaan yang sangat signifikan secara statistik (P
<.001) sebelum dan sesudah pelaksanaan intervensi pendidikan dalam kaitannya dengan
pengetahuan perawat tentang keterlambatan APH.
Tabel (3): Menunjukkan bahwa, ada perbedaan yang sangat signifikan secara
statistik antara skor rata-rata pengetahuan terkait dengan APH terlambat antara intervensi
pra dan pasca pendidikan (p <0,001).
Gambar. (1 ): Menggambarkan bahwa, mayoritas (82,81%) dari perawat yang diteliti
memiliki pengetahuan yang tidak memuaskan sebelum intervensi pendidikan. Namun,
setelah intervensi, hampir (93,75%) dari mereka memiliki pengetahuan
yang memuaskan.
Tabel (4) : Menampilkan bahwa, ada perbedaan yang sangat signifikan secara
statistik(P<.001)sebelumdansesudah intervensi pendidikan dalam kaitannya dengan prakt
ik perawat tentang penilaia awal & tindakan darurat, pengajaran pasien/pengasuh
(instruksi dan penjelasan), Persiapan untuk investigasi dan operasi, administrasi perawat
perawatan fisik dan pengobatan serta pengendalian dan pencegahan infeksi (tindakan
pencegahan standar).
Gambar. (2 ): Menggambarkan bahwa, hanya (9,40%) dari perawat yang diteliti
memiliki praktik yang kompeten sebelum intervensi pendidikan. Namun, setelah
intervensi berubah menjadi (93,80%) setelah intervensi.
Tabel (5) mencerminkan bahwa, ada korelasi negatif, sangat signifikan secara statistik (P
≤ 0,01) antara total pengetahuan perawat, total skor praktik dan usia mereka, serta antara
total pengetahuan perawat, total praktik skor dan tahun-tahun mereka. pengalaman
sebelum dan sesudah intervensi pendidikan. Di sisi lain, ada korelasi positif, sangat
signifikan secara statistik (P ≤ 0,01) antara pengetahuan total perawat, total praktik skor
dan tingkat pendidikan mereka.
Tabel (6): menunjukkan korelasi antara pengetahuan perawat yang dipelajari dan skor
praktik sebelum dan sesudah intervensi pendidikan, diamati bahwa ada hubungan yang
sangat positif antara pengetahuan mereka dan skor praktik sebelum dan
sesudah intervensi pendidikan .
E. IMPLEMENTASI
Implementasi intervensi pendidikan mengambil (19) minggu periode. Peneliti
mengunjungi pengaturan yang disebutkan sebelumnya dalam dua shift (pagi - sore),
dua hari / minggu sebagai alternatif. Intervensi pendidikan melibatkan (6) sesi
terjadwal; 3 sesi untuk konten teoritis dan 3 untuk konten praktis dan dilaksanakan
sesuai dengan keadaan kerja, kesiapan fisik dan mental perawat. Sesi ini diulangi
untuk setiap subkelompok (4-5) perawat. Durasi setiap sesi berlangsung dari setengah
jam hingga satu jam termasuk periode diskusi sesuai dengan pencapaian, kemajuan,
dan umpan balik mereka. Pada awal sesi pertama orientasi ke intervensi pendidikan
dan tujuannya berlangsung. Umpan balik diberikan di awal setiap sesi tentang sesi
sebelumnya. Berbagai strategi pengajaran digunakan seperti ceramah, diskusi
kelompok, pemikiran kritis dan penyelesaian masalah, pemetaan konsep dan
demonstrasi / demonstrasi ulang. Media pengajaran yang sesuai digunakan, termasuk
buklet pendidikan yang didistribusikan kepada semua perawat di hari pertama
intervensi pendidikan serta alat bantu audio-visual ( presentasi data ).
F. Evaluasi
Segera setelah implementasi intervensi pendidikan, post test untuk
pengetahuan dan praktik perawat dilakukan dengan format pre-test yang sama
untuk menilai dampak intervensi pendidikan yang diterapkan .
G. DISKUSI
Perdarahan kebidanan tetap menjadi salah satu penyebab utama kematian ibu
di negara berkembang dan merupakan penyebab hingga 50% dari perkiraan
500.000 kematian ibu yang terjadi secara global setiap tahun. Say et
al., (2014) [18] , dan itu adalah salah satu penyebab kebidanan utama morbiditas dan
mortalitas perinatal Gardosi et al., (2013). [19] Ante partum hemorrhage (APH)
adalah salah satu keadaan darurat yang paling sering terjadi di bidang
kebidanan Sheikh & Khokhar, (2015) [14]. Beberapa bukti merekomendasikan
perlunya intervensi pendidikan di bidang ini. Ruth & Kennedy (2011) [20] mencatat
peningkatan hasil pasien positif selama pengobatan APH terlambat setelah perawat
staf menghadiri pelatihan dalam layanan pada dokumentasi yang tepat dan
kuantifikasi kehilangan darah selama kehamilan. Demikian pula, sebuah studi baru-
baru ini oleh Motanya (2015) [21] menunjukkan perlunya program pendidikan untuk
staf perawat dan kebutuhan untuk rumah sakit untuk mengembangkan standar
untuk praktik profesional terkait dengan penurunan APH. Penelitian ini dilakukan
untuk mengevaluasi pengaruh intervensi pendidikan pada kinerja perawat
(pengetahuan dan praktik) bersalin tentang manajemen APH terlambat. Penelitian
ini mendukung hipotesis yang dinyatakan bahwa intervensi pendidikan
meningkatkan pengetahuan dan praktik perawat bersalin mengenai
manajemen APH terlambat .
Mengenai pengetahuan total perawat bersalin tentang keterlambatan APH,
temuan penelitian ini mengungkapkan bahwa mayoritas perawat yang diteliti
memiliki pengetahuan yang tidak memuaskan sebelum pelaksanaan intervensi
pendidikan. Penurunan persentase pengetahuan perawat sebelum intervensi
pendidikan mungkin disebabkan oleh bahwa sebagian besar perawat yang diteliti
adalah pendidikan keperawatan sekunder, bekerja sejak lebih dari 10 tahun yang lalu,
serta partisipasi yang tidak memadai dalam program pelatihan yang terkait dengan
topik penelitian. , di mana sebagian besar perawat tidak menghadiri program
pelatihan apa pun tentang keterlambatan APH. Temuan ini sesuai
dengan Jayanthi, (2018) [ 22] yang telah mempelajari '' efek dari program pengajaran
terstruktur pada ante partum hemorrhage di antara staf perawat ''. Dia menunjukkan
bahwa, mayoritas perawat staf memiliki pengetahuan yang tidak memadai dan hanya
sepertiga memiliki pengetahuan moderat mengenai penyebab dan intervensi APH
dalam pretest. Setelah administrasi program pengajaran terstruktur minoritas dari
subyek memiliki pengetahuan moderat dan mayoritas memiliki pengetahuan yang
memadai tentang penyebab dan intervensi APH dalam post test.
Temuan penelitian ini menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan
dalam pengetahuan perawat tentang semua item yang terkait dengan APH terlambat
setelah intervensi pendidikan dibandingkan dengan sebelum intervensi. Temuan
penelitian ini setuju dengan setidaknya empat penelitian lain. Pertama, Ranjana,
(2016) [13] yang telah mempelajari '' efektivitas program pengajaran struktur pada
pengetahuan tentang penyebab dan intervensi APH di antara staf perawat '' Dia
menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara tingkat pre test dan post
test dari pengetahuan staf perawat tentang penyebab dan intervensi
APH. Kedua , Heikham & Raddi (2015) [23] mereka telah mempelajari '' keefektifan
program pengajaran yang direncanakan pada pengetahuan mengenai manajemen
keadaan darurat kebidanan terpilih di antara siswa GNM tahun terakhir sekolah
keperawatan terpilih '' Hasilnya mengungkapkan bahwa dalam pra tes , mayoritas
subyek memiliki pengetahuan rata-rata, kurang dari seperempat memiliki
pengetahuan yang buruk dan hanya (14%) memiliki pengetahuan yang baik tentang
pengelolaan keadaan darurat kebidanan tertentu. Ketiga , Hamza, (2015) [24] yang
telah mempelajari '' penilaian perawat Pengetahuan untuk asuhan keperawatan
wanita memiliki plasenta previa, di bangsal antenatal di Rib di rumah sakit
Universitas '' Dia merekomendasikan bahwa harus ada upaya intensif untuk
meningkatkan pengetahuan dan kesadaran dalam diri perawat yang lulus tentang
cara memberikan perawatan, pemantauan ketat pada wanita dengan plasenta previa,
ini bisa melalui: kuliah, lokakarya, seminar, dan kursus pelatihan .
Kavitha Keempat , dkk. (2014) [25] mereka telah menilai tingkat pengetahuan
perawat staf tentang manajemen kebidanan darurat di rumah sakit bersalin rujukan
nasional orotta dan menunjukkan skor pengetahuan tentang manajemen perdarahan
antum partum di antara perawat staf, sebagian besar staf memiliki pengetahuan
yang cukup memadai dan (18,3). %) dari staf memiliki pengetahuan yang tidak
memadai dan hanya (3.3) memiliki pengetahuan yang memadai mengenai
manajemen perdarahan sebelum intervensi. Oleh karena itu ada perbedaan yang
signifikan antara tingkat pre test dan post test pengetahuan perawat staf tentang
manajemen ante partum hemorrhage
Peningkatan intervensi pasca pengetahuan dalam penelitian ini dapat
dikaitkan dengan kemampuan perawat bersalin untuk mendapatkan pengetahuan
dengan mudah dan mereka tertarik untuk menyegarkan dan memperbarui
pengetahuan mereka tentang APH serta distribusi buku kecil tertulis kepada
perawat untuk digunakan. sebagai referensi yang berkelanjutan, sangat membantu
dalam perolehan pengetahuan perawat.
Mengenai skor praktik rata-rata perawat staf, temuan penelitian ini
mengungkapkan bahwa ada perbedaan yang sangat signifikan secara statistik (P
<.001) antara intervensi sebelum dan sesudah dalam kaitannya dengan praktik
perawat tentang, penilaian awal & tindakan darurat, pasien / pengasuh pengajaran
(instruksi dan penjelasan), Persiapan untuk investigasi dan operasi, administrasi
perawat perawatan fisik dan pengobatan dan pengendalian infeksi dan pencegahan
dan total skor praktik
Hasil ini sesuai dengan Harshash, (2017 ) [26] yang telah mempelajari 'efek
praktik perawat bersalin' wanita dengan pendarahan partum ante terlambat '' dia
merekomendasikan bahwa harus menjaga kinerja yang baik dari perawat bersalin
mengenai pendarahan ante partum melalui: mengembangkan protokol yang jelas
untuk pengelolaan perdarahan masif, yang harus diperbarui dan dilatih secara
teratur. Program pendidikan, seminar reguler, dan bengkel kerja harus disajikan
setiap bulan kepada perawat bersalin oleh perawat kepala dan dokter. Sudut
pandang peneliti dalam studi saat ini bahwa mayoritas peserta perawat staf
memperoleh lebih banyak pengetahuan tentang manajemen APH terlambat di
posttest. Pengetahuan tentang manajemen APH terlambat meningkat secara
signifikan. Sesi ini menunjukkan efek luar biasa yang signifikan dari hasilnya. Juga
intervensi pendidikan memiliki pengaruh besar tidak hanya pada pengetahuan
perawat bersalin tetapi juga pada kinerja mereka dalam asuhan keperawatan di
mana, staf perawat mendapatkan pengalaman dunia nyata.

STEP VII
LAPORAN PENDAHULUAN
(Terlampir)
TERMINOLOGI

1. PONED adalah puskesmas rawat inap yang mampu menyelenggarakan pelayanan


obstetri neonatal emergency atau komplikasi tingkat dasar dalam 24 jam sehari dan 7
hari seminggu (Kemenkes RI, 2013).
2. Ambulance adalah salah satu komponen emergency medical service yang tersedia 24
jam per hari di sebagian rumah sakit (Endogan et al, 2008).
3. UGD adalah unit klinis inti dalam rumah sakit yang menangani keadaan pasien di
instalasi gawat darurat (ACEM, 2014).
4. Triage adalah suatu proses penggolongan pasien berdasarkan tipe dan tingkat
kegawatan kondisinya. Triage juga diartikan sebagai suatu tindakan pengelompokkan
penderita berdasarkan pada beratnya cedera yang diprioritaskan ada tidaknya
gangguan pada airway, breathing, dan circulation dengan mempertimbangkan sarana,
sumber daya manusia, dan probabilitas hidup penderita (Krisanty, 2013).
5. Handover adalah salah satu bentuk perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan
pada pasien. Timbang terima pasien dirancang sebagai salah satu metode komunikasi
yang relevan pada tim setiap pergantian shift, sebagai petunjuk praktik memberikan
informasi mengenai kondisi terkini pasien, tujuan pengobatan, rencana perawatan,
serta menentukan prioritas pelayan (Bassie, 2013).
6. Antental Care adalah pengawasan sebelum persalinan terutama ditujukan pada
pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim. Antenatal care juga merupakan
cara penting untuk memonitoring dan mendukung kesehatan ibu hamil dan
mendeteksi ibu dengan kehamilan normal, ibu hamil sebaiknya dianjurkan
mengunjungi bidan atau dokter sedini mungkin semenjak ia merasa dirinya hamil
untuk mendapatkan pelayanan dan asuhan antenatal (WHO, 2010)
7. Denyut jantung janin adalah sebuah indikator atau dalam sebuah pemeriksaan
kandungan yang menandakan bahwa ada kehidupan di dalam kandungan seorang ibu,
untuk memeriksa kesehatan janin di dalam kandungan ibu hamil (WHO, 2009).
8. Pengukuran tinggi fundus uteri mulai dari batas atas symsis dan disesuaikan dengan
hari pertama haid terakhir. Tinggi fundus uteri diukur pada kehamilan >12 minggu
karena pada usia kehamilan ini uterus dapat diraba dari dinding perut dan untuk
kehamilan > 24 minggu dianjurkan mengukur dengan pita meter. Tinggi fundus uteri
dapat menentukan ukuran kehamilan. Bila tinggi fundus kurang dari perhitungan
umur kehamilan mungkin terdapat gangguan pertumbuhan janin, dan sebaliknya
mungkin terdapat gemeli, hidramnion atau molahidatidosa (Depkes, 2009).
9. Usia gestasi adalah masa sejak terjadinya konsepsi sampai dengan kelahiran, dihitung
dari hari pertama terakhir. Kehamilan cukup bulan (aterm adalah usia kehamilan 37-
42 minggu), kehamilan kurang bulan (preterm adalah usia kehamilan kurang dari 37
minggu), dan lewat waktu (posterm adalah usia kehamilan lebih dari 42 minggu)
(Muslihatun, 2011).
10. Pergerakan janin adalah gerakan pada janin yang mulai dirasakan oleh ibu pada
kehamilan trisemester II sekitar minggu ke 20 atau minggu ke 24, total gerakan janin
pada trisemester III mencapai 20 kali per hari. Keadaan berbahaya yang bisa
mengancam keselamatan janin dalam kandungan yaitu bila gerakannya kurang dari 3
kali dalam periode 3 jam (Astuti, 2012).
11. Perdarahan pervaginam adalah perdarahan yang terjadi sebelum bayi lahir. Perdarahan
yang terjadi sebelum kehamilan 28 minggu sering berhubungan dengan aborsi dan
kelainan (Muctar, 2010).

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ketuban pecah dini (KPD) adalah pecahnya ketuban sebelum dimulainya
tanda – tanda persalinan, yang ditandai dengan pembukaan serviks 3 cm pada
primipara atau 5 cm pada multipara (Maryunani, 2013). Hal ini dapat terjadi pada
kehamilan aterm yaitu, pada usia kehamilan lebih dari 37 minggu maupun pada
kehamilan preterm yaitu sebelum usia kehamilan 37 minggu (Sujiyantini, 2009).
Ketuban pecah dini merupakan salah satu kelainan dalam kehamilan. Ketuban pecah
dini merupakan masalah penting dalam ilmu obstetri, karena berkaitan dengan
penyulit yang berdampak buruk terhadap kesehatan dan kesejahteraan maternal
maupun terhadap pertumbuhan dan perkembangan janin intrauterin, sehingga hal ini
dapat meningkatkan masalah kesehatan di Indonesia (Soewarto, 2010). Insidensi
ketuban pecah dini berkisar antara 8 % sampai 10 % dari semua kehamilan.Pada
kehamilan aterm insidensinya bervariasi antara 6% sampai 19 %, sedangkan pada
kehamilan preterm insidensinya 2 % dari semua kehamilan (Sualman, 2009).
Kejadian ketuban pecah dini di Amerika Serikat terjadi pada 120.000
kehamilan per tahun dan berkaitan dengan resiko tinggi terhadap kesehatan dan
keselamatan ibu, janin dan neonatal (Mercer, 2003). Sebagian besar ketuban pecah
dini pada kehamilan preterm akan lahir sebelum aterm atau persalinan akan terjadi
dalam satu minggu setelah selaput ketuban pecah. Sekitar 85% morbiditas dan
mortalitas perinatal disebabkan oleh prematusitas.
Gawat janin merupakan suatu kondisi patofisiologi dimana oksigen tidak tersedia
untuk janin dalam jumlah yang cukup, jika tidak di perbaiki atau diatasi, dapat
menyebabkan dekompensasi ulang respon fisiologis dan bahkan menyebabkan
kerusakan beberapa organ. Gawat janin secara intrinsic terkait dengan hipoksia janin
dan asidosis, dan tampaknya sangat terkait dengan asfiksia perinatal. Pengelolaan
gawat janin melibatkan pemantauan intensif, resusitasi intrauterin, amnioninfusion
dan pengiriman segera dengan rute vagina atau caesar (Jakovljevic, Vladimir: 2010).
Angka kematian bayi (AKB) merupakan jumlah kematian bayi (0- 11bulan)
per 1000 kelahiran hidup dalam kurun waktu satu tahun. AKB menggambarkan
tingkat permasalahan kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan faktor penyebab
kematian bayi, tingkat pelayanan antenatal, status gizi ibu hamil, tingkat keberhasilan
program KIA dan KB, serta kondisi lingkungan dan sosial ekonomi. Angka Kematian
Bayi di provinsi Jawa Tengah tahun 2012 sebesar 10,75 per 1000 kelahiran hidup
(Dinas Kesehatan Provinsi Jateng, 2012). Pada Tahun 2012, berdasarkan laporan hasil
kegiatan sarana pelayanan kesehatan, jumlah kematian bayi yang terjadi di kota
Semarang sebanyak 10,64 per 1000 KH (Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2012).
Persalinan prematur merupakan proses persalinan sebelum usia kehamilan
mencapai 37 minggu lengkap atau kurang dari 259 hari, yang dihitung dari hari
pertama haid terakhir. Jika usia kehamilan tak diketahui dengan pasti, maka yang
menjadi patokan adalah berat bayi saat lahir yang hanya berkisar 1.000 - 2.500 gram (
dr. Panji, SpA, 2012). Akibat sistem pengaturan suhu dalam tubuh bayi prematur
belum sempurna, maka suhunya bisa naik atau turun secara drastis. Kondisi ini tentu
bisa membahayakan kondisi kesehatannya. Selain itu, otot-ototnya pun relatif lebih
lemah. Sementara cadangan lemaknya juga lebih sedikit dibanding bayi yang lahir
normal. Oleh karena itu, bayi membutuhkan Inkubator yang berfungsi menjaga suhu
bayi supaya tetap stabil.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui konsep dan asuhan keperawatan kegawatdaruratan pada
pasien yang mengalami ketuban pecah dini, gawat janin dan partus prematurus , serta
sebagai pemenuhan tugas kelompok mata kuliah sistem kegawatdaruratan.
2. Tujuan Khusus
2.1 Untuk mengetahui definisi ketuban pecah dini, gawat janin dan partus
prematurus.
2.2 Untuk mengetahui etiologi ketuban pecah dini, gawat janin dan partus
prematurus.
2.3 Untuk mengetahui patofisiologi ketuban pecah dini, gawat janin dan partus
prematurus.
2.4 Untuk mengetahui manifestasi klinis ketuban pecah dini, gawat janin dan partus
prematurus.
2.5 Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang ketuban pecah dini, gawat janin dan
partus prematurus.
2.6 Untuk mengetahui klasifikasi ketuban pecah dini, gawat janin dan partus
prematurus.
2.7 Untuk mengetahui penatalaksanaan ketuban pecah dini, gawat janin dan partus
prematurus.
2.8 Untuk mengetahui asuhan keperawatan kegawatdaruratan pada ketuban pecah
dini, gawat janin dan partus prematurus.
C. Metode Penulisan
Metode penulisan makalah ini menggunakan metode kepustakaan dengan
mengambil literatur dari buku, internet, dan jurnal mengenai ketuban pecah dini, gawat
janin dan partus prematurus.
D. Sistematika Penulisan
Penulisan makalah ini diawali dengan kata pengantar, daftar isi. BAB I
pendahuluan yang berisi latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan, dan
sistematika penulisan. BAB II pembahasan tentang ketuban pecah dini, gawat janin dan
partus prematurus meliputi definisi, etiologi, patofisologi, manifestasi klinis,
pemeriksaan penunjang, klasifikasi, penatalaksanaan. BAB III asuhan keperawatan
berdasarkan kasus. BAB IV penutup yaitu berisi kesimpulan dan saran, dan diakhiri
dengan daftar pustaka.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ketuban Pecah Dini


A. Definisi
Ketuban pecah dini (KPD) atau ketuban pecah sebelum waktunya (KPSW) sering
disebut dengan premature repture of the membrane (PROM) didefinisikan sebagai
pecahnya selaput ketuban sebelum waktunya melahirkan. Pecahnya ketuban sebelum
persalinan atau pembukaan pada primipara kurang dari 3 cm dan pada multipara
kurang dari 5 cm. Hal ini dapat terjadi pada kehamilan aterm maupun pada kehamilan
preterm. Pada keadaan ini dimana risiko infeksi ibu dan anak meningkat. Ketuban
pecah dini merupakan masalah penting dalam masalah obstetri yang juga dapat
menyebabkan infeksi pada ibu dan bayi serta dapat meningkatkan kesakitan dan
kematian pada ibu dan bayi (Purwaningtyas, 2017).
Dampak yang paling sering terjadi pada ketuban pecah dini (KPD) sebelum usia
kehamilan 37 minggu adalah sindrom distress pernapasan (RDS atau Respiratory
Disterss Syndrome), yang terjadi pada 10-40% bayi baru lahir. Risiko infeksi akan
meningkat prematuritas, asfiksia, dan hipoksia, prolapse (keluarnya tali pusat), resiko
kecacatan, dan hypoplasia paru janin pada aterm. Hampir semua ketuban pecah dini
(KPD) pada kehamilan preterm akan lahir sebelum aterm atau persalinan akan terjadi
dalam satu minggu setelah selaput ketuban pecah. Sekitar 85% morbiditas dan
mortalitas perinatal ini disebabkan oleh prematuritas akibat dari ketuban pecah dini.
Menurut WHO, kejadian ketuban pecah dini (KPD) atau insiden PROM (prelobour
rupture of membrane) berkisar antara 5-10% dari semua kelahiran. Ketuban pecah
dini (KPD) preterm terjadi 1% dari semua kehamilan dan 70% kasus ketuban pecah
dini (KPD) terjadi pada kehamilan aterm. Pada 30% kasus ketuban pecah dini (KPD)
merupakan penyebab kelahiran prematur (WHO, 2014).
B. Patofisiologi
Menurut Taylor (2009), ketuban pecah dini ada hubungannya dengan hal-hal berikut :
1. Adanya hipermotilitas rahim yang sudah lama terjadi sebelum ketuban pecah.
Penyakit-penykit seperti pieronetritis, statis, servisitis terdapat bersama-sama dengan
hipermotilitas rahim.
2. Selaput ketuban telalu tipis (kelainan ketuban)
3. Infeksi (amniotitis atau korioamnionitis)
4. Faktor-faktor yang menyerupai predisposisi ialah : mutipara-malposisi disproprosi
servik incompeten
5. Ketuban pecah dini artisial (amniotomi) dimana ketuban pecah terlalu dini
Kadang-kadang agak sulit atau meragukan kita apalagi ketuban benar sudah
pecah/belum, apabila pembukaan kenalis servikalis belum ada/kecil.

C. Etiologi
Penyebab ketuban pecah dini masih belum dapat diketahui dan tidak dapat
ditentukan secara pasti. Beberapa laporan menyebutkan ada faktor-faktor yang
berhubungan erat dengan ketuban pecah dini, namun faktor-faktor mana yang lebih
berperan sulit diketahui. Adapun yang menjadi faktor risiko menurut (Rukiyah, 2010;
Manuaba, 2009; Winkjosastro, 2011) adalah : infeksi, serviks yang inkompeten,
ketegangan intra uterine, trauma, kelainan letak janin, keadaan sosial ekonomi,
peninggian tekanan intrauterine, kemungkinan kesempitan panggul, korioamnionitis,
faktor keturunan, riwayat KPD sebelumnya, kelainan atau kerusakan selaput ketuban
dan serviks yang pendek pada usia kehamilan 23 minggu.
Infeksi, yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban dari vagina atau
infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini.
Ketegangan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan
(overdistensi uterus) misalnya trauma, hidramnion, gemelli. Ketuban pecah dini
disebabkan oleh karena berkurangnya kekuatan membran atau meningkatnya tekanan
intrauterin atau oleh kedua faktor tersebut. Berkurangnya kekuatan membran
disebabkan oleh adanya infeksi yang dapat berasal dari vagina dan serviks. Selain itu
ketuban pecah dini merupakan masalah kontroversi obstetrik (Rukiyah, 2010)
Inkompetensi serviks (leher rahim) adalah istilah untuk menyebut kelainan
pada otot-otot leher atau leher rahim (serviks) yang terlalu lunak dan lemah, sehingga
sedikit membuka ditngah-tengah kehamilan karena tidak mampu menahan desakan
janin yang semakin besar. Inkompetensi serviks adalah serviks dengan suatu kelainan
anatomi yang nyata, disebabkan laserasi sebelumnya melalui ostium uteri atau
merupakan suatu kelainan kongenital pada serviks yang memungkinkan terjadinya
dilatasi berlebihan tanpa perasaan nyeri dan mules dalam masa kehamilan trimester
kedua atau awal trimester ketiga yang diikuti dengan penonjolan dan robekan selaput
janin serta keluarnya hasil konsepsi (Manuaba, 2009).
Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan dapat
menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini, misalnya : trauma (hubungan seksual,
pemeriksaan dalam, amniosintesis), gemelli (kehamilan kembar adalah suatu
kehamilan dua janin atau lebih). Pada kehamilan gemelli terjadi distensi uterus yang
berlebihan, sehingga menimbulkan adanya ketegangan rahim secara berlebihan. Hal
ini terjadi karena jumlahnya berlebih, isi rahim yang lebih besar dan kantung (selaput
ketuban) relatif kecil sedangkan dibagian bawah tidak ada yang menahan sehingga
mengakibatkan selaput ketuban tipis dan mudah pecah. Makrosomia adalah berat
badan neonatus >4000 gram kehamilan dengan makrosomia menimbulkan distensi
uterus yang meningkat atau over distensi dan menyebabkan tekanan pada intra uterin
bertambah sehingga menekan selaput ketuban, menyebabkan selaput ketuban menjadi
teregang,tipis, dan kekuatan membran menjadi berkurang, menimbulkan selaput
ketuban mudah pecah. Hidramnion atau polihidramnion adalah jumlah cairan amnion
>2000mL. Uterus dapat mengandung cairan dalam jumlah yang sangat banyak.
Hidramnion kronis adalah peningkatan jumlah cairan amnion terjadi secara berangsur-
angsur. Hidramnion akut, volume tersebut meningkat tiba-tiba dan uterus akan
mengalami distensi nyata dalam waktu beberapa hari saja (Winkjosastro, 2011).

D..Faktor Risiko Ibu Bersalin Dengan Ketuban Pecah Dini (KPD)


1. Pekerjaan
Pekerjaan adalah suatu kegiatan atau aktivitas responden sehari-hari, namun
pada masa kehamilan pekerjaan yang berat dan dapat membahayakan kehamilannya
hendaklah dihindari untuk menjaga keselamatan ibu maupun janin. Kejadian ketuban
pecah sebelum waktunya dapat disebabkan oleh kelelahan dalam bekerja. Hal ini
dapat dijadikan pelajaran bagi ibu-ibu hamil agar selama masa kehamilan
hindari/kurangi melakukan pekerjaan yang berat (Abdul, 2010).
Pekerjaan adalah kesibukan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang
kehidupan dan kehidupan keluarga .pekerjaan bukanlah sumber kesenangan tetapi
lebih banyak merupakan cara mencari nafkah yang membosankan,berulang dan
banyak tantangan. Bekerja pada umumnya membutuhkan waktu dan tenaga yang
banyak aktivitas yang berlebihan mempengaruhi kehamilan ibu untuk menghadapi
proses persalinanya.
Menurut penelitian Abdullah (2012) Pola pekerjaan ibu hamil berpengaruh
terhadap kebutuhan energi. Kerja fisik pada saat hamil yang terlalu berat dan dengan
lama kerja melebihi tiga jam perhari dapat berakibat kelelahan. Kelelahan dalam
bekerja menyebabkan lemahnya korion amnion sehingga timbul ketuban pecah dini.
Pekerjaan merupakan suatu yang penting dalam kehidupan, namun pada masa
kehamilan pekerjaan yang berat dan dapat membahayakan kehamilannya sebaiknya
dihindari untuk mejaga keselamatan ibu maupun janin.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Huda (2013) yang
menyatakan bahwa ibu yang bekerja dan lama kerja ≥40 jam/ minggu dapat
meningkatkan risiko sebesar 1,7 kali mengalami KPD dibandingkan dengan ibu yang
tidak bekerja. Hal ini disebabkan karena pekerjaan fisik ibu juga berhubungan dengan
keadaan sosial ekonomi. Pada ibu yang berasal dari strata sosial ekonomi rendah
banyak terlibat dengan pekerjaan fisik yang lebih berat.
2. Paritas
Multigravida atau paritas tinggi merupakan salah satu dari penyebab
terjadinya kasus ketuban pecah sebelum waktunya. Paritas 2-3 merupakan paritas
paling aman ditinjau dari sudut kematian. Paritas 1 dan paritas tinggi (lebih dari 3)
mempunyai angka kematian maternal lebih tinggi, risiko pada paritas 1 dapat
ditangani dengan asuhan obstetrik lebih baik, sedangkan risiko pada paritas tinggi
dapat dikurangi/ dicegah dengan keluarga berencana (Wiknjosastro, 2011).
Menurut penelitian Fatikah (2015) konsistensi serviks pada persalinan sangat
mempengaruhi terjadinya ketuban pecah dini pada multipara dengan konsistensi
serviks yang tipis, kemungkinan terjadinya ketuban pecah dini lebih besar dengan
adanya tekanan intrauterin pada saat persalinan. konsistensi serviks yang tipis dengan
proses pembukaanserviks pada multipara (mendatar sambil membuka hampir
sekaligus) dapat mempercepat pembukaan serviks sehingga dapat beresiko ketuban
pecah sebelum pembukaan lengkap. Paritas 2-3 merupakan paritas yang dianggap
aman ditinjau dari sudut insidensi kejadian ketuban pecah dini. Paritas satu dan
paritas tinggi (lebih dari tiga) mempunyai resiko terjadinya ketuban pecah dini lebih
tinggi. Pada paritas yang rendah (satu), alat-alat dasar panggul masih kaku (kurang
elastik) daripada multiparitas. Uterus yang telah melahirkan banyak anak
(grandemulti) cenderung bekerja tidak efisien dalam persalinan (Cunningham, 2006).
Menurut penelitian Abdullah (2012) Paritas kedua dan ketiga merupakan
keadaan yang relatif lebih aman untuk hamil dan melahirkan pada masa reproduktif,
karena pada keadaan tersebut dinding uterus belum banyak mengalami perubahan,
dan serviks belum terlalu sering mengalami pembukaan sehingga dapat menyanggah
selaput ketuban dengan baik (Varney, 2010). Ibu yang telah melahirkan beberapa kali
lebih berisiko mengalami KPD, oleh karena vaskularisasi pada uterus mengalami
gangguan yang mengakibatkan jaringan ikat selaput ketuban mudah rapuh dan
akhirnya pecah spontan (Cunningham. 2006).
3. Umur
Adalah umur individu terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang
tahun. Semakin cukup umur,tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih
matang dalam berfikir dan bekerja (Santoso, 2013). Dengan bertambahnya umur
seseorang maka kematangan dalam berfikir semakin baik sehingga akan termotivasi
dalam pemeriksaan kehamilam untuk mecegah komplikasi pada masa persalinan.
Menurut Mundi (2007) umur dibagi menjadi 3 kriteria yaitu < 20 tahun, 20-35 tahun
dan > 35 tahun. Usia reproduksi yang aman untuk kehamilan dan persalinan yaitu usia
20-35 tahun (Winkjosastro, 2011). Pada usia ini alat kandungan telah matang dan siap
untuk dibuahi, kehamilan yang terjadi pada usia < 20 tahun atau terlalu muda sering
menyebabkan komplikasi/ penyulit bagi ibu dan janin, hal ini disebabkan belum
matangnya alat reproduksi untuk hamil, dimana rahim belum bisa menahan kehamilan
dengan baik, selaput ketuban belum matang dan mudah mengalami robekan sehingga
dapat menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini. Sedangkan pada usia yang terlalu
tua atau > 35 tahun memiliki resiko kesehatan bagi ibu dan bayinya (Winkjosastro,
2011). Keadaan ini terjadi karena otot-otot dasar panggul tidak elastis lagi sehingga
mudah terjadi penyulit kehamilan dan persalinan. Salah satunya adalah perut ibu yang
menggantung dan serviks mudah berdilatasi sehingga dapat menyebabkan pembukaan
serviks terlalu dini yang menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini.
Cunningham et all (2006) yang menyatakan bahwa sejalan dengan
bertambahnya usia maka akan terjadi penurunan kemampuan organorgan reproduksi
untuk menjalankan fungsinya, keadaan ini juga mempengaruhi proses embryogenesis,
kualitas sel telur juga semakin menurun, itu sebabnya kehamilan pada usia lanjut
berisiko terhadap perkembangan yang janin tidak normal, kelainan bawaan, dan juga
kondisi-kondisi lain yang mungkin mengganggu kehamilan dan persalinan seperti
kelahiran dengan ketuban pecah dini. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Kurniawati (2012) yang membuktikan bahwa umur ibu <20 tahun organ reproduksi
belum berfungsi secara optimal yang akan mempengaruhi pembentukan selaput
ketuban menjadi abnormal. Ibu yang hamil pada umur >35 tahun juga merupakan
faktor predisposisi terjadinya ketuban pecah dini karena pada usia ini sudah terjadi
penurunan kemampuan organ-organ reproduksi untuk menjalankan fungsinya,
keadaan ini juga mempengaruhi proses embryogenesis sehingga pembentukan selaput
lebih tipis yang memudahkan untuk pecah sebelum waktunya.
4. Riwayat Ketuban Pecah Dini
Riwayat KPD sebelumnya berisiko 2-4 kali mengalami KPD kembali.
Patogenesis terjadinya KPD secara singkat ialah akibat adanya penurunan kandungan
kolagen dalam membran sehingga memicu terjadinya KPD aterm dan KPD preterm
terutama pada pasien risiko tinggi. Wanita yang mengalami KPD pada kehamilan atau
menjelang persalinan maka pada kehamilan berikutnya akan lebih berisiko
mengalaminya kembali antara 3-4 kali dari pada wanita yang tidak mengalami KPD
sebelumnya, karena komposisi membran yang menjadi mudah rapuh dan kandungan
kolagen yang semakin menurun pada kehamilan berikutnya (Cunningham, 2006).
Menurut penelitian Utomo (2013) Riwayat kejadian KPD sebelumnya
menunjukkan bahwa wanita yang telah melahirkan beberapa kali dan mengalami KPD
pada kehamilan sebelumnya diyakini lebih berisiko akan mengalami KPD pada
kehamilan berikutnya, hal ini dikemukakan oleh Cunningham et all (2006). Keadaan
yang dapat mengganggu kesehatan ibu dan janin dalam kandungan juga juga dapat
meningkatkan resiko kelahiran dengan ketuban pecah dini. Preeklampsia/ eklampsia
pada ibu hamil mempunyai pengaruh langsung terhadap kualitas dan keadaan janin
karena terjadi penurunan darah ke plasenta yang mengakibatkan janin kekurangan
nutrisi.
5. Usia Kehamilan
Komplikasi yang timbul akibat ketuban pecah dini bergantung pada usia
kehamilan. Dapat terjadi infeksi maternal ataupun neonatal, persalinan prematur,
hipoksia karena kompresi tali pusat, deformitas janin meningkatnya insiden Sectio
Caesaria, atau gagalnya persalinan normal. Persalinan prematur setelah ketuban pecah
biasanya segera disusul oleh persalinan. Periode laten tergantung umur kehamilan.
Pada kehamilan aterm 90% terjadi dalam 24 jam setelah ketuban pecah. Pada
kehamilan antara 28-34 minggu 50% persalinan dalam 24 jam. Pada kehamilan
kurang dari 26 minggu persalinan terjadi dalam 1 minggu.
Usia kehamilan pada saat kelahiran merupakan satu-satunya alat ukur
kesehatan janin yang paling bermanfaat dan waktu kelahiran sering ditentukan dengan
pengkajian usia kehamilan. Pada tahap kehamilan lebih lanjut, pengetahuan yang jelas
tentang usia kehamilan mungkin sangat penting karena dapat timbul sejumlah
penyulit kehamilan yang penanganannya bergantung pada usia janin. Periode waktu
dari KPD sampai kelahiran berbanding terbalik dengan usia kehamilan saat ketuban
pecah. Jika ketuban pecah trimester III hanya diperlukan beberapa hari saja hingga
kelahiran terjadi dibanding dengan trimester II. Makin muda kehamilan, antar
terminasi kehamilan banyak diperlukan waktu untuk mempertahankan hingga janin
lebih matur. Semakin lama menunggu, kemungkinan infeksi akan semakin besar dan
membahayakan janin serta situasi maternal (Astuti, 2012).
6. Cephalopelvic Disproportion (CPD)
Keadaan panggul merupakan faktor penting dalam kelangsungan
persalinan,tetapi yang tidak kurang penting ialah hubungan antara kepala janin
dengan panggul ibu.Partus lama yang sering kali disertai pecahnya ketuban pada
pembukaan kecil,dapat menimbul dehidrasi serta asdosis,dan infeksi intrapartum.
Pengukuran panggul (pelvimetri) merupakan cara pemeriksaanyang penting untuk
mendapat keterangan lebih banyak tentang keadaan panggul (Prawirohardjo, 2011).

E. Cara Menentukan Ketuban Pecah Dini (KPD)


Menurut Prawirohardjo (2011) cara menentukan terjadinya KPD dengan : (a)
Memeriksa adanya cairan yang berisi mekoneum, verniks kaseosa, rambut lanugo
atau bila telah terinfeksi berbau, (b) Inspekulo: lihat dan perhatikan apakah memang
air ketuban keluar dari kanalis serviks dan apakah ada bagian yang sudah pecah, (c)
Gunakan kertas lakmus (litmus) : bila menjadi biru (basa) berarti air ketuban, bila
menjadi merah (merah) berarti air kemih (urine).
F. Pengaruh KPD
Pengaruh KPD menurut Prawirohardjo (2011) yaitu:
a) Terhadap janin
Walaupun ibu belum menunjukan gejala-gejala infeksi tetapi janin mungkin
sudah terkena infeksi, karena infeksi intrauterin lebih dahulu terjadi
(aminionitis,vaskulitis) sebelum gejala pada ibu dirasakan,jadi akan meninggikan
mortalitas dan mobiditas perinatal. Dampak yang ditimbulkan pada janin meliputi
prematuritas, infeksi, mal presentasi, prolaps tali pusat dan mortalitas perinatal.
b) Terhadap ibu
Karena jalan telah terbuka,maka dapat terjadi infeksi intrapartum,apa lagi
terlalu sering diperiksa dalam, selain itu juga dapat dijumpai infeksi peupuralis
(nifas), peritonitis dan seftikamia, serta dry-labor. Ibu akan merasa lelah karena
terbaring ditempat tidur, partus akan menjadi lama maka suhu tubuh naik,nadi cepat
dan nampaklah gejala-gejala infeksi.
Hal-hal di atas akan meninggikan angka kematian dan angka morbiditas pada
ibu. Dampak yang ditimbulkan pada ibu yaitu partus lama, perdarahan post partum,
atonia uteri, infeksi nifas.

G. Komplikasi
Komplikasi yang timbul akibat ketuban pecah dini bergantung pada usia
kehamilan. Dapat terjadi infeksi maternal ataupun neonatal, persalinan prematur,
hipoksia karena kompresi tali pusat, deformitas janin, meningkatnya insiden SC, atau
gagalnya persalinan normal (Mochtar, 2011).
Persalinan Prematur Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh
persalinan. Periode laten tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90%
terjadi dalam 24 jam setelah ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28- 34 minggu
50% persalinan dalam 24 jam. Pada kehamilan kurang dari 26 minggu persalinan
terjadi dalam 1 minggu (Mochtar, 2011).
Risiko infeksi ibu dan anak meningkat pada ketuban pecah dini. Pada ibu
terjadi korioamnionitis. Pada bayi dapat terjadi septikemia, pneumonia, omfalitis.
Umumnya terjadi korioamnionitis sebelum janin terinfeksi. Pada ketuban pecah dini
premature, infeksi lebih sering dari pada aterm. Secara umum insiden infeksi
sekunder pada KPD meningkat sebanding dengan lamanya periode laten (Mochtar,
2011).
Pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang menekan tali pusat hingga
terjadi asfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan antara terjadinya gawat janin dan
derajat oligohidramnion, semakin sedikit air ketuban, janin semakin gawat. Ketuban
pecah dini yang terjadi terlalu dini menyebabkan pertumbuhan janin terhambat,
kelainan disebabkan kompresi muka dan anggota badan janin, serta hipoplasi
pulmonal (Mochtar, 2011).

H. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala ketuban pecah dini yang terjadi adalah keluarnya cairan
ketuban merembes melalui vagina, aroma ketuban berbau amis dan tidak berbau
amoniak, mungkin cairan tersebut masih merembes atau menetes, dengan ciri pucat
dan bergaris warna darah, cairan ini tidak akan berhenti atau kering kerana tersu
diproduksi sampai kelahiran tetapi bila anda duduk atau berdiri kepala janin yang
sudah terletak dibawah biasanya mengganjal. Kebocoran untuk sementara, demam,
bercak vagina yang banyak, nyeri perut, denyut jantung janin bertambah cepat,
merupakan tanda infeksi yang terjadi (Nugroho, 2012).

I. Penatalaksanaan
Menurut Abadi (2008) membagi penatalaksanaan ketuban pecah dini pada
kehamilan aterm, kehamilan pretem, ketuban pecah dini yang dilakukan induksi, dan
ketuban pecah dini yang sudah inpartu.
1) Ketuban pecah dengan kehamilan aterm
Penatalaksanaan KPD pada kehamilan aterm yaitu : diberi antibiotika,
observasi suhu rektal tidak meningkat, ditunggu 24 jam, bila belum ada tanda-tanda
inpartu dilakukan terminasi
2) Ketuban pecah dini dengan kehamilan prematur
Penatalaksanaan KPD pada kehamilan aterm yaitu
a) EFW (Estimate Fetal Weight) < 1500 gram yaitu pemberian Ampicilin 1
gram/ hari tiap 6 jam, IM/ IV selama 2 hari dan gentamycine 60-80 mg tiap 8-
12 jam sehari selama 2 hari, pemberian Kortikosteroid untuk merangsang
maturasi paru (betamethasone 12 mg, IV, 2x selang 24 jam), melakukan
Observasi 2x24 jam kalau belum inpartu segera terminasi, melakukan
Observasi suhu rektal tiap 3 jam bila ada kecenderungan meningkat > 37,6°C
segera terminasi.
b) EFW (Estimate Fetal Weight) > 1500 gram yaitu melakukan observasi 2x24
jam, melakukan observasi suhu rectal tiap 3 jam, pemberian
antibiotika/kortikosteroid, pemberian Ampicilline 1 gram/hari tiap 6 jam,
IM/IV selama 2 hari dan Gentamycine 60-80 mg tiap 8-12 jam sehari selama 2
hari, pemberian Kortikosteroid untuk merangsang meturasi paru
(betamethasone 12 mg, IV, 2x selang 24 jam ), melakukan VT selama
observasi tidak dilakukan, kecuali ada his/inpartu, bila suhu rektal meningkat
>37,6°C segera terminasi, bila 2x24 jam cairan tidak keluar, USG: bagaimana
jumlah air ketuban : bila jumlah air ketuban cukup, kehamilan dilanjutkan,
perawatan ruangan sampai dengan 5 hari, bila jumlah air ketuban minimal
segera terminasi. Bila 2x24 jam cairan ketuban masih tetap keluar segera
terminasi, bila konservatif sebelum pulang penderita diberi nasehat : Segera
kembali ke RS bila ada tanda-tanda demam atau keluar cairan lagi, tidak boleh
coitus, tidak boleh manipulasi digital.
2.2 Gawat Janin
A. Definisi
Gawat janin adalah denyut jantung janin (DDJ) kurang dari 100 per menit atau
lebih dari 180 per menit (Nugroho, 2012).
Gawat janin adalah kekhawatiran obstetric tentang keadaan janin, yang
kemudian berakhir dengan seksio atau persalinan buatan lainnya (Sarwono, 2009)
Gawat janin terjadi bila janin ridak menerima O2 yang cukup, sehingga akan
mengalami hipoksia. Situasi ini dapat terjadi (kronik) dalam jangka waktu yang lama
atau akut.Disebut gawat janin bila ditemukan denyut jantung janin diatas 160 per
menit atau dibawah 100 per menit, denyut jantung tidak teratur, atau keluarnya
meconium yang kental pada awal persalinan (Prawirohardjo, 2009).

B. Etiologi
Penyebab dari gawat janin terbagi menjadi (Lumbanraja, 2017):
1. Faktor maternal (contohnya: hipertensi, penyakit jantung terdekompensasi,
kerusakan paru kronis, kerusakan ginjal, anemia, gagal nafas, preeklamsia,
eklampsi, kelainan postterm)
2. Faktor plasenta (contohnya: perlengketan plasenta, hematoma retroplasental,
terletak dibawah plasenta, insufisiensa plasenta, gangguan sirkulasi, kembar).
3. Patologi pada tali pusat
Beberapa keadaan dimana tali pusat dikaitkan dengan gawat janin, yaitu:
a. Kelainan pada panjang tali pusat. Panjang tal pusat merefleksikan pergerakan
janin dalam Rahim. Tali pusat yang pendek dikaitkan dengan solusio plasenta,
rupture tali pusat, kelainan pergerakan janin, mendesakk intrauterine, dan
primiparitas. Sedangkan pada tali pusat yang panjang dikaitkan dengan
thrombus atau simpul nyata. Kelainan ini dapat merefleksikan penyakit
sistemik maternal, komplikasi persalinan, gangguan pernafasan pada janin,
presentasi vertex, pelilitan tali pusat, anomaly janin, peningkatan berat lahir,
dan simpul nyata pada tali pusat.
b. Kelainan pada diameter tali pusat. Pembesaran tali puast pada bagian
proksimal disebabkan oleh abnormalitas yang dikaitkan dengan perkembangan
saluran vitelin dan saluran alantosis, pembesaran diameter tali pusat yang
terlokasir dikaitkan dengan edema (10%), neoplasma, dan kelainan vascular.
c. Aspek tali pusat yang lemah. Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa
aliran yang melalui pembuluh darah tali pusat dikaitkan dengan
oligohidramnion, kecuali usia kehamilan, air ketuban yang bercampur
meconium, dann asfiksia perinatal.
4. Faktor janin (contohnya: oligohidramnion, intrauterine growth restricrion, profil
biofisik yang buruk).

C. Faktor Risiko
Faktor resiko terjadinya meconium stined liquor dapat dilihat pada table berikut
(Lumbanraja, 2017):
Faktor Risiko Antepartum Faktor Risiko Intrapartum
Kehamilan post dated Prolonged PROM
Hipertensi Gestasional IUGR
Rh Isoimmunisasi Prolonged labour
Oligohidramnion Plasenta sirkumvalata
Diabetes Melitus Gestasional Atresia ileal
Penyakit Jantung Kontraksi atrial janin yang premature
Usia Maternal yang >35 tahun
Penyait paru kronik
Kolestasis dalam kehamilan
Kehamilan pada usia remaja

D. Patofisiologi
Ada beberapa kemungkinan penyebab gawat janin, namun biasanya gawat
janin terjadi karena beberapa mekanisme yang berkesinambungan. Penurunan aliran
darah plasenta akibat kontraksi dapat menyebabkan kompresi terhadap tali pusat
sehingga pada wanita yang mengalami persalinan lama hal ini dapat terjadi akibat
abrupsio plasenta, prolapse tali pusat (terutama dengan presentasi bokong), keadaan
hipertonik uterine dan penggunaan oksitosin. Hipotensi dapat terjadi akibat anastesi
epidural atau posisi supine, dimana hal ini dapat mengurangi aliran darah vena cava
kembali ke jantung. Penurunan aliran darah pada hipotensi dapat menyebabkan
kegawatan pada janin(Hariadi, 2004).
Hendaknya kita dapat menganalisa kondisi jani dan ibu untuk kemudian membuat
pemeriksaan khusus dalam membuktikan kebenaran analisa tersebut. Kondisi klinik
yang berkaitan dengan hipoksia ialah:
1. Kelainan pasokan plasenta: solution plasenta, plasenta previa, postterm, prolapses
tali pusat, lilitan tali pusat, pertumbuhan janin terhambat, insufisiensi plasenta.
2. Kelainan arus darah plasenta: hipotensi ibu, hipertensi, kontraksi hipertonik.
3. Saturasi oksigen ibu berkurang: hipoventilasi, hipoksia, penyakit jantung.
Bila pasokan oksigen dan nutrisi berkurang, maka janin akan mengalami retardasi
organ bahkan resiko asidosis dan kematian. Bermula dari upaya redistribusi aliran
darah yang akan ditujukan pada organ penting seperti otak dan jantung dengan
mengorbankan visera (hepar dan ginjal). Hal ini tampak dari volume cairan amnion
yang berkurang (oligohidramnion). Brakikardia yang terjadi merupakan mekanisme
dan jantung dalam bereaksi dari baroreseptor akibat tekanan (misalnya hipertensi pada
kompresii tali pusat) atau reaksi kemoreseptor akibat asidemia(Hariadi, 2004).

E. Manifestasi Klinis
Menurut Prawirohardjo (2009) tanda gejala gawat janin dapat diketahui dengan:
1) DJJ abnormal
Di Bawah ini dijelaskan denyut jantung janin abnormal adalah sebagai berikut:
a) Denyut jantung janin irregular dalam persalinan sangat bervariasi dan dapat
kembali setelah beberapa waktu. Bila DJJ tidak kembali normal setelah
kontraksi, hal ini menunjukkan adanya hipoksia.
b) Brakikardi yang terjadi diluar saat kontraksi, atau tidak menghilang setelah
kontraksi menunjukkan adanya gawat janin.
c) Takhikardi dapat merupakan reaksi terhadap adanya:
(1) Demam pada ibu
(2) Obat – obatan yang menyebabkan takhikardi (missal: obat tokolitik)
Bila ibu tidak mengalami takhikardi, DJJ yang lebih dari 160 per menit
menunjukkan adanya anval hipoksia.

F. Diagnosa
Gawat janin merupakan salah satu faktor utama dilakukannya seksio sesaria di
obstetric dan ginekologi. Sebagai salah satu indikasi dilakukannya seksio sesaria,
gawat janin terbagi menjadi masalah pada maternal dan janin dengan indikasi
utamanya “repeat elective ”. Salah satu indikasi utama dari faktor janin adalah “gawat
janin”. Gawat janin dapat didiagnosa selama periode antenatal atau selama persalinan.
Gawat janin dapat menyebabkan kematian janin atau masalah jangka panjang seperti
serebral palsi (Lumbanraja, 2017) .
Beberapa marker ante dan intrapartum pada gawat janin adalah kelainan
denyut jantung janin (deselerasi lambat berulang, undulting baseline, brakikardia)
penurunan PO2 pada darah janin, meconium staining pada cairan ketuban, dan nilai
PH darah yang rendah atau peningkatan laktat pada kulit kepala janin (Lumbanraja,
2017) .
Kondisi janin selama persalinan umumnya dapat diketahui dari denyut jantung
janin (FHR) dan pemeriksaan adanya tidak meconium dalam ketuban. Adanya
meconium dapat merupakan kejadian fisiologis yang merefleksikan maturitas janin.
Selain itu, meconium juga menunjukkan adanya hipoksia janin atau peningkatan
aktifitas vagal dari kompresi tali pusat. Meconium yang pekat dikaitkan dengan
prognasa perinatal yang lebih jelek. Aspirasi menyebabkan gangguan pernafasan
jangka panjang. Hal ini sering menyebabkan morbiditas dan mortalitas karena hal
tersebut sulit untuk dicegah (Lumbanraja, 2017).
Cardiotocography (CTG) adalah teknik untuk memonitor kesehatan janin yang
telah dipakai luas dan denyut janin (FHR) merupakan indeks penting untuk
mengetahui kejadian gawat janin. Selain itu fetal scalp blood sampling (FBS) juga
digunakan untuk memonitor gawat janin (Lumbanraja, 2017).
Cardiotocography memberikan informasi mengenai perkembangan janin dan
informasi kesehatan, terutama status maturnitas dari system saraf autonomy.
Perubahan FHR menunjukkan adanya respon stimulus eksternal. Secara umum, FHR
yang rata – rata, perubahan pada FHR, akselerasi dan deselerasi dari FHR, dan
pergerakan janin merupakan parameter yang penting dalam medis untuk
mendiagnosis gawat janin (Lumbanraja, 2017).
Pada gawat janin selama persalinan diketahui dengan meconium segar di
cairan ketuban atau CTG abnormal yang menunjukkan takikardia janin, penurunan
variabilitas denyut jantung, ketiadaan akselerasi, dan adannya deselerasi. Tetapi,
keduanya tidak mengkonfirmasikan hipoksia janin. Hanya dengan fetal scalp blood
sampling (FBS) yang dapat memberikan diagnose pasti asidosis janin dan oleh
karenanya hipoksia (Lumbanraja, 2017).

G. Frekuensi Denyut Jantung Janin


Dikatakan denyut jantung janin (DJJ) normal bila dapat melambat sewaktu
his, dan segera kembali normal setelah relaksasi, DJJ lambat (kurang dari 100 per
menit) saat tidak ada his, menunjukka adanya gawat janin, DJJ cepat (lebih dari 180
kali per menit) yang disertai takhikardi ibu bisa karena demam, efek obat, hipertensi
atau amnionitis. Jika denyut jantung ibu normal, denyut jantung janin yang cepat
sebaiknya dianggap sebagai tanda gawat janin (Prawiroharjo, 2009)
Pemeriksaan tambahan: Pemantauan denyut jantun janin dapat dilakukan
dengan pencatatan denyut jantung janin yang segera dan kontinyu dalam hubungan
dengan kontraksi uterus memberikan suatu penilaian kesehatan janin yang sangat
membantu selama persalinan. Akselerasi periodic pada gerakan janin merupakan
ketenangan dari reaktifitas janin yang normal.Pemeriksaan tambahan yang dapat
dilakukan berupa Kardiografi (pemeriksaan DJJ dan perubahan – perubahannya) dann
Kardiotokografi (pemeriksaan DJJ dan perubahan – perubahannya yang terjadi akibat
aktivitas uterus dan/ atau gerakan janin selama masa kehamilan dan persalinan)
(Rukiyah, 2014).
Kardiotokografi, bermamfaat untuk mendeteksi hipoksia janin secara lebih
obyektif berupa kausa dan derajat, menentukan aktivitas janin, menentukan aktivitas
uterus, membantu perencanaan penanganan kehamilan lebih rasional, berguna untuk
pendidikan, membantu menurunkan morbiditas dan mortalitas perinatal. Gambaram
DJJ yang terlihat pada pemeriksaan KTG (Kardiotokografi) berupa denyut jantung
dasar dan perubahan periodic serta episodic DJJ (Rukiyah, 2014).
Denyut jantung dasar (baseline fetal heart rate) meliputi frekuensi dasar DJJ
dan variabilitas DJJ.Perubahan periodik dan episodik DJJ akibat kontraksi uterus
akibat gerakan janin atau refleks tali pusat (Rukiyah, 2014).
Cara – cara untuk menemtukan frekuensi dasar DJJ berdasarkan KTG
(Kardiotokografi) yaitu frekuensi rerata yang terlihat selama periode 10 menit
pemeriksaan, Variabilitas DJJ tidak berlebihan (tidak > 25 dpm), tidak terdapat
perubahan periodik atau episodik DJJ, tidak terdapat perubahan frekuensi yang > 25
dpm (Rukiyah, 2014) .

H. Penatalaksanaan Gawat Janin


Tatalaksana gawat janin melibatkan monitor secara intensif, resusitasi intrauterine,
amnioninfusion, an persalinan segera baik secara pervaginam maupun seksio sesaria.
Respon utama ketika gawat janin dideteksi atau dicurigai adalah resusitasi intraunterin
yang akan meningkatkan kondisi janin sehingga membantu menghindari intervensi
yang tidak perlu (Lumbanraja, 2017).
1. Mengubah posisi maternal
Walaupun jarang, ibu bersalin dapat mengalami hipotensi pada posisi supine. Hal
ini disebabkan oleh penurunan aliran darah balik vena yang terjadi karena tekanan
dari uterus pada vena cava inferior dan peningkatan tekanan intraabdominal. Hal
ini data menyebabkan penurunan cardiac output yang menyebabkan gangguan
aliran uterus. Sehingga ketika terjadi deselerasi lambat pada rekaman FHR
menunjukkan penurunan perfusi pada area retroplasenta. Posisi maternal
mempunyai peranan penting ketika diberikan analgesic epidural karena
menyebabkan vasodilitasi perifer sehingga dengan posisi supine akan
menyebabkan penurunan dari aliran balik vena. Perubahan posisi merupakan
tatalaksana adekuat pada beberapa kasus deselerasi yang disebabkan oleh
kompresi tali pusat umumnya dijumpai pada kasus oligohidramnion dapat hilang
setelah perubahan posisi dan pencegahan penekanan pada tali pusat (Lumbanraja,
2017).
1. Hidrasi
Hidrasi hendaknya merupakan tindakan yang sejalan dengan resusitasi intrauterine
kecuali terdapat kontraindikasi untuk pemberian cairan sebanyak 180 – 200 mL
cairan per jam. Pada kondisi dimana dicurigai terjadi hipotensi, seperti analgesik
epidural, pendarahan maternal, dan lain penting untuk dilakukan tindakan hidrasi
sehingga perubahan FHR dapat dicegah. Perfusi uteroplasenta yag tidak adekuat
atau perpusi umbiliko-plasenta pada beberapa kasus menyebabkan terjadinya
hipoksia janin dan asidosis. Sehingga hidrasi merupakan komponen penting dalam
tatalaksana persalinan (Lumbanraja, 2017).
2. Oksigen
Perlu ditekankan bahwa transfer oksigen pada interfase plasenta lebih bergantung
pada perfusi dibandingkan dengan kurangnya oksigen pada sebagian besar kasus.
Sehingga penting untuk dilakukan peningkatan perfusi pada plasenta dalam
meningkatkan jumlah oksigen yang tersdia kepada janin. Beberapa pekerja
menyatakan bahwa pemberian oksigen 100% pada janin yang mengalami
gangguan pertumbuhan berat lebih memberikan efek yang merugikan
dibandingkan menguntungkan. Sehingga pemberian terapi oksigen dapat
memberikan perbaikan pada sebagian kasus, tetapi tidak pada kasus dengan janin
yang mengalami gangguan pertumbuhan berat (Lumbanraja, 2017).
3. Amnioinfusion
Hal ini bertujuan untuk meningkatkan volume cairan ketuban. Amnioinfusion
tidak dirujukan pada seluruh pola deselerasi. Hal ini dikarenakan deselerasi
lambat disebabkan oleh mekanisme patofisiologi yang berbeda dibandingkan
dengan deselerasi variable dimana amnioinfusion merupakan suatu kontraindikasi
(Lumbanraja, 2017).
Kontraindikasi absolut dari prosedur ini adalah infeksi herpes genital pada ibu, pH
kulit kepala janin dibawah 7,2, deselerasi lambat pada FHR, plasenta previa, dan
sosulio plasenta. Kontraindikasi relative adalah anomaly janin, ibu yang akan
segera bersalin, gestasi multipel, dan direncanakan seksio sesaria (Lumbanraja,
2017).
4. Tokolisis
Penghambatan aktivitas uterus membantu dalam aktivitas uterus abnormal, gawat
janin yang dikaitkan dengan hiperaktivitas dari uterus dan bradikardi yang
memanjang. Tokolosis juga bermamfaat dalam seksio sesaria yang kompleks,
external cephalic version at term, selama transportasi ibu yang sedang bersalin,
dan ketika ruang operasi atau anestasiologi belum tersedia untuk dilakukannya
seksio sesaria. Penggunaan terbutaline, ritodrine, salbutamol, dan magnesium
sulfat telah banyak digunakan. Dosis bolus pada obat tokolitik dapat
menyebabkan takikardia maternal (umumnya disebabkan vasodilitasi perifer) dan
peningkatan perfusi uteroplasental. Selain itu, penghambatan kontaksi uterus
menurunkan interupsi aliran darah ke plasenta (Lumbanraja, 2017).

2.3 Partus Prematurus


A. Definisi
Partus prematurus atau persalinan prematur dapat diartikan sebagai dimulainya
kontraksi uterus yang terautu yang disertai pendataran dilatasi cerviks serta turunnya
bayi pada wanita hamil yang lama kehamilannya kurang dari 37 minggu (kurang dari
259 hari) sejak hari pertama haid terakhir.

Bayi dengan berat badan lahir rendah adalah bayi yang beratnya kurang dari
2500 gram (5 pon, 8 ons) pada saat lahir. Lama kehamilan rata-rata untuk bayi yang
beratnya 2500 gram adalah 34 minggu. Meskipun hanya 7 hingga 8 persen dari
kehamilan yang berakhir sebelum 37 minggu, sebagian besar kematian perinatal pada
kelompok ini.

B. Etiologi

Latrogenik

1. Sectio caesarea ulangan yang dikerjakan terlalu dini.

2. Pengakhiran kehamilan yang terlalu dini karna alasan bahwa bayi lebih baik
dirawat di bangsal anak dari pada dibiarkan dalam lahir. Termasuk disini
adalah keadaan seperti diabetes maternal, penyakit hipertensi pada kehamilan,
erythoblastosis dan retardasi pertumbuhan intravterin.

Spontan

1. Idiopatik. Sebab persalinan prematur tidak diketahui pada 50% kasus.

2. Ketuban oecah dini

3. Inkompetensi servik

4. Insufisiensi plasenta

5. Overdistensi uterus

a. Kehamilan kembar

b. Polyhydramnion

c. Janin yang besar

6. Perdarahan dalam trimester ke 3


a. Plasenta previa

b. Abruktio placentae

c. Vasa previa

7. Abnormalitas uterus yang mencegah ekspansi

a. Hipoplasia uteri

b. Uterus septata atau bicornuata

c. Synechiae intravterin

d. Leiomyoma

8. Trauma

a. atuh

b. Teepukul pada perut

c. Tindakan pembedahan

9. Penyakit pada ibu seperti toksemia, anemia, penyakit ginjal yang kronis dan
penyakit-penyakit demam yang akut

10. Faktor-faktor yang menyertai

a. Status sosioekonomi yang rendah

b. Kelompok-kelompok etnik tertentu

c. Wanita yang kecil

d. Merokok

e. Bakteriuria

f. Perawatan prenatal yang jelek

C. Patofisiologi

Phatway
Riwayat Aborsi

Kuretase

Kelainan serviks uteri

Kanalis Serviks Uteri

Mengabikatkan mudahnya pengeluaran cairan ketuban

Ketuban Pecah Dini

Pembuluh Darah dan tali pusat terletak di selaput ketuban

Pembuluh Darah Tali Putus

Ruptur Pembuluh Darah

Aliran darah ke janin terganggu Kehilangan banyak darah (150 cc – 200cc)

Pompa daya jantung pada janin bekerja meningkat Perdarahan Antepartum

Peningkatan DJJ Sel” tubuh kekurangan pasokan darah

Metabolisme energi pada sel terganggu

Sel” harus menghasilkan energi melalui mtebolisme anaerob

Metabolisme tingkat energi yang rendah

Mengakibatkan fungsi normal sel menurun

Sel membengkak dan menjadi lebih permaebel

Kematian sel

Hipovolemia

Kurangnya suplai O2 keseluruh jaringan tubuh

Oksigen ke sleuruh tubuh menurn

Gangguan perfusi Jaringan

Kehilangan darah dan elektrolit

Resiko Syok Hipovolemik

Asupan O2 ke janin juga berkurang

Janin kekurangan O2
Pergerakan Janin melemah

Resiko Gawat Janin

D. Diagnosis

Insidensi persalinan palsu yang tinggi menyulitkan diagnosis tepat partus


prematurus yang sejati. Pada sepertiga kasus, apa yang disebut persalinan berhenti
tampa tindakan atau setelah pemberian suatu placebo.

Kriteria partus prematurus yang lazim mencakup :

1. Servik sedikitnya sudah terbuka 2 cm atau sudah mendatar 75%.

2. Ada perubahan yang progresif pada servik selama periode observas

3. Terjadinya kontraksi yang terasa nyeri, teratur dan intervalnya kudamg dari 10
menit menunjukan bahwa pasien tersebut tengah berada dalam proses
persalinan.

PENCEGAHAN PARTUS PREMATURUS

Tindakan umum

1. Dilaksanakan perawatan prenatal, diet pemberian vitamin dan penjagaan


hygiene

2. Aktivitas (kerja, perjalanan, coitus) dibatasi pada pasien-pasien drngan riwayat


partus prrmaturus.

3. Penyakit-penyakit panas yang akut harus diobati secara aktif dan segara

4. Keadaan seperti toksemia dan diabetes memerlukan kontrol yang seksama

5. Tindakan pembedahan abdomen yang elektif dan tindakan operatif gigi yang
berat harus ditunda.

Tindakan khusus
1. Pasien-pasien dengan kehamilan kembar harus diistirahatkan ditempat tidur
sejak minggu ke 28 hingga minggu ke 36 atau ke 38

2. Fibromyoma uteri. Kalau memberikan keluhan dirawat dengan istirahat


ditempat tidur dan analgesia pembedahan sedapat mungkin dihindari

3. Plasenta previa dirawat dengan istirahat total dab transfusi darah untuk
mrnunda kelahiran bayi aampai tercapai ukuran yang viabel. Tentu saja
pendarahan yang hebat memerlukan pembedahan segera.

4. Inkompetensi servik harus dijahit dalam bagian pertama trimester ke 2 selama


semua persyaratan dipenuhi

5. Sectio caesarea elektif dan ulangan hanya dilakukan kalau kita yakin bahwa
bayi sudah cukup besar. Bahaya pada pembedahan yang terlalu dini adalah
kelahiran bayi kecil yang tidak bisa bertahan hidup.

E. Penatalaksanaan

1. Pantau janin dengan memeriksa DJJ dengan pengukuran tanda vital jika tidak
ada pemantau elektronik

2. Pantau tingkat atau kadar magnisium sulfat ambil dengan fungsi vena untuk
mengetahui kadar elektronik dan kalsium

3. Pantau EKG ibu

4. Periksa tekanan darah, nadi, dan DJJ tiap 10 menit selama peningkatan dosis,
kemudian tiap 30 menit saat pasien mendapat ritodrin melalui iv dengan dosis
tetap pantau DJJ dan kontraksi uterus terus menerus jika mungkin

5. Anjurkan sering berkemih

6. Jelaskan semua prosedur sebelum melakukan tindakan

7. Beri pasien dan orang terdekat informasi tentang perubahan dalam persalinan
dan status janin

8. Rencanakan asuhan keperawatan untuk memberikan istirahat untuk


meningkatkan rasa nyaman, tidur dan relaksasi.
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas klien

Nama : Ny. K

Usia : 39 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Desa Tuk RT 02/RW 06 Kec. Kedawung Kab. Cirebon

Agama : Islam

Tanggal MRS : 26 September 2019 jam 22.25 WIB

No. MR : Tidak terkaji

Diagnosa Medis : G4P2A1 gestasi 32-33 minggu dengan Ketuban Pecah Dini,
Prematur, Fetal Distrees, dan pendarahan antepartum.

Data Pre Hospital (Praktik Bidan)

Keluhan Utama : Pasien keluar darah warna merah segar dan cair sekitar 150-200 CC
disertai air ketuban pada jam 18.30 WIB.

Data Pre Hospital (Puskesmas PONED)

Cara tiba ke RS : Ambulance

Keadaan Umum : Lemah dan pingsan sekitar 10 menit

TTV : TD = 90/60 mmHg

Nadi = 92x/menit (lemah tak teraba pada kedua tangan)

Respirasi = 16 x/menit
Suhu = Tidak Terkaji

Pemeriksaan Fisik :
Darah keluar pervagina tidak disertai mules, DJJ 96x/menit, PUKA dan kepala ada
difundus, TFU dipertangahan pusat- processus xypoid, portio membuka 1-2 cm.

Tindakan dan pengobatan yang telah dilakukan:


a. Pasien diberikan oksigen 3 liter/menit, IVFD RL 30 gtt/menit.
b. Pasien telah mendapatkan 2 labu RL sampai proses rujukan ke UGD. Belum
mendapatkan terapi apapun dari puskesmas. Saat dibawa dari puskesmas, pasien sadar
dan lemah.
Data Intra Hospital (UGD).
Keluhan utama: Pasien datang dengan keluhan lemah.
A. Pengkajian primer

Circulation :CRT, 5 Detik berkeringat seluruh tubuh

Warna kulit: Tampak pucat seluruh tubuh

Nadi: 98x/menit irreguler

DJJ: 102x/menit

TD: 90/60 MmHg

Airway : Paten, tidak ada hambatan jalan nafas

Breathing : Respirasi: 16x/menit

Disability : Tingkat Kesadaran : CM

: GCS : 4Eye 5Verbal 5Motorik

:Suhu: 35,90C

Pupil isokor

Pemeriksaan Leopold

Leopold I : TFU= tiga jari diatas umbilicus, kepala teraba difundus

Leopold II : PUKA(Punggung berada di kanan),

Leopold III :Hasil PD: pembukaan 2-3 cm portio kaku

Leopold IV :Tidak teraba jaringan, pergerakan janin lemah..


Informasi tambahan & Terapi Medis

1. Terpasang IVD RL 24 gtt/ menit pada radialis dextra

2. Pasien diberikan oksigen 3 liter/menit

1. Askep Pad Ibu Pasien


A. Analisa Data

No Data Etiologi Masalah Keperawatan

1. DS : KPD Gangguan Perfusi


Jaringan
DO : Pembuluh Darah Tali
- Tampak pucat Putus
pada wajah
dan
tangannya.
- Px tampak Ruptur Pembuluh Darah
lemah &
pingsan.
- TD= 90/60
mmHg. Kehilangan banyak darah
- Terpasang (150 cc – 200cc)
oksigen
3x/meint
- CRT = 5 detik
Perdarahan Antepartum

Sel” tubuh kekurangan


pasokan darah

Metabolisme energi pada


sel terganggu

Sel” harus menghasilkan


energi melalui
mtebolisme anaerob

Metabolisme tingkat
energi yang rendah

Mengakibatkan fungsi
normal sel menurun

Sel membengkak dan


menjadi lebih permaebel

Kematian sel
Hipovolemia

Kurangnya suplai O2
keseluruh jaringan tubuh

Oksigen ke sleuruh tubuh


menurn

Gangguan perfusi
Jaringan

2. DS : Perdarahan Antepartum Resiko Syok


- Pasien Hipovolemik
mengatakan
“tidak ada rasa
mules pada Sel” tubuh kekurangan
saat terjadinya pasokan darah
pengeluaran
darah pada
vagina”
Metabolisme energi pada
sel terganggu
DO :
- Pasien keluar
darah warna
Sel” harus menghasilkan
merah segar
dan cair energi melalui
sekitar 150 – mtebolisme anaerob
200 CC.
- Pasien telah
mendapatkan
2 labu RL Metabolisme tingkat
- Terdapat energi yang rendah
darah segar
pada pembalut
dan terdapat
Mengakibatkan fungsi
rembesan
cairan yang normal sel menurun
keluar
pervaginam.
- Keringat
seluruh tubuh. Sel membengkak dan
menjadi lebih permaebel

Kematian sel

Hipovolemia

Kehilangan darah dan


elektrolit

Resiko Syok
Hipovolemik

B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan kurang nya suplai O2 ke
seluruh tubuh ditandai dengan CRT > 2 dtk, pucat, TD menurun.
2. Resiko Syok Hipovolemik berhubungan dengan hipovolemia ditandai dengan
perdarahan.
C. Intervensi Keperawatan

No. Diagnosa Keperewatan Tujuan Keperawatan Intervensi Keperawatan Rasional

1. Gangguan perfusi Setelah dilakukan tindakan - Meng-auskultasi denyut jantung - Mengkaji kondisi denyut jantung
jaringan perifer keperawatan selama 3 x 24 janin. pada bayi.
berhubungan dengan jam diharapkan pasien dapat
kurang nya suplai O2 ke menunjukan perfusi jaringan - Kaji penyebab terjadinya perdarahan
seluruh tubuh ditandai yang adekuat, dengan
dengan CRT > 2 dtk, kriteria hasil : - Untuk mengetahui penyebab dari
pucat, TD menurun. - Pucat - Monitor TTV. perdarahan
Indikator Saat Target
ini
- Untuk mengetahui perkembangan
Pucat 4 3 tanda tanda vital dari kondisi
- Monitor kebutuhan oksigen. pasien.

- Untuk mengetahui perkembangan


- Elevasikan ekstremitas bawah kebutuhan oksigen.

- Untuk meningkatkan perfusi ke


organ vital dan fetus
2. Resiko Syok Setelah dilakukan tindakan - Monitor jumlah dan sifat - Untuk mengetahui perkembangan
Hipovolemik keperawatan selama 3 x 24 kehilangan darah jumlah dan sifat kehilangan
berhubungan dengan jam diharapkan volume darah.
hipovolemia ditandai cairan terpenuhi, dengan
dengan perdarahan. kriteria hasil : - Perdarahan dapat berhenti
dengan reduksi aktivitas.
Indikator Saat Target
Peningkatan abdomen atau
ini - Melakukan tirah baring. orgasme (yang meningkatakan
aktivitas uterus) dapat
Lemah 4 3 merangsang perdarahan.

- Menjamin keadekuatan darah


yang tersedia untuk otak.

- Memposisikan klien dengan tepat.


Instruksikan untuk telentang dan - Untuk mengetahui jika dijumpai
pangul di tinggikan atau semi terjdinya syok
fowler hindari posisi
trendelenburg.

- Monitor tanda tanda vital dan - Memantautimbulnyakontraksi


sianosis. uterus

- Memantau aktivitas uterus, - Pelaporan tanda perdarahan dengan


cepat dapat membantu dalam
melakukan tindakan segera dalam
mengatasi keadaan klien.
- Anjurakan klien/ keluargapasien
untuk melaporkan segera bila ada - Membantu menentukan beratnya
tanda-tanda perdarahan lebih banyak kehilangan darah.
- Membantu menentukan sifat
hemoragi dan kemungkinan hasil
- Kolaborasi dengan dokter dalam dari peristiwa hemoragi.
pemberian larutan intravena, - Meningkatkan volume darah
ekspander plasma, darah lengkap, sirkulasi dan mengatasi gejala-
atau sel-sel kemasan sesuai gejala syok
indikasi.

- Untuk mengetahui hasil


penunjang medik( laboratorium )
dan melakukan pelaporan nilai
kritis

- Monitor data hasil penunjang


medic dan pelaporan nilai kritis
2. Askep Pada Janin
A. Analisa Data

No. Analisa Data Etiologi Masalah Keperawatan

1. DS : Hipovolemia Resiko Gawat Janin

Kurangnya suplai O2
keseluruh jaringan tubuh
DO :
- DJJ 102
kali/menit. Asupan O2 ke janin juga
- pergerakan berkurang
janin lemah
- TFU = tiga
jari diatas
umbilicus, Janin kekurangan O2
PUKA, kepala
teraba di
fundus,
Pergerakan Janin melemah

Resiko Gawat Janin

B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko Gawat Janin berhubungan dengan kekurangan asupan O2 pada janin
ditandai dengan DJJ 102x/menit, pergerakan janin lemah
C. Intervensi Keperawatan

No. Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi Keperawatan Rasional

1. Resiko Gawat Janin Setelah dilakukan tindakan - Anjurkan klien agak miring ke - Posisi tidur menurunkan
berhubungan dengan keperawatan selama 3 x 24 kiri
oklusi vena cava inferior
kekurangan asupan O2 jam diharapkan tidak terjadi
oleh uterus dan
pada janin ditandai gawat janin dengan kriteria
dengan DJJ 102x/menit, hasi : meningkatkan aliran balik
pergerakan janin lemah vena ke jantung.
Indikator Saat Target
- Dengan nafas dalam dapat
ini
meningkatkan konsumsi O2
Janin 4 3
pada ibu sehingga O2 janin
Lemah - Instuksikan pasien untk nafas
dalam. terpenuhi.
- Korticosteroit dapat
meningkatkan ketahanan sel
terutama organ-organ vital
pada janin.

- Kolaborasi dengan dokter


tentang pemberian
kortikosteroit.
Phatway

Riwayat Aborsi

Kuretase

Kelainan serviks uteri

Kanalis Serviks Uteri

Mengabikatkan mudahnya pengeluaran cairan ketuban

Ketuban Pecah Dini

Pembuluh Darah dan tali pusat terletak di selaput ketuban

Pembuluh Darah Tali Putus

Ruptur Pembuluh Darah

Aliran darah ke janin terganggu Kehilangan banyak darah (150 cc – 200cc)

Pompa daya jantung pada janin bekerja meningkat Perdarahan Antepartum

Peningkatan DJJ Sel” tubuh kekurangan pasokan darah

Metabolisme energi pada sel terganggu

Sel” harus menghasilkan energi melalui mtebolisme anaerob

Metabolisme tingkat energi yang rendah


Mengakibatkan fungsi normal sel menurun

Sel membengkak dan menjadi lebih permaebel

Kematian sel

Hipovolemia

Kurangnya suplai O2 keseluruh jaringan tubuh

Oksigen ke sleuruh tubuh menurn

Gangguan perfusi Jaringan

Kehilangan darah dan elektrolit

Resiko Syok Hipovolemik

Asupan O2 ke janin juga berkurang

Janin kekurangan O2

Pergerakan Janin melemah

Resiko Gawat Janin

Anda mungkin juga menyukai