Perawat A menerima pasien yang dibawa oleh petugas kesehatan puskesmas PONED
menggunakan ambulance di gerbang ruang UGD pada tanggal 26 September 2019 jam 22.25
WIB. Pasien diturunkan dari ambulance oleh dua petugas kesehatan puskesmas PONED
tersebut dibantu oleh satpam UGD. Saat pasien diturunkan, Perawat A melihat pasien tampak
pucat pada wajah dan tangannya, diam, lemah, berkeringat seluruh tubuh dan teraba basah
saat diraba, perutnya besar. Pasien dibawa ke ruangan Triage dan petugas kesehatan
puskesmas PONED melakukan handover pasien ke dokter jaga UGD. Petugas puskesmas
PONED menjelaskan data pasien sebagai berikut :
Nama pasien : Ny. Karomah, usia 39 tahun, alamat Desa Tuk RT 02/RW 06 Kec. Kedawung
Kab. Cirebon, G4P2A1, gestasi 32-33 minggu, ANC sudah 4 kali di bidan praktik swasta,
Pasien keluar darah warna merah segar dan cair sekitar 150 – 200 CC disertai air ketuban
pada jam 18.30 WIB dan pasien datang ke bidan praktik swasta saat itu. Bidan langsung
merujuk ke puskesmas PONED. Saat di puskesmas PONED dilakukan pemeriksaan, pasien
lemah dan pingsan sekitar 10 menit, TD= 90/60 mmHg, denyut nadi = 92 kali/menit, respirasi
16 kali/menit, darah keluar per vagina tidak disertai mules, DJJ 96 kali/menit, PUKA dan
kepala ada di fundus, TFU di pertengahan pusat – procesus xypoid, portio membuka 1-2 cm,
pasien diberikan oksigen 3 liter/menit, IVFD RL 30 gtt/menit. Pasien telah mendapatkan 2
labu RL sampai proses rujukan ke UGD ini. Belum mendapatkan terapi apapun dari
puskesmas. Saat dibawa dari puskesmas, pasien sadar dan lemah.
Dokter jaga menerima laporan tersebut dan petugas kesehatan Puskesmas PONED
meninggalkan ruangan UGD.
Perawat A melakukan pemeriksaan di ruang triage. Didapatkan data sebegai berikut :
Membuka mata spontan, tangan dan kaki tidak mampu menahan tekanan dari atas, suara
terdengar lirih saat menjawab perawat, pupil isokor, tampak pucat seluruh tubuh, TD = 90/60
mmHg, denyut nadi 98 kali/menit dan ireguler, repirasi 16 kali/menit reguler, suhu 35,9ºC,
terpasang nasal kanul dan oksigen 3 liter/menit, terpasang IVFD RL 24 gtt/menit pada
radialis dextra, CRT= 5 detik, keringat seluruh tubuh.
Pasien kemudian diperiksa oleh bidan dan hasil pemeriksaan lanjut didapatkan data sebagai
berikut :
terdapat darah segar pada pembalut dan terdapat rembesan cairan yang keluar pervaginam,
terdapat tampon pada genitalia, DJJ 102 kali/menit, TFU = tiga jari diatas umbilicus, PUKA,
kepala teraba di fundus, hasil PD : pembukaan 2-3 cm, portio kaku, tidak teraba jaringan,
pergerakan janin lemah.
STEP I
KATA KUNCI
1. PONED
2. Ambulance
3. UGD
4. Triage
5. Handover
6. ANC
7. DJJ
8. TFU
9. Gestasi
10. Pergerakanjanin
11. Perdarahanpervaginam
Jawaban Kelompok :
1. PONED (Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Dasar). PONED ini ada di Puskesmas,
PONED digunakan untuk penanganan kegawatdaruratan pada persalinan.
2. Ambulance adalah kendaraan yang dilengkapi peralatan medis untuk mengangkut orang
sakit atau korban kecelakaan.
3. UGD adalah salah satu bagian dari rumah sakit, dimana UGD ini merupakan penanganan
awal bagi klien yang menderita sakit atau cedera.
4. Triage adalah perawatan terhadap pasien yang didasarkan pada prioritas pasien. Triage
juga adalah tingkatan klasifikasi pasien berdasarkan penyakit dan tingkat keparahan.
5. Handover adalah serah terima pasien dari pelayanan kesehatan pertama ke pelayanan
kesehatan yang lebih lengkap.
6. ANC (Antenatal Care) adalah pemeriksaan kehamilan oleh bidan atau dokter pada ibu
hamil yang tujuannya untuk mengaoptimalkan kesehatan mental dan fisik.
7. DJJ (denyut jantung janin) pemeriksaan DJJ dilakukan untuk mengetahui denyut jantung
janin, frekuensidenyutjantungbayi normal 120 – 160 x/menit.
8. TFU (Tinggi Fundus Uteri) pemeriksaan tinggi fundus uteri dapat dilakukan tenaga ahli
seperti bidan atau dokter.
9. Usia gestasi adalah periode waktu dimana antara konsepsi atau pembuahan dan kelahiran
normalnya usia gestasi yaitu 37-42 minggu.
10. Pergerakan janin adalah salah satu parameter kesehatan janin dalam kandungan,
pergerakan janin dapat dirasakan oleh ibu sejak usia kandungan 16 minggu.
11. Perdarahan pervaginam (perdarahan vagina abnormal) adalah keluarnya darah dari
STEP II
IDENTIFIKASI MASALAH
1. Apa saja yang tindakan yang dilakukan petugas kesehatan puskesmas PONED pada
kasus sebelum pasien dirujuk ke UGD?
2. Apa saja yang tindakan petugasponeddilakukan saat pasien berada di ambulance pada
kasus tersebut?
3. Pada saat di UGD, pasien tersebut masuk triage apa?
4. Apa tujuan dari pemeriksaan ANC?
5. Berapa nilai normal DJJ?
6. Bagaimana prosedur pemeriksaan TFU?
7. Kasus usia gestasi pasien 32-33 minggu, termasuk trimester berapa pasien tersebut?
8. Apa penyebab terjadinyaperdarahan pervaginam?
STEP III
ANALISIS MASALAH
1. Menurut kelompok, tindakan yang dilakukan oleh petugas puskesmas PONED pada
kasus tersebut adalah dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital, pemeriksaan DJJ,
pemeriksaan TFU, petugas kesehatan memberikan oksigen 3 liter/menit dan pemasangan
infus dengan cairan RL, dan pemeriksaan kala 1.Sedangkan menurut teori puskesmas
PONED harus mampu memberikan pelayanan seperti penanganan
preeklamsia,eklamsia,perdarahan, sepsis, asfiksia, kejang, ikterus, hipoglikemia,
hipotermia, tetanus neonatorum, trauma lahir, BBLR, sindrom gangguan pernafasan dan
kelainan kongenital. (Irianto,2015).Puskesmas PONED harus memiliki tenaga kesehatan
yang telah dilatih PONED yaitu tim PONED (1 dokter dan 2 paramedis). Pelayanan yang
dapat diberikan puskesmas PONED yaitu pelayanan dalam menangani kegawatdaruratan
ibu dan bayi :
e. Infeksi nifas
g. Hipotermi
h. Hipoglikemia
i. Ikterus
j. Hiperbilirubinemia
PEMERIKSAAN PENUNJANG
DIAGNOSA
KEPERAWATAN
STEP IV
MIND MAPPING
ETIOLOGI PATOFISIOLOGI
Patofisiologi KPD
Adanya hipermotilitas rahim
yang sudah lama terjadi sebelum
ketuban pecah, selaput ketuban
DEFINISI telalu tipis, infeksi (amniotitis
KPD atau korioamnionitis), faktor-
PEMERIKSAAN PENUNJANG
DIAGNOSA
KEPERAWATAN
DIAGNOSA KEPERAWATAN
INTERVENSI
Gangguan Perfusi
Gangguan Perfusi Jaringan
Jaringan
Meng-auskultasi denyut
Resiko Syok
jantung janin.
Hipovolemik
Kaji penyebab terjadinya
perdarahan
Monitor TTV.
Monitor kebutuhan
oksigen.
Elevasikan ekstremitas
bawah
Resiko Syok
Hipovolemik
Memposisikan klien
dengan tepat
Memposisikan klien
dengan tepat.
Instruksikan untuk
telentang dan pangul di
tinggikan atau semi
fowler hindari posisi
trendelenburg.
Monitor tanda tanda vital
dan sianosis.
STEP V
LEARNING OBJEKTIF
Memantau aktivitas
uterus,
1. Mahasiswa mampu menganalisis definisi KPD, Gawat Janin, dan Partus Prematur
2. Mahasiswa mampu menganalisis etiologi KPD, Gawat Janin, dan Partus Prematur
3. Mahasiswa mampu menganalisis patofisiologi KPD, Gawat Janin, dan Partus
Prematur
4. Mahasiswa mampu menganalisis manifestasi KPD, dan Gawat Janin
5. Mahasiswa mampu menganalisis penatalaksanaan KPD, Gawat Janin, dan Partus
Anjurakan klien/
Prematur
keluargapasien untuk
6. Mahasiswa
melaporkan mampu menganalisis
segera bila ada faktor resiko KPD dan Gawat Janin
7. Mahasiswa mampu menganalisis
tanda-tanda perdarahan diagnosis Gawat Janin dan Partus Prematur
8. Mahasiswa
lebih banyak
mampu menganalisis cara menentukan, pengaruh, dan komplikasi
KPD
9. Mahasiswa mampu menganalisis Denyut Jantung Janin pada Gawat Janin
10. Mahasiswa mampu menganalisis pencegahan Partus Prematur
Kolaborasi mampu
11. Mahasiswa dengan dokter
menganalisis asuhan keperawatan gawat darurat pada pasien
dalam pemberian larutan
yang mengalami KPD, Gawat Janin, dan Partus Prematur.
intravena, ekspander
plasma, darah lengkap,
atau sel-sel kemasan
sesuai indikasi.
STEP VI
INFORMASI TAMBAHAN
Jurnal 1
A. Identitas jurnal
Tahun : 2016
B. MASALAH
Premature rupture of membranees (PROM) adalah suatu kondisi yang berhubungan
dengan pecah spontannya selaput ketuban sebelum ada tanda-tanda persalinan aktif. Ini
meningkatkan risiko komplikasi pada kesehatan ibu dan janin. Dalam mencegah
berbagai komplikasi yang akan timbul akibat PROM, perawat harus menerapkan teori
atau model keperawatan yang tepat dalam mengembangkan rencana asuhan keperawatan.
Teori keperawatan dan model konseptual adalah pengetahuan keperawatan yang
mengatur kegiatan keperawatan, dan membimbing perawat dalam penelitian, praktik,
pendidikan, dan manajemen. Namun, di Indonesia, model keperawatan jarang digunakan
oleh praktisi perawat dan peneliti termasuk dalam periode perinatal. Tujuan artikel ini
adalah untuk menentukan penerapan teori adaptasi Roy dalam kasus ketuban pecah dini.
Penelitian ini adalah desain studi kasus. Ada 5 wanita hamil yang berpartisipasi dalam
penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penilaian berdasarkan dua
pendekatan model adaptasi yang diterapkan dalam penelitian ini, enam diagnosis
keperawatan diidentifikasi, dan semua rencana asuhan keperawatan telah dilaksanakan.
Konsep adaptasi sesuai dalam membantu pasien dengan ketuban pecah dini. Namun,
aspek sosial yang terkait dengan praktik budaya klien tidak dijelaskan dengan
jelas.Menggabungkan dua atau lebih teori dalam rencana asuhan keperawatan akan
bermanfaat bagi kesehatan dan kesejahteraan ibu dan bayinya.
C. METODE PENELITIAN
Studi kasus ini melibatkan 5 wanita hamil yang didiagnosis dengan ketuban pecah dini di
rumah sakit rujukan nasional. Studi kasus adalah desain penelitian dengan pendekatan
intensif dan detail yang berfokus pada kasus-kasus tertentu. Tahapan dalam penelitian ini
menerapkan 5 langkah asuhan keperawatan termasuk penilaian, diagnosis keperawatan,
rencana asuhan keperawatan, implementasi, dan evaluasi. Pedoman untuk asuhan
keperawatan pengembangan adalah teori adaptasi Roy. Penilaian dibagi menjadi dua
tahap, tahap pertama meliputi penilaian fisiologis, fungsi peran, konsep diri, dan saling
ketergantungan. Tahap kedua terdiri dari pemeriksaan fokus, rangsangan kontekstual dan
residual. Dan kemudian menciptakan diagnosis keperawatan, rencana tindakan, dan
menerapkan tindakan keperawatan, dan evaluasi.
D. HASIL
Bagian ini menyajikan hasil penerapan teori adaptasi Roy dalam 5 kasus wanita hamil
dengan PROM termasuk karakteristik responden, tahap penilaian, diagnosis
keperawatan, intervensi, implementasi, dan evaluasi.
E. IMPLEMENTASI DAN EVALUASI
Rencana Perawatan Perawat (NCP) telah dikembangkan dan diimplementasikan selama
3-5 hari. 4 dari 5 peserta melahirkan bayi mereka lebih awal dari tanggal perkiraan, itu
karena kesehatan janin semakin memburuk. Tidak ada indikasi komplikasi yang terjadi
pada ibu, seperti infeksi. Ibu dan keluarga telah memahami kondisi risiko PROM
termasuk pergerakan normal janin setiap hari, dan tanda dan gejala persalinan. Satu dari
lima janin meninggal setelah tanda-tanda vital terus menurun.
F. DISKUSI
Karakteristik peserta dalam penelitian ini bervariasi. Usia berkisar antara 20-26 tahun,
tingkat pendidikan minimum adalah sekolah menengah pertama dan maksimum adalah
Sarjana, yang sebagian besar berasal dari tingkat ekonomi yang rendah karena 4 dari 5
memperoleh subsidi asuransi kesehatan dari pemerintah Indonesia. Kondisi
sosialekonomi diidentifikasi sebagai faktor yang mempengaruhi ketuban pecah dini.
Meskipun penyebab pasti PROM belum ditemukan secara jelas, penurunan aktivitas
antibakteri dalam cairan ketuban dalam kelompok sosial ekonomi rendah mungkin
menjadi salah satu penyebab PROM (Hackenhaar, Albernaz, & da Fonseca, 2014).
Jurnal 2
A. Identitas jurnal
Judul Jurnal : Maternity Nurses Performance Regarding Late Ante Partum Hemorrhage:
An Educational Intervention
Nama Peneliti:Afaf Mohamed Mohamed Emam
Tahun : 2018
B. MASALAH
Perdarahan selama periode antepartum adalah keadaan darurat yang mengancam
jiwa bagi ibu dan / atau janin. Perdarahan antepartum lanjut terkait dengan peningkatan
risiko perdarahan postpartum, anemia, syok, berat badan lahir rendah, kematian janin
dalam kandungan, dan asfiksia lahir. Ini berkontribusi 15-20% dari kematian ibu di
duniadengan jelas. Menggabungkan dua atau lebih teori dalam rencana asuhan
keperawatan akan bermanfaat bagi kesehatan dan kesejahteraan ibu dan bayinya.
Perdarahan antepartum lanjut didefinisikan sebagai perdarahan dari saluran genital sejak
saat kelangsungan hidup kehamilan untuk kelangsungan hidup rahim ekstra hingga
kelahiran bayi APH merumitkan 0,5-5% kehamilan dan merupakan salah satu alasan
kunjungan rumah sakit darurat di antara wanita hamil. Penyebab utama APH adalah
plasenta previa dan solusio plasenta; Namun, penyebab pasti perdarahan dalam beberapa
kasus mungkin tidak dapat ditentukan. Dalam proporsi kecil di mana plasenta previa dan
solusio dikecualikan, penyebabnya mungkin terkait dengan lesi lokal serviks dan vagina,
misalnya, servisitis, erosi serviks, tumor genital, varises vulva dan pertunjukan berat dan
kadang-kadang janin asli misalnya, pecah vasa previa dan insersi kabel yang cepat.
Ante partum hemorrhage (APH) adalah salah satu kedaruratan kebidanan yang
paling serius dan merupakan penyebab utama kematian dan kesakitan ibu dan
perinatal. Ini mempengaruhi 2-5% kehamilan.Secara global, ini adalah penyebab utama
hampir seperempat dari semua kematian ibu. Di negara-negara berkembang termasuk
Mesir, ante partum hemorrhage adalah penyebab langsung utama kematian ibu. Secara
khusus, itu adalah penyebab penyebab 21,3% dari semua kematian ibu langsung di Mesir
2013. Karena morbiditas dan mortalitas yang signifikan terkait dengan APH. Perawat
bersalin adalah penyedia layanan kesehatan garis depan yang memiliki banyak tanggung
jawab untuk meningkatkan kesehatan wanita, mengurangi angka kesakitan dan
menyelamatkan hidup ibu. Ini dapat dicapai melalui peningkatan pengetahuan,
keterampilan teknis, selain pengambilan keputusan klinis dan penilaian. Karena itu,
sangat penting untuk berpartisipasi dalam perawat bersalin dalam intervensi
pendidikan. Pendekatan ini membuktikan untuk mempersiapkan perawat untuk
merespons secara kompeten dalam situasi darurat melalui manajemen yang cepat
dari APH terlambat .
C. METODE PENELITIAN
Desain Penelitian : Desain penelitian eksperimental semu digunakan (desain pre / post-
test), kelompok tunggal dipelajari untuk memenuhi tujuan penelitian ini.
Pengaturan : Penelitian ini dilakukan di departemen kebidanan dan ginekologi
di Rumah Sakit Universitas Benha.
Sampel: Semua perawat yang bekerja di pengaturan yang disebutkan di atas pada saat
pengumpulan data dan setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian dimasukkan. Jumlah
total adalah (64) perawat bersalin.
Alat pengumpulan data:dua alat digunakan untuk mengumpulkan data
Alat I: Jadwal Wawancara Terstruktur: Ini dirancang oleh para peneliti setelah
meninjau literatur terkait. Itu ditulis dalam bahasa Arab dalam bentuk pertanyaan tertutup
dan terbuka. Ini mencakup dua bagian utama :
Bagian I: termasuk data sosio-demografis dari sampel yang diteliti seperti usia,
kualifikasi, tahun pengalaman di departemen kebidanan dan ginekologi dan kehadiran
kursus pelatihan tentang manajemen APH yang terlambat.
Bagian II: Penilaian pengetahuan perawat bersalin tentang keterlambatan APH: Bagian
ini digunakan sebelum dan setelah implementasi program intervensi pendidikan (format
pra / pasca-tes), termasuk tiga puluh enam pertanyaan pilihan ganda yang dibagi menjadi
empat bagian;
Bagian (1) pengetahuan tentang definisi dan kejadian late ante partum, terdiri dari (6)
item (definisi dan kejadian pendarahan partum terlambat ante, definisi dan kejadian
plasenta previa, definisi dan kejadian abruptio plasenta)
Bagian (2) pengetahuan tentang etiologi, faktor predisposisi & jenis antum partum
terlambat: terdiri dari (9) item (etiologi, faktor predisposisi & jenis antum partum
terlambat, etiologi, faktor predisposisi & jenis plasenta previa, etiologi, faktor
predisposisi & jenis solusio plasenta).
Bagian (3) pengetahuan tentang manifestasi klinis & komplikasi late ante partum: terdiri
dari (6) item (manifestasi klinis & komplikasi late ante partum, manifestasi klinis &
komplikasi plasenta previa, manifestasi klinis & komplikasi abruptio plasenta).
Bagian (4) pengetahuan tentang diagnosis & manajemen partum ante terlambat: terdiri
dari (15) item (diagnosis & manajemen partum ante terlambat, diagnosis & manajemen
plasenta previa, diagnosis & manajemen abruptio plasenta).
D. HASIL
Tabel (1) Merupakan karakteristik sosial-demografis dari perawat yang
diteliti. Jelas bahwa (39,1%) perawat berusia antara 30- <40 tahun, dengan usia rata-rata
(34,646,04) tahun. Selanjutnya, mayoritas (92,2% ) dari mereka bekerja sebagai
perawat staf. Mengenai kualifikasi pendidikan perawat, tiga perempat (75,0%) dari
mereka memiliki pendidikan keperawatan menengah. Mengenai pengalaman bertahun-
tahun, tiga perempat (75,0%) perawat memiliki lebih dari 10 tahun pengalaman di ruang
bersalin, dengan rata-rata (15,77.75,38 tahun). Hanya (12,5%) dari perawat menghadiri
pelatihan program tentang APH.
Tabel (2) Mewakili itu, ada perbedaan yang sangat signifikan secara statistik (P
<.001) sebelum dan sesudah pelaksanaan intervensi pendidikan dalam kaitannya dengan
pengetahuan perawat tentang keterlambatan APH.
Tabel (3): Menunjukkan bahwa, ada perbedaan yang sangat signifikan secara
statistik antara skor rata-rata pengetahuan terkait dengan APH terlambat antara intervensi
pra dan pasca pendidikan (p <0,001).
Gambar. (1 ): Menggambarkan bahwa, mayoritas (82,81%) dari perawat yang diteliti
memiliki pengetahuan yang tidak memuaskan sebelum intervensi pendidikan. Namun,
setelah intervensi, hampir (93,75%) dari mereka memiliki pengetahuan
yang memuaskan.
Tabel (4) : Menampilkan bahwa, ada perbedaan yang sangat signifikan secara
statistik(P<.001)sebelumdansesudah intervensi pendidikan dalam kaitannya dengan prakt
ik perawat tentang penilaia awal & tindakan darurat, pengajaran pasien/pengasuh
(instruksi dan penjelasan), Persiapan untuk investigasi dan operasi, administrasi perawat
perawatan fisik dan pengobatan serta pengendalian dan pencegahan infeksi (tindakan
pencegahan standar).
Gambar. (2 ): Menggambarkan bahwa, hanya (9,40%) dari perawat yang diteliti
memiliki praktik yang kompeten sebelum intervensi pendidikan. Namun, setelah
intervensi berubah menjadi (93,80%) setelah intervensi.
Tabel (5) mencerminkan bahwa, ada korelasi negatif, sangat signifikan secara statistik (P
≤ 0,01) antara total pengetahuan perawat, total skor praktik dan usia mereka, serta antara
total pengetahuan perawat, total praktik skor dan tahun-tahun mereka. pengalaman
sebelum dan sesudah intervensi pendidikan. Di sisi lain, ada korelasi positif, sangat
signifikan secara statistik (P ≤ 0,01) antara pengetahuan total perawat, total praktik skor
dan tingkat pendidikan mereka.
Tabel (6): menunjukkan korelasi antara pengetahuan perawat yang dipelajari dan skor
praktik sebelum dan sesudah intervensi pendidikan, diamati bahwa ada hubungan yang
sangat positif antara pengetahuan mereka dan skor praktik sebelum dan
sesudah intervensi pendidikan .
E. IMPLEMENTASI
Implementasi intervensi pendidikan mengambil (19) minggu periode. Peneliti
mengunjungi pengaturan yang disebutkan sebelumnya dalam dua shift (pagi - sore),
dua hari / minggu sebagai alternatif. Intervensi pendidikan melibatkan (6) sesi
terjadwal; 3 sesi untuk konten teoritis dan 3 untuk konten praktis dan dilaksanakan
sesuai dengan keadaan kerja, kesiapan fisik dan mental perawat. Sesi ini diulangi
untuk setiap subkelompok (4-5) perawat. Durasi setiap sesi berlangsung dari setengah
jam hingga satu jam termasuk periode diskusi sesuai dengan pencapaian, kemajuan,
dan umpan balik mereka. Pada awal sesi pertama orientasi ke intervensi pendidikan
dan tujuannya berlangsung. Umpan balik diberikan di awal setiap sesi tentang sesi
sebelumnya. Berbagai strategi pengajaran digunakan seperti ceramah, diskusi
kelompok, pemikiran kritis dan penyelesaian masalah, pemetaan konsep dan
demonstrasi / demonstrasi ulang. Media pengajaran yang sesuai digunakan, termasuk
buklet pendidikan yang didistribusikan kepada semua perawat di hari pertama
intervensi pendidikan serta alat bantu audio-visual ( presentasi data ).
F. Evaluasi
Segera setelah implementasi intervensi pendidikan, post test untuk
pengetahuan dan praktik perawat dilakukan dengan format pre-test yang sama
untuk menilai dampak intervensi pendidikan yang diterapkan .
G. DISKUSI
Perdarahan kebidanan tetap menjadi salah satu penyebab utama kematian ibu
di negara berkembang dan merupakan penyebab hingga 50% dari perkiraan
500.000 kematian ibu yang terjadi secara global setiap tahun. Say et
al., (2014) [18] , dan itu adalah salah satu penyebab kebidanan utama morbiditas dan
mortalitas perinatal Gardosi et al., (2013). [19] Ante partum hemorrhage (APH)
adalah salah satu keadaan darurat yang paling sering terjadi di bidang
kebidanan Sheikh & Khokhar, (2015) [14]. Beberapa bukti merekomendasikan
perlunya intervensi pendidikan di bidang ini. Ruth & Kennedy (2011) [20] mencatat
peningkatan hasil pasien positif selama pengobatan APH terlambat setelah perawat
staf menghadiri pelatihan dalam layanan pada dokumentasi yang tepat dan
kuantifikasi kehilangan darah selama kehamilan. Demikian pula, sebuah studi baru-
baru ini oleh Motanya (2015) [21] menunjukkan perlunya program pendidikan untuk
staf perawat dan kebutuhan untuk rumah sakit untuk mengembangkan standar
untuk praktik profesional terkait dengan penurunan APH. Penelitian ini dilakukan
untuk mengevaluasi pengaruh intervensi pendidikan pada kinerja perawat
(pengetahuan dan praktik) bersalin tentang manajemen APH terlambat. Penelitian
ini mendukung hipotesis yang dinyatakan bahwa intervensi pendidikan
meningkatkan pengetahuan dan praktik perawat bersalin mengenai
manajemen APH terlambat .
Mengenai pengetahuan total perawat bersalin tentang keterlambatan APH,
temuan penelitian ini mengungkapkan bahwa mayoritas perawat yang diteliti
memiliki pengetahuan yang tidak memuaskan sebelum pelaksanaan intervensi
pendidikan. Penurunan persentase pengetahuan perawat sebelum intervensi
pendidikan mungkin disebabkan oleh bahwa sebagian besar perawat yang diteliti
adalah pendidikan keperawatan sekunder, bekerja sejak lebih dari 10 tahun yang lalu,
serta partisipasi yang tidak memadai dalam program pelatihan yang terkait dengan
topik penelitian. , di mana sebagian besar perawat tidak menghadiri program
pelatihan apa pun tentang keterlambatan APH. Temuan ini sesuai
dengan Jayanthi, (2018) [ 22] yang telah mempelajari '' efek dari program pengajaran
terstruktur pada ante partum hemorrhage di antara staf perawat ''. Dia menunjukkan
bahwa, mayoritas perawat staf memiliki pengetahuan yang tidak memadai dan hanya
sepertiga memiliki pengetahuan moderat mengenai penyebab dan intervensi APH
dalam pretest. Setelah administrasi program pengajaran terstruktur minoritas dari
subyek memiliki pengetahuan moderat dan mayoritas memiliki pengetahuan yang
memadai tentang penyebab dan intervensi APH dalam post test.
Temuan penelitian ini menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan
dalam pengetahuan perawat tentang semua item yang terkait dengan APH terlambat
setelah intervensi pendidikan dibandingkan dengan sebelum intervensi. Temuan
penelitian ini setuju dengan setidaknya empat penelitian lain. Pertama, Ranjana,
(2016) [13] yang telah mempelajari '' efektivitas program pengajaran struktur pada
pengetahuan tentang penyebab dan intervensi APH di antara staf perawat '' Dia
menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara tingkat pre test dan post
test dari pengetahuan staf perawat tentang penyebab dan intervensi
APH. Kedua , Heikham & Raddi (2015) [23] mereka telah mempelajari '' keefektifan
program pengajaran yang direncanakan pada pengetahuan mengenai manajemen
keadaan darurat kebidanan terpilih di antara siswa GNM tahun terakhir sekolah
keperawatan terpilih '' Hasilnya mengungkapkan bahwa dalam pra tes , mayoritas
subyek memiliki pengetahuan rata-rata, kurang dari seperempat memiliki
pengetahuan yang buruk dan hanya (14%) memiliki pengetahuan yang baik tentang
pengelolaan keadaan darurat kebidanan tertentu. Ketiga , Hamza, (2015) [24] yang
telah mempelajari '' penilaian perawat Pengetahuan untuk asuhan keperawatan
wanita memiliki plasenta previa, di bangsal antenatal di Rib di rumah sakit
Universitas '' Dia merekomendasikan bahwa harus ada upaya intensif untuk
meningkatkan pengetahuan dan kesadaran dalam diri perawat yang lulus tentang
cara memberikan perawatan, pemantauan ketat pada wanita dengan plasenta previa,
ini bisa melalui: kuliah, lokakarya, seminar, dan kursus pelatihan .
Kavitha Keempat , dkk. (2014) [25] mereka telah menilai tingkat pengetahuan
perawat staf tentang manajemen kebidanan darurat di rumah sakit bersalin rujukan
nasional orotta dan menunjukkan skor pengetahuan tentang manajemen perdarahan
antum partum di antara perawat staf, sebagian besar staf memiliki pengetahuan
yang cukup memadai dan (18,3). %) dari staf memiliki pengetahuan yang tidak
memadai dan hanya (3.3) memiliki pengetahuan yang memadai mengenai
manajemen perdarahan sebelum intervensi. Oleh karena itu ada perbedaan yang
signifikan antara tingkat pre test dan post test pengetahuan perawat staf tentang
manajemen ante partum hemorrhage
Peningkatan intervensi pasca pengetahuan dalam penelitian ini dapat
dikaitkan dengan kemampuan perawat bersalin untuk mendapatkan pengetahuan
dengan mudah dan mereka tertarik untuk menyegarkan dan memperbarui
pengetahuan mereka tentang APH serta distribusi buku kecil tertulis kepada
perawat untuk digunakan. sebagai referensi yang berkelanjutan, sangat membantu
dalam perolehan pengetahuan perawat.
Mengenai skor praktik rata-rata perawat staf, temuan penelitian ini
mengungkapkan bahwa ada perbedaan yang sangat signifikan secara statistik (P
<.001) antara intervensi sebelum dan sesudah dalam kaitannya dengan praktik
perawat tentang, penilaian awal & tindakan darurat, pasien / pengasuh pengajaran
(instruksi dan penjelasan), Persiapan untuk investigasi dan operasi, administrasi
perawat perawatan fisik dan pengobatan dan pengendalian infeksi dan pencegahan
dan total skor praktik
Hasil ini sesuai dengan Harshash, (2017 ) [26] yang telah mempelajari 'efek
praktik perawat bersalin' wanita dengan pendarahan partum ante terlambat '' dia
merekomendasikan bahwa harus menjaga kinerja yang baik dari perawat bersalin
mengenai pendarahan ante partum melalui: mengembangkan protokol yang jelas
untuk pengelolaan perdarahan masif, yang harus diperbarui dan dilatih secara
teratur. Program pendidikan, seminar reguler, dan bengkel kerja harus disajikan
setiap bulan kepada perawat bersalin oleh perawat kepala dan dokter. Sudut
pandang peneliti dalam studi saat ini bahwa mayoritas peserta perawat staf
memperoleh lebih banyak pengetahuan tentang manajemen APH terlambat di
posttest. Pengetahuan tentang manajemen APH terlambat meningkat secara
signifikan. Sesi ini menunjukkan efek luar biasa yang signifikan dari hasilnya. Juga
intervensi pendidikan memiliki pengaruh besar tidak hanya pada pengetahuan
perawat bersalin tetapi juga pada kinerja mereka dalam asuhan keperawatan di
mana, staf perawat mendapatkan pengalaman dunia nyata.
STEP VII
LAPORAN PENDAHULUAN
(Terlampir)
TERMINOLOGI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketuban pecah dini (KPD) adalah pecahnya ketuban sebelum dimulainya
tanda – tanda persalinan, yang ditandai dengan pembukaan serviks 3 cm pada
primipara atau 5 cm pada multipara (Maryunani, 2013). Hal ini dapat terjadi pada
kehamilan aterm yaitu, pada usia kehamilan lebih dari 37 minggu maupun pada
kehamilan preterm yaitu sebelum usia kehamilan 37 minggu (Sujiyantini, 2009).
Ketuban pecah dini merupakan salah satu kelainan dalam kehamilan. Ketuban pecah
dini merupakan masalah penting dalam ilmu obstetri, karena berkaitan dengan
penyulit yang berdampak buruk terhadap kesehatan dan kesejahteraan maternal
maupun terhadap pertumbuhan dan perkembangan janin intrauterin, sehingga hal ini
dapat meningkatkan masalah kesehatan di Indonesia (Soewarto, 2010). Insidensi
ketuban pecah dini berkisar antara 8 % sampai 10 % dari semua kehamilan.Pada
kehamilan aterm insidensinya bervariasi antara 6% sampai 19 %, sedangkan pada
kehamilan preterm insidensinya 2 % dari semua kehamilan (Sualman, 2009).
Kejadian ketuban pecah dini di Amerika Serikat terjadi pada 120.000
kehamilan per tahun dan berkaitan dengan resiko tinggi terhadap kesehatan dan
keselamatan ibu, janin dan neonatal (Mercer, 2003). Sebagian besar ketuban pecah
dini pada kehamilan preterm akan lahir sebelum aterm atau persalinan akan terjadi
dalam satu minggu setelah selaput ketuban pecah. Sekitar 85% morbiditas dan
mortalitas perinatal disebabkan oleh prematusitas.
Gawat janin merupakan suatu kondisi patofisiologi dimana oksigen tidak tersedia
untuk janin dalam jumlah yang cukup, jika tidak di perbaiki atau diatasi, dapat
menyebabkan dekompensasi ulang respon fisiologis dan bahkan menyebabkan
kerusakan beberapa organ. Gawat janin secara intrinsic terkait dengan hipoksia janin
dan asidosis, dan tampaknya sangat terkait dengan asfiksia perinatal. Pengelolaan
gawat janin melibatkan pemantauan intensif, resusitasi intrauterin, amnioninfusion
dan pengiriman segera dengan rute vagina atau caesar (Jakovljevic, Vladimir: 2010).
Angka kematian bayi (AKB) merupakan jumlah kematian bayi (0- 11bulan)
per 1000 kelahiran hidup dalam kurun waktu satu tahun. AKB menggambarkan
tingkat permasalahan kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan faktor penyebab
kematian bayi, tingkat pelayanan antenatal, status gizi ibu hamil, tingkat keberhasilan
program KIA dan KB, serta kondisi lingkungan dan sosial ekonomi. Angka Kematian
Bayi di provinsi Jawa Tengah tahun 2012 sebesar 10,75 per 1000 kelahiran hidup
(Dinas Kesehatan Provinsi Jateng, 2012). Pada Tahun 2012, berdasarkan laporan hasil
kegiatan sarana pelayanan kesehatan, jumlah kematian bayi yang terjadi di kota
Semarang sebanyak 10,64 per 1000 KH (Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2012).
Persalinan prematur merupakan proses persalinan sebelum usia kehamilan
mencapai 37 minggu lengkap atau kurang dari 259 hari, yang dihitung dari hari
pertama haid terakhir. Jika usia kehamilan tak diketahui dengan pasti, maka yang
menjadi patokan adalah berat bayi saat lahir yang hanya berkisar 1.000 - 2.500 gram (
dr. Panji, SpA, 2012). Akibat sistem pengaturan suhu dalam tubuh bayi prematur
belum sempurna, maka suhunya bisa naik atau turun secara drastis. Kondisi ini tentu
bisa membahayakan kondisi kesehatannya. Selain itu, otot-ototnya pun relatif lebih
lemah. Sementara cadangan lemaknya juga lebih sedikit dibanding bayi yang lahir
normal. Oleh karena itu, bayi membutuhkan Inkubator yang berfungsi menjaga suhu
bayi supaya tetap stabil.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui konsep dan asuhan keperawatan kegawatdaruratan pada
pasien yang mengalami ketuban pecah dini, gawat janin dan partus prematurus , serta
sebagai pemenuhan tugas kelompok mata kuliah sistem kegawatdaruratan.
2. Tujuan Khusus
2.1 Untuk mengetahui definisi ketuban pecah dini, gawat janin dan partus
prematurus.
2.2 Untuk mengetahui etiologi ketuban pecah dini, gawat janin dan partus
prematurus.
2.3 Untuk mengetahui patofisiologi ketuban pecah dini, gawat janin dan partus
prematurus.
2.4 Untuk mengetahui manifestasi klinis ketuban pecah dini, gawat janin dan partus
prematurus.
2.5 Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang ketuban pecah dini, gawat janin dan
partus prematurus.
2.6 Untuk mengetahui klasifikasi ketuban pecah dini, gawat janin dan partus
prematurus.
2.7 Untuk mengetahui penatalaksanaan ketuban pecah dini, gawat janin dan partus
prematurus.
2.8 Untuk mengetahui asuhan keperawatan kegawatdaruratan pada ketuban pecah
dini, gawat janin dan partus prematurus.
C. Metode Penulisan
Metode penulisan makalah ini menggunakan metode kepustakaan dengan
mengambil literatur dari buku, internet, dan jurnal mengenai ketuban pecah dini, gawat
janin dan partus prematurus.
D. Sistematika Penulisan
Penulisan makalah ini diawali dengan kata pengantar, daftar isi. BAB I
pendahuluan yang berisi latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan, dan
sistematika penulisan. BAB II pembahasan tentang ketuban pecah dini, gawat janin dan
partus prematurus meliputi definisi, etiologi, patofisologi, manifestasi klinis,
pemeriksaan penunjang, klasifikasi, penatalaksanaan. BAB III asuhan keperawatan
berdasarkan kasus. BAB IV penutup yaitu berisi kesimpulan dan saran, dan diakhiri
dengan daftar pustaka.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
C. Etiologi
Penyebab ketuban pecah dini masih belum dapat diketahui dan tidak dapat
ditentukan secara pasti. Beberapa laporan menyebutkan ada faktor-faktor yang
berhubungan erat dengan ketuban pecah dini, namun faktor-faktor mana yang lebih
berperan sulit diketahui. Adapun yang menjadi faktor risiko menurut (Rukiyah, 2010;
Manuaba, 2009; Winkjosastro, 2011) adalah : infeksi, serviks yang inkompeten,
ketegangan intra uterine, trauma, kelainan letak janin, keadaan sosial ekonomi,
peninggian tekanan intrauterine, kemungkinan kesempitan panggul, korioamnionitis,
faktor keturunan, riwayat KPD sebelumnya, kelainan atau kerusakan selaput ketuban
dan serviks yang pendek pada usia kehamilan 23 minggu.
Infeksi, yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban dari vagina atau
infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini.
Ketegangan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan
(overdistensi uterus) misalnya trauma, hidramnion, gemelli. Ketuban pecah dini
disebabkan oleh karena berkurangnya kekuatan membran atau meningkatnya tekanan
intrauterin atau oleh kedua faktor tersebut. Berkurangnya kekuatan membran
disebabkan oleh adanya infeksi yang dapat berasal dari vagina dan serviks. Selain itu
ketuban pecah dini merupakan masalah kontroversi obstetrik (Rukiyah, 2010)
Inkompetensi serviks (leher rahim) adalah istilah untuk menyebut kelainan
pada otot-otot leher atau leher rahim (serviks) yang terlalu lunak dan lemah, sehingga
sedikit membuka ditngah-tengah kehamilan karena tidak mampu menahan desakan
janin yang semakin besar. Inkompetensi serviks adalah serviks dengan suatu kelainan
anatomi yang nyata, disebabkan laserasi sebelumnya melalui ostium uteri atau
merupakan suatu kelainan kongenital pada serviks yang memungkinkan terjadinya
dilatasi berlebihan tanpa perasaan nyeri dan mules dalam masa kehamilan trimester
kedua atau awal trimester ketiga yang diikuti dengan penonjolan dan robekan selaput
janin serta keluarnya hasil konsepsi (Manuaba, 2009).
Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan dapat
menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini, misalnya : trauma (hubungan seksual,
pemeriksaan dalam, amniosintesis), gemelli (kehamilan kembar adalah suatu
kehamilan dua janin atau lebih). Pada kehamilan gemelli terjadi distensi uterus yang
berlebihan, sehingga menimbulkan adanya ketegangan rahim secara berlebihan. Hal
ini terjadi karena jumlahnya berlebih, isi rahim yang lebih besar dan kantung (selaput
ketuban) relatif kecil sedangkan dibagian bawah tidak ada yang menahan sehingga
mengakibatkan selaput ketuban tipis dan mudah pecah. Makrosomia adalah berat
badan neonatus >4000 gram kehamilan dengan makrosomia menimbulkan distensi
uterus yang meningkat atau over distensi dan menyebabkan tekanan pada intra uterin
bertambah sehingga menekan selaput ketuban, menyebabkan selaput ketuban menjadi
teregang,tipis, dan kekuatan membran menjadi berkurang, menimbulkan selaput
ketuban mudah pecah. Hidramnion atau polihidramnion adalah jumlah cairan amnion
>2000mL. Uterus dapat mengandung cairan dalam jumlah yang sangat banyak.
Hidramnion kronis adalah peningkatan jumlah cairan amnion terjadi secara berangsur-
angsur. Hidramnion akut, volume tersebut meningkat tiba-tiba dan uterus akan
mengalami distensi nyata dalam waktu beberapa hari saja (Winkjosastro, 2011).
G. Komplikasi
Komplikasi yang timbul akibat ketuban pecah dini bergantung pada usia
kehamilan. Dapat terjadi infeksi maternal ataupun neonatal, persalinan prematur,
hipoksia karena kompresi tali pusat, deformitas janin, meningkatnya insiden SC, atau
gagalnya persalinan normal (Mochtar, 2011).
Persalinan Prematur Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh
persalinan. Periode laten tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90%
terjadi dalam 24 jam setelah ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28- 34 minggu
50% persalinan dalam 24 jam. Pada kehamilan kurang dari 26 minggu persalinan
terjadi dalam 1 minggu (Mochtar, 2011).
Risiko infeksi ibu dan anak meningkat pada ketuban pecah dini. Pada ibu
terjadi korioamnionitis. Pada bayi dapat terjadi septikemia, pneumonia, omfalitis.
Umumnya terjadi korioamnionitis sebelum janin terinfeksi. Pada ketuban pecah dini
premature, infeksi lebih sering dari pada aterm. Secara umum insiden infeksi
sekunder pada KPD meningkat sebanding dengan lamanya periode laten (Mochtar,
2011).
Pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang menekan tali pusat hingga
terjadi asfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan antara terjadinya gawat janin dan
derajat oligohidramnion, semakin sedikit air ketuban, janin semakin gawat. Ketuban
pecah dini yang terjadi terlalu dini menyebabkan pertumbuhan janin terhambat,
kelainan disebabkan kompresi muka dan anggota badan janin, serta hipoplasi
pulmonal (Mochtar, 2011).
I. Penatalaksanaan
Menurut Abadi (2008) membagi penatalaksanaan ketuban pecah dini pada
kehamilan aterm, kehamilan pretem, ketuban pecah dini yang dilakukan induksi, dan
ketuban pecah dini yang sudah inpartu.
1) Ketuban pecah dengan kehamilan aterm
Penatalaksanaan KPD pada kehamilan aterm yaitu : diberi antibiotika,
observasi suhu rektal tidak meningkat, ditunggu 24 jam, bila belum ada tanda-tanda
inpartu dilakukan terminasi
2) Ketuban pecah dini dengan kehamilan prematur
Penatalaksanaan KPD pada kehamilan aterm yaitu
a) EFW (Estimate Fetal Weight) < 1500 gram yaitu pemberian Ampicilin 1
gram/ hari tiap 6 jam, IM/ IV selama 2 hari dan gentamycine 60-80 mg tiap 8-
12 jam sehari selama 2 hari, pemberian Kortikosteroid untuk merangsang
maturasi paru (betamethasone 12 mg, IV, 2x selang 24 jam), melakukan
Observasi 2x24 jam kalau belum inpartu segera terminasi, melakukan
Observasi suhu rektal tiap 3 jam bila ada kecenderungan meningkat > 37,6°C
segera terminasi.
b) EFW (Estimate Fetal Weight) > 1500 gram yaitu melakukan observasi 2x24
jam, melakukan observasi suhu rectal tiap 3 jam, pemberian
antibiotika/kortikosteroid, pemberian Ampicilline 1 gram/hari tiap 6 jam,
IM/IV selama 2 hari dan Gentamycine 60-80 mg tiap 8-12 jam sehari selama 2
hari, pemberian Kortikosteroid untuk merangsang meturasi paru
(betamethasone 12 mg, IV, 2x selang 24 jam ), melakukan VT selama
observasi tidak dilakukan, kecuali ada his/inpartu, bila suhu rektal meningkat
>37,6°C segera terminasi, bila 2x24 jam cairan tidak keluar, USG: bagaimana
jumlah air ketuban : bila jumlah air ketuban cukup, kehamilan dilanjutkan,
perawatan ruangan sampai dengan 5 hari, bila jumlah air ketuban minimal
segera terminasi. Bila 2x24 jam cairan ketuban masih tetap keluar segera
terminasi, bila konservatif sebelum pulang penderita diberi nasehat : Segera
kembali ke RS bila ada tanda-tanda demam atau keluar cairan lagi, tidak boleh
coitus, tidak boleh manipulasi digital.
2.2 Gawat Janin
A. Definisi
Gawat janin adalah denyut jantung janin (DDJ) kurang dari 100 per menit atau
lebih dari 180 per menit (Nugroho, 2012).
Gawat janin adalah kekhawatiran obstetric tentang keadaan janin, yang
kemudian berakhir dengan seksio atau persalinan buatan lainnya (Sarwono, 2009)
Gawat janin terjadi bila janin ridak menerima O2 yang cukup, sehingga akan
mengalami hipoksia. Situasi ini dapat terjadi (kronik) dalam jangka waktu yang lama
atau akut.Disebut gawat janin bila ditemukan denyut jantung janin diatas 160 per
menit atau dibawah 100 per menit, denyut jantung tidak teratur, atau keluarnya
meconium yang kental pada awal persalinan (Prawirohardjo, 2009).
B. Etiologi
Penyebab dari gawat janin terbagi menjadi (Lumbanraja, 2017):
1. Faktor maternal (contohnya: hipertensi, penyakit jantung terdekompensasi,
kerusakan paru kronis, kerusakan ginjal, anemia, gagal nafas, preeklamsia,
eklampsi, kelainan postterm)
2. Faktor plasenta (contohnya: perlengketan plasenta, hematoma retroplasental,
terletak dibawah plasenta, insufisiensa plasenta, gangguan sirkulasi, kembar).
3. Patologi pada tali pusat
Beberapa keadaan dimana tali pusat dikaitkan dengan gawat janin, yaitu:
a. Kelainan pada panjang tali pusat. Panjang tal pusat merefleksikan pergerakan
janin dalam Rahim. Tali pusat yang pendek dikaitkan dengan solusio plasenta,
rupture tali pusat, kelainan pergerakan janin, mendesakk intrauterine, dan
primiparitas. Sedangkan pada tali pusat yang panjang dikaitkan dengan
thrombus atau simpul nyata. Kelainan ini dapat merefleksikan penyakit
sistemik maternal, komplikasi persalinan, gangguan pernafasan pada janin,
presentasi vertex, pelilitan tali pusat, anomaly janin, peningkatan berat lahir,
dan simpul nyata pada tali pusat.
b. Kelainan pada diameter tali pusat. Pembesaran tali puast pada bagian
proksimal disebabkan oleh abnormalitas yang dikaitkan dengan perkembangan
saluran vitelin dan saluran alantosis, pembesaran diameter tali pusat yang
terlokasir dikaitkan dengan edema (10%), neoplasma, dan kelainan vascular.
c. Aspek tali pusat yang lemah. Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa
aliran yang melalui pembuluh darah tali pusat dikaitkan dengan
oligohidramnion, kecuali usia kehamilan, air ketuban yang bercampur
meconium, dann asfiksia perinatal.
4. Faktor janin (contohnya: oligohidramnion, intrauterine growth restricrion, profil
biofisik yang buruk).
C. Faktor Risiko
Faktor resiko terjadinya meconium stined liquor dapat dilihat pada table berikut
(Lumbanraja, 2017):
Faktor Risiko Antepartum Faktor Risiko Intrapartum
Kehamilan post dated Prolonged PROM
Hipertensi Gestasional IUGR
Rh Isoimmunisasi Prolonged labour
Oligohidramnion Plasenta sirkumvalata
Diabetes Melitus Gestasional Atresia ileal
Penyakit Jantung Kontraksi atrial janin yang premature
Usia Maternal yang >35 tahun
Penyait paru kronik
Kolestasis dalam kehamilan
Kehamilan pada usia remaja
D. Patofisiologi
Ada beberapa kemungkinan penyebab gawat janin, namun biasanya gawat
janin terjadi karena beberapa mekanisme yang berkesinambungan. Penurunan aliran
darah plasenta akibat kontraksi dapat menyebabkan kompresi terhadap tali pusat
sehingga pada wanita yang mengalami persalinan lama hal ini dapat terjadi akibat
abrupsio plasenta, prolapse tali pusat (terutama dengan presentasi bokong), keadaan
hipertonik uterine dan penggunaan oksitosin. Hipotensi dapat terjadi akibat anastesi
epidural atau posisi supine, dimana hal ini dapat mengurangi aliran darah vena cava
kembali ke jantung. Penurunan aliran darah pada hipotensi dapat menyebabkan
kegawatan pada janin(Hariadi, 2004).
Hendaknya kita dapat menganalisa kondisi jani dan ibu untuk kemudian membuat
pemeriksaan khusus dalam membuktikan kebenaran analisa tersebut. Kondisi klinik
yang berkaitan dengan hipoksia ialah:
1. Kelainan pasokan plasenta: solution plasenta, plasenta previa, postterm, prolapses
tali pusat, lilitan tali pusat, pertumbuhan janin terhambat, insufisiensi plasenta.
2. Kelainan arus darah plasenta: hipotensi ibu, hipertensi, kontraksi hipertonik.
3. Saturasi oksigen ibu berkurang: hipoventilasi, hipoksia, penyakit jantung.
Bila pasokan oksigen dan nutrisi berkurang, maka janin akan mengalami retardasi
organ bahkan resiko asidosis dan kematian. Bermula dari upaya redistribusi aliran
darah yang akan ditujukan pada organ penting seperti otak dan jantung dengan
mengorbankan visera (hepar dan ginjal). Hal ini tampak dari volume cairan amnion
yang berkurang (oligohidramnion). Brakikardia yang terjadi merupakan mekanisme
dan jantung dalam bereaksi dari baroreseptor akibat tekanan (misalnya hipertensi pada
kompresii tali pusat) atau reaksi kemoreseptor akibat asidemia(Hariadi, 2004).
E. Manifestasi Klinis
Menurut Prawirohardjo (2009) tanda gejala gawat janin dapat diketahui dengan:
1) DJJ abnormal
Di Bawah ini dijelaskan denyut jantung janin abnormal adalah sebagai berikut:
a) Denyut jantung janin irregular dalam persalinan sangat bervariasi dan dapat
kembali setelah beberapa waktu. Bila DJJ tidak kembali normal setelah
kontraksi, hal ini menunjukkan adanya hipoksia.
b) Brakikardi yang terjadi diluar saat kontraksi, atau tidak menghilang setelah
kontraksi menunjukkan adanya gawat janin.
c) Takhikardi dapat merupakan reaksi terhadap adanya:
(1) Demam pada ibu
(2) Obat – obatan yang menyebabkan takhikardi (missal: obat tokolitik)
Bila ibu tidak mengalami takhikardi, DJJ yang lebih dari 160 per menit
menunjukkan adanya anval hipoksia.
F. Diagnosa
Gawat janin merupakan salah satu faktor utama dilakukannya seksio sesaria di
obstetric dan ginekologi. Sebagai salah satu indikasi dilakukannya seksio sesaria,
gawat janin terbagi menjadi masalah pada maternal dan janin dengan indikasi
utamanya “repeat elective ”. Salah satu indikasi utama dari faktor janin adalah “gawat
janin”. Gawat janin dapat didiagnosa selama periode antenatal atau selama persalinan.
Gawat janin dapat menyebabkan kematian janin atau masalah jangka panjang seperti
serebral palsi (Lumbanraja, 2017) .
Beberapa marker ante dan intrapartum pada gawat janin adalah kelainan
denyut jantung janin (deselerasi lambat berulang, undulting baseline, brakikardia)
penurunan PO2 pada darah janin, meconium staining pada cairan ketuban, dan nilai
PH darah yang rendah atau peningkatan laktat pada kulit kepala janin (Lumbanraja,
2017) .
Kondisi janin selama persalinan umumnya dapat diketahui dari denyut jantung
janin (FHR) dan pemeriksaan adanya tidak meconium dalam ketuban. Adanya
meconium dapat merupakan kejadian fisiologis yang merefleksikan maturitas janin.
Selain itu, meconium juga menunjukkan adanya hipoksia janin atau peningkatan
aktifitas vagal dari kompresi tali pusat. Meconium yang pekat dikaitkan dengan
prognasa perinatal yang lebih jelek. Aspirasi menyebabkan gangguan pernafasan
jangka panjang. Hal ini sering menyebabkan morbiditas dan mortalitas karena hal
tersebut sulit untuk dicegah (Lumbanraja, 2017).
Cardiotocography (CTG) adalah teknik untuk memonitor kesehatan janin yang
telah dipakai luas dan denyut janin (FHR) merupakan indeks penting untuk
mengetahui kejadian gawat janin. Selain itu fetal scalp blood sampling (FBS) juga
digunakan untuk memonitor gawat janin (Lumbanraja, 2017).
Cardiotocography memberikan informasi mengenai perkembangan janin dan
informasi kesehatan, terutama status maturnitas dari system saraf autonomy.
Perubahan FHR menunjukkan adanya respon stimulus eksternal. Secara umum, FHR
yang rata – rata, perubahan pada FHR, akselerasi dan deselerasi dari FHR, dan
pergerakan janin merupakan parameter yang penting dalam medis untuk
mendiagnosis gawat janin (Lumbanraja, 2017).
Pada gawat janin selama persalinan diketahui dengan meconium segar di
cairan ketuban atau CTG abnormal yang menunjukkan takikardia janin, penurunan
variabilitas denyut jantung, ketiadaan akselerasi, dan adannya deselerasi. Tetapi,
keduanya tidak mengkonfirmasikan hipoksia janin. Hanya dengan fetal scalp blood
sampling (FBS) yang dapat memberikan diagnose pasti asidosis janin dan oleh
karenanya hipoksia (Lumbanraja, 2017).
Bayi dengan berat badan lahir rendah adalah bayi yang beratnya kurang dari
2500 gram (5 pon, 8 ons) pada saat lahir. Lama kehamilan rata-rata untuk bayi yang
beratnya 2500 gram adalah 34 minggu. Meskipun hanya 7 hingga 8 persen dari
kehamilan yang berakhir sebelum 37 minggu, sebagian besar kematian perinatal pada
kelompok ini.
B. Etiologi
Latrogenik
2. Pengakhiran kehamilan yang terlalu dini karna alasan bahwa bayi lebih baik
dirawat di bangsal anak dari pada dibiarkan dalam lahir. Termasuk disini
adalah keadaan seperti diabetes maternal, penyakit hipertensi pada kehamilan,
erythoblastosis dan retardasi pertumbuhan intravterin.
Spontan
3. Inkompetensi servik
4. Insufisiensi plasenta
5. Overdistensi uterus
a. Kehamilan kembar
b. Polyhydramnion
b. Abruktio placentae
c. Vasa previa
a. Hipoplasia uteri
c. Synechiae intravterin
d. Leiomyoma
8. Trauma
a. atuh
c. Tindakan pembedahan
9. Penyakit pada ibu seperti toksemia, anemia, penyakit ginjal yang kronis dan
penyakit-penyakit demam yang akut
d. Merokok
e. Bakteriuria
C. Patofisiologi
Phatway
Riwayat Aborsi
Kuretase
Kematian sel
Hipovolemia
Janin kekurangan O2
Pergerakan Janin melemah
D. Diagnosis
3. Terjadinya kontraksi yang terasa nyeri, teratur dan intervalnya kudamg dari 10
menit menunjukan bahwa pasien tersebut tengah berada dalam proses
persalinan.
Tindakan umum
3. Penyakit-penyakit panas yang akut harus diobati secara aktif dan segara
5. Tindakan pembedahan abdomen yang elektif dan tindakan operatif gigi yang
berat harus ditunda.
Tindakan khusus
1. Pasien-pasien dengan kehamilan kembar harus diistirahatkan ditempat tidur
sejak minggu ke 28 hingga minggu ke 36 atau ke 38
3. Plasenta previa dirawat dengan istirahat total dab transfusi darah untuk
mrnunda kelahiran bayi aampai tercapai ukuran yang viabel. Tentu saja
pendarahan yang hebat memerlukan pembedahan segera.
5. Sectio caesarea elektif dan ulangan hanya dilakukan kalau kita yakin bahwa
bayi sudah cukup besar. Bahaya pada pembedahan yang terlalu dini adalah
kelahiran bayi kecil yang tidak bisa bertahan hidup.
E. Penatalaksanaan
1. Pantau janin dengan memeriksa DJJ dengan pengukuran tanda vital jika tidak
ada pemantau elektronik
2. Pantau tingkat atau kadar magnisium sulfat ambil dengan fungsi vena untuk
mengetahui kadar elektronik dan kalsium
4. Periksa tekanan darah, nadi, dan DJJ tiap 10 menit selama peningkatan dosis,
kemudian tiap 30 menit saat pasien mendapat ritodrin melalui iv dengan dosis
tetap pantau DJJ dan kontraksi uterus terus menerus jika mungkin
7. Beri pasien dan orang terdekat informasi tentang perubahan dalam persalinan
dan status janin
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas klien
Nama : Ny. K
Usia : 39 tahun
Agama : Islam
Diagnosa Medis : G4P2A1 gestasi 32-33 minggu dengan Ketuban Pecah Dini,
Prematur, Fetal Distrees, dan pendarahan antepartum.
Keluhan Utama : Pasien keluar darah warna merah segar dan cair sekitar 150-200 CC
disertai air ketuban pada jam 18.30 WIB.
Respirasi = 16 x/menit
Suhu = Tidak Terkaji
Pemeriksaan Fisik :
Darah keluar pervagina tidak disertai mules, DJJ 96x/menit, PUKA dan kepala ada
difundus, TFU dipertangahan pusat- processus xypoid, portio membuka 1-2 cm.
DJJ: 102x/menit
:Suhu: 35,90C
Pupil isokor
Pemeriksaan Leopold
Metabolisme tingkat
energi yang rendah
Mengakibatkan fungsi
normal sel menurun
Kematian sel
Hipovolemia
Kurangnya suplai O2
keseluruh jaringan tubuh
Gangguan perfusi
Jaringan
Kematian sel
Hipovolemia
Resiko Syok
Hipovolemik
B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan kurang nya suplai O2 ke
seluruh tubuh ditandai dengan CRT > 2 dtk, pucat, TD menurun.
2. Resiko Syok Hipovolemik berhubungan dengan hipovolemia ditandai dengan
perdarahan.
C. Intervensi Keperawatan
1. Gangguan perfusi Setelah dilakukan tindakan - Meng-auskultasi denyut jantung - Mengkaji kondisi denyut jantung
jaringan perifer keperawatan selama 3 x 24 janin. pada bayi.
berhubungan dengan jam diharapkan pasien dapat
kurang nya suplai O2 ke menunjukan perfusi jaringan - Kaji penyebab terjadinya perdarahan
seluruh tubuh ditandai yang adekuat, dengan
dengan CRT > 2 dtk, kriteria hasil : - Untuk mengetahui penyebab dari
pucat, TD menurun. - Pucat - Monitor TTV. perdarahan
Indikator Saat Target
ini
- Untuk mengetahui perkembangan
Pucat 4 3 tanda tanda vital dari kondisi
- Monitor kebutuhan oksigen. pasien.
Kurangnya suplai O2
keseluruh jaringan tubuh
DO :
- DJJ 102
kali/menit. Asupan O2 ke janin juga
- pergerakan berkurang
janin lemah
- TFU = tiga
jari diatas
umbilicus, Janin kekurangan O2
PUKA, kepala
teraba di
fundus,
Pergerakan Janin melemah
B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko Gawat Janin berhubungan dengan kekurangan asupan O2 pada janin
ditandai dengan DJJ 102x/menit, pergerakan janin lemah
C. Intervensi Keperawatan
1. Resiko Gawat Janin Setelah dilakukan tindakan - Anjurkan klien agak miring ke - Posisi tidur menurunkan
berhubungan dengan keperawatan selama 3 x 24 kiri
oklusi vena cava inferior
kekurangan asupan O2 jam diharapkan tidak terjadi
oleh uterus dan
pada janin ditandai gawat janin dengan kriteria
dengan DJJ 102x/menit, hasi : meningkatkan aliran balik
pergerakan janin lemah vena ke jantung.
Indikator Saat Target
- Dengan nafas dalam dapat
ini
meningkatkan konsumsi O2
Janin 4 3
pada ibu sehingga O2 janin
Lemah - Instuksikan pasien untk nafas
dalam. terpenuhi.
- Korticosteroit dapat
meningkatkan ketahanan sel
terutama organ-organ vital
pada janin.
Riwayat Aborsi
Kuretase
Kematian sel
Hipovolemia
Janin kekurangan O2