Anda di halaman 1dari 31

FLUID THERAPY IN CRITICAL CARE

Tubuh manusia terdiri dari dua bagian utama yaitu bagian yang padat dan bagian yang cair.
Bagian padat terdiri dari tulang, kuku, otot, dan jaringan yang lain. Sedangkan bagian yang cair
berupa cairan intraselular dan ekstraselular. Cairan ekstraseluler dibagi menjadi plasma darah
sebanyak 5% dan cairan interstitial sebanyak 15%. Cairan antarsel khusus disebut cairan
transeluler, seperti cairan serebrospinal, cairan persendian, cairan peritoneum, dan lain-lainnya.
Dalam cairan ekstraseluler dan intraseluler, terdapat elektrolit-elektrolit utama yang berbeda.
Elektrolit utama dalam cairan ekstraseluler adalah natrium dan klorida, sedangkan elektrolit utama
dalam cairan intraseluler adalah kalium, magnesium, kalsium, dan fosfat. Cairan dan elektrolit
sangat dibutuhkan oleh sel-sel dalam tubuh agar dapat menjaga dan mempertahankan fungsinya,
sehingga tercipta kondisi yang sehat pada tubuh manusia. 1,2
Cairan dan elektrolit di dalam tubuh merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Komposisi cairan dan elektrolit di dalam tubuh sudah diatur sedemikian rupa agar keseimbangan
fungsi organ vital dapat dipertahankan. Apabila terjadi gangguan keseimbangan, baik cairan atau
elektrolit, maka akan memberikan pengaruh pada yang lainnya. Gangguan keseimbangan cairan
dan elektrolit dalam tubuh dapat terjadi pada keadaan diare, muntah-muntah, sindrom malabsorbsi,
ekskresi keringat yang berlebih pada kulit, pengeluaran cairan yang tidak disadari (insesible water
loss) secara berlebihan oleh paru-paru, perdarahan, berkurangnya kemampuan pada ginjal dalam
mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh. Dalam keadaan tersebut, pasien perlu
diberikan terapi cairan agar volume cairan tubuh yang hilang, dengan segera dapat digantikan. 3
Terapi cairan merupakan terapi yang sangat mempengaruhi keberhasilan penanganan
pasien kritis. Selain dapat mengganti cairan yang hilang, terapi cairan dapat dilakukan untuk
mengganti kehilangan cairan yang sedang berlangsung, mencukupi kebutuhan per hari, mengatasi
syok, dan mengatasi kelainan akibat terapi lain. Administrasi terapi cairan melalui intravena adalah
salah satu rute terapi yang paling umum dan penting dalam pengobatan pasien bedah, medis dan
sakit kritis.4
Pemilihan pemberian terapi cairan untuk perbaikan dan perawatan stabilitas hemodinamik
pada tubuh cukup sulit. Karena pemilihannya tergantung pada jenis dan komposisi elektrolit dari
cairan yang hilang. Meskipun kesalahan terapi cairan jarang dilaporkan, namun disebutkan satu
dari lima pasien dengan terapi cairan dan lektrolit intravena menderita komplikasi atau morbiditas
karena pemberian terapi cairan yang tidak tepat.

1. Cairan Tubuh
1.1 Komposisi dan Distribusi Cairan Tubuh
Komponen terbesar tunggal dari tubuh adalah air. Air merupakan perlarut bagi semua yang
terlarut. Air tubuh total atau total body water (TBW) adalah persentase dari berat air dibagi dengan
berat badan total, yang bervariasi berdasarkan kelamin, umur, dan kandungan lemak yang ada di
dalam tubuh. Air membuat sampai sekitar 60 persen pada laki laki dewasa. Sedangkan untuk
wanita dewasa terkandung 50 persen dari total berat badan. Pada neonatus dan anak-anak,
presentase ini relative lebih besar dibandingkan orang dewasa. 1,2
Cairan tubuh terdistribusi antara dua kompartemen cairan utama yang dipisahkan oleh
membran sel, yaitu cairan intraseluler dan cairan ekstraseluler. Cairan ekstraseluler dibagi menjadi
intravaskular dan kompartemen interstitial. Cairan antarsel khusus disebut cairan transeluler,
seperti cairan serebrospinal, cairan persendian, cairan peritoneum, dan lain-lainnya. Cairan
tersebut termasuk ke dalam jenis khusus cairan ekstraseluler. Dalam beberapa kasus, komposisinya
dapat berbeda dari plasma atau cairan interstitial.1,2

Gambar 1. Kompartemen Cairan Tubuh Manusia

1.2 Cairan intraselular


Cairan intraseluler merupakan cairan yang terkandung di dalam sel. Cairan intraseluler
berjumlah sekitar 40% dari berat badan. Pada cairan intraseluler memiliki ion kalium dan fosfat
dalam jumlah besar, ion magnesium dan sulfat dalam jumlah sedang, ion klorida dan natrium
dalam jumlah kecil, dan hampir tidak ada ion kalsium. Sel juga memiliki protein dalam jumlah
besar, hampir lebih dari empat kali lipat di dalam plasma. 1

1.3 Cairan ekstraselular


Jumlah relatif cairan ekstraselular menurun seiring dengan bertambahnya usia, yaitu
sampai sekitar sepertiga dari volume total pada dewasa. Cairan ekstraselular terbagi menjadi cairan
interstitial dan cairan intravaskular. Cairan interstitial adalah cairan yang mengelilingi sel dan
termasuk cairan yang terkandung diantara rongga tubuh seperti serebrospinal, perikardial, pleura,
sendi sinovial, intraokular dan sekresi saluran pencernaan. Sementara, cairan intravaskular
merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah, dalam hal ini plasma darah.1
Pada orang dewasa normal, rata-rata asupan air setiap harinya adalah 2500 ml, yang
termasuk kira-kira 300 ml sebagai produk sampingan dari metabolisme substrat energi. Rata-rata
kehilangan cairan per hari adalah 2500 ml dimana 1500 ml di urin, 400 ml dievaporasi saluran
pernafasan, 400 ml di evaporasi kulit, 100 ml di keringat, dan 100 ml di feses. Penguapan sangat
diperlukan untuk pengaturan suhu karena mekanisme ini secara normal menyumbang 20-25%
kehilangan panas. Perubahan pada komponen cairan dan volume sel akan memicu kerusakan
fungsi yang serius, khususnya pada otak.2

2. Terapi Cairan
Terapi cairan adalah salah satu terapi yang sangat menentukan keberhasilan penanganan
pasien kritis. Dalam langkah-langkah resusitasi, langkah D (“drug and fluid treatment”) dalam
bantuan hidup lanjut, merupakan langkah penting yang dilakukan secara simultan dengan langkah-
langkah lainnya. Tindakan ini seringkali merupakan langkah “life saving” pada pasien yang
menderita kehilangan cairan yang banyak seperti dehidrasi karena muntah mencret dan syok.2,3

2.1 Jenis Cairan dan Indikasinya


Secara garis besar, cairan intravena dibagi menjadi dua, yaitu cairan kristaloid dan koloid.
a. Cairan Kristaloid
Kristaloid berisi elektrolit (contoh kalium, natrium, kalsium, klorida). Kristaloid tidak
mengandung partikel onkotik dan karena itu tidak terbatas dalam ruang intravaskular dengan
waktu paruh kristaloid di intravaskular adalah 20-30 menit. Beberapa peneliti merekomendasikan
untuk setiap 1 liter darah, diberikan 3 liter kristaloid isotonik. Kristaloid murah, mudah dibuat, dan
tidak menimbulkan reaksi imun. Larutan kristaloid adalah larutan primer yang digunakan untuk
terapi intravena prehospital.
Tonisitas kristaloid menggambarkan konsentrasi elektrolit yang dilarutkan dalam air,
dibandingkan dengan yang dari plasma tubuh. Ada 3 jenis tonisitas kritaloid, diantaranya3:

- Isotonis
Ketika kristaloid berisi sama dengan jumlah elektrolit plasma, ia memiliki konsentrasi yang
sama dan disebut sebagai “isotonik” (iso, sama; tonik, konsentrasi). Ketika memberikan kristaloid
isotonis, tidak terjadi perpindahan yang signifikan antara cairan di dalam intravaskular dan sel.
Dengan demikian, hampir tidak ada atau minimal osmosis. Keuntungan dari cairan kristaloid
adalah murah, mudah didapat, mudah penyimpanannya, bebas reaksi, dapat segera dipakai untuk
mengatasi defisit volume sirkulasi, menurunkan viskositas darah, dan dapat digunakan sebagai
fluid challenge test. Efek samping yang perlu diperhatikan adalah terjadinya edema perifer dan
edema paru pada jumlah pemberian yang besar.
Contoh larutan kristaloid isotonis:
Ringer Laktat, Normal Saline (NaCl 0.9%), dan Dextrose 5% in ¼ NS.2,3

- Hipertonis
Jika kristaloid berisi lebih elektrolit dari plasma tubuh, itu lebih terkonsentrasi dan disebut
sebagai “hipertonik” (hiper, tinggi, tonik, konsentrasi). Administrasi dari kristaloid hipertonik
menyebabkan cairan tersebut akan menarik cairan dari sel ke ruang intravascular. Efek larutan
garam hipertonik lain adalah meningkatkan curah jantung bukan hanya karena perbaikan preload,
tetapi peningkatan curah jantung tersebut mungkin sekunder karena efek inotropik positif pada
miokard dan penurunan afterload sekunder akibat efek vasodilatasi kapiler viseral. Kedua keadaan
ini dapat memperbaiki aliran darah ke organ-organ vital. Efek samping dari pemberian larutan
garam hipertonik adalah hipernatremia dan hiperkloremia.
Contoh larutan kristaloid hipertonis: Dextrose 5% dalam ½ Normal Saline, Dextrose 5%
dalam Normal Saline, Saline 3%, Saline 5%, dan Dextrose 5% dalam RL.2,3,5

- Hipotonis
Ketika kristaloid mengandung elektrolit lebih sedikit dari plasma dan kurang
terkonsentrasi, disebut sebagai “hipotonik” (hipo, rendah; tonik, konsentrasi). Ketika cairan
hipotonis diberikan, cairan dengan cepat akan berpindah dari intravaskular ke sel. Contoh larutan
kristaloid hipotonis: Dextrose 5% dalam air, ½ Normal Saline.3

b. Cairan Koloid
Cairan koloid mengandung zat-zat yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas
osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama dalam ruang intravaskuler.
Koloid digunakan untuk resusitasi cairan pada pasien dengan defisit cairan berat seperti pada syok
hipovolemik/hermorhagik sebelum diberikan transfusi darah, pada penderita dengan
hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein jumlah besar (misalnya pada luka bakar). Cairan
koloid merupakan turunan dari plasma protein dan sintetik yang dimana koloid memiliki sifat yaitu
plasma expander yang merupakan suatu sediaam larutan steril yang digunakan untuk
menggantikan plasma darah yang hilang akibat perdarahan, luka baker, operasi, Kerugian dari
‘plasma expander’ ini yaitu harganya yang mahal dan dapat menimbulkan reaksi anafilaktik
(walau jarang) dan dapat menyebabkan gangguan pada cross match.2,3
Berdasarkan jenis pembuatannya, larutan koloid terdiri dari:
1. Koloid Alami
Yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia (5% dan 25%). Dibuat dengan cara
memanaskan plasma 60°C selama 10 jam untuk membunuh virus hepatitis dan virus lainnya.
Fraksi protein plasma selain mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan beta
globulin. Selain albumin, aktivator Prekallikrein (Hageman’s factor fragments) terdapat dalam
fraksi protein plasma dan sering menimbulkan hipotensi dan kolaps kardiovaskuler.3
2. Koloid Sintetik
 Dextran
Koloid ini berasal dari molekul polimer glukosa dengan jumlah yang besar. Dextrans
diproduksi untuk mengganti cairan karena peningkatan berat molekulnya, sehingga memiliki
durasi tindakan yang lebih lama di dalam ruang intravaskular. Namun, obat ini jarang digunakan
karena efek samping terkait yang meliputi gagal ginjal sekunder akibat pengendapan di dalam
tubulus ginjal, gangguan fungsi platelet, koagulopati dan gangguan pada cross-matching darah.
Tersedia dalam bentuk Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70
(Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000.4
 Hydroxylethyl Starch (Hetastarch)
Cairan koloid sintetik yang sering digunakan saat ini. Pemberian 500ml larutan ini pada
orang normal akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu 2 hari dan sisanya, yaitu starch yang
bermolekul besar, sebesar 64% dalam waktu 8 hari. Hetastarch nonantigenik dan jarang dilaporkan
adanya reaksi anafilaktoid. Low molecular weight Hydroxylethyl starch (Pentastarch) mirip Heta
starch, mampu mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali volume yang diberikan dan
berlangsung selama 12 jam. Karena potensinya sebagai plasma volume expander yang besar
dengan toksisitas yang rendah dan tidak mengganggu koagulasi maka Pentastarch dipilih sebagai
koloid untuk resusitasi cairan jumlah besar.5
 Gelatin
Merupakan bagian dari koloid sintesis yang terbuat dari gelatin, biasanya berasal dari
collagen bovine serta dapat memberikan reaksi. Larutan gelatin adalah urea atau modifikasi
succinylated cross-linked dari kolagen sapi. Berat molekul gelatin relatif rendah, 30,35 kDa, jika
dibandingkan dengan koloid lain. Pengangkut berisi NaCl 110 mmol/l. Efek ekspansi plasma
segera dari gelatin adalah 80-100% dari volume yang dimasukkan dibawah kondisi hemodilusi
normovolemik. Efek ekspansi plasma akan bertahan 1-2 jam. Tidak ada batasan dosis maksimum
untuk gelatin. Gelatin dapat memicu reaksi hipersensitivitas, lebih sering daripada larutan HES.
Meskipun produk mentahnya bersumer dari sapi, gelatin dipercaya bebas dari resiko penyebaran
infeksi. Kebanyakan gelatin dieskskresi melalui ginjal, dan tidak ada akumulasi jaringan.6
Berdasarkan penggunaannya, cairan infus dapat digolongkan menjadi empat kelompok,
yaitu:
1. Cairan Pemeliharaan
Terapi cairan intravena untuk pemeliharaan rutin mengacu pada penyediaan IV cairan dan
elektrolit untuk pasien yang tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka dengan rute enteral, namun
sebaliknya baik dalam hal keseimbangan cairan dan elektrolit dan penanganan (yaitu mereka yang
pada dasarnya euvolemik tanpa signifikan defisit elektrolit, kerugian yang abnormal yang sedang
berlangsung atau masalah redistribusi internal yang kompleks). Tujuan saat memberikan cairan
perawatan rutin adalah untuk menyediakan cukup cairan dan elektrolit untuk memenuhi insensible
losses (500-1000 ml), mempertahankan status normal tubuh kompartemen cairan dan
memungkinkan ekskresi ginjal dari produk-produk limbah (500-1500 ml.).
Jenis cairan rumatan yang dapat digunakan adalah : NaCl 0,9%, glukosa 5%, glukosa salin,
ringer laktat/asetat, NaCl 0,9% hanya untuk rumatan yang tinggi kandungan NaCl dari saluran
cerna ataupun ginjal, glukosa 5% atau glukosa salin.7,8
Jumlah kehilangan air tubuh berbeda sesuai dengan umur, yaitu
 Dewasa 1,5-2 ml/kg/jam
 Anak-anak 2-4 ml/kg/jam
 Bayi 4-6 ml/kg/jam
 Neonatus 3 ml/kg/jam

Kebutuhan cairan rumatan adalah 25-30 ml/kg/hari. Kebutuhan K, Na dan Cl kurang lebih
1mmol/kg/hari. Kebutuhan glukosa 50-100 g/hari. Setelah cairan pemeliharaan intravena
diberikan, monitor dan lakukan penilaian ulang pada pasien. Hentikan cairan intravena jika tidak
ada indikasi yang tepat. Cairan nasogastrium atau makanan enteral lebih dipilih untuk kebutuhan
pemeliharaan lebih dari 3 hari.9,10

2. Cairan Pengganti
Banyak pasien yang membutuhkan cairan intravena memiliki kebutuhan spesifik untuk
menutupi penggantian dari deficit cairan atau kehilangan cairan atau elektrolit serta permasalahan
redistribusi cairan internal yang sedang berlangsung, sehingga harus dihitung untuk pemilihan
cairan intravena yang optimal. Cairan dan elektrolit intravena pengganti dibutuhkan untuk
mengangani deficit yang ada atau kehilangan yang tidak normal yang sedang berlangsung,
biasanya dari saluran pencernaan (contoh: ileostomy, fistula, drainase nasogastrium, dan drainase
bedah) atau saluran kencing (contoh: saat pemulihan dari gagal ginjal akut). Secara umum, terapi
cairan intravena untuk penggantian harus bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ekstra dari
cairan dan elektrolit seperti kebutuhan pemeliharaan, sehingga homeostasis dapat kembali dan
terjaga.9
Lakukan penilaian cairan dan elektrolit pasien dengan anamnesis, pemeriksaan fisik,
monitor klinis, dan pemeriksaan laboratorium. Cari defisit, kehilangan yang sedang berlangsung,
distribusi yang tidak normal atau permasalahan kompleks lainnya. Periksa kehilangan yang sedang
berlangsung dan perkirakan jumlahnya dengan mengecek untuk muntah dan kehilangan
NG tube, diare, kehilangan darah yang berlangsung. Periksa redistribusi dan masalah
kompleks lainnya dengan memeriksa pembengkakan, sepsis berat, dan lainnya. Berikan tambahan
cairan dari kebutuhan pemeliharaan rutin, mengatur sumber-sumber cairan dan elektrolit yang lain.
Monitor dan periksa ulang pasien setelah meresepkan.9,10
3. Cairan untuk Tujuan Khusus
Yang dimaksud adalah cairan kristaloid yang digunakan khusus, misalnya natrium
bikarbonat 7,5%, kalsium glukonas, untuk tujuan koreksi khusus terhadap gangguan
keseimbangan elektrolit.9

4. Cairan Nutrisi
Cairan nutrisi biasanya digunakan untuk nutrisi parenteral pada pasien yang tidaak mau
makan, tidak boleh makan dan tidak bisa makan peroral. Jenis cairan nutrisi parenteral pada saat
ini sudah dalam berbagai komposisi baik untuk parenteral parsial atau total maupun untuk kasus
penyakit tertentu.
Adapun syarat pemberian nutrisi parenteral yaitu berupa:
 Gangguan absorpsi makanan seperti pada fistula enterokunateus, atresia intestinal, kolitis
infektiosa, obstruksi usus halus.
 Kondisi dimana usus harus diistirahatkan seperti pada pankreatitis berat, status preoperatif
dengan malnutrisi berat, angina intestinal, stenosis arteri mesenterika, diare berulang.
 Gangguan motilitas usus seperti pada ileus yang berkepanjangan, pseudo-obstruksi dan
skleroderma.
 Kondisi dimana jalur enteral tidak dimungkinkan seperti pada gangguan makan, muntah
terus menerus, gangguan hemodinamik, hiperemesis gravidarum.11,13

2.2 Jalur Pemberian Terapi Cairan


Secara umum telah disepakati bahwa pemberian terapi cairan dilakukan melalui jalur vena,
baik vena perifer maupun vena sentral melalui kanulasi tertutup atau terbuka dengan seksi vena.12

a. Kanulasi Vena Perifer


Syarat dari pemilihan kanulasi ini adalah vena di daerah ekstremitas atas berikutnya
dilanjutkan pada vena bagian ekstremitas bawah. Hindari vena di daerah kepala karena sangat
tidak fiksasinya, sehingga mudah terjadu hematom. Pada bayi baru lahir, vena umbilikalis bias
digunakan untuk kanulasi terutama dalam keadaan darurat. Tujuan dilakukannya kanulasi vena
perifer ini adalah untuk12:
a. Terapi cairan pemeliharaan dalam waktu singkat. Apabila lebih dari tiga hari, harus
pindah lokasi vena dan set infus harus diganti pula.
b. Terapi cairan pengganti dalam keadaan darurat, untuk menganti kehilangan cairan
tubuh atau perdarahan akut.
c. Terapi obat lain secara intravena yang diberikan secara kontinyu atau berulang

b. Kanulasi Vena Sentral


Kanulasi dengan penggunaan jangka panjang, misalnya untuk nutrisi parenteral total,
kanulasi dikalukan melalui vena subklavikula atau vena jugularis interna. Sedangkan untuk jangka
pendek, dilakukan melalui vena-vena di atas ekstremitas atas secara tertutup atau terbuka dengan
vena seksi.
Tujuan dari kanulasi vena sentral ini tersendiri adalah 12,13:
a. Terapi cairan dan nutrisi parenteral jangka panjang. Terutama untuk cairan nutrisi
parenteral dengan osmolaritas yang tinggi untuk mencegah iritasi pada vena.
b. Jalur pintas terapi cairan pada keadaan darurat, misalnya cardiovascular, vena perifer
sulit diidentifikasi
c. Untuk pemasanganan alat pemacu jantung

Pasien dengan penyakit kritis yang dirawat di ruang terapi intensif seringkali menerima
resusitasi dengan sejumlah besar cairan intravena kristaloid, koloid atau produk darah untuk
mengoreksi situasi aliran darah yang rendah yang timbul dari proses mengancam nyawa seperti
trauma, perdarahan, dan infeksi. Administrasi dari cairan intravena merupakan salah satu langkah
utama yang dilakukan pada resusitasi pasien dalam kondisi kritis yang mengalami gangguan
perfusi organ.
Namun perhatian mengenai konsekuensi yang muncul belakangan masih kurang dipahami,
terutama mengenai bagaimana efek samping yang timbul dari administrasi cairan dalam jumlah
yang besar kemungkinan mengubah hasil akhir pada terapi pasien. Kelm dll mendemonstrasikan
bahwa 67% pasien yang diresusitasi sesuai protokol EGDT memiliki bukti klinis ditemukannya
kelebihan cairan setelah 24 jam, dengan 48% pasien mengalami persisten kelebihan cairan pada
hari rawat ketiga di rumah sakit.
Bertambahnya volume plasma untuk mengoreksi kondisi hipoperperfusi menghasilkan
pergerakan air, elektrolit, protein di ekstravaskuler. Pada pasien dengan kondisi kritis dengan
kerusakan endothelial dan kebocoran kapiler, menghasilkan tekanan onkotik vaskuler yang rendah
sehingga cenderung cairan berpindah kedalam kompartemen interstitial yang memperburuk
edema. Pada pasien ini, administrasi cairan setelah hemodinamik stabil mungkin berbahaya.
Resusitasi cairan dalam volume yang besar menghasilkan edema jaringan luas dan tanda klinis
penumpukan cairan berlebih. Edema jaringan mengganggu difusi metabolit dan oksigen,
mengubah struktur jaringan, menghalangi aliran darah kapiler dan drainage limfatik serta,
mengganggu interaksi antar sel. Efek ini terutama dialamai oleh organ seperti hepar dan ginjal
yang kekurangan kapasitas untuk mengakomodasi penambahan volume menghasilkan aliran darah
organ yang terhambat. Selain itu, resusitasi cairan dalam jumlah besar meningkatkan tekanan intra
abdomen, yang berpengaruh terhadap gangguan perfusi hepar dan ginjal.
Studi klinis yang dilakukan oleh Malbrain, dkk menunjukkan mengenai akumulasi cairan
berlebih berhubungan dengan perburukan kondisi akhir pasien berupa gangguan fungsi organ dan
peningkatan resiko kematian. Hal ini didukung oleh penelitian lain yang dilakukan oleh Uchiro
dkk, dalam penelitiannya dari 33 pasien kritis dengan balance cairan positif merupakan predictor
signifikan mortality.
Sehingga perlu dilakukan suatu intervensi pada pasien-pasien stabil penyakit kritis yakni
dengan strategi membuat balance cairan positif menjadi balance cairan netral atau negative dengan
deresusitasi. Dalam penelitian Alsous dkk menunjukkan balance cairan negative yang dicapai pada
hari ketiga sebagai predictor kelangsungan hidup pasien dengan syok septic. Deresusitasi berupa
pengeluaran cairan yang lebih aktif dan agresif dengan menggunakan terapi standar diuretik atau
terapi renal replacement dengan ultrafiltration. Deresusitasi atau late goal directed fluid removal
perlu dipertimbangkan pada kasus-kasus syok yang telah menerima resusitasi namun tidak mampu
secara spontan melampaui fase Ebb menuju fase Flow.

3. Fisiologi Keseimbangan Cairan Tubuh


Tubuh manusia sebagian besar tersusun oleh cairan baik dalam intraseluler maupun
ekstraseluler. Cairan tubuh total rata-rata berjumlah 60% dari berat badan seseorang. Sebesar 40%
dari berat badan tubuh merupakan cairan intraseluler sedangkan 20% sisanya mengisi ekstraseluler
yang secara lebih rinci 15% mengisi cairan interstitial dan 5% mengisi plasma.
Namun jumlah cairan tubuh total tidak mutlak 60% dari berat badan. Faktor faktor seperti
umur, berat badan, jenis kelamin dapat mempengaruhi variasi jumlah cairan tubuh. Persentase H20
tubuh menurun secara progresif seiring dengan pertambahan usia. Wanita memiliki kandungan
H20 lebih rendah dibandingkan dengan pria, terutama karena hormone seks wanita yaitu estrogen
meningkatkan seposit lemak di payudara, bokong, dan area lainnya. Lemak tubuh tidak
mengandung air, sehingga makin banyak lemak semakin sedikit kandungan air di tubuh.

Komposisi cairan ekstrascluler dan cairan intraseluler sangat berbeda. Perbedaan utama
antara cairan ekstraseluler dan cairan intraseluler antara lain adalah adanya protein sel di cairan
intraseluler yang tidak dapat menembus membran untuk keluar sel dan juga distribusi tidak sama
antara ion Na dan K akibat pompa Na-K-ATPase di membrane yang terdapat di semua sel. Setiap
sel dikelilingi oleh membrane plasma yang sangat selektif yang mengijinkan lewatnya bahan
tertentu sementara tidak melewatkan bahan lain. Membran luar sel mempunyai peran penting
dalam mengatur volume intraseluler dan komposisinya. Karena membran sel relatif kurang
permeable terhadap Na dan K, maka K+ terkonsentrasi di dalam intraseluler sedangkan Na
terkonsentrasi di dalam ekstraseluler. Kalium adalah ion penting yang menjaga tekanan osmotic
intraseluler sedangkan natrium penting untuk menjaga tekanan osmotic di ekstraseluler. Gangguan
pada aktivitas Na-K+-ATPase selama iskemia dan hipoksia menyebabkan pembengkakan sel.
Fungsi mendasar dari cairan ekstraseluler adalah untuk menyediakan media mengirimkan
nutrisi sel dan elektrolit serta mengeluarkan produk sampah sel. Kuantitas setiap bahan tertentu di
CES dianggap sebagai simpanan internal yang siap dipakai. Cairan ekstraseluler dibedakan
menjadi cairan interstitium dan juga cairan plasma/intravascular. Cairan interstitial adalah cairan
yang terdapat di ruang-ruang antar sel. Dalam cairan interstitial hanya sebagian kecil dalam bentuk
cairan bebas. Sebagian besar cairan interstitial berkaitan dengan proteoglikan ekstraseluler.
Tekanan cairan interstitial umumnya -5 mmHg. Bila volume cairan interstitial meningkat, tekanan
interstitial akan meningkat dan menjadi positif. Ketika hal tersebut terjadi, cairan bebas di dalam
interstitial meningkat dan menimbulkan edema.
Plasma adalah bagian cairan dari darah. Plasma dibatasi tetap dalam ruang intravascular
oleh endothelium vascular. Sebagian besar elektrolit lewat bebas melalui cara-cara pasif
menembus dinding kapiler yang tipis dan berpori antara plasma dan interstitium menyebabkan
komposisi di kedua kompartemen ini hampir identik. Karena adanya pertukaran bebas diantara
kedua sisi dinding kapiler, apabila volume dan komposisi plasma diatur, volume dan komposisi
cairan interstitium juga diatur. Namun tight intercellular junction menghalangi jalannya protein
plasma keluar menuju kompartemen interstitial sehingga cairan di interstitial tidak mengandung
protein. Peningkatan volume ekstraseluler normalnya direfleksikan sesuai dengan volume di
intravaskuler (plasma) dan interstitial. Penurunan volume plasma dikompensasi secara parsial oleh
pergeseran cairan keluar dari kompartemen interstitium menuju ke plasma. Sebaliknya bila volume
plasma terlalu banyak, sebagian kelebihan cairan dipindahkan ke kompartemen interstitium.
Pergeseran ini terjadi secara otomatis akibat perubahan keseimbangan gaya hidrostatik dan
osmotic yang bekerja di dinding kapiler. Namun, bila tekanan interstitial menjadi positif,
peningkatan cairan ekstraseluler menghasilkan ekspansi hanya terbatas pada kompartemen cairan
interstitial. Hal ini secara klinis menyebabkan edema jaringan. Keseimbangan distribusi cairan
diatur dalam mekanisme pengaturan yang terjalin menjadi satu kesatuan. Cairan tubuh dalam
keadaan normal relative konstan.
Dua pertiga cairan tubuh manusia terletak di dalam kompartemen intraseluler. Ruang
ekstraseluler yang tersisa dibagi menjadi plasma darah dan ruang interstitial. Kedua kompartemen
ini berkomunikasi melintasi penghalang vascular untuk memungkinkan pertukaran elektrolit dan
nutrisi sebagai dasar untuk metabolisme sel. Tekanan positif intravaskular terus menerus memaksa
darah menuju ruang interstitial. Dalam kondisi fisiologis, molekul besar seperti protein dan koloid
tidak dapat masuk melewati barrier endotel dalam jumlah yang relevan, yang merupakan
keharusan untuk fungsi sirkulasi reguler. Kalau tidak, tekanan hidrostatik intravaskular akan
menyebabkan kehilangan cairan yang tidak terkendali menuju ruang interstitial dan
mengakibatkan edema jaringan.
Pada tahun 1896, Ernest Starling menyarankan tekanan osmotik interstitial koloid jauh di
bawah tekanan intravaskular. Gradien konsentrasi melintasi barrier endotel pembuluh darah dan
akan menghasilkan aliran, yang diarahkan ke pembuluh darah dan menentang tekanan hidrostatik
yang hanya menghasilkan filtrasi rendah per unit waktu.
Menurut prinsip Starling, hanya endotel sel yang bertanggung jawab atas fungsi barrier
dari pembuluh darah.14 Glikokaliks endotel memainkan peran penting dalam konteks ini. Setiap
endothelium vaskular sehat dilapisi oleh syndecan transmembrane dan membrane-bounded
glypicans yang mengandung rantai samping heparan sulfat dan kondroitin sulfat, yang bersama-
sama membentuk glikokaliks endotel.15,16 Bound plasma protein, glikosaminoglikan terlarut, dan
hyaluronan memuat glikokaliks ke lapisan permukaan endotel (Endothelial Surface Layer/ ESL),
yang merupakan subjek dari konstitusi periodik dan degradasi. Dalam kondisi fisiologis, ESL
memiliki ketebalan sekitar 1 μm dan mengikat sekitar 800 ml plasma darah, jadi plasma volume
dapat dibagi menjadi bagian sirkulasi dan non sirkulasi.16,17 Dengan demikian, glikokaliks
tampaknya bertindak sebagai filter molekuler, mempertahankan protein dan meningkatkan
tekanan onkotik pada lapisan permukaan endotel. Ruang kecil di antara dinding pembuluh darah
dan ESL secara anatomi nyaris bebas protein.18 Dengan demikian, kehilangan cairan lintas barrier
vaskular dibatasi oleh gradien tekanan onkotik ESL.19 Oleh karena itu, prinsip klasik Starling
tersebut dimodifikasi menjadi "double-barrier-concept "di mana bukan hanya sel endotel tetapi
lapisan permukaan endotel (ESL) yang terutama merupakan sawar vaskular.19

4. Disfungsi Barrier Vascular


Lapisan Permukaan Endotel/ ESL merupakan kontak permukaan pertama di antara darah
dan jaringan dan terlibat dalam banyak proses di samping fungsi sawar darah, seperti peradangan
dan sistem koagulasi. Sejumlah studi mengidentifikasi berbagai agen dan kondisi patologis yang
merusak struktur glycocalyx dan ketebalan ESL. Pada model hati babi asli, Chappell et al.
menunjukkan 30 kali lipat peningkatan pelepasan heparan sulfat setelah postis-reperfusi
kimiawi.20 Data-data ini disetujui oleh penyelidikan klinis, yang menunjukkan peningkatan kadar
plasma syndecan-1 dan heparan sulfat pada pasien dengan iskemia global atau regional yang
menjalani operasi vaskular mayor.21 Di samping iskemia / cedera-reperfusi, beberapa mediator
yang bersirkulasi diketahui menginisiasi degradasi glycocalyx. Tumor necrosis factor-(α), sitokin,
protease, dan heparanase dari sel mast aktif adalah penyebab yang telah didokumentasikan dengan
baik dalam sindrom respon inflamasi sistemik yang mengarah pada pengurangan ketebalan ESL,
yang memicu peningkatan adhesi leukosit dan permeabilitas endotel.20,22,23 Menariknya,
hypervolemia juga dapat menyebabkan gangguan glikokaliks yang dimediasi oleh pembebasan
peptida natriuretik atrium.24 Hypervolemia yang dihasilkan dari tidak adekuatnya pemberian
cairan dalam jumlah banyak dapat menyebabkan kerusakan glikokaliks iatrogenik. Seperti yang
ditunjukkan dalam penelitian dasar, konsekuensi dari glikokaliks yang belum sempurna, yang
kehilangan banyak dari kemampuan glikokaliksnya untuk bertindak sebagai sawar kedua,
meningkatkan permeabilitas transendotelial dan menyebabkan terjadinya pembentukan edema
interstitial.20,24 Relevansi penelitian eksperimental ini digarisbawahi oleh Nelson et al., yang
menemukan peningkatan kadar plasma glikosamino-glycans dan syndecan-1 pada pasien septik,
sedangkan rata rata tingkat glikosaminoglikan lebih tinggi pada pasien yang tidak selamat.24

Antara cairan ekstraseluler dan intraseluler dipisahkan oleh pembatas berupa membrane
semipermeabel. Beberapa mekanisme pengaturan keseimbangan cairan antara lain
a. Keseimbangan Donnan
Apabila 2 macam cairan yaitu larutan NaCI ditempatkan pada masing-masing sisi dari
suatu membran yang permeable terhadap ion Na dan Cl, maka keduanya akan melewati membrane
tersebut sehingga konsentrasi di kedua sisi membrane sama. Apabila pada satu sisi membrane
terdapat NaCI sedangkan disisi lain terdapat garam Na dari suatu protein (Na-R) dan membrane
tersebut tidak permeable terhadap ion R tetapi permeable terhadap ion lain, maka NaCl akan
menembus membrane ke sisi berlawanan
b. Osmolalitas dan osmolaritas
Osmolalitas suatu cairan adalah jumlah osmol dari solute per kilogram solven. Osmolaritas
suatu cairan adalah jumlah osmol dari solute per liter cairan. Makin tinggi osmolaritas, maka
semakin tinggi konsentrasi zat yang terlarut. Faktor determinan yabg terpenting yang menentukan
osmolalitas cairan ekstraseluler ialah kadar ion Na, bila kadar ion Na naik maka osmolaritas naik,
air akan ditarik dari sel untuk mempertahankan kembali osmolaritas tetap isotonis. Bila terjadi
hiponatremia yang akut akan menyebabkan penambahan jumlah air seluler tanpa memandang
seluruh cairan tubuh total. Perubahan kadar Na+ lebih sering disebabkan oleh perubahan volume
air. Sedangkan faktor determinan osmolalitas cairan intraseluler ialah kadar K+ intraseluler.
Osmolaritas cairan ekstrasel harus diatur secara ketat untuk mencegah pembengkakan atau
penciutan sel-sel.
c. Tekanan koloid osmotic
Koloid merupakan molekul protein dengan berat molekul lebih dari 20.000-30.000.
walaupun hanya merupakan 0,5% dari osmolalitas plasma total, namun mempunyai arti yang
penting. Hal ini disebabkan karena permeabilitas kapiler terhadap koloid sangat kecil, sehingga
mempunyai efek menahan air dalam komponen plasma. Tekanan koloid osmotic normal 20-25
mmHg.
d. Kekuatan Starling (Starling's Forces)
Tekanan koloid osmotic plasma kira-kira 25 mmHg sedangkan tekanan darah di ujung
arteri 36 mmHg dan pada ujung vena 15 mmHg. Keadaan ini menyebabkan difusi air dan ion-ion
yang dapat berdifusi keluar dari kapiler masuk ke cairan interstitial pada akhir arteri dan reabsorbsi
berkisar 90%.
e. Pompa natrium
Protein intrasel yang tidak dapt berdifusi cenderung menarik air kedalam sel. Natrium
masuk kedalam sel dengan cara difusi dari ekstrasel yang tinggi ke intrasel yang rendah, ini
diibangi dengan pompa natrium yang ada dalam sel ke cairan ekstraseluler. Pompa natrium
tergantung dari persediaan ATP, dan sebagian diantagonis oleh kalium.

Apabila terjadi suatu gangguan keseimbangan, tubuh memiliki mekanisme kompensasi


untuk mempertahankan fungsi vital organ-organ tubuh. Mekanisme pengaturannya dilakukan
melalui 2 cara yaitu:
a. Kendali Osmolar
Mekanisme kendali ini sangat dominan dan elektif dalam mengatur volume cairan
ekstraseluler. Mekanisme kendalinya dilakukan melalui:
1. Sistem osmoreseptor hipotalamus-hipofisis-ADH
Di daerah hipotalamus bagian anterior yang merupakan bagian dari nukleus supra optic,
terdapat neuron khusus yang dikenal sebagai osmoreseptor. Sel-sel ini mengandung vesikel-
vesikel besar yang mengandung cairan. Vesikel ini dapat mengembang atau mengeriput sesuai
dengan osmolaritas cairan ekstraseluler. Aktivitas reseptor ini berlangsung terus-menerus. Apabila
cairan ekstraseluler lebih pekat, osmolaritasnya akan meningkat maka vesikel mengeriput, hal ini
meningkatkan pelelpasan impuls. Sebaliknya bila osmolaritas cairan ekstraseluler turun, maka
vesikel mengembang sehingga impuls dari reseptor ini berkurang. Impuls ini merangsang hipofisis
posterior untuk melepaskan vasopressin atau antidiuretic hormon (ADH). Vasopresin yang
dihasilkan oleh badan sel neuron spesifik di hipotalamus disimpan di kelenjar hipofisis posterior
yang pengeluarannya dikontrol oleh hipotalamus. Makin tinggi osmolaritas cairan ekstraseluler
makin banyak ADH yang dilepaskan. Sebaliknya makin rendah osmolaritas cairan ckstraseluler
makin rendah ADH yang dilepaskan.
ADH melalui system sirkulasi bekerja di reseptor spesifik tubulus kontortus distalis dan
tubulus kolektivus untuk menghemat air dengan meningkatkan permeabilitis membrane lumen
untuk memperbanyak reabsorbsinya, sehingga osmolaritas cairan ekstraseluler turun dan produksi
urin menjadi berkurang. Pada kondisi dimana pelepasan ADH kurang atau tidak ada, maka jumlah
air yang dibuang lewat urin menjadi 5-20x lebih sering dibandingkan normalnya. Sebaliknya bila
pelepasan ADH meningkat reabsopsi air meningkat schingga produksi urin menurun sampai 1/3
normal.
2. System rennin-angiotensin-aldosteron
Mekanisme kendali ini bekerja apabila terjadi perubahan keseimbangan cairan yang
bersifat isotonic. Mekanisme pengaturannya melalui pengaturan Na terutama melalui ekskresi Na
lewat urin. Pengaturan ini dilakukan melalui interaksi antara aktivitas ginjal dengan hormone
korteks adrenal. Keseimbangan natrium diatur oleh ginjal melalui 2 proses yaitu filtrasi glomerulus
dan reabsorpsi di tubulus. Kontrol jumlah Na yang difitrasi melalui pengaturan GFR termasuk
dalam kendali non osmolar oleh respon refleks baroreseptor. Dari sekian banyak Na yang keluar
melalui filtrasi ini, lebih dari 95% direabsorpsi oleh tubulus. Walaupun Na+ direabsorpsi di seluruh
panjang tubulus, hanya reabsorpsi di bagian distal tubulus yang berada di bawah kontrol. Faktor
utama yang mengontrol tingkat reabsorpsi Na+ di tubulus distal dan saluran pengumpul adalah
system rennin angiotensin-aldosteron. Korteks adrenal menjaga cairan ekstraseluler melalui efek
hormone aldosteron terhadap Na. sebagian besar, hampir 2/3 dari retensi Na terjadi oleh
aktivitasnya. Retensi Na pada gilirannya meningkatkan retensi osmotik H20 dan menyebabkan
ekspansi volume plasma serta peningkatan tekanan darah arteri. Sebagai respon dari penurunan
volume ekstraseluler atau tekanan darah sel-sel granuler apparatus jukstaglomerulus
mensekresikan hormone rennin ke dalam darah. Renin merupakan suatu hormone proteolitik yang
disintesis, disimpan dan diekskresi oleh ginjal. Renin disintesis di apparatus jukstaglomerular.
Pelepasan rennin, secara teoritis dipengaruhi oleh baroreseptor ginjal.

Ada 2 mekanisme yang berperan pada pelepasan rennin


Konsep macula lutea
Hal ini tergantung dari perubahan Na dalam tubulus distalis. Bila Na yang terdapat di dalam
tubulus distalis menurun, maka akan diikuti dengan berkurangnya volume tubulus sehingga
mengurangi kontak antara macula dengan sel-el arteriol. Keadaan ini diikuti oleh pelepasan rennin.
Konsep reseptor regangan
Ini tergantung dari tekanan atau perubahan tekanan dan distensi dari arteriol aferen.
Tampak jelas bahwa kontrol GFR dan reabsorpsi Na sangat berkaitan satu sama lain dan bahwa
keduanya berhubungan erat dengan pengaturan jangka panjang volume cairan ekstraseluler
sepcerti tercermin oleh tekanan darah. Bila terjadi penurunan volume arteriol atau perfusi ke ginjal
menurun/berkurang maka akan menimbulkan efek ganda pada penanganan Na pada ginjal,
misalnya karena hipovolemia atau penurunan tekanan darah, maka hal ini diikuti dengan
penurunan jumlah Na yang difiltrasi serta peningkatan hormon rennin mengakibatkan peningkatan
reabsorpsi Nat. Setelah rennin dilepaskan, akan terjadi proses enzimatik sebagai berikut
Rennin bekerja sebagai enzim yang mengaktifkan angiotensinogen menjadi angiotensin I
pada hati yang merupakan dekapeptide. Angitensinogen merupakan protein plasma yang disintesis
oleh hati dan selalu terdapat di plasma dalam konsentrasi tinggi. Angiotensi I oleh angiotensin
converting enzim yang dihasilkan oleh paru, akan diubah menjadi angiotensin II yang merupakan
oktapeptide yang berkhasiat vasokonstriktor kuat dan merangsang kelenjar supra renal untuk
menghasilkan aldosteron. Peranan aldosteron adalah meningkatkan absorpsi Nat oleh tubulus
distal dan tubulus pengumpul. Hormone ini bekerja dengan merangsang sintesis protein-protein
baru di dalam sel tubulus tersebut.
Aldosteron induced proteins meningkatkan reabsorpsi Nat melalui 2 cara yaitu pertama
dengan terlibat dalam pembentukan saluran Na di membrane luminal sel tubulus distal dan
pengumpul, sehingga meningkatkan perpindahan pasif Na dari lumen ke sel. Kedua, menginduksi
sintesis pembawa Nat K + ATPase basolateral. Hasil akhirnya adalah peningkatan reabsorpsi Na.
lon klorida mengikuti secara pasif sesuai gradient listrik yang tercipta oleh reabsorps aktif Na+.
Peranan angiotensi lI dalm homeostasis adalah untuk mempertahankan tekanan darah
apabila terjadi prenurunan volume sirkulasi atau penurunan kadar elektrolit di sirkulasi. Dengan
meningkatnya sekresi aldosteron, terjadi peningkatan reabsopsi Na dan ini menyebabkan retensi
cairan. Konsekuensinya terjadi peningkatan volume sirkulasi, meningkatnya tekanan darah dan
perbaikan perfusi ke jaringan tubuh yang penting sebagai kompensasi penurunan tekanan darah.
Sebaliknya, peningkatan tekanan darah arteri menimbulkan hambatan aktivitas rennin aldosteron
yang menurunkan reabsorpsi garam dan cairan. Karena tidak terjadi pengaktifan angiotensinogen
menjadi angiotensin I dan II, maka sekresi aldosteron tidak terangsang. Tanpa aldosteron,
reabsorpsi sejumlah kecil Na yang bergantung pada aldosteron di segmen tubulus distal tidak
terjadi.

b. Kendali non Osmolar


Beberapa mekanisme neural yang berperan dalam pengaturan volume cairan
1. Refleks Stretch Receptor
Pada dinding atrium terdapat stretch reseptor yang dirangsang oleh perubahan kapasitas
arium kiri. Apabila atrium kiri mengalami distensi, maka reseptor ini akan terangsang sehingga
timbul impuls aferen melalui jalur simpatis yang akan mencapai hipotalamus. Kemudian oleh
aktivitas system hipotalamus-hipofisis akan disekresikan ADH. Hal ini berarti terdapat kerja sama
antara refleks ini dengan kendali osmotic.
2. Refleks baroreseptor
Mekanisme refleks baroreseptor mengubah curah jantung dan resistensi perifer total
melalui efek system saraf otonom pada jantung dan pembuluh darah. Respon kardiovaskular yang
bersifat segera ini dirancang untuk memperkecil efek yang ditimbulkan penyimpangan volume
darah pada tekanan darah.
Laju filtrasi glomerulus (GFR) mengontrol jumlah Na yang difiltrasi. Pada setiap
konsentrasi Nat plasma, setiap perubahan GFR mengubah jumlah Nat+ yang difiltrasi. GFR secara
sengaja diubah untuk mengubah jumlah Na+ dan cairan yang difiltrasi sebagai bagian dari respon
refleks baroreseptor untuk mengubah tekanan darah. Baroresptor memantau fluktuasi tekanan
darah bertanggung jawab untuk menyesuaikan jumlah nat yang difiltrasi. Bila terjadi penurunan
aliran darah ke glomerulus, maka GFR menurun sebagai respon reflex baroreseptor terhadap
penurunan tekanan darah dengan demikian jumlah Nat dan cairan yang difiltrasi menurun. Selama
refleks ini, terjadi vasokonstriksi arteriol aferen yang menyalurkan darah ke glomerulus sehingga
lebih sedikit darah yang mengalir ke glomerulus dibandingkan normal, sehingga tekanan darah
kapiler glomerulus menurun.terjadi penurunan GFR yang kemudian menyebabkan pengurangan
volume urin. Hal ini membantu memperkecil reduksi volume cairan cairan dan berperan dalam
pemulihan tekanan darah. Sebaliknya, peningkatan volume CES dan tekanan darah arteri akan
secara refleks dilawan olch respon refleks baroreseptor yang menyebabkan peningkatan ekskresi
Na+ dan cairan. Eliminasi kelebihan Na+ dan cairan membantu menurunkan kelebilhan volume
plasma.
Baroreseptor akan terangsang apabila terjadi perubahan tekanan darah, selanjutnya sinyal
ini diteruskan pada system hipotalamus-hipofisis yang akan memberikan respon melalui
penahanan atau pelepasan ADH ke dalam sirkulasi.

Terdapat 2 jenis refleks baroreseptor yang bekerja saling berlawanan


1. Baroreseptor carotid
Reseptor ini terangsang bila terajdi penurunan tekanan arteri sehingga menyebabkan
impuls aferen yang melalui jalur parasimpatis menurun, sehingga terjadi hambatan efek
hipotalamus terhadap hipofisis sehingga sekresi ADH meningkat.

2. Baroreseptor lengkung aorta


Reseptor ini akan terangsang bila terjadi peningkatan tekanan darah arteri. Impuls-impuls
aferen akan mempengaruhi hipotalamus yang akan menginhibisi hipofisis posterior sehingga
sekresi ADH berkurang

5. Terapi cairan pada pasien dengan penyakit kritis (Critically ill patients)
Terapi cairan adalah salah satu terapi yang sangat menentukan keberhasilan penanganan
pasien kritis. Dalam langkah-langkah penyelamatan, pemberian cairan merupakan langkash
penting yang secara simultan dikerjakan dengan langkah-langkah lainnya. Tindakan ini sering
merupakan langkah "life saving: pada pasien penderita yang kehilangan cairan dalam jumlah yang
banyak.
Fase dinamik atau stasium pada administrasi cairan pasien syok meliputi resussitasi,
optimisasi, stabilisasi dan evakuasi (ROSE) diikuti dengan potensial hipoperfusi. Konsep ROSE
pada fase penyakit kritis meliputi
a. Fase Resusitasi (R)
Pada fase ini penganangan dengan administrasi cairan secepatnya diberikan dalam bentuk
bolus sebagai upaya penyelamatan. Pemberian bolus cairan yang dianjurkan adalah sebesar 4
ml/kg dalam 10-15 menit. Targetnya adalah managemen cairan dini yang adekuat dengan balance
cairan harus positif dan target resusitasi adalah MAP 65 mmHg, CI > 2,5 L/menit/m, PPV < 129%,
dan LVEDAI> 8 cm/m
b. Fase Optimisasi (O)
Fase ini terjadi dalam beberapa jam ditandai dengan terjadinya proses iskemia dan
reperfusi. Derajat balance cairan positif dapat dijadikan penanda tingkat keparahan pada fase ini.
Resiko sindrom kompartemen. Pada fase ini pasien masih dalam kondisi tidak stabil, namun syok
terkompensasi dan membutukan titrasi cairan untuk cardiac outputnya. Target MAP> 65 mmHg,
CI> 2,5 L/menit/m2, PPV < 14%, LVEDAI 8-12 cm/m2, IAP dimonitor <15 mmHg dan APP
dihitung> 55 mmHg. Preload dioptimalisasi dengan GEDVI 640-800 mL/m2.
c. Fase Stabilisasi (S)
Fase ini berkembang setelah beberapa hari. Pemberian terapi cairan dimaksudkan untuk
maintenance dan replacement. Pada fase ini tidak ada syok atau ancaman syok. Monitor berat bada
harian dan penghitungan balance cairan perlu dilakukan. Target yang perlu dicapai adalah balance
cairan neutral atau negative, EVLWI< 10-12 ml/kg PBW, PVPI < 2,5, IAP< 15 mmHg, APP>55
mmHg. COP> 16-18 mmHg, dan CLI <60.
d. Fase Evakuasi (E)
Pasien yang tidak mengalami transisi dari fase Ebb pada syok ke fase Flow dapat
berkembang menjadi global increased permeability syndrome (GIPS). Cairan yang berlebih
menyebabkan gagal fungsi organ. Pada kondisi ini perlu dilakukan deresusitasi atau late goal
directed fluid removal untuk mencapai balance cairan yang negative. Namun pengeluaran cairan
yang berlebihan harus dihindari untuk cegah hipovolemia.
Berdasarkan konsep ROSE waktu seharusnya memberikan Cairan adalah saat fase
resusitasi. Pasien memasuki fase Ebb pada syok, berada dalam kondisi yang mengancam nyawa,
terjadi dalam beberapa menit, dan dikarakteristikkan dengan MAP (mean arterial pressure) yang
rendah, cardiac output yang turun, gangguan mikrosirkular peningkatan laktat. Pemberian cairan
harus diberikan pada hipovolemia yang berat karena kesulitan oksigen untuk mencapai oksigen.
Maintenance cairan harus diberikan dengan laju 1 ml/kg/jam kombinasi dengan replacement
cairan. Fase ini sesuai dengan Resusitasi pada konsep ROSE. Selama stadium awal fase resusitasi,
cairan diadministrasikan dengan cepat diberikan bolus 4 ml.kg yang habis dalam 10-15 menit.
Terapi ini dianggap sebagai terapi penyelamatan untuk mempertahankan perfusi jaringan, balance
cairan harus bergeser dari positif menjadi netral dan target resusitasi adalah adalah early adequate
goal directed fluid managemen dengan MAP 65 mmhg, CI> 2,5 Lmenit, PPV< 12% dan
LVEDAI> 8 cm/m2.
Penghentian pemberian cairan cepat dilakukan pada Fase optimisasi. Dalam beberapa jam
masalah yang dihadapi adalah kondisi iskemia dan reperfusi. Akumulasi cairan harus dilihat
sebagai salah satu biomarker keparahan penyakit. Semakin banyak cairan yang dibutuhkan,
semakin berat kondisi pasien selama fase optimisasi kondisi pasien masih belum stabil namun
pasien tidak dalam kondisi bahaya dengan segera mengancam nyawa. Tambahan terapi cairan
harus diberikan dengan cara dititrasi dengan maksud untuk mengoptimalisasikan fungsi jantung
untuk meningkatkan perfusi dengan target akhir adalah menghindari disfungsi organ. Setelah fase
optimatisasi masuk ke fase stabilisasi. Pada fase ini homeostasis fokus pada terapi cairan pasien
yang dalam kondisi stabil dengan kehilangan cairan yang normal, yang dalam hal ini hanya perlu
menggunakan terapi cairan maintenance dan replacement cairan. Tetapi bisa juga diberikan infuse
cairan bila pasien mengalami kehilangan cairan akibat kondisi patologis yang masih berjalan. Fase
ini perlu dibedakan dari fase resusitasi dan optimatisasi dengan ketidakhadiran syok atau ancaman
syok dalam waktu dekat. Idealnya berat badan harus diukur dan kumulatif balance cairan harus
diukur untuk menilai resiko overload cairan.

Sekarang ada konsensus bahwa terapi volume koloid tidak boleh digunakan pada pasien
yang sakit kritis. Revisi Starling Equation dan Glycocalyx Model paradigm (RSE & GM)
menghentikan pandangan bahwa koloid sebagai pengganti plasma yang lebih disukai. Sebagai
gantinya mereka lebih berfokus pada distribusi cairan volume sentral yang diinfuskan, laju
distribusinya ke volume periferal, dan laju ekskresinya. Singkatnya, hal ini menekankan volume
kinetika. RSE & GM membawa beberapa konsep fisiologis baru ke diskusi tentang cairan, yang
membantu menjelaskan mengapa koloid sedikit bermanfaat untuk resusitasi hipovolemia.25
Volume intravaskular non-sirkulasi yang ditempati oleh glikokaliks endotel – yang
menciptakan rangka matriks serabut untuk lapisan permukaan endotel. Dengan rata-rata sekitar
dua mikron tebalnya, lapisan glikokaliks yang rapuh dapat menahan sebanyak 1,5 liter volume
intravaskular. Gambar 1 merupakan representasi diagram pengaturan glikokaliks pada aspek
luminal sel endotel dan membran basal / matriks ekstraseluler dalam aspek interstitial. Arus
konveksi filtrat yang hampir bebas protein menjaga tekanan onkotik cairan koloid dalam saluran
antar-endotel glikokaliksus mendekati nol, dan jauh lebih rendah daripada tekanan onkotik koloid
dari cairan interstitial ke mana filtrat mengalir. Hal ini merupakan perbedaan tekanan onkotik
koloid (delta-pi) di seluruh glikokaliks yang menentang filtrasi (Jv), dan lebih besar daripada delta-
pi antara plasma dan cairan interstitial yang sebelumnya telah dipertimbangkan dalam persamaan
Starling.25

Gambar 1 Representasi diagram glikokaliks pada aspek luminal sel kapiler endotel.

Model glikokaliks, regio yang terproteksi dan peraturan tanpa-absorbsi


Dengan pengecualian kapiler diafragma-fenestrasi yang dapat menyerap zat terlarut pada
tekanan kapiler normal, tidak terjadi penyerapan cairan dari interstitium ke plasma, bahkan pada
tekanan kapiler yang berkurang. Mekanisme ini merupakan model glikokaliks. Saluran sel antar-
endotel biasanya dibatasi oleh matriks serat intraluminal glikokaliks yang menyaring cairan yang
hampir bebas protein ke 'wilayah terproteksi sub-glikokaliks.' Pada tekanan kapiler yang
berkurang, kecepatan arus konveksi melalui kanal antar sel endotel (yang merupakan bagian
terbesar dari Jv) mendekati nol dan tekanan onkotik koloid di daerah yang dilindungi naik ketika
protein terlarut berdifusi kembali dari interstitium, mengurangi delta-pi antara plasma dan daerah
yang dilindungi yang menentang Jv. Dengan penurunan yang sangat akut dari perbedaan tekanan
trans-endotelial (delta-P), mungkin terdapat arus konveksi balik membawa protein ke daerah yang
dilindungi. Model glikokaliks dengan demikian mempertahankan keadaan filtrasi minimal bahkan
ketika delta-P rendah. Terapi koloid intravena tidak dapat meningkatkan absorbsi dan tidak dapat
mencegah atau mengobati edema interstitial. Jika cedera endotel cukup parah sehingga
menghancurkan pelindung matriks serabut dari saluran antar-endotel, wilayah yang dilindungi
akan hilang.25

Kurva-J dan Titik-J


Sebagai konsekuensi dari model glikokaliks, plot Jv terhadap delta-P berdasarkan
persamaan Starling yang direvisi menunjukkan bahwa Jv tetap mendekati nol dengan naiknya
delta-P hingga arus konveksi filtrat melalui saluran antar-endotel cukup untuk membawa tekanan
onkotik koloid daerah terlindung mendekati nol. Delta-pi kemudian maksimal, dan peningkatan
lebih lanjut pada delta-P akan memperluas perbedaan antara delta-P dan delta-pi yang sekarang
diperbaiki, menyebabkan kenaikan tajam pada Jv. Hal ini menciptakan infleksi pada kurva yang
membuatnya tampak berbentuk J. Infleksi disebut titik-J. Untuk larutan molekul yang berdasarkan
ukuran dan muatannya tidak secara bebas menyerap glikokaliks, volume pusat distribusi adalah
volume plasma, sedangkan volume pusat distribusi ISS adalah jumlah volume plasma dan volume
glikokaliks. Ini bisa menjadi alasan utama mengapa kesetaraan volume yang diamati dari larutan
garam isotonik dengan larutan koloid iso-onkotik untuk resusitasi IV adalah sekitar 1,5: 14
daripada aturan 4: 1 atau 5: 1 yang ditegaskan oleh British Concensus Guideline BAPEN saat ini.25

Memanipulasi tekanan kapiler


Fokus pada tekanan kapiler membawa perspektif baru tentang peran terapi pressor
arteriolar dosis rendah dalam praktik perawatan intensif. Biasanya, tujuannya adalah untuk
mempertahankan tekanan arteri rata-rata yang memadai setelah resusitasi volume intravaskular
dan stroke yang memadai, yang memungkinkan penggunaan cairan yang lebih ketat. Dalam RSE
& GM, penekan arteriol diharapkan untuk menurunkan tekanan kapiler dan mengurangi Jv,
menjaga lebih banyak volume intravaskular ekstraseluler. Sekarang kita dapat melihat agonis
alpha-1 sebagai bagian dari strategi anti-edema potensial. Kekhawatiran bahwa hipertensi kapiler
berbahaya akan membuat kita lebih berhati-hati dalam menggunakan bolus cepat. RSE & GM
memprediksi tekanan kapiler tinggi selama transfusi cepat akan menyebabkan peningkatan Jv
secara berlebihan, mengurangi kontribusi intravaskular dari cairan resusitasi apa pun yang kita
pilih. Laju infus yang lebih lambat akan menyebabkan puncak tekanan kapiler yang lebih rendah,
meminimalkan hiperfiltrasi, dan memaksimalkan resusitasi volume intravaskular yang efisien.25

6. Patofisiologi efek dari cairan berlebih (Fluid Overload)


Konsep dual metabolik respon terhadap injury pada tubuh sudah diperkenalkan sejak tahun
1942. Respon langsung terhadap sitokin proinflamasi awal dan stress hormonal, fase Ebb
merepresentasikan syok terdistributif, dikarakteristikkan dengan vasodilatasi arteri dan kebocoran
albumin transkapiler, menurunkan tekanan onkotik plasma sehingga cairan cenderung berpindah
ke kompartemen interstitial dan memperburuk edema. Pengisian arteri yang rendah, disfungsi
mikrosirkular dan edema interstitial sekunder mengarah pada sistemik hipoperfusi dan gangguan
pemenuhan oksigen jaringan regional. Saat fase ini metabolisme tubuh menurun karena focus
upaya tubuh tertuju pada upaya bertahan hidup.
Dengan demikian resusitasi cairan dan elektrolit pada fase Ebb merupakan intervensi yang
lebih penting untuk membantu upaya tubuh bertahan hidup. Pada stadium awal shock, terapi cairan
adekuat terdiri atas aequae goal directed filling untuk mencegah evolusi kearah multiple organ
dysfunction syndrome (MODS). Kompensasi refleks neuroendokrin dan disfungsi renal potensial
menghasilkan retensi cairan dan natrium, balance cairan positif tidak dapat dipisahkan dari fase
Ebb. Pasien dengan keparahan penyakit yang lebih berat memerlukan terapi cairan untuk mencapai
optimalisasi kardiovaskular. Oleh karen itu, balance cairan dianggap sebagai biomarker dari
critical illness.
Keseimbangan cairan positif (Positive fluid balance) merupakan kondisi cairan berlebih
sebagai akibat dari administrasi cairan selama resusitasi dan juga terapi cairan lanjutan. Kelebihan
cairan didefiniskan dengan cut off value 10% dari akumulasi cairan yang dikaitkan dengan
perburukan kondisi. Persentase akumulasi cairan bisa dijelaskan dengan pembagian antara
kumulatif balance cairan dalam liter dengan berat badan pasien dan dikali 100%. Pada umumnya
akan terjadi kelebihan cairan dengan segala akibatnya seperti payah jantung, edema otak, odema
paru dan jaringan lain. Balance cairan positif dihubungkan dengan morbiditas dan mortalitas dalam
berbagai studi
a. Perburukan hingga kematian pasien penyakit kritis
b. peningkatan mortalitas pada pasien dengan acute kidney injury (AKI)
c. memperpanjang waktu penyembuhan pada pasien dengan acute lung injury/ acute respiratory
distress syndrome (ALI/ARDS)
d. perburukan hingga kematian pasien dengan syok septic
e. meningkatkan morbiditas pasien dengan pembedahan kolorektal
f. berkaitan dengan hipertensi intra-abdominal
Balance cairan positif menyebabkan gangguan pada berbagai sistem tubuh seperti sistem
kardiovakular, sistem saraf pusat, sistem respirasi, sistem hepatik, system renal, sistem
gastrointestinal, dan juga sistem endokrin.

7. Deresusitasi
Deresusitasi atau late goal directed fluid removal adalah upaya pengeluaran cairan yang
aktif dan agresif yang dilakukan pada pasien-pasien kritis dengan overload cairan pasca resusitasi
cairan. Target dari deresusitasi adalah balance cairan 0 atau negative pada hari ke 3 dan menjaga
kumulatif balance cairan pada hari ketujuh seminimal mungkin. Deresusitasi dapat dilakukan
dengan standar treatment berupa terapi diuretic atau renal replacement therapy. Dapat pula
dikombinasikan dengan pemberian albumin. Penggunaan terapi ini adalah untuk memobilisasi
cairan pada pasien dengan hemodinamik stabil dengan hipertensi intra abdominal dan kumulatif
balance cairan positif setelah resusitasi akut selesai.
Penelitian martin dkk pada 40 pasien ARDS dengan hemodinamik stabil yang
menggunakan ventilasi mekanik, menemukan bahwa penambahan albumin intravena dan
furosemide menghasilkan peningkatan volume dieresis dan meningkatkan oksigenasi. Dalam
penelitian oleh Oczkowski dkk, pasien dewasa di ICU dengan hemodinamik stabil (tanpa hipotensi
dan takikardi) minimal 24 jam dan juga memiliki hipoproteinemia (serum albumin 30 gL atau total
protein <60 g/L) diberikan albumin 25% yang habis dalam 60 menit. Dalam 2 jam selanjutnya
diberikan diuretik seperti furosemide pada pasien. Pasien diberikan albumin dan diuretik dua kali
dalam sehari dengan total pemberian selama 3 hari yaitu 6 dosis.
Studi dengan 57 case dan 57 control mengenai efek deresusitasi cairan dengan balance
cairan negative menggunakan PAL-treatment diperiksa pada pasien ALI yang memiliki
hipoksemia berat, peningkatan EVLWI dan IAP yang menggunakan ventilasi mekanik. PAL
treatment mengkombinasi open lung ventilation dengan positive end expiratory pressure (PEEP)
yang tinggi, volume kecil resusitasi dengan albumin hiperonkotik dan pengeluaran cairan dengan
diuretic (Lasix) atau ultrafiltrasi menggunakan renal replacement theraphy (RRT). Dasar dari
PAL-treatment didasarkan pada kosep fase Ebb dan fase Flow. Pada fase Ebb merepresentasikan
syok distributive yang dikarakteristikkan dengan peningkatan permeabilitas kapiler dan kebocoran
albumin. Kelebihan cairan interstitial mengarah pada disfungsi organ seperti acute lung injury
(AL), intra abdominal hipertensi sekunder, dan acute kidney injury (AK). PAL treatment
dimaksudkan untuk menginisiasi fase Flow, membatasi kebocoran vaskuler dan mendorong
pengeluaran cairan interstitial namun tetap mempertahankan perfusi organ. Inisiasi fase flow
berimplikasi pada pengisian kembali vaskuler dari interstitium dan kemudian pengeluaran cairan
dari tubuh menghasilkan balance cairan negative.
Adapun langkah pemberian PAL sebagai berikut
a. Pertama, PEEP tinggi diberikan selama 30 menit (minimal sama dengan tekanan intra
abdominal) yang bertujuan untuk untuk menyeimbangkan efek peningkatan tekanan IAP. Metode
ini mempertahankan tekanan akhir ekspirasi positif dengan menggunakan katup yang tekanannya
bisa diatur. Tekanan positif akhir ekspirasi meningkatkan residu fungsional dan mencegah
mikroatelektasis sehingga ventilasi alveolar dan proses difusi bisa ditingkatkan untuk
memobilisasi cairan alveoli ke interstitium. Selain itu juga berkorelasi dengan penurunan EVLWI.
b. Selanjutnya Albumin konsetrasi 20% yaitu larutan hiperonkotik diadministrasikan 200 ml
bolus yang dihabiskan dalam 60 menit. Pada hari pertama albumin diberikan 2 kali dalam sehari,
selanjutnya albumin dititrasi hingga kadar albumin mencapai 30 g/dl. Strategi pemberian koloid
hiperonkotik meningkatkan tekanan osmotic koloid sehingga mendorong distribusi cairan dari
jaringan perifer yang edema kembali ke kompartemen vaskuler sehingga bisa difiltrasi dan
diekskresikan oleh ginjal.
c. Kemudian, 30 menit setelah pemberian dosis albumin petama, infuse furosemide diberikan
diawali dengan loading intravena dosis 60 mg dilanjutkan dengan infuse 60 mg per jam selama 4
jam pertama dan 5-20 mg per jam untuk selanjutnya berdasarkan toleransi hemodinamik
(pertahankan urine output> 100 mL/jam).
d. Pada pasien dengan anuria, Renal Replacement Therapy bisa ditambahkan dengan
ultrafiltrasi untuk memperoleh balance cairan netral atau negative.
Setelah satu minggu PAL treatment memberikan efek menguntungkan pada penurunan
EVLWI, penurunan IAP, dan perbaikan oksigenasi menghasilkan durasi pemakaian ventilasi
mekanik yang lebih singkat dan perbaikan kondisi. Penurunan EVWLI merefleksikan peningkatan
proses penyembuhan dari lung injury. PAL treatment juga secara signifikan menurunkan CLI
sebagai hasil dari perbaikan serum albumin. Pasien yang dirawat dengan terapi cairan konservatif
diawal dan late fluid management memiliki hasil akhir yang lebih baik. Pemberian PAL-treatment
selama satu minggu tidak memperburuk fungsi kardiovaskuler secara signifikan.
Deresusitasi dimulai pada fase evakuasi sesuai konsep ROSE. Setelah melewati fase
stabilisasi ada 2 hal yang kemukinan terjadi. Pertama pasien menjadi membaik dan masuk ke Flow
fase secara spontan. Namun, sebagian lainnya mengalami kondisi "No Flow" sebagai akibat global
increased permeability syndrome (GIPS) dengan akumulasi cairan yang berlanjut akibat
kebocoran kapiler. Administrasi cairan pada stadium ini menjadi berbahaya untuk pasien. Edema
perifer dan edema anasarka ditemukan pada pasien, namun yang paling berbahaya adalah disfungsi
organ. Deresusitasi harus dipikirkan ketika cairan berlebih dan akumulasi cairan berpengaruh
negative pada end-organ function, jadi deresusitasi diharuskan pada kasus dengan kumulatif
balance cairan positif dengan kombinasi oksigenasi yang buruk (P/F ratio rendah 200),
peningkatan kebocoran kapiler (PVPI> 2,5 dan EVLWI 12 mi/kg PBW), peningkatan IAP 15
mmHg) dan APP rendah (50 mmHg), CLI tinggi.
Pada fase evakuasi, cairan perlu dikeluarkan secara aktif dari tubuh pasien. Targetnya
adalah balance cairan negative dengen pergerakan akumulasi cairan melalui de-resuscitation.
Monitoring pada fase ini harus focus pada menilai overload cairan dan dampaknya pada end-organ
function. Efek samping yang ditimbulkan dari kelebihan cairan dan edema interstitial berdampak
pada end organ function. Karena efek samping dari kelebihan cairan pada kebocoran kapiler dapat
dilihat pada paru, monitoring EVLWI mungkin menjadi media untuk menuntun managemen cairan
pada pasien kritis. EVLWI yang tinggi mengindikasikan status kebocoran kapiler dan dikaitkan
dengan risiko morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi. Pengukuran extravascular lung water
index (EVLWI) dilakukan dengan trans-cardio-pulmonary thermodilution dapat digunakan
mengestimasi luas kebocoran kapiler dan kelebihan cairan. Oleh sebab itu, EVLWI berkorelasi
baik dengan fungsi organ dan kelangsungan hidup.
Pengeluaran cairan yang berlebihan harus dihindari karena data kembali memunculkan
hipovolemia yang menyebabkan hipoperfusi serta hipoksia jaringan. Selama bebrapa minggu
waktu penyembuhan, perfusi jaringan harus diperhatikan. Deresusitasi dihentikan bila ICG-PDR
rendah, ScvO2 rendah, balance cairan netral atau negative.

DAFTAR PUSTAKA
1. Hall, J. E., 2006. Guyton's Textbook of Medical Physiology. 11 ed. Philadelpia: Elsevier.
Chow JL, B. K. a. B. L., 2004. Critical Care Handbook of the Massachusetts General Hospital. 3rd
ed. US: Lippincott Williams & Wilkins.
2. Stoelting RK, Rathmell JP, Flood P, Shafer S. Intravenous Fluids and Electrolytes.
Dalam Handbook of Pharmacology and Physiology in Anesthetic Practice 3rd ed. Philadelphia:
Wolters Kluwer Health. 2015; 17 : h. 341 – 49.
3. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Management of Patients with Fluid and
Electrolyte Disturbances. Dalam Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology 5th ed. New York:
Mc-Graw Hill. 2013; 4 (49): h. 1107 – 40.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reaminasi Indonesia. 2010. Panduan
Tatalaksana Terapi Cairan Perioperatif. PP IDSAI, 108-142.
5. Hahn RG. Crystalloid Fluids. Dalam Clinical Fluid Therapy in the Perioperative Setting.
Cambridge: Cambridge University Press. 2012; 1 : h. 1 – 10.
6. Niemi TT, Miyasitha R, Yamakage M. Colloid solutions: a clinical update. Japanese
Society of Anesthesiologist. 2010.
7. Intravenous Fluid Selection [cited 2017 May 5]. Available from
catalogue.pearsoned.co.uk. 2005.
8. Floss K, Borthwick M, Clark C. Intravenous fluids principles of treatment. Clinical
Pharmacist Vol.3. 2011.
9. Agro FE, Fries D, Vennari M. Body Fluid Management From Physiology to Therapy.
Verlag Italia: Springer. 2013.
10. Hines RL, Marschall KE. Fluid, Electrolytes, and Acid-Base Disorders. Dalam
Handbook for Stoelting’s Anesthesia and Co-Existing Disease 4th ed. Philadelphia: Elsevier Inc.
2013; 18: h.216 – 230.
11. Braga M, Ljungqvist O, Soeters P, et al: ESPEN Guidelines on Parenteral Nutrition:
surgery. Clin Nutr 2009;28:378.
12. Gaol, H. L., Tanto, C. & Pryambodho, 2014. Terapi Cairan. In: C. Tando, F. Liwang,
S. Hanifati & E. A. Pradipta, eds. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius, pp.
561-564.
13. Weimann A, Braga M, Harsanyi L, et al: ESPEN Guidelines on Enteral Nutrition:
surgery including organ transplantation. Clin Nutr 2006;25:224.
14. Starling E: On the absorption of fluid the connective tissue spaces. J Physiol 1896,
19:312-26.
15. Pries AR, Kuebler WM: Normal endothelium. Handb Exp Pharmacol 2006, 1:1-40.
16. Pries AR, Secomb TW, Gaehtgens P: The endothelial surface layer. Pfluger Arch
2002, 440:653-66.
17. Rehm M, Haller M, Orth V, Kreimeier U, Jacob M, Dressel H, Mayer S,
Brechtelsbauer H, Finsterer U: Changes in blood volume and hematocrit during acute preoperative
volume loading with 5% albumin or 6% hetastarch solutions in patients before radical
Hysterectomy. Anesthesiology 2001, 95:849-56.
18. Adamson RH, Lenz JF, Zhang X, Adamson GN, Weinbaum S, Curry FE: Oncotic
pressures opposing filtration across non-fenestrated rat microvessels. J Physiol 2004, 557:889-907.
19. Rehm M, Zahler S, Lötsch M, Welsch U, Conzen P, Jacob M, Becker BF: Endothelial
glycocalyx as an additional barrier determining extravasation of 6% hydroxyethyl starch or 5%
albumin solutions in the coronary vascular bed. Anesthesiology 2004, 100:1211-23.
20. Chappell D, Jacob M, Hofmann-Kiefer K, Bruegger D, Rehm M, Conzen P, Welsch
U, Becker BF: Hydrocortisone preserves the vascular barrier by protecting the endothelial
glycocalyx. Anesthesiology 2007, 107:776-84.
21. Rehm M, Bruegger D, Christ F, Conzen P, Thiel M, Jacob M, Chappell D,
Stoeckelhuber M, Welsch U, Reichart B, Peter K, Becker BF: Shedding of the endothelial
glycocalyx in patients undergoing major vascular surgery with global and regional ischemia.
Circulation 2007, 116:1896-906.
22. Chappell D, Westphal M, Jacob M: The impact of the glycocalyx on microcirculatory
oxygen distribution in critical illness. Curr Opin Anaesthesiol 2009, 22:155-62. 10. Bernfield M,
Gotte M, Park PW, Reizes O, Fitzgerald ML, Lincecum J, Zako M: Functions of cell surface
heparan sulfate proteoglycans. Annu Rev Biochem 1999, 68:729-77.
23. Bruegger D, Jacob M, Rehm M, Loetsch M, Welsch U, Conzen P, Becker BF: Atrial
natriuretic peptide induces shedding of endothelial glycocalyx in coronary vascular bed of guinea
pig hearts. Am J Physiol Heart Circ Physiol 2005, 289:H1993-9.
24. Nelson A, Berkestedt I, Schmidtchen A, Ljunggren L, Bodelsson M: Increased levels
of glycosaminoglycans during septic shock: relation to mortality and the antibacterial actions of
plasma. Shock 2008, 30:623-7.
25. Woodcock, T. (2012). Fluid Therapy–the Basics, Reappraised.

Anda mungkin juga menyukai