Disusun Oleh:
NISA KHOIRULLISANI
G1B014100
2017
A. PES
1. Definisi
Pes (plague) merupakan penyakit infeksi oleh bakteri yang sangat menular,
dan dapat menyebar dengan cepat sehingga menimbulkan epidemi yang luas
dalam waktu pendek, dengan menimbulkan korban-korban dengan angka
kematian yang sangat tinggi (Soedarto. 2006). Penyakit pes merupakan penyakit
yang menular dan dapat mengakibatkan kematian. Pes disebut juga penyakit
sampar, plague, atau black death. Penyakit ini ditularkan dari hewan pengerat
(terutama tikus) melalui perantara kutu (flea) (Rahmawati, 2012).
2. Etiologi
Penyakit pes disebabkan oleh infeksi bakteri Yersinia pestis yang dibawa oleh
pinjal sebagai vektor dan tikus sebagai reservoir. Tikus merupakan reservoir dan
pinjal merupakan vektor penularnya, sehingga penularan ke manusia dapat terjadi
melalui gigitan pinjal atau kontak langsung dengan tikus yang terinfeksi bakteri
Yersinia pestis (Jawetz, 2005). Yesinia pestis berbentuk batang pendek, gemuk
dengan ujung membulat dengan badan mencembung, berukuran 1,5 µ × 5,7 µ dan
bersifat gram positif, pada pewarnaan tampak bipolar, mirip peniti tertutup.
3. Patogenesis
Kuman pes, yaitu bakteri Yersinia pestis akan berkembang biak di dalam
tubuh pinjal sehingga akan menyumbat tenggorokan pinjal. Jika pinjal akan
menghisap darah maka pinjal harus terlebih dahulu muntah untuk mengeluarkan
Yersinia pestis yang menyumbat tenggorokan pinjal. Muntahan pinjal akan masuk
kedalam luka bekas gigitan dan terjadi infeksi. Manusia setelah kontak langsung
dan terinfeksi tikus pembawa penyakit pes, maka akan nampak gejala sakit setelah
2-6 hari sesuai masa inkubasi bakteri untuk berkembangbiak dalam tubuh manusia.
Penyakit pes jenis baru mempunyai masa inkubasi yang lebih cepat sekitar 2-4
hari saja (Djoko, 2009).
4. Gejala Klinis
Gejala penyakit pes muncul tiba-tiba, biasanya 2-5 hari setelah terpapar
bakteri. Gejalanya meliputi:
a. Panas dingin
b. Malaise
c. Demam tinggi (39 ° Celcius, 102 ° Fahrenheit)
d. Kram Otot
e. Kejang
f. Pembengkakan kelenjar getah bening yang terasa sakit disebut bubo, umumnya
ditemukan di selangkangan, tapi mungkin terjadi di ketiak atau leher, paling
sering di lokasi infeksi awal (gigitan atau awal)
g. Nyeri dapat terjadi di daerah infeksi awal sebelum muncul bengkak
h. Warna kulit berubah menjadi warna merah muda dalam beberapa kasus yang
ekstrim
i. Pendarahan dari koklea akan dimulai setelah 12 jam dari infeksi.
Gejala lain termasuk napas berat, muntah darah terus menerus, buang air kecil
darah, anggota badan sakit, batuk, dan nyeri ekstrim. Rasa sakit ini biasanya
disebabkan oleh pembusukan atau decomposure kulit sementara orang itu masih
hidup. Gejala tambahan termasuk kelelahan ekstrim, masalah gastrointestinal,
lenticulae (titik-titik hitam yang tersebar di seluruh tubuh), delirium dan koma
(Tamboyong, 2000).
5. Diagnosis
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan leukositosis dengan dominasi
neutrofil diteliti, dan tingkat leukositosis sebanding dengan tingkat keparahan dari
sakit, hapusan darah perifer menunjukkan granulasi beracun, trombositopenia
adalah umum, dan tingkat produk degradasi fibrin mungkin meningkat,
transaminase serum dan kadar bilirubin dapat meningkat, proteinuria mungkin ada,
dan temuan tes fungsi ginjal mungkin abnormal, hipoglikemia dapat diamati.
Yersinia pestis dapat diamati pada hapusan darah perifer .
6. Cara Penularan
Cara penularan melalui gigitan pinjal terutama oleh pinjal betina dikarenakan
pinjal betina membutuhkan darah untuk pengembangan telur. Penularan terjadi
jika proventicular pinjal tersumbat bakteri, misalnya Yersinia pestis yang
membelah diri (propagative development), jika pinjal menggigit hospes akan
muntah (regursitasi) sehingga bakteri masuk ke hospes melalui luka gigitan pinjal.
Manusia sebagai inang sementara dapat menjadi sasaran gigitan pinjal. Dari
beberapa kejadian, gigitan pinjal ke manusia terjadi akibat manusia menempati
rumah yang telah lama kosong, tidak terawat, dan menjadi sarang tikus, kucing
atau anjing berkembangbiak. Umumnya terjadi kegatalan terutama dikaki
beberapa saat setelah memasuki ruang yang lama kosong, hal ini perlu dicurigai
adanya pinjal didalam rumah tersebut (Kesuma, 2007).
7. Faktor Risiko
Faktor-faktor risiko terjadinya pes ialah:
a. Keberadaan pinjal
b. Kontak dengan pasien atau host yang berpotensi
c. Kontak dengan hewan sakit atau hewan pengerat
d. Tinggal di daerah endemik wabah (misalnya, barat daya Amerika Serikat)
e. Keberadaan sumber makanan bagi hewan pengerat disekitar rumah
f. Eksposur Kerja (misalnya, peneliti, dokter hewan)
g. Penanganan langsung atau inhalasi terkontaminasi jaringan atau cairan jaringan
8. Pencegahan
Penderita pes harus diisolasi dan segera diberikan pengobatan. Orang-orang
yang diduga pernah kontak dengan penderita segera dikarantina dan diawasi.
Pendatang dari luar daerah yang mengunjungi daerah epidemi pes harus
divaksinasi untuk melindungi mereka dari penularan. Orang-orang yang pernah
kontak dengan penderita pes harus diberikan terapi pencegahan dan Tetrasiklin
atau Sulfonamid. Pelaksanaan pekerjaan di laboratorium terutama yang
menggunakan hewan coba maupun kuman penyebab pes harus dilakukan sesuai
dengan prosedur kerja yang aman. Binatang pengerat yang menjadi sumber
penularan diberantas dengan menggunakan rodentisida sedangkan pinjal tikus
yang menjadi vektor penular penyakit pes dengan menggunakan insektisida,
membersihkan karpet dengan vacum cleaner (Soedarto, 2006).
Menurut Widoyono (2008) pencegahan penularan penyakit pes dapat
dilakukan melalui:
a. Menempatkan kandang ternak di luar rumah
b. Merekontruksi rumah
c. Membuat ventilasi
d. Melapisi lantai dengan semen
e. Melapor ke puskesmas bila ditemukan banyak tikus yang mati
f. Mengatur ketinggian tempat tidur setidaknya >20 cm dari lantai
Sanitasi lingkungan harus diperhatikan terutama di daerah peternakan,
pemotongan hewan, atau di kolam renang. Kampanye rumah yang antitikus (rat
proof) perlu dilakukan. Perlindungan bagi pekerja peternakan yang harus
diberikan adalah sepatu boot, sarung tangan, masker, dan baju pelindung.
Penyuluhan tentang higiene pribadi dan penularan penyakit ini akan membantu
untuk mencegah KLB.
9. Pengobatan
Pengobatan dilakukan dengan pemberian antibiotik yaitu:
a. Streptomisin 30 mg/ kg BB/ hari secara intramuscular 2 – 4 x sehari. Untuk
anak‐anak 20 – 30 mg/ kg BB / hari.
b. Tetrasiklin diberikan pada hari ke 4 selama 10 – 14 hari, Dosis loading 15 mg/
kg BB/ hari dalam 4 x pemberian sampai hari pengobatan 10 – 14.
c. Kloramfenikol dosis 50 – 75 mg/ kg BB/hari intravena 4 x pemberian selama
10 hari.
d. Trimetoprim–sulfametoksazol
e. Sulfadiazin 12 g/ hari selama 4 – 7 hari dosis awal 4 g dilanjutkan 2 g tiap jam
sampai tercapai suhu badan normal, diteruskan 500 mg tiap 4 jam sampai hari
pengobatan 7 – 10.
f. Penggunaan Sulfadiazuin disertai pemberian Sodium Bikarbonat (Soedarto,
2007).
10. Program Penanggulangan PES
Usaha pencegahan dan pemberantasan penyakit menular mempunyai banyak
cara, terlebih dalam penanganan penyakit pes. Untuk itu perlu diterapkan
teknologi yang sesuai, cara pengendalian vektor penyakit dapat dilakukan dengan
pengendalian vektor terpadu. Pengendalian terpadu dilakukan mengingat
keberadaan vektor dipengaruhi oleh lingkungan fisik, biologis, dan sosial budaya.
Pengendalian tidak hanya menjadi tanggung jawab sektor kesehatan saja, tetapi
memerlukan kerjasama lintas sektor dan program (Azrul, 1990).
Penanggulangan penyakit pes diupayakan dengan melakukan pengendalian
pinjal. Tujuan utama pengendalian pinjal adalah untuk menurunkan populasi
pinjal dan mengurangi kontak gigitan pinjal. Upaya pengendalian dilakukan
supaya dapat mencegah penularan pes antar rodensia atau dari rodensia ke
manusia, sehingga pengendalian pinjal merupakan suatu program prioritas utama
dalam penanggulangan penularan pes. Tindakan dilakukan dengan melakukan
pengendalian vektor pes terlebih dahulu daripada pengendalian inang reservoir
(Azrul, 1990; Ratovanjolu, et al., 2000; Ratovanjolu, et al., 2014).
Metode yang dilakukan untuk pengendalian pinjal dalam pemberantasan pes
adalah dengan metode dusting. Dusting adalah metode pengendalian vektor
menggunakan bubuk insektisida pada tempat-tempat yang diduga sebagai jalan
tikus (runaway) atau sarang inang reservoir. Insektisida yang dipergunakan untuk
pengendalian pinjal antara lain bendiocarb, carbaryl, deltamethrin, diazinon,
diflubenzuron, dan fenitrothion. Indikator keberhasilan metode dusting adalah
penurunan Indeks umum dan indeks khusus pinjal (Ratovanjolu, et al., 2000).
Metode dusting memiliki kelebihan yaitu mampu menurunkan populasi pinjal,
sedangkan kelemahan metode ini adalah ada pencemaran lingkungan yang
diakibatkan oleh bubuk insektisida yang dipergunakan.
Metode pengendalian pinjal penyebab pes tersebut pernah dilakukan oleh
Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan yaitu melalui pemasangan bumbung bambu
berinsektisida. Namun ada kendala dalam pelaksanaan pemasangan bumbung
bambu berinsektisida. Penduduk yang rumahnya berlantai keramik merasa
keberatan untuk ditaruh atau dipasangi bumbung bambu berisektisida. Mereka
menganggap bahwa bumbung berinsektisida akan mengotori lantai keramik.
Selain itu insektisida yang ada dalam bumbung bambu menimbulkan bau yang
kurang sedap (Kasnodihardjo, dkk., 2005).
B. Leptospirosis
1. Definisi
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh infeksi bakteri
yang berbentuk spiral dari genus Leptospira yang pathogen, menyerang hewan
dan manusia (Depkes RI., 2013). Leptospirosis disebut juga Weil disease,
Canicola fever, Hemorrhagic jaundice, Mud fever atau Swineherd Disease.
Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, baik di negara berkembang, negara maju,
daerah pedesaan, maupun perkotaan (Widoyono, 2008). Penyakit ini dapat
menyebabkan gejala yang mirip dengan penyakit lain bila menginfeksi manusia.
Beberapa orang yang terinfeksi mungkin tidak menimbulkan gejala sama sekali.
Leptospirosis yang tidak mendapatkan penanganan yang baik dapat menyebabkan
kerusakan ginjal, meningitis (radang selaput otak dan sumsum tulang belakang),
gagal hati, gangguan pernapasan, hingga kematian (Djunaedi, 2007).
2. Etiologi
Penyakit yang terdapat di semua negara dan terbanyak ditemukan di negara
beriklim tropis ini disebabkan oleh bakteri Leptospira interrogans dengan
berbagai subgrup yang masing-masing terbagi lagi atas serotipe bisa terdapat pada
ginjal atau air kemih binatang piaraan seperti anjing, lembu, babi, kerbau dan lain-
lain, maupun binatang liar seperti tikus, musang, tupai dan sebagainya. Bakteri
Leptospira memiliki ukuran yang sangat kecil, berbentuk spiral dengan ujung
seperti pengait, peka terhadap asam, dan dapat bergerak dengan aktif. Bakteri ini
dapat hidup sampai 43 hari pada tanah yang sesuai dan sampai beberapa minggu
di dalam air terutama air tawar (Widoyono, 2008).
3. Patogenesis
Transmisi infeksi leptospira ke manusia dapat melalui berbagai cara, yang
tersering adalah melalui kontak dengan air atau tanah yang tercemar bakteri
leptospira. Bakteri masuk ke tubuh manusia melalui kulit yang lecet atau luka dan
mukosa, bahkan penularan penyakit ini dapat melalui kontak dengan kulit sehat
(intak) terutama bila kontak lama dengan air (Widoyono, 2008). Selain melalui
kulit atau mukosa, infeksi leptospira bisa juga masuk melalui konjungtiva
(Gassem, 2002). Bakteri leptospira yang berhasil masuk ke dalam tubuh tidak
menimbulkan lesi pada tempat masuk bakteri. Hialuronidase dan atau gerak yang
menggangsir (burrowing motility) telah diajukan sebagai mekanisme masuknya
leptospira ke dalam tubuh (Widoyono, 2008).
Selanjutnya bakteri leptospira virulen akan mengalami multiplikasi di darah
dan jaringan. Sementara leptospira yang tidak virulen gagal bermultiplikasi dan
dimusnahkan oleh sistem kekebalan tubuh setelah 1 atau 2 hari infeksi. Leptospira
virulen mempunyai kemampuan motilitas yang tinggi, lesi primer adalah
kerusakan dinding endotel pembuluh darah dan menimbulkan vaskulitis serta
merusak organ. Vaskulitis yang timbul dapat disertai dengan kebocoran dan
ekstravasasi sel (Lestariningsih, 2002; Rejeki, 2005; Cook, et al, 2009).
4. Gejala Klinis
Gejala klinis leptospirosis anikterik yaitu dapat menyerupai penyakit demam
lain (infeksi dengue, hanta virus, thypoid). Gambaran klinis yang penting untuk
penderita leptospirosis adalah sakit mendadak, demam, dan sakit kepala berat,
skin rash, conjunctival, suffusion (mata merah), nyeri otot yang hebat (juga nyeri
tekan) terutama di otot belakang, paha, betis, sehingga kadang – kadang penderita
mengeluh sukar berjalan dan sakit kepala (Depkes RI., 2013).
Menurut Supriyanto (2005) gejala yang ditimbulkan oleh leptospirosis yaitu
mengalami demam tinggi, badan mengigil seolah kedinginan, lesu, dan perut eneg,
muntah, radang mata seperti iritasi, dan rasa nyeri pada otot betis pada stadium
awal. Gejala itu akan tampak antara empat sampai sepuluh hari setelah tertular.
Kemudian pada stadium kedua, parasit ini membentuk antibodi dalam tubuh
penderita, dengan indikasi klinis yang lebih berat dari pada stadium awal. Stadium
ini terjadi antara minggu kedua dan keempat. Apabila semakin parah efeknya
akan menyebar seperti pada ginjal (akan mengakibatkan gagal ginjal), jantung
yang terkena akan berdebar tidak teratur, membengkak dan gagal jantung.
Pembuluh darah mengalami kebocoran dan akibatnya di saluran pernapasan,
saluran pencernaan, dan saluran genitilia terjadi pendarahan.
5. Diagnosis
Diagnosis definitif leptospirosis bergantung pada penemuan laboratorium.
Pemeriksaan laboratorium untuk leptospirosis terdiri dari: pemeriksaan
mikroskopik, kultur, inokulasi hewan, dan serologi (Muliawan, 2008).
a. Pemeriksaan Mikrobiologik
Bakteri Leptospira sp. terlalu halus untuk dapat dilihat di mikroskop
lapangan terang, tetapi dapat dilihat jelas dengan mikroskop lapangan gelap
atau mikroskop fase kontras. Spesimen pemeriksaan dapat diambil dari darah
atau urin (Muliawan, 2008; Garna, 2012).
b. Kultur
Organisme dapat diisolasi dari darah atau cairan serebrospinal hanya pada
10 hari pertama penyakit. Bakteri tersebut biasanya dijumpai di dalam urin
pada 10 hari pertama penyakit. Media Fletcher dan media Tween 80-albumin
merupakan media semisolid yang bermanfaat pada isolasi primer leptospira.
Pada media semisolid, leptospira tumbuh dalam lingkaran padat 0,5-1 cm
dibawah permukaan media dan biasanya tampak 6-14 hari setelah inokulasi.
Untuk kultur harus dilakukan biakan multipel, sedangkan jenis bahan yang
dibiakkan bergantung pada fase penyakit (Muliawan, 2008).
c. Inokulasi Hewan
Teknik yang sensitif untuk isolasi leptospira meliputi inokulasi
intraperitoneal pada marmut muda. Dalam beberapa hari dapat ditemukan
leptospira di dalam cairan peritoneal, setelah hewan ini mati (8-14 hari)
ditemukan lesi hemoragik pada banyak organ (Muliawan, 2008).
d. Serologi
Diagnosis laboratorium leptospirosis terutama didasarkan atas
pemeriksaan serologi. Macroscopic slide agglutination test merupakan
pemeriksaan yang paling berguna untuk rapid screening. Pemeriksaan gold
standart untuk mendeteksi antibodi terhadap Leptospira interrogans yaitu
Microscopic Agglutination Test (MAT) yang menggunakan organisme hidup.
Pada umumnya tes aglutinasi tersebut tidak positif sampai minggu pertama
sejak terjadi infeksi, kadar puncak antibodi 3-4 minggu setelah onset gejala dan
menetap selama beberapa tahun, walaupun konsentrasinya kemudian akan
menurun (Garna, 2012). Pemeriksaan MAT dikatakan positif jika terjadi
serokonversi berupa kenaikan titer 4 kali atau ≥ 1:320 dengan satu atau lebih
antigen tanpa kenaikan titer (untuk daerah non endemik leptospirosis
digunakan nilai ≥ 1:160) (Gassem, 2002).
Pemeriksaan serodiagnosis leptospirosis yang lain adalah Macroscopic
Agglutination Test (MA Test), Microcapsule Agglutination Test (MCAT),
rapid latex agglutination assay (RLA assay), enzyme linked immune sorbent
assay (ELISA), immuno-fluorescent antibody test, dan immunoblot. Terdapat
pula uji serologis penyaring yang lebih cepat dan praktis dan sering digunakan
di Indonesia yaitu Lepto Dipstick Assay, LeptoTek Dri Dot, dan Leptotek
Lateral Flow. Saat ini juga telah dikembangkan pemeriksaan molekuler untuk
diagnosis leptospirosis. DNA leptospirosis dapat dideteksi dengan metode PCR
(Polymerase Chain Reaction) dengan menggunakan spesimen serum, urin,
humor aqueous, cairan serebrospinal, dan jaringan biopsi (Gassem, 2002;
Rejeki, 2005; Levett, 2001).
Mengingat variasi manifestasi klinis leptospirosis, keterbatasan metode uji
diagnostik yang tersedia, dan perlunya deteksi kasus leptospirosis secara dini serta
pengobatan secepatnya, maka diperlukan suatu kriteria diagnosis leptospsirosis
yang tepat. Berikut adalah kriteria diagnosis menurut WHO SEARO (2009) :
a. Kasus suspect ditandai dengan demam akut (≥38,5ºC) dan/ atau nyeri kepala
hebat dengan myalgia, kelemahan dan/ atau conjunctival suffusion, dan riwayat
terpajan dengan lingkungan yang terkontaminasi leptospira.
b. Kasus probable (pada tingkat pelayanan kesehatan primer) yaitu kasus suspect
dengan 2 gejala diantaranya nyeri betis, batuk dengan atau tanpa batuk darah,
ikterik, manifestasi perdarahan, iritasi meningeal, anuria/ oliguria dan/ atau
proteinuria, sesak napas, aritmia jantung, rash di kulit. Sedangkan kasus
probable (pada tingkat pelayanan kesehatan sekunder dan tersier) berdasarkan
ketersediaan fasilitas laboratorium adalah kasus suspect dengan IgM rapid test
positif dan/ atau temuan serologik yang mendukung (contoh : titer MAT ≥ 200
pada suatu sampel), ditemukan 3 diantaranya pada urin : proteinuria, pus, darah;
neutrofilia relatif (>80%) dengan limfopenia; Trombosit < 100.000/mm³;
peningkatan bilirubin > 2 mg%; peningkatan enzim hepar yang meningkat
moderat (serum alkali fosfatase, serum amilase, CPK).
c. Kasus confirm pada leptospirosis adalah suatu kasus suspect atau probable
dengan salah satu diantara ini; isolasi kuman leptospira dari spesies klasik,
hasil PCR (+), serokonversi dari negatif ke positif atau peningkatan 4 kali pada
titer MAT, titer MAT = 400 atau lebih pada sampel tunggal. Apabila kapasitas
laboratorium tidak dapat ditetapkan, positif dengan 2 tes rapid diagnostik dapat
dipertimbangkan sebagai kasus confirm.
6. Cara Penularan
Penularan leptospirosis pada manusia ditularkan oleh hewan yang terinfeksi
kuman leptospira. Hewan pejamu kuman leptospira adalah hewan peliharaan
seperti babi, lembu, kambing, kucing, anjing sedangkan kelompok unggas serta
beberapa hewan liar seperti tikus, bajing, ular, dan lain-lain. Pejamu resevoar
utama adalah roden. Kuman leptospira hidup didalam ginjal pejamu reservoar dan
dikeluarkan melalui urin saat berkemih. Manusia merupakan hospes insidentil
seperti pada gambar berikut :