Anda di halaman 1dari 30

3 Hipersensitivitas

2.3.1 Definisi

Alergi adalah respon imun yang kuat terhadap alergen (suatu elergen
yang menghasilkan alergi). Alergen bias any tidak berbahaya (mis. Debu
rumah, makanan, kulit dan bulu binatang). Saaat pajanan awal ke alergen,
individu menjadi peka terhadapn\ya, dan pajanan kedua serta pajanan
selanjutnya, jumlah system imun memberikan respon yang proporsinya
berlebihan terhadap ancaman yang diterima. Kadangkala efeknya ringan,
namun mengganggu, seperti pilek dan mata berair akibat hay fever (rhinitis
alergi). Kadang reaksi dapat begitu ekstrem seperti mengganggu system
tubuh secara berlebihan dan menyebabbkan kematian. Mekanisme
pertahanan tubuh, Sinus (rinitis) nasal dan paranasal, Sistem pernapasan
(asma).

Alergi adalah rangsangan berlebihan terhadap reaksi peradangan yang


terjadi sebagai respons terhadap antigen lingkungan spesifik. Suatu antigen
yang enyebabkan alergi disebut alergen. Reaksi alergi dapat diperantarai
antibody atau sel T. Reaksi hipersensitivitas tipe I adalah contoh alergi
diperantarai antibodi, sedangkan reaksi hipersensitivitas tipe IV adalah
alergi diperantarai sel T.

Orang dengan respon alergi hipersensitivitas tipe I membentuk banyak


antibodi IgE yang sensitive terhadap alergen. Apabila antigen dijumpai
oleh antibody tersebut, antibody akan berespons berlebihan sehingga
terjadi degranulasi sel mast yang luas disertai pelepasan histamine dan
berbagai perantara peradangan lainnya (leukotrien, kemokin, dan sitokin).
Reaksi hipersensitivitas tipe IV terjadi setelah transport alergen transdermal
(menembus kulit) yang ditunjukkan oleh sel T yang tersensitisasi alergen
tersebut. Manifestasi suatu respon alergi bergantung dimana alergen
ditemukan di dalam makanan, dalam partikel yang terhirup, atau melalui

1
kulit. Waktu reaksi alergi bermacam-macam bergantung pada apakah
respons tipe I (segera) atau tipe IV (lambat). Reaksi tipe I melibatkan kulit
yang disebut dermatitis atopic sedangkan reaksi tipe IV disebut dermatitis
kontak alergi. Respons kulit terhadap poison ivy adalah contoh dermatitis
kontak alergi.

2.3.2 Etiologi

Faktor yang berperan dalam alergi makanan kami bagi menjadi 2 yaitu :
1. Faktor Internal
a. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi :
asam lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-
fungsi imunologis (misalnya : IgA sekretorik) memudahkan
penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi
kemampuan usus mentoleransi makanan tertentu.
b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini
mulai janin sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh
kebiasaan dan norma kehidupan setempat.
c. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan
penyerapan alergen bertambah.
2. Fakor Eksternal
a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis
(sedih, stress) atau beban latihan (lari, olah raga).
b. Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut
prevalensinya

2
Ikan 15,4 %
Telur 12,7 %
Susu 12,2 %
Kacang 5,3 %
Gandum 4,7 %
Apel 4,7 %
Kentang 2,6 %
Coklat 2,1 %
Babi 1,5 %
Sapi 3,1 %

c. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat
menimbulkan reaksi alergi.

2.3.3 Patofisiologi
Saat pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh
seseorang yang mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena
alergi. Namun ketika untuk kedua kalinya orang tersebut mengkonsumsi
makanan yang sama barulah tampak gejala – gejala timbulnya alergi pada
kulit orang tersebut. Setelah tanda – tanda itu muncul maka antigen akan
mengenali alergen yang masuk yang akan memicu aktifnya sel T ,dimana
sel T tersebut yang akan merangsang sel B untuk mengaktifkan antibodi (
Ig E ). Proses ini mengakibatkan melekatnya antibodi pada sel mast yang
dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang mengalami paparan untuk
kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal yaitu,:
1. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin
memberikan efek terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel –
sel radang misalnya netrofil dan eosinofil, sehingga menimbulkan
reaksi peradangan yang menyebabkan panas.

3
2. Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang
merangsang sel mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah
yang banyak , kemudian histamin tersebut beredar di dalam tubuh
melalui pembuluh darah. Saat mereka mencapai kulit, alergen akan
menyebabkanterjadinya gatal,prutitus,angioderma,urtikaria,kemerahan
pada kulit dan dermatitis. Pada saat mereka mencapai paru paru,
alergen dapat mencetuskan terjadinya asma. Gejala alergi yang paling
ditakutkan dikenal dengan nama anafilaktik syok. Gejala ini ditandai
dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran menurun, dan bila
tidak ditangani segera dapat menyebabkan kematian.

2.3.4 Manifestasi Klinis

1. Pembengkakan local, gatal, dan kemerahan kulit, pada pajanan alergen


ke kulit. Reaksi tipe IV sering ditandai oleh lepuhan dan pengerasan
pada area yang terkena.
2. Diare dank ram abdomen, pada pajanan alergen saluran cerna.
3. Rinitis alergi, yang ditandai oleh mata gatal dan pilek encer, pada
pajanan alergen saluran napas. Terjadi pembengkakan dan kongesti,
dapat timbul kesulitan bernapas akibat konstriksi otot polos bronkiolus
pada jalan napas yang di induksi oleh histamine.

Manifestasi dan mekanisme reaksi hipersensitivitas

Tipe Manifestaasi Mekanisme


I Reaksi hipersensitivitas cepat Biasanya Ig E
II Antibodi terhadap sel Ig G dan Ig M
III Kompleks antibodi-antigen Ig G (terbanyak) atau Ig M
IV Reaksi hipersensitivitas lambat Sel T yang disensitisasi

4
2.3.5 Mekanisme Hipersensitivitas

Terdapat empat mekanisme hipersensitivitas, yang diklasifikasikan sesuai


dengan bagian system imun yang terlibat.

Tipe I, Hipersensitivitas tipe cepat (Analfilaksis)

Sensitivitas tipe 1 terjadi pada individu yang mengalami penurunan


kadar jenis antibody yang sangat tinggi yang disebut immunoglobulin E
(IgE). Jika terpajan alergi (misal, kacang), antibody mengaktivasi sel mast
dan basofil, yang melepaskan kandungan granularnya. Zat terpenting yang
dilepaskan adalah histamine, yang mengonstriksi dan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah. Contoh reaksi tipe 1 meliputi hay fever,
alergi kacang, dan situasi anafilaksisserius yang disertai bronkokonstriksi
yang berlebihan, kegawatan pernapasa, serta syok yang diakibatkan
vasodilatasi berlebihan. Kondisi tersebut dapat menyebabkan kematian.

Pada hipersensitivitas tipe I, secara khas terdapat dua fase :

1. Respons Inisial (cepat) yang terlihat dalam waktu 5 sampai 30 menit


setelah pajanan alergen resolusi dalam waktu 30 menit. Mediator sel
mast yang menginduksi respon inisial cepat meliputi :
a. Amina biogenic (misal, histamin) yang menyebabkan kontraksi
otot polos bronkus, peningkatan permeabilitas serta dilatasi
vaskuler, dan peningkatan sekresi kelnjar mukosa.
b. Mediator kemotaktik (misal, factor kemotaktik eosinofil dan
neutrofil)
c. Enzim-enzim yang terdapat di dalam matriks granul (misal,
kimase, triptase) yang menghasilkan kinin dan komplemen aktif
lewat kerjanya pada protein prekursornya.
d. Proeoglikan (miasl, heparin).

5
2. Fase Sekunder (lambat) dengan onset 2 sampai 24 jam sesudah pajanan
alergen awal, keadaan ini dapat berlangsung selama berhari-hari, dan
ditandai dengan infiltrasi sel inflamasi yang intensif dengan disertai
kerusakan jaringan. Fase sekunder lanjut ini digerakkan mediator lipid
dan sitokin yang diproduksi oleh sel mast yang sudah diaktifkan.

Mediator lipid meliputi :

a. Leukotrien B, bersifat sangat kemotaktik terhadap neutrofil,


monosit dan eosinofil.
b. Leukotrien 𝐶4 , 𝐷4 𝑑𝑎𝑛 𝐸4 lebih poten 1000 kali lipat
dibandingkan histamine dalam meningkatkan permeabilitas
vaskuler dan menyebabkan kontraksi otot polos bronchial.
Mediator ini juga menimbulkan sekresi kelenjar mukosa yang
nyata.
c. Prostagladin 𝐷2 menyebabkan bronkospasme berat, vasodilatasi
dan sekresi mucus.
d. Platelet-activating factor menyebabkan agregasi trombosit,
pelepasan histamine, bronkokonstriksi, vasodilatasi, dan
peningkatan permeabilitas vaskuler.

Mediator sitokin merekrut dan mengaktifkan sel inflamasi, meliputi


tumor necrosis factor (TNF)-α, berbagai interleukin (IL1, IL3, IL4, IL5,
IL6), GM-CSF dan kemokin (protein kemoatraktan). TNF-α secara
khusus mengaktifasi banyak inflamasi yang kuat dan bekerja merekrut
serta mengaktifasi banyak sel inflamasi tambahan. Sel inflamasi yang
direkrut juga melepaskan sitokin, dan sel epitel yang diaktifkan oleh
TNF-α mensekresikan kemokin (misal, eotaksin) yang merekrut
eosinofil. Eosinofil dalam respons fase lanjut menyebabkan kerusakan
jaringan dengan melepaskan protein basa yang utama dan protein
kationik eosinofil.

6
Tipe II, Hipersensitivitas Sitotoksik

Saat antibody bereaksi dengan antigen pada permukaan sel, sel tersebut
ditandai untuk dihancurkan oleh sejumlah mekanisme (mis, fagositosis).
Peristiwa ini merupakan prosedur umum dalam eliminasi, misalnya bakteri,
tetapi jika antibody diarahkan untuk melawan antigen diri sendiri, akibatnya
adalah penghancuran jaringan tubuh sendiri (penyakit autoimun).
Mekanisme tipe II menyebabkan kondisi yang lain (msal, reaksi transfusi).

Tipe III, Hipersensitivitas diperantai kompleks imun

Kompleks antibody-antigen (kompleks imun) biasanya dibersihkan


secara efisien dari darah dengan fagosintosis. Jika tidak, kompleks imun
dapat menumpuk di dalam jaringan (mis, ginjal, kulit, sendi, dan mata),
yang dapat menyebabkan reaksi inflamasi di jaringan tersebut. Kompleks
imun, misalnya yang terkumpul di ginjal akan tersangkut dan menyumbat
glomerulus sehungga mengganggu fungsi ginjal (glomerulonefritis).

Patogenesis reaksi tipe III

1. Bentuk kompleks antigen (endogen atau eksogen) antibody


2. Lokalisasi kompleks dalam pembuluh darah sering di area sendi
3. Aktivasi jarak inflamasi komplemen
4. Kemotaksis untuk sel dan eksudat
5. Inflamasi dengan pembengkakan, panas, dan nyeri pada sendi dan
jaringan
6. Infiltrasi area ini dengan leukosit polimorfonuklear dan jaringan
7. Kerusakan dan destruksi jaringan
8. Inflamasi dan deposisi berlanjut

7
9. Pembentukan jaringan parut dan deposisi kolagen, dapat menyebabkan
defornitas sendi atau jaringan

Tipe IV, Hipersensitivitas tipe terambat

Tidak seperti hipersensitivitas tipe I-III, hipersensitivitas tipe IV tidak


melibatkan antibody, tetapi merupakan reaksi berlebihan sel T (limfosit T)
terhadap sebuah antigen. Biasanya system ini terkendali dan respons sel T
tepat. Jika tidak, sel T-sitotoksik yang agresif secara aktif akan merusak
jaringan normal. Contoh hipersensitivitas tipe IV adalah dermatitis kontak,
seperti yang disebabkan oleh alergi terhadap lateks. Penolakkan cangkokan
(graft) juga disebabkan oleh sel T.

2.3.6 Klasifikasi keadaan Hipersensitivitas

Tipe Penyebab Sel/Antibod Mekanisme imun Contoh


i terkait Penyakit
Tipe I Protein IgE IgE melekat pada Demam jerami,
Hipersensitivitas asing permukaan sel alergi,
imediat (antigen) mast dan antigen urtikaria, syok
(analfilaksis,atopi) spesifik, memicu analfilaktik
pembebasan granul
intrasel dari sel
mast
Tipe II Protein IgG/IgM Antibody bereaksi Transfusi,
Hipersensitivitas asing dengan antigen, hemolisis
sitotoksik (antigen) menggiatkan karena obat,
komplemen eritroblastosis
berakibat sitolisis fetalis, anemia
hemolitik,
purpura

8
vascular
Tipe III Protein IgG, Kompleks Ag-Ab Artritis
Penyakit asing IgM,IgA mengendap dalam rheumatoid,
kompleks imun (antigen) jaringan, lupus
Antigen menggiatkan eritematosus
endogen komplemen, sistemik,
menimbulkan penyakit serum
reaksi radang
Tipe IV Protein, Limfosit-T Sel T aktif bereaksi Dermatitis
Seluler/ Tertunda sel, atau dengan antigen kontak, reaksi
jaringan spesifik untuk penolakan
asing menginduksi pencangkokan
proses peradangan
melalui kerja sel
langsung atau
melalui antivitas
limfokin

2.2.6 Penyebab Alergi

Penyebab alergi tidaklah jelas walaupun tampaknya terdapat


predisposisi genetik. Predisposisi tersebut dapat berupa pengikatan IgE
yang berlebihan, mudahnya sel mast dipicu untuk berdegranulasi, atau
respons sel T helper yang berlebihan. Hasil penelitian terkini
menunjukkan bahwa defisiensi sel T regulator dapat menyebabkan
responsivitas berlebihan dari system imun dfan alergi. Pajanan berlebihan
terhadap alergen-alergen tertentu setiap saat, termasuk selama gestasi,
dapat menyebabkan respons alergi.

2.3.7 Pertimbangan Pediatrik

9
Bayi dan anak yang terpajan asap rokok memiliki resiko lebih besar
menderita asma dan alergi saluran napas lainnya.

2.3.8 Pemeriksaan Diagnostik

1. Uji kulit membantu diagnosis alergi. Alergi dicurigai yang jumlahnya


sedikit diinjeksikan di bawah kulit. Individu yang alergi terhadap
alergen tersebut akan berespon dengan ditemukannya eritema,
bengkak, dan gatal pada area injeksi.
2. Analisis immunoglobulin serum dapat menunjukkan peningkatan
hitung basofil dan eosinofil.

2.3.9 Penatalaksaan

1. Antihistamin dan obat-obat yang menghambat degranulasi sel mast


dapat mengurangi gejala-gejal alergi
2. Kortikosteroid yang dihirup atau sistematik bekerja sebagai obat anti
peradangan dan dapat mengurangi gejal suatu alergi. Orang yang
mengidap alergi perlu menggunakan obat-obat ini dalam jangka waktu
yang cukup lama sebelum obat menjadi efektif. Kortikosteroid inhalan
hanya berefek di saluran napas dan tidak menimbulkan efek sistemik.
3. Stabilizer sel mast inhalan mengurangi deghranulasi sel mast dan dapat
menurunkan gejala alergi tipe I.
4. Terapi desensitisasi, berupa penyuntikan berulang alergen (yang dapat
mensensitisasi pasien) dalam jumlah yang kecil dapat mendorong pasien
tersebut membentuk antibody IgG terhadap alergen. Antibodi ini dapat
bekerja sebagai antibody penghambat (blocking antibodies). Sewaktu
pasien tersebut kembali terpajan ke alergen, antibody penghambat dapat
berikatan dengan molekul IgE ganda secara kovalen bersama-sama.
Karena pengikatan IgG tidak menyebabkan degranulasi sel mast yang
berlebihan, maka gejala alergidapat berkurang. Antibody IgG dihasilkan

10
setiap kali berikatan dengan alergen dan terkadang dapat menghentikan
respon alergi.

2.3.10 Komplikasi

1. Reaksi alergi yang hebat dapat menyebabkan anafilaksis. Hal ini


ditandai oleh penurunan tekanan darah dan penutupan jalan napas.
Gatal, kram, dan diare dapat terjadi. Tanpa intervensi, reaksi yang
sangat hebat dapat menyebabkan syok kardiovaskular, hipoksia dan
kematian.
2. Dermatitis kontak alergi (cont. reaksi terhadap poison ivy) dapat
menyebabkan infeksi sekunder akibat garukan berlebihan.

2.3.11 Asuhan Keperawatan

Reaksi alergi : menggambarkan individu yang mengalamai atau beresiko


tinggi mengalami hipersensivitas dan pelepasan mediator untuk substansi
khusus (antigen).

Risiko tinggi
1. Riwayat alergi
2. Asma
3. Imunoterapi
4. Individu yang terpajan antigen berisiko tinggi :
a. Gigitan serangga (misal : lebah, semut, laba-laba)
b. Gigitan /sengatan binatang (misal : ular, ubur-ubur)
c. Media kontras radiologi terionisasi (misal : yang digunakan
pada arteriografi pielogravi intravena)
d. Tranfusi darah dan produk darah
5. Individu berisiko tinggi terpajan

11
a. Medikasi berisiko tinggi (misal : aspirin, antibiotik, opiate,
anestesi local, insulin binatang, kimopapain)
b. Makanan berisiko tinggi (misal : kacang ,cokelat , telur,
makanan laut, kerang ,stroberi,susu )
c. Kimia (misal : semir lantai, cat, sabun, parfum,karpet baru)

Tujuan Keperawatan
Perawat akan mengatasi dan meminimalkan komplikasi reaksi alergi.

Intervensi Umum
1. Kaji dengan saksama adanya riwayat respons alergi (misal :ruam ,sulit
bernapas)
Mengidentifikasi klien yang berisiko tinggi memungkinkan
dilakukannya tindak kewaspadaan untuk mencegah anafilaksis.
2. Bila klien memiliki riwayat reaksi alergi, konsultasikan dengan dokter
atau perawat pakar untuk melakukan uji kulit bila diindikasikan
Uji kulit dapat memastikan hipersensivitas.
3. Pantau tanda dan gejala reaksi alergi local
a. Bentol ,kemerahan (karena pelepasan histamin)
b. Gatal
c. Edema nontraumatik (periolar,periorbital)
Manifestasi awal ini dapat menunjukkan dimulainya kontinum reaksi
local hingga reaksi sistemik sampai syok anafilaktik.
4. Saat tanda awal hipersensivitas muncul konsultasikan dengan dokter
atau perawat pakar untuk memberikan intervensi farmakologis , seperti
antihistamin. Antihistamin umumnya digunakan untuk mengatasi
reaksi local ringan dengan menghambat pelepasan histamine.
5. Pantau tanda dan gejala reaksi alergi sistemik dan anafilaksis
Berkunang-kunang ,ruam kulit, dan hipotensi ringan (akibat
vasodilatasi akibat histamin).

12
Rasa ketat pada tenggorok atau palatum , mengi ,serak, dyspnea, dan
sesak pada dada (karena kontraksi otot polos akibat pelepasan
prostaglandin).
Nadi meningkat dan tidak teratur serta penurunan tekanan darah (ka
rena pelepasan leukotriene yang mengontriksi jalan napas dan
pembuluh darah coroner).
Penurunan tingkat kesadaran ,distress pernapasan dan syok (akibat
hipotensi berat, insufisiensi pernapasan dan hipoksia jaringan)
(dalam hitungan menit,reaksi di ata dapat berkembang menjadi
hipotensi berat, penurunan tingkat kesadaran ,dan disstres pernapasan
,dan dapat menyebabkan kematian dengan cepat)
6. Segera mulai protocol kedaruratan untuk mengatasi anafilaksis dan
/atau segera hubungi dokter atau perawat spesialis
7. Mulai jalur IV
Untuk pemberian obat secara cepat
8. Berikan epineprin IV atau melalui endotrakea
Untuk menghasilkan vasokontriksi perifer, yang meningkatkan
tekanan darah ,dan bertindak sebagai agonis betha untuk
meningkatkan relaksasi otot polos bronkus dan untuk meningkatkan
aktivitas jantung inotropic dan kronotropik
9. Berikan oksigen berikan ,buat jalan napas paten bila diindikasikan.
Sediakan suction . tindakan intubasi orofaring mungkin diperlukan
(edema laring mengganggu pernapasan)
10. Berikan medikasi lain, sesuai program, yang dapat mencangkup :
a. Kortikosteroid
Untuk menghambat enzim dan respon SDP untuk mengurangi
bronkokonstriksi
b. Aminofilin
Untuk menghasilkan bronkodilatasi
c. Vasopressin

13
Untuk mengatasi hipotensi berat
d. Difenhidramin
Untuk mencegah reaksi antigen-antibodi lanjut
11. Evaluasi respon klien terhadap terapi secara langsung , kaji :
a. Tanda-tanda vital
b. Tingkat kesadaran
c. Bunyi paru,aliran puncak
d. Fungsi jantung
e. Asupan dan haluaram
f. Nilai AGD
Pememantauan yang cermat penting untuk mendeteksi komplikasi
syok dan mengidentifikasi kebutuhan terhadap intervensi tambahan.
12. Setelah pemulihan, diskusikan bersama keluarga dan klien tentang
tindakan prevenrtif untuk anafilaksis dan perlunya membawa set
anafilaksis, yang berisi epinefrin injeksi dan antihistamin oral untuk
penanggulangan reaksi alergi secara mandiri

14
2.4 Sindrom Steven Johnson

2.4.1 Definisi

Stevens-johnson syndrome adalah sebuah kondisi mengancam jiwa yang


mempengaruhi kulit dimana kematian sel menyebabkan epidermis terpisah
dari dermis. Sindrom ini diperkirakan oleh karena reaksi hipersensivitas
yang memengaruhi kulit dan membrane mukosa. Walaupun pada
kebanyakan kasus bersifat idiopatik, penyebab utama yang diketahui adalah
dari pengobatan, infeksi dan terkadang keganasan. Terdapat 3 derajat
klasifikasi yang diajukan :

1. Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang


dari 10%
2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%
3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%

2.4.2 Etiologi

Sindrom steven Johnson dapat disebabkan oleh karena:

1. Infeksi (biasanya merupakan lanjutan dari infeksi seperti virus herpes


simplek, influenza, gondongan/mumps, histoplasmosis, virus
epsteinbarr atau sejenisnya.
2. Efek samping dari obat-obatan (allopurinol, diklofenak, fluconazole,
valdecoxib, stagliptin, penicillin, barbiturate, sulfonamide, fenitoin,
azitromisin, modafinil, lamotrigin, nevirapin,, ibuprofen,
ethosuximide, carbamazepin)
3. Keganasan (karsinima dan limfoma), atau
4. Faktor idiopatik (hingga 50%)
Sindrom steven Johnson juga dilaporkan secara konsisten sebagai efek
samping yang jarang dari suplemen herbal yang mengandung gingseng.
Sindrom steven Johnson juga mungkin disebabkan oleh karena penggunaan

15
kokain. Walaupun SJS dapat disebabkan oleh infeksi viral, keganasan atau
reaksi alergi berat terhadap pengobatan, penyebab utama nampaknya
karena penggunaan antibiotic dan sulfametoksazole. Pengobatan yang
secara turun menurun diketahui menyebabkan SJS. Eritem multiformis,
sindrom Lyell, dan nekrolisis epidermal toksik diantaranya sulfonamide
(antibiotic), penisilin (antibiotic), barbiturate (sedative)lamotrigin
(antikonvulsan), fenitoin-dilantin (antikonvulsan). Kombinasi lamotrigin
dengan asam valproat meningkatkan resiko dari terjadinya SJS.

16
2.4.3 Patofisiologi

Obat-obatan, infeksi
Kelainan hipersensivitas
virus, keganasan

Kelainan hipersensivitas tipe IV Kelainan hipersensivitas tipe III

Limfosit T tersintesisasi Antigen antibody terbentuk


terperangkap dlm jar kapiler

Pengaktifan sel T
Aktivasi S.komplemen

Melepaskan limfokin/
Degranulasi sel mask
sitotoksik

Akumulasi netrofil
Penghancuran sel-sel memfagositosi sel yang rusak

Reaksi peradangan Melepasnya sel yang rusak

Kerusakan jaringan
Nyeri Hipertermi

Triase gangguan pada kulit,


mukosa dan mata

Kerusakan intergritas jaringan

Respon lokal : eritema, vesikel Respon inflamasi sistemik Respon psikologis


dan bula

Gangguan gastrointestinal Kondisi kerusakan jaringan


Port de enteree demam, malaise kulit

Risiko infeksi - ketidakseimbangan nutrisi Ansietas


kurang dari kebutuhan tubuh
- deficit perawatan diri

17
2.4.4 Manifestasi Klinis

SJS biasanya mulai timbul dengan gejala-gejala seperti infeksi saluran


pernapasan atas yang tidak spesifik, kadang-kadang 1-14 hari. Ada demam,
susah menelan, menggigil, nyeri kepala, rasa lelah, sering kali juga
muntah-muntah, diare. Muncul kelainan kulit, seperti koreng, melepuh,
sampai bernanah, serta sulit makan dan minum. Bahkan juga mengenai
saluran kencing menyebabkan nyeri.

Kelainan kulit bisa dimulai dengan bercak kemerahan tersebar vesikel


dan membesar hingga menimbulkan jaringan parut, terutama pada selaput
lender seperti di hidung, mulut, mata, alat kelamin, dan lain lain. Berat
ringanya manifestasi klinis SJS bervariasi pada tiap individu bsa dari yang
ringan sampai berat menimbulkan gangguan pernapasan dan infeksi berat
sampai mematikan.

2.4.5 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Laboratorium :
a. Tidak ada pemeriksaan labor (selain biopsi) yang dapat membantu
dokter dalam menegakkan diagnosa.
b. Pemeriksaan darah lengkap (CBC) dapat menunjukkan kadar sel
darah putih yang normal atau leukositosis nonspesifik. Penurunan
tajam kadar sel darah putih dapat mengindikasikan kemungkinan
infeksi bakterial berat.
c. Pemeriksaan elektrolit
d. Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi dicurigai
terjadi
e. Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD),
dan kolonoskopi dapat dilakukan
2. Imaging Studies
Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis

18
3. Pemeriksaan histopatologi dan imonohistokimia dapat mendukung
ditegakkannya diagnosa.

2.4.6 Penatalaksanaan

Pada umumnya penderita SSJ datang dengan keadan umum berat sehingga
terapi yang diberikan biasanya adalah :

1. Cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.


2. Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji
resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.
3. Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus,
kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan
steroid sistemik masih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa
penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan
penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun
ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan
menyelamatkan nyawa.
4. Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin
hidrogen maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3
tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3
kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia
anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1
kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.
5. Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.
6. Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.
7. Lesi mulut diberi kenalog in orabase.
8. Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan
alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat
nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari
intravena, diberikan 2 kali/hari.

19
2.4.7 Komplikasi

Sindrom Steven Johnson sering menimbulkan komplikasi pada mata


berupa simblefaron dan ulkus kornea. Komplikasi lain adalah timbulnya
sembab, demam atau hipotermia dan yang terberat adalah sepsis.

Berikut komplikasi yang sering pada steven Johnson syndrome :


1. Bronkopneumonia (80%)
2. Sepsis
3. Kehilangan cairan/darah
4. Gangguan keseimbangan elektrolit
5. Syok
6. Kebutaan gangguan lakrimasi

2.4.8 Asuhan Keperawatan


Diagnosa keperawatan:

1. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (infeksi)


2. Nyeri berhubungan dengan adanya bula
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan penurunan intake nutrisi
4. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan bula yang mudah
pecah
5. Resiko infeksi berhubungan dengan efek samping terpasangnya infus
dan terapi steroid.

No. Diagnosa Keperawatan Tindakan Keperawatan


(NANDA) Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
1. Hipertermia berhubungan Pasien dalam a. Terapi demam:
dengan proses penyakit keadaan Penatalaksanaan
(infeksi) Thermoregulasi pasien yang
setelah dilakukan mengalami

20
Batasan karakteristik: perawatan selama 24 hiperpireksia
1. Konvulsi jam dengan kriteria akibat faktor
2. Kulit kemerahan hasil: selain
3. Peningkatan suhu a) Suhu tubuh lingkungan.
tubuh diatas kisaran dalam b. Kewaspadaan
normal rentang hipertermia
4. Kejang normal maligna:
5. Takikardi b) Nadi dan RR Pencegahan atau
6. Takipnea dalam penurunan
7. Kulit terasa hangat rentang respon
normal hipermetabolik
c) Tidak ada terhadap obat-
perubahan obat
warna kulit farmakologis
dan tidak ada yang digunakan
pusing selama
pembedahan.
c. Regulasi sushu:
Mencapai atau
mempertahankan
suhu tubuh
dalam rentang
normal.
d. Pemantauan
tanda vital:
Mengumpulkan
dan menganalisis
data
kardiovaskular,

21
pernapasan, dan
suhu tubuh untuk
menentukan serta
mencegah
komplikasi.

No. Diagnosa Keperawatan Tindakan Keperawatan


(NANDA) Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
2. Nyeri akut berhubungan Pasien menunjukkan a) Pemberian
dengan adanya bula. berkurangnya tingkat analgesik untuk
nyeri dalam skala 3 menghilangkan
Batasan karakteristik: setelah dilakukan nyeri.
Subjektif: perawatan selama 24 b) Manajemen
Mengungkapkan secara jam dengan kriteria medikasi:
verbal atau melaporkan nyeri hasil: memfasilitasi
dengan isyarat. a. Tiingkat penggunaan
Objektif: kenyamanan obat resep atau
Posisi untuk menghindari positif obat bebas
nyeri. terhadap secara aman dan
Perubahan tonus otot. kemudahan efektif.
Respon autonomik fisik dan c) Manajemen
(misalnya, diaforesis; psikologis. nyeri: Ajarkan
perubahan tekanan darah, b. Tindakan penggunaan

22
pernapasan, atau nadi; individu teknik
dilatasi pupil). dalam nonfarmakologi
Perubahan selera makan. pengendalian s selama
Perilaku distraksi. nyeri. aktivitas yang
Perilaku ekspresif (gelisah, c. Keparahan menimbulkan
merintih, menangis, waspada nyeri dapat nyeri.
berlebihan). diamati atau d) Bantuan
Bukti nyeri yang dapat dilaporkan. analgesia yag
diamati. dikendalikan
Berfokus pada diri sendiri. oleh pasien.
Gangguan tidur. e) Memberikan
sedatif,
memantau
respon pasien,
dan
memberikan
dukungan
fisiologis yang
dibutuhkan
selama prosedur
diagnostik atau
terapeutik.

No. Diagnosa Keperawatan Tindakan Keperawatan


(NANDA) Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
3. Ketidakseimbangan Nutrisi pasien terbenuhi Nutrition Management:

23
nutrisi kurang dari setelah dilakukan 1. Kolaborasi
kebutuhan tubuh perawatan selama 2x24 dengan ahli
berhubungan dengan jam dengan kriteria gzizi untuk
penurunan intake nutrisi hasil: menentukan
a. Adanya jumlah kalori
Batasan karakteristik:
peningkatan dan nutrisi yang
a) Kram abdomen
berat badan dibutuhkan
b) Nyeri abdomen
sesuai dengan pasien.
c) Menghindari
tujuan 2. Anjurkan pasien
makanan
b. Berat badan ideal untuk
d) Berat badan 20%
sesuai dengan meningkatkan
atau lebih
tinggi badan intake Fe,
dibawah berat
c. Mampu protein dan
badan ideal
mengidentifikasi vitamin C
e) Kerapuhan kapiler
kebutuhan nutrisi 3. Makanan
f) Diare
d. Tidak ada tanda- mengandung
g) Kehilangan
tanda malnutrisi serat tinggi
rambut berlebihan
e. Menunjukkan untuk mencegah
h) Bising usus
peningatan konstipasi.
hiperaktif
fungsi Nutrition Monitoring:
i) Kurang makanan
pengecapan dari 1. BB pasien
j) Membran mukosa
menelan dalam batas
pucat
f. Tidak terjadi normal.
k) Tonus otot
penurunan berat 2. Monitor adanya
menurun
badan yang penurunan berat
l) Mengeluh
berarti. badan.
gangguan sensasi
3. Monitor tipe dan
rasa
jumlah aktivitas.
m) Cepat kenyang
4. Monitor turgor
setelah makan

24
n) Sariawan rongga kulit.
mulut 5. Monitor
o) Kelemahan otot kekeringan,
pengunyah rambut kusam,
p) Kelemahan otot dan mudah
untuk menelan patah.
6. Monitor kadar
albumin, total
protein, Hb dan
kadar Ht.
7. Monitor kalori
dan intake
nutrisi
8.
No. Diagnosa Keperawatan Tindakan Keperawatan
(NANDA) Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
4. Kerusakan integritas Kerusakan integritas a. Anjurkan pasien
jaringan berhubungan kulit pasien teratasi untuk
dengan bula yang mudah setelah dilakukan menggunakan
pecah perawatan selama 2x24 pakaian yang
Batasan karakteristik: jam dengan kriteria longgar
a) Gangguan pada hasil: b. Hindari kerutan
bagian tubuh 1. Integritas kulit pada tempat
b) Kerusakan lapisan yang baik bisa tidur
kulit (dermis) dipertahankan c. Jaga kebersihan
c) Gangguan (sensasi, kulit agar tetap
permukaan kulit elastisitas, bersih dan
(epidermis) temperatur, kering
hidrasi, d. Mobilisasi

25
pigmentasi) pasien setiap
2. Tidak ada dua jam sekali
luka/lesi pada e. Monitor kulit
kulit akan adanya
3. Perfusi jaringan kemerahan
baik f. Oleskan lotion
4. Menunjukkan atau baby oil
pemahaman pada daerah
dalam proses yang tertekan
perbaikan kulit g. Monitor status
dan mencegah nutrisi pasien
terjadinya cedera h. Memandikan
berulang pasien dengan
5. Mampu sabun dan air
melindungi kulit i. Kaji lingkungan
dan dan peralatan
mempertahankan yang
kelembapan kulit menyebabkan
dan perawatan tekanan
alami j. Observasi luka
6. Menunjukan k. Cegah
terjadinya proses kontaminasi
penyembuhan feses dan urin
luka l. Lakukan tehnik
perawatan luka
dengan steril
m. Berikan posisi
yang
mengurangi

26
tekanan pada
luka.

No. Diagnosa Keperawatan Tindakan Keperawatan


(NANDA) Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
5. Resiko infeksi berhubungan Setelah dilakukan 1) Pertahankan
dengan efek samping tindakan keperawatan tehnik aseptif
terpasangnya infus dan selama 24 jam pasien 2) Batasi
terapi steroid tidak mengalami pengunjung
Faktor-faktor risiko: infeksi dengan kriteria bila perlucuci
a. Prosedur infasif hasil: tangan setiap
b. Kerusakan jaringan a. Klien bebas dari sebelum dan
dan peningkatan tanda dan gejala sesudah
paparan lingkungan infeksi tindakan
c. Malnutrisi b. Menunjukan keperawatan
d. Peningkatan kemampuan 3) Gunakan baju,
paparan lingkungan untuk sarung tangan
patogen mencegah sebagai alat
e. Imunosupresi timbulnya pelindung
f. Tidak adekuat infeksi 4) Ganti letak IV
pertahanan sekunder c. Jumlah leukosit perifer dan
(penurunan Hb, dalam batas dressing sesuai
leukopenia, normal dengan
penekanan respon d. Menunjukan petunjuk umum
inflamasi) perilaku hidup 5) Gunakan
g. Penyakit kronik sehat kateter
h. Imunosupresi e. Status imun, intermiten
i. Malnutrisi gastrointestinal, untuk
j. Pertahanan primer genitourinaria menurunkan

27
tidak adekuat dalam batas infeksi kandung
(kerusakan kulit, normal kemih
trauma jaringan, 6) Tigkatkan
gangguan intake nutrisi
peristaltik) 7) Monitor tanda
dan gejala
infeksi sistemik
dan lokal
8) Monitor adanya
luka
9) Kaji suhu
badan pasien
neutropenia
setiap jam 4
jam

28
DAFTAR PUSTAKA

Baughman, Diane C. & JoAnn C. Hacley. 2000. Keperawatan Medical Bedah Buku
Saku dari Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah volume 3.
Jakarta: EGC

Carpenito, Lynda Juall.2009. Diagnosis Keperawatan : Aplikasi dan Praktek Klinis.


Jakarta : ECG

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi edisi 3 revisi. Jakarta: EGC

Curtis, Glade B. MD, FACOG. 1999. Kehamilan Apa yang Anda Hadapi Minggu per
Minggu. Jakarta: Arcan

Kee, Joyce Lefever. 1997. Buku Saku Pemeriksaan Laboratorium & Diagnostik Edisi
2. Jakarta: EGC

Lumenta, Nico A. dkk. 2006. Manajemen Hidup Sehat : Kenali Jenis Penyakit dan
Cara Penyembuhannya. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo

Price & Wilson. 2003. Patofisiologi Konsep Proses-Proses Penyakit volume 2 Edisi
6. Jakarta: EGC

Richard N. Mitchell, et al. 2008. Pocket Companionto Robbins & Cotran Pathologic
Basic of Disease, 7𝑡ℎ ed. Jakarta : EGC.

Rubenstein, David, David Wayne, John Bradley. 2003. Lecture Notes Kedokteran
Klinis Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga

Smeltzer & Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatann Medikal Bedah. Jakarta: EGC

Sullivan, Amanda, Lucy Kean & Alison Cycer. 2009. Panduan Pemeriksaan
Antenala. Jakarta: EGC

Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta : EGC.

29
Tjay, Tan Hoan & Kirana Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan
dan Efek-Efek Sampingnya Edisi Keenam. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo

Wallace, Daniel J. 2007. The Book Lupus

Yatim, Dr. Faisal DTM&H, MPH. 2006. Penyakit Tulang dan Persendian Arthritis
atau Artharlgia. Jakarta: Pustaka Popular

30

Anda mungkin juga menyukai