Apa saja yang dapat disalahgunakan atau dipakainya oleh murid secara keliru dalam
hidupnya pada tahapan mana pun haruslah disembunyikan darinya, atau murid tersebut
hendaknya diperbaiki atau dikembangkan dalam cara moral baik dari batin maupun lahir
sehingga dia dapat menggunakan ilmu tersebut cara positif. Di sini, yang diperlukan bukanlah
bentuk atau ilmu pengetahuan, tetapi isi yang berarti. Oleh karena itu, Orang hendaknya tidak
terperesok menjadi mangsa bagi jenis pelajaran yang bagus penampakannya, tetapi isinya
tidak berbarti Banyak ilmu pengetahuan yang aalam jangka pendek memberikan hasil
manfaat, tetapi pada akhirnya menimbulkan bencana terhadap guru atau murid atau kedua-
duanya. Sebagai contoh kemampuan ilmu pengetahuan tertentu dapat melukai guru itu sendiri
dan orang lainnya, umpamanya sihir. Realitas sihir dimapankan dengan baik di dalam bidang
pengajaran. Nabi Muhammad SAW. pun menderita pengaruh sihir yang jahat dan sembuh
dengan kasih sayang Tuhan. Sebagaimana akhir dari sihir itu pada umumnya tidak sehat dan
negatir, sihir digunakan untuk mengikat orang-orang lain dan menciptakan perpecahan di
antara orang-orang. Oleh karena itu, semua sihir kimia dan ilmu nujum dengan segala macam
ejaan, kata-kata rahasia, rancangan- rancangan (filsafat) cabala, daya tarik azimat, dan jampi-
jampinya adalah dilarang. Kepandaian meramal dan daya pikat, cabang Sihir, dan persusukan
dalam agama dilarang oleh Islam karena menyebabkan keadaan frustasi, pesimistis, dan
kekecewaan di dalam pikiran manusia. Itulah sebabnya guru dan yang mempelajari sihir
harus berakhir dengan duka cita. Contoh lainnya adalah ilmu bintang yang merupakan cabang
ilmu pengetahuan yang berguna, tetapi harus dipelajari dan diajarkan dengan aneka
persyaratan yang sungguh-sungguh. llmu bintang biasanya digunakan untuk menemukan
ketentuan Tuhan yang menyusahkan dan juga sangat tidak dinginkan. Syariat Islam telah
menetapkan larangan yang serius terhadap pengajaran ilmu bintang. Islam telah turun kepada
kita dengan sumber yang bagus bahwa Nabi melarang mendiskusikan takdir/nasib, ilmu
bintang dan faidah rangkaian termasyhurnya. Syariat Islam berkata bahwa seseorang harus
belajar perbintangan dan ilmu bintang sebanyak yang diperlukan untuk menentukan suatu
tempat atau untuk menemukan berbagai jalan di daratan dan di air. Pengajaran umum dari
dua cabang ilmu pengetahuan tersebut dilarang Karena alasan berikut :
b. Ramalan ilmu nujum yang dibuat dengan bantuan bintang- bintang atau semacam
fenomena duniawi lainnya tidak bersifat pasti, tidak pernah seratus persen, dan ketika
tidak berakhir sebagaimana yang diharapkan, orang menjadi ragu ragu, frustasi, dan
gila. Nabi Muhammad SAW. ketika diminta oleh orang-orang yang inkar, telah
mempertunjukkan mukjizat terbelahnya bulan menjadi dua bagian yang sama besar
kemudian bulan tersebut bersatu lagi. Kemudian gerakan cepat bulan telah
dipengaruhi sehingga ramalan- ramalan juga tidak akan cermat.
Dengan cara yang sama, Ghazali berkata bahwa para guru hendaknya tidak
membuka rahasia berbagai hal kepada orang yang tidak pantas memperolehnya,
berpengetahuan dangkal, atau bersikap sombong dan juga kepada orang biasa, karena
hal itu berada di luar kemampuan mereka untuk memahami dan menjaganya sebagai
pengetahuan yang rahasia. Sebagai contoh, realitas jiwa adalah sesuatu yang
kompleks, jelimet, dan sangat halus yang tidak dapat dipahami oleh manusia yang
berketerampilan dan bermoral biasa. Ada bahaya kesesatan apabila realitas jiwa
dijelaskan kepadanya. Oleh karena itu, seorang ulama hendaknya selalu menahan diri
mengumbar isu-isu semacam itu. Isu-isu tersebut harus diceritakan kepada beberapa
orang berbakat saja. Demikian juga, filsafat takdir yang berada di luar pengetahuan
yang dapat dipahami manusia. Oleh karena itu, ulama seharusnya sangat berhati-hati
dan waspada. Kalau tidak, dia harus bertanggung jawab atas kesesatan orang-orang
Bagi Ghazali tingkatan, akal, kecerdasan, dan kebijaksanaan adalah sama. Akal dalam
arti ukuran dan corak kebenaran yang bukan perseorangan dan bersitat umum merupakan
sumber kesejahteraan yang abadi dan kebahagiaan yang kekal. Akal semacam itu baginya,
adalah pencerahan. Kecerdasan adalah percikan ayat ilahi yang Selanjutnya dapat
disemburkan dengan sarana upaya yang sadar darı pihak manusia untuk tujuan menajamkan
kepekaan, menciptakan kedalaman yang menembus ke dalam hidup dan memperluas
wawasan dan horisontalnya. Adapun kebijaksanaan adalah hikmah yang memungkinkan
manusia memahami akibat- akibat yang mungkin terjadi di dalam langkah pengembaraan
tertentu.
Orang yang bijaksana adalah orang yang mengantisipasi suatu akhir yang masuk akal
dari hal tertentu atau tindakan yang dia prakarsai. Kebijaksanaan adalah perbendaharaan
himpunan ilmu pengetahuan dan informasi yang diperoleh dan dikumpulkan oleh seseorang
dengan bantuan indra-indra, kecerdasan, dan akal sehat serta keuntungan-keuntungan
intuisinya. Jadi, Ghazali meyakini kebijaksanaan sebagai perangai yang berdaulat pada
seseorang, namun dia sepenuhnya sadar atas berbagai keterbatasannya. Dia berkata bahwa
terdapat banyak hal yang tidak dapat dipelajari oleh manusia secara sederhana dengan sarana
akal, kecerdasan, atau kebijaksanaan.
16. JENIS JENIS KEBIJAKSANAAN
Pada akhirnya, tetapi bukan yang paling sedikit, kebijaksanaan berarti sifat
kemampuan untuk mengambil keputusan yang baik bagi kebutuhan di masa
depan, pemeliharaan yang baik, dan kepekaan akan kemungkinan akhir dari
suatu tertentu yang kita jalankan untuk disadari.
b. Para ulama yang mulia, untuk mendapatkan kehidupan materinya, dengan sengaja
membuang-buang berbagai cabang pelajaran yang bervariasi. Barangkali Ghazali
adalah orang pertama yang membicarakan aspek belajar tersebut dalam karyanya
yang mengagumkan "lhyâ 'ülüm al-Din" Dalam kepustakaan dan pelajaran Islam,
kata-kata dan peristilahan tertentu pada mulanya dimaksudkan untuk sesuatu dan yang
lain, tetapi dengan berlalunya waktu, kata-kata dan peristilahan tersebut dipakai atau
disalahgunakan dalam arti-arti yang berbeda. Penekanan dan isi yang baru dijadikan
cabang bagi kata-kata dan peristilahan itu berakibat bahwa arti-artinya menjadi lebih
sempit atau bahkan berganti.
18. DEBAT KONFRONTASI DAN POLEMIK
Zaman Ghazali penuh dengan pertempuran umum. Sarana-sarana yang populer untuk
saling mempertukarkan gagasan adalah debat, dialog, konfrontasi, dan polemik. Atas dasar
suatu kebutuhan tertentu, Ghazali juga sering ambil bagian melawan keinginan-keinginannya
dalam berbagai kontroversi tersebut. Dia tidak pernah menyukai atau mendorong untuk
mengadakan semacam debat keagamaan, kecuali apabila dituntut oleh suasana atau sifat-sifat
isu tertentu. sikap Ghazali terhadap debat tidak bersifat menganjurkan, tetapi bersifat
sungkan, karena akibat dari perdebatan semacam itu tidaklah bagus.
Perdebatan pada umumnya meninggalkan citra yang jelek di dalam mulut dan
mengipasi kecurigaan, dendam, rasa bangga, kesombongan, tinggi hati, keras kepala,
umpatan, bujukan yang berlebihan, kesukaan membantah, permusuhan, marah, cinta
keuntungan materi, menyenangkan orang kaya dan yang terpandang, penghinaan terhadap
pihak lawan, kesombongan bicara, dan dalih-dalih demi kesenangan. Di samping itu, tipe
dialog semacam itu menyalakan bahasa yang diselewengkan dan diminyaki ungkapan dan
peristilahan yang hanya meladeni tujuan sesaat yang terbatas bagi beberapa orang yang
berkepentingan dan tidak berarti apa-apa bagi khalayak umum.
Selain guru, murid pun mempunyai tugas untuk menjaga hubungan baik dengan guru
maupun dengan sesama temannya dan untuk senantiasa meningkatkan keefektifan belajar
bagi kepentingan dirinya sendiri. Adapun tugas tersebut ditinjau dari berbagai aspek yaitu
aspek yang berhubungan dengan belajar, aspek yang berhubungan dengan bimbingan, dan
aspek yang berhubungan dengan administrasi.
Hal-hal yang harus diperhatikan murid agar belajar menjadi efektif dan produktif, di
antaranya:
Murid harus menyadari sepenuhnya akan arah dan tujuan belajarnya, sehingga ia
senantiasa siap siaga untuk menerima dan mencernakan bahan. Jadi bukan belajar asal
belajar saja.
Murid harus memiliki motif yang murni (intrinsik atau niat). Niat yang benar adalah
“karena Allah”, bukan karena sesuatu yang ekstrinsik, sehingga terdapat keikhlasan
dalam belajar. Untuk itulah mengapa belajar harus dimulai dengan mengucapkan
basmalah.
Harus belajar dengan “kepala penuh”, artinya murid memiliki pengetahuan dan
pengalaman-pengalaman belajar sebelumnya (apersepsi), sehingga memudahkan
dirinya untuk menerima sesuatu yang baru.
Harus memiliki rencana belajar yang jelas, sehingga terhindar dari perbuatan belajar
yang “insidental”. Jadi belajar harus merupakan suatu kebutuhan dan kebiasaan yang
teratur, bukan “seenaknya” saja.
Murid harus memandang bahwa semua ilmu (bidang studi) itu sama penting bagi
dirinya, sehingga semua bidang studi dipelajarinya dengan sungguh-sungguh.
Memang mungkin saja ada “beberapa” bidang studi yang ia “senangi”, namun hal itu
tidak berarti bahwa ia dapat mengabaikan bidang studi yang lainnya.
Harus dapat bekerja sama dengan kelompok/kelas untuk mendapatkan sesuatu atau
memperoleh pengalaman baru dan harus teguh bekerja sendiri dalam membuktikan
keberhasilan belajar, sehingga ia tahu benar akan batas-batas kemampuannya. Meniru,
mencontoh atau menyontek pada waktu mengikuti suatu tes merupakan perbuatan
tercela dan merendahkan “martabat” dirinya sebagai murid.
Semua murid harus mendapat bimbingan, tetapi tidak semua murid khususnya yang
bermasalah, mempergunakan haknya untuk memperoleh bimbingan khusus. Hal itu mungkin
disebabkan oleh karena berbagai “perasaan” yang menyelimuti murid, atau karena
ketidaktahuannya, dan mungkin juga disebabkan oleh karena guru/sekolah tidak membuka
kesempatan untuk itu, dengan berbagai alasan.
Kesadaran murid akan guna bimbingan belajar serta bimbingan dalam bersikap, agar
dirinya dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan serta melaksanakan sikap-sikap yang
sesuai dengan ajaran agama dalam kehidupannya sehari-hari, amat diharapkan. Dan untuk itu,
maka menjadi tugas muridlah untuk berpartisipasi secara aktif, sehingga bimbingan itu dapat
dilaksanakan secara efektif. Keikutsertaan itu dibuktikan, di antaranya dengan:
Secara jujur dan ikhlas mau menyampaikan dan menjelaskan berbagai masalah yang
diderita atau dialaminya, baik ketika ia ditanya maupun atas kemauannya sendiri,
dalam rangka mencari pemecahan atau memilih jalan keluar untuk mengatasinya.
Berani dan berkemauan untuk mengekspresikan atau mengungkapkan segala perasaan
dan latar belakang masalah yang dihadapinya, sehingga memudahkan dan
memperlancar proses penyuluhan.
Menyadari dan menginsafi akan tanggung jawab terhadap dirinya untuk memecahkan
masalah/memperbaiki sikap dengan tenaganya sendiri, sehingga semua perbuatannya
menjadi sesuai dan selaras dengan ajaran Islam.
Membayar SPP dan segala sesuatu yang dibebankan sekolah kepadanya, sepanjang
sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Turut membina suasana sekolah yang aman, tertib dan tenteram, di mana suasana
keagamaan menjadi dominan.
Memelihara keamanan dan ketertiban kelas sehingga suasana belajar menjadi aman,
tenteram dan nyaman.
Melakukan kerja sama yang baik dengan teman sekelasnya dalam berbagai urusan
dan kepentingan kelas serta segala sesuatunya dilakukan dengan cara musyawarah
dan mufakat.
Memelihara dan mengembangkan semangat dan solidaritas, kesatuan dan
kebanggaan, suasana keagamaan dalam kelas, sehingga memberi peluang untuk
mengaktualisasikan ajaran-ajaran Islam dan berlomba-lomba untuk kebaikan.
Lagi-lagi Ghazali menegaskan perbedaan yang tajam antara ulama yang baik dan
ulama yang jahat, ulama yang mengasuh dan ulama yang tidak mengasuh umat mereka.
Setelah menyebutkan Al- Quran dan As-Sunah sebanyak-banyaknya, dia secara berulang-
ulang menyatakan bahwa para ulama yang gagal di dalam kewajibannya akan diberi
hukuman yang paling keras pada hari pembalasan. Seorang ulamayang tidak ikhlas, tidak
berhati-hati, dan tidak takut kepada Tuhan tidak akan mampu melaksanakan tanggung
jawabnya sebagai guru sekalian umat. Ulama yang jahat adalah orang yang ilmu
pengetahuannya tidak terbukti bermanfaat bagi orang yang diajarinya; orang yang tidak
melaksanakan apa yang dia ajarkan, nyatakan, atau ceramahkan; orang yang berbangga diri
atas ajarannya; orang yang berdiskusi dengan orang yang bodoh, dangkal, dan yang picik
untuk menonjolkan diri, orang yang mendapatkan kekayaan dengan menjual ilmu
pengetahuannya dan dengan menyenangkan orang yang kaya dan berpengaruh, merasa agung
dalam stratifikası, orang yang menyesatkan massa dengan pembaharuan tidak berdasarkan
agama sehingga dia menimbulkan perpecahan di kalangan orang-orang beriman. Ulama
seperti itu adalah orang munafik.
Ilmu pengetahuan yang benar dengan pengamalan yang 1khlas mengekang lidah
seorang ulama, yang pada gilirannya membuatnya menjadi suri teladan dalam semua
kebaikan. Di samping itu, seorang ulama juga mengolah sikap takzim terhadap Khalik
(Pencipta), berbagai makhluk-Nya, dan kesemestaan; dia bertafakur tentang semua itu,
meningkatkan kebiijaksanaannya dan membuat keimanan sebagai sumber dan pondasi bagi
semua yang positif. Keimanan adalah sejenis cahaya yang menyalakan hati dan seorang yang
dianugerahi cahaya ini dan dicerahkan dari dalam adalah seperti seekor ikan dari air di dalam
dunia ini. Hanya ulama semacam itu, yang di samping memberikan pendidikan kepada orang
lain, juga mempunyai andalan terhadap pandangan dan kebijaksanaannya daripada terhadap
rupa dan sumber lainnya yang bersifat lahiriah.
Al-Ghazali adalah seorang teolog yang berusaha nenyelamatkan diri dari keadaan
yang sulit. Menurut nendapatnya, karakter manusia terbentuk di dalam tungku perapian yang
berupa pertanggungjawaban dan di atas landasan kepercayaan diri. Dia memahamkan
kepribadian manusia di dalam istilah cita-cita dan gagasan sebagaimana yang digambarkan di
dalam Al-Quran dan As-Sunah orang Muslim di masa awal Islam. Dengan kemajuan materi
dan peningkatan suhu) politik, kaum Muslim berangsur-angsur menemui kejatuhan dari sudut
pandang akhlak dan rohani. Di dalam masa- masa kemunduran tersebút pun, kita masih
menjumpai kepribadian yang unggul, yang sungguh sunyi di dalam masa mereka masing-
masing, siapa yang berlaku sebagai model bagi orang-orang lain; Ghazali sendiri menjadi
salah seorang dari pribadi-pribadi yang agung seperti itu. Pemahaman keprilbadian dengan
sifat-Sifat pribadinya yang muncul dari filsafat pendidikan versi Ghazali pada dasarnya tanpa
kemewahan dan kemegahan materi. Hakikat kepribadian adalah bersifat moral, rohani, dan
kecendekiaan menurut kriteria Islam.
Ghazali adalah seorang filosof yang agung dan juga seorang ahli pendidikan yang
menonjol. Dalam dua bidang kemampuan tersebut, dia sungguh genuin. Dengan menerapkan
filsafat kepada pendidikan dan menyuntikkan pendidikan ke dalam filsafat, dia membuat
keduanya sebagai dua disiplin yang tidak dapat dielakkan oleh guru dan muridnya.
Filsafat adalah cerita tentang perkembangan pemikiran yang masuk akal sejak
permulaannya yang dini hingga sekarang ini Filsafat adalah suasana yang sejuk dan bijaksana
yang diterapkan pada keseluruhan lingkungan manusia, bidang pemikiran dan cita. citanya,
dan harapan dan keinginan demi pengertian dan penafisran itu supaya tindakan yang tepat
dapat diberikan bagi kemajuan dunia. Jadi, tujuan filsafat adalah mati secara baik. Dalam
keadaan alam ini, tugas sang filosof yang sebenarnya adalah mengubah dunia agar
keadaannya lebih baik daripad sekadar merenung dan menafsirkan. Dunia adalah medan
tempur, yang seseorang dapat menang hanya dengan mengembangkan sifatnya dan
menyempurnakan cara dan sarananya. Jad1, seseorang mampu membuka jalan untuk
perbaikan manusia secara umum. Jangkauan pendidikan nasional meliputi seluruh kehidupan
dan sebagaimana keseluruhan hidup dan kesemestaan terletak di dalam jangkauan filsafat,
filsafat dapat meminjami kita kawasan yang merembes ke dalam setiap langkah kehidupan.
Pada dasarnya, pendidikan memimpikan untuk mencapai ilmu pengetahuan dan
kebijaksanaan untuk memungkinkan orang per orang mencerahkan apa yang gelap dan
memperkuat apa yang lemah padanya. Filsafat akan menjadikan seluruh yang ada dengan
Ilahiah dan kesadaran dan kehendak Ilahiah akan menjadi kesadaran dan kehendaknya.
Kesimpulan Analisis Buku Filsafat Pendidikan
Segala sesuatu memang tidak ada yang sempurna kecusli DIA. Demikian juga halnya
mungkin dengan buku yang ditulis oleh Prof. Dr. Shafique Ali Khan ini. Namun tidaklah
bijak kiranya apabila kekurangan itu dipandang sebagai suatun kecacatan atau kesalahan
melainkan hendaklah dipandang sebagai sebuah celah yang memberi kesempatan kepada
yang lain untuk senantiasa menyempurnakan celah-celah yang masih kosong itu.
Buku yang ditulis oleh Ali Khan tersebut sesungguhnya sangat bagus, karena
bagaimanapun pada masa sekarang ini kita memerlukan banyak konsep,teori dan metode
pendidikan yang bias kita jadikan sebagai penyempurna atas proses multidimensional yang
kompleks, yang tidak hanya bertujuan menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang
dirasakan, tetapi terutama merupakan suatu usaha penelaahan kembali atas aspek-aspek
pendidikan yang berorientasi pada rumusan tujuan yang baru dan pada perubahan
masyarakat.[4] Apalgi yang dibahas didalamnya adalah pandangan atau konsep Ghazali
tentang pendidiakan Islam, yang mana beliau adalah seorang pemikir Islam yang sudah tidak
diragukan lagi capabelitasnya.
Akan tetapi dalam penyajianya kedalam bahasa indonesia yang tentunya sasaranya
adalah pendidikan di Indonesia, saya merasakan adanya kesulitan dalam memahami konsep,
atau gagasan yang dipaparkan dalam buku tersebut. Hal ini disebabkan karena mungkin
dalam penerjemahannya terlalu leterlek dan tidak kontekstual. Tampak bahwa penerjemah
dalam hal ini terbawa oleh pengaruh bentuk, struktur dan gramatika bahasa sumber yang
terbawa ke dalam bahasa sasaran (bahasa Indonesia). Padahal untuk lebih nbaiknya
penerjemah seharusnyua tidak hanya mengerti bahasa sumber tetapi juga menguasai bahasa
sasaran dengan baik pula.[5]
Selanjutnya dalam uraian tentang konsep pendidikan islam ala ghazali yang diuraikan
dalam buku tersebut, dapat disimpilkan bahwa Ghazali adalah seorang Ulama besar yang
menaruh perhatian yang cukup tinggi terhadap pendidiakan. Corak pendidikan yang
dikembangkannya tampak dipengaruhi oleh pandangannya tentang fiqih dan tasawuf. Hal ini
tidaklah mengherankan karena dalam kedua bidang keilmuan itulah Ghazali memperlihatkan
kecendrunganya. Konsep pendidikan yang dikemukakannya nampak selain sistematik dan
komperhensip juga secara konsisten sejalan dengan sikap dan kepribadianya sebagai seorang
sufi.
KOnsep pendidikan Ghazali tersebut merupakan aplikasi dan response dari jawabanya
terhadap kemasyarakatan social yang dihadapinya pada masa tersebut. Konsep tersebut jika
diaplikasikan di masa sekarang tampaknya sebagian masih ada yang sesuai dan sebagian
yang lainnya masih perlu disempurnakan. Dan itulah watak hasil pemikiran manusia yang
selalu menuntut penyempurnaan.[6]
Jika diliahat lebih jauh konsep pendidiakan serta metode dan teori yang
dikemukakakan Ghazali, menjurus kepada konsep pendidiakn behavioristik yang diusung
oleh John Lock, skinner, Pavlov dan rekan-rekannya. Hal ini terlihat dari konsep beliau
tentang guru dan murid yang menunjukkan adanya indikasi pembelajaran yang menjadikan
murid sebagai obyek pembelajaran yang pasif. Dengan kata lain guru adalah pemegang
kendali satu-satunya dalam pembelajaran (teacher Centered Study). Padahal belajar yang
langsung dipraktekkan (Learning By Doing) akan lebih cepat diterima oleh murid. Jadi guru
yang baik adalah yang bias mengaktifkan muridnya dalam belajar seperti yang dikatakan
Dewey.[7] Murid harus dilatih berfikir kritis, karenya selama ini para pelajar Muslim
kebanyakan terkungkun g oleh doktrin-doktrin yang mengakibatkan terlalu banyak keraguan
dalam mengekspresikan kemampuan berfikir akalnya.
Sehingga sekali lagi jika kita melihat konteks sekaranga ini, memang ada sebagian
konsep yang ditawarkan oleh ghazali yang bisa diterapkan, tetapi ada juga yang kayaknya
kurang relevan. Karena memang pembaharuan-pembaharuan pendidikan akan terus terjadi
seiring tuntutan kebutuhan masayarakt. Dan pendidikan itu sendiri diharapkan dapat
menyiapkan produk manusia yang mampu mengatasi kebutuhan masyarakat tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Khan Shafique, Prof. Dr, Filsafat Pendidikan Al-Ghazali, Pustak Setia, Bandung: 2005