Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN DAN KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

DENGAN DIAGNOSA MEDIS GUILLAIN BARRE SYNDROME

DI INSTALASI GAWAT DARURAT RSUD BANGIL, PASURUAN

Untuk Memenuhi Laporan Profesi di Departemen Gawar Darurat

di Bina Oleh :

Ns. Fakrul Ardiansyah.,S.Kep.,Sp.Kep.M.B

NI KETUT LIDYA OKTAPIANI

1601090264

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KENDEDES MALANG

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

2019
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .....................................................................................................i


KATA PENGANTAR....................................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................iii
BAB 1 KONSEP MEDIS...............................................................................................1
A. DEFENISI...........................................................................................................1
B. PENYEBAB........................................................................................................1
C. PREVALENSI.....................................................................................................2
D. GEJALA..............................................................................................................2
E. PATOFISIOLOGI...............................................................................................4
F. PATHWAY.........................................................................................................7
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG........................................................................8
H. PENATALAKSANAAN....................................................................................8
I. KOMPLIKASI....................................................................................................9
J. PENCEGAHAN..................................................................................................9
BAB 2 KONSEP KEPERAWATAN.............................................................................10
A. PENGKAJIAN....................................................................................................10
B. ANALISA DATA...............................................................................................14
C. DIAGNOSA .......................................................................................................15
D. INTERVENSI & RASIONAL ...........................................................................15
E. EVALUASI ........................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................20
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayatnya sehingga
kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah kami yang berjudul “Konsep Asuhan
Keperawatan Pada Pasien Dengan Masalah Guillain Barre Syndrom” dalam bentuk
maupun isisnya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai
salah satu acuan petunjuk maupun pedoman bagi para pembaca.
Harapan kami semoga makalah ini dapat membantu menambah pengetahuan dan
wawasan dari para pembaca.
Makalah ini kami akui masih memiliki kekurangan oleh sebab itu kami
mengharapkan keritikan dan saran dari pembaca sekalian yang sifatnya membangun.

Pasuruan, 13 Januari 2020


BAB I
KONSEP MEDIS

A. DEFENISI
Sindrom Guillain-Barre merupakan sindrom klinis yang ditunjukkan oleh
onset akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan karnial. Proses
penyakit mencakup demielinisasi dan degenerasi selaput mielin dari saraf tepi dan
karnial.
GBS merupakan sindrom klinik yang penyebabnya tidak diketahui yang
menyangkut saraf tepi dan karnial. GBS adalah suatu kelainan sistem kekebalan
tubuh manusia yang menyerang dari sistem saraf tepi dirinya sendiri dengan
karakteristik berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang sifatnya
progresif.
GBS gangguaan kelemahan neuromuskular akut yang memburuk secara
progresif yang dapat menggarah pada kelumpuhan total, biasanya paralisis
sementara.
Menurut penulis GBS adalah suatu kelainan sistem kekebalan tubuh
(imunitas) yang menyerang sistem neuromuskular

B. PENYEBAB
Penyebab GBS tidak diketahui dengan pasti, tetapi respon alergi atau
respon autoimun sangat mungkin sekali. Beberapa peneliti berkeyakinan bahwa
sindrom tersebut berasal dari virus. Akan tetapi tidak ada virus yang sangat
diisolasi sejauh ini.
Sindrom guillain barre paling banyak ditimbulkan oleh adanya infeksi
(pernapasan atau gastrointestinal) 1 sampai 4 minggu sebelum terjadi serangan
penurunan neurologis. Pada beberapa dapat terjadi setelah vaksinasi atau
pembedahan.

C. PREVALENSI
Angka kejadian dari GBS ( guillain Barre Syndrom ) adalah:
Menurut artikel yang berjudul guillain barre sindrom yang dipublikasikan
pada tanggal senin,08 agustus 2011dan tahun 2008 oleh (www.Depkes.go.id dan
www.who.int) kasus ini terjadi 1atau 2 kasus per 100.000 didunia tiap tahunnya”.

D. GEJALA
Gejala-gejala neurologi diawali dengan parestesia (kesemuatan dan kebas)
dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang
tubuh dan otot wajah. Kelemahan otot dapat diikuti dengan cepat adanya paralisis
yang lengkap.
Gejala awal antara lain adalah: rasa seperti ditusuk-tusuk jarum diujung
jari kaki atau tangan atau mati rasa di bagian tubuh tersebut. Kaki terasa berat dan
kaku atau mengeras, lengan terasa lemah dan telapak tangan tidak bisa
menggenggam erat atau memutar seusatu dengan baik (buka kunci, buka kaleng
dll)
Gejala klinis lainnya yaitu antara lain sebagai berikut :
1. Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot eksremitas tipe lower
motor newron. Pada sebagian besar kelumpuhan di mulai dari kedua
eksremitas bawah kemudian menyebar secara asenden ke badan anggota gerak
atas dan saraf kranialis kadang-kadang juga bisa ke empat anggota di kenai
secara anggota kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis.
2. Gangguan sensibilitas
Parastesia biasanya lebih jelas pada bagian distal eksremitas, muka juga bisa
di kenai dengan distribusi sirkumolar.

3. Saraf kranialis
yang paling sering di kenal adalah N.VI. kelumpuhan otot sering di mulai pada
satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral sehingga bisa di temukan berat
antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa di kenai kecuali N.I dan N.VIII.
diplopia bisa terjadi akibat terkena N.IV atau N.III. bila N.IX dan N.X terkena
akan menyebabkan gangguan sukar menelan (disfagia) dan pada kasus yang
berat menyebabkan pernapasan karena paralisis dan laringeus
4. Gangguan fungsi otonom
gangguan fungsi otonom di jumpai pada 25% penderita GBS. Gangguan
tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi
merah ( facial flushing ), hipertensi atau hipotensi yang berfluktusi, hilangnya
keringat atau episodik profuse diphoresis. Retensi atau inkontenensia urin
jarang di jumpai. Gangguan otonom ini jarang menetap lebih dari satu atau
dua minnggu.
5. Kegagalan pernapasan
kegagalan pernapasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat
fatal bila tidak di tangani dengan baik. Kegagalan pernapasan ini di
menyebabkan paralisis pernapasan dan kelumpuhan otot-otot pernapasan,
yang di jumpai pada 10-33% penderita
6. Papiledema
kadang-kadang di jumpai papiledema, penyebabnya belum di ketahui dengan
pasti di duga karena penindian kadar protein dalam otot yang menyebabkan
penyumbatan arachcoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang

E. PATOFISIOLOGI
Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat
menyerang sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah
bahwa sistem imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu
penyakit yang disebut sebagai penyakit autoimun. Umumnya sel-sel imunitas ini
menyerang benda asing dan organisme pengganggu; namun pada GBS, sistem
imun mulai menghancurkan selubung myelin yang mengelilingi akson saraf
perifer, atau bahkan akson itu sendiri. Terdapat sejumlah teori mengenai
bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang saraf, namun teori yang dikenal
adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme (misalnya infeksi virus
ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga
sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme tersebut kemudian
menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk
menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan
memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung myelin dan
menyebabkan destruksi dari myelin.

Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan


tipis; berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh
suatu selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang
terbungkus plastik. Selubung myelin bersifat insulator dan melindungi sel-sel
saraf. Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf
yang ditransmisikan. Sebagai contoh, sinyal dari otak ke otot dapat
ditransmisikan pada kecepatan lebih dari 50 km/jam.
Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak
diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan
daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada
daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan
semakin lambat.
Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi
terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun
virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta
merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada
saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan
mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak penghasil
myelin. Dengan dirusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada
waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring
dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara
bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal
melambat, terblok, atau terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal
ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan
melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan. Untungnya, fase ini bersifat
sementara, sehingga apabila sistem imun telah kembali normal, serangan itu akan
berhenti dan pasien akan kembali pulih.
Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan
medulla spinalis, merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri dari
saraf kranialis dan saraf spinal. Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal dari
otak dan medulla spinalis, menuju dan dari otot, organ, serta kulit. Tergantung
fungsinya, saraf dapat diklasifikasikan sebagai saraf perifer motorik, sensorik, dan
otonom (involunter).
Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul
kerusakan sementara pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik,
kelemahan yang bersifat progresif, ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS
dikenal sebagai neuropati perifer.
GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang
terjadi. Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur ,
transmisi sinyal saraf yang melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga
timbul sensasi abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan
prosesnya sendiri dinamai demyelinasi primer.
Akson merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel
saraf 2. Selubung myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson dalam
beberapa lapis. Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam
proses demyelinasi sekunder; hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi
yang berat. Apabila akson ini putus, sinyal saraf akan diblok, dan tidak dapat
ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul kelemahan dan paralisis pada area
tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling sering setelah
gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik, karena regenerasi akson
membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan selubung myelin, yang sembuh
lebih cepat.
Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang
pada penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung
saraf. Saraf-saraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi,
namun, saraf-saraf kranialis dapat juga ikut terlibat.
F. PATHWAY
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Lumbar Puncture : memperlihatkan fenomena klasik dari tekanan normal dan
jumlah sel darah putih yang normal, dengan peningkatan protein nyata dalam
4-6 minggu. Biasanya peningkatan protein tersebut tidak akan tampak pada 4-
5 hari pertama, mungkin diperlukan pemeriksaan seri pungsi lumbal (perlu
diulang untuk dalam beberapa hari).
2. Elektromiografi : hasilnya tergantung pada tahap dan perkembangan sindrom
yang timbul. Kecepatan konduksi saraf diperlambat pelan. Fibrilasi (getaran
yang berulang dari unit motorik yang sama) umumnya terjadi pada fase akhir.
3. Darah lengkap : terlihat adanya leukositosis pada fase awal.
4. Fotorontgen : dapat memperlihatkan berkembangnya tanda-tanda dari
gangguan pernapasan, seperti atelektasis, pneumonia.
5. Pemeriksaan fungis paru : dapat menunjukan adanya penurunan kapasitas
vital, volume tidal, dan kemampuan inspirasi.

H. PENATALAKSANAAN
1. Pasien pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus dilakukan
observasi tanda tanda vital. Ventilator harus disiapkan disamping pasien sebab
paralisa yang terjadi dapat mengenai otot-otot pernapasan dalam waktu 24
jam. Ketidakstabilan tekanan darah juga mungkin terjadi. Obat obat anti
hipertensi dan vasoaktive juga harus disiapkan .
2. Pasien dengan progresivitas yang lambat dapat hanya diobservasi tanpa
diberikan medikamentosa.
3. Pasien dengan progresivitas cepat dapat diberikan obat-obatan berupa steroid.
Namun ada pihak yang mengatakan bahwa pemberian steroid ini tidak
memberikan hasil apapun juga. Steroid tidak dapat memperpendek lamanya
penyakit, mengurangi paralisa yang terjadi maupun mempercepat
penyembuhan.
4. Plasma exchange therapy (PE) telah dibuktikan dapat memperpendek lamanya
paralisa dan mepercepat terjadinya penyembuhan. Waktu yang paling efektif
untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya gejala.
Regimen standard terdiri dari 5 sesi ( 40 – 50 ml / kg BB) dengan saline dan
albumine sebagai penggantinya. Perdarahan aktif, ketidakstabilan
hemodinamik berat dan septikemia adalah kontraindikasi dari PE
5. Intravenous inffusion of human Immunoglobulin ( IVIg ) dapat menetralisasi
autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi autoantibodi tersebut.
IVIg juga dapat mempercepat katabolisme IgG, yang kemudian menetralisir
antigen dari virus atau bakteri sehingga T cells patologis tidak terbentuk.
Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul dengan
dosis 0,4 g / kg BB / hari selama 5 hari. Pemberian PE dikombinasikan dengan
IVIg tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hanya
memberikan PE atau IVIg.
6. Heparin dosis rendah dapat diberikan untuk mencegah terjadinya trombosis

I. KOMPIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau
cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi,
trombosis vena dalam, paralisa permanen pada bagian tubuh tertentu, dan
kontraktur pada sendi.bahkan bisa mengakibatkan kematian.

J. PENCEGAHAN
Salah satu jalan untuk mencegah SGB adalah dengan mempertinggi daya
tahan tubuh saat tidak sakit dengan cara mengkonsumsi protein hewani dari
daging dan ikan, nabati dari tempe dan tahu disertai sayur dan buah, sehingga
diharapkan kita jarang sakit influenza, karena daya tahan tubuh tinggi. Selain itu
perlu juga menjaga kebersihan tubuh dengan mandi dan cuci tangan bila mau
makan untuk menghindari infeksi kuman, virus atau bakteri yang menyebabkan .

BAB II
KONSEP KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Identitas
1.1 identitas klien
a. Nama
b. Umur
c. Jenis kelamin
d. Alamat
e. Suku/ bangsa
f. Agama
g. Pendidikan
h. Pekerjaan
1.2 Identitas wali
a. Nama
b. Umur
c. Jenis kelamin
d. Alamat
e. Hubungan dengan klien
2. Riwayat kesehatan
2.1 Riwayat keluhan utama
Keluhan utama yang paling sering diungkapkan klien adalah kelemahan
otot baik kelemahan fisik secara umum maupun lokal.
2.2 Riwayat kesehatan terdahulu
Tanyakan pada klien penyakit yang pernah dialami klien yang
memungkinkan adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan
sekarang meliputi pernahkah klien mengalami ISPA, infeksi
gastrointestinal, dan tindakan bedah saraf.
Tanyakan pada klien obat-obat yang sering digunakan seperti obat
kortikosteroid, pemakaian obat antibiotik dan reaksinya.
2.3 Riwayat kesehatan sekarang
Pada pengkajian klien GBS biasanya didapatkan keluhan yang
berhubungan dengan proses demielinisasi. Keluhan tersebut diantaranya
gejala-gejala neurologis diawali dengan parestesia (kesemutan kebas) dan
kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang
tubuh, dan otot wajah. Kelemahan otot dapat diikuti dengan cepat adanya
paralisis yang lengkap.
Keluhan yang paling sering ditemukan pada klien GBS dan
merupakan komplikasi yang paling berat dari GBS adalah gagal napas.
Melemahnya otot pernapasan membuat klien dengan gangguan ini
beresiko lebih tinggi terhadap hipoventilasi dan infeksi pernapasan
berulang. Disfagia juga dapat timbul mengarah pada aspirasi. Keluhan
kelemahan ekstremitas atas dan bawah hampir sama seperti keluhan klien
yang terdapat pada klien stroke. Keluhan lainnya adalah kelainan dari
fungsi kardiovaskular, yang memungkinkan terjadinya gangguan sistem
saraf otonom pada klien GBS yang dapat mengakibatkan distritmia
jantung atau perubahan drastis yang mengancam kehidupan dalam tanda-
tanda vital.
2.4 Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan pada keluarga klien apakah ada anggota yang pernah
mengalami gangguan kesehatan yang sama dengan klien, dan tanyakan
pula apakah ada anggota keluarga yang pernah menggalami gangguan
ISPA ataupun yang lainnya.

3. Pemeriksaan fisik (data dasar pengkajian klien)


3.1 Aktivitas /istirahat
Gejala : Adanya kelemahan dan paralisis secara simetris yang biasanya
dimulai dari ekstremitas bagian bawah dan selanjutnya
berkembang cepat kerah atas.
Tanda : kelemahan otot, paralisis flaksid (simetris)
Cara berjalan tidak mantap
3.2 Sirkulasi
Tanda :Perbahan tekanan darah (hipotensi dan hipertensi).
Disritmia, takikardia/bradikardia
Wajah kemerahan,diaforesis.
3.3 Integritas ego
Gejala :Perasaan cemas dan terlalu berkonsentrasi pada masalah yang
dihadapi
Tanda :Tampak takut dan binggung.
3.4 Eliminai
Gejala :Adanya perubahan pola eliminasi
Tanda :kelemahan pada otot-otot abdomen .
Hilangnya sensasi anal (anus) atau berkemih dan refleks sfinger.
3.5 Makanan/ cairan
Gejala :Kesulitan dalam mengunyah dan menelan
Tanda : Gangguan pada refleks menelan
3.6 Neurosenori
Gejala :
Kebas, kesemutan yang dimulai dari kaki atau jari-jari kaki dan
selanjutnya terus naik (distribusi stoking atau sarung tangan).
Perubahan rasa terhadap posisi tubuh, vibrasi, sensasi nyeri,
sensasi tubuh.
Perubahan dalam ketajaman penglihatan.

Tanda :
Hilangnya atau menurunnya refleks tendon dalam.
Hilangnya tonus otot, adanya masalah dengan keseimbangan
Adanya kelemahan pada otot-otot wajah, terjadi ptosis kelopak
mata (keterlibatan saraf karnil).
Kehilangan kemampuan untuk berbicara.
3.7 Nyeri/kenyamanan
Gejala :Nyeri tekan otot; seperti terbakar, mengganggu, sakit nyeri
(terauma pada bahu, pelvis pinggang, punggung dan bokong).
Hipersensitif terhadap sentuhan
3.8 Pernapasan
Gejala :Kesulitan dalam bernapas, napas pendek
Tanda :
Pernapasan perut, menggunakan otot bantu napas,
apnea,penurunan/hilangnya bunyi napas.
Menurunnya kapasitas vital paru-paru
Pucat/sianosis
Gangguan refleks gag/ menelan/ batuk.
3.9 Keamanan
Gejala :
Infeksi virus nonspesivik (seperti, infeksi saluran pernafasan atas)
kira-kira 2 minggu sebelum munculnya tanda serangan.
Adanya riwayat terkena herpes zoster, sitomegalovirus
Tanda :
Suhu tubuh yang berfluktuasi (sangat tergantung pada suhu
lingkungan).
Penurunan kekuatan/tonus otot, paralisis atau parestesia.
3.10 Interaksi sosial
Tanda :
Kehilangan kemampuan untuk berbicara/berkomunikasi.

4. Pemeriksaan penunjang
a) Pungsi lumbal berurutan: memperlihatkan fenomena klasik dari
tekanan normal dan jumlah sel darah putih yang normal, dengan
peningkatan protein nyata dalam 4-6 minggu. Biasanya peningkatan
protein tersebut tidak akan tampak pada 4-5 hari pertama, mungkin
diperlukan pemeriksaan seri pungsi lumbal (perlu diulang untuk
beberapa kali).
b) Elektromiografi: hasilnya tergantung pada tahap dan perkembangan
sindrom yang timbul. Kecepatan konduksi syaraf diperlambat pelan.
Fibrilasi (getaran yang berulang dari unit motorik yang sama)
umumnya terjadi pada fase akhir.
c) Darah lengkap: terlihat adanya leukositosis pada fase awal
d) Foto ronsen: dapat memperlihatkan berkembangnya tanda-tanda dari
gangguan pernafasan, seperti atelektasis dan pnemonia.
e) Pemeriksaan fungsi paru: dapat menunjukkan adanya penurunan
kapasitas vital, volume tidal, dan kemampuan inspirasi.
B. ANALISA DATA
Diagnosa keperawatan Data subjektif Data objektif
Pola napas tidak efektif Klien mengatakan sesak  Menggunakan otot
berhubungan dengan bantu napas
melemahnya otot-otot  Penurunan
pernapasan kapasitas paru-paru
Ketidakefektifan Klien mengatakan  Sianosis
bersihan jalan napas sesak  Kesulitan berbicara
berhubungan dengan
akumulasi sekret.
Resiko pemenuhan Klien mengatakan susah  Tonus oto buruk
nutrisi kurang dari menelan dan  Kelemahan otot yang
kebutuhan tubuh mengunyah berfungsi untuk
berhubunga dengan menelan atau
mengunyah
kesulitan menggunyah,
dan menelan
Kerusakan mobilitas fisik Klien mengatakan  Perubahan cara
berhubungan dengan tubuhnya terasa lemah berjalan
kerusakan  Hilangnya kontrol
neuromuskular motorik halus
Ansietas berhubungan Klien mengatakan  Kelemahan
dengan prognosis yang merasa cemas  Kesulitan bernafas
jelek.  Hipertensi
 Wajah kemerahan

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN, TUJUAN DAN INTERVENSI


KEPERAWATAN. GBS (GUILLAIN BARRE SYNDROM)
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan atau paralisis otot
pernapasan
Tujuan/kriteria hasil :
Mendemonstrasikan ventilasi adekuat dengan tidak ada tanda distress pernapasan,
dan pola napas efektif
Intervensi : Mandiri
a. Pantau frekuensi, kedalaman daln kesimetrisan pernapasan. Catat peningkatan
kerja napas dan observasi warna kulit dan membran mukosa.
R/ : peningkatan distres pernapasan menandakan adanya kelelahan pada otot
pernapasan dan/atau paralisis yang mungkin memerlukan sokongan dari
ventilasi mekanik
b. Kaji adanya perubahan sensasi terutama adanya penurunan respon
R/ : penurunan sensasi sering kali (walau tidak selalu ) mengarah pada
kelemahan motorik
c. Catat adanya kelelahan pernapasan selama berbicara kalau pasien masih dapat
berbicara.
R/ : merupakan inikator yang baik terhadap gangguan fungsi
pernapasan/menurunnya kapasitas paru
d. Auskultasi bunyi napas, cata tidak adanya bunyi atau suara tambahan seperti
ronchi
R/ : peningkatan resistensi jalan napas dan atau akumulasi sekret akan
megganggu proses difusi gas dan akan mengarah pada komplikasi pernapasan
(seperti pneumonia)
e. Tinggikan kepala tempat tidur atau letakan pasien pada posisi duduk bersandar
R/ : meningkatkan ekspansi paru dan usaha batuk, menurunkan kerja
pernapasan dan membatasi terjadinya resiko aspirasi sekret
Kolaborasi
a. Lakukan pemantaan terhadap analisa gas darah, oksimetri nadi secara teratur
R/ : menentukan keefektifan dari ventilasi sekarang dan kebutuhan
untuk/keefektifan dari intervensi
b. Lakukan tinjau ulang terhadap foto rontgen
R/ : adanya perubahan merupakan indikasi dari kongesti paru dan atau
atelektasis
c. Berikan obat ata bantu dengan tindakan pembersihan pernapasan, seperti
latihan pernapasan, perkusi dada, fibrasi, dan drainase postural
R/ : memperbaiki ventilasi dan menurunkan atelektasis dengan memobilisai
sekret dan meningkatkan ekspansi alveoili paru.

2. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan resepsi dan


transmisi
Tujuan/kriteria hasil :
Mengungkapkan kesadaran tentang defisit sensori, mempertahankan mental atau
orentasi umumdan mengidentifikasi intervensi meminimalkan kerusakan/
komlikasi sensori.
Intervensi : Mandiri
a. Pantau status neurologis secara periodik seperti kemampuan berespon
terhadap perintah yang sederhana dan berspon terhadap stimulasi nyeri
R/ : perkembangan dan munculnya kembali tanda dan gejala mungkin sangat
bervariasi. Perkembangan tersebut seringcukup cepat dan mungkin
memuncak dalam beberapa hari/minggu.proses penyembuhan di mulai 2-4
minggu setelah proses perkembangan penyakit dan berakhir dan kebanyakan
secara perlahan.
b. berikan lingkungan yang aman( penghalang tempat tidur proteksi terhadap
trauma termal)
R/ : kehilangan sensasi dan kontrol motorik menjadikan pasien perhatian
utama dari pemberi asuhan yang harus mempertahankan lingkungan
terapeutik dan mencegah trauma.
c. berikan kesempatan untuk istrahat pada daerah yang tidak mengalami
gangguan dan berikan aktivitas lain yang sesuai pada batas kemampuan
pasien.
R/ : menurunkan stimulus berlebihan dan dapat meningkatkan kecemasan
besar dan meminimalkan kemampuan koping
d. orientasikan kembali pasien pada lingkungan sesuai kebutuhan
R/ : membantu menurunkan kecemasan dan terutama sangat bermanfaat jika
terjadi gangguan penglihatan.
e. berikan stimulasi sensori yang sesuai, meliputi suara musik yang lembut,
televisi( berita atau pertunjukan )
R/ : pasien (biasanya sadar ) merasa terisolasi total karena terjadi paralisis dan
selama fase penyembuhan
f. sarankan orang terdekat untuk berbicara dan memberikan sentuhan pada
pasien dan untuk memelihara keterikatan dengan apa yang terjadi pada
keluarga
R/ : membantu orang terdekat, merasakan mask di dalam hidup pasien (
menurunkan perasaan tidak berdaya/ tidak ada harapan) dan menurunkan
kecemasan pasien mengenai keluarga selama perpisahan tersebut
Kolaborasi
a. rujuk keberbagai sumber untuk membantu terapi wicara
R/ : meningkatkan proses penyembuhan/meminimalkan gejala sisa
penurunan neurologis
b. bantu melakukan plasmaferesis sesuai kebutuhan
R/ : penanganan ini membuang imunoglobulin, komplemen, vibrinogen
dan protein fase akut yang menimbulkan serangan penyakit dan depresi
pernapasan pada pasien
c. berikan obat sesuai kebutuhan, seperti : gammma globin dosis tinggi
melalui intra vena.
R/ : hal ini dapat meningkatkan respon antibodi dalam keadaan penyakit
yang berat

3. perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan disfungsi sistem saraf


autonomik yang menyebabkan penumpukan vaskuler dengan penurunan
aliran balik vena
Tujuan/kriteria hasil :
Mempertahankan perfusi dengan tanda vital stabil, distritmia jantung terkontrol
atau tidak ada.
Intervensi : Mandiri
a. ukur tekanan darah, catat adanya fluktuasi.
R/ : perubahan pada tekanan darah ( hipertensi berat/hipotensi) teerjadi
sebagai akibat kehilangan alur dasri saraf simpati untuk mempertahankan
tonus vaskuler perifer.
b. pantau frekuensi jantung dan iramanya
R/ : sinus takikardi/bradikardi dapat berkembang sebagai akibat dari
gangguan saraf otonom simpatis autonom atau tidak ada hambatasn terhadap
refleks yang menyebabkab henti jantung.
c. pantau suhu tubuh.
R/; perubahan pola tonus vasomotor menimbulkan kesulitan pada regulasi
suhu ( seperti ketidakmampuan berkeringat).
d. ubah posisi pasien secara teratur
R/ perubahan sirkulasi/pengumpulan vaskuler yang meningkatkan resiko
iskemia
Kolaborasi
a. berikan pengobatan :
- cairan IV dengan hati-hati sesuai indikasi
R/ mungkin di perlukan untuk mengoreksi/mencegah
hipovolemia/hipertensi,tetapi harus di gunakan secara berhati-hati karena
pasien dengan gangguan tonus vaskuler mungkin sensitif pada adanya
peningkatan kecil dalam volume sirkulasi.
- beri obat seperti antihipertensi dengan kerja pendek
R/: kadang-kadang di gunakan untuk menghilangkan hipertensi yang menetap
atau gangguan mediasi outo
- heparing
R/: di gunakan untuk menurunkan resiko tromboflebilitis.

4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler


Tujuan/kriteria hasil :
Mempertahankan fungsi tubuh dengan tidak ada komplikasi ( kontraktur,
dekubitus)
Intervensi : Mandiri
a. kaji kekuatan motorik/kemampuan secara fungsional dengan menggunakan
skala 0-5
R/ : menentukan perkembangan/ munculnya kembali tanda yang
menghambat tercapainya tujuan/harapan pasien
b. berikan posisi pasien yang menimbulkan rasa nyaman
R/ : menurunkan kelelahan, meningkatkan relaksasi, menurunkan resiko
terjadinya iskemia/ kerusakan pada kulit.
c. sokong eksremitas dan persendian dengan bantal
R/ : mempertahankan eksremitas dalam posisi fisilogis, mencegah kontraktur
dan kehilangan fungsi sendi
d. lakukan latihan rentang gerak pasif
R/ : menstimulasi sirkulasi, meningkatkan tonus otot dan meningkatkan
mobilisasi sendi.
Kolaborasi
a. konfirmasikan dengan/ rujuk ke bagian terapi fisik/ terapi okupasi

5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


kerusakan neuromuskuler yang mempenagaruhi reflek menelan dan fungsi
GI
Tujuan/kriteria hasil :
Mendomensterasikan berat badan stabil, normalisasi nilai- nilai laboratorium dan
tidak tanda malnutrisi
Intervensi : Mandiri
a. kaji kemampuan untuk mengunyah, menelan, batuk pada keadaan teratur
R/ : kelemahan otot dan refleks yang hiperaktif/ hipoaktif dapat
mengindikasikan kebutuhan akan metode makan alternatif, seperti melalui
selang NG dan sebagainya
b. auskultasi bising usus, e4valuasi adanya distensi abdomen
R/ : perubahan fungsi lambung sering terjadi sebagai akibat dari
paralisis/imobilisasi
c. catat masukan kalori setiap hari
R/ : mengidentifikasi kekurangan makanan dan keutuhannya
d. catat makanan yang di sukai/ tidak disukai oleh pasien dan termasuk dalam
pilihan diet yang di kehendakinya. Berikan makanan setengah padat/cair
R/ :meningkatkan rasa kontrol dan mungkin juga dapat meningkatkan usaha
untuk makan. Makanan lunak/ setengah padat mkmenurunkan resiko
terjadinya aspirasi
e. anjurkan untuk makan sendiri jika memunkinkan
R/ : derajat hilangnya kontrol motorik mempengaruhi kemampuan untuk
makan sendiri
f. timbang berat badan setiap hari
R/ : mengkaji keefektifan aturan diet
Kolaborasi
a. berikan diet tinggi kalori atau protein nabati
R/ : makanan suplementasi dapat meningkatkan pemasukan nutrisi.
b. pasang /pertahankan selang NG.
R/ dapat di berikan jika pasien tidak mampu untuk menelan( jika refleks
menelan mengalami gangguan untuk pemasukan makanan, kalori , elektrolit
dan mineral.

6. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional


Tujuan/kriteria hasil :
Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang sampai tingkat dapat di atasi
Intervensi : Mandiri
a. tempatkan pasien dekat ruang perawat, periksa pasien secara teratur.
R/ : memberikan keyakianan bahwa bantuan segera dapat di lakukan jika
pasien secara tiba-tiba menjadi tidak memiliki kemampuan.
b. berikan perawatan primer/ hubunagan perwat yang konsisten
R/ : meningkatkan saling percaya pasien dan membantu untuk menurunkan
kecemasan
c. berikan bentuk komunikasi alternatef jika di perlukan
R/ : menurunkan perasaan tidak berdaya dan perasaan terisolasi
d. Diskusikan adanya perubahan citra diri, ketakutan akan kehilangan
kemampuan yang menetap, kehilanagn fungsi, kematian, masalah mengenai
kebutuhan penyebuhan /perbaikan
Kolaborasi
a. berikan penjelasan singkat mengenai perawatan, rencana perawatan dengan
pasien termasuk orang terdekat
R./ : pemahaman yang baik dapat meningkatkan kerjasama pasien dalam
kebutuhan akan melakkan aktivitas dan perlibatan pasien dan juga orang
terdekat dalam perencenaan asuhan akan dapat mempertahankan beberapa
perasaan kontrol terhadap didri atas kehidupannya yang selanjutnya akan
meningkatkan harga diri.

7. Nyeri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler (parestesia,


disestesia)
Tujuan/kriteria hasil :
Melaporkan nyeri berkurang/terkontrol
Intervensi : Mandiri
a. evaluasi derajat nyeri/rasa tidak nyaman denagan menggunakan skala 0-10
R/ : meenganjurkan pasien untuk “ melakolisasi/ mengetahui kuantitas” nyeri
yang menunjukan adanya perubahan
b. anjurkan pasien untuk mengungkapkan perasaan mengenai nyeri yang di
rasakan
R/ : menurunkan perasaan terisolasi, marah dan cemas yang dapat
meningkatkan nyeri tersebut
c. lakukan perubahan posisi secara teratur
R/ : membantu menghilangkan kelelahan dan ketegangan otot
d. berikan latihan rentang gerak secara pasif
R/ : menurunkan kekuan pada sendi
e. anjurkan untuk menggunakan tehnik relaksasi, seperti visualisasi( menonton),
latiahan relaksasi yang berkembang dan bimbingan imajinasi
R/ : memfokskan kemali secara langsung dari perhatian/ persepsi dan
meningkatkan koping yang dapat membantu menghilangkan rasa nyeri.
Kolaborasi
a. berikan obat analgetik sesuai kebutuhan. Hindari penggunaan narkotik
R/ : untuk menghilangkan rasa nyeri ketika metode lain yang telah di coba
tidak memberikan hasil yang memuaskan. Narkotik( kecuali kodein yang
memiliki efek yang lebih keci) harus di hindari jika masih mungkin karena
obat-obat tersebut dapat menekan pernapasan dan mempunyai efek samping
terhadap saluran pencernaan
8. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang mengingat, keterbatasan
kognitif
Tujuan/kriteria hasil :
Pasien tidak bertanya-tanya tentang penyakitnya
Intervensi : Mandiri
a. tentukan pengetahuan pasien dan kemampuan untuk berperan serta dalam
proses rehabilitasi
R/ : mempengaruhi pilihan terhadp intervensi yang akan di lakukan
b. tinjau kemmali pengetahuan pasien tentang penyakit dan prognosisnya
R/ : pengetahuan dasar merupakan suatu hal yang penting untuk membuat
pilihan informasi dan berpatisipasi dalam upya rehabilitasi
c. anjurkan untuk mengungkapkan apa yang di alami, bersosialisasi dan
meningkatkan kemandiriannya
R/ : meningkatkan kembali pada perasaan normal dan perkembangan
hidupnya pada situasi yang ada
d. identifikasi tindakan yang aman untuk menemukan defeswit sensori-motorik
secara individual
R/ : menurunkan resiko terjadinya trauma/ menurukan resiko komplikasi
yang sebenarnya masih dapat di cegah
DAFTAR PUSTAKA

Doengoes,Mailynn E. (2012) . Rencana Asuhan Keperwatan.. Penerbit Buku


kedokteran EGC. Jakarta

Muttaqin, Arif. (2012). Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan


Sistem Persarafan. Penerbit Salemba Medika. Jakarta

Muttaqin, Arif. (2012). Buku Ajar Asuhan Keperwatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Penerbit salemba medika. Jakarta

Wilkinson, Judith M.(2012).Buku Saku Diagnosa keperwatan NANDA NIC NOC.Edisi


9. Penerbit Buku Kedokteran EGC.Jakarta

Kementrian Kesehatan Republik Indonesi . 2011. Guillain Barre Sindrom . (online).


(www.depkes.go.id,diakses diakses pada tanggal 21 September 2014)

The WHO Weekly Epidemiological Record. 2018. Global Advisory Committee on


Vaccine Safety, 12-13 December 2017.(online).(www.who.int diakses pada
tanggal 12 Januari 2020)
Gambar tentang sistem saraf

Anda mungkin juga menyukai