Anda di halaman 1dari 12

TAKE HOME EXAM

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas


Bioetik dan Medicolegal

Dosen Pengampu:
drg. Harry Pudjo Nugroho., SH., MH.Kes

Disusun oleh:
INTAN RACHMAWATI (18.C2.0064)

PROGRAM PASCA SARJANA HUKUM KESEHATAN


UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
TAHUN 2019
PEMAHAMAN :
1. Jelaskan pengertian tentang Bioetika sesuai pemahaman yang telah Saudara
miliki!
Bioetika berasal dari kata bios yang berati kehidupan dan ethos yang berarti
norma-norma atau nilai-nilai moral. Bioetika merupakan studi interdisipliner
tentang masalah yang ditimbulkan oleh perkembangan di bidang biologi dan ilmu
kedokteran baik skala mikro maupun makro, masa kini dan masa mendatang.
Bioetika mencakup isu-isu sosial, agama, ekonomi, dan hukum bahkan politik.
Bioetika mencakup abortus, euthanasia, transplantasi organ, teknologi reproduksi
butan, rekayasa genetik, membahas pula masalah kesehatan, faktor budaya yang
berperan dalam lingkup kesehatan masyarakat, hak pasien, moralitas
penyembuhan tradisional, lingkungan kerja, demografi, penelitian kesehatan pada
manusia dan hewan percobaan.
Prinsip-prinsip Dasar Bioetika :
Konsil Kedokteran Indonesia, dengan mengadopsi prinsip etika kedokteran barat,
menetapkan bahwa, praktik kedokteran Indonesia mengacu kepada kepada 4
kaidah dasar moral yang sering juga disebut kaidah dasar etika kedokteran atau
bioetika, antara lain:

 Beneficence
 Non-malficence
 Justice
 Autonomy
1. Beneficence
Dalam arti prinsip bahwa seorang dokter berbuat baik, menghormati martabat
manusia, dokter tersebut juga harus mengusahakan agar pasiennya dirawat
dalam keadaan kesehatan. Dalam suatu prinsip ini dikatakan bahwa perlunya
perlakuan yang terbaik bagi pasien. Beneficence membawa arti menyediakan
kemudahan dan kesenangan kepada pasien mengambil langkah positif untuk
memaksimalisasi akibat baik daripada hal yang buruk. Ciri-ciri prinsip ini,
yaitu;

 Mengutamakan Alturisme
 Memandang pasien atau keluarga bukanlah suatu tindakan tidak hanya
menguntungkan seorang dokter
 Mengusahakan agar kebaikan atau manfaatnya lebih banyak dibandingkan
dengan suatu keburukannya
 Menjamin kehidupan baik-minimal manusia
 Memaksimalisasi hak-hak pasien secara keseluruhan
 Meenerapkan Golden Rule Principle, yaitu melakukan hal yang baik seperti
yang orang lain inginkan
 Memberi suatu resep
2. Non-malficence

Non-malficence adalah suatu prinsip yang mana seorang dokter tidak


melakukan perbuatan yang memperburuk pasien dan memilih pengobatan
yang paling kecil resikonya bagi pasien sendiri. Pernyataan kuno Fist, do no
harm, tetap berlaku dan harus diikuti. Non-malficence mempunyai ciri-ciri:
 Menolong pasien emergensi
 Mengobati pasien yang luka
 Tidak membunuh pasien
 Tidak memandang pasien sebagai objek
 Melindungi pasien dari serangan
 Manfaat pasien lebih banyak daripada kerugian dokter
 Tidak membahayakan pasien karena kelalaian
 Tidak melakukan White Collar Crime
3. Justice

Keadilan (Justice) adalah suatu prinsip dimana seorang dokter


memperlakukan sama rata dan adil terhadap untuk kebahagiaan dan
kenyamanan pasien tersebut. Perbedaan tingkat ekonomi, pandangan politik,
agama, kebangsaan, perbedaan kedudukan sosial, kebangsaan, dan
kewarganegaraan tidak dapat mengubah sikap dokter terhadap pasiennya.
Justice mempunyai ciri-ciri :

 Memberlakukan segala sesuatu secara universal


 Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan
 Menghargai hak sehat pasien
 Menghargai hak hukum pasien
4. Autonomy

Dalam prinsip ini seorang dokter menghormati martabat manusia. Setiap


individu harus diperlakukan sebagai manusia yang mempunyai hak
menentukan nasib diri sendiri. Dalam hal ini pasien diberi hak untuk berfikir
secara logis dan membuat keputusan sendiri. Autonomy bermaksud
menghendaki, menyetujui, membenarkan, membela, dan membiarkan pasien
demi dirinya sendiri. Autonomy mempunyai ciri-ciri:

 Menghargai hak menentukan nasib sendiri


 Berterus terang menghargai privasi
 Menjaga rahasia pasien
 Melaksanakan Informed Consent

2. Jelaskan menurut pemahaman yang telah Saudara miliki terkait dengan


beberapa hal di bawah ini!
a. Persamaan dan Perbedaan antara etika dan etiket
ETIKA ETIKET
1. Menetapkan a. Menetapkan cara
norma melakukan
perbuatan, perbuatan,
apakah boleh menunjukkan cara
dilakukan atau yang tepat, baik, dan
tidak, misal : benar sesuai dengan
masuk rumah yang diharapkan
orang tanpa izin
2. Berlaku tidak b. Berlaku hanya dalam
bergantung pada pergaulan, jika tidak ada
ada tidaknya orang lain etiket tidak
orang lain, misal berlaku.
larangan
mencuri selalu
berlaku, baik ada
atau tidak ada
orang lain
3. Bersifat c. Bersifat relative, dianggap
absolute, tidak tidak sopan dalam suatu
dapat ditawar- kebudayaan dapat dianggap
tawar, misal : sopan dalam kebudayaan
jangan mencuri, lain.
jangan
membunuh
4. Memandang d. Memandang manusia dari
manusia dari segi luar (lahiriah)
segi dalam
(batiniah)

 Persamaan dan Perbedaan antara etika dan hukum :


- Persamaan :
1. Berfungsi sebagai sarana atau alat untuk mengatur tata tertib dalam masyarakat.
2. Mempelajari dan menjadikan tingkah laku manusia sebagai obyeknya.
3. Memberikan batas ruang gerak hak wewenang seseorang dalam pergaulan hidup
supaya tak saling merugikan.
4. Sumbernya dari pemikiran dan pengalaman.
5. Menggugah kesadaran manusiawi.
- Perbedaan :
1. Etika keberadaannya tidak tertulis sedangkan hukum dalam bentuk tertulis atau
terbukukan sebagai hukum negara.
2. Etika bersifat subyektif dan fleksibel, sedangkan hukum bersifat obyektif dan tegas.
3. Etika tidak memerlukan bukti fisik dalam menjatuhkan vonis, sebaliknya hukum
memerlukan bukti fisik dalam menjatuhkan vonis.
4. Etika bersifat memberikan tuntunan, sedangkan hukum bersifat menuntut.
5. Etika tidak memerlukan alat untuk menjamin pelaksanaannya, hukum memerlukan
alat penegak hukum untuk pelaksanaannya.
 Kedudukan Agama dalam pembahasan etika
Etika dan agama adalah dua hal yang tidak harus dipertentangkan. Antara
etika dan agama adalah dua hal yang saling membutuhkan, atau dalam bahasa
Sudiarja “agama dan etika saling melengkapi satu sama lain”. Agama membutuhkan
etika untuk secara kritis melihat tindakan moral yang mungkin tidak rasional.
Sedangkan etika sendiri membutuhkan agama agar manusia tidak mengabaikan
kepekaan rasa dalam dirinya. Etika menjadi berbahaya ketika memutlakan racio,
karena racio bisa merelatifkan segala tindakan moral yang dilihatnya termasuk
tindakan moral yang ada pada agama tertentu.
Hubungan etika dan agama akan membuat keseimbangan, di mana agama bisa
membantu etika untuk tidak bertindak hanya berdasarkan racio dan melupakan
kepekaan rasa dalam diri manusia, pun etika dapat membantu agama untuk melihat
secara kritis dan rasional tindakan –tindakan moral. Bahwa kepelbagaian agama
adalah salah satu hal yang membuat kita juga menjadi sadar betapa pentingnya etika
dalam kehidupan manusia. Tidak dapat kita bayangkan bagaimana kehidupan manusia
yang berbeda agama tanpa etika di dalamnya. Kebenaran mungkin justru akan
menjadi sangat relatif, karena kebenaran moral hanya akan diukur dalam pandangan
agama kita. Diluar agama kita maka tidak ada kebenaran. Etika dapat dikatakan telah
menjadi jembatan untuk mencoba menghubungkan dan mendialogkan antara agama-
agama.
Etika secara filosofis menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan
agama-agama, khusunya bagi negara-negara yang majemuk seperti Indonesia. Etika
secara rasional membantu kita mampu untuk memahami dan secara kritis melihat
tindakan moral agama tertentu. Kita tidak mungkin menggunakan doktrin agama kita
untuk melihat dan menganalisis agama tertentu. Sebuah pertanyaan menarik akan
muncul, jika sekiranya agama hanya satu apakah dengan demikian etika tidak lagi
dibutuhkan? Karena agama tersebut akan menjadi moral yang mutlak dalam
kehidupan manusia. Kalau kita tetap memahami bahwa etika hadir untuk secara
rasional membantu manusia memahami tindakan moral yang dibuatnya, maka tentu
etika tetap menjadi penting dalam kehidupan manusia. Karena etika tidak akan terikat
pada apakah agama ada atau tidak etika akan tetap ada dalam hidup manusia selama
manusia masih menggunakan akal sehatnya dan racionya dalam kehidupannya.
Sekalipun manusia menjadi ateis, etika tetaplah dibutuhkan oleh mereka yang tidak
mengenal agama.
Etika tanpa agama adalah kering, sebaliknya agama tanpa etika hambar. Bahwa
manusia tidak hanya diciptakan sebagai mahluk rasional, tetapi melekat dalam dirinya
mahluk religius yang membuat dia mampu berefleksi terhadap kehidupannya. Karena
itu agama akan membantu manusia untuk bertindak tidak hanya berdasarkan rasionya
tetapi juga berdasarkan rasa yang ada dalam dirinya. Satu kesatuan antara rasio dan
rasa yang melekat dalam diri manusia. Manusia bukanlah mahluk egois yang harus
mengandalkan rasionya semata-mata.
3. Bekal ilmu untuk memahami Bioetika sebagai cabang dari etika terapan
adalah aliran-aliran berpikir etika. Terdapat 3 aliran berpikir etika yang
berpengaruh pada pembahasan Bioetika, yaitu etika utilitarianism,
deontology, dan virtue. Jelaskan menurut pemahaman saudara, masing-
masing aliran berpikir tersebut!
a. Utilitarianism
Suatu tindakan dapat dibenarkan secara moral apabila akibat-akibatnya
menunjang kebahagiaan sebanyak mungkin orang yang bersangkutan
dengan sebaik mungkin. Benar tidaknya sebuah tindakan tergantung
pada tujuan/kegunaan (Utility) dari tindakan itu, yakni apakah
perbuatan itu menunjang kebahagiaan umum atau tidak. Prinsip
kebahagiaan terbesar haruslah mencakup semua orang yang terkena
dampak tindakan itu, jadi bukanlah kebahagiaan diri yang dikejar
tetapi kebahagiaan semua orang. Manusia ingin mewujudkan
keinginan akan kebahagiaan melalui perbuatannya, maka utility atau
“the greatest happiness principle” harus dijadikan standard moralitas
akan tetapi di sini penting bahwa moral agent harus "disinterested and
benevolent spectator" terhadap kebahagiaan dirinya sendiri jika
dibandingkan dengan kebahagiaan orang lain
b. Deontology
Deontologi berasal dari kata Yunani deon yang berarti
‘kewajiban’. Menurut Imanuel Kant pandangan ini mengatakan:
‘perbuatan adalah baik secara moral jika dilakukan karena kewajiban
dan perbuatan adalah jelek secara moral jika melakukan apa yang
dilarang’.
Menurut pandangan deontology, tujuan tidak boleh
menghalalkan segala cara. Pandangan ini cocok dengan pandangan
moralitas bagi kebanyakan agama.
William David Ross (1877-1971), filsuf Inggris ini secara garis
besar menyetujui pemikiran etika kewajiban dari Kant, tetapi
menurutnya ‘kewajiban’ disini selalu merupakan kewajiban yang
prima facie, artinya bersifat sementara, sehingga bisa saja dikalahkan
oleh kewajiban lain yang dinilai lebih penting lagi.
Beberapa kontroversi tentang aborsi, eutanasia dan penelitian tentang
sel induk embrionik (yang berimplikasi menghancurkan embrio muda)
tidak lebih dari perdebatan antara utilitarian dan deontologi, tetapi
mendapat jalan keluar dari teori kewajiban prima facie ini.
Prinsip deontologist menilai bahwa selain manfaat / kebaikan
dari suatu perbuatan, perbuatan itu sendiri memiliki nilai baik atau
buruk. Deontologist hanya menilai suatu perbuatan berdasarkan nilai
dari perbuatan tersebut. Sehingga apapun konsekuensi atau manfaat
dari perbuatan mencuri, deontologist menilai bahwa mencuri adalah
perbuatan buruk, karena mencuri memiliki nilai buruk. Begitu juga
dengan membunuh, berbohong, dsb. Deontologist memiliki prinsip
yang dinilai baik, seperti : kejujuran, terpercaya, mencegah
pembunuhan, autonomi, dan keadilan.
c. Virtue
Virtue menilai suatu perbuatan sebagai buruk (tidak boleh
dilakukan) atau baik (boleh dilakukan) berdasarkan contoh yang
diperlihatkan oleh agen moral (manusia) yang dianggap memiliki
moralitas yang tinggi.
4. Kasus 1
Setelah menyelesaikan penelitian yang melibatkan pengumpulan jaringan dari
subjek, seorang peneliti ingin melakukan analisis tambahan dari sampel jaringan
yang telah diarsipkan. Analisis tambahan ini tidak secara eksplisit dinyatakan
dalam bentuk persetujuan (informed consent penelitian) diawal penelitian lalu.
Pertanyaan : Haruskah peneliti harus meminta persetujuan baru dari subjek
penelitian yang memiliki jaringan tersebut.
Jawab :
Peneliti harus meminta persetujuan baru dari subjek peneliti yang memiliki
jaringan tersebut.
1. Definisi Informed Consent :
“Hak untuk menentukan diri sendiri, kebebasan untuk mengambil keputusan
oleh pasien yang kompeten, dokter sudah memberikan informasi dan
sebaliknya pasien sudah memahami informasi tersebut, pasien juga
mempunyai kebebasan untuk menolak tindakan / terapi yang direncanakan
dokter dengan segala risikonya “ (WMA Declaration on the Rights of the
Patients)
“Kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan
dokter terhadap dirinya, setelah pasien mendapatkan informasi dari dokter
mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya, disertai
informasi mengenai segala risiko yang mungkin terjadi” (Komalawati)
2. Tujuan Informed Consent :
1. Menghormati martabat manusia
• Melindungi otonomi pasien
• Keikutsertaan pasien adalah hal yang esensial dalam playanan
kesehatan
• Patient is your partner in curing (Concent: Patients and Doctors
Making Decisions Together, General Medical Council)
2. Melindungi dari Penipuan dan Pemaksaan
• Membangun kepercayaan antara dokter dengan pasien, mencegah
pemaksaan kehendak dari dokter (Autonomy And Trust In Bioethics, Onora
O’Neill)
• Dokter dan pasien tahu persis apa yang menjadi hak dan kewajiban
masing-masing
3. Legal Act
• “Melukai dengan ijin”
• Primum non nocere

3. Elemen Informed Consent :


1. Hak informasi
 Berhak memperoleh informasi tentang penyakit dan tindakan yang
akan diperolehnya
2. Hak menentukan nasib sendiri
Berhak menyetujui atau menolak pengobatan atau tindakan yang akan
diterimanya
3. Hak memperoleh pelayanan kesehatan
 Berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu sesuai dg
standar pelayanan
5. Kompetensi:
Kompetensi Px: bila px tidak kompeten maka harus diwakili oleh seorang wali.
Px bisa mengambil dasar-dasar yg rasional atas keputusannya
Sanggup mengerti prosedur mempertimbangkan resiko, manfaat, dan
mengamil keputusannya dalam terang penngetahuannya, nilai-nilai dan tujuan-
tujuan pribadinya.
Dokter diharapkan mengerti gejala kejiwaan Px, apabila Px terdeteksi depresi
sebaiknya kompetensi px dikurangi dan dialihkan atau ditambahkan keluarga
untuk memperkuat informed concent
Penolakkan px bukan berarti px tdk kompeten, krn mungkin ada nilai2 pribadi yg
dipegang oleh pasien.
6. Kebebasan:
Menjadi prasyarat sahnya persetujuan atau penolakan px
Patut diingat bahwa mns hidup dalam lingkungan sosial, shg setiap keputusan
pasti dipengaruhi oleh banyak hal, tetapi bukan berarti px tdk bebas
Secara positif dr/RS harus mempromosikan kebebasan px tersebut
7. Informasi:
Informasi sebagai point mutlak bagi px sebelum memutuskan
hubungan dr dengan px masih menganut hubungan paternalistik sehingga dr
sebagai ‘bapak’ mengetahui yg terbaik bagi ‘anaknya’
hubungan perjanjian antara dr dan px bukan hubungan perjanjian yg setara
informasi harus diberikan oleh dr yang mengerjakan/melakukan ikatan perjanjian
dengan px (atau delegasi ke dr lain yg kompeten)
seseorang yg tidak terlibat dalam hubungan perikatan tdk dapat dimintai
pertanggungjawaban
8. Rekomendasi oleh dokter :
Menurut Beauchamp dan Childress ada perbedaan antara memberikan informasi
dan rekomendasi. Sesuai dengan doktrin ‘father knows the best’ maka dr tdk
hanya dituntut untuk memberikan informasi semata. Perlu diingat rekomendasi
tdk menghilangkan kebebasan pemeriksaan.
9. Pemahaman oleh pasien:
Hubungan paternalistik memberikan kewajiban dr untuk merekomendasikan dan
memberikan informasi sampai px paham. Pemeriksa yg paham memberikan
modal untuk memberikan keputusan. Tingkat pengetahuan pemeriksa bervariasi
sehingga upaya dr dalam menjelaskan tdk bisa dituntut dalam konteks hasil, tetapi
dalam konteks upaya maksimal. ‘ketidakmungkinan px mengerti’ tdk dapat
menjadi pembenar bagi dr untuk menahan informasi. Perlu penekanan bahwa px
juga mendapatkan hak second opinion untuk mencapai pemahaman yg lebih
lengkap (tdk ada salahnya dr memberitahu px, hak second opinionnya). Perlu
kedewasaan dan sikap ilmiah, menghilangkan ego karena prinsipnya adalah
patient safety.
10. Keputusan:
Hasil akhir dari informed concent adalah keputusan konkret dari px/keluarga
adakalanya berlaku ‘a shared decision making’ pasien bersama dokternya. Tetapi
tetap keputusannya adalah hak dan kewajiban px prinsip ini sangat membutuhkan
hubungan yang didasarkan atas rasa percaya satu dengan lain. Keputusan
penolakan px harus merupakan ‘informed refusal’. Penolakan tidak memenuhi
syarat bila pada kenyataannya ia menolak tindak medis karena ketidak tahuannya.
11. Otorisasi:
Keputusan px yang menyetujui, memberikan dasar kuat bagi dr yang
memberikan informasi untuk melakukan tindakan kedokteran. Jika dr yg
memberikan informasi bukan dr yg akan mengerjakan maka dr yg memberikan
informasi untuk menginformasikan siapa dr yg akan mengerjakan. Otorisasi dari
px melekat pada subyek hukum tertentu.

Kesimpulan :
Dalam tindakan medis apapun harus ada informed consent. Dalam
pelaksanaan informed consent, harus detail dalam memberi infomasi kepada
pasien yang kompeten sebelum pasien tersebut menyetujui. Mulai dari edukasi
tentang penyakit yg dialami pasien, tindakan apa yang akan dilakukan, prosedur
tindakan seperti apa, alternative tindakan, sampai ke prognosis. Pastikan pasien
sudah mendapatkan informasi selengkap mungkin. Jadi untuk kasus ini, peneliti
harus tetap membuat informed consent baru karena tindakan berbeda. Pasien
berhak tahu secara detail tindakan atau pemeriksaan apa saja yang dilakukan
padanya.

Anda mungkin juga menyukai