Anda di halaman 1dari 32

Laporan Kasus

G3P2A0H2 GRAVID 28-29 MINGGU + BELUM INPARTU


DENGAN PEB SUPERIMPOSED DAN PARTIAL HELLP
SYNDROME + JTHIU PRESENTASI KEPALA

Disusun Oleh:

GINA WINAHYU
LISKHAIRIA ABIDIN
MUHAMMAD ARIEF BUDIMAN
NADILLA HESDA PUTRI
RAHMA DILLA
R.DWI JLLY RAHAYU
RANI RINDANG KASIH
RIZKHA MEILIA TANIKA
SUCI ISMA PUTRI
SYSCA PRIASTIWI
WISNITA NOPRIA PUTRI
YEGI ESTU RISUNANG

Pembimbing:
dr.Syukri Delam, Sp.OG
dr. Febriani, Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD
PEKANBARU
2019

1
BAB I
PENDAHULUAN

Hipertensi Dalam Kehamilan (HDK), telah diklasifikasikan sebagai sub


tipe toksemia dalam kehamilan yang terdiri dari beberapa gejala diantaranya
adalah hipertesi, proteinuria dan edema.1 HDK khususnya preeklamsia adalah
hipertensi yang timbul setelah usia kehamilan 20 minggu atau lebih dengan
disertai proteinuria. Sedangkan pada Preeklamsia Berat (PEB) didefinisikan
sebaagai preeklamsia dengan tekanan darah sistolik ≥160 mmHg dan tekanan
darah diastolik ≥110 mmHg disertai proteinuria lebih 5 g/24 jam. Eklampsia
adalah preeklampsia yang disertai kejang dan atau koma yang timbul akibat
kelainan neurologi.2 Pada tahun 2009-2012, kejadian HDK, khususnya
preeklamsia dan eklamsia telah menjadi penyebab utama kematian maternal di
dunia yaitu 52,9%, perdarahan 26,5%, dan infeksi 14,7%. Sehingga preeklamsia
masih menjadi masalah dalam pelayanan obstetri di Indonesia.3
Penyebab HDK hingga saat ini belum diketahui secara pasti, namun
banyak teori yang menjelaskan tentang patofisiologi HDK yang dipengaruhi oleh
multifaktorial. Diantaranya adalah kelainan vaskularisasi plasenta, iskemia
plasenta, intoleransi imunologik ibu dan janin, adaptasi kardiovaskular genetik,
defisiensi gizi dan inflamasi.2 Tanda-tanda preeklamsia sebagai suatu proses
patologis yang perlu diperhatikan pada sistem target maternal yang spesifik yaitu
sistem arteri, hepar, ginjal dan sistem koagulasi. Hal ini dikarenakan pada PEB
dapat ditemukan beberapa gejala yang disebut dengan sindroma HELLP, yang
merupakan singkatan dari Haemolysis, Elevated Liver enzymes, dan Low Platelet
count.2 Bersamaan dengan preeklamsia, sindroma HELLP adalah penyebab
morbiditas dan mortalitas tertinggi pada ibu hamil didunia. Sindroma HELLP
biasanya berkembang secara tiba-tiba dalam kehamilan 27-37 minggu atau pada
masa nifas. Sekitar 10-20% pasien dengan PEB akan berkembang menjadi
sindroma HELLP.4
Berikut ini akan disampaikan kasus tentang seorang pasien yang sedang
hamil datang ke IGD RSUD Arifin Achmad dengan keluhan nyeri diulu hati.
Pasien didiagnosa PEB dengan sindroma HELLP. Kondisi ini merupakan suatu

2
kegawadaruratan, sehingga perlu dilakukan investigasi serta tindakan awal
sebagai dokter umum dipelayan kesehatan pada tingkat primer, sehingga inilah
yang menjadi latar belakang kami untuk mengangkat topik ini sebagai bahan
laporan kasus Obstetri.

3
BAB II
ILUSTRASI KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. Leni Wardana
Umur : 36 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Suku : Minang
Status : Menikah
Alamat : Jl. Harapan Jaya Lembah Damai Rumbai
No RM : 999654
Masuk RS tanggal 22 Oktober 2019 pukul 22.00 WIB

2.2 Anamnesis
Anamnesis (dilakukan tanggal 22 Oktober 2019 secara autoanamnesis)
Keluhan utama :
Pasien mengeluhkan nyeri ulu hati
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien mengeluhkan nyeri ulu hati sejak 7 jam SMRS. Nyeri dirasakan
seperti ditusuk dan dirasakan terus menerus. Nyeri kepala disertai pandangan
kabur (-). Pandangan berputar tidak ada, mual muntah (-),demam (-),kejang (-).
Pasien juga mengeluhkan bengkak kedua tungkai. Keluar air-air (-),keluar lender
bercampur darah (-), nyeri perut menjalar ke ari-ari(-) dan BAK pasien dalam
batas normal.
Pasien mengaku hamil 6 bulan, dengan HPHT pada tanggal 15 April 2019,
TP 20 Januari 2020 dan selama kehamilan pasien kontrol kehamilan ke bidan 4
kali danke dokter kandungan 2 kali. Telah dilakukan pemeriksaan USG 2 kali.

4
Riwayat hamil muda :
Mual (+) muntah (-) tidak mengganggu aktivitas. BB naik 1 kg/bulan. Vaksin (-).
Keputihan (-)
Riwayat hamil tua :
Mual (-) muntah (-) perdarahan jalan lahir (-). Keputihan (-). Sakit kepala (+)
ANC :
Pasien kontrol ke bidan 4 kali dan 2 kali ke dokter kebidanan selama kehamilan.
Riwayat makan obat :
Minum vitamin dan suplemen selama kehamilan (+).
Riwayat penyakit dahulu :
Hipertensi (+) selama 5 tahun dan berobat ke dokter penyakit dalam, DM (-),
asma (-), penyakit jantung (-), alergi (-).
Riwayat penyakit keluarga :
Hipertensi (+) ibu pasien, DM (-), asma (-), penyakit jantung (+), alergi (-).
Riwayat haid :
Menarche usia 12 tahun, siklus haid teratur 28 hari, lama 6-7 hari,ganti pembalut
2-3x/hari, nyeri (-).
Riwayat perkawinan :
Menikah satu kali, tahun 2001 (usia 19 tahun).
Riwayat persalinan :
G3P2A0H2
1. 2002, laki-laki, aterm, lahir normal di bidan, BBL 2900 gr, sehat
2. 2012, perempuan, aterm, lahir normal di bidan, BBL 2400 gr,sehat
3. Hamil saat ini
Riwayat pemakaian kontrasepsi :
- KB suntik 3 bulan selama 1 tahun
Riwayat operasi sebelumnya :
- Tidak ada
Riwayat sosial ekonomi :
- Pasien seorang ibu rumah tangga

5
2.3 Pemeriksaan Fisik (22/10/2019)
2.3.1 Status generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis (GCS : 15)
TD : 210/110mmHg
Nadi : 80 kali
Napas : 20 kali
Suhu : 36,80C
BB : 82 kg
TB : 147 cm
Gizi : 20,70 (normoweight)

Kepala : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),


edema palpebra (-/-)
Thoraks : Paru  Gerakan dinding dada simetris, suara napas
vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung  BJ 1 dan 2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Status ginekologis
Genitalia : Status ginekologis
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 detik, edema (+/+), ekimosis (-/-),
purpura (-/-)

2.3.2 Status ginekologi


Mammae : Dalam batas normal
Aksilla : Pembesaran KGB (-)
Abdomen :
Inspeksi  Perut tampak membuncit sesuai usia kehamilan
Palpasi 
LI : TFU 2 jari diatas pusat.
Teraba masa bulat lunak tidak melenting
LII : Teraba tahanan memanjang disisi kari ibu
LIII : Teraba masa bulat keras melenting

6
LIV : Konvergen (5/5)

TFU : 19 cm TBA : 930 gram HIS : (-)


DJJ 100 x/i teratur

Genitalia eksterna:
 Inspeksi : Vulva/uretra tenang, perdarahan aktif (-)
Genitalia interna / Pemeriksaan dalam: Tidak dilakukan.
Rectal Toucher : Tidak dilakukan

2.4 Pemeriksaan Laboratorium


Darah rutin (22/10/2019)
Hb : 14,3 gr/dl
Ht : 44,4 %
Leukosit : 20.920 /ul
Trombosit : 157.000/ul
MCH : 25,2 pg
MCV : 78,2 fl
MCHC : 32,2g/dl
Kimia darah (22/10/2019)
Glukosa : 101 mg/dL
Ureum : 13 mg/dl
Kreatinin : 0,59 mg/dl
AST : 313U/L
ALT : 232 U/L
Albumin : 3,5 g/dl
HBsAg : Non reaktif

Urinalisa
Protein urine +2

7
2.5 Diagnosis Kerja
G3P2A0H2 gravid 28-29 minggu, belum inpartu, PEB Superimposed
dengan impending eklampsia, partial Hellp Syndrome, janin tunggal hidup
intrauterin presentasi kepala.
2.6 Usulan Pemeriksaan Penunjang
 USG

USG VK UGD 22/10/19


Janin tunggal hidup intra uterin
• FM (+), FHR (+)
• Biometri :

BPD : 6,89 cm, HC : 24,94 cm,


AC : 20,08 cm, FL : 5,35 cm
• EFW 996,51 gr
• Plasenta implantasi di corpus posterior

8
• Air ketuban cukup, MVP anterior 3,00 cm
Kesan: janin tunggal hidup intrauterin, gravid 28-29 minggu sesuai biometri
2.7 Diagnosis
G3P2A0H2 gravid 28-29 minggu, belum inpartu, PEB Superimposed dengan
impending eklampsia, partial Hellp Syndrome, janin tunggal hidup intrauterin
presentasi kepala.

2.8 Tata Laksana


1. Observasi KU, TTV, perdarahan, tanda-tanda infeksi
2. IVFD RL + MgSO4 40% 2 gr/jam
3. Inj.dexametason 10 mg 1 kali pemberian
4. Metildopa 3 x 500 mg
5. Nifedipin tablet 3x10 mg
6. Cek ulang protein urin, SGOT, SGPT
7. Konsul Fetomaternal, Advice: besok pagi cek ulang SGOT, SGPT,
kreatinin

2.9 Rencana : Pasien rawat teratai 2

2.10 Prognosis : Dubia ad bonam

9
Follow up Pre Op
Tgl/
Perjalanan Penyakit Tata Laksana
Jam
23 S: nyeri ulu hati (+)nyeri kepala (-), Pandangan kabur Observasi KU, TTV,
Okto (-), mual (-), muntah (-), Keluar air-air (-), Kontraksi Kontraksi.
ber (-), BAB dan BAK tidak ada keluhan Regimen MgSO4 2gr/jam
2019 O : Keadaan umum: TSS, kesadaran: kompos mentis Inj.dexametason 6gr/12 jam
07.00 TD : 150/100 mmHg N : 96x/I RR : 24x/I S : Nifedipin tablet 3x10 mg
WIB 36,70C djj : 140 dpm, urin 200 cc Dopamet 3x500 mg
St. Generalis: Edema Tungkai (-/-) Konsul Fetomaternal
St. Obstetri: Perut tampak membuncit sesuai usia R/ Cek DPL + Proteinuria
kehamilan ulang
L1 : TFU 2 jari diatas pusat, teraba massa bulat, Rencana terminasi
lunak, tidak melenting
L2 : Teraba tahanan memanjang di sisi kanan ibu
L3 : Teraba massa bulat, keras, melenting.
L4 : konvergen 5/5
Proteinuria (+2), Refleks patella (+)
Cek ulang fungsi hati dan fungsi ginjal.
Hasil (-)
A: G3P2A0H2 gravid 28-29 minggu + belum inpartu
+ PEB + HELLP syndrome + Janin tunggal hidup
intra uterin + presentasi kepala.
23 S: nyeri ulu hati (+)nyeri kepala (-), Pandangan kabur Konsul dokter konsultan
Okto (-), mual (-), muntah (-), Keluar air-air (-), Kontraksi fetomaternal, rencana
ber (-), BAB dan BAK tidak ada keluhan terminasi. Dari konsulen
2019 O : Keadaan umum: TSS, kesadaran: kompos mentis VK ruangan ACC terminasi,
10.45 TD : 150/100 mmHg N : 96x/I RR : 24x/I S : rencana histerotomy.
WIB 36,70C djj : 140 dpm, urin 200 cc Persiapan operasi cito.
Hasil laboratorium:
SGOT: 354 u/L
SGPT : 244 u/L

10
Trombosit: 125.000 u/L
A: G3P2A0H2 gravid 28-29 minggu + belum
inpartu + PEB + HELLP syndrome + Janin tunggal
hidup intra uterin + presentasi kepala.

Laporan Operasi

TANGGAL DAN WAKTU RUANG KELAS


23 Oktober 2019 Jam 12.30 WIB OK IGD
2.9 DIAGNOSIS PRA OPERASI :G3P2A0H2 gravid 28-29 minggu + belum inpartu
+ PEB + HELLP syndrome + Janin tunggal hidup intra uterin + presentasi kepala.
DIAGNOSIS PASCA OPERASI : P3A0H3 post histerotomy a/I HELLP Syndrome
JARINGAN YANG DIEKSISI/ INSISI : Uterus
DIKIRIM UNTUK PEMERIKSAAN : Tidak
NAMA JENIS OPERASI : histerotomy dengan penyulit
TANGGAL JAM OPERASI LAMA ANESTESI BERLANGSUNG
OPERASI 12.30 WIB s/d 1 Jam
23 November 2018 13.30 WIB
1. Pasien terlentang diatas meja operasi dalam spinal anastesi.
2. Asepsis dan antisepsis daerah operasi dan sekitarnya.
3. Dipasang duk steril.
4. Dilakukan insisi abdomen atas perut-simphisis + 5cm, setelah pfannienstiel
dibuka tampak uterus gravida.
5. Setelah perut membuka dilakukan insisi horizontal pada dinding uterus, dilebarkan
secara tumpul, tampak selaput ketuban, selaput ketuban dipecahkan, keluar cairan
ketuban warna jernih, jumlah cukup.
6. Dengan meluksir, lahir bayi laki-laki, BB 650 gram, PB 28 cm, A/S 4/6. Plasenta
dan selaput kotiledon lahir lengkap.
7. Uterus dilukar keluar rongga abdomen, cavum uterus dibersihkan dari sisa selaput
ketuban.
8. Dilakukan penyatuan miometrium dengan penjahitan.

11
9. Tindakan selesai
Telah lahir bayi laki-laki dengan berat 650 gram, PB 28 cm, AS 4/6, bayi dirawat
dirawat di perinatologi.
INSTRUKSI PERAWATAN PASCA OPERASI
1. IVFD D5 : RL 1:1
2. IVFD RL + drip MgSO4 40% 2 gram sampai 24 jam post op.
3. Inj Cefazoline 2 x 1gr (selama 2x pemberian)
4. Inj Dexamethasone 3 x 1 amp (selama 2 hari)
5. Paracetamol tab 3 x 500 mg
6. Metildopa 3 x 250 mg (jika TD ≥140/90 mmHg)
7. Metildopa 3 x 500 mg (jika TD ≥150/90 mmHg)
8. Cek DPL post op
9. Mobilisasi bertahap.
Observasi Kala IV
Jam TD HR RR T Urin Perdarahan TFU
2 jari di bawah
13.50 180/110 100 20 36,6 - Minimal
pusat
2 jari di bawah
14.05 180/100 105 20 36,7 - Minimal
pusat
2 jari di bawah
14.20 180/110 100 20 36,6 - Minimal
pusat
2 jari di bawah
14.50 185/110 116 20 36,8 - Minimal
pusat
2 jari di bawah
15.20 178/110 114 20 36,9 - Minimal
pusat

Follow up Post Operasi


Tanggal/ Perjalanan Penyakit Terapi
Jam
24Oktob S: Nyeri di daerah bekas operasi (+), Pandangan Observasi KU, TTV,
er 2019 kabur (-), Nyeri Kepala (-), demam (-) Kontraksi, perdarahan.
07.00 O : Keadaan umum: baik, kesadaran: kompos IVFD D5 : RL 1:1 20tpm

12
WIB mentis Inj. Cefadroxil 2x500 mg
TD : 160/100 mmHg , N : 104x/I RR : 20x/I S : Inj. Dexametasone 3x1 amp
36,70C PCT tab 3x500 mg
St. Generalis: dalam batas normal Metildopa 3x500 mg
St. Obstetri: Metronidazole drip 2x500
B : Asi (+), bengkak (-) mg
U : TFU 3 jari dibawah pusat
B : BAK (+), BAB (-)
B : BU (+)
L : Lochia Rubra
E : Episiotomi (-), luka operasi (+)  Infeksi (-)
Genitalia eksterna:
vulva / muara uretra tenang, perdarahan aktif (-),
lokia nibra (+)
A: P3A0H3 post histerotomy a/I HELLP
SyndromePOD 1
25Oktob S: Nyeri di daerah bekas operasi (+), Pandangan Observasi KU, TTV,
er 2019 kabur (-), Nyeri Kepala (-), demam (-) Kontraksi, perdarahan.
07.00 O : Keadaan umum: baik, kesadaran: kompos IVFD D5 : RL 1:1 20tpm
WIB mentis Inj. Cefadroxil 2x500 mg
TD : 160/100 mmHg , N : 86x/I RR : 20x/I S : Inj. Dexametasone 3x1 amp
36,30C PCT tab 3x500 mg
St. Generalis: dalam batas normal Metildopa 3x500 mg
St. Obstetri: Metronidazole drip 2x500
B : Asi (-), bengkak (-) mg
U : TFU 3 jari dibawah pusat
B : BAK (+), BAB (-)
B : BU (+)
L : Lochia Rubra
E : Episiotomi (-), luka operasi (+)  Infeksi (-)
Genitalia eksterna:
vulva / muara uretra tenang, perdarahan aktif (-),

13
lokia nibra (+)
Hb/Ht/L/T : 9,6/31,0/26.100/100.000
AST/ALT: 38/64
A: P3A0H3 post histerotomy a/I HELLP
SyndromePOD 2
26Oktob S: Nyeri di daerah bekas operasi (+), Pandangan Observasi KU, TTV,
er 2019 kabur (-), Nyeri Kepala (-), demam (-), BAB (+), Kontraksi, perdarahan.
07.00 BAK (+) lewat kateter, ASI (-) IVFD D5 : RL 1:1 20tpm
WIB O : Keadaan umum: baik, kesadaran: kompos Inj. Cefadroxil 2x500 mg
mentis Inj. Dexametasone 3x1 amp
TD : 170/100 mmHg , N : 86x/I RR : 20x/I S : PCT tab 3x500 mg
36,30C Metildopa 3x500 mg
St. Generalis: dalam batas normal Metronidazole drip 2x500
St. Obstetri: mg
B : Asi (-), bengkak (-)
U : TFU 3 jari dibawah pusat
B : BAK (+), BAB (-)
B : BU (+)
L : Lochia Rubra
E : Episiotomi (-), luka operasi (+)  Infeksi (-)
Genitalia eksterna:
vulva / muara uretra tenang, perdarahan aktif (-),
lokia nibra (+)
A: P3A0H3 post histerotomy a/I HELLP
SyndromePOD 3
27Oktob S: Nyeri di daerah bekas operasi (-), Pandangan Observasi KU, TTV,
er 2019 kabur (-), Nyeri Kepala (-), demam (-), BAB (+), Kontraksi, perdarahan.
07.00 BAK (+), ASI (-) IVFD D5 : RL 1:1 20tpm
WIB O : Keadaan umum: baik, kesadaran: kompos Inj. Cefadroxil 2x500 mg
mentis Inj. Dexametasone 3x1 amp
TD : 140/90 mmHg , N : 88x/I RR : 20x/I S : PCT tab 3x500 mg
36,30C Metildopa 3x250 mg

14
St. Generalis: dalam batas normal Metronidazole drip 2x500
St. Obstetri: mg
B : Asi (+), bengkak (-)
U : TFU 3 jari dibawah pusat
B : BAK (+), BAB (-)
B : BU (+)
L : Lochia Rubra
E : Episiotomi (-), luka operasi (+)  Infeksi (-)
Genitalia eksterna:
vulva / muara uretra tenang, perdarahan aktif (-),
lokia nibra (+)
Hb/Ht/L/T : 10,7/34,8/14.730/159.000
AST/ALT: 78/110
Ure/Cre: 21,0/0,57
A: P3A0H3 post SCTPP atas indikasi PEB +
partial HELLP Syndrome + POD 4

15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Pre-eklamsia dan eklamsia merupakan kumpulan gejala yang timbul pada
ibu hamil, bersalin dan dalam masa nifas yang terdiri dari trias; hipertensi,
proteinuria, dan edema. Yang kadang-kadang disertai dengan konvulsi sampau
koma. Ibu tersebut tidak menunjukkan tanda-tanda kelainan-kelainan vascular
atau hipertensi sebelumnya.5
3.2 Epidemiologi
Di Indonesia preeklampsia berat dan eklampsia merupakan penyebab
kematian ibu yaitu berkisar 1,5 persen sampai 25 persen, sedangkan kematian
bayi antara 45 persen sampai 50 persen. Eklampsia menyebabkan 50.000
kematian/tahun di seluruh dunia, 10 persen dari total kematian maternal. Dalam
sebuah penelitian di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2007– 2009.
Angka kejadian preeklampsia/eklampsia di adalah sebanyak 3,9% dengan faktor
resiko kurangnya ANC, kehamilan primigravida, pendidikan tingkat SMA dan
kelompok ibu yang tidak bekerja.6
3.3 Etiologi
Sampai saat ini terjadinya preeklampsia belum diketahui penyebabnya,
tetapi pada yang menyatakan bahwa preeklampsia dapat terjadi pada kelompok
tertentu diantaranya yaitu ibu yang mempunyai faktor penyabab dari dalam diri
seperti umur karena bertambahnya usia juga lebih rentan untuk terjadinya
peningkatan hipertensi kronis dan menghadapi risiko lebih besar untuk menderita
hipertensi karena kehamilan, riwayat melahirkan, keturunan, riwayat kehamilan,
riwayat preeklampsia.

Penyebab pasti preeklampsia masih belum diketahui secara pasti. Menurut


Angsar (2009) beberapa faktor risiko terjadinya preeklampsia meliputi riwayat
keluarga pernah preeklampsia/eklampsia, riwayat preeklampsia sebelumnya, umur
ibu yang ekstrim (35 tahun), riwayat preeklampsia dalam keluarga, kehamilan
kembar, hipertensi kronik. Beberapa teori mencoba menjelaskan tentang etiologi
preeklampsia/ eklampsiaantara lain:7

16
1. Disfungsi endotel
2. Reaksi antigen antibodi
3. Perfusi plasenta yang adekuat
4. Perubahan reaktifitas vaskular
5. Penurunan volume intravaskular
6. Dissaminated vascular coagulation
7. Iskemia uterus
8. Faktor genetik

3.4 Faktor Risiko


1.Usia
Ibu dengan usia ≥40 tahun memiliki risiko 2 kali lipat lebih besar untuk
mengalami preeklampsia. Dari penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa
risiko preeklampsia meningkat hingga 30% setiap penambahan 1 tahun setelah ibu
mencapai usia 34 tahun. Sedangkan ibu yang hamil di usia muda cenderung tidak
mempengaruhi risiko terjadinya preeklampsia.

2. Paritas
Preeklampsia sering disebut sebagai penyakit kehamilan pertama karena
banyaknya kasus preeklampsia yang muncul pada kehamilan pertama.Sebuah
penelitian menunjukkan bahwa nuliparitas meningkatkan kemungkinan terjadinya
preeklampsia sebanyak 3 kali lipat. Sedangkan ibu yang masuk kedalam golongan
multipara adalah ibu yang sudah melahirkan lebih dari 1 kali dan tidak lebih dari 4
kali, memiliki risiko sebesar 1% untuk mengalami preeklampsia.
3. Riwayat preeklampsia sebelumnya
Ibu yang mengalami preeklampsia pada kehamilan pertamanya, akan
memiliki risiko 7 kali lipat lebih besar untuk mengalami preeklampsia pada
kehamilan berikutnya.
4. Kehamilan multipel
Ketika seorang ibu mengandung lebih dari 1 janin dalam kandungannya,
maka risiko ibu tersebut mengalami preeklampsia meningkat hampir 3 kali lipat.
Satu buah penelitian menunjukkan bahwa ibu hamil dengan 3 janin berisiko
mengalami preeklampsia 3 kali lipat lebih besar daripada ibuhamil dengan 2 janin.

17
5. Penyakit terdahulu
Jika sebelum hamil ibu sudah terdiagnosis diabetes, kemungkinan terkena
preeklampsia meningkat 4 kali lipat. Sedangkan untuk kasus hipertensi, Davies et
al mengemukakan bahwa prevalensi preeklampsia pada ibu dengan hipertensi
kronik lebih tinggi daripada ibu yang tidak menderita hipertensi kronik.
McGowan et al membandingkan luaran pada 129 ibu dengan hipertensi kronik
yang tidak mengalami preeklampsia superimposed dengan 26 ibu yang
mengalami preeklampsia superimposed. Data menunjukkan bahwa ibu yang
mengalami preeklampsia superimposed memiliki tingkat morbiditas perinatal,
bayi yang kecil untuk umur kehamilan tersebut, dan persalinan sebelum umur
kehamilan 32 minggu yang lebih tinggi. Sedangkan untuk ibu yang sebelumnya
didiagnosis dengan sindrom antifosfolipid meningkatkan risiko terjadinya
preeklampsia secara signifikan.
6. Jarak antar kehamilan
Hubungan antara risiko terjadinya preeklampsia dengan interval
kehamilan lebih signifikan dibandingkan dengan risiko yang ditimbulkan dari
pergantian pasangan seksual. Risiko pada kehamilan kedua atau ketiga secara
langsung berhubungan dengan waktu persalinan sebelumnya. Ketika intervalnya
adalah lebih dari sama dengan 10 tahun, maka risiko ibu tersebut mengalami
Preeklampsia adalah sama dengan ibu yang belum pernah melahirkan
sebelumnya.
1. Indeks masa tubuh
Penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan risiko munculnya
preeklampsia pada setiap peningkatan indeks masa tubuh. Sebuah studi kohort
mengemukakan bahwa ibu dengan indeks masa tubuh >35 memiliki risiko untuk
mengalami preeklampsia sebanyak 2 kali lipat. Sebuah studi lain yang
membandingkan risiko antara ibu dengan indeks masa tubuh rendah dan normal
menemukan bahwa risiko terjadinya preeklampsia menurun drastic pada ibu
dengan indeks masa tubuh <20.
2. Usia kehamilan
Preeklampsia dapat dibagi menjadi 2 subtipe dideskripsikan berdasarkan
waktu onset dari preeklampsia. Preeklampsia early-onset terjadi pada usia

18
kehamilan <34 minggu, sedangkan late onset muncul pada usia kehamilan ≥34
minggu. Early onsetPreeclampsia merupakan gangguan kehamilan yang dapat
mengancam jiwa ibu maupun janin yang dikandungnya. Penelitian sebelumnya
menyebutkan bahwa insidensi preeklampsia meningkat seiring dengan semakin
tuanya usia kehamilan yang dibuktikan dengan preeklampsia yang terjadi pada
usia kehamilan 20 minggu adalah 0.01/1000 persalinan dan insidensi
preeklampsia pada usia kehamilan 40 minggu adalah 9.62/1000 persalinan.

3.5 Patofisiologi
Patogenesis preeklampsia tidak sepenuhnya dijelaskan tetapi banyak
kemajuan yang telah dibuat dalam beberapa dekade terakhir. Plasenta selalu
menjadi faktor utama dalam etiologi preeklampsia karena pengankatan plasenta
diperlukan untuk gejala kebelakang. Pemeriksaan patologis plasenta sejak
kehamilan dengan preeklamsia lanjut sering mengungkapkan banyaknya infark
pada plasenta dan penyempitan arteriol sklerotik. Hipotesa invasi trofoblas yang
rusak dengan hipoperfusi uteroplasenta terkait dapat menyebabkan preeklampsia
didukung oleh studi pada hewan dan manusia. Sehingga, terdapat dua tahap yang
dikembangkan yaitu “remodeling arteri spiralis” yang tidak lengkap di uterus
yang berkontribusi terhadap iskemia plasenta (tahap 1) dan pelepasan faktor
antiangiogenik dari plasenta iskemik kedalam sirkulasi ibu yang berkontribusi
terhadap kerusakan endotel (tahap 2). Selama implantasi, trofoblas plasenta
menyerang rahim dan menginduksi arteri spiralis untuk merombak, sambil
melenyapkan media tunika arteri spiral miometrium; ini memungkinkan arteri
untuk mengakomodasi peningkatan aliran darah independen vasomotor ibu
berubah untuk memberi makan perkembangan janin. Bagian dari renovasi ini
mengharuskan trofoblas mengadopsi fenotip endotel dan sifatnya berbagai
molekul adhesi. Jika renovasi ini terganggu, plasenta cenderung kekurangan
oksigen, yang mengarah ke keadaan iskemia relatif dan peningkatan dalam stress
oksidatif selama keadaan intermiten perfusi. Arteri spiralis abnormal ini
mengalami perkembangan dan telah dijelaskan lebih dari lima dekade lalu pada
wanita hamil yang hipertensi. Sejak itu telah terbukti menjadi faktor patogenik
pada kehamilan yang juga dapat ditemui seperti Pertumbuhan janin terlambat
(PJT), Hipertensi gestasional dan preeklampsia. Salah satu kelemahan pada teori

19
ini adalah temuan yang tidak spesifik untuk preeklampsia dan tidak dapat
menjelaskan mengenai perbedaan manifestasi antara plasenta preeklampsia dan
preeklampsia ibu.1

Sedangkan untuk patofisiologi Hellp syndrome tidak jelas. Beberapa teori

mengatakan bahwa, HELLP adalah varian dari preeklampsia, sehingga


patofisiologi berasal dari sumber yang sama. Pada preeklampsia, remodeling
vascular plasenta rusak pada kehamilan minggu 16-22 minggu. Kehamilan dengan
gelombang kedua invasi trofoblastik kedalam desidua menyebabkan perfusi
plasenta yang tidak adekuat. Plasenta yang hipoksia kemudian melepaskan
berbagai faktor plasenta seperti reseptor factor pertumbuhan endotel vaskuler-1
yang dapat larut (sVEGFR-1), yang kemudian mengikat faktor pertumbuhan
endotel vaskular (VEGF) dan factor pertumbuhan plasenta (PGF), menyebabkan
sel endotel dan disfungsi plasenta mencegah untuk mengikat reseptor sel endotel.
Hasilnya adalah hipertensi, proteinuria, dan peningkatan aktivasi dan agregasi
trombosit. Selain itu, aktivasi kaskade koagulasi menyebabkan konsumsi
trombosit karena adhesi dan meyebabkan kerusakan dan aktivasi endotel. Selain
hemolysis mikroangiopati yang disebabkan oleh bergesernya eritrosit saat
melintasi kapiler dengan deposit trombosit-fibrin. Cedera mikrovaskuler
multiorgan dan nekrosis hati yang menyebabkan disfungsi hati berkontribusi pada
perkembangan HELLP.8

20
Sebuah studi oleh Weiner et al melaporkan bahwa walaupun preeklampsia
berat dan sindrom HELLP memiliki temuan histopatologis plasenta yang serupa,
sindrom HELLP dikaitkan dengan tingkat lesi pasokan vaskular maternal plasenta
yang lebih tinggi dan usia kehamilan yang kecil. Hipotesis lain mengusulkan
penolakan kekebalan ibu akut karena sel ibu imunokompeten melakukan kontak
dengan janin yang berbeda secara genetik, mengubah keseimbangan kekebalan
ibu-janin dan menyebabkan disfungsi endotel, aktivasi dan agregasi trombosit,
dan hipertensiarteri. Teori-teori lain termasuk kesalahan bawaan metabolism asam
lemak oksidatif akibat mutasi asam lemak rantai panjang dan menengah, yang
menyebabkan kerusakan hati sekunder akibat kurangnya oksidasi mitokondria
asam lemak yang diperlukan untuk ketogenesis. Namun teori lain menunjukkan
kondisi peradangan akut yang dipicu oleh plasenta yang menargetkan hati.
Selainitu, disfungsi dalam sistem komplemen melalui aktivasi berlebihan atau
regulasi yang rusak untuk sejumlah cedera endotel telah diusulkan untuk
menyebabkan kerusakan pada pembuluh hati di HELLP.9
3.6 Manifestasi Klinis HELLP Syndrome
Pasien dengan preeklampsia-eklampsia dan sindrom HELLP dapat datang
denganberbagai tanda dan gejala yang sama sekali tidak mengarah ke diagnosis.
Wanita hamil biasanya hadir di trimester ketiga dengan keluhan malaise (90%),
epigastrium atau nyeri kuadran kanan atas (90%), mual atau muntah (50%), atau
gejala mirip virus yang tidak spesifik. Meskipun sebagian besar pasien ini hadir
pada trimester ketiga, tidak jarang pasien datang pada akhir trimester kedua atau
pada periode postpartum. Untuk alasan ini, wanita hamil dengan gejala yang
mengkhawatirkan harus menjalani pemeriksaan diagnostik termasuk hitung darah
lengkap, jumlah trombosit, evaluasi enzim hepar, dan dipstik urin untuk protein,
terlepas dari tekanan darah mereka. Adanya hasil protein yang abnormal pada uji
dipstik urin harus diikuti dengan evaluasi kuantitatif untuk protein dalam uji 24
jam spesimen urin.10
Nyeri abdomen sering terjadi dan dapat ditemukan pada sekitar 50%
pasien. Nyeriperut biasanya ditemui di daerah kuadran kanan atas, epigastrik atau
substernal dan seringdikaitkan dengan kelainan laboratorium yang mendefinisikan
sindrom HELLP. Nyeriperut umumnya tidak ada pada gangguan lain yang unik

21
pada kehamilan seperti kolestasisdan hiperemesis, namun sering ditemukan di
HELLP dan acute fatty liver of pregnancy(AFLP) atau sindrom perlemakan hati
akut pada kehamilan.11Meskipun sindrom HELLPmungkin memiliki gejala yang
mirip dengan preeklamsia dan merupakan salah satukriteria yang dapat
menentukan preeklamsia berat, sindrom ini dapat berkembang pada wanita yang
mungkin tidak memiliki tanda atau gejala preeklamsia lainnya. Preeklampsia
bukanlah prasyarat untuk sindrom HELLP dan hipertensi, jika ada, tidak harus
parah.Hipertensi berat didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik ≥160 mmHg
dan tekanan darah diastolik ≥110 mmHg. Hemolisis, didefinisikan sebagai adanya
anemia hemolitik mikroangiopati, adalah ciri khas dari trias sindrom HELLP.
Temuan klasik hemolisis microangiopatik termasuk penurunan yang signifikan
dalam kadar hemoglobin, peningkatan serum bilirubin tidak langsung, kadar
haptoglobin serum yang rendah, peningkatan kadar laktat dehidrogenase (LDH)
dan apus perifer abnormal (schistocytes,sel duri, dan echinocytes). Ambiguitas
yang sama ada pada penggunaan tes fungsi hatiyang abnormal untuk
mendefinisikan sindrom HELLP. Tidak ada konsensus mengenai tingkat
peningkatan enzim hati yang digunakan untuk mendiagnosis sindrom HELLP
[10]. Jumlah trombosit yang rendah adalah kelainan lain yang diperlukan untuk
membuat diagnosis sindrom HELLP. Namun, tidak ada kriteria yang menentukan
untuk jumlah trombosit yang rendah. Diferensial diagnosis dari sindrom HELLP
adalah sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS), disseminated intravascular
coagulation (DIC), thrombocytopenic purpura (TTP), sindrom uremik hemolitik
(HUS) dan AFLP.

3.7 Klasifikasi Hellp Syndrome


Kriteria minimum untuk mendiagnosis preeklampsia adalah adanya
hipertensi dan proteinuria. Kriteria lebih lengkap digambarkan oleh Working
Group of theNHBPEP(2000) seperti dibawah ini:12, 13
Disebut preeklampsia ringan bila terdapat:
1. Tekanan darah ≥ 140 / 90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu.
2. Proteinuria kuantitatif (Esbach) ≥ 300 mg / 24 jam, atau dipstick ≥ +1.
Disebut preeklampsia berat bila terdapat:

22
1. Tekanan darah ≥ 160 / 110 mmHg.
2. Proteinuria kuantitatif (Esbach) ≥ 2 gr / 24 jam, atau dipstick ≥ +2.
Klinis Pre-Eklamsia Ringan Pre-Eklamsia Berat
Tekanan Darah >140/90 >160/110
Proteinuria 1+(300 mg/24 hours) 2+(1000 mg/24 hours)
Edema +/- +/-
Peningkatan Reflex +/- +
Nyeri Perut Atas - +
Nyeri Kepala - +
Gangguan Penglihatan - +
Penurunan Urine Output - +
Peningkatan Enzim Hati - +
Penurunan Platelet - +
Peningkatan Bilirubin - +
Peningkatan Kreatinin - +

3.8 Diagnosis
Tanda, gejala dan diagnosis
Pada preeklamsi berat, maka diagnosis dapat ditegakkan apabila
ditemukan satu atau lebih gejala berikut:2
 Tekanan darah sistolik lebih dari lebih atau sama dengan 160
mmHg dan tekanan diastolic lebih dari atau sama dengan 110
mmHg. Tekanan darah ini tidak turun meski ibu sudah dirawat di
rumah sakit dan sudah menjalani tirah baring.
 Proteiuria lebih dari 5 gram/24 jam atau 4+ pada pemeriksaaan
kualitatif
 Oligouria, produksi urin kurangdari 500 cc/ 24 jm
 Kenaikan kadar kreatinin plasma
 Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala
dan pandangan kabur
 Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen
(akibat teregangnya kapsila Glisson)

23
 Edema paru dan sianosis
 Hemolisis mikroangiopatik
 Trombositopenia berat< 100.000 sel/mm3
 Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatoseluler); peningkatan
kadar alanine dan aspartate aminotransferase
 Pertumbuhan janin intrauterine terhambat
 Sindrom HELLP
Sedangkan pada Sindrom HELLP, diagnosis dapatditegakkan berdasarkan
tanda dan gejala berikut:14
 Didahului dengan tanda dan gejala yang tidak khas yaitu malaise,
lemah, nyeri kepala, mual, muntah
 Adanya tanda dan gejala preeklamsi
 Tanda hemolysis intravaskular, khususnya kenaikan LDH, AST
dan bilirubin indirek
 Tanda kerusakan/disfungsi sel hepatosit hepar; kenaikan ALT,
AST, LDH
 Trombositopenia, trombosit ≤ 150.000/ml.
Semua perempuan hamil dengan keluhan nyeri pada kuadran atas abdomen, tanpa
memandang ada tidaknya tanda dan gejala preeklampsi ,harus dipertimbangkan
Sindroma HELLP.

3.9 Tatalaksana PEB


Tujuan utama perawatan preeklamsia

Mencegah kejang, perdarahan intracranial, mencegah gangguan fungsi organ


vital, dan melahirkan bayi sehat.

Tatalaksana pre-eklamsia ringan

Tatalaksana pre-eklamsia ringan dibagi menjadi 3 unsur;

- Perawatan rawat jalan


- Perawatan rawat inap
- Sikap terhadap kehamilan

24
Rawat Jalan

Ibu hamil dengan preeklamsia ringan dapat dirawat jalan dengan anjuran ibu
harus banyak beristirahat. Pemeriksaan kondisi kehamilan harus selalu dipantau.
Ibu harus rutin memperhatikan gerakan janin setiap hari, melakukan evaluasi
tekanan darah minimal 2 kali dalam seminggu dan pemeriksaan laboraturium
mencakup Hb, hematokrit, fungsi hati, urin lengkap dan fungsi ginjal. Pada
preeklmasia tidak perlu dilakukan retriksi garam sepanjang fungsi ginjal masih
normal. Diet yang mengandung 2 g natrium atau 3 - 6 g NaCl (garam dapur)
dirasa cukup. Dalam kondisi hamil lebih banyak pembuangan garam melalui gnjal
namun pertumbuhan janin cendrung membutuhkan banyak garam. Bila konsumsi
garam harus dibatasi perlu diseimbangkan dengan konsumsi cairan yang banyak,
berupa susu atau air buah.

Rawat Inap

Pada keadaan tertentu ibu dengan preeklamsia ringan perlu dirawat dirumah
sakit, dengan kondisi;

10. Bila tidak ada perbaikan yang mecakup tekanan darah dan kadar
proteinuria selama 2 minggu pemantauan.
11. Adanya satu atau lebih gejala tanda-tanda preekklamsia berat.

Selama perawatan dilakukan pemeriksaan kesejahteraan janin, berupa


pemeriksaan USG dan Doppler khusunya evaluasi pertumbuhan janin dan jumlah
cairan amnion. Pemeriksaan non-stress test dilakukan 2 kali seminggu.

Rawatan Obstetrik (Sikap Terhadap Kehamilan)

Pada ibu hamil dengan kehamilan preterm (< 37 minggu), bila tekanan darah
mencapai normo-tensi selama perawatan maka kehamilan dapat dilanjutkan
hingga aterm. Sementara itu, Ibu hamil aterm (>37 minggu), Kehamilan dapat
ditunggu hingga inpartu atau dipertimbangkan untuk dilakukan induksi
persalinan. Apabila persalinan dapat dilakukan secara spontan, dipertimbangkan
dengan memperpendek kala II.

Tatalaksana preeklamsia berat

25
Tatalaksana pada preeklamsia berat dibagi menjadi 2 unsur;
- Sikap terhadap penyakitnya, pemberian medikamentosa
- Sikap terhadap kehamilan, yaitu; aktif ( terminasi kehamilan)
ataukonservatifekspetatif, kehamilan dipertahankan bersamaan dengan
pemberian medikamentosa.
Sikap terhadap penyakit
 Pada penderita preeklampsia berat harus dirawat dirumah sakit dan
dianjurkan tirah baring kesatu sisi
 Pengelolaan cairan, yaitu dengan monitoring input dan output cairan.
Pantau tanda-tanda oligouria; bila produksi urin < 30cc/jam dalam 2-3
cm atau < 500cc/24 jam.
 Bila terjadi tanda edem paru maka lakukan koreksi cairan.
- Beri 5 % ringer- dextrose dengan tetesan < 125 cc/jam, atau
- Infus dextrose 5 % tiap 1 liter selingi dengan RL ( 60-125
cc/jam) 500 cc.
Berikan antasida sebagai penetralisir asam lambung sehingga
jika mendadak kejang menghindari resiko aspirasi asam
lambung.
 Pemberian antikejang, yaitu ;
- MgSO4, dengan cara
1. Loading dose; 4 gram MgSO4 IV ( 40% dalam 10 cc)
selama 15 menit.
2. Maintenance dose; berikan infus 6 gram MgSO4 dalam RL/
6 jam atau berikan 4-5 gram MgSO4 im. Selanjutnya
maintenance dose diberikan 4 gram im tiap 4-6 jam.
Syarat pemberian MgSO4, yaitu;
1. Tersedia antidotum MgSO4, yaitu kalsium glukonas 10 %
2. Reflek patella (+)
3. Frekuensi pernafasan > 16 kali/ menit, dan tidak ada tanda
distress pernapasan.
 Pemberian diuretik bila ada edem paru atau payah jantung.

26
 Pemberian antihipertensi untuk mencapai tekanan darah , 160/110
mmHg atau MAP > 126 mmHg. Jenis antihipertensi yang dapat
diberikan yaitu nifedipin 10-20 mg per oral, diulang tiap 30 menit,
maksimal 120 mg dalam 24 jam.
 Pemberin glukokortikoid untuk pematangan paru janin pada usia
kehamilan 32-34 minggu, 2x 24 jam.

Sikap terhadap kehamilan


 Perawatan aktif, memberikan pengobatan sambil kehamilan diakhiri
indikasi perawatan aktif yaitu;
- Kehamilan > 37 minggu
- Adanya tanda-tanda impending eklamsia
- Kegagalan perawatan konservatif, yaitu kedaan klinis atau
secara laboratorik memburuk
- Diduga solusio plasenta
- Timbul onset persalinan, ketuban pecah, atau perdarahan
- Tanda-tanda fetal distress
- Tanda-tanda IUGR
- Terjadi oligohidramnion
- Tanda-tanda Sindroma HELLP
Cara mengakhiri kehamilan berdasarkan keadaan obstetrik ibu saat itu,apakah
sudah inpartu atau belum.
 Perawatan konservatif, dilakukan bila kehamilan kurang dari 37 minggu
(preterm) tanpa disertai tanda-tanda impending eklamsia dan keadaan
janin baik.
Tatalaksana HELLP syndrome

Jika didapatkan kadar trombosit <100.00/ml atau 100.000-150.000/ml dengan


tanda-tanda eklamsia, hipertensi berat dan nyeri epigastrium maka diberikan
dexametason 10 m.g iv tiap 2 jam 2 kali pemberian. Pada postpartum diberikan
dexametason 10 mg iv tiap 12 jam 2 kali pemberian kemudian diikuti 5mg i.v tiap

27
12 jam 2 kali pemberian. Terapi dexametason apabila terdapat perbaikan hasil
laboraturium , yaitu trombosit > 100.000 /ml serta perbaikan gejala klinis.

Sikap terhadap kehamilan pada Sindroma HELLP ialah aktif yaitu akhiri
kehamilan tanda memandang usia kehamilan.

3.10 Komplikasi PEB


Tingkat terjadinya komplikasi pada neonatal pada usia kehamilan kurang dari 25
minggu dengan preeklampsia berat sangat tinggi mencapai 85 %, sedangkan
maternal mencapai 75 %. Komplikasimaternal meliputi:14,22,23
1. Kematian ibu
2. Eklampsia
3. Sindroma HELLP
4. Abrupsio plasenta
5. Disseminated intravascular coagulopathy (DIC)
6. Edema paru
7. Insufisiensi renal akut

Komplikasi neonatal yang dapat terjadi antara lain:


10. Kematian fetus dan neonatal
11. Intrauterine growth restriction(IUGR)
12. Respiratory distress syndrome (RDS)
13. Bronchopulmonary dysplasia (BPD)
14. Efek hematologis (trombositopenia neonatal)
15. Intraventricular hemorrhage (IVH) grade 3 dan 4
16. Necrotizing enterocolitis (NEC).
3.11 Prognosis
Pada preeklamsia berat yang disertai edem paru dan oligouri maka
prognosisnya menjadi berat. Sedangkan kematian ibu bersalin pada Sindrom
HELLP adalah tinggi yaitu 24 %. Penyebab kematian dapat berupa kegagalan
kardiopulmonar, gangguan pembekuan darah, perdarahan otak, ruptur hepar, dan
kegagalan organ multipel.

28
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Apakah diagnosis pada pasien ini sudah tepat?


Diagnosis pada pasien ini adalah G3P2A0H2 gravid 28-29 minggu, PEB
Superimposed dengan impending eklampsia, partial Hellp Syndrome, belum
inpartu, janin tunggal hidup intra uterin presentasi kepala. Langkah-langkah
menegakkan diagnosis pada pasien ini, berdasarkan anamnesis didapatkan
keterangan bahwa pasien mengeluhkan nyeri ulu hati sejak 7 jam SMRS. Nyeri
dirasakan seperti ditusuk dan dirasakan terus menerus. Nyeri kepala (-),
pandangan mata kabur (-) mual muntah (-). Keluhan nyeri pinggang menjalar ke
ari-ari (+), keluar air-air dari jalan lahir (-), keluar lendir bercampur darah (-), dan
keluar darah dari jalan lahir (-) dan BAK pasien dalam batas normal. Pasien
mengaku hamil 6 bulan, dengan HPHT pada tanggal 15April 2019, TP 20 Januari
2020. Pasien dengan riwayat PEB pada kehamilan pada anak kedua tahun 2012.
Persalinan anak kedua secara normal dan anak hidup.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah saat masuk 220/110 mmHg,
pemeriksaan Leopold didapatkan hasil punggung kanan, presentasi kepala, kepala
belum masuk PAP, Kontraksi 1x/10’/10, DJJ 150 dpm reguler. Berdasarkan
pemeriksaan TFU didapatkan 2 jari diatas pusat (20 cm) ~ Umur Kehamilan 28-
29 minggu. Hasil pemeriksaan labor pada pasien ini, didapatkan protein urin (++)
dan trombosit pasien masih normal yaitu 157.000/ml, dan peningkatan AST 313
U/L dan ALT 232 U/L sehingga diagnosis ante partum pada pasien ini
ditambahkan partial HELLP syndrome.
Diagnosis pada pasien ini dinilai sudah tepat. Hal ini dibuktikan dengan
didapatkannya tanda dan gejala PEB Superimposed dengan impending eklampsia,
partial Hellp Syndrome. PEB ditegakkan jika didapatkan tekanan darah sistolik
≥160 mmHg dan tekanan diastolik ≥110 mmHg, Protenuria lebih dari 5 gram/24
jam atau 4+ pada pemeriksaaan kualitatif, oligouria, Kenaikan kadar kreatinin
plasma, gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala dan
pandangan kabur, nyeri epigastrium, edema paru dan sianosis, hemolisis
mikroangiopatik, trombositopenia berat < 100.000 sel/mm3, peningkatan kadar

29
alanine dan aspartate aminotransferase, pertumbuhan janin intrauterine
terhambat dan Sindrom HELLP.
PEB Superimposed adalah hipertensi kronik dan ditemukan adanya tanda-
tanda preeklampsia. Pada pasien ini juga didapatkan tanda impending eklampsia
yaitu nyeri ulu hati. Serta tanda partial HELLP syndrome yaitu tanda dan gejala
preeklampsia dengan peningkatan enzim hepar dan trombositopenia.

4.2 Apakah faktor resiko pada pasien ini?

Beberapa faktor resiko terjadinya PEB pada pasien ini adalah riwayat
preeklampsia sebelumnya, Ibu yang mengalami preeklampsia pada kehamilan
anak kedua. Ibu dengan riwayat preeklampsia akan memiliki risiko 7 kali lipat
lebih besar untuk mengalami preeklampsia pada kehamilan berikutnya. Hal ini
sesuai dengan penelitian Emily dkk menyatakan faktor resiko terjadinya
preeklampsia adalah riwayat penyakit antifoslipid (17,3%), hipertensi kronik
(16%), DM gestasional (11%), dan BMI >30 (7,1%).15
Faktor resiko lainnya pada pasien ini adalah usia ibu saat hamil dengan
kejadian PEB. Diketahui saat hamil ibu dengan usia 36 tahun dan hamil anak
ketiga. Menurut Wright et al (2015) faktor risiko yang meningkatkan kejadian
PEB adalah umur maternal diatas 35 tahun.16 Survei Multi-Negara oleh WHO
juga menyebutkan bahwa usia 35 tahun berisiko tinggi mengalami pre-eklampsia,
meskipun tidak eklampsia. Ekstrimnya usia ibu telah dikaitkan dengan risiko pre-
eklampsia / eklampsia. terutama Usia ibu diatas 40 tahun.17 Sedangkan Paritas
juga menjadi faktor resiko pada pasien ini karena pasien saat ini hamil anak
ketiga. Ibu yang masuk kedalam golongan multipara adalah ibu yang sudah
melahirkan lebih dari 1 kali dan tidak lebih dari 4 kali, memiliki risiko sebesar 1%
untuk mengalami preeklampsia. Walaupun ibu nullipara memiliki resiko lebih
tinggi untuk terjadi PEB. Kejadian PEB dapat terjadi pada primigravida dan multi
gravida.Penelitian Langelo et al (2012) jugamembuktikan bahwa terdapat
hubungan antara jumlah paritas dengan kejadian PEB. Penelitian Omilabu et al
(2014) juga menemukan kejadian PEB banyak terjadi pada multipara di Lagos.
Pada pasien ini terdapat perbedaan terjadinya proses persalinan pada anak
kedua dan anak ketiga, hal ini disebabkan karena pada anak kedua pasien

30
melahirkan secara pervaginam dan kehamilan aterm dan pada hamil saat ini
pasien melahirkan secara sc dengan usia kehamilan preterm . hal ini disebabkan
karena pada kehamilan kedua pasien sudah aterm dan inpartu, pre eklampsia yang
dialami pasien belum dalam keadaan hellp syndrome, sehingga memungkinkan
terjadinya persalinan pervaginam. Kemudian BBL bayi saat itu juga kecil yaitu
2400 gram.

4.3 Apakah tatalaksana pada pasien ini sudah tepat?


Tatalaksana awal pada pasien bertujuan untuk mencegah kejang, perdarahan
intracranial, mencegah gangguan fungsi organ vital, dan melahirkan bayi sehat.
Pada pasien ini dilakukan penatalaksanaan pre partum dan post partum sudah
sesuai dengan teori. Pada penatalaksanaa awal pasien diberikan terapi antikejang
berupa regimen MgSO4 Loading dose; 4 gram MgSO4 IV ( 40% dalam 10 cc)
yang dimasukkan dalam RL 500 ml diberikan selama 15 menit. Lalu, diberikan
Maintenance dose; berikan infus 6 gram MgSO4 dalam RL/ 3 jam atau berikan 2
gram MgSO4/jam. Pemberian maintenance dose diberikan selama 48 jam.
Dilanjutkan dengan pemberian antihipertensi yang mencapai target MAP, ada
pasien ini diberikan Metildopa 3 x 500 mg dan Nifedipin tablet 3x10 mg. tekanan
darah awal pasien masuk 220/110 mmHg turun 150/90 mmHg.
Kemudian pasien diberikan kortikosterioid berupa Dexamethason 10 mg
hanya 1 kali pemberian diberikan dengan tujuan untuk pematangan paru janin .
Karena pasien gravid 28-29 minggu dengan PEB serta Hellp Syndrome namun
usia kehamilan preterm, oleh karena itu janin belum viable untuk hidup diluar
kandungan namun harus diterminasi segera karena terancam akan berlanjut
kepada kondisi fetal distress. Pasien juga dikonsultasi ke fetomaternal segera
untuk menilai kesejahteraan janin. Pasien dijadwalkan operasi cito pada keesokan
harinya tanggal 23 Oktober 2019. Lahir secara perabdominam bayi laki-laki, BBL
650 gram, PB 28 cm dan Apgar Score 4/6. Bayi dirawat diperinatologi.

4.4 Apakah edukasi yang diberikan kepada pasien?


Pasien yang pernah mengalami preeklamsia berat mempunyai risiko untuk
mengalami preeklamsia kembali. Oleh karena itu, pasien diberikan edukasi untuk

31
tidak hamil kembali mempertimbangkan resiko yang akan terjadi baik oleh ibu
dan janin. Pelaksanaan KB setelah kehamilan ini sangat disarankan. KB yang
disarankan untuk pasien ini adalah pemasangan IUD atau bahkan tubektomi. Hal
ini karena pasien sudahberusia 36 tahun, jika hamil termasuk usia hamil resiko
tinggi. Jika pasien hamil nantinya, pasien harus rutin melakukan kontrol
kehamilan agar adanya preeklamsia dapat diketahui lebih awal. Antenatal care
minimal dilakukan 4 kali dengan rincian 1 kali pada trimester pertama, 1 kali pada
trimester kedua dan 2 kali pada trimester ketiga. Pasien yang sudah mengalami
preeklamsia berat akan berisiko timbul kejang. Sebelum timbul kejang, didahului
adanya tanda-tanda impending eclampsia yang harus diberitahukan kepada pasien
berupa nyeri kepala, pandangan kabur, nyeri ulu hati dan mual muntah. Hal ini
agar eklamsia dapat dicegah.

32

Anda mungkin juga menyukai