Akustik Kelautan yang dalam bahasa Inggrisnya disebut “Marine Acoustics”, adalah teori tentang Gelombang suara/akustik dan perambatannya di air laut. Dengan demikian, dalam Akustik Kelautan ini proses pembentukan gelombang suara sifat-sifat perambatannya, serta proses-proses selanjutnya hanya dibatasi pada, medium air laut, bukan air secara keseluruhan (Arnaya, 1991).
Gambar 1. Ilustrasi perambatan gelombang
2.2. Echosounder Singlebeam Singlebeam echo sounders adalah alat echo sounding. Kegunaan alat ini adalah untuk mengukur kedalaman perairan laut di berbagai lokasi. Kedalaman yang direkam dapat dikombinasikan dengan lokasi fisik untuk membuat sebuah peta tiga dimensional dari dasar samudra. Umumnya singlebeam echo sounders dirancang untuk melakukan pengukuran dari sebuah kapal yang sedang bergerak. Selama single-beam depth sounders mempunyai banyak keterbatasan, hal ini berguna untuk memahami bagaimana ia berfungsi sebagai pembuka bagi pemahaman suatu sonar multi-beam. Sistem singlebeam echo sounders terdiri dari empat komponen dasar: sebuah Transmitter, sebuah Transducer, sebuah Receiver, dan sebuah sistem Control serta Display. Dalam rangka mengumpulkan deretan pengukuran kedalaman saat kapal bergerak, single-beam depth sounder ditampilkan dalam bentuk siklus yang kontinyu, yang disebut ping cycle. Ping Cycle diatur oleh sebuah sistem Control dan Display. Dalam sebuah single cycle, sistem Control dan Display memberikan isyarat kepada sistem Transmitter untuk menghasilkan pulsa suara (ping). Transmitter menghasilkan sinyal elektrik yang berosilasi dengan karakteristik frekuensi yang dapat dibedakan secara unik. Transducer mengkonversi tegangan listrik ke dalam gelombang akustik. Dalam kapasitas ini transduser digunakan sebagai proyektor bukan hidrofon. Osilasi sinyal-sinyal elektrik diubah kedalam getaran mekanik yang dipancarkan ke dalam air sebagai tekanan osilasi atau gelombang akustik. Pada saat kembalinya kepermukaan air sebagai echo dari dasar laut, kemudian pulsa akustik itu diterima dan dikonversi kembali ke dalam sinyal-sinyal elektrik oleh transducer yang bertindak sebagai hidrofon. Transducer mengirimkan seluruh sinyal-sinyal elektrik yang diterima kepada sistem receiver, dimana sinyal-sinyal elektrik diperkuat dan disalurkan ke sebuah detektor untuk menentukan kapan sebuah echo tiba (Firdaus, 2008).
Gambar 2. Komponen Single Beam Echosunder (Firdaus, 2008)
2.3. Deskripsi Fish Finder SEIWA
Fish finder merupakan sebuah alat yang digunakan untuk mendeteksi keberadaan gerombolan ikan (fish schooling). Fish finder pada dasarnya merupakan echosounder dengan single beam maupun multibeam, namun untuk Fish Finder SEIWA menggunakan single beam. Menurut Burczynski dan M. Ben Yami (1985), Fish Finder memiliki beberapa komponen seperti transmitter, tranduscer, receiver dan recorder. Gambar 3. Fish Finder SEIWA (Dokumentasi pribadi, 2018)
2.4. Prinsip Deteksi Bawah Laut
Prinsip deteksi bawah laut yaitu dengan menggunakan gelombang suara. Sebuah pulsa gelombang suara dipancarkan oleh sebuah transmitter dan transducer, bila gelombang tersebut mengenai suatu benda akan dipantulkan yang diterima oleh sebuah hidrofon atau penerima. Dari arah dan waktu datangnya pantulan dapat ditentukan arah dan jarak benda tersebut. Jadi prinsipnya seperti radar, dan seperti pada radar, aiat deteksi bawah air dapat bekerja dalam mode aktif, pasif, de'ngan modulasi pulsa atau frekuensi, dan sebagainya. Sistem dengan peralatannya yang menggunakan gelombangsuara di dalam air untuk keperluan pengukuran-pengukuran di dalam air dinamakan SONAR, singkatan dari Sound Navigation and Ranging. SONAR mulai berkembang dengan pesat dengan berkembangnya kipal selam terutama selama dan setelah perang dunia kedua, yaitu uniuk mencari dan menentukan posisi kapal selam (Soekarso, 1994).
Gambar 4. Ilustrasi Cara Kerja SONAR (Widodo, 2002)
2.5. Kecepatan Suara dalam Medium Air
Suara dapat didengar di dalam air, contohnya suara gelombang air dan suara mesin kapal, semuanya relatif dapat didengar dengan jelas dalam jarak tertentu. Bahkan, suara dapat merambat lebih efisien di dalam air dibandingkan di udara. Sebagai contoh ikan paus menggunakan gelombang akustik untuk berkomunikasi pada jarak puluhan dan bahkan ratusan kilometer. Kemampuan gelombang akustik untuk bergerak pada jarak yang jauh memberikan penginderaan jarak jauh pada sebuah lingkungan air. Piranti-piranti yang menggunakan gelombang akustik dalam suatu aplikasi yang demikian, masukkedalam kelompok instrumen yang dikenal sebagai sonar. Untuk memahami prinsip kerja sonar pertama harus memahami karakteristik gelombang akustik itu sendiri. Secara khusus, kita harus memahami bagaimana gelombang akustik merambat dalam air. Gelombang akustik merambat dalam air dengan sederetan tekanan yang dikenal sebagai compressional wave. Compressional wave ini merambat dengan kecepatan tertentu dalam air yang disebut local speed of sound. Kecepatan suara pada suatu lokasi dapat berubah tergantung pada kondisi air seperti kadar garam, tekanan, dan suhu, tetapi tidak tergantung pada karakteristik dari gelombang akustik itu sendiri. Semua gelombang akustik bergerak pada local speed of sound. Pada sebuah lingkungan samudra, kecepatan suara sekitar 1500 meter per detik (m/s) (Firdaus, 2008).
2.6. Klasifikasi Dasar Laut
Informasi mengenai tipe dasar, sedimen dan vegetasi perairan secara umum dapat digambarkan pada sinyal echo dimana sinyal ini dapat disimpan dan diperoleh secara bersamaan dengan menggunakan data GPS. Sinyal echo ini dapat diuraikan sehingga informasi mengenai dasar perairan dapat diproyeksikan ke suatu tabel digital. Dalam verifikasi hasil, sampel fisik dasar perairan harus diobservasi melalui penyelaman atau dengan menggunakan kamera bawah air (underwater camera) yang harus direkam bersamaan dengan akuisisi data akustik sehingga pada saat verifikasi kembali data yang ada dapat digunakan untuk membandingkan tipe dasar perairan yang belum diketahui (Burczynski, 2002).
2.7. Nilai Backscattering Dasar Perairan
Nilai hambur balik atau backscatter merupakan kunci untuk mengetahui karakteristik dasar perairan. Kuat lemahnya intensitas menjadi informasi awal mengenai jenis tipe dasar laut. Salah satu pendekatan yang digunakan untuk melihat tipe dasar laut berdasarkan nilai hambur balik adalah Angular Range Analisis (ARA) yang memanfaatkan pengaruh sudut terhadap nilai intensitas backscattering strength. Nilai-nilai hambur balik (backscattering) secara spasial yang berasal dari line survei mengandung sebuah nilai utama pembawa informasi mengenai karakteristik dasar perairan. Nilai tersebut dibuat dalam satu citra dan dikelaskan secara learning machine. Pembagian warna tersebut dilihat dari kedekatan nilai digital number dari tiap lokasi. Nilai-nilai yang berada pada rentang tertentu akan masuk dan menjadi satu kelas warna. Demikian juga dengan nilai hambur balik lainnya. Semakin luas rentang yang diberikan, maka jenis warna yang dihasilkan akan sedikit. Semakin kecil rentang yang diberikan, akan menghasilkan jenis warna yang makin beragam. Jenis warna yang beragam bukan menjadi hal utama keberhasilan dalam penentuan klasifikasi jenis sedimen (Fahrulian, dkk., 2015).
Gambar 5. Hasil Backscatter (Fahrulian dkk., 2015)
2.8. Interpolasi Menggunakan Metode Kriging Metode Kriging diambil dari nama seorang insinyur pertambangan yang berasal dari Afrika Selatan, yaitu D.G. Krige. Interpolasi kriging juga dikenal dengan istilah interpolasi geostatistik karena memerhatikan efek spasial. (Rozalia, dkk., 2016). Kriging adalah suatu teknik perhitungan untuk estimasi dari suatu variabel terregional yang menggunakan pendekatan bahwa data yang dianalisis dianggap sebagai suatu realisasi dari suatu variabel acak dan data yang dianalisis keseluruhan variabel acak yang dianalisis tersebut akan membentuk suatu fungsi acak dengan menggunakan metode struktural variogram. Kriging juga merupakan suatu metode yang digunakan untuk menonjolkan metode khusus dalam rata-rata bergerak berbobot yang meminimalkan variansi dari hasil estimasi (Alfiana, 2010).