Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN ANEMIA

TUGAS APLIKASI KLINIS KEPERAWATAN

oleh :
Stefanie Hapy Lisabella
NIM 172310101173

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt. yang melimpahkan karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Laporan Pendahuluan Anemia”. Makalah ini
disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam Aplikasi Klinis Keperawatan di Rumah Sakit
Paru Jember.
Penyusunan makalah ini tentunya tidak lepas dari kontribusi berbagai pihak. Oleh
karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Ns. Jon Hafan S, M.Kep., Sp.Kep.MB selaku dosen penanggung jawab Aplikasi Klinis
Keperawatan,
2.
3. Keluarga di rumah yang senantiasa memberikan dorongan dan doanya demi
terselesaikannya makalah ini,
4. Semua pihak yang secara tidak langsung membantu terciptanya makalah ini yang tidak
dapat disebutkan satu per satu.

Penulis juga menerima segala kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan
makalah ini. Akhirnya penulis berharap, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Jember, Januari 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

3
BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Definisi
Anemia merupakan kondisi klinis akibat kurangnya suplai sel darah merah sehat,
volume sel darah merah dan jumlah hemoglobin. Hipoksia terjadi karena tubuh
kekurangan suplai oksigen. Anemia juga mencerminkan kondisi patogenik yang
mengarah pada abnormalitas jumlah, struktur dan fungsi sel darah merah dalam tubuh
(Joyce & Jane, 2014).
Anemia juga dapat dikatakan sebagai keadaan dimana, masa eritrosit dan masa
hemoglobin yang beredar tidak memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi
jaringan tubuh. Secara labolatorium anemia terjadi karena penurunan kadar hemoglobin
serta nilai eritrosit yang tidak normal.
Anemia adalah keadaan berkurangnya jumlah eritrosit atau hemoglobin (protein
pembawa O2) dari nilai normal dalam darah sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya
untuk membawa O2 dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer sehingga pengiriman
O2 ke jaringan menurun. Anemia adalah istilah yang menunjukkan rendahnya hitung sel
darah dan kadar hematokrit dibawah normal. anemia merupakan penyakit kurang darah
yang ditandai dengan kadar hemoglobin (Hb) dan sel darah merah (eritrosit) lebih rendah
dibandingkan normal (Soebroto, 2010).

Anemia adalah suatu keadaan kadar hemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari
normal, berdasarkan kelompok jenis kelamin orang dewasa, batas normal dari kadar Hb
dalam darah dapat dilihat pada tabel berikut :

4
Dari pengertian diatas dapat diartikan bahwa anemia merupakan kurangnya suplai sel
darah merah (eritrosit) dan jumlah hemoglobin dalam tubuh menurun sehingga dapat
mengakibatkan hipoksia, karena kurangnya suplai oksigen didalam tubuh.

1.2. Anatomi Fisiologi

Darah merupakan cairan di dalam pembuluh darah yang mempunyai fungsi


transportasi oksigen, karbohidrat dan metabolik, mengatur keseimbangan asam dan basa,
mengatur suhu tubuh dengan cara konduksi (hantaran), membawa panas tubuh dari pusat
produksi panas (hepar dan otot) untuk didistribusikan ke seluruh tubuh, pengaturan
hormon dengan membawa dan menghantarkan dari kelenjar ke sasaran. Darah adalah
cairan yang berwarna merah tergantung dengan kadar oksigen dan karbon dioksida yang
ada didalamnya. Darah berada dalam tubuh karena kerja pompa jantung. Darah bersifat
cair apabila berada di dalam pembuluh darah, dan apabila berada diluar pembuluh darah
akan membeku (Syaifuddin. 2010). Karakteristik Darah adalah sejenis jaringan ikat yang
sel-selnya (elemen pembentuknya) tertahan dan berada dalam matriks cairan (plasma).
Darah lebih berat dan lebih kental dari pada air yaitu memiliki berat jenis 1,041-1,067
dengan temperatur 380C dan PH 7,37-7,45. Warna darah bervariasi dari merah terang
sampai merah tua kebiruan, tergantung pada kadar oksigen yang di bawa sel darah merah.
Darah pada tubuh manusia mengandung 55% plasma darah (cairan darah) dan 45% sel-
sel darah (darah padat). Jumlah darah pada tubuh orang dewasa sebanyak kira-kira 1/13
dari berat badan atau sekitar 4-5 liter. Jumlah darah tersebut pada setiap orang berbeda-
beda. Tergantung kepada umur, ukuran tubuh, dan berbanding terbalik dengan jumlah
jaringan adiposa pada tubuh. Di dalam darah terdapat beberapa sel diantaranya adalah:

5
a. Eritrosit (Sel Darah Merah)

Eritrosit merupakan bagian utama dari sel darah. Jumlah eritrosit pada pria
dewasa sekitar 5 juta sel/cc darah dan pada wanita sekitar 4 juta sel/cc darah. Sel
darah merah berbentuk Bikonkaf, dan warna merah disebabkan oleh Hemoglobin
(Hb). Fungsi dari sel darah merah sendiri untuk mengikat Oksigen. Sehingga kadar
Hb yang dijadikan patokan dalam menentukan penyakit Anemia. Usia eritrosit
didalam tubuh manusia sekitar 120 hari. Lalu sel yang telah tua dihancurkan di
Limpa. Sehinnga hemoglobin dirombak, kemudian dijadikan pigmen Bilirubin
(pigmen empedu).

b. Lekosit (Sel Darah Putih)

Leukosit memiliki nukleus akan tetapi tidak memiliki hemoglobin. Rentang


hidup lekosit didalam tubuh hanya beberapa hari hingga beberapa jam saja. Lekosit
ini biasanya bersifat amuboid atau tidak memiliki bentuk yang tepat. Orang yang
memiliki kelebihan lekosit biasanya memiliki riwayat penyakit leukimia, sedangkan
orang dengan kekurangan leukosit memiliki riwayat penyakit leukopenia. Jumlah
lekosit didalam tubuh sekitar 4000-11000

Leukosit digolongkan menjadi 2 bagian, yaitu granulosit dan agranulosit. ciri


dari glanulosit atau granula, memiliki granula pada sitoplasmanya. Ada 3 macam
granulosit, yaitu netrofil atau polimorf (10-12 m), eosinofil (10-12 m) dan basofil
(8-10 m). Ciri dari agranulosit adalah tidak memiliki granula pada sitoplasma.
Adapun 2 macam dari agranulosit yaitu limfosit (7-15 m) dan monosit (14-19 m).
Leukosit bertanggung jawab terhadap sistem imun tubuh dan bertugas untuk
memusnahkan benda-benda yang dianggap asing dan berbahaya oleh tubuh, misal
virus atau bakteri. Secara rinci, fungsi dari masing-masing jenis lekosit adalah:

1. Netrofil berfungsi untuk melakukan fagositosi (mematikan agen yang dapat


meyerang siistem kekebalan tubuh seperti bakteri)
2. Eosinofil yang berfungsi untuk melindungi diri dari alergen
3. Basofil yang berfungsi untuk melindungi diri dari alergen
4. Limfosit berfungsi untuk menghasilkan antibiotik untuk melawan antigen
5. Monosit berfungsi untuk melakukan fagositosis

6
c. Trombosit (Keping Darah)
Trombosit dapat juga disebut sebagai sel darah pembeku. Jumlah sel pada
orang dewasa sekitar 200.000 – 500.000 sel/cc. Di dalam trombosit terdapat banyak
sekali faktor pembeku (Hemostasis) antara lain adalah Faktor VIII (Anti Haemophilic
Factor). Jika seseorang secara genetis trombositnya tidak mengandung faktor tersebut,
maka orang tersebut biasanya mengalami gangguan Hemofili.

1.3.Epidimiologi
Anemi merupakan masalah kesehatan utama di masyarakat yang sering dijumpai
diseluruh dunia, terutama dinegara berkembang seperti indonesia. Penduduk dunia yang
mengalami anemia berjumlah sekitar 30% atau 2,20 miliar orang dengan sebagian besar
diantaranya tinggal pada daerah yang tropis. Prevalensi anemia secara global sekitar 51%
(suryani dkk, 2015). Terdapat 1,62 miliyar penduduk dunia mengalami anemia (24,8%)
dengan prevalensi tertinggi terdapat di Asia Tenggara, Afrika Tenggara, dan Afrika Barat.
Kurang lebih terdapat 370 juta wanita di berbagai negara berkembang menderita anemia
defisiensi zat besi dengan 41% diantaranya wanita tidak hamil. Sedangkan prevalensi
anemia di India menunjukkan angka kejadian anemia pada remaja putri sebesar 45%.
Prevalensi anemia di Indonesia sendiri masih terbilang cukup tinggi (Fakhidah & Putri,
2016). Kemenkes RI (2013) menunjukkan angka prevalensi anemia secara nasional pada
semua kelompok umur adalah 21,70%. Prevalensi anemia pada perempuan relatif lebih
tinggi (23,90%) dibanding laki-laki (18,40%). Prevalensi anemia berdasarkan lokasi
tempat tinggal menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal di pedesaan memiliki risisko
lebih tinggi (22,80%) dibandingkan tinggal di perkotaan (20,60%) (Priyanto 2018).
Prevalensi anemia di Indonesia cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya.
berdasarkan data Riskesdas tahun 2007, prevalensi anemia sebesar 11,9%. Di Indonesia
salah satu penyebab dari terjadinya anemia itu sendiri karena penggunaan pestisida.
Pestisida merupakan bahan yang digunakan secara luas diberbagai sektor, terutama
disektor pertanian tau perkebunan, kehutanan, perikanan, dan pertanian pangan (Arwin N.
M, Suyud. 2016).

7
1.4.Etiologi
Anemia merupakan suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh berbagai macam
penyebab. Berdasarkan penyebabnya anemia dapat dibedakan menjadi 4 yaitu (Black J &
Hawks J, 2014):
A. Akibat Penurunan Produksi Eritrosit
1. Anemia Aplastik terjadi akibat kegagalan produksi, supresi atau destruksi sel induk
di dalam sumsum tulang yang menyebabkan penurunan produksi eritrosit, leukosit
dan trombosit (pansitopenia). Sumsum tulang menunjukkan penurunan yang nyata
pada selularitas.

2. Aplasia Eritrosit terjadi akibat adanya gangguan yang sering mengalami remisi
spontan atau sebagai respon terhadapa terapi kortikosteroid. Aplasia eritrosit yang
di dapat biasanya merupakan komplikasi sementara yang terjadi pada anemi
hemolitik kongental (misalnya anemia sel sabit).
3. Anemia penggantian sumsum (leukoeritroblastik) akibar dari terkenanya rongga
sumsum tulang oleh neoplasma metastatik, limfoma atau leukimia, penyakit
granulomatosa diseminata (misalnya tuberkulosis), ribrosa atau abses multipel
memindahkan dan menggantikan unsur-unsur sumsum normal. Penggantian sel-sel
sumsum yang berproliferse dengan derajat mamadai dapat mengakibatkan anemia,
leukopenia atau trombositopenia.
4. Anemia megaloblastik adalah bagian anemia makrositik yang terjadi karena
kelainan maturasi fase eritropoiesis dalam sumsum tulang. Mengakibatkan

8
prekursor eritroid membesar dan menunjukkan kegagalan maturasi inti (Black J &
Hawks J, 2014).
5. Anemia pernisiosa adalah bentuk anemia megaloblastik yang disebabkan oleh
kekurangan vitamin B12.
6. Anemia defisiensi besi adalah penyebab anemia tersering diseluruh dunia. Anemia
defisiensi besi sering terjadi karena infeksi cacing tambang. Keseimbangan besi
normal diatur terutama oleh perubahan pada absorpsi besi dalam usus untuk
menyesuaikan kehilangan zat besi normal didalam tubuh akibat sekresi, sel-sel
tereksfoliasi dan darah menstruasi. Besi plasma berkompleksi dengan protein
transferin pengikat besi. Plasma normal memiliki transferin yang cukup (kapasitas
pengikat besi) untuk mengikat 250-400 µg besi desiliter darah. Pada orang dewasa
normal, sekitar 30% transfersin mengalami saturasi, besi plasma normal adalah
sebesar 50-150 µ/dl.
7. Anemia penyakit kronik terjadi akibat dari komplikasi penyakit kronik (misal,
infeksi kronik, penyakit kolagen dan neoplasma ganas). Anemia pada kasus ini
disebabkan oleh kegagalan pengankutan cadang besi menuju plasma dan menuju
eritrosit yang sedang berkembang. Han ini menyebabkan kegagalan
hemoglobinisasi dan anemia.
8. Anemia akibat gagal ginjal kronik biasanya terjadi pada pasien gagal ginjal kronik
karena mengalami anemia normokrom normositik yang disebabkan oleh kegagaln
sekresi eritropoietin normal oleh ginjal. Sumsum tulang dapat menunujukkan
hipoplasia ringan pada rangkaian eritroid.
9. Anemia sideroblastik ditandai dengan gambaran eritrosit darah tepi yang
hiprokomik, mikrositik atau dimorfik. Gambaran darah tepi dimorfik adalah
gambaran yang memiliki campuran eritrosit hipokrom mikrositik dan eritrosit
hipokrom makrositik.

B. Anemia Akibat Kehilangan Darah


1. Kehilangan darah akut
Pendarahan akut mengakibatkan hilangnya darah lengkap dari kompartemen
vaskular, menyebabkan hipovolemia dan mekanisme kompensasi untuk
mempertahankan perfusi organ vital. Pada fase pendarahan akut, nilai darah
meliputi jumlah eritrosit, hemoglobin, dan hematorik adalah normal, karena

9
jumlah yang hilang seimbang. Kompensasi penting hipovolemia adalah retensi air
dan elektrolit oleh ginjal untuk memulihkan volume darah.
2. Kehilangan darah kronik
Pendarahan kronik pada awalnya dikompensasi oleh hiperplasia eritroid sumsum
tulang dan peningkatan produksi eritrosit. Hal ini berlangsung hingga cadangan
besi habis, yang pada saat itu defisiensi besi menjegah kompensasi yang adekuat.
Oleh karena itu, anemia yang disebabkan oleh kehilangan darah kronik
merupakan anemia defisiensi besi dan dibahas dibawah judul tersebut.

C. Anemia hemolitik
Anemia hemolitik adalah kondisi dimana hancurnya eritrosit lebih cepat
dibandingkan dengan penbentukannya. Anemia hemolitik disebabkan oleh
peningkatan kecepatan destruksi eritrosit yang diikuti dengan ketidakmampuan
sumsum tulang dalam memproduksi sel eritrosit untuk memenuhi kebutuhan tubuh
terhadap berkurangnya sel eritrosit. Penghancuran sel eritrosit yang berlebih dapat
menyebabkan terjadinya hiperplasi sumsum tulang shingga prosuksi sel eritrosit akan
meningkat dari angka normalnya. Hal ini terjadi apabila umur eritrosit kurang dari
120 hari menjadi 15-20 hari tanpa diikuti dengan anemia. Namun bila sumsum tulang
tidak mampu mengatasi kedaan tersebut akan mengakibatkan anemia (Reni & Dwi.
2018).

D. Anemia hemolitik diperantarai imun


1. Anemia hemolitik autoimun adalah sekelompok penyakit yang ditandai dengan
hemolisis yang terjadi akibat adanya autoantibodi, dengan spesififitas terhadap
antigen golongan darah. Terikatnya autoantibodi pada membram eritrosit dapat
terjadi secara maksimal pada suhu tubuh (37℃, antibodi hangat) atau pada 4℃
(antibodi dingin).
2. Anemia hemolitik isoimun adalah anemia yang setiap eritrositnya mengalami lisis
akibat aktivitas antibodi individu pada tranfusi darah (eritrosit donor yang tidak
cocok dilisinya oleh antibodi di dalam plasma resipien) maupun pada penyakit
hemolisis bayi baru lahir (eritrisot janinnya dilisis oleh antibodi maternal yang
telah melewati plasenta).

1.5.Klasifikasi

10
Anemia diklasifikasikan menjadi dua golongan, diantaranya yaitu:
1. Klasifikasi anemia berdasarkan etiologi
Anemia disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya (Black J & Hawks J, 2014):
a. Penurunan produksi sel darah merah
Pembuatan sel darah merah akan terganggu apabila zat gizi yang diperlukan tidak
mencukupi. Usia sel darah merah pada umumnya 120 hari dan jumlah sel darah
merah harus dipertahankan. Zat yang dibutuhkan oleh sumsum tulang untuk
pembentukan hemoglobin antara lain yaitu vitamin (B12, B6, C, E, asam folat
tiamin, riboflavin, asam pantotenat), protein, dan hormon (eritropoetin, androgen
dan tiroksin). Prosuksi sel darah merah dapat terganggu karena pencernaan yang
tidak berfungsi dengan baik (malabsorpsi) atau kelainan lambung sehingga zat
gizi penting tidak dapat diserap (Sudargo & Hidayati. 2018).
b. Peningkatan kecepatan penghancuran darah (hemolisis)
c. Kehilangan darah
Pada wanita dewasa biasanya kehilangan darah dalam jumlah banyak terjadi
karena menstruasi. Menstruasi menyebabkan kehilangan zat besi 1 mg/hari pada
perempuan, sedangkan wanita hamil (aterm) sekitar 900mg zat besi dibutuhkan
oleh janin dan plasenta yang diperoleh dari ibu hamil serta pendarahan waktu
partus merupakan penyebab anemia paling sering pada masa ini (Sudargo &
Hidayati. 2018).
2. Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi
Berdasarkan gambaran morfologi, anemia diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu:
a. Anemia Normositik Normokromik
Anemia normositik normokromik disebabkan karena terjadi pendarahan akut,
hemolisis dan penyakit-penyakit infiltratif metastatik pada sumsum tulang. Terjadi
penurunan jumlah eritrosit dan tidak disertai dengan perubahan konsentrasi
hemoglobin dengan indeks eritrositnya yaitu (MCV 80-95fl, MCH 27-34 PG).
b. Anemia Makrositik Hipokromik
Anemia yang terjadi karena ukuran eritrosit yang lebih besar dari nilai normal dan
hiperkromik karena konsentrasi hemoglobin lebih normal (indeks eritrosit:
MCV>95fl). Biasanya ditemukan pada anemia megaloblastik (defisiensi vitamin
B12, asam folat), serta ditemukan pada anemia mikrositik non-megaloblastik
(penyakit hari dan myelodisplasia).
c. Anemia Mikrositik Hipokromik

11
Anemia yang terjadi karena ukuran eritrosit yang lebih kecil dari nilai normal dan
mengandung konsentrasi hemoglobin yang kurang dari nilai normal (indeks
eritrosit: MCV<80fl, MCH<27 pg). Biasanya terdapat penyebab dari terjadinya
anemia mikrositik hipokromik, yaitu:
1. Berkurangnya zat besi: Anemia Defisiensi Besi
2. Berkurangnya Sintesis Globin: Thalasemia dan Hemoglobinopati
3. Berkurangnya Sintesis Heme: Anemia Sideroblastik

1.6.Patofisiologi
Transpor oksigen akan terganggu oleh anemia. Kurangnya hemoglobin atau rendahnya
jumlah sel darah merah, menyebabkan kurangnya pasokan oksigen ke jaringan dan
meyebabkan hipoksia. Tubuh berusaha mengompensasi hipoksia jaringan dengan
meningkatkan kecepatan produksi sel darah merah, meningkatkan curah jantung dengan
meningkatkan volume atau frekuensi denyut jantung, distribusi ulang darah dari jaringan
yang membutuhkan sedikit oksigen ke daerah yang membutuhkan banyak oksigen, serta
menggeser kurva disosiasi hemoglobin oksigen ke arah kanan untuk mempermudah
pelepaan oksigen ke jaringan pada tekanan parsial oksigen yang sama (Black J & Hawks
J, 2014)

1.7. Manifestasi Klinis


Manifestasi yang menyertai timbulnya anemia adalah akibat dari tubuh yang berkreasi
terhadap hipoksia. Gejala yang muncul bervariasi tergantung dengan tingkat keparahan
dan kecepatan hilangnya darah, lamanya anemia yang diderita, usia, dan adanya kelainan
yang lain. Kadar hemoglobin (HB) biasanya digunakan untuk melihat tingkat keparahan
dari anemia. Orang dengan anemia ringan (kadar HB 10-14 g/dl) biasanya asimtomatis.
Gejala klinis muncul biasanya akibat dari kerja yang terlalu keras. Orang dengan anemia
sedang (kadar HB 6-10 g/dl) biasanya terjadi dispnea, demam, diaforesi (keringat
berlebih) saat beraktifitas dan kelelahan. Beberapa orang dengan anemia berat (kadar HB

12
kurang dari 6 g/dl) biasanya pada orang dengan gagal ginjal kronik dan asimtomatis
karena anemia yang terjadi secara bertahap. Pemeriksaan eritrosit, kadar hemoglobin, dan
nilai hematokrit untuk melihat adanya anemia. Spesimen sumsum dilakukan untuk
menentukan tipe dari anemia. Serta asupan perifer atau darah tepi (indeks eritrosit)
digunakan untuk menentukan ukuran dari eritrositnya itu sendiri (Black J & Hawks J,
2014).

1.8.Pemeriksaan Penunjang
Menurut Tarwoto (2010) pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain:
1.8.1 Pemeriksaan Laboratorium
a. Hemoglobin (Hb)

Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu ukuran


kuantitatif tentang beratnya kekurangan zat besi setelah anemia berkembang. Pada
pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan dengan menggunakan alat
sederhana seperti Hb sachli.

b. Penentuan Indeks Eritrosit

Penentuan indeks eritrosit secara tidak langsung dapat dihitung dengan


flowcytometri atau menggunakan rumus:

1. Mean Corpusculer Volume (MCV) adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan
menurun apabila kekurangan zat besi semakin parah, dan pada saat anemia mulai
berkembang. MCV ini salah satu indikator kekurangan zat besi yang spesiflk
setelah thalasemia dan anemia penyakit kronis disingkirkan. Dihitung dengan
membagi hematokrit dengan angka sel darah merah. Nilai normal 70-100 fl,
mikrositik < 70 fl dan makrositik > 100 fl.

2. Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH) adalah berat hemoglobin rata-rata dalam


satu sel darah merah. Dihitung dengan membagi hemoglobin dan angka sel darah
merah. Nilai normal 27-31 pg, mikrositik hipokrom < 27 pg dan makrositik > 31
pg.

c. Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC)

13
MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata. Dihitung dengan
membagi hemoglobin dengan hematokrit. Nilai normal 30- 35% dan hipokrom <
30%.
d. Pemeriksaan Hapusan Darah Perifer

Pemeriksaan hapusan darah perifer dilakukan secara manual. Pemeriksaan


ini dilakukan dengan memperhatikan ukuran, bentuk inti dan sitoplasma sel darah
merah. Dilakukan dengan menggunakan flowcytometry hapusan darah yang dapat
dilihat pada kolom morfology flag.

e. Luas Distribusi Sel Darah Merah (Red Distribution Wide = RDW)

Luas distribusi sel darah merah adalah parameter sel darah merah yang
masih relatif baru, dipakai secara kombinasi dengan parameter lainnya untuk
membuat klasifikasi anemia. RDW merupakan variasi dalam ukuran sel merah untuk
mendeteksi tingkat anisositosis yang tidak kentara. Kenaikan nilai RDW salah satu
manifestasi hematologi paling awal dari kekurangan zat besi, serta lebih peka dari
besi serum, jenuh transferin, ataupun serum feritin. MCV rendah bersama dengan
naiknya RDW adalah pertanda meyakinkan dari kekurangan zat besi, dan apabila
disertai dengan eritrosit protoporphirin dianggap menjadi diagnostik. Nilai normal
15 %.

f. Eritrosit Protoporfirin (EP)

EP diukur dengan memakai haematofluorometer yang hanya membutuhkan


beberapa tetes darah dan pengalaman tekniknya tidak terlalu dibutuhkan. EP naik
pada tahap lanjut kekurangan besi eritropoesis, dan naik secara perlahan setelah
serangan kekurangan besi terjadi. Keuntungan EP adalah stabilitasnya dalam
individu, sedangkan besi serum dan jenuh transferin rentan terhadap variasi individu.
EP secara umum dipakai dalam survei populasi walaupun dalam praktik klinis masih
jarang.

g. Besi Serum (Serum Iron = SI)

Besi serum ini peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun
setelah cadangan besi habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh. Keterbatasan besi

14
serum karena variasi diurnal yang luas dan spesitifitasnya yang kurang. Besi serum
yang rendah ditemukan setelah kehilangan darah maupun donor, pada kehamilan,
infeksi kronis, syok, pireksia, rhematoid artritis, dan malignansi. Besi serum dipakai
kombinasi dengan parameter lain, dan bukan ukuran mutlak status besi yang
spesifik.

h. Serum Transferin (Tf)

Transferin adalah protein tranport besi dan diukur bersamaan dengan besi
serum. Serum transferin dapat meningkat pada kekurangan besi dan dapat menurun
secara pada peradangan akut, infeksi kronis, penyakit ginjal dan keganasan.
Transferrin Saturation (Jenuh Transferin) adalah rasio besi serum dengan
kemampuan mengikat besi, merupakan indikator yang paling akurat dari suplai besi
ke sumsum tulang. Penurunan jenuh transferin dibawah 10% merupakan indeks
kekurangan suplai besi yang meyakinkan terhadap perkembangan eritrosit. Jenuh
transferin dapat menurun pada penyakit peradangan. Jenuh transferin umumnya
dipakai pada studi populasi yang disertai dengan indikator status besi lainnya.
Tingkat jenuh transferin yang menurun dan serum feritin sering dipakai untuk
mengartikan kekurangan zat besi. Jenuh transferin dapat diukur dengan perhitungan
rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi total (TIBC), yaitu jumlah besi
yang bisa diikat secara khusus oleh plasma

i. Serum Feritin

Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif untuk
menentukan cadangan besi orang sehat. Serum feritin secara luas dipakai dalam
praktek klinik dan pengamatan populasi. Serum feritin < 12 ug/l sangat spesifik
untuk kekurangan zat besi, yang berarti kehabisan semua cadangan besi, sehingga
dapat dianggap sebagai diagnostik untuk kekurangan zat besi.

1.8.2 Pemeriksaan Sumsum Tulang


Pemeriksaan histologis sumsum tulang dilakukan untuk menilai jumlah
hemosiderin dalam sel-sel retikulum. Karakteristik dari kekurangan zat besi adalah
tidak ada besi retikuler. Keterbatasan metode ini seperti sifat subjektifnya sehingga
tergantung keahlian pemeriksa, jumlah struma sumsum yang memadai dan teknik
yang dipergunakan. Pengujian sumsum tulang adalah suatu teknik invasif, sehingga
sedikit dipakai untuk mengevaluasi cadangan besi dalam populasi umum.

15
1.9.Penatalaksanaan Medis
Dalam penangnanan anemia tujuan utamanya untuk menidentifikasi dan perawatan
yang dikarenakan terjadinya destruksi sel darah atau penurunan produksi sel darah
merah. Sedangkan penanganan pada pasien yang mengalami hipovelemik antara lain:
1) pemberian tambahan oksigen, pemberian cairan intravena,
2) resusitasi pemberian cairan kristaloid dengan normal salin.
3) tranfusi kompenen darah sesuai indikator
Terapi yang diberikan pada pasien dengan anemia dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut (Black J & Hawks J, 2014):
1. Terapi Oksigen : diberikan kepada klien dengan anemia berat, karena darah
mengalami penurunan mengikuti oksigen. Oksigen dapat mencegah hipoksia dan
mengurangi beban jantung karena rendahnya kadar HB
2. Eritripoetin : injeksi eritropoetin dari subkutan diberikan kepada pasien anemia
kronik, karena obat ini akan membantu meningkatkan produksi sel darah merah.
supaya terapi ini efektif, pasien diharuskankan memiliki sumsul tulang yang
normal dan asupan nutrisi yang memadai.
3. Penggantian zat besi : zat besi ni diberikan per oral pada kebuthan yang segera atau
pada saat kebutuhan tubuh diatas normal (biasanya pada kehamilan). pemberian
per oral ini dilakukan karena mudah dan harganya yang relatif murah. Biasanya
obat yang digunakan yaitu fero sulfat (feosol) atau fero glukanat (fergon), 200-325
mg dosis dengan melalui oral ¾ kali pemberian/hari setelah makan. konsumsi zat
besi dengan vitamin C akan membantu penyerapan dari zat besi. pasien biasanya
menerima suplementasi zat besi selama 6 bulan agar dapat disimpan dalam tubuh.
efek samping dari hal tersebut biasanya terjadi mual, muntah, konstipasi atau diare
dan feses berwarna hitam.
4. Terapi komponen darah: terapai ini digunakan untuk terapi penyakit hematologi
dan beberapa prosedur bedah yang bergantung pada produksi darah. produksi darah
yang didapatkan dari orang lain disebut homolog, sedangkan prosuksi darah yang
diinfuskan kembali daru tubuh pasien sendiri disebut autolog.

16
BAB 2. ASUHAN KEPERAWATAN BERDASARKAN TEORI

2.1 Konsep Asuhan Keperawatan Anemia Secara Teori

A. Identitas Pasien
Anemia lebih sering terjadi pada umur 14-15 tahun (WHO 2011), sedangkan menurut
jenis kelamin Kemenkes RI (2013) menunjukkan angka prevalensi anemia pada
perempuan relatif lebih tinggi (23,90%) dibanding laki-laki (18,40%), prevalensi
anemia berdasarkan lokasi tempat tinggal (alamat) menunjukkan bahwa masyarakat
yang tinggal di pedesaan memiliki risisko lebih tinggi (22,80%) dibandingkan tinggal
di perkotaan (20,60%) (Priyanto 2018, pendidikan, pekerjaan yang beresiko terjadinya
anemia salah satunya yaitu penggunaan pestisida, karena pestisida merupakan bahan
yang digunakan secara luas diberbagai sektor, terutama disektor pertanian atau
perkebunan, kehutanan, perikanan, dan pertanian pangan (Arwin N. M, Suyud. 2016),
Diagnosa medis biasanya yang terjadi pada anemia salah satunya yaitu
ketidakseimbanagn nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, keletihan, risiko infeksi.

B. Clinical History
1. Diagnosa Medis
Diagnosa medis yang sering terjadi pada penyakit anemia seperti
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, keletihan, risiko infeksi,
intoleran aktifitas, resiko jatuh, defisit perawatan diri dan gangguan pertukaran gas
2. Keluhan utama
Pasien dengan penyakit anemia biasanya keluhan yang paling khas adalah pusing,
pucat, kelelahan dan kelemahan
3. Riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyakit sekarang merupakan pengembangan dari keluhan utama pasien
dengan menggunakan metode PQRST.
P (paliatif/profokatif) : sesuatu yang membuat keluhan menjadi berat atau ringan
Q (quality) : bagaimana keluhan yang dirasakan (pada anemia, klien bisanya
merasakan lemas dan tidak bisa melakukan aktivitas seperti biasa)
R (Ronsil) : tempat keluhan dirasakan (biasanya pasien mengeluhkan mula,
muntah)
S (scale) : seberapa besar keluhan dirasakan
T (timing) : kapan keluhan dirasakan

17
4. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit terdahulu merupakan pengkajian mengenai penyakit yang pernah
diderita klien, yang berhubungan dengan anemia maupun tidak
5. Riwayat penyakit keluarga
Pada riwayat keluarga yang dikaji adalah riwayat dari anggota yang memiliki
penyakit sama seperti klien, penyakit menular seperti TBC, penyakit keturunan
seperti DM, Hipertensi, jantung dan asma. Jika ada riwayat penyakit keturunan
selanjutnya dibuat genogram.

C. Pola Fungsingonal
1. Pola persepsepsi kesehatan dan management kesehatan
Menggambarkan pola pikir kesehatan klien, keadaan sehat dan bagaimana
memeliharaan kondisi kesehatan. Termasuk persepsi individu tentang status dan
riwayat kesehatan, hubungan dengan aktiv dan rencana yang akan datang serta
usaha-usaha preventif yang dilakukan klien untuk menjaga kesehatannya.
2. Pola nutrisi metabolik
a. Makan
Dikaji tentang frekuensi makan, jenis diet, porsi makan, riwayat alergi terhadap
suatu jenis makanan tertentu. pada klien anemia, bisanya mengalami penurunan
nafsu makan karena badan yang terasa lemas
b. Minum
Dikaji tentang jumlah dan jenis minuman setiap hari dan tidak ada perubahan
pada pola minum pada pasien
c. Pola eliminasi
Meliputi kebiasaan BAK dan BAB, warnanya, konsisten, frekuensi dan bau baik
sebelum masuk kerumahan sakit atau saat masuk rumah sakit. klien anemia tidak
mengalami perubahan dalam pola eliminasinya
d. Pola aktivitas
Dikaji tentang kegiatan dalam pekerjaan, mobilisasi, ola raga, kegiatan diwaktu
luang dan apakah keluhan yang dirasakan klien mengganggu aktivitas klien
tersebut. Aktivitas pada klien anemia biasanya terganggu karena pola istirahat
yang tidak teratur, keletihan atau kelemahan yang dialami klien.

18
e. Pola istirahat tidur
Waktu tidur, lamanya tidur setiap hari, apakah ada kesulitan dalam tidur.
Pada pasien anemia biasanya pola tidurnya sering terganggu pada malam hari dan
pasien merasakan gelisah akan kondisinya atau kare pola aktivitas pada saat pagi
hari.
f. Pola kognitif-perseptual
Penglihatan, pendengaran, rasa, bau, sentuhan, kemampuan bahasa, kemampuan
membuat keputusan, ingatan, ketidaknyamanan dan kenyamanan. pada klien
anemia poal kognitif tidak terlalu terganggu, akan tetapi kemampuan dalam
mengambil keputusan tidak seperti biasanya.
g. Pola persepsi dan konsep diri
Menggambarkan : body image, identitas diri, harga diri, peran diri, ideal diri dan
klien dengan riwayat penyakit anemia biasanya menginginkan kesmbuhan supaya
dapat beraktivitas kembali seperti biasanya
h. Pola peran hubungan sosial
Menggambarkan : pola hubungan keluarga dan masyarakat, masalah keluarga dan
masyarakat, peran dan tanggung jawab dalam keseharian akan terganggua karena
keadaan yang lemah dan tidak bisa beraktivitas seperti biasanya.
i. Pola koping toleransi stres
koping yang didapatkan klien biasanya dukungan dari keluarga dan kedekatan
keluarga kepada klien.
j. Pola seksual dan reproduksi
Meliputi hubungan klien dengan keluarga (orang tua), mempunya berapa saudara
dan termasuk anak keberapa. Hubungan keluarga dan klien bisanya lebih dekat
karena keadaan klien yang membutuhkan kehadiran keluarga.
k. Pola nilai dan kepercayaan
Pada Pasien anemia, aktivitas dalam beribadah sedikit terganggua karena klien
mengalami lemas.

19
D. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
1. Pemeriksaan fisik
Pengkajian fisik Head to toe (Inspeksi, Palpasi, Perkusi, Auskultasi)
a. Kepala
Inspeksi : kepala tampak simetris, rambut berwarna hitam dan berubah,
persebaran rambut merata, tampak klien mengalami alopesia pada bagian depan,
tidak tampak benjolan dan jejas pada kepala, ekpresi klien tampak tidak nyaman
dengan kondisi.
Palpasi : tidak teraba massa dan nyeri tekan.
b. Mata
Inspeksi : kedua mata simetris, mata terlihat sayu dan berwarna merah,
konjungtiva merah muda, terdapat kotoran pada sudut-sudut mata.
c. Telinga
Inspeksi : kedua telingan simetris, tidak terlihat keluarnya serumen pada kedua
telinga, tidak terdapat jejas dan benjolan pada kedua telinganya
Palpasi : tidak terdapat massa, tidak ada nyeri tekan telinga
d. Hidung
Inspeksi : hidung terlihat simetris, tidak terlihat keluar lendir pada hidung, dari
kedua lubang hidung tidak tampak kotoran, tidak tampak cuping hidung.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan pada hidung, tidak teraba benjolan klien.
e. Mulut
Inspeksi: klien tidak menggunakan gigi palsu, lidah tampak kotor, gigi tampak
kotor, mukosa bibir tampak kering.
f. Leher
Inspeksi: tidak tampak pembesaran kelenjar tiroid, tidak tampak jejas dan massa.
Palpasi: tidak ada nyeri tekan pada leher.
g. Dada
Jantung:
Inspeksi: dada terlihat simetris , tidak tampak massa, tidak tampak ictus cordis.
Palpasi: tidak teraba massa, tidak ada nyeri tekan, teraba ictus cordis.
Perkusi: pekak pada batas jantung.
Auskultasi: terdengar S1 dan S2 tunggal.
Paru:
Inspeksi: dada terlihat simetris,pengembangan dada simetris .

20
Palpasi: tidak teraba massa, tidak ada nyeri tekan, vocal fremitus normal.
Perkusi: sonor pada lapang paru.
Auskultasi: tersengar vesikuler.
Payudarah dan ketiak:
Inspeksi : tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening, tidak tampak
benjolan.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak teraba massa.
h. Abdomen
Inspeksi: perut tampak datar, tidak tampak jejas dan benjolan.
Askultasi: bising usus 14x/menit.
Palpasi: tidak ada nyeri tekan, tidak teraba massa, tidak teraba hepatomegaly.
Perkusi: timpani pada batas lambung.
i. Genetalia dan Anus
Tidak terkaji
j. Ekstremitas
Inspeksi: pasien tampak lemah dan mengurangi aktivitas.
Palpasi: penderita anemia umumnya tidak terdapat nyeri tekan, dan tidak ada
krepitasi pada kedua tangan.
k. Kulit dan kuku
Kulit Inspeksi: warna merata, tidak ada jaringan parut, tidak ada lesi, kuku bersih
dan pendek
Palpasi: akaral hangat, suhu 36℃
l. Keadaan lokal
Tidak ditemukan adanya kelainan fisik pada klien, klien tampak sedikit
khawatir jika dibicarakan indikasi yang akan dijalankan.

2. Pemeriksaan penunjang meliputi:


a. Tes labolatorium
Pemeriksaan laboratorium memiliki nilai yang besar pada diagnosasis anemia,
dan terapi sangat berguna dalam menentukan prognosis dan pengambilan
keputusan untuk intervensi spesifik.
b. Kultur
Kultul dan uji resistensi bila diperlukan
c. Terapi

21
Dengan diberikan obat Methylprednisolone

2.2 Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul


No. Etiologi Masalah

1. Anemia Ketidakseimbangan nutrisi kurang


dari kebutuhan tubuh b.d kurang
Mual muntah asupan makan dan ketidakmampuan
makan
Nafsu makan menurun

Asupan makan menurun

Intake nutrisi kurang

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari


kebutuhan tubuh
2. Anemia Keletihan b.d kelesuan fisiologis dan
kelesuan fisik
Aliran darah perifer menurun

Penurunan transportasi oksigen


kejaringan

Metabolisme aerob turun, anaerob naik

Keletihan
3. - 0bat-obatan Risiko infeksi b.d imunosupresi dan
prosedur invasif
- Infeksi

Gangguan Hemapoetik

Leukopenia

22
Depresi sistem imun

Pertahanan sekunder terganggua

Risiko infeksi

4. Anemia Intoleran Aktivitas b.d Fisisk tidak


bugar
Aliran darah perifer menurun

Penurunan transportasi oksigen


kejaringan

Metabolisme aerob turun, anaerob naik

Hipoksia pucat

Intoleran aktivitas
5. Anemia Risiko Jatuh b.d Hambatan mobilitas

Aliran darah perifer menurun

Penurunan transportasi oksigen


kejaringan

Metabolisme aerob turun, anaerob naik

Hipoksia pucat

Intoleran aktivitas

Risiko Jatuh
6. Anemia Defisit Perawatan Diri: makan b.d

23
Kelemahan
Aliran darah perifer menurun

Penurunan transportasi oksigen


kejaringan

Metabolisme aerob turun, anaerob naik

Keletihan

Devisit Perawatan Diri


7. Anemia Gangguan Pertukaran Gas b.d
Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
Hb turun

Hemoglobin turun

Perfusi jaringan tidak efektif

Kompensasi jantung

Reepirasi meningkat, nadi meningkat

Pola nafas tidak efektif

Gangguan pertukaran gas

2.3 Intervensi
1. Diagnosa Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Kriteria Hasil :
Nafsu Makan (1014):
1. Hasrat/keinginan untuk makan
2. Menyenangi makanan

24
3. Intake makanan
4. Rangsangan untuk makan
Kelelahan: Efek yang Menggangu (0008)
1. Gangguan dengak aktifitas sehari-hari
2. Gangguan pada rutinitas
3. Nafsu makan menurun
4. Gangguan aktivitas fisik
Status Nutrisi: Energi (1007)
1. Stamina
2. Daya tahan
3. Resisten infeksi

Intervensi Keperawatan
a. Manajemen Gangguan Makan (1030)
1. Kolaborasi dengan tim kesehatan untuk mengembangkan rencana perawatan
dengan melibatkan klien dan orang terdekat dengan tepat
2. Dorong klien untuk mendiskusikan makanan yang disukai bersama dengan
ahli gizi
3. Kembangkan hubungan yang mendukung dengan klien
4. Berikan dukungan (misal, terapi relaksasi, latihan desentisasi, kesempatan
untuk membicaraka perasaan) sembari klien juga berusaha mengintregasikan
perilaku makan yang baru, perubahan citra tubuh dan perubahan gaya hidup.
b. Bantuan Perawatan Diri: Pemberian Makan (1803)
1. Atur meja dan nampan makanan agar terlihat menarik
2. Berikan kebersihan mulut sebelum makan
3. Posisikan pasien dalam posisi makan yang nyaman
c. Manajemen Nutrisi (1100)
1. Identifikasi adanya alergi atai intoleransi makanan yang dimiliki pasien
2. Tentukan apa yang menjadi prefensi makanan bagi pasien
3. Tentukan jumlak kalori dan jenis nutrisi yang dibutuhkan untuk memenuhi
persyaratan gizi
4. Tawarkan makanan ringan yang padat gizi
d. Manajemen Energi (0108)

25
1. Kaji status fisisologi pasien yang menyebabkan kelelahan sesuai dengan
konteks usia dan perkembangan
2. Tentukan persepsi pasie/orang terdekat dengan pasien mengenai penyebab
kelelahan
3. Pilih intervensi untuk mengurangi kelelahan baik secara farmakologi atau non
farmakologi dengan tepat
4. monitor intake/asupan nutrisis untuk menentukan sumber enrgi yang adekuat

2. Diagnosa Keletihan
Kriteria Hasil:
Tingkat Kelelahan (0007)
1. Kelelahan
2. Kelesuhan
3. Kehilangn selera makan
4. Kegiatan sehari-hari
Perawatan Diri: Aktifitas Sehari-hari (0300)
1. Makan
2. Kebersihan mulut
3. Berjalan
Tidur (0004)
1. Jam tidur
2. Pola tidur
3. Kualitas tidur
4. Tidur rutin
5. Merokok
Intervensi Keperawatan:
a. Manajemen Lingkungan (6480)
1. Ciptakan lingkungan yang aman bagi pasien
2. Berikan kamar terpisah seperti yang diindikasikan
3. sediakan tempat tidur dan lingkungan yang bersih dan nyaman
4. Sediakan kasur yang kokoh
b. Terapi Aktifitas (4310)

26
1. Pertimbangkan kemampuan klien dalam berpartisipasi melalui aktivitas
spesifik
2. Pertimbangkan komitmen klien untuk meningkatkan frekuensi dan jarak
aktivitas
3. Bantu kilen untuk mengeksplorasi tujuan personal dari aktivitas yang
dilakukan (misal, bikerja)
c. Pengurangan Kecemasan (5820)
1. Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
2. Berikan informasi faktual terkait diagnosa, perawatan dan pronosis
3. Berada disisi pasien untuk meningkatkan rasa aman dan mengurangi ketakutan
4. Bantu pasein mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan
d. Peningkatan Latihan: Latihan Kekuatan (0201)
1. Lakukan skrining kesehatan sebelum memulai latihan untuk mengidentifikasi
risiko dengam mengguankan skala kesiapan latian fisik terstandar atau
melengkapi pemeriksaan riwayat kesehatan dan fisisk
2. Dapatkan persetujuan medis untuk memulai program latian kekuatan, jika
diperlukan
3. Spesifikkan tipe dan durasi dari aktivitas pemansan dan pendinginan (misal,
berjalan)

3. Diagnosa Risiko Infeksi


Kriteria Hasil:
Status Nutrisi (1004)
1. Asupan Gizi
2. Asupan makan
3. Energi
Kontrol Risiko: Proses Infeksi (1924)
1. Mencari informasi terkait konrol infeksi
2. mengidentifikasi faktor risiko infeksi
3. Mengenali faktor risiko individu terkait infeksi
4. Mengetahui perilaku yang berhubungan dengan infeksi
5. Mengidenfitikasi resiko infeksi dalam aktifitas sehari-hari
6. Menggunakan alat pelindung diri

27
Perilaku Berhenti Merokok (1625)
1. Mengekspresikan keinginan untuk berhenti merokok
2. Mengidentifikasi manfaat dari berhenti merokok
3. Membangun strategi yang efektif untuk berhenti merokok
Intervensi Keperawatan
a. Perlindungan Infeksi (6550)
1. Monitor adanya tanda dan gejala infeksi sistemik dan local
2. Monitor kerentanan terhadap infeksi
3. Tingkatkan asupan nutrisi yang cukup
4. Pantau adanya perubahan tingkat energi dan malaise
5. Anjurkan peningkatan mobilitas dan latihan, dengan tepat
6. Ajarkan pasien dan keluarga mengenai tanda dan gejala infeksi dan
kapan harus melaporkannya kepada pemberi layanan kesehatan
7. Ajarkan pasien dan keluarga bagaimana cara menghindari infeksi
b. Monitor Nutrisi (1160)
1. Monitor adanya mual muntah
2. Monitor diet dan asupan kalori
3. Identifikasi perubahan nafsu makan dan aktivitas akhir-akhir ini
4. Monitor tipe dan banyaknay latian yang bisa dilakukan
5. Tentukan Pola makan (misal, maknana yang disukai dan tidak disukai,
konsumsi yang berlebihan terhadap makanan siap saji, makan yang terlewati)

28
BAB 3. PATHWAYS

- Agen neoplastik
- Radiasi
- 0bat-obatan
- Infeksi
- Bahan kimia

Gangguan Hemapoetik

Leukopenia Eritropetik Trombositopeni


a

Depresi sistem imun Anemia Hb turun

Mual-muntah Aliran darah hermoglobin turun


Pertahanan sekunder
terganggu perifer menurun
Daftar Pustaka
Nafsu Perfusi jaringan
makan Penurunan tidak efektif
Risiko infeksi
menurun transportasi oksigen
kejaringan Gangguan
Kompensasi jantung pertukaran gas
Asupan makan
menurun
Metabolisme aerob
turun, anaerob naik Reepirasi Pola nafas tidak
Intake nutrisi meningkat, efektif
Hipoksia pucat kurang nadi meningkat
Keletihan

Intoleran Ketidakseimbangan Cardiomegali


aktivitas nutrisi kurang dari
Devisit
kebuuhan tubuh
perawatan diri
Gagal jantung
RIsiko jatuh/Risiko ceder

29
DAFTAR PUSTAKA

Arwin N. M, Suyud. 2016. Pajanan Pestisida dan Kejadian Anemia Pada Petani Holistik Di
Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut. BKM Journal Of Community Medicine And
Public Healt Vol 32 No 7

Astutik R.Y, Ertiana D. 2018. Anemia Dalam Kehamilan. Jember: Pustaka Abadi

Black J.M, Hawks J. H. 2014. Keperawatan Medikal Bedah. Singapore: Elsevier

Chandrasoma P, Taylor C. R. 2005. Patologi Anatomi. Jakarta: EGC

Fakhidah, L. N. Putri, K. S. E. 2016. Faktor-faktor yang berhubungan dengan status


hemoglobin pada remaja putri. Maternal, Vol 1 No 1

Handayani W, Haribowo A. S. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan


Sistem Hematologi. Jakarta: Salemba

Kemenkes RI. 2013. Riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI

Priyanto L. D. 2018. Hubungan Umur, Tingkat Pendidikan, Dan Aktivitas Fisik Santriwati
Husada Dengan Anemia. Jurnal Berkala Epidemiologi Vol 6 No 2

Soebroto, I. 2010. Cara Mudah Mengatasi Problem Anemia. Yogyakarta: Bangkit

Sudargo T, Kusmayanti N. A, Hidayati N. L. 2018. Defisiensi Yodium, Zat Besi, Dan


Kecerdasan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Pres

Suryani, D., Hafiani, R., & Junita, R. (2015). Analisis pola makan dan anemia gizi besi pada
remaja putri Kota Bengkulu. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas, 10(1), 11– 18.

Syaifuddin. 2010. Anatomi Dan Fisisologi: Kurikulum Berbasis Kompetensi Untuk


Keperawatan Dan Bidan, Eb 4. Jakarta: EGC

Silalahio V, Aritonang E, Ashar T. 2016. Potensi Pendidikan Gizi Dalam Meningkatkan


Asupan Gizi Pada Remaja Putri Yang Anemia Di Kota Medan. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Vol 11 No 2

Tarwoto. 2010. Buku Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta :
TIM

30

Anda mungkin juga menyukai