Anda di halaman 1dari 13

DINAMIKA PERUBAHAN TINGGI BADAN DAN INDEKS MASSA TUBUH

SEJAK BALITA SAMPAI REMAJA DI INDONESIA


(STUDI LOGITUDINAL IFLS 1993 – 2007)

DYNAMICS OF CHANGES IN HEIGHT AND BODY MASS INDEX


SINCE UNDER FIVE YEARS OF CHILDREN TO ADOLESCENCE IN INDONESIA
(IFLS LOGITUDINAL STUDY 1993-2007)

Demsa Simbolon*

*Poltekkes Kemenkes Bengkulu

Abstrak

Balita Indonesia mengalami masalah gizi ganda. Stunting, overweight dan obesitas merupakan
masalah gizi kronis yang dapat menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas, juga
memiliki efek sisa (retain effect) yang berdampak pada peningkatan penyakit degenetarif.
Penelitian menggunakan data Indonesian Family Life Survey (IFLS) dengan dengan desain
longitudinal. Sampel berjumlah 837 balita dipilih secara multistage random sampling.
Pengukuran tinggi dan berat badan dilakukan 4 kali mulai tahun 199, 1997, 2000 dan 2007.
Indikator TB/U dan IMT/U menggunakan software WHO Antro v.3.1.0 dan WHO anthroPlus
v.1.0.3 dengan rujukan WHO 2007. Dinamika perubahan tinggi badan dan IMT dianalisis
menggunakan uji regresi logistik. Hasil penelitian menemukan keadaan stunting mempunyai
kecenderungan akan tetap stunting pada kelompok umur berikutnya, namun anak tinggi badan
normal dapat menjadi stunting, dan anak stunting dapat pula mengejar pertumbuhan menjadi
normal. Tingginya prevalensi gemuk/obesitas pada balita sampai remaja di Indonesia berkaitan
dengan tingginya prevalensi stunting. Dinamika perubahan IMT/U dari usia balita sampai remaja
menunjukkan kecenderungan akan tetap sampai remaja. Anak kurus/sangat kurus akan
cenderung tetap kurus/sangat kurus, demikian juga anak gemuk/obesitas. Upaya memutus mata
rantai kelanjutan gangguan pertumbuhan sejak usia dini sampai remaja perlu intervensi yang
diprioritaskan pada perbaikan tinggi badan yang dimulai sejak awal kehamilan bahkan
sebelumnya untuk mencegah fetal programming. Perlu intervensi tepat dan segera berupa
program pemberian makanan tambahan yang dapat mengoreksi tinggi badan.

Kata Kunci: stunting, IMT, Kurus, gemuk, obesitas

Abstract

In Indonesia, based on BMI of under five years children suffered multiple nutritional problems,
where the prevalence of malnourished are still high , but the problem of overweight continues to
increase. Stunting, overweight and obes are a chronic nutritional problems can be a major cause
of morbidity and mortality, also have a retain effect which increased degenetarif disease. The
study used Indonesian Family Life Survey (IFLS) data with a longitudinal study design. Samples
totaling 837 infants selected by multistage random sampling. Height and weight measurements
conducted 4 times 1993, 1997, 2000 and 2007. Height and weight measurements conducted 4

1 |International Conference on Health (ICH) Bengkulu, 19-21 August 2014


times starting in 199, 1997, 2000 and 2007. Indicators of HAZ and BAZ using software WHO
Antro v.3.1.0 and WHO anthroPlus v.1.0.3 with reference to WHO 2007. Dynamics of changes
in height and BMI were analyzed using logistic regression. The results showed that the situation
is likely to remain short of stunting in the next age group, but normal height children can be
stunted, and child stunting can also pursue a normal height growth into the next age. The high
overweight/obesity prevalence in under five years children to adolescence in Indonesia with
regard to the high prevalence of stunting. Dynamics of changes in BMI by age showed a
tendency to remain until adolescence. Wasting children will tend to remain wasted adolescence,
so the overweight/obesity. Efforts to break the chain of continuation of growth disorders from
early childhood through adolescence need to be prioritized intervention in height improvement
that began even before the beginning of pregnancy to prevent fetal programming. It should be
precise and immediate intervention in the form of supplementary feeding programs that can
correct height.

Keywords: stunting, BMI, Skinny, overweight, obesity

PENDAHULUAN

Masalah gizi dan kesehatan terjadi hampir di setiap siklus daur kehidupan. Para ilmuan
sepakat bahwa terdapat kaitan yang terus menerus dalam hal status gizi di sepanjang kehidupan.
Masalah status gizi pada usia balita yang masih memprihatinkan di antaranya adalah gangguan
pertumbuhan linier (stunting) berdasarkan indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) dan
masalah kelebihan berat badan dan obesitas berdasarkan indeks massa tubuh menurut umur
(IMT/U). Stunting merupakan masalah gizi kronis yang dapat menjadi penyebab utama
morbiditas dan mortalitas karena memiliki efek sisa (retain effect) yang berdampak pada
peningkatan penyakit degenetarif demikian juga masalah kegemukan dan obesitas.1
Stunting umumnya terjadi dalam periode yang singkat (sebelum lahir hingga kurang lebih
umur 2 tahun) namun mempunyai konsekuensi yang serius dikemudian hari. Balita stunting
biasanya akan menjadi lebih stunting pada masa dewasa2. Seorang anak laki-laki yang stunting
akan berisiko menjadi lelaki dewasa yang stunting juga, yang akan mempengaruhi pada
produktivitas kerja yang kurang hingga berdampak pada status ekonomi, sedangkan seorang
anak perempuan yang stunting akan menjadi seorang perempuan dewasa yang stunting, yang
apabila mengalami kehamilan akan berisiko melahirkan bayi BBLR3, sehingga dampak stunting
terus berlanjut dalam siklus kehidupan.
Beberapa negara termasuk Indonesia telah melaporkan prevalensi masalah gizi ganda
pada kelompok usia balita. Walaupun berbagai upaya penanggulangan telah banyak dilakukan

2 |International Conference on Health (ICH) Bengkulu, 19-21 August 2014


namun kondisinya tetap tidak banyak berubah, karena program berikan gizi pada umumnya
hanya memperbaiki masalah penambahan berat badan tanpa mengkoreksi perubahan tinggi
badan sehingga masalah stunting masih tetap tinggi. Berdasarkan kriteria WHO untuk prevalensi
stunting di beberapa negara Asia dalam kelompok prevalensi tinggi, termasuk Indonesia.4
Prevalensi balita stunting dari tahun 1992 sampai 2000 dari beberapa survei masih sekitar 30-
40%5, dan angka ini tidak berubah sampai hasil survei tahun 2010. 34,3% pada laporan SKRT
2001, 26% pada laporan SKRT 2004, 35,7% pada laporan Riskesdas 2010 dengan variasi yang
cukup lebar antara kabupaten/kota.6 Prevalensi balita stunting di Indonesia bahkan lebih tinggi
dibandingkan dengan prevalensi stunting pada balita di India mulai umur 2 tahun (25,7%), 3
tahun (26,4%), 4 tahun (24,5%), 5 tahun (27,6%), dan 6 tahun (30,5%).7 Wasting di Indonesia
juga prevalensinya masih tinggi (13,6%) sehingga masih menjadi masalah kesehatan yang serius
dan secara bersamaan terdapat 12,2% balita Indonesia mengalami kegemukan.8
Memasuki usia remaja, Indonesia juga menghadapi masalah gizi ganda. Masalah ini akan
mempunyai konsekuensi dan dampak yang sangat luas pada masalah kesehatan dan kualitas
hidup remaja. Laporan Riskesdas 2007 prevalensi kurus (IMT/U) penduduk umur 6-14 tahun
adalah 13,3% pada laki-laki dan 10,9% pada perempuan.8 Prevalensi obesitas pada remaja di
Indonesia juga mengalami peningkatan sebesar 2,8%. Laporan Riskesdas tahun 2007 prevalensi
obesitas remaja (usia ≥ 15 tahun) 10,3% dan 10 propinsi memiliki prevalensi di atas angka
prevalensi nasional prevalensinya meningkat pada laporan Riskedas 2010 menjadi 13,2% dan 17
propinsi memiliki prevalensi di atas angka prevalensi.6 Berdasarkan pada uraian di atas,
melatarbelakangi perlunya penelitian ini sehingga di peroleh dinamika perubahan tinggi badan
dan indeks massa tubuh sejak balita sampai remaja.
Beberapa hasil penelitian menjelaskan hubungan stunting dengan IMT. Di Afrika Selatan
terbutkti bahwa anak stunting pada usia 10-14 tahun akan mempunyai IMT lebih rendah.9 Di
Pedesaan Afrika juga membuktikan bahwa stunting pada anak 2 tahun dapat memprediksi berat
badan dan tinggi badan anak usia 7-9 tahun. Anak stunting usia 2 tahun signifikan lebih stunting
dan lebih ringan, tetapi tidak ada perbedaan IMT anak antara anak stunting dan non-stunting.10
Penelitian di Brazil menemukan 30% anak stunting, diantaranya 21% remaja perempuan dan
8,6% remaja laki-laki mengalami overweight.11 Penelitian Niclasen et al (2006) membuktikan
bahwa anak yang mengalami overweight, pada saat remaja 41,7% akan overweight dan 7,7%
obesitas, dan anak-anak yang mengalami obesitas sebesar 30% akan overweight dan 60% tetap

3 |International Conference on Health (ICH) Bengkulu, 19-21 August 2014


obesitas saat remaja.12 Namun penelitian di Kingston-Jamaika menunjukkan tidak ada
peningkatan risiko overweight pada usia 7 sampai 11 tahun antara bayi stunting dan tidak
stunting.13
Keterbatasan hasil penelitian yang menguraikan secara jelas dinamika gangguan
pertumbuhan sejak usia balita sampai remaja melandasi dilakukan penelitian ini dengan
menggunakan data studi longitudinal Indonesia Family Life Survey (IFLS) tahun 1993-2007,
penelitian ini mencoba menguraikan dinamika perubahan tinggi badan dan indeks massa tubuh
sejak usia balita sampai remaja. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan
memperkuat pentingnya perumusan kebijakan yang dapat segera diimplementasikan dalam
upaya perbaikan kualitas seorang anak.
METODE
Desain penelitian menggunakan studi longitudinal (cohort fixed population) dengan memantau
secara berkala anak usia balita sampai remaja 15-19 tahun berdasarkan data Indonesia Family
Life Survey (IFLS) tahun 1993-2007. Riwayat lahir diukur dari umur kehamilan dan berat lahir
dari IFLS 1993. Status gizi diukur secara berkala dari usia balita (IFLS 1993), 5-9 tahun (IFLS
1997), 8-12 tahun (IFLS 2000) dan remaja 15-19 tahun (IFLS 2007). Populasi penelitian adalah
seluruh anak balita di 13 propinsi daerah penelitian pada saat dilakukan IFLS1 tahun 1993
berusia 1-5 tahun (lahir antara tahun 1980 sampai 1993). Sampel adalah balita yang secara
random terjaring dalam IFLS1 (1993). Jumlah balita yang tersedia dalam IFLS 1 sebesar 1.732
anak. Besar sampel dalam penelitian sebanyak 837 anak yaitu seluruh bayi dan balita yang
menjadi sampel pada IFLS 1993 yang memenuhi kriteria inklusi yaitu anak kandung, lahir hidup
dan lahir tunggal; anak tinggal dengan orang tua kandungnya (ayah dan ibu); anak ditimbang
berat lahir dan tersedia data umur kehamilan; pada pelaksanaan IFLS1 anak berusia 1- 5 tahun
dan anak tetap hidup sampai usia 15-19 tahun (IFLS4). Penilaian indeks antropometri
berdasarkan Zskore tinggi badan menurut umur (TB/U ) dan indeks massa tubuh menurut umur
(IMT/U) menggunakan software WHO Antro v.3.1.0 dan status gizi anak sampai remaja dengan
WHO anthroPlus v.1.0.3 dengan rujukan WHO tahun 2007. 14 Dinamika perubahan tinggi badan
dan indeks massa tubuh dianalisis menggunakan uji regresi logistic sederhana.

4 |International Conference on Health (ICH) Bengkulu, 19-21 August 2014


HASIL PENELITIAN

Deskripsi Tinggi Badan dan IMT Balita sampai Remaja

Tabel 1
Disrtibusi Tinggi Badan dan Indeks Massa Tubuh dari Usia Balita sampai Remaja

Status Gizi Balita 5-9 tahun 8-12 tahun Remaja


TB/U
Normal 395 (53,5) 474 (64,2) 455 (61,7) 480 (57,3)
Stunting 343 (46,5) 264 (35,8) 283 (38,3) 357 (42,7)
IMT/U
Normal 559 (75,7) 628 (85,1) 591 (80,1) 689 (82,3)
Kurus/sangat kurus 73 (9,9) 69 (9,3) 90 (12,2) 66 (7,9)
Gemuk/obesitas 106 (14,4) 41 (5,6) 57 (7,7%) 82 (9,8)
TB/U dan IMT/U
Stunting_ Kurus 29 (3,9) 19 (2,6) 37 (5,0) 29 (3,9)
Stunting_ Normal 255 (34,6) 233 (31,6) 233 (31,6) 236 (32,5)
Stunting_Gemuk 59 (8,0) 12 (1,6) 13 (1,8) 41 (5,6)
Normal_ Kurus 44 (6,0) 50 (6,8) 53 (7,2) 29 (3,9)
Normal_ Normal 304 (41,2) 395 (53,5) 358 (48,5) 375 (50,8)
Normal_Gemuk 47 (6,4) 29 (3,9) 44 (6,0) 28 (3,8)

Tabel 1 menunjukkan mendeskripsikan tinggi badan dan indeks massa tubuh sejak usia
balita sampai remaja. Hasil analisis menunjukkan bahwa proporsi stunting sejak balita sampai
remaja diatas dari 35% yang berarti stunting di Indonesia merupakan masalah kesehatan
masyarakat dengan prevalensi yang sangat tinggi dan diperkirakan berkontribusi terhadap
kegemukan/obesitas. Berdasarkan indikator IMT/U sejak balita sampai remaja, Indonesia
dihadapkan dengan beban ganda masalah gizi. Pada usia balita 9,9% balita kurus/sangat kurus
dan 14,4% balita gemuk/obesitas. Pada usia 5-9 tahun 9,3% anak kurus/sangat kurus dan 5,6%
anak gemuk/obesitas. Pada usia 8-12 tahun 12,2% anak kurus/sangat kurus dan 7,7% anak
gemuk/obesitas, dan pada usia remaja 7,9% remaja kurus/sangat kurus dan 9,3% remaja
gemuk/obesitas.
Komposit antara tinggi badan dan IMT menunjukkan bahwa keadaan gemuk/obesitas
lebih banyak dikontribusi karena stunting baik pada usia balita maupun remaja. Prevalensi balita
gemuk/obesitas 14,4% dikontribusi dari 55,6% stunting dan 9,8% remaja gemuk/obesitas
dikontibusi dari 57,1% stunting. Sedangkan pada keadaan kurus/sangat kurus lebih banyak
dikontribusi oleh tinggi badan normal. Dari 9,9% balita kurus/sangat kurus dikontribusi 60,6%
dari tinggi badan normal namun pada usia remaja kontribusi tinggi badan normal dan stunting
sama terhadap kurus/sangat kurus (50%). Hal ini menunjukkan terdapat perbedaan gambaran

5 |International Conference on Health (ICH) Bengkulu, 19-21 August 2014


status gizi menurut komposit tinggi badan dan IMT pada setiap kelompok umur. Proporsi balita
stunting serta kurus/sangat kurus dan gemuk/obesitas proporsinya menurun pada usia 5-9 tahun
dan 9-12 tahun, namun memasuki usia remaja terjadi peningkatan kembali seperti keadaan balita.
Sementara pada kelompok tinggi badan normal tidak terlihat perbedaan yang besar.

Dinamika Perubahan Tinggi Badan sejak Balita sampai Remaja


Tabel 2 menunjukkan bahwa keadaan stunting cenderung akan tetap stunting pada
kelompok umur berikutnya. Pada balita stunting, 56,3% pada usia 5-9 tahun (OR= 5,87 95%CI:
4,2 – 8,2), 59,8% pada usia 8-12 tahun (OR=6,04 95%CI: 4,4 – 8,4) dan 54,5% pada usia remaja
(OR=2,78 95%CI: 2,1 – 3,8) tetap dengan kondisi stunting. Pada kelompok usia 5-9 tahun juga
menunjukkan kecenderungan yang sama, dimana stunting di usia 5-9 tahun sebanyak 78% akan
stunting usia 8-12 tahun (OR=18,31 95%CI: 12,5 – 26,8) dan 55,7% pada usia remaja (OR=2,49
95%CI: 1,8 – 3,4) dalam kondisi tetap stunting. Kemudian anak stunting usia 8-12 tahun, 46%
tetap stunting pada usia remaja (OR=1,37 95%CI:1,1 – 1,9). Temuan ini menunjukkan adanya
perubahan status gizi dari tinggi badan normal menjadi stunting dan dari keadaan stunting dapat
mengejar pertumbuhan menjadi tinggi badan normal. anak tinggi badan normal pada usia balita
sebesar 18% dapat menjadi stunting pada usia 5-9 tahun, 19,7% pada usia 8-12 tahun dan 30,1%
pada usia remaja. Anak tinggi badan normal pada usia 5-9 tahun sebesar 16,2% pada usia 8-12
tahun dan 33,5% pada usia remaja dapat menjadi stunting. Anak usia 8-12 tahun TB/U normal
38,7% dapat menjadi stunting pada usia remaja.
Hasil penelitian juga menemukan bahwa dapat terjadi perubahan tinggi badan stunting
menjadi normal pada kelompok usia berikutnya. Anak tinggi badan stunting pada usia balita
dapat menjadi tinggi badan normal pada usia berikutnya yaitu sebesar 43,7% pada usia 5-9
tahun, 40,2% pada usia 8-12 tahun dan 45,5% pada usia remaja. Anak stunting pada usia 5-9
tahun, 21% pada usia 8-12 tahun dan 44,3% pada usia remaja dapat menjadi tinggi badan
normal. Anak stunting pada usia 8-12 tahun 54,1% dapat menjadi normal tinggi badannya pada
usia remaja. Hal ini menunjukkan bahwa tinggi badan anak dapat diperbaiki bila dilakukan
intervensi yang tepat.

6 |International Conference on Health (ICH) Bengkulu, 19-21 August 2014


Tabel 2
Perubahan Status Gizi menurut TB/U dari Usia Balita sampai Remaja

TB/U Usia 5-9 tahun TB/U Usia 8-12 tahun TB/U Remaja
Status Gizi Anak N
Normal Stunting Normal Stunting Normal Stunting
TB/U Balita
Normal 395 82,0 18,0 80,3 19,7 69,9 30,1
Stunting 343 43,7 56,3 40,2 59,8 45,5 54,5
OR (95%CI) 5,87 (4,2 – 8,2) 6,04 (4,4 – 8,4) 2,78(2,1 – 3,8)
P* 0,0001 0,0001 0,0001

TB/U 5-9 tahun


Normal 474 83,8 16,2 66,5 33,5
Stunting 264 21,0 78,0 44,3 55,7
OR (95%CI) 18,31 (12,5 – 26,8) 2,49 (1,8 – 3,4)
P* 0,0001 0,0001

TB/U 8-12 tahun


Normal 455 61,3 38,7
Stunting 283 54,1 45,9
OR (95%CI) 1,37(1,1 – 1,9)
P* 0,042
*Nilai p berdasarkan regresi logistik sederhana

Dinamika Perubahan Indeks Massa Tubuh Balita sampai Remaja


Tabel 4 menunjukkan perubahan IMT/U dari usia balita sampai remaja. Hasil
menunjukkan bahwa keadaan IMT/U pada usia sebelumnya cenderung akan tetap sama sampai
usia remaja. Semakin dekat kelompok umur dengan kelompok umur berikutnya semakin besar
risiko keadaan tetap pada IMT/U yang sama. Balita kurus/sangat kurus akan tetap kurus/sangat
kurus 19,2% pada usia 5-9 tahun (OR=2,3 95%CI: 1,2-4,3), 28,8% pada usia 8-12 tahun
(OR=3,1 95%CI:1,8-5,5) dan 12,3% pada usia remaja (OR=1,5 95%CI:0,7-3,1). Anak usia 5-9
tahun yang kurus/sangat kurus akan tetap kurus/sangat kurus 44,9% pada usia 8-12 tahun
(OR=8,2 95%CI:4,7-14,2) dan 26,1% pada usia remaja (OR=5,3 95%CI:2,8-9,9), dan anak usia
8-12 tahun yang kurus/sangat kurus akan tetap kurus/sangat kurus 28,9% pada usia remaja (OR=
7,8 95%CI:4,3-14,2). Hal yang sama juga terjadi pada keadaan gemuk/obesitas. Balita
gemuk/obesitas akan tetap gemuk/obesitas 20,8% pada usia 5-9 tahun(OR=7,1 95%CI:3,7-13,7),
18,9% pada usia 8-12 tahun (OR=3,4;1,9-6,2) dan 17,9% pada usia remaja (OR=2,2 95%CI:1,2-
3,9). Anak usia 5-9 tahun yang gemuk/obesitas akan tetap gemuk/obesitas 51,2% pada usia 8-12
tahun (OR=20,2 95%CI: 9,7-42,1) dan 31,7% pada usia remaja (OR=5,1 95%CI: 2,4-10,4), dan
anak usia 8-12 tahun yang gemuk/obesitas 45,6% akan tetap gemuk/obesitas pada usia remaja
(OR=12,3 95%CI:6,56-22,9).

7 |International Conference on Health (ICH) Bengkulu, 19-21 August 2014


PEMBAHASAN
Perubahan Tinggi Badan dari Usia Balita Sampai Remaja
Terhambatnya pertumbuhan pada bayi dan anak-anak, tercermin dalam ketinggian yang
tidak sesuai dengan usia, yang merupakan adaptasi pada asupan energi rendah dalam waktu yang
lama. Jika kekurangan energi tidak terlalu lama, anak akan menunjukkan catch-up growth.
Stunting mencerminkan kekurangan gizi kronis dan terdeteksi sebagai gangguan pertumbuhan
linier. Seorang bayi yang stunting kemungkinan tetap stunting sepanjang masa remaja dan
kemungkinan untuk menjadi seorang dewasa juga stunting. Kekurangan gizi dan stunting selama
masa bayi dan anak usia dini secara konsisten ditemukan mempengaruhi kesehatan individu baik
jangka stunting dan jangka panjang.15
Anak yang telah mengalami stunting pada usia kurang dari 2 tahun akan bertahan tetap
stunting pada usia berikutnya. Efek stunting pada balita berkelanjutan sampai usia remaja. Hasil
penelitian di Waterlow et al (1994) menemukan 56,3% balita stunting pada usia 5-9 tahun,
59,8% pada usia 8-12 tahun dan 54,5% pada usia remaja tetap dengan kondisi stunting. Pada
kelompok anak usia 5-9 tahun juga menunjukkan kecenderungan yang sama, dimana anak
stunting usia 5-9 tahun sebanyak 78% pada usia 8-12 tahun dan 55,7% pada usia remaja dalam
kondisi tetap stunting. Anak yang stunting setelah dua tahun kelahiran 52% akan tetap stunting,
sedangkan anak yang normal menjadi stunting sebesar 17%.16 Hasil penelitian Bosch et al (2008)
mengatakan bahwa risiko menjadi stunting pada saat remaja bagi anak-anak moderately stunting
adalah 1,64 kali berisiko daripada anak-anak yang tidak stunting sedangkan risiko stunting pada
remaja bagi anak-anak severely stunting adalah 7,4 kali berisiko daripada anak-anak yang tidak
stunting.17 Bahwa bayi dan balita yang stunting cenderung memiliki asupan energi rendah
dibandingkan dengan yang tidak stunting. Dengan tidak memadainya asupan gizi, tubuh anak
akan menghemat energi dengan membatasi kenaikan berat badan dan kemudian membatasi
pertumbuhan linier, sehingga anak yang stunting berisiko tetap stunting.18

8 |International Conference on Health (ICH) Bengkulu, 19-21 August 2014


Tabel 4
Perubahan Status Gizi menurut IMT/U dari Usia Balita sampai Remaja

Usia 5-9 tahun Usia 8-12 tahun Usia Remaja


IMT/U n Normal Kurus Gemuk Normal Kurus Gemuk Normal Kurus Gemuk
(738)
Usia Balita
Normal 559 87,5 9,1 3,4 82,5 11,6 5,9 83,2 8,4 8,4
Kurus/Sangat Kurus 73 80,8 19,2 0 65,8 28,8 5,5 83,6 12,3 4,1
OR (95%CI) 2,3(1,2-4,3) - 3,1(1,8-5,5) 1,2(0,4-3,4) 1,5(0,7-3,1) 0,5(0,1-1,6)
P 0,013 0,0001 0,783 0,33 0,238
Gemuk/Obesitas 106 75,5 3,8 20,8 77,4 3,8 18,9 80,2 1,9 17,9
OR (95%CI) 0,5(0,2-1,4) 7,1(3,7-13,7) 0,3(0,1-0,9) 3,4(1,9-6,2) 0,2(0,5-0,9) 2,2(1,2-3,9)
P 0,168 0,0001 0,045 0,0001 0,046 0,007

Usia 5-9 tahun


Normal 628 85,7 8,8 5,6 85,5 8,1 8,4
Kurus/Sangat Kurus 69 53,6 44,9 1,4 69,6 26,1 4,3
OR (95%CI) 8,2(4,7-14,2) 0,4(0,1-3,1) 5,3(2,8-9,9) 0,6(0,2-2,1)
P 0,0001 0,238 0,0001 0,5
Gemuk/Obesitas 41 39,0 9,8 51,2 63,4 4,9 31,7
OR (95%CI) 2,4(0,8-7,6) 20,2(9,7-42,1) 1,1(0,2-4,7) 5,1(2,4-10,4)
P 0,121 0,0001 0,912 0,0001

Usia 8-12 tahun


Normal 591 88,3 4,7 6,9
Kurus/Sangat Kurus 90 68,9 28,9 2,2
OR (95%CI) 7,8(4,3-14,2) 0,4(0,1-1,7)
P 0,0001 0,227
Gemuk/Obesitas 57 47,4 7,0 45,6
OR (95%CI) 2,8(0,9-8,4) 12,3(6,56-22,9)
P 0,075 0,0001
*Nilai p berdasarkan regresi logistik sederhana

9 |International Conference on Health (ICH) Bengkulu, 19-21 August 2014


Perubahan Indeks Massa Tubuh dari Usia Balita Sampai Remaja
Hasil penelitian menemukan bahwa anak yang kurus/sangat kurus akan berkelanjutan
menjadi kurus/sangat kurus sampai usia remaja. Keadaan kurus/sangat kurus menunjukkan
ketidakseimbangan energi yang masuk dengan energi yang keluar, dimana asupan energi lebih
sedikit dari pada energi yang keluar sehingga terjadi keseimbangan energi negatif.19 Keadaan ini
lebih sering terjadi pada anak perempuan.20 Hal ini karena 50-60% remaja perempuan merasa
dirinya kegemukan, sehingga 44% diantaranya melakukan diet untuk menurunkan berat badan
dan 26% menjaga kenaikan berat badan. 63,2% remaja perempuan umumnya menginginkan
bentuk tubuh yang tinggi langsing dan 24% diantaranya menginginkan tubuh yang ideal. Pada
remaja perempuan IMT rendah sering dikaitkan dengan kondisi psikiatrik seperti anoreksia
nervosa, bulimia nervosa, binge eating disorder, dan eating diseorder non other specific
(EDNOS) dapat mengindikasikan adanya masalah gangguan makan (eating disorder).
Diperkirakan gangguan makan patologis (anoreksia, bulimia dan binge eating disorder)
mencapai 1-3% pada remaja perempuan.21
Keadaan kurus/sangat kurus bila terus berlanjut akan berdampak buruk. Ketidakcukupan
nutrisi juga selalu diasosiasikan dengan penurunan fungsi reproduksi. Pada penelitian Kurzer dan
Calloway yang memanipulasi asupan energi pada perempuan muda, diketahui bahwa penurunan
asupan 800-1000 kalori selama 6 minggu pada masa diet menyebabkan frekuensi dan jumlah
sekresi LH menurun. Pola ini mengarah kepada risiko tidak terjadi pembuahan (anovulation).
Anovulation menjadi suatu adaptasi dari tidak terpenuhinya kebutuhan untuk metabolisme dari
asupan kalori. Jika perilaku tersebut terus terpelihara, untuk memperoleh keturunan pun menjadi
terganggu.22 Bila remaja perempuan tersebut hamil akan berisiko melahirkan bayi BBLR yang
akan berdampak pada tingginya angka kematian ibu, angka kematian bayi, angka kematian balita
serta rendahnya umur harapan hidup. Kompleksnya penyebab dan konsekuensi dari IMT/U
rendah menjadi perhatian penting untuk dilakukan intervensi yang tepat pada remaja, khususnya
remaja perempuan.
Kondisi yang sama juga menemukan hubungan yang signifikan antara keadaan
gemuk/oberitas pada usia balita sampai remaja. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keadaan
gemuk/obesitas terus berkelanjutan sejak usia balita sampai remaja. Bila sejak balita anak telah
gemuk/obesitas akan berisiko menjadi remaja gemuk/obesitas. Semakin dekat kelompok umur
dengan kelompok umur berikutnya semakin besar risiko keadaan tetap gemuk/Obesitas. Temuan

10 |International Conference on Health (ICH) Bengkulu, 19-21 August 2014


ini sejalan dengan hasil penelitian Niclasen et al (2006) yang melaporkan bahwa anak
overweigh, 41,7% akan mengalami overweight pada saat remana dan 7,7% mengalami obesitas,
dan anak-anak yang mengalami obesitas sebesar 30% akan overweight dan 60% tetap obes saat
remaja, bahkan IMT pada usia anak terus berlanjut sampai dewasa, terbukti pada studi di
Guatemala menemukan bahwa peningkatan IMT pada usia 3-7 tahun signifikan berhubungan
dengan IMT pada usia dewasa.13 Pertambahan berat badan dan IMT selama periode sekolah
berhubungan positif dengan kejadian obesitas pada dewasa.22 Di Amerika sebesar 34% remaja
usia 12-19 tahun mengalami obesitas dan lebih dari 32% di antaranya kemudian diketahui tetap
obesitas hingga usia dewasa.23
The National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) mengestimasikan
30% penduduk dewasa menderita obesitas yang telah obesitas pada usia anak-anak dan 80%
remaja yang obesitas akan tetap obesitas ketika dewasa. Hasil studi NHANES II pada anak-anak
dan remaja Amerika yang diikuti dari tahun 1984-2000 menunjukkan anak-anak usia 6-11 tahun
yang telah obes akan berisiko tiga kali lebih besar menderita obesitas pada usia 12-19 tahun.23
Mekanisme yang dapat menjelaskan adanya kecenderungan anak gemuk/oberitas akan
tetap gemuk/oberitas berkaitan dengan adanya gangguan hormon-hormon yang berperan dalam
pengaturan selera makan dan metabolisme energi, yaitu insulin, adiponektin, leptin, grelin,
resistin, dan peptide YY3-36. Konsentrasi leptin plasma berhubungan dengan kandungan lemak
tubuh. Pada orang obesitas kadar leptin akan meningkat. Peningkatan ukuran adiposit
mengakibatkan leptin akan disintesa lebih banyak lagi. Namun pada orang obesitas sering terjadi
resistensi leptin, karena umumnya pada kasus obesitas terdeteksi peningkatan kadar leptin
(hiperleptinemia). Penyebabnya kemungkinan akibat gangguan transport leptin ke sistem saraf
pusat, pengurangan sinyal leptin di hipotalamus.24 Tingginya jumlah lemak dalam tubuh
berhubungan positif dengan kadar leptin dalam darah. Apabila asupan energi melebihi dari yang
dibutuhkan maka massa jaringan adiposa meningkat, disertai dengan peningkatan kadar leptin
dalam peredaran darah. Leptin kemudian merangsang anorexigenic center di hipotalamus agar
menurunkan produksi neuropeptida Y (NPY), sehingga terjadi penurunan nafsu makan dan
asupan makanan. Demikian pula sebaliknya bila kebutuhan energi lebih besar dari asupan energi,
maka massa jaringan adiposa berkurang dan terjadi rangsangan pada orexigenic center di
hipotalamus yang menyebabkan peningkatan nafsu makan dan asupan makanan. Pada sebagian

11 |International Conference on Health (ICH) Bengkulu, 19-21 August 2014


besar orang obesitas, mekanisme ini tidak berjalan walaupun kadar leptin di dalam darah tinggi
yang disebut mengalami resistensi leptin.25
Bayi atau anak-anak yang gemuk mempunyai kemungkinan sulit menjadi kurus pada
waktu dewasanya karena pada usia anak sudah membentuk sel yang jumlahnya lebih banyak dari
anak yang status gizi normal. Kelebihan berat badan/Obesitas pada masa anak juga berpotensi
mengalami penyakit metabolik dan penyakit degeneratif dikemudian hari karena profil lipid
darah pada anak obesitas menyerupai profil lipid pada penyakit kardiovaskuler.26 Hal ini
menunjukkan bahwa masa perinatal dan masa anak-anak merupakan masa penting sebagai masa
kritis yang menentukan masalah kesehatan masyarakat di usia remaja. Masalah gangguan
pertumbuhan pada usia dini (undernutrition) berdampak pada masalah gizi lebih dan gizi kurang
dikemudian hari. Hal ini akan menambah beban ganda masalah gizi di Indonesia. Mengacu pada
hasil penelitian ini masih banyak kebijakan kesehatan yang harus dirumuskan dan masih perlu
dikembangkan program perbaikan status gizi remaja serta evaluasi pada program-program yang
telah berjalan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Achadi, E. L. (2007). Gizi dan Kesehatan Reproduksi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
2. Martorel R, Rivera J & Kaplowitz H. (1990): Consequences of Stunting in Early Childhood
for Adult Body Size in Rural Guatemala. Ann. Nestle 48, 85-92.
3. ACC/SCN. (2000). Fourth Report on the Worl Nutrition Situation. Geneva: ACC/SCN in
collaboration with the International Food Policy Research Institute.
4. World Health Organization. (1997). WHO Database on Child Growth and Malnutrition.
Geneva.
5. Jahari AB, Sandjaja, Sudiman H, Soekirman, Jus’at I, Jalal F, Latief D dan Atmarita (2000).
Status Gizi Balita di Indonesia Sebelum dan Selama Krisis (Analisis Data Antropometri
SUSENAS 1989-1999). Widia Karya Nasional Pangan dan Gizi VII. P93-124.
6. Kementerian Kesehatan RI. (2010). Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta.
7. Bose K & Mandal, G.C. (2010). Proposed New Antropometric Idices of Childhood
Undernutrition. Mal J Nutr 16(1): 131-136.
8. Depkes. (2008). Laporan Riset Kesehatan Dasar 2007. Depkes RI. Jakarta.
9. Petersen JM and Kruger HS. (2004). Association between Stunting and Overweight among
10-15 y old Children in the North West Province of South Africa: the THUSA BANA study.
International Journal of Obesity; 28, 842-851.
10. Cameron N, Wright MM, Griffiths PL, Norris SA, Pettifort JM. (2005). Stunting at 2 years in
Relation to Body Composition at 9 years in African Urban Children. Obesity Research vol.
13 No.1 January.
11. Walker Sp, Gaskin PS, Powell CA, Bonnett FI. (2002). The Effects of Birth Weight and
Postnatal Linier Growth Retardation on Body Mass Index, Fatness and Fat Distribution in
Mid and Late Childhood. Pub Hlth Nutr; 5:391-6.

12 |International Conference on Health (ICH) Bengkulu, 19-21 August 2014


12. Sawaya A. L, Dallal G, Salymos G. M, Souza M. H. Ventura M. L. Roberts S. B. &
Sigulem D. M. (1995). Obesity and Malnutrition in a Shantytown Population in the City of
São Paulo, Brazil. Obesity Research, 3(Sup.):107-115.
13. Niclasen BVL, Petzold MG, Schnohr C. (2006). Overweight and Obesity ar School Entry as
Predictor of Overweight in Adolescence in an Arctic Child Population. European Journal of
Public Health, Vol 17, N0.1, 17-20.
14. World Health Organization. (2006). WHO Antro 2005, Beta version Feb 17th, 2006: Software
for assessing growth and development of the world’s children, WHO. Geneva.
15. Wahlquist & Tiemboon. (2011). Growth and Aging; Nutrition and Metabolism. Second
eEdition. Lanham New.
16. Waterlow, JC. (1994). Causes and Mechanisms of Linier Growth Retardation (Stunting).
European Journal of Clinical Nutrition.
17. Bosch A.B, Baqui, A.H & Ginneken, J.K (2008). Early-life determinants of stunted
adolescent Girls and boys in Matlab, Bangladesh. International centre for Diarrhoeal disease
research, Bangladesh. 2 : 189-199.
18. Hautvast et al (1999). Food consumption of young stunted and non stunted children in rural
Zambia. European journal of clinical nutrition 53, 50-59. Stockton Press.
19. Adiningsih, Sri. (2002). Body Image Remaja dalam KOnsep Bio-Psikologi dalam Pangan
dan Gizi: Masalah, Program Intervensi & Teknologi Tepat Guna. DPP Persagi & Pusat
Pangan, Gizi dan Kesehatan UNHAS.
20. Guthrie, Helen A dan Mary Frances Picciana. (1995). Human Nutrition. Mosby.
Philadelphia.
21. Gibney M J, Margetts BM, Kearney JM, Arab L. (2008). Gizi Kesehatan Masyarakat.
Jakarta: EGC.
22. Krummel, Debra A dan Penny M. Kris Etherton. (1996). Nutrition in Woman’s Health.
Aspen Publisher, Inc. Gaithersburg, Maryland.
23. Steele Ric G, Nelson Thimothy D, Jelalian E. (2008). Pediatric Obesity: Trends and
Epidemiology. In Elissa Jelalian dan Ric G. Steele (Ed). Handbook of Childhood and
Adolescent Obesity. LLC: Springer Science and Business Media.
24. Suhemi. (2007). Interaksi antara Hormon Leptin, Ghrelin, Adiponektin, Resistin dan PYY3-
36 dengan Sistem Reproduksi.
25. Tendera & Molnar. (2002). Hormonal and Metabolic Changes. In Burniat, Cole T, Lissau I
& Poskitt E (Ed). Child and Adolecent Obesity. New York. Cambridge University Press.
26. Dietz, WH. (1993). Childhood Obesity. Dalam Textbook of Pediatric Nutrition, IInd ed,
Suskind.

13 |International Conference on Health (ICH) Bengkulu, 19-21 August 2014

Anda mungkin juga menyukai