NIM : R011191034
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
1. Dalil fitrah
Dalil fitrah yang mendasari eksistensi Allah merupakan dalil terkuat dari
dalil-dalil lainnya, sepanjang fitrah tersebut tidak diselewengkan oleh setan. Allah
Ta'ala berfirman,
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui." (QS. Ar Rum: 30).
ش ِهدْنَا أَ ْن تَقُولُوا
َ ور ِه ْم ذ ُ ِ ِّريَّت َ ُه ْم َوأ َ ْش َهدَ ُه ْم َعلَى أَ ْنفُ ِس ِه ْم أَلَ ْستُ ِب َر ِِّب ُك ْم قَالُوا بَلَى
ِ ظ ُهُ َو ِإذْ أ َ َخذَ َربُّكَ ِم ْن بَنِي َءادَ َم ِم ْن
ََي ْو َم ْال ِق َيا َم ِة ِإنَّا ُكنَّا َع ْن َهذَا غَافِلِين
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari
kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-
orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (QS al-A’raf: 172)
Benih keyakinan terhadap eksistensi Allah merupakan fitrah atau sesuatu
yang bersifat kodrati. Dan karena bertuhan itu merupakan fitrah manusia, maka
tepatlah kiranya kalau Mircea Eliade mensifatinya sebagai ‘homo religious atau
naturalier religiosa. Fitrah inilah yang menjadi daya pendorong pertama untuk
mengenal dan mendapatkan Allah swt.
Adapun yang dimaksud dengan fitrah Allah adalah ciptaan Allah. Allah
menciptakan manusia disertai dengan berbagai macam naluri, termasuk di
dalamnya naluri bertuhan, naluri beragama, yaitu agama tauhid. Kalau ada
manusia yang tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka tidak
beragama tauhid karena pengaruh lingkungan (Depag RI, al-Quran dan
terjemahnya: 645). Ali Issa Othman menjelaskan bahwa arti fitrah tidak lain
adalah inti dari sifat alami manusia, yang secara alami pula ingin mengetahui dan
mengenal Allah swt (Ali Issa Othman, Manusia Menurut al-Ghazali: 28).
Sementara Yasien Muhammad menerangkan bahwa, karena fitrah allah
dimasukan dalam jiwa manusia maka manusia terlahir dalam keadaan dimana
tauhid menyatu dengan fitrah. Karena tauhid menyatu dengan fitrah manusia
maka para nabi datang untuk mengingatkan manusia pada fitrahnya dan untuk
membimbingnya kepada tauhid yang menyatu dengan sifat dasarnya (Yasien
Muhammad: 21). Ali bin Abi Thalib ra menyatakan bahwa para nabiyullah diutus
untuk mengingatkan manusia kepada perjanjian yang telah diikat oleh fitrah
mereka, yang kelak mereka akan dituntut untuk memenuhi perjanjian tersebut.
Perjanjian itu tidak tercatat di atas kertas, tidak pula diucapkan oleh lidah,
melainkan terukir dengan pena allah dipermukaan kalbu dan lubuk fitrah manusia,
di atas permukaan hati nurani serta di kedalaman perasaan batiniah.
Fitrah bertuhan inilah yang oleh Danah Zohar dan Ian Marshall dinamakan
God Spot atau titik Tuhan (Danah Zohar & Ian Marshall, SQ: Spiritual
Intelegence – The Ultimate Intelegence, 2000: 79). Fitrah ini gejalanya secara
universal dapat diamati cukup signifikan di sepanjang sejarah perjalanan hidup
manusia. Dan fitrah bertuhan ini akan semakin bertambah jelas bila dikaji lewat
kajian filsafat, suatu kajian yang didasarkan pada pemikiran yang kritis, radikal,
koheren, spekulatif, rasional lagi konprehensif untuk mendapatkan apa yang
disebut hakeka.
2. Dalil Gerak
Adapun mengenai sifat-sifat Allah, Ibn Rusyd lebih dekat kepada paham
Mu’tazilah. Dalam hal ini ia menggunkan prinsip tasybih dantanzih (penyamaan
dan penyucian). Cara pertama digunakan dalam menetapkan beberapa sifat positif
(ijabiyah) kepada Allah, yakni sifat-sifat yang dipandang sebagai kesempurnaan
bagi makhluk-Nya.Karena bagaimana mungkin dapat dinafikan sifat-sifat yang
semacam ini dari Allah, sedangkan Dia adalah sumber dan sebab bagi adanya
sifat-sifat tersebut pada makhluk-Nya, sedangkan cara kedua ialah dengan
mengakui adanya perbedaan Allah dengan makhluk-Nya dari sisi kekurangan
yang terdapat dalam diri makhluk. Seperti sifat„ilm, sebagai salah satu sifat
positif, diakui sebagai sifat Allah, tetapi bukan sebagaimana sifat ilmu yang ada
pada manusia. Sifat ini sebagai suatu kesempurnaan, maka pada Allah yang
wujud-Nya Maha Sempurna, sifat itu merupakan suatu keharusan bagi-
Nya.Namun, sifat ilmu yang ditetapkan pada Allah mestilah dalam wujud yang
lebih tinggi, lebih sempurna secara mutlak dari pada sifat ilmu manusia yang
relatif. Ilmu Allah menjangkau segala sesuatu, dan tidak suatu pun terjadi tanpa
diketahui-Nya.
Mengenai Zat dengan sifat Allah, Ibn Rusyd memahami sifat-sifat Allah
sebagai itibarat dzihniyyah (pandangan akal) terhadap Zat Allah yang maha
Esa.Karena itu, bagi orang awam cukup diajarkan sifat-sifat Allah sebagai yang
digariskan dalam syara’, tidak perlu dijelaskan secara filosofis seperti dipahami
Mu’tazilah atau Asy’ariyah bahwa sifat berbeda dengan Zat, karena penafsiran
semacam Asy’ariyah ini hanya dapat dibenarkan pada alam manusia atau benda.
3. Dalil kausalitas
Umumnya, para filosof meyakini hukum kausalitas (sebab-akibat) sebagai
hukum yang mengatur alam semesta. Tidak hanya para filosof, orang awam juga
meyakininya, karena dengan mudah kita bisa melihat fenomena yang
menunjukkan bekerjanya hukum kausalitas. Misalnya, kita mengeringkan pakaian
basah menggunakan panas matahari. Kita meyakini bahwa pakaian basah itu
menjadi kering disebabkan oleh panas matahari. Panas matahari adalah sebab,
sementara, keringnya pakaian adalah akibat. Bahkan, para filosof menggunakan
hukum kausalitas untuk membuktikan eksistensi Tuhan (tentang pembuktian
eksistensi Tuhan, sudah saya tulis di kompasiana dengan judul, kalau tidak salah,
Membuktikan Eksistensi Tuhan). Hukum kausalitas menjadi fondasi bagi teori-
teori yang dikemukakan oleh para filosof maupun para ahli pikir lainnya. Hukum
kausalitas dianggap sebagai kebenaran yang tidak terelakkan (dharuriy).
Dua tokoh besar yang masing-masing mewakili kalangan Timur dan Barat
bersepakat untuk menolak eksistensi hukum kausalitas. Dua tokoh tersebut adalah
Al-Ghazali (w. 1111) dan David Hume (w. 1776). Al-Ghazali adalah tokoh sentral
di kalangan Muslim. Bahkan, ia diberi gelar Hujjatul Islam. Ia berasal dari kota
Thus, Khurasan. Dua di antara karya-karyanya berjudul Ihya Ulum al-Din dan
Tahafut al-Falasifah. Pada buku yang kedua inilah Al-Ghazali menolak dua puluh
pendapat para filosof Muslim tentang berbagai persoalan, termasuk persoalan
hukum kausalitas (persoalan ke-17). Sementara itu, David Hume adalah tokoh
sentral aliran empirisme yang berkembang di Eropa (tepatnya di Inggris, tempat di
mana ia berasal) pada era pencerahan (enlightenment) atau aufklarung. David
Hume dianggap sebagai tokoh yang membawa empirisme pada puncak
kematangan, yang berimplikasi pada skeptisisme (paham yang mengatakan bahwa
kita tidak bisa memperoleh kebenaran), bahkan nihilisme (paham yang
mengatakan bahwa kebenaran itu tidak ada/nihil). Empirisme David Hume
merupakan anti-tesis dari rasionalisme Rene Descartes.
Bagi Al-Ghazali dan David Hume, sejatinya kita tidak bisa memastikan
apakah kertas yang disentuh api selalu terbakar, meskipun kita biasa melihat yang
demikian. Api bukan penyebab terbakarnya kertas. Lantas, apa yang
menyebabkan terbakarnya kertas itu? Al-Ghazali menjawab bahwa yang
menyebabkan kertas itu terbakar adalah Allah, baik dalam bentuk intervensi
langsung maupun melalui perantara malaikat-malaikat. Sementara, David Hume
menjawab tidak ada yang menyebabkan kertas itu terbakar karena konsep sebab
(dan akibat) itu sendiri tidak ada.
Sulit bagi kita menerima pandangan Al-Ghazali dan David Hume ini.
Secara teoritis bisa saja kita mengikuti pandangan mereka, tetapi secara praktis
tetap saja kita meyakini bahwa banyak peristiwa yang mengandung kepastian: api
membakar kertas, air mendidih jika dipanaskan, pakaian basah akan kering jika
dijemur di bawah terik matahari, bola akan bergerak jika ditendang, batu akan
jatuh ke bawah jika dilempar, dst. Antara Al-Ghazali dan David Hume sama-sama
menafikan hukum kausalitas, meskipun dengan motif yang berbeda: Al-Ghazali
memiliki motif teologis, sementara, David Hume memiliki motif epistemologis.
Al-Ghazali hidup jauh lebih awal ketimbang David Hume. Kesimpulan yang
lumrah ketika dua tokoh memiliki kesamaan pandangan adalah adanya
keterpengaruhan. Tokoh yang hidup lebih awal mempengaruhi tokoh yang hidup
belakangan. Ada kemungkinan bahwa David Hume mengadopsi pandangan dari
Al-Ghazali tentang penafian hukum kausalitas ini. Perlu kajian yang serius untuk
membuktikan dugaan ini. Seperti juga dugaan bahwa metode keragu-raguan Rene
Descartes diadopsi dari metode keragu-raguan yang dialami oleh Al-Ghazali. Data
sejarah menunjukkan bahwa kalangan Muslim-lah yang mendistribusikan filsafat
Yunani ke dunia Barat, melalui karya-karya mereka. Sehingga, sangat mungkin
para ahli pikir dari Barat itu dipengaruhi atau bahkan sekedar melakukan copy-
paste (dengan sedikit modifikasi) dari buah pemikiran para tokoh dari kalangan
Muslim.
4. Dalil Akhlak
5. Dalil Mukjizat
“Lalu Kami wahyukan kepada Musa: “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.:
Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang
besar.” (Asy Syu’araa: 63)
Contoh kedua adalah mukjizat Nabi Isa as. ketika menghidupkan orang-
orang yang sudah mati; lalu mengeluarkannya dari kubur dengan ijin Allah.
Allah swt berfirman:
طي ِْر فَأ َ ْنفُ ُخ فِي ِه
ين َك َه ْيئ َ ِة ال ه ِ َوَل إِلَ ٰى بَنِي إِس َْرائِي َل أَنِي قَدْ ِجئْت ُ ُك ْم بِآيَ ٍة ِم ْن َربِ ُك ْم ۖ أَنِي أ َ ْخلُ ُق لَ ُك ْم ِمن
ِ الط ً س
ُ َو َر
ََّللاِ ۖ َوأُنَبِئ ُ ُك ْم ِب َما تَأ ْ ُكلُونَ َو َما تَد ِهخ ُرون
ص َوأُحْ يِي ْال َم ْوت َٰى بِإِذْ ِن ه ُ َّللاِ ۖ َوأُب ِْر
َ ئ ْاْل َ ْك َمهَ َو ْاْلَب َْر طي ًْرا بِإِذْ ِن ه
َ ُفَيَ ُكون
َفِي بُيُوتِ ُك ْم ۚ ِإ هن فِي ٰذَلِكَ ََليَةً لَ ُك ْم ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم ُمؤْ ِمنِين
“Dan (sebagai) Rasul kepada Bani Israil (yang berkata kepada mereka):
‘Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda
(mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk
burung; kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin
Allah; dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang
yang berpenyakit sopak; dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah;
dan aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan
di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda
(kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman.”
(Ali Imran: 49)
ِ اَّللِ ۗ َولَ ْو آ َمنَ أ َ ْه ُل ْال ِكت َا
ب وف َوتَ ْن َه ْونَ َع ِن ا ْل ُم ْنك َِر َوتُؤْ ِمنُونَ بِ هِ اس ت َأ ْ ُم ُرونَ بِ ْال َم ْع ُر ِ ت ِللنه ْ ُك ْنت ُ ْم َخي َْر أ ُ هم ٍة أ ُ ْخ ِر َج
َلَ َكانَ َخي ًْرا لَ ُه ْم ۚ ِم ْن ُه ُم ْال ُمؤْ ِمنُونَ َوأَ ْكث َ ُر ُه ُم ْالفَا ِسقُون
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara
mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang
fasik.” (Al Maidah 110).
6. Dalil Keteraturan
Salah satu aliran filsafat yang ada sebelum Socrates, adalah aliran Pytagoras.
Kelompok Pytagoras sepakat bahwa seluruh alam laksana sebuah melodi
harmonis sebuah musik, dimana keteraturan yang bersifat universal berlaku
atasnya. Dari sinilah mereka sepakat, bahwa sebagaimana harmoni sebuah musik
terkait pada angka-angka maka bisa digambarkan harmoni dan keteraturan alam
pun bergantung pada angka. Penyaksian keteraturan yang cermat semacam ini
telah mengarahkan mereka untuk secara eksplisit mengumumkan, bahwa benda
adalah angka-angka itu sendiri. Pada era setelahnya, kecenderungan ini pula yang
ditemukan dalam kelompok “Ikhwân ash-Shafa”.
Secara global pada seluruh era, mereka yang sepakat bahwa penemuan dan
pengenalan prinsip religi akan bisa terpenuhi melalui metodologi-metodologi
natural, dengan mengungkapkan argumen-argumen yang varian untuk wujud
Tuhan, berusaha menampakkan bahwa paling asasinya prinsip religi –yaitu wujud
Tuhan- dapat diargumentasikan dengan argumen-argumen yang dapat diterima. Di
antara dalil-dalil ini, bisa jadi argumen keteraturan merupakan argumen yang
paling terkenal, dimana setiap individu mengenalinya. Hal ini dikarenakan
premis-premis argumen ini diperoleh melalui cara pembelajaran dan konklusi
eksperimen dari persoalan-persoalan di alam semesta ini. Semenjak munculnya
inovasi ilmu pun telah diusahakan bahwa dengan memanfaatkan inovasi akhir dari
ilmu fisik dan biologi, wujud Tuhan dibuktikan melalui argumen yang bertolak
pada keteraturan
Untuk membuktikan ilmu Tuhan dari metode teori keteraturan, dapat kami
katakan: “Di alam semesta terdapat keteraturan. Dan setiap keteraturan muncul
dari kecerdasan dan kesadaran. Jadi, pengatur alam semesta, harus mempunyai
kecerdasan dan kesadaran”.
Dalam pembuktian ilmu Ilahi melalui argumen keteraturan, hal yang lebih
penting dan lebih asas dari yang lainnya adalah perhatian terhadap masalah illat
gha-i (sebab tujuan). Telah kami katakan bahwa dalam keteraturan, senantiasa
terdapat tujuan, dan keteraturan serta keharmonisan particular, senantiasa
merupakan penjamin tujuan tersebut. Dimana hal seperti ini pasti membutuhan
kecerdasan dan kesadaran pengatur.
7. Dalil Imkan
Para penganut materialism berpen dapat bahwa wujudi tusama dengan materi
dan material. Sesuatu itu, dianggap ada bila ia berupa materi dan meliputi tiga
dimensi (panjang, lebar dan padat). Atau meliputi tipologimateri sehingga ia di
sifati dengan kuantitas dan dapat dibagi.
Bahwa materi bersifat Azali, abadi, tidak dicipta dan tidak membutuhkan
sebaba apapun, yang di dalam filsafat dinamakan wujud niscaya ada (Wajibul
Wujud).Kita tidak mungkin mengatakan bahwa alam ini memiliki tujuan dan
sebab akhir karena tidak ada pelaku yang memiliki ilmu dan kehendak sehingga
dapat dini bahkan tujuan penciptaan.
8. Dalil pengalaman
Anas bin Malik Ra berkata, “Pernah ada seorang badui datang pada hari -
um.at! Pada waktu itu Nabi Shallallahu /Alaihi wa Sallam tengah berkhotbah!
Lelaki itu berkata. “Hai Rasul Allah,harta benda kami telah habis, seluruh
warga sudah kelaparan! oleh karena itu mohonkanlah k e p a d a A l l a h
Subhanahu wa Ta.ala untuk mengatasi kesulitan kami.”
Rasulullah lalu mengangkat kedua tanganya dan ber doa!
Tiba"tiba awan mendung bertebaran b a g a i k a n gunung-gunung.
Rasulullah belum turun dari mimbar, hujan turun membasahi jenggotnya. Pada -
umat yang kedua, orang badui atau orang lain berdiri dan berkata, “Hai Rasul
Allah,bangunan kami hancur dan harta bendapun tenggelam, doakanlah akan
kami ini (ahar selamat)kepada Allah.” Rasulullah lalu mengang kat kedua
tangannya, seraya berdoa: “Ya Robbku,turunkanlah hujan di sekeliling
kami dan jangan Engkau turunkan sebagai bencana bagi kami.” Akhirnya beliau
tidak mengisyaratkan pada suatu tempat kecuali menjadi terang (tanpa hujan).”
(HR. Al Bukhari.