Anda di halaman 1dari 17

“DALIL-DALIL PEMBUKTIAN EKSISTENSI TUHAN”

Nama : Erni Yusnitha

NIM : R011191034

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR
1. Dalil fitrah

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,

Dalil fitrah yang mendasari eksistensi Allah merupakan dalil terkuat dari
dalil-dalil lainnya, sepanjang fitrah tersebut tidak diselewengkan oleh setan. Allah
Ta'ala berfirman,

ِ ‫الدينُ ْالقَيِ ُم َولَ ِك هن أ َ ْكث َ َر النه‬


‫اس‬ ِ َ‫َّللاِ ذَلِك‬
‫ق ه‬ ِ ‫اس َعلَ ْي َها ََل تَ ْب ِدي َل ِلخ َْل‬ َ َ‫َّللا الهتِي ف‬
َ ‫ط َر النه‬ ْ ِ‫ِين َحنِيفًا ف‬
ِ ‫ط َرتَ ه‬ ِ ‫فَأَقِ ْم َوجْ َهكَ ِللد‬
َ‫( ََل يَ ْعلَ ُمون‬30)

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui." (QS. Ar Rum: 30).

Fitrah insani yang lurus mengakui eksistensi Allah. Tiada yang


menyimpang dari fitrah yang suci ini melainkan orang yang telah mengikuti bujuk
rayu setan. Pengaruh setan menyebabkan seseorang terhalang untuk mengikuti
fitrahnya yang suci."

Setiap orang merasakan dalam fitrahnya, bahwa ia memiliki Tuhan


pencipta dan ia merasa sangat memerlukan pertolongan-Nya dalam kondisi
terjepit. Kedua tangan tertengadah, hati tertuju dan mata mendongak ke langit
memohon bantuan dari-Nya.
Manusia sejak masih berada dalam alam ruh (arwah) telah ditanamkan benih
iman, kepercayaan dan penyaksian (syahadah) terhadap keberadaan Allah swt.
Dalam QS al-A’raf (7): 172 Allah menegaskan:

‫ش ِهدْنَا أَ ْن تَقُولُوا‬
َ ‫ور ِه ْم ذ ُ ِ ِّريَّت َ ُه ْم َوأ َ ْش َهدَ ُه ْم َعلَى أَ ْنفُ ِس ِه ْم أَلَ ْستُ ِب َر ِِّب ُك ْم قَالُوا بَلَى‬
ِ ‫ظ ُه‬ُ ‫َو ِإذْ أ َ َخذَ َربُّكَ ِم ْن بَنِي َءادَ َم ِم ْن‬
َ‫َي ْو َم ْال ِق َيا َم ِة ِإنَّا ُكنَّا َع ْن َهذَا غَافِلِين‬
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari
kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-
orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (QS al-A’raf: 172)
Benih keyakinan terhadap eksistensi Allah merupakan fitrah atau sesuatu
yang bersifat kodrati. Dan karena bertuhan itu merupakan fitrah manusia, maka
tepatlah kiranya kalau Mircea Eliade mensifatinya sebagai ‘homo religious atau
naturalier religiosa. Fitrah inilah yang menjadi daya pendorong pertama untuk
mengenal dan mendapatkan Allah swt.
Adapun yang dimaksud dengan fitrah Allah adalah ciptaan Allah. Allah
menciptakan manusia disertai dengan berbagai macam naluri, termasuk di
dalamnya naluri bertuhan, naluri beragama, yaitu agama tauhid. Kalau ada
manusia yang tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka tidak
beragama tauhid karena pengaruh lingkungan (Depag RI, al-Quran dan
terjemahnya: 645). Ali Issa Othman menjelaskan bahwa arti fitrah tidak lain
adalah inti dari sifat alami manusia, yang secara alami pula ingin mengetahui dan
mengenal Allah swt (Ali Issa Othman, Manusia Menurut al-Ghazali: 28).
Sementara Yasien Muhammad menerangkan bahwa, karena fitrah allah
dimasukan dalam jiwa manusia maka manusia terlahir dalam keadaan dimana
tauhid menyatu dengan fitrah. Karena tauhid menyatu dengan fitrah manusia
maka para nabi datang untuk mengingatkan manusia pada fitrahnya dan untuk
membimbingnya kepada tauhid yang menyatu dengan sifat dasarnya (Yasien
Muhammad: 21). Ali bin Abi Thalib ra menyatakan bahwa para nabiyullah diutus
untuk mengingatkan manusia kepada perjanjian yang telah diikat oleh fitrah
mereka, yang kelak mereka akan dituntut untuk memenuhi perjanjian tersebut.
Perjanjian itu tidak tercatat di atas kertas, tidak pula diucapkan oleh lidah,
melainkan terukir dengan pena allah dipermukaan kalbu dan lubuk fitrah manusia,
di atas permukaan hati nurani serta di kedalaman perasaan batiniah.
Fitrah bertuhan inilah yang oleh Danah Zohar dan Ian Marshall dinamakan
God Spot atau titik Tuhan (Danah Zohar & Ian Marshall, SQ: Spiritual
Intelegence – The Ultimate Intelegence, 2000: 79). Fitrah ini gejalanya secara
universal dapat diamati cukup signifikan di sepanjang sejarah perjalanan hidup
manusia. Dan fitrah bertuhan ini akan semakin bertambah jelas bila dikaji lewat
kajian filsafat, suatu kajian yang didasarkan pada pemikiran yang kritis, radikal,
koheren, spekulatif, rasional lagi konprehensif untuk mendapatkan apa yang
disebut hakeka.

2. Dalil Gerak

Dalil inididapat daripengaruhAristoteles yaitu tentang penggerak pertama


(al-Muharrik al-Awwal) yang dipandang sebab pertama (Prima Causa) adanya
gerak, baik itu gerak perubahan maupun gerak penciptaan. Menurut Ibn Rusyd,
alam semesta ini bergerak secara teratur, terus menerus dengan suatu gerakan
Abadi. Gerakan ini menunjukkan adanya penggerak, sebab suatu hal yang
mustahil bila benda bergerak dengan sendirinya.Penggerak pertama inilah yang
namanya Tuhan, sungguhpun dia sendiri tidak bergerak.

Disisi lain Ibn Rusyd mengatakan, meskipun Tuhan sebab penggerak


pertama, tetapi Dia hanya menyebabkan (menciptakan gerakan) pada akal yang
pertama saja, sedangkan gerakan yang selanjutnya (peristiwa di dunia ini)
hanyalah disebabkan oleh akal-akal selanjutnya, dengan demikian menurut Ibn
Rusyd tidaklah dapat dikatakan adanya pemimpin langsung dari Tuhan terhadap
kejadian-kejadan di dunia ini.

Ibn Rusyd membagi wujud menjadiduabagian, yaitu:a.Mungkin yang


bersebab berarti penyamaan “Ada” dan “tidak ada”, sedangkan “sebab” berperan
sebagai penguat bagi adanya, dan jika tidak, maka ia pun tidak ada.b.Tidak
mungkin yaitu wajib wujud azali, pembagian ini tidak menjangkau wujud
menurut wujudnya.
Karena mungkin yang bersebab dapat dibagi kepada “mungkin hakiki”
yang nyata adanya. Dan itu jika dipahami mungkin sebagai mugkin hakiki maka
akan sampai kepada mungkin dharuri,tidak kepada wujuddharuri(wajib wujud
azali) yang tidak bersebab, karena pada segenap mungkin hakiki, mustahil adanya
sebab yang tidak berakhir.

Adapun mengenai sifat-sifat Allah, Ibn Rusyd lebih dekat kepada paham
Mu’tazilah. Dalam hal ini ia menggunkan prinsip tasybih dantanzih (penyamaan
dan penyucian). Cara pertama digunakan dalam menetapkan beberapa sifat positif
(ijabiyah) kepada Allah, yakni sifat-sifat yang dipandang sebagai kesempurnaan
bagi makhluk-Nya.Karena bagaimana mungkin dapat dinafikan sifat-sifat yang
semacam ini dari Allah, sedangkan Dia adalah sumber dan sebab bagi adanya
sifat-sifat tersebut pada makhluk-Nya, sedangkan cara kedua ialah dengan
mengakui adanya perbedaan Allah dengan makhluk-Nya dari sisi kekurangan
yang terdapat dalam diri makhluk. Seperti sifat„ilm, sebagai salah satu sifat
positif, diakui sebagai sifat Allah, tetapi bukan sebagaimana sifat ilmu yang ada
pada manusia. Sifat ini sebagai suatu kesempurnaan, maka pada Allah yang
wujud-Nya Maha Sempurna, sifat itu merupakan suatu keharusan bagi-
Nya.Namun, sifat ilmu yang ditetapkan pada Allah mestilah dalam wujud yang
lebih tinggi, lebih sempurna secara mutlak dari pada sifat ilmu manusia yang
relatif. Ilmu Allah menjangkau segala sesuatu, dan tidak suatu pun terjadi tanpa
diketahui-Nya.

Mengenai Zat dengan sifat Allah, Ibn Rusyd memahami sifat-sifat Allah
sebagai itibarat dzihniyyah (pandangan akal) terhadap Zat Allah yang maha
Esa.Karena itu, bagi orang awam cukup diajarkan sifat-sifat Allah sebagai yang
digariskan dalam syara’, tidak perlu dijelaskan secara filosofis seperti dipahami
Mu’tazilah atau Asy’ariyah bahwa sifat berbeda dengan Zat, karena penafsiran
semacam Asy’ariyah ini hanya dapat dibenarkan pada alam manusia atau benda.

3. Dalil kausalitas
Umumnya, para filosof meyakini hukum kausalitas (sebab-akibat) sebagai
hukum yang mengatur alam semesta. Tidak hanya para filosof, orang awam juga
meyakininya, karena dengan mudah kita bisa melihat fenomena yang
menunjukkan bekerjanya hukum kausalitas. Misalnya, kita mengeringkan pakaian
basah menggunakan panas matahari. Kita meyakini bahwa pakaian basah itu
menjadi kering disebabkan oleh panas matahari. Panas matahari adalah sebab,
sementara, keringnya pakaian adalah akibat. Bahkan, para filosof menggunakan
hukum kausalitas untuk membuktikan eksistensi Tuhan (tentang pembuktian
eksistensi Tuhan, sudah saya tulis di kompasiana dengan judul, kalau tidak salah,
Membuktikan Eksistensi Tuhan). Hukum kausalitas menjadi fondasi bagi teori-
teori yang dikemukakan oleh para filosof maupun para ahli pikir lainnya. Hukum
kausalitas dianggap sebagai kebenaran yang tidak terelakkan (dharuriy).

Dua tokoh besar yang masing-masing mewakili kalangan Timur dan Barat
bersepakat untuk menolak eksistensi hukum kausalitas. Dua tokoh tersebut adalah
Al-Ghazali (w. 1111) dan David Hume (w. 1776). Al-Ghazali adalah tokoh sentral
di kalangan Muslim. Bahkan, ia diberi gelar Hujjatul Islam. Ia berasal dari kota
Thus, Khurasan. Dua di antara karya-karyanya berjudul Ihya Ulum al-Din dan
Tahafut al-Falasifah. Pada buku yang kedua inilah Al-Ghazali menolak dua puluh
pendapat para filosof Muslim tentang berbagai persoalan, termasuk persoalan
hukum kausalitas (persoalan ke-17). Sementara itu, David Hume adalah tokoh
sentral aliran empirisme yang berkembang di Eropa (tepatnya di Inggris, tempat di
mana ia berasal) pada era pencerahan (enlightenment) atau aufklarung. David
Hume dianggap sebagai tokoh yang membawa empirisme pada puncak
kematangan, yang berimplikasi pada skeptisisme (paham yang mengatakan bahwa
kita tidak bisa memperoleh kebenaran), bahkan nihilisme (paham yang
mengatakan bahwa kebenaran itu tidak ada/nihil). Empirisme David Hume
merupakan anti-tesis dari rasionalisme Rene Descartes.

Al-Ghazali dan David Hume menganggap bahwa hukum kausalitas itu


tidak lebih dari urutan peristiwa yang sering kita saksikan sehingga kita
menganggap hukum kausalitas itu benar-benar eksis. Padahal tidak. Jika kita
melihat pakaian yang kering setelah dijemur di bawah panas matahari, bukan
berarti keringnya pakaian itu disebabkan oleh panas matahari. Kita hanya melihat
urutan peristiwa, yakni pakaian yang basah diletakkan di bawah sinar matahari,
setelah beberapa saat, pakaian basah itu menjadi kering. Kita tidak bisa
membuktikan eksistensi hukum kausalitas. Oleh karena kita terbiasa menyaksikan
peristiwa A mendahului peristiwa B, maka ketika di lain kesempatan kita
menyaksikan peristiwa A, otomatis kita mengharapkan munculnya peristiwa B.
Sekali lagi, kita tidak bisa mengatakan bahwa peristiwa A menjadi sebab bagi
munculnya peristiwa B. Kita hanya menyaksikan urutan peristiwa yang biasa
terjadi.

Bagi Al-Ghazali dan David Hume, sejatinya kita tidak bisa memastikan
apakah kertas yang disentuh api selalu terbakar, meskipun kita biasa melihat yang
demikian. Api bukan penyebab terbakarnya kertas. Lantas, apa yang
menyebabkan terbakarnya kertas itu? Al-Ghazali menjawab bahwa yang
menyebabkan kertas itu terbakar adalah Allah, baik dalam bentuk intervensi
langsung maupun melalui perantara malaikat-malaikat. Sementara, David Hume
menjawab tidak ada yang menyebabkan kertas itu terbakar karena konsep sebab
(dan akibat) itu sendiri tidak ada.

Barangkali kita merasa aneh terhadap pandangan Al-Ghazali dan David


Hume itu. Bagi kita, sudah terlalu jelas bahwa penyebab kertas itu terbakar adalah
api, karena api memiliki sifat membakar. Al-Ghazali menafikan eksistensi hukum
kausalitas dengan tujuan agar bisa menjelaskan terjadinya mukjizat yang banyak
dilakukan oleh nabi-nabi. Kisah Nabi Ibrahim yang tidak terbakar oleh api bisa
dimengerti karena yang menyebabkan terbakar adalah bukan api, melainkan
Allah. Jika api adalah sebab bagi kebakaran, maka sudah pasti Nabi Ibrahim
hangus terbakar. Para filosof Muslim yang menjunjung tinggi hukum kausalitas
akan melakukan takwil terhadap kisah pembakaran Nabi Ibrahim itu, yakni bahwa
kisah tersebut adalah ungkapan metaforis (kiasan) belaka, bukan dibakar dalam
arti harfiah.
Jika Al-Ghazali menafikan hukum kausalitas demi menjelaskan fenomena
mukjizat nabi-nabi, maka David Hume menafikan hukum kausalitas atas dasar
konsistensi terhadap empirisme. Empirisme adalah paham yang mengatakan
bahwa satu-satunya instrumen untuk memperoleh pengetahuan adalah
pengamatan. Tidak ada pengetahuan yang diperoleh selain melalui pengamatan.
Ketika kita mengamati kertas yang terbakar saat disentuh api, kita mendapatkan
pengetahuan bahwa kertas itu terbakar dan kini berubah menjadi abu. Tetapi,
melalui pengamatan itu, kita tidak mendapati bahwa api adalah sebab bagi
terbakarnya kertas. Kita tidak pula mendapati bahwa terbakarnya kertas adalah
akibat dari api. Konsep sebab dan akibat tidak bisa diamati, sehingga terlalu
ceroboh jika kita mengatakan bahwa hukum kausalitas itu eksis. Demikianlah
kira-kira yang ingin dikatakan oleh David Hume.

Menafikan hukum kausalitas berimplikasi pada ketidakpastian segala


sesuatu. Tidak ada kepastian bahwa setiap kertas yang disentuh api akan terbakar,
air yang dipanaskan akan mendidih, pakaian basah yang diletakkan di bawah sinar
matahari akan menjadi kering, dst. Semuanya tidak ada yang pasti. Oleh karena
itu, jika konsisten menafikan hukum kausalitas, kita tidak akan bisa mendapatkan
pengetahuan. Kita hanya bisa melaporkan peristiwa-peristiwa yang sudah pernah
disaksikan.

Sulit bagi kita menerima pandangan Al-Ghazali dan David Hume ini.
Secara teoritis bisa saja kita mengikuti pandangan mereka, tetapi secara praktis
tetap saja kita meyakini bahwa banyak peristiwa yang mengandung kepastian: api
membakar kertas, air mendidih jika dipanaskan, pakaian basah akan kering jika
dijemur di bawah terik matahari, bola akan bergerak jika ditendang, batu akan
jatuh ke bawah jika dilempar, dst. Antara Al-Ghazali dan David Hume sama-sama
menafikan hukum kausalitas, meskipun dengan motif yang berbeda: Al-Ghazali
memiliki motif teologis, sementara, David Hume memiliki motif epistemologis.
Al-Ghazali hidup jauh lebih awal ketimbang David Hume. Kesimpulan yang
lumrah ketika dua tokoh memiliki kesamaan pandangan adalah adanya
keterpengaruhan. Tokoh yang hidup lebih awal mempengaruhi tokoh yang hidup
belakangan. Ada kemungkinan bahwa David Hume mengadopsi pandangan dari
Al-Ghazali tentang penafian hukum kausalitas ini. Perlu kajian yang serius untuk
membuktikan dugaan ini. Seperti juga dugaan bahwa metode keragu-raguan Rene
Descartes diadopsi dari metode keragu-raguan yang dialami oleh Al-Ghazali. Data
sejarah menunjukkan bahwa kalangan Muslim-lah yang mendistribusikan filsafat
Yunani ke dunia Barat, melalui karya-karya mereka. Sehingga, sangat mungkin
para ahli pikir dari Barat itu dipengaruhi atau bahkan sekedar melakukan copy-
paste (dengan sedikit modifikasi) dari buah pemikiran para tokoh dari kalangan
Muslim.

4. Dalil Akhlak

Secara fitrah manusia memiliki moral (akhlaq). Dengan adanya moral


(akhlaq) inilah, ia secar naluriah mau tunduk dan menerima kebenaran agar
hidupnya lurus dan urusannya berjalan teratur dan baik. Zat yang dapat
menanamkan akhlaq dalam jiwa manusia adalah Allah, sumber dari segala
sumber kebaikan, cinta dan keindahan. Keberadaan ‘moral’ yang mendominasi
jiwa manusia merupakan bukti eksistensi Allah. (QS. 91:7-10)

)10( ‫َاب َم ْن دَسَّاهَا‬ َ ‫) فَأ َ ْل َه َم َها فُ ُج‬7( ‫س َّواهَا‬


َ ‫) َوقَدْ خ‬9( ‫) قَدْ أ َ ْفلَ َح َم ْن زَ َّكاهَا‬8( ‫ورهَا َوت َ ْق َواهَا‬ َ ‫َونَ ْف ٍس َو َما‬

“Demi jiwa dan penyempurnaan (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan


kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya
beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah
orang yang mengotorinya.” (Q. S. al-Syams [91]: 7-10).
Dalil akhlaq ini, berasal dari Immanuel Kant ( 1724-1804). Kant
berpendapat, bahwa manusia mempunyai perasaan moral yang tertanam dalam
jiwa dan hati sanubarinya. Perasaan moral ini, tidak diperoleh dari pengalaman
dalam hidupnya di dunia, tetapi merupakan pembawaannya sejak lahir. Dengan
perasaan moral itu, orang merasa bahwa ia mempunyai kewajiban untuk
menjauhi perbuatan-perbuatan buruk dan menjalankan perbuatan-perbuatan
baik.
Dan perasaan berkewajiban melakukan perbuatan baik dan menjauhi
perbuatan buruk itu sama sekali tidak tergantung pada akibat-akibat yang akan
timbul dari perbuatan itu. la harus berbuat baik semata-mata, karena perintah
yang datang dari dalam hati sanubarinya untuk berbuat baik. Demikian pula ia
merasa berkewajiban untuk menjauhi perbuatan buruk semata-mata, karena
perintah yang timbul dari dalam hati nuraninya.
Perintah dari dalam hati ini, bersifat absolut dan universil (categorical
imperative). Perbuatan baik dilakukan karena perintah memang demikian. Dan
pekerjaan jahat dijauhi, karena perintah juga mengatakan demikian. Perbuatan
baik dilakukan dan perbuatan buruk di jauhi karena itu adalah kewajiban
manusia.
Dalam pada itu menurut pengalaman yang sering terjadi didunia, dapat
diketahui bahwa tidak selamanya perbuatan-perbuatan baik membawa kepada
kebaikan, dan perbuatan buruk acapkali pula tidak mendapat hukuman
sebagaimana mestinya. Dengan demikian antara apa yang terjadi dalam
kehidupan di dunia dan perintah yang datang dari dalam sanubari, ada kalanya
kontradiksi dalam praktek. Tetapi sungguhpun demikian, manusia tetap merasa
bahwa ia berkewajiban mendengar perintah sanubarinya itu.
Suasana kehidupan duniawi yang seringkali pincang atau tidak adil itu
menimbulkan suatu perasaan, yaitu pasti ada kehidupan yang kedua dibalik
kehidupan yang pertama yang sekarang ini. Hidup yang kedua ini kekal abadi,
dan dalam hidup yang kekal inilah perbuatan-perbuatan baik yang belum
mendapat balasan baik, dan perbuatan-perbuatan buruk yang belum mendapat
hukuman, akan memperoleh balasannya masing-masing. Yang baik dibalas
baik, yang buruk diganjar hukuman.
Dan adanya pembalasan yang demikian itu tidak bisa terjadi dengan
sendirinya, tetapi pastilah pembalasan yang adil itu berasal dari satu zat yang
maha adil, dan zat inilah yang disebut Tuhan. Demikian dalil Akhlaq dari Kant.
Dalil akhlak tersebut dapat disederhanakan lagi, sebagai berikut;
Manusia mempunyai perasaan moral yang tertanam dalam hati
sanubarinya,yang selalu menyuruh berbuat baik dan menjauhi perbuatan buruk.
Perasaan moral demikian, tidak diperoleh dari pengalaman, tetapi telah
dibawanya sejak lahir. Kalau demikian, dari mana asal perasaan moral
tersebut? Jawabnya, tentu saja ia berasal dari suatu zat yang maha tahu akan
baik dan buruk. Zat yang maha tahu inilah yang disebut Tuhan. Perbuatan baik
dan buruk mengandung arti nilai-nilai. Nilai-nilai itu jelas tidak berasal dari
manusia, tetapi telah dibawa sejak lahir. Dengan begitu nilai-nilai tersebut
berasal dari luar manusia, yaitu dari suatu zat yang keadaannya lebih tinggi dari
manusia. Dan zat inilah yang bernama Tuhan.
Selanjutnya adanya nilai-nilai itu mengandung arti adanya pencipta nilai-
nilai. Pencipta nilai ini pulalah yang biasa disebut Tuhan.

5. Dalil Mukjizat

Kadang-kadang para nabi diutus dengan disertai tanda-tanda adanya Allah


secara inderawi yang disebut mukjizat. Mukjizat ini dapat disaksikan atau
didengar banyak orang merupakan bukti yang jelas tentang wujud Yang
Mengurus para nabi tersebut, yaitu Allah swt. Karena hal-hal itu berada di luar
kemampuan manusia, Allah melakukannya sebagai pemerkuat dan penolong bagi
para rasul. Ketika Allah memerintahkan Nabi Musa as. Agar memukul laut
dengan tongkatnya, Musa memukulkannya, lalu terbelahlah laut itu menjadi dua
belas jalur yang kering, sementara air di antara jalur-jalur itu menjadi seperti
gunung-gunung yang bergulung. Allah berfirman,

‫َالط ْو ِد ْالعَ ِظ ِيم‬


‫قك ه‬ ٍ ‫صاكَ ْالبَحْ َر ۖ فَا ْنفَلَقَ فَ َكانَ ُك ُّل فِ ْر‬
َ َ‫س ٰى أ َ ِن اض ِْربْ بِع‬
َ ‫فَأ َ ْو َح ْينَا إِلَ ٰى ُمو‬

“Lalu Kami wahyukan kepada Musa: “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.:
Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang
besar.” (Asy Syu’araa: 63)
Contoh kedua adalah mukjizat Nabi Isa as. ketika menghidupkan orang-
orang yang sudah mati; lalu mengeluarkannya dari kubur dengan ijin Allah.
Allah swt berfirman:
‫طي ِْر فَأ َ ْنفُ ُخ فِي ِه‬
‫ين َك َه ْيئ َ ِة ال ه‬ ِ َ‫وَل إِلَ ٰى بَنِي إِس َْرائِي َل أَنِي قَدْ ِجئْت ُ ُك ْم بِآيَ ٍة ِم ْن َربِ ُك ْم ۖ أَنِي أ َ ْخلُ ُق لَ ُك ْم ِمن‬
ِ ‫الط‬ ً ‫س‬
ُ ‫َو َر‬
َ‫َّللاِ ۖ َوأُنَبِئ ُ ُك ْم ِب َما تَأ ْ ُكلُونَ َو َما تَد ِهخ ُرون‬
‫ص َوأُحْ يِي ْال َم ْوت َٰى بِإِذْ ِن ه‬ ُ ‫َّللاِ ۖ َوأُب ِْر‬
َ ‫ئ ْاْل َ ْك َمهَ َو ْاْلَب َْر‬ ‫طي ًْرا بِإِذْ ِن ه‬
َ ُ‫فَيَ ُكون‬
َ‫فِي بُيُوتِ ُك ْم ۚ ِإ هن فِي ٰذَلِكَ ََليَةً لَ ُك ْم ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم ُمؤْ ِمنِين‬

“Dan (sebagai) Rasul kepada Bani Israil (yang berkata kepada mereka):
‘Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda
(mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk
burung; kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin
Allah; dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang
yang berpenyakit sopak; dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah;
dan aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan
di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda
(kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman.”
(Ali Imran: 49)
ِ ‫اَّللِ ۗ َولَ ْو آ َمنَ أ َ ْه ُل ْال ِكت َا‬
‫ب‬ ‫وف َوتَ ْن َه ْونَ َع ِن ا ْل ُم ْنك َِر َوتُؤْ ِمنُونَ بِ ه‬ِ ‫اس ت َأ ْ ُم ُرونَ بِ ْال َم ْع ُر‬ ِ ‫ت ِللنه‬ ْ ‫ُك ْنت ُ ْم َخي َْر أ ُ هم ٍة أ ُ ْخ ِر َج‬
َ‫لَ َكانَ َخي ًْرا لَ ُه ْم ۚ ِم ْن ُه ُم ْال ُمؤْ ِمنُونَ َوأَ ْكث َ ُر ُه ُم ْالفَا ِسقُون‬

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara
mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang
fasik.” (Al Maidah 110).

6. Dalil Keteraturan

Keteraturan adalah kualitas dan bentuk keberadaan beberapa partikular sebuah


majemuk, hingga keharmoniannya mampu memenuhi tujuan dari majemuk
tersebut. Dapat dikatakan bahwa berbagai realitas yang sangat mudah ditemukan
dalam fenomena-fenomena alam oleh para filosof dan ilmuwan adalah adanya
keharmonisan dan keteraturan. Poin inilah yang telah menyebabkan sebagian
besar dari filosof kuno menyepakati adanya semacam kebersatuan untuk alam,
atau mencari prinsip kebersatuan untuk semuanya. Sebagaimana Thales yang
mengungkapkan air sebagai prinsip kebersatuan, Aneximines udara, sementara
Heraclitus mengungkapkan api sebagai prinsipnya.

Secara global, para filosof sebelum Socrates, saling mengungkapkan integritas


alam dengan caranya masing-masing. Dalam pemikiran filosof besar semacam
Thales, Anaximines dan Heraclitus mengungkapkan bahwa: ”Alam semesta
adalah alam dimana hukum keteraturan yang bersifat universal berlaku atasnya”.

Salah satu aliran filsafat yang ada sebelum Socrates, adalah aliran Pytagoras.
Kelompok Pytagoras sepakat bahwa seluruh alam laksana sebuah melodi
harmonis sebuah musik, dimana keteraturan yang bersifat universal berlaku
atasnya. Dari sinilah mereka sepakat, bahwa sebagaimana harmoni sebuah musik
terkait pada angka-angka maka bisa digambarkan harmoni dan keteraturan alam
pun bergantung pada angka. Penyaksian keteraturan yang cermat semacam ini
telah mengarahkan mereka untuk secara eksplisit mengumumkan, bahwa benda
adalah angka-angka itu sendiri. Pada era setelahnya, kecenderungan ini pula yang
ditemukan dalam kelompok “Ikhwân ash-Shafa”.

Plato juga mengungkapkan permasalahan keteraturan yang menguasai benda-


benda alam. Dia tidak hanya sepakat dengan keteraturan dalam badan-badan dan
benda-benda materi alam fisik. Melainkan di alam bentuk (suwar) dan alam ide
(mundus imginalis) pun dia sepakat bahwa keteraturan berada dalam posisinya
sebagai hakim. Pada prinsipnya, keteraturan alam ini merupakan efek dan
petunjuk keteraturan alam ide (mundus imaginalis).

Secara global pada seluruh era, mereka yang sepakat bahwa penemuan dan
pengenalan prinsip religi akan bisa terpenuhi melalui metodologi-metodologi
natural, dengan mengungkapkan argumen-argumen yang varian untuk wujud
Tuhan, berusaha menampakkan bahwa paling asasinya prinsip religi –yaitu wujud
Tuhan- dapat diargumentasikan dengan argumen-argumen yang dapat diterima. Di
antara dalil-dalil ini, bisa jadi argumen keteraturan merupakan argumen yang
paling terkenal, dimana setiap individu mengenalinya. Hal ini dikarenakan
premis-premis argumen ini diperoleh melalui cara pembelajaran dan konklusi
eksperimen dari persoalan-persoalan di alam semesta ini. Semenjak munculnya
inovasi ilmu pun telah diusahakan bahwa dengan memanfaatkan inovasi akhir dari
ilmu fisik dan biologi, wujud Tuhan dibuktikan melalui argumen yang bertolak
pada keteraturan

Argumen ini bisa dimanfaatkan dalam dua kasus:

1. Pembuktian wujud Tuhan,


2. Pembuktian ilmu Tuhan.

Untuk pembuktian wujud Tuhan dengan metode argumen keteraturan, dapat


dikatakan: “Keteraturan itu berlaku di alam semesta. Dan setiap keteraturan
membutuhkan pengatur. Maka pengatur keteraturan ini, harus meliputi alam
semesta. Dan dia adalah Tuhan”

Untuk membuktikan ilmu Tuhan dari metode teori keteraturan, dapat kami
katakan: “Di alam semesta terdapat keteraturan. Dan setiap keteraturan muncul
dari kecerdasan dan kesadaran. Jadi, pengatur alam semesta, harus mempunyai
kecerdasan dan kesadaran”.

Dua argumen yang disebutkan di atas membutuhkan penjelasan dan


penjabaran yang lebih mendalam. Penjelasan ini berada dalam beberapa batasan:
Asas argumen pertama adalah “setiap fenomena membutuhkan pemula”. Karena
“keteraturan” merupakan sebuah fenomena maka dia membutuhkan pemula, yaitu
pengatur. Dengan ibarat lain, argumen keteraturan pada hakekatnya adalah sebuah
manifestasi dari argumen sebabdan akibat, dan bukannya sebuah argumen berada
di sampingnya. Oleh karena itu salah satu dari pilar dan dasar justifikasi argumen
keteraturanadalah penerimaan argumen kausalitas, yaitu menerima sebab fâ’ili
(subyek, pelaku) untuk fenomena-fenomena alam eksistensi.

Karena maksud dari keteraturan dalam argumen keteraturan adalah


keteraturan yang melingkupi alam materi dan alam fisik, maka argumen
keteraturan pada akhirnya memberikan kesimpulan berikut bahwa keteraturan ini
membutuhkan pengatur dari luar alam materi. Hal ini dikarenakan keteraturan
merupakan akibat yang berakal dan sadar. Sedangkan materi merupakan esensi
yang kosong dari keberpikiran. Jadi, pengatur haruslah lebih luas dari alam
materi. Dari sini argumen keteraturan pada hakikatnya merupakan salah satu dari
dalil-dalil yang membatalkan filsafat materialis, dan termasuk dalam argumen
pembuktian alam metafisik.

Dengan memperhatikan dua poin sebelumnya, argumen keteraturan lebih


sesuai dipergunakan untuk membuktikan ilmu dan hikmat Sang Pencipta (Khâliq),
daripada untuk membuktikan prinsip keberadaan Sang Pencipta (Khâliq). Hal ini
dikarenakan prinsip keberadaan Sang Pencipta dalam argumen ini –pada
hakikatnya- terbukti berdasarkan prinsip dari argumen kausalitas bukan
bersumber dari argumen ini. Tetapi pembuktian ilmu di dalam diri Pencipta alam,
akan terbukti melalui argumen keteraturan.

Dengan ibarat yang lebih dalam dikatakan bahwa “keteraturan”dalam


membuktikan prinsip wujud Tuhan, hadd-e wasath-nya (relasi antara premis
minor dan mayor, premis media) tidak hakiki dan bercorakbil-’aradh (aksidental),
akan tetapi dalam pembuktian ilmu Sang Pencipta, hadd-e wasath-nya bersifat
bidz-dzat (esensial) dan asli. Dari sinilah maka biasanya para filosof tidak
memberikan perhatian terhadap argumen ini, kebalikannya dengan para teolog
(mutakalimin) yang memberikan perhatian besar kepadanya.

Dalam pembuktian ilmu Ilahi melalui argumen keteraturan, hal yang lebih
penting dan lebih asas dari yang lainnya adalah perhatian terhadap masalah illat
gha-i (sebab tujuan). Telah kami katakan bahwa dalam keteraturan, senantiasa
terdapat tujuan, dan keteraturan serta keharmonisan particular, senantiasa
merupakan penjamin tujuan tersebut. Dimana hal seperti ini pasti membutuhan
kecerdasan dan kesadaran pengatur.

Jadi, keteraturan yang meliputi fenomena-fenomena eksistensi -secara


eksplisit- menunjukkan bahwa pencipta fenomena-fenomena ini telah meletakkan
tujuan khusus dalam penciptaan beragam eksistensi. Dengan memperhatikan hal
tersebut makhluk-makhluk diciptakan secara teratur. Keharmonisan dan
kesesuaian partikular alam semesta ini dalam memenuhi tujuan tersebut,
merupakan pencipta eksistensi.

7. Dalil Imkan

Para penganut materialism berpen dapat bahwa wujudi tusama dengan materi
dan material. Sesuatu itu, dianggap ada bila ia berupa materi dan meliputi tiga
dimensi (panjang, lebar dan padat). Atau meliputi tipologimateri sehingga ia di
sifati dengan kuantitas dan dapat dibagi.
Bahwa materi bersifat Azali, abadi, tidak dicipta dan tidak membutuhkan
sebaba apapun, yang di dalam filsafat dinamakan wujud niscaya ada (Wajibul
Wujud).Kita tidak mungkin mengatakan bahwa alam ini memiliki tujuan dan
sebab akhir karena tidak ada pelaku yang memiliki ilmu dan kehendak sehingga
dapat dini bahkan tujuan penciptaan.
8. Dalil pengalaman

Setiap manusia tentu pernah berdoa kepada Tuhannya, kemudian


dikabulkanlah apa yangmenjadi permintaannya. Pernah pula memanggil -
Nya dan iapun dijawab apa yang diinginkan serta dikehendakinya. Ia pernah
pula meminta-Nya dan apa yang diminta itupun diberikan. Tidak sedikit orang
yang sakit dan memohon kesembuhan kepada-Nya disamping berusaha
dengan berobat yang dilakukan dan kemudian ia berhasil sembuh

Pengalaman-pengalaman manusia dalam kehidupannya di dunia ini


sebenarnya sudahmembimbing dirinya s endiri untuk dapat sampai
kepada penemuan akan Allah SWT secara kesadaran dan bukan karena
adanya paksaan, sebab pengalaman-pengalaman itu memang dapat
membuka segala macam hakikat yang ia sendiri pasti tidak merasakan dengan
panca inderanya
“Dan (ingatlah kisah) Nuh, sebelum itu ketika dia berdoa, dan Kami
memperkenankan doanya,lalu Kami selamatkan dia beserta keluarganya dari
bencana yang besar!”(Al Anbiya:76)

“(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada


Robbmu, lalu diperkenankan"(Al-Anfal:9)

Anas bin Malik Ra berkata, “Pernah ada seorang badui datang pada hari -
um.at! Pada waktu itu Nabi Shallallahu /Alaihi wa Sallam tengah berkhotbah!
Lelaki itu berkata. “Hai Rasul Allah,harta benda kami telah habis, seluruh
warga sudah kelaparan! oleh karena itu mohonkanlah k e p a d a A l l a h
Subhanahu wa Ta.ala untuk mengatasi kesulitan kami.”
Rasulullah lalu mengangkat kedua tanganya dan ber doa!
Tiba"tiba awan mendung bertebaran b a g a i k a n gunung-gunung.
Rasulullah belum turun dari mimbar, hujan turun membasahi jenggotnya. Pada -
umat yang kedua, orang badui atau orang lain berdiri dan berkata, “Hai Rasul
Allah,bangunan kami hancur dan harta bendapun tenggelam, doakanlah akan
kami ini (ahar selamat)kepada Allah.” Rasulullah lalu mengang kat kedua
tangannya, seraya berdoa: “Ya Robbku,turunkanlah hujan di sekeliling
kami dan jangan Engkau turunkan sebagai bencana bagi kami.” Akhirnya beliau
tidak mengisyaratkan pada suatu tempat kecuali menjadi terang (tanpa hujan).”
(HR. Al Bukhari.

Anda mungkin juga menyukai