TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Talib dan Yudi (2008) Indonesia belum mandiri dalam penyediaan
kebutuhan daging sapi nasional karena baru mampu memproduksi 70% dari kebutuhan
daging sapi nasional dimana 30% kebutuhan lainnya dipenuhi melalui impor. Mulai tahun
2012 pemerintah mengeluarkan kebijakan menetapkan alokasi impor sapi ditekan menjadi
14,8 ( Tawaf, 2014 ). Indonesia merupakan negara net Impotir komoditas peternakan
termasuk sapi potong sebagai bahan baku daging sapi, karena berada pada keadaan kelebihan
permintaan (excees demand) yang mengakibatkan kenaikan harga. Jika tidak diimbangi
dengan penawaran daging sapi akan mengakibatkan makin tingginya harga daging di tingkat
konsumen, serta pengurasan populasi sapi di dalam negeri sehingga untuk menutupi
kekurangannya harus mengimpor dari luar negeri. Kondisi ini terjadi karena adanya defisit
produksi yang mengakibatkan harga daging sapi relatif tinggi dibanding dengan harga daging
sapi di pasar dunia (Yuzaria, 2009). Menurut penelitian Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam
Negeri (2013) , faktor-faktor yang mempengaruhi harga daging sapi di dalam negeri dari sisi
permintaan adalah (1) jumlah permintaan daging sapi lokal, (2) jumlah penawaran daging
sapi lokal, (3) selera, (4) faktor dummy hari besar keagamaan, dan (5) permintaan daging sapi
impor. Tetapi menurut Nursalamah (2013) Permintaan daging sapi terus mengalami
peningkatan setiap tahunnya walaupun harga daging sapi yang relatif mahal, hal ini dilihat
dari faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan daging sapi dan implikasinya terhadap
kebijakan impor. Tidak tercapainya swasembada daging sapi pada setiap programnya
menimbulkan tanda tanya pada berbagai pihak, apa saja penyebab atau permasalahan yang
menyebabkan kegagalan swasembada daging sapi tersebut, padahal dari hasil penelitian
Soedjana (2013) Konsumsi daging sapi/kerbau per kapita per tahun menunjukkan kinerja
yang rendah , tingkat partisipasi konsumsi daging sapi/kerbau hanya sekitar 16% sementara
tingkat partisipasi konsumsi sumber pangan hewani daging lainnya seperti daging unggas
ternyata sudah tersedia dan lebih terjangkau oleh masyarakat luas sebesar 57% pendekatan
partisipasi konsumsi dalam mengukur kinerja konsumsi per kapita per tahun untuk pangan
hewani seperti daging sapi/kerbau akan membantu mengurangi eksploitasi sumberdaya alam
untuk memproduksi daging sapi/kerbau.
Wilayah Indonesia yang luas harus menyediakan kebutuhan daging sapi yang cukup
pada setiap daerah dan juga pertumbuhan penduduk akan semakin bertambah yang akan
berdampak pada tingginya permintaan terhadap daging sapi, jika permintaan tinggi sementara
penawaran tetap atau menurun akan menyebabkan daging sapi menjadi langka di tingkat
konsumen sehingga terjadi kenaikan harga daging sapi tersebut, menurut teori penawaran dan
permintaaan ada interaksi antara penjual dan pembeli dipasar yang akan menentukan tingkat
harga dari barang dan jasa serta jumlah barang dan jasa yang akan diperjual belikan dan juga
menerangkan hubungan antara jumlah yang diminta dan harga komoditas ( Sugiarto et al,
2007 ). Melihat keadaan tersebut swasembada daging sapi nasional gagal tercapai karena stok
atau ketersediaan daging sapi pada tahun tertentu tidak tersedia, sedangkan untuk volume
impor dibatasi sementara populasi sapi dan kerbau, produksi daging sapi dalam negeri belum
mampu menutupi permintaan daging sapi nasional sehingga harga juga meningkat.
Pendapat harga daging sapi meningkat
Menurut Fathurahman (2008), atribut utama perbedaan kualitas fisik daging sapi
potong lokal dan impor antara lain rasa dan aroma, warna, perlemakan (marbling), dan
tekstur. Warna daging sapi yang baik adalah berwarna merah cerah. Tekstur daging yang baik
adalah apabila ditekan dengan jari tangan serat daging tidak akan hancur tapi akan kembali
kebentuk awal, apabila serat daging hancur ketika ditekan berarti daging tersebut sudah
rusak. Rasa dan aroma daging yang baik adalah beraroma khas daging sapi. Lemak
(marbling) daging sapi yang baik adalah berwarna putih kekuningan yang berarti daging
tersebut berasal dari sapi yang masih muda sehingga daging menjadi empuk lembut dan
terasa lebih gurih. “Karena setengah lebih bagian daging adalah lemak tak jenuh yang tidak
saja mempunyai titik lumer lebih rendah daripada lemak jenuh, tetapi juga umumnya mencair
dalam suhu ruangan. Maka, sesampai di mulut segera meleleh menjadi minyak yang
memberikan cita rasa gurih” (Kusumo, 2012).
Daging sapi impor di Indonesia didapatkan dari Amerika Serikat, Australia, New
Zealand, Kanada, dan Jepang yang secara resmi dapat mengimpor dagingnya di Indonesia
(Apriyantono, 2012). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tambunan (2001)
mengenai perbandingan kualitas fisik daging sapi lokal dan impor, diungkapkan bahwa
daging sapi lokal berwarna merah cerah, sangat sedikit lemak, dengan tekstur agak halus.
Untuk daging sapi impor berwarna merah cerah, lemak cukup banyak, dan teksturnya halus.
Ditegaskan oleh pakar kuliner Sisca Soewitomo, meskipun tekstur daging sapi impor lebih
empuk dibandingkan daging sapi lokal, perbedaan hanya terletak pada perlakuan terhadap
sapi-sapi di peternakan, bukan pada daging sapinya. "Daging sapi impor lebih empuk karena
sapi-sapinya memang sangat dimanjakan, sedangkan sapi lokal digunakan untuk bekerja, jadi
dagingnya lebih keras" (Sompotan, 2012).
a. Kelengkapan ( Completeness )
Prinsip ini mengatakan bahwa setiap individu selalu dapat menentukan keadaan mana
yang lebih disukainya diantara dua keadaan. Konsumen dapat membandingkan dan menilai
semua produk yang ada. Bila A dan B ialah dua keadaan produk yang berbeda, maka individu
selalu dapat menentukan secara tepat satu diantara kemungkinan yang ada. Dengan kata lain,
untuk setiap dua jenis produk A dan B, konsumen akan lebih suka A dari pada B, lebih suka
B daripada A, suka akan kedua-duanya, atau tidak suka akan kedua-duanya. Preferensi ini
mengabaikan faktor biaya dalam mendapatkannya.
b. Transivitas ( Transivity )
Prinsip ini, menerangkan mengenai konsistensi seseorang dalam menentukan dan
memutuskan pilihannya bila dihadapkan oleh beberapa alternatif pilihan produk. Dimana jika
seorang individu mengatakan bahwa “produk A lebih disukai daripada produk B” dan
“produk B lebih disukai daripada produk C”, maka ia pasti akan mengatakan bahwa “produk
A lebih disukai daripada produk C”. Prinsip ini sebenarnya untuk memastikan adanya
konsistensi internal di dalam diri individu dalam hal pengambil keputusan. Hal ini
menunjukkan bahwa pada setiap alternatif pilihan seorang individu akan selalu konsisten
dalam memutuskan preferensinya atas suatu produk dibandingkan dengan produk lain.
c. Kontinuitas (Continuity)
Prinsip ini menjelaskan bahwa jika seorang individu mengatakan “produk A lebih
disukai daripada produk B”, maka setiap keadaan yang mendekati produk A pasti juga akan
lebih disukai daripada produk B. jadi ada suatu kekonsistenan seorang konsumen dalam
memilih suatu produk yang akan dikonsumsinya.