Tuberkulosis (TBC atau TB) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan
oleh bakteri Mikobacterium tuberkulosa. Bakteri ini merupakan bakteri basil yang
sangat kuat sehingga memerlukan waktu lama untuk mengobatinya. Bakteri ini lebih
sering menginfeksi organ paru-paru dibandingkan bagian lain tubuh manusia. Namun,
bakteri TBC ini juga dapat menyerang setiap bagian dari tubuh seperti tulang
belakang, ginjal, dan otak. Jika tidak ditangani dengan baik, penyakit TBC bisa
berakibat fatal. TBC menular melalui udara dari satu orang ke orang lain melalui
droplet infection atau dari percikan sputumnya.
Insidensi TBC dilaporkan meningkat secara drastis pada dekade terakhir ini di
seluruh dunia. Demikian pula di Indonesia, Tuberkulosis / TBC merupakan masalah
kesehatan, baik dari sisi angka kematian (mortalitas), angka kejadian penyakit
(morbiditas), maupun diagnosis dan terapinya. Dengan penduduk lebih dari 200 juta
orang, Indonesia menempati urutan ketiga setelah India dan China dalam hal jumlah
penderita di antara 22 negara dengan masalah TBC terbesar di dunia.
1. Definisi :
2. Etiologi
3. Epidemiologi
4. Patofisiologi
A. Tuberculosis primer
B. Tuberculosis Post-primer
Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10
minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel
histiosit dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh
sel-sel limfosit dan bermacam-macam jaringan ikat (2).
A. Patofisiologi
Lisis makrofag
Penyebaran Limfohematogen
Tuberkel (miliar)
Masa inkubasi - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
5. Klasifikasi
KLASIFIKASI TUBERKULOSIS
Pada tahun 1974 American Thoracic Society memberikan klasifikasi baru yang
diambil dari klasifikasi kesehatan masyarakat (2).
1. Kategori O: tidak pernah terpapar, dan tidak terinfeksi. Riwayat kontak negatif, test
tuberculin negatif.
3. Kategori II: terinfeksi tuberculosis, tapi tidak sakit. Test tuberculin positif,
radiologis dan sputum negatif.
1. Tuberculosis paru
a.Tuberculosis paru tersangka yang diobati. Disini sputum BTA negatif, tapi
tanda-tanda lain positif.
b.Tuberculosis paru tersangka tersangka yang tidak diobati. Disini sputum BTA
negatif dan tanda-tanda lain juga meragukan.
6. Gejala-gejala Klinis
Demam
Demam mengacu pada peningkatan suhu tubuh sebagai akibat dari infeksi atau
peradangan. Sabagai respons terhadap invasi mikroba,sel-sel darah putih tertentu
mengeluarkan suatu zat kimia yang dikenal sebagai pirogen endogen, yang memiliki
banyak efek untuk melawan infeksi dan juga bekerja pada pusat termoregulasi
hipotalamus untuk meningkatkan patokan termostat. Pirogen endogen meningkatkan
titik patokan termostat hipotalamus selama demam dengan memicu pengeluaran lokal
prostaglandin, yaitu zat perantara kimiawi lokal yang bekerja langsung di hipotalamus.
Hipotalamus sekarang mempertahankan suhu di titik patokan yang baru dan bukan di
suhu tubuh normal. Organ ini akan memicu mekanisme-mekanisme respons dingin
untuk meningkatkan suhu. Menggigil ditimbulkan agar dengan cepat meningkatkan
produksi panas, sementara vasokonstriksi kulit juga berlangsung untuk dengan cepat
mengurangi pengeluaran panas. Kedua mekanisme tersebut mendorong suhu naik.
Infeksi/ peradangan akibat mikroorganisme
↓
Tubuh memfagosit pirogen eksogen
↓
Mengeluarkan pirogen endogen
↓
Hipotalamus mengeluarkan asam arachidonat
↓
Mengeluarkan prostaglandin
↓
Merangsang termoreseptor di hipotalamus
↓
Respon dingin (menggigil dan vasokonstriksi kulit)
Suhu tubuh meningkat
↓
Demam
Batuk
Batuk dapat terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk
membuang produk-produk radang keluar. Sifat batuk mulai dari kering (non produktif)
kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum).
Keadaan yang lebih lanjut adalah berupa batuk darah (hemoptoe) karena terdapat
pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberculosis terjadi pada
kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronchus.
Batuk merupakan refleks fisiologis kompleks yang melindungi paru dari trauma
mekanik, kimia dan suhu(12,13). Batuk juga merupakan mekanisme pertahanan paru
yang alamiah untuk menjaga agar jalan napas tetap bersih dan terbuka, dengan
jalan(12,13) :
Sesak nafas
Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak nafas. Sesak nafas
akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, dimana infiltrasinya sudah setengah
bagian paru-paru.
Nyeri dada
Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul apabila infiltrasi radang sudah
sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.
Malaise
Penyakit tuberculosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering ditemukan
berupa: anoreksia, tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun),
sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam, dll. Gajala malaise ini makin lama
makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur (2).
7. Kriteria Diagnosis
PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
Lokasi lesi tuberkulosis umumnya didaerah apeks paru ( segmen apikal lobus
atas atau segmen apikal lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah
(bagian inferior) atau di daerah hilus menyerupai tumor paru ( misalnya pada
tuberkulosis endobronkial).
DARAH
Pada saat tuberkulosis baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit
yang sedikit meninggi dengan hitung jenis dengan pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit
masih dibawah normal. laju endap darah mulai meningkat. bila penyakit mulai sembuh
jumlah leukosit kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah
mulai turun ke arah normal lagi.
Hasil pemeriksaan darah lain didapatkan juga : 1). Anemia ringan dengan
gambaran normokrom dan normositer; 2). Gama globulin meningkat; 3). Kadar
natrium darah menurun. pemeriksaan tersebut diatas nilainya juga tidak spesifik.
Belakangan ini terdapat pemeriksaan serologis yang banyak juga dipakai yakni
Peroksidase Anti-Peroksida (PAP-TB). Prinsip dasar uji PAP-TB adalah menentukan
adanya antibodi IgG yang spesifik terhadap antigen M.Tuberculosae. sebagai antigen
dipakai polimer sitoplasma M.Tuberculin van bovis BCG yang dihancurkan secara
ultrasonik dan dipisahkan secara ultrasentrifus. Hasil uji PAP-TB dinyatakan patologis
bila pada titer 1:10.000 didapatkan hasil titer didapatkan hasil uji PAP-TB yang
positif. Hasil positif palsu kadang-kadang masih didapatkan pada pasien reumatik,
kehamilan dan masa 3 bulan revaksinasi BCG.
SPUTUM
Bila sputum sudah didapat, kuman BTA pun kadang-kadang sulit ditemukan,
kuman baru dapat ditemukan bila bronkus yang terlibat proses penyakit ini terbuka
keluar,sehingga sputum yang mengandung BTA mudah keluar.
TES TUBERKULIN
(3). Foto toraks PA dan lateral. Gambaran foto toraks yang menunjang diagnosis TB
yaitu:
a. Bayangan lesi terletak dilapangan atas paru atau segmen apical lobus bawah.
e. Adanya kalsifikasi.
g. Bayangan milier.
(4). Pemeriksaan Sputum BTA
Tes Mantoux
Lokasi penyuntikan di bagian volar lengan bawah
Diukur diameter pembengkakan (indurasi yg terjadi):
o 0-4mm : uji tuberkulin negatif.
o 5-9mm : positif meragukan. Disebabkan oleh kesalahan teknis
(trauma dan lain-lain), keadaan anergi, atau reaksi silang dengan
M.atipik.
o ≥10mm : dinyatakan positif tanpa menghiraukan penyebabnya.
Jika sudah pernah diimunisasi, 0-15 mm merupakan kondisi yang normal, jika >15
mm baru positif kuat.
Deteksi DNA kuman secara spesifik melalui amplifikasi dalam berbagai tahap
sehingga dapat mendeteksi meskipun hanya ada1 mikroorganisme dalam specimen.
Selain itu teknik PCR ini juga dapat mendeteksi adanya resistensi.
1.Aktivitas bakterisid
2.Aktivitas sterilisasi
1. Obat primer
a. Isoniazid
b.Rifampisin
c. Pirazinamid
d. Streptomisin
e. Etambutol
2. Obat sekunder
a. Etionamid
b. Protionamid
c. Sikloserin
d. Kanamisin
f. Tiasetazon
g. Viomisin
h. Kapreomisin
Sebelum ditemukannya rifampisin metode terapi terhadap tuberculosis paru
adalah dengan system jangka panjang (terapi standar) yaitu: INH (H) + Streptomisin
(S) + PAS atau Etambutol (E) tiap hari dengan fase initial selama 1-3 bulan dan
dilanjutkan dengan INH +Etambutol atau PAS selama 12-18 bulan.
Dengan pemberian terapi jangka pendek akan didapat beberapa keuntungan seperti :
Oleh karena itu Departemen Kesehatan R.I. dalam rangka program pemberantasan
penyakit tuberculosis paru lebih menganjurkan terapi jangka pendek dengan
perpaduan obat HRE/5 H2R2 (Isoniazid + Rifampisin + Etambutol setiap hari selama
satu bulan, dan dilanjutkan dengan Isoniazid + Rifampisin 2 kali seminggu selama 5
bulan)(2).
A. Penatalaksanaan
a. Medikamentosa:
Pengobatan untuk pasien ini tergolong dalam pengobatan TB yang
berat yaitu:
-Fase intensif : digunakan minimal 4 obat. Yaitu Rifampisin (10-20
mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari), INH
(5-15 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 300 mg/hari),
Pirazinamid (15-30 mg/kgBB/hari, dosis maksimal
2000 mg/hari), Etambutol (15-20 mg/kgBB/hari,
dosis maksimal 1250 mg/hari). Pengobatan fase
intensif dilakukan selama 2 bulan.
-Fase lanjutan : digunakan rifampisin dan isoniazid selama 10 bulan,
-Anti-inflamasi : untuk TB berat seperti TB Milier, ditambahkan
kortikosteroid sebagai anti-inflamasi yaitu prednison
dengan dosis 1-2mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3
dosis, maksimal 60mg/hari. Lama pemberian 2-4
minggu dengan dosis penuh, dilanjutkan tapering off
selama 2-6 minggu.
b. Non medikamentosa:
9. Prognosis
10. Komplikasi
Sepsis (8).
A. Komplikasi
- Paru :
1. Pneumothoraks
2. Bronkiektasis
3. Abses Paru
- Penyebaran secara hematogen :
1. TB kulit
2. Meningitis TB
3. Spondylitis
4. TB ginjal
5. Peritonitis TB
- Penyebaran secara limfogen :
1. Lymphodenitis TB
KESIMPULAN
Pada pasien ini masih mengalami fase yang belum begitu parah, dengan kata
lain, belum ada komplikasi dan biasanya pada kasus seperti ini dilakukan pengobatan
dengan OAT.
OAT yang digunakan pada pasien ini menggunakan 4 jenis obat, yaitu
Rifampisin, INH, Pirazinamid, dan Etambutol. Juga ditambah dengan kortikosteroid
sebagai anti-inflamasi, yaitu Prednison.
(1) Pedoman Nasional TB Anak, Unit Kerja Koordinasi Pulmonologi PP Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2005.
2. Bahar., A., 1998., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam., Jilid II., Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia., Jakarta., Hal:715-719
6. Amin, M., Alsagaff, H., Saleh., T.W.B.M., 1996., Ilmu Penyakit Paru., Airlangga
University Press., Hal: 13-35.
7. Standar Pelayanan Medis RSUP DR. Sardjito., 2000., Tuberkulosis Paru., Medika
Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada., Yogyakarta., Hal 51-53.
8. Corwin., E.J., 2001., Buku Saku Patofisiologi., Penerbit Buku Kedokteran EGC.,
Jakarta., Hal:414-416.
10. Simon, G.,1986., Diagnostik Rontgen Untuk Mahasiswa Klinik Dan Dokter
Umum.,Penerbit Erlangga.,Jakarta., Hal:280-296.
12. Cool FD, Leith DE. Padaophysiology of cough. Dalam: Clinics in Chest Medicine.
Braman SS (ed.). Philadelphia: WB Saunders Co, 1997: 189-95.
13. Fishman AP. Cough. Pulmonary Diseases and Disorders, second edition. New
York: McGraw-Hill Co, 1998: 342-6.
14.http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/10_GambaranKlinisTuberkulosisMilier.pdf/1
0_GambaranKlinisTuberkulosisMilier.html