Anda di halaman 1dari 14

Skizofrenia Paranoid

REFERAT

Disusun oleh :

Muhammad Zaki Pradana (406171043)

Jennifer Christanty (406182050)

Alvin Rinaldo (406182098)

Pembimbing

dr. Ira Savitri Tanjung, Sp.KJ (K)

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU PENYAKIT JIWA
RUMAH SAKIT KHUSUS DHARMAGRAHA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
11 MARET 2019 – 14 APRIL 2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Skizofrenia
Paranoid” tepat pada waktunya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Ira Savitri Tanjung Sp.KJ(K), selaku pembimbing Kepaniteraan Ilmu
kesehatan jiwa di RSK Dharmagraha.
2. dr. Irmansyah Sp.KJ(K), selaku pembimbing Kepaniteraan Ilmu kesehatan
jiwa di RSK Dharmagraha.
3. dr. Yenny Sp.KJ, selaku pembimbing Kepaniteraan Ilmu kesehatan jiwa di
RSK Dharmagraha.
4. Dr. Ros Sp.KJ, selaku pembimbing Kepaniteraan Ilmu kesehatan jiwa di
RSK Dharmagraha.
5. Semua pihak yang telah berperan dan membantu dalam proses penyusunan
referat ini.
Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam referat ini. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan adanya kritik dan saran sehingga dapat memperbaiki kekurangan
tersebut di kemudian hari. Referat ini disusun dengan tujuan untuk meningkatkan ilmu
pengetahuan bagi penulis dan juga pembaca agar bisa bermanfaat bagi masyarakat.

Tanggerang, 25 Maret 2019

Penulis

Universitas Tarumanagara ii
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari 2 suku kata, yaitu
“schizein”yang berarti “terpisah”atau “pecah”, dan “phren” yang artinya “jiwa”. Pada
skizofrenia terjadi ketidakserasian antara kognitif, afek dan perilaku.a Skizofrenia adalah
kelainan mental kronis yang ditandai dengan beberapa gejala, termasuk delusi, halusinasi,
disorganisasi pikiran atau perkataan dan gangguan fungsi kognitif. (1) Skizofrenia
paranoid merupakan skizofrenia yang ditandai dengan halusinasi atau delusi mengenai
penganiayan terhadap dirinya. (2) Pasien skizofrenik paranoid menunjukkan regresi yang
lambat pada kemampuan mental, respon emosional, dan perilaku. Pasien skizofrenik paranoid
memiliki sifat dan perilaku yang biasanya pencuriga, berhati-hati, tegang dan kurang ramah.
Mereka juga dapat bersifat agresif. Pasien skizofrenik paranoid kadang-kadang dapat
menempatkan diri mereka secara adekuat didalam situasi sosial. Kecerdasan mereka tidak
terpengaruhi oleh kecenderungan psikosis mereka dan tetap intak.b

2.2. EPIDEMIOLOGI

Berdasarkan data WHO tahun 2016, terdapat 21 juta orang di dunia yang terkena
skizofrenia. Di Indonesia sendiri, prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia
mencapai 400.000 orang. (3) Prevalensi laki – laki dan perempuan sama besarnya, namun
biasanya onset pada laki – laki lebih awal dibandingkan dengan perempuan. Biasanya onset
skizofrenia pada laki – laki pada usia awal 20 tahun dan pada wanita onsetnya biasa pada usia
akhir 20 tahun atau awal 30 tahun. (1)

2.3. ETIOLOGI

Munculnya gejala skizofrenia dapat berasal dari genetik dan pengaruh lingkungan.
Risiko skizofrenia sekitar 10% pada relatif derajat pertama dan 3% pada relatif derajat kedua.
Pada kasus kembar monozigotik, apabila salah satunya mengalami skizofrenia, maka saudara
kembarnya memiliki risiko sebesar 48%, sedangkan jika kembar dizigotik, risikonya sebesar
12 – 14%. Jika kedua orangtua mengalami skizofrenia, risiko bagi anaknya sebesar 40%. (1)

3
Keadaan lingkungan berperan sebagai stresor yang bisa memicu munculnya
skizofrenia. Kondisi yang bisa menjadi stresor antara lain adalah trauma di masa kecil,
menjadi minoritas di lingkungan dan isolasi sosial. Diskriminasi dan kesulitan ekonomi juga
bisa berperan terhadap pemikiran atau delusi paranoid. (1)

Biokimia
Etiologi biokimia skizofrenia belum diketahui. Hipotesis yang paling banyak yaitu
adanya gangguan neurotransmitter sentral dengan peningkatan aktivitas dopamin sentral
(hipotesis dopamin). Hipotesis ini dibuat berdasarkan tiga penemuan utama : 2
1. Efektivitas obat-obat neuroleptic (misalya fenotiazin) pada skizofrenia, ia bekerja
memblok reseptor dopamine pasca sinaps (tipe D2).
2. Terjadinya psikosis akibat penggunaan amfetamin. Psikosis yang terjadi sukar
dibedakan, secara klinik, dengan psikosis skizofrenia paranoid akut. Amfetamin
melepaskan dopamine sentral. Selain itu, amfetamin juga memperburuk skizofrenia.
3. Adanya peningkatan jumlah reseptor D2 di nucleus kaudatus, nucleus akumben, dan
putamen pada skizofrenia.
Penelitian reseptor D1, D5, dan D4, saat ini tidak memberikan banyak hasil. Teori lain
yaitu peningkatan serotonin disusunan saraf pusat (terutama 5HT2A) dan kelebihan NE di
forebrain limbic (terjadi pada beberapa penderita skizofrenia). Setelah pemberian obat yang
bersifat antagonis terhadap neurotransmitter tersebut terjadi perbaikan klinik skizofrenia. 2

Genetika
Skizofrenia sesuai dengan penelitian hubungan darah, skizofrenia adalah gangguan
bersifat menurun (misalnya terdapat dalam keluarga). Semakin dekat hubungan kekerabatan
semakin tinggi resiko. Pada penelitian anak kembar, kembar monozigot mempunyai resiko 4-
6 kali lebih sering menjadi sakit bila dibandingkan dengan kembar dizigot. Pada penelitian
adopsi, waktu lahir, oleh keluarga normal, peningkatan angka sakitnya sama dengan bila
anak-anak tersebut diasuh sendiri oleh orang tuanya yang skizofrenia. Frekuensi kejadian
gangguan non-psikotik meningkat pada keluarga skizofrenia dan secara genetik dikaitkan
dengan gangguan kepribadian ambang dan skizotipal, gangguan obsesif-kompulsif, dan
kemungkinan dihubungkan dengan gangguan kepribadian paranoid dan anti sosial. 2

4
2.4. PATOFISIOLOGI

Jalur mesolimbik

Jalur yang fungsinya berhubungan dengan memori, pembau, efek viseral dan
emosional ini dimulai dari area mesencephalon ventral segmental ke batang otak menuju
ventral striatum.

Jalur mesokortikal

Jalur ini fungsinya berhubungan pada insight, menahan diri, kognitif dan kesadaran
social ini dimulai dari daerah tegmental ventral ke korteks profrontal. Fungsi yang berkurang
pada jalur ini menyebabkan gejala negatif dan dan kognitif. Ventromedial prefrontal cortex
(VMPFC) mempengaruhi gejala afektif, sedangkan dorsolateral prefrontal cortex(DLPFC)
mempengaruhi gejala kognitif.6

5
Jalur nigrostriatal

Jalur ini berfungsi mengatur sistem motorik dan ekstrapiramidal. Saat dopamin pada
jalur ini berkurang, maka akan timbul gejala parkinsonism yaitu tremor, rigiditas dan
akinesia. Jalur ini dimulai dari substansia nigra ke basal ganglia atau striatum.

Jalur tuberoinfundibular

Jalur ini berpengaruh pada fungsi endokrin dalam tubuh terutama dalam menginhibisi
sekresi prolaktin. Selain itu jalur ini juga menimbulkan rasa lapar, haus, mengatur irama
sirkadian serta fungsi metabolisme. Jalur ini dimulai dari hipotalamus ke glandula pituitary
anterior.

6
Jalur thalamus

Jalur ini belum diketahui fungsinya dan pengaruhnya pada penderita skizofrenia. Jalur
ini dimulai dari beberapa cabang, seperti mesencephalon ventral, hipotalamus, nukleus
parabrachial lateral, yang tujuan selanjutnya ke thalamus.6

2.5. MANIFESTASI KLINIK

Manifestasi klinik skizofrenia adalah sebagai berikut:

1. Gangguan proses pikir: asosiasi longgar, intrusi berlebihan, terhambat, klang


asosiasi, ekolalia, alogia, neologisme
2. Gangguan isi pikir berupa waham
3. Gangguan persepsi: halusinasi, ilusi, depersonalisasi dan derealisasi
4. Gangguan emosi: biasanya afek yang paling sering ditunjukkan adalah afek
tumpul atau datar, afek tak serasi dan afek labil
5. Gangguan perilaku
6. Gangguan motivasi: kehilangan minat untuk melakukan aktivitas
7. Gangguan neurokognitif: gangguan atensi, menurunnya kemampuan untuk
menyelesaikan masalah dan adanya gangguan pada fungsi eksekutif (4)

Pada skizofrenia paranoid, penderita memiliki delusi atau halusinasi mengenai


penganiayaan atau penyiksaan, sehingga penderita biasa tampak tegang, curiga, berhati – hati
dan bahkan agresif. Di sisi lain, penderita skizofrenia paranoid biasanya masih memiliki
kemampuan intelegensi yang cukup baik dibandingkan dengan skizofrenia tipe lainnya. (2)

2.6. KRITERIA DIAGNOSIS

Kriteria diagnosis skizofrenia berdasarkan DSM – 5:

A. Dua (atau lebih) dari gejala berikut muncul secara signifikan selama 1 bulan (atau
kurang jika ditangani dengan baik). Minimal harus ada 1 gejala dari (1), (2) atau (3):
1. Delusi
2. Halusinasi
3. Disorganisasi perkataan (frequent derailment atau inkoheren)
4. Disorganisasi perilaku atau perilaku katatonik
5. Gejala negatif (penurunan ekspresi emosional atau kehilangan minat)

7
B. Sejak onset gangguan, level fungsional di satu atau lebih area fungsional mayor,
seperti pekerjaan, relasi interpersonal atau perawatan diri, berada di bawah level
sebelum onset kelainan dimulai. (Jika onset dimulai saat anak – anak atau remaja,
terdapat adanya kegagalan untuk mencapai level interpesonal yang diharapkan,
akademik atau fungsi okupasional).
C. Tanda dari gangguan tersebut menetap selama minimal 6 bulan. Dalam 6 bulan, gejala
harus berlangsung selama minimal 1 bulan (atau kurang jika ditangani). Gejala sesuai
dengan kriteria A dan mungkin bisa termasuk gejala prodromal atau residu.
D. Kelainan skizoafektif dan depresi atau kelainan bipolar dengan gejala psikotik harus
dieksklusi karena (1) tidak ada episode depresi mayor atau episode manik yang
muncul pada fase aktif, (2) jika episode mood muncul pada saat gejala negatif,
episode tersebut berlangsung untuk waktu yang minim dari keseluruhan durasi
periode aktif dan residual penyakit tersebut.
E. Gangguan tidak berhubungan dengan efek fisiologis terhadap substansi (penggunaan
narkoba, obat – obatan) dan kondisi medis lainnya.
F. Jika terdapat riwayat kelainan autisme atau gangguan komunikasi dengan onset saat
anak – anak, maka diagnosis skizofrenia ditegakkan apabila terdapat delusi atau
halusinasi yang berlangsung minimal 1 bulan (atau kurang jika berhasil ditangani).

menurut PPDGJ III:


Menurut PPDGJ III yang merupakan pedoman diagnostik untuk Skizofrenia :
 Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua
gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas)5:
(a) - Thought echo : isi pikiran diri sendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun
kualitasnya berbeda; atau
- Thought insertion or withdrawal : isi pikiran yang asing dari luar masuk ke
dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu
dari luar dirinya (withdrawal); dan
- Thought broadcasting : isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau
umum mengetahuinya.

8
(b) - Delusion of control : waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan
tertentu dari luar; atau
- Delusion of influence : waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan
tertentu dari luar; atau
- Delusion of passivity : waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap
sesuatu kekuatan dari luar.
- Delusional perception : pengalaman inderawi yang tidak wajar, yang bermakna
sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat.5
(c) Halusinasi auditorik:
- suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku
pasien, atau
- mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara
yang berbicara).
- jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagi tubuh7
(d) Waham - waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap
tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau
politik tertentu, atau kekuatan dam kemampuan diatas manusia biasa (misalnya
mampu mengendalikan cuaca, atau komunikasi dengan makhluk asing dari dunia
lain).5

Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
(a) halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang maupun setengah berbentuk tanpa kandungan afektif
yang jelas, ataupun disertai ide-ide berlebihan (over- valued ideas) yang menetap,
atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan
terus berulang.7
(b) Arus pikiran yang terputus (break) atau mengalami sisipan (interpolation), yang
berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme;7
(c) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor;7
(d) Gejala-gejala "negatif", seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respon
emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan
penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus

9
jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi
neuroleptika;5
 Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu
satu bulan atau lebih.5
 Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan
(overall quality) dari beberapa aspek kehidupan perilaku pribadi (personal
behaviour),bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan,tidak
berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendir (self absorbed atitude), dan penarikan
diri secara sosial.5
Kriteria diagnostik skzofrenia paranoid (F20.0)
-Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
-Halusinasi dan / atau waham harus menonjol
a. Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memerintah atau
halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi peluit,mendengung, atau
bunyi tawa.
b. Halusinasi pembauan dan pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau lain
lain perasaan tubuh,halusinasi visual mungkin ada tapi jarang menonjol
c. Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan (
delusion of control ) dipengaruhi ( delusion of influence ) atau passivity dan
keyakinan dikejar yang beraneka ragam adalah yang paling khas.
-Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan serta gejala katatonik secara
relatif tidak nyata/ tidak menonjol.7
2.7. TATALAKSANA

A. Fase Akut

 Farmakoterapi
o Berbicara kepada pasien dan memberinya ketenangan.
o Keputusan untuk memulai pemberian obat. Farmakoterapi bertujuan
untuk mencegah pasien melukai dirinya atau orang lain,
mengendalikan perilaku yang merusak, mengurangi beratnya gejala
psikotik dan gejala terkait lainnya misalnya agitasi, agresi dan gaduh
gelisah. Terapi oral lebih baik, namun untuk menghilangkan gejala
dengan cepat, maka obat injeksi merupakan pilihan.

10
o Pengikatan atau isolasi dilakukan bila pasien berbahaya terhadap
dirinya sendiri dan orang lain serta usaha restriksi lainnya tidak
berhasil. Pengikatan dilakukan hanya boleh untuk sementara yaitu
sekitar 2-4 jam dan digunakan untuk memulai pengobatan.

Obat injeksi:

a. Olanzapine, dosis 10 mg/injeksi, intramuskulus, dapat diulang setiap 2


jam, dosis maksimum 30mg/hari.
b. Aripriprazol, dosis 9,75 mg/injeksi (dosis maksimal 29,25 mg/hari),
intramuskulus.
c. Haloperidol, dosis 5mg/injeksi, intramuskulus, dapat diulang setiap
setengah jam, dosis maksimum 20mg/hari.
d. Diazepam 10mg/injeksi, intravena/intramuskulus, dosis maksimum
30mg/hari.

` Obat oral:

Obat segera diberikan setelah diagnosis fase akut. Dosis dimulai dari
dosis anjuran dan dinaikkan perlahan dalam waktu 1 – 3 minggu sampai dosis
optimal yang dapat mengendalikan gejala.

Obat Antipsikotika Rentang Dosis Anjuran Bentuk Sediaan


(mg/hari)
Antipsikotika Generasi I
(APG-I)
Klorpromazin 300 - 1000 tablet (25 mg,100 mg)
Perfenazin 16 – 64 tablet (4 mg)
Trifluoperazin 15 – 50 tablet (1 mg, 5 mg)
Haloperidol 5 – 20 tablet (0.5, 1 mg, 1.5 mg, 2 mg, 5 mg)
injeksi short acting (5 mg/mL), tetes (2
mg/5 mL), long acting (50 mg/mL)
Anti Psikotik Generasi II
(APG-II)
Aripriprazol 10 – 30 tablet (5 mg, 10 mg, 15 mg), tetes (1
mg/mL), discmelt (10 mg, 15 mg),
injeksi (9.75 mg/mL)
Klozapin 150 - 600 tablet (25 mg, 100 mg)
Olanzapin 10 – 30 tablet (5 mg, 10 mg), zydis (5 mg, 10
mg), injeksi (10 mg/mL)
Quetiapin 300 - 800 tablet IR (25 mg, 100 mg, 200 mg, 300
mg), tablet XR (50 mg, 300 mg, 400 mg)
Risperidon 2–8 tablet ( 1 mg, 2 mg, 3 mg), tetes ( 1
mg/mL), injeksi Long Acting (25 mg,
11
37.5 mg, 50 mg)
Paliperidon 3–9 tablet (3 mg, 6 mg, 9 mg)
Zotepin 75-150 tablet (25 mg, 50 mg)

 Psikoedukasi:

Tujuan psikoedukasi adalah untuk mengurangi stimulus yang berlebihan


dan stresor lingkungan. Yang perlu dilakukan dalam psikoedukasi adalah
memberikan ketenangan bagi pasien, memberikan dukungan dan menyediakan
lingkungan yang aman.

B. Fase Stabilisasi

 Farmakoterapi

Tujuan fase stabilisasi adalah untuk mengontrol, meminimalisasi risiko


kekambuhan dan mengoptimalkan fungsi dan proses kesembuhan (recovery).
Setelah diperoleh dosis optimal, dosis tersebut dipertahankan selama lebih kurang
8 – 10 minggu sebelum masuk ke tahap rumatan. Pada fase ini dapat juga
diberikan obat anti psikotika jangka panjang (long acting injectable), setiap 2-4
minggu.

 Psikoedukasi

Tujuan intervensi adalah meningkatkan keterampilan orang dengan


skizofrenia dan keluarga dalam mengelola gejala. Pasien akan diedukasi
bagaimana gejala penyakitnya, cara mengelola gejala, merawat diri dan mengenai
kepatuhan menjalani pengobatan.

C. Fase Rumatan

 Farmakoterapi

Dosis mulai diturunkan bertahap sampai diperoleh dosis minimal yang


masih mampu mencegah kekambuhan. Bila kondisi akut, pertama kali, terapi
diberikan sampai dua tahun, bila sudah berjalan kronis dengan beberapa kali
kekambuhan, terapi diberikan sampai lima tahun bahkan seumur hidup.

 Psikoedukasi
12
Tujuan psikoedukasi untuk mempersiapkan pasien kembali pada
kehidupan masyarakat. Yang dilakukan dalam psikoedukasi adalah remediasi
kognitif, pelatihan keterampilan sosial dan terapi vokasional. Pasien dan keluarga
juga diedukasi mengenai gejala prodromal agar dapat mengantisipasi kekambuhan
berikutnya.

Case
Pasien perempuan berinisial AB, dengan umur 32 tahun, mulai turun berat badan dan
tidak peduli serta memburuk pada pekerjaannya. Dia berpikir bahwa pegawai wanita
lain menyebar cerita buruk tentangnya dan seorang pegawai lelaki ditempatnya
merangkulnya dan melecehkannya. keluarganya menuntut pegawai lelaki tersebut,
tetapi tanpa dasar dan ternyata lelaki tersebut belum pernah berbicara dengannya
berbulan-bulan. suatu saat dia pulang kerumah dari kerjanya, dia tertawa keras dan
melihat kakak iparnya dengan curiga, tidak mau menjawab pertanyaan dan saat
dihadapan kakaknya, dia menangis. Dia menolak untuk ke kamar mandi karena dia
merasa seorang lelaki memperhatikannya dari jendela. Dia tidak mau makan dan
sehari setelahnya dia menuduh kakak iparnya adalah wanita bandel yang diomongi
oleh semua orang, dan telah melakukan seks dengan seorang lelaki yang tidak dapat
dilihatnya. Saat dia masuk rumah sakit jiwa, dia tertawa keras terus menerus dan
berkata bahwa dia tidak mau tinggal disana. Dia menyeringai dan melakukan berbagai
gerakan stereotip tangannya. saat di bangsal 1 jam setelahnya, dia tidak mau
menjawab pertanyaan meskipun dia berbicara pada diri sendiri dengan nada anak
kecil. Dia bergerak konstan, berjalan seperti menari, tanpa arah, dan menghisap
bibirnya seperti seorang infant. Dia mengerang dan menangis, tetapi tidak
mengeluarkan air mata. sebulan setelahnya dia tetap seperti anak kecil, preokupasi
pikiran, menyeringai sendiri, melakukan gestur, menunjuk sebuah benda dengan
gerakan stereotip, dan berbicara pada diri sendiri dengan nada tinggi dan sulit
dimengerti. kondisinya terus memburuk, tidak terawat, dan tanpa keinginan untuk
beraktivitas sosial dan tidak peduli terhadap keluarga yang menjenguknya. (adaptasi
dari case Arthur P. Noyes, M.D., and lawrence C. Kolb, M.D.)

a. Tomb ,DA. Buku Saku Psikiatri. Jakarta : EGC 2003; hal.1-2.

13
b. Elvira S, Hadisukanto G, 2013. Buku Ajar Psikiatri Edisi Kedua. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta.

1. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4159061/
2. Kaplan synopsis
3. http://www.depkes.go.id/article/print/16100700005/peran-keluarga-dukung-
kesehatan-jiwa-masyarakat.html
4. http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/KMK_No._HK_.02_.02-
MENKES-73-2015_ttg_Pedoman_Nasional_Pelayanan_Kedokteran_Jiwa_.pdf
5. Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa (PPDGJ III) Cetakan kedua,
Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta; 2013..
6. Psychosis and schizophrenia. Editor : Stahl, Stephen
M.Antipsychotics and Mood Stabilizers : Stahl’s Essential
Psychopharmacology. 3rd Edition. England : Cambridge University
Press. 2008:26-34.
7. American Psychiatric Association. Diagnosis dan Statistical Manual of Mental
disorders (DSM IV TM). American Psychological Association (APA): Washington
DC. 2011.

14

Anda mungkin juga menyukai