Anda di halaman 1dari 37

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN

PENYAKIT DEKOMPRESI (DECOMPRESSION SICKNESS)

MAKALAH

Oleh:

1. Rada Eka Pratiwi 716620724


2. Umalia Liuzanna 716620718
3. Isqi Lailatul Islami 716620743
4. Ach. Baihaki Wisnu W 716620730
5. Abdus Syukur 716620751
6. Misnawati 716620752

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS WIRARAJA

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan


Rahmat dan HidayahNya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas
makalah yang berjudul “ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN PENYAKIT DEKOMPRESI (DECOMPRESSION SICKNESS)”.

Penulis merasa yakin dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan dan kekeliruan, hal ini dikarenakan pengalaman yang kurang
memadai. Dari pengumpulan data sampai tersusunnya makalah ini penulis
berusaha sebaik-baiknya untuk mendapatkan petunjuk, bantuan, serta bimbingan
yang lebih dari cukup. Maka dari itu, penulis menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Sri Sumarni S.Kep.,Ns.M.Kep selaku Dosen Keperawatan Kelautan di


Universitas Wiraraja.
2. Rekan-rekan kelompok yang telah memberikan membantu menyelesaikan makalah
dan saling memberi support sehingga penulis memperoleh semangat dalam menyusun
makalah ini.
Penulis sadar bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak
kekurangan. Untuk itu penulis sangat mengharapkan masukan, kritik, dan saran
yang membangun demi menyempurnakan makalah ini dan berharap semoga dapat
memenuhi harapan serta dapat diterima sebagai tugas perkuliahan.

Sumenep, 1 November 2019

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ............................................................................... 2
C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Penyakit Dekompresi ............................................................ 4


B. Faktor Risiko Penyakit Dekompresi ................................................... 6
C. Tipe-tipe Penyakit Dekompresi............................................................ 9
D. Tanda dan Gejala Penyakit Dekompresi .............................................. 11
E. Patofisiologi Penyakit Dekompresi ...................................................... 13
F. Komplikasi Penyakit Dekompresi........................................................ 14
G. Pemeriksaan Diagnostik Penyakit Dekompresi ................................... 14
H. Penatalaksanaan Penyakit Dekompresi ............................................... 15
I. Pencegahan Penyakit Dekompresi ....................................................... 16
J. Pathway ................................................................................................ 17
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT DEKOMPRESI

A. Pengkajian Keperawatan ..................................................................... 18


B. Analisa Data ........................................................................................ 25
C. Diagnosa Keperawatan......................................................................... 27
D. Rencana Asuhan Keperawatan ............................................................ 28
E. Tindakan Keperawatan ........................................................................ 30
F. Evaluasi Keperawatan .......................................................................... 30
BAB IV PENUTUP

A. Simpulan ............................................................................................. 33
B. Saran .................................................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 34
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit dekompresi (Decompression sickness) atau juga biasa disebut
Caisson Disease merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh
pembentukan dan peningkatan ukuran gelembung ketika tekanan parsial gas
inert dalam darah dan jaringan melebihi tekanan ambient (Lee and Ye, 2013,
Wahab et al., 2008). Pembentukan gelembung udara akan menyumbat aliran
darah serta sistem syaraf sehingga akan menimbulkan gejala seperti rasa sakit
di persendian, sakit kepala, gatal-gatal, mati rasa (numbness) kelumpuhan
(paralysis) bahkan dapat menyebabkan kematian.
Meskipun penyakit dekompresi bukan penyakit yang sering dijumpai
pada masyarakat umum, namun hal ini menjadi perhatian khususnya bagi
penyelam (militer, komersial dan rekreasi) (Howle et al., 2017). Pada abad
ke-19 penyakit dekompresi telah menjadi sumber utama morbiditas dengan
kejadian 24% pada pekerja Caisson dan hingga tahun 2014 terdapat kurang
dari 5 kasus per 10.000 penyelaman yang dilaporkan dalam penyelaman
rekreasi modern (Mahon and Regis, 2014).
Dari tahun 1998 sampai 2002, Divers Alert Network (DAN)
melaporkan bahwa pada penyelaman rekreasi tingkat kematian sekitar 10-20
kematian per 100.000 penyelaman (Xu et al., 2012). Kejadian penyakit
dekompresi pada penyelam gua diperkirakan lebih tinggi dibanding dengan
penyelam rekreasi. Insiden penyakit dekompresi pada penyelam gua di
Australia diperkirakan sebesar 2,8 per 10.000 penyelam (0,028%). Namun
ada kemungkinan insiden mencapai 0,05% atau lebih jika menyelam pada
kedalaman lebih dari 90 m (Harris et al., 2015).
Berdasarkan laporan Divers Alert Network (DAN), tingkat kejadian
penyakit dekompresi (DCS) dalam penyelaman komersial dilaporkan sebesar
35,3 per 10.000 penyelaman (Pollock and Buteau, 2017). Selain itu, di
Amerika Serikat insiden kejadian Caisson Disease (CD) untuk tipe II (berat)
sebesar 2,28 kasus per 10.000 penyelam. Sedangkan untuk tipe I (ringan)
tidak diketahui jumlah kasusnya dikarenakan banyak penyelam yang tidak
mencari pengobatan (Duke et al., 2017). Beban tahunan kejadian penyakit
dekompresi di Denmark diperoleh sebanyak 14 kasus. Gejala yang paling
sering terjadi adalah paesthesia (50%), nyeri (42%) dan vertigo (40%) (Juhl et
al., 2016).
Di Indonesia, penyakit dekompresi sering dialami oleh nelayan
penyelam dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Berdasarkan data dari Sub
Direktur Jenderal Surveilans Epidemiologi, Imunisasi dan Kesehatan Matra
hingga tahun 2008, dari 1026 nelayan penyelam di Indonesia ditemukan
93,9% penyelam pernah menderita gejala awal akibat penyelaman
diantaranya 29,8% menderita nyeri sendi, gangguan pendengaran sebesar
39,5% dan menderita kelumpuhan sebesar 10,3% (Prasetyo et al., 2012).
Selain itu, berdasarkan survei yang dilakukan Kementerian Kesehatan
pada 251 responden penyelam di 9 provinsi di Indonesia, teknik menyelam
yang digunakan sebesar 56,6% penyelam tahan nafas, 33,9% penyelam
kompresor dan 9,6% penyelam dengan SCUBA. Sedangkan keluhan yang
sering dialami dari 251 responden tersebut antara lain 21,2% pusing atau sakit
kepala, 12,6% lelah, 12,5% pendengaran berkurang, 10,8% nyeri sendi,
10,2% pendarahan hidung, 9,7% sakit dada atau sesak, 6,4% penglihatan
berkurang, 6% bercak merah di kulit, 5,6% gigitan binatang, 3,2% lumpuh
dan 1,7% hilang kesadaran (Kemenkes, 2012).
Berdasarkan data yang telah dipaparkan diatas, penulis tertarik untuk
lebih memahami mengenai Penyakit Dekompresi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan:
K. Apa definisi penyakit dekompresi?
L. Apa saja faktor risiko penyakit dekompresi?
M. Apa saja tipe-tipe penyakit dekompresi?
N. Bagaimana tanda dan gejala penyakit dekompresi?
O. Bagaimana patofisiologi penyakit dekompresi?
P. Apa komplikasi penyakit dekompresi?
Q. Apa saja pemeriksaan diagnostik pada penyakit dekompresi?
R. Bagaimana penatalaksanaan penyakit dekompresi?
S. Bagaimana pencegahan penyakit dekompresi?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi penyakit dekompresi?
2. Untuk mengetahui faktor risiko penyakit dekompresi?
3. Untuk mengetahui tipe-tipe penyakit dekompresi?
4. Untuk mengetahui tanda dan gejala penyakit dekompresi?
5. Untuk mengetahui patofisiologi penyakit dekompresi?
6. Untuk mengetahui komplikasi penyakit dekompresi?
7. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik pada penyakit dekompresi?
8. Untuk mengetahui penatalaksanaan penyakit dekompresi?
9. Untuk mengetahui pencegahan penyakit dekompresi?
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Penyakit Dekompresi


Decompression sickness atau penyakit dekompresi adalah penyakit
yang disebabkan oleh pengurangan tekanan lingkungan secara cepat yang
cukup untuk menyebabkan pembentukan gelembung dari gas-gas dalam
jaringan tubuh. Istilah lain yang umumnya digunakan untuk menggambarkan
keadaan ini adalah penyakit caisson (Sukmajaya and Wijayanti, 2010)
Penyakit dekompresi adalah penyakit yang terjadi akibat dari kesalahan
prosedur dekompresi. Kesalahan prosedur dekompresi akan menyebabkan
terjadinya gelembung udara. Jumlah gelembung gas dan lokasinya akan
menentukan tipe-tipe penyakit dekompresi. Adanya faktor predisposisi
memperbesar kemungkinan terjadinya penyakit dekompresi. Penyakit
dekompresi merupakan keadaan darurat yang harus segera diterapi
menggunakan hiperbarik oksigen terapi dengan golden period selama 6-24
jam. Kecepatan pemberian terapi sangat berperan dalam menentukan hasil
terapi (Perdokla, 2009).
Penyakit dekompresi (DCS) diakibatkan oleh gas yang keluar dari fase
larut dalam cairan tubuh dan jaringan saat penyelam naik terlalu cepat. Hal ini
terjadi karena penurunan tekanan, yang menurunkan kelarutan gas dalam
cairan. Selain itu, perluasan gas di paru-paru dapat menyebabkan pecahnya
alveoli, yang dikenal sebagai “Pulmonary Overinflation Syndrome”, yng
mungkin pada akhirnya menghasilkan arterial gas embolism )AGE). DCS,
AGE, dan kesemuanya diistilakan “penyakit dekompresi” (ambell, 1997).
Penyakit dekompresi (DCS) mengacu pada sindrom klinis penurunan
neurologis, nyeri, atau gangguan klinis lainnya yang dihasilkan dari jaringan
tubuh yang jenuh dengan gas inert setelah peurunan ambien tekanan. Gas
Embolism Arteri (AGE) mengacu pada gelembung gas dalam sistem arteri
sistemik akibat barotrauma paru, entri iatrogenik gas ke dalam sistem arteri
dan vena. Dekompresi penyakit (DCS) adalah istilah inklusif yang mencakup
salah satu atau keduanya, DCS dan AGE.
Penyakit dekompresi diakibatkan oleh gelembung gas pada pembuluh
darah dan jaringan tubuh lainnya sebagai akibat perubahan tekanan dari tinggi
ke rendah, saat penyelam naik ke permukaan (ascends). Emboli gas arteri
(arterial gas emblism) terjadi ketika gelembung gas menyumbat aliran darah
dan terjadi ketika gelembung gas yang menyebabkan peredearan darah dan
kekecauan inflamasi memasuki sirkulasi arteri, menghambat aliran darah ke
berbagai organ. Dokter darurat perlu dipersiapkan untuk mengenali dan
mengelola efek bahwa penyakit dekompresi dapat tejadi pada berbagai sistem
tubuh (Edmond et al., 2010).
DCS, seperti yang umunya diketahui, disebabkan oleh pengembangan
gelembung nitrogen dalam tubuh. Ketika kita menghirup udara, sekitar 79%
dari udara yang kita hirup adalah nitrogen. Saat kita turun dalam air, tekanan
disekitar tubuh kita akan meningkat, menyebabkan nitrogen terserap ke dalam
jaringan tubuh kita. Saat terserap di dalam jaringan tubuh, hal tersebut tidak
berbahaya dan itu sangat mungkin bagi tubuh untuk terus menyerap nitrogrn
sampai mencapai titik yang disebut saturasi, yang merupakan titik dimana
tekanan dalam jaringan sama dengan tekanan di sekitarnya.
Masaalh muncul ketika tekanan ini berkurang. Untuk melepaskan
nitrogen secara perlahan dari tubuh, penyelam harus naik perlahan dan
melaksanakan decompression stop jika diperlukan. Hal ini memungkinkan
nitrogen untuk perlahan-lahan merembes keluar dari jaringan tubuh dan
segera kembali menjadi gas atau menjadi gelembung kecil yang tidak
berbahaya, yang akhirnya akan menjadi ke gas kembali. Proses ini dilakukan
melalui paru-paru.
Jika penyelam naik terlalu cepat dan nitrogen lolos jaringan tubuh terlalu
cepat menjadi gelembung dalam tubuh dan ini menyebabkan Decompression
Sickness. Gelembung yang berbahaya jika terdapat pada arteri, sedangkan
pada vena tidak berbahaya.
B. Faktor Risiko Penyakit Dekompresi
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya penyakit dekompresi
adalah faktor lingkungan yaitu temperatur air laut, kedalaman penyelaman,
faktor penjamu yaitu usia, lama penyelaman, frekuensi penyelaman, alat
bantu yang digunakan, masa kerja sebagai penyelam, penyakit asma,
merokok, obesitas dan konsumsi alkohol (Kartono and Ng, 2007).
1. Umur
Usia kemungkinan menjadi salah satu faktor risiko terjadinya penyakit
dekompresi. Bertambahnya umur akan meningkatkan risiko terkena
penyakit dekompresi. Hal ini dimungkinkan karena terjadinya penurunan
kesehatan fisik secara umum dan kemampuan mengganti jaringan serta
sel-sel tubuh yang rusak atau adanya faktor risiko lainnya seperti
meningkatnya lemak tubuh. (Mitchell, 2005).
2. Jenis kelamin
Jenis kelamin wanita dilaporkan mempunyai insiden terkena penyakit
dekompresi 3-4 kali lebih besar dibandingkan dengan pria bila terpapar
pada tekanan yang sama. Akan tetapi penelitian Zwingelberg dkk (1987)
tidak menemukan insiden penyakit ini lebih tinggi pada wanita.
3. Obesitas
Kelebihan berat badan dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit
dekompresi. Para penyelam yang mempunyai berat badan (BB) 20%
diatas BB ideal, menurut tabel standar harus dihindarkan dari
penyelaman sampai mereka dapat menurunkan berat badannya menuju
BB ideal. Menurut Mitchell (2005), gas nitrogen lebih mudah larut dalam
lemak dibanding dengan air di jaringan tubuh. Sehingga apabila
persentase lemak dalam jaringan lebih besar dibanding dengan air, akan
meningkatkan risiko penyakit dekompresi. Nitrogen 5 kali lebih larut
dalam lemak daripada dalam air (Mitchell, 2005).
4. Temperatur air laut
Suhu dibawah 72 ºF atau 23 ºC menyebabkan penyelam tanpa pelindung
akan kehilangan panas tubuh sehingga penyelam waktu naik (ascent)
berisiko mengalami penyakit dekompresi. Semakin dalam air laut maka
suhu juga semakin dingin. Turunnya suhu dimulai dari kedalaman 10 m.
Dinginnya suhu air laut dapat menyebabkan penyelam terkena penyakit
dekompresi yaitu dengan timbulnya gejala vertigo (pusing) dan sakit
kepala.
5. Lama penyelaman
Menurut Perhimpunan Kesehatan Hiperbarik Indonesia (2000), lama
penyelaman berpengaruh pada proses pelepasan dan penyerapan nitrogen
dalam jaringan cepat dan lambat. Penyelaman yang dalam dan cepat akan
menghasilkan beban nitrogen yang tinggi pada jaringan cepat. Sedangkan
penyelaman yang lama di tempat yang lebih dangkal akan memberikan
beban nitrogen yang besar pada jaringan lambat. Mitchell (2005)
mengatakan, bahwa lama menyelam akan mempengaruhi penyerapan dan
pelepasan gas dalam jaringan tubuh dan darah, terutama adalah gas
nitrogen. Dengan berubahnya komposisi gas maka akan menimbulkan
penyakit dekompresi.
6. Kedalaman penyelaman
Setiap pertambahan kedalaman 10 m terjadi kenaikan tekanan 1 ATA
(atmosfir absolut). Semakin dalam penyelaman maka semakin besar
tekanan atmosfir yang diterima. Dengan bertambahnya kedalaman,
kemungkinan terkena penyakit dekompresi semakin besar.
7. Frekuensi penyelaman
Penyelaman yang berulang-ulang merupakan faktor risiko penyakit
dekompresi. Hal ini berkaitan dengan formulasi gas dalam jaringan darah
dan tubuh penyelam. Penyelaman ulang (repetitive dive) adalah
penyelaman yang dilakukan lebih dari satu kali dalam 12 jam. Menurut
Mitchell (2005), seorang penyelam dalam sehari melakukan penyelaman
sekali, menunjukkan risiko rendah penyakit dekompresi. Risiko tersebut
akan hilang apabila terdapat interval 5 hari antar penyelaman.
8. Waktu istirahat
Waktu istirahat dibutuhkan oleh seorang penyelam sebelum melakukan
penyelaman ulang untuk menetralkan kandungan nitrogen dalam
darahnya. Waktu istirahat yang dibutuhkan tergantung kedalaman (PKHI,
2000).
9. Alat bantu
Alat bantu yang digunakan oleh penyelam merupakan salah satu faktor
risiko terjadinya penyakit dekompresi. Dengan alat bantu yang tidak
standar, tubuh penyelam akan mengalami perubahan fisiologi akibat
perubahan lingkungan seperti tekanan, suhu dan kompresi udara yang
dihirup. Jenis alat bantu penyelaman mengacu pada jenis penyelaman.
Tiap-tiap jenis penyelaman mempunyai peralatan standart minimal
sendiri-sendiri. Untuk penyelaman dengan suplai udara dari permukaan,
peralatan selam minimal yang dibutuhkan adalah: kompresor, masker
yang menutupi seluruh muka, pakaian selam basah, surface umbilical,
sabuk pemberat, pisau selam dan sirip renang atau sepatu selam (Mahdi
et al., 1999).
10. Masa kerja
Semakin lama seorang menjadi penyelam kemungkinan menderita
penyakit dekompresi semakin besar. Banyak kecelakaan akibat penyakit
dekompresi yang tidak dilaporkan. Menurut Germonpre (2006) Akibat
dari lama dan seringnya penyelam terkena paparan penyelaman antara
lain, kehilangan pendengaran dan terjadinya nekrosis tulang.
11. Penyakit Asma.
Asma merupakan penyakit peradangan (inflamasi) saluran nafas kronik,
yang menyebabkan penyempitan saluran nafas dan umumnya bersifat
reversible (membaik secara spontan atau dengan terapi). Faktor
pencetusnya (inciter) dapat berupa iritan, pendinginan saluran nafas,
alergen dan emosi (Dahlan, 2000).
12. Merokok
Asap rokok mengandung lebih dari 4000 bahan kimia, termasuk 43
bahan penyebab kanker yang telah diketahui. Rokok dapat menyebabkan
risiko berbagai macam penyakit. Merokok dapat menimbulkan efek akut
yaitu berupa trauma paru berat pada penderita yang mempunyai masalah
paru. Salah satu bahan yang berbahaya pada rokok adalah karbon
monoksida (CO). Karbon monoksida (CO) mempunyai daya ikat yang
kuat terhadap sel darah merah dibanding dengan oksigen.
13. Konsumsi alkohol
Konsumsi alkohol dapat mempengaruhi sistim tubuh, yaitu menurunnya
sistim kekebalan tubuh karena menurunnya kemampuan darah putih,
meningkatkan risiko radang paru-paru, tuberkulosis dan hepatitis.
Terhadap sistim sirkulasi dapat meningkatkan risiko serangan jantung,
menurunkan kadar gula, meningkatkan lemak darah dan tekanan darah
sehingga dapat menyebabkan hipertensi.

C. Tipe-Tipe Penyakit Dekompresi


Ada beberapa jenis penyakit dekompresi (Decompression Sickness), yaitu:
1. Penyakit Dekompresi Tipe I
Penyakit dekompresi tipe I adalah bentuk paling tidak serius dari
Decompression Sickness. Biasanya hanya melibatkan rasa sakit dalam
tubuh dan tidak segera mengancam kehidupan. Penting untuk dicatat
bahwa gejala tipe I Decompression Sickness mungkin tanda-tanda
peringatan masalah yang lebih serius.
Gejala dari tipe I diantaranya adalah nyeri pada persendian
(muskuloskeletal) dan gejala yang menyertakan kulit (cutaneous), atau
bengkak dan nyeri pada kelenjar getah bening. Gejala yang paling
banyak terjadi dari penyakit dekompresi adalah nyeri pada persendian.
Nyeri yang dirasakan dapat ringan atau sangat sakit. Area yang paling
sering mengalami nyeri diantaranya adalah bahu, siku, pergelangan
tangan, tangan, lutut dan pergelangan kaki.
Karakter nyeri dimulai secara perlahan dan jika gejala terabaikan
maka akan sulit untuk dilokalisasi. Lokasinya dapat terletak pada sendi
atau otot, dapat meningkat intensitasnya, dan biasanya dideskripsikan
sebagai sakit yang dalam dan tumpul. Tanda khusus dari tipe I adalah
sifat nyeri dan terlokalisasi di suatu area. Gejala yang paling umum pada
kulit adalah gatal dan juga dapat disertai dengan ruam. Kulit juga terasa
menebal dengan gatal yang berangsur kemerahan (U.S Navy, 2008 dalam
Syamila, 2017).

Gambar. Ruam merah pada Cutaneous Decompression Sickness


(Herman, 2013)

2. Penyakit Dekompresi Tipe II


Pada tahap awal, gejala dari dekompresi tipe II tidak dapat
dirasakan secara jelas dan penyelam yang sudah terbiasa mengalaminya
tidak menganggap sebagai suatu permasalahan. Penyelam dapat
merasakan kelelahan atau lemah saat melakukan pekerjaan dengan
berlebihan. Meskipun kelelahan semakin parah, penyelam tidak mencari
pengobatan sampai dirasa sulit untuk berjalan, mendengar, atau buang air
kecil. Penyakit dekompresi tipe II merupakan penyakit yang serius dan
dapat mengancam jiwa. Efek utama adalah pada sistem saraf. Penyakit
dekompresi tipe II terdiri dari Penyakit Dekompresi Neurologis, Paru dan
Cerebral (Syamila, 2017).
a. Penyakit Dekompresi Neurologis terjadi ketika gelembung nitrogen
mempengaruhi sistem saraf yang dapat menyebabkan masalah di
seluruh tubuh. Gejala yang sering dialami yaitu kesemutan, mati
rasa, gangguan pernapasan, dan ketidaksadaran. Gejala dapat
menyebar dengan cepat dan jika tidak ditangani dapat menyebabkan
kelumpuhan atau bahkan kematian.
b. Penyakit Dekompresi Paru adalah suatu bentuk yang jarang dari
Penyakit dekompresi yang terjadi ketika gelembung terbentuk di
paru-paru kapiler. Gejala dari penyakit ini dapat mengganggu
pernafasan, batuk dan nyeri di bagian dada.
c. Penyakit Dekompresi Cerebral terjadi jika gelembung membuat jalan
ke dalam aliran darah arteri untuk pindah ke otak dan menyebabkan
emboli gas arterial (Kemenkes, 2012).
Selain pembagian di atas, penyakit dekompresi dapat dibagi
menjadi beberapa tipe berdasarkan formasi gelembung dan gejala yang
paling sering dialami. Nyeri persendian (the bends) terjadi sekitar 60%-
70% dari semua kasus penyakit dekompresi dengan bahu menjadi area
utamanya. Manifestasi dari syaraf terjadi pada 10%-15% dari semua
kasus penyakit dekompresi dengan sakit kepala dan gangguan
penglihatan sebagai gejala yang paling sering. The chokes sangat jarang
terjadi yaitu 2% dari semua kasus dekompresi dan manifestasi kulit
terjadi sekitar 10%-15% dari semua kasus dekompresi (Brown and
Antuqano, 2010)

D. Tanda dan Gejala Penyakit Dekompresi


Berikut adalah tanda dan gejala sesuai dengan tipe dekompresi:
Tipe Lokasi Gelembung Tanda dan Gejala
Bens Hampir semua sendi a. Nyeri yang dalam dan
besar dari tubuh (siku, terlokalisasi, terjadi dari yang
bahu, pinggul, ringan sampai berat
pergelangan tangan, b. Pergerakan aktif maupun pasif
lutut dan pergelangan dan memperparah nyeri
kaki c. Nyeri dapat terjadi pada
ketinggian, saat naik ke
permukaan atau beberapa jam
kemudian
Neurogical Otak a. Kebingungan atau hilang ingatan
b. Sakit kepala
c. Bercak di mata (scotoma),
pandangan kabur atau ganda
d. Kelelahan ekstrem yang tidak
terdefenisi atau perubahan
perilaku
e. Pusing, vertigo, mual, muntah dan
pingsan dapat terjadi
Sumsum tulang a. Sensasi abnormal seperti terbakar,
belakang perasaan tertusuk, persaan
tersengat di sekitar area bawah
dada dan punggung
b. Gejala dapat menyebar dari bawah
dan dapat diikuti dengan
peningkatan kelemahan atau
paralysis
c. Nyeri perut dan dada
Syaraf tepi a. Inkontinensia urin
b. Mati rasa, kesemutan
c. Lemah otot
Chokes Paru-paru a. Nyeri pada dada
b. Nyeri semakin meningkat karena
bernafas
c. Nafas sesak
Skin bends Kulit a. Gatal sekitar telingan, muka, leher,
siku dan upper torso
b. Burik pada kulit sekitar bahu, dada
dan perut disertai gatal
c. Pembengkakan pada kulit sidertai
skar tipis
Sumber: Brown, 2010
E. Patofisiologi Penyakit Dekompresi
Penyakit dekompresi dapat terjadi apabila penyelam naik ke permukaan
secara tiba-tiba sehingga akan mempengaruhi komposisi gas nitrogen dan
oksigen dalam darah dan jaringan. Dasar terjadinya penyakit dekompresi
adalah hukum Dalton dan hukum Henry. Mekanisme terjadinya penyakit
dekompresi adalah sebagai berikut: bila seorang penyelam telah lama berada
di kedalaman tertentu air laut dan sejumlah besar nitrogen telah larut dalam
tubuh melebihi batas normal, kemudian naik ke permukaan air laut secara
tiba-tiba, sejumlah gelembung nitrogen dapat timbul dalam cairan tubuhnya
baik dalam sel maupun diluar sel. Hal ini dapat menimbulkan kerusakan di
setiap tempat di dalam tubuh, dari derajat ringan sampai berat tergantung
pada jumlah gelembung yang terbentuk. Terbentuknya gelembung-
gelembung gas berhubungan dengan peristiwa supersaturasi (kejenuhan) gas
dalam darah dan jaringan pada waktu proses penurunan tekanan disekitar
tubuh. Jaringan tubuh manusia dikelompokkan menurut kemampuan
menyerap dan melepaskan gas nitrogen. Jaringanjaringan yang dapat
mengimbangi secara cepat disebut “jaringan cepat”, seperti darah dan otak.
Sedangkan jaringan yang lambat mengimbangi disebut ”jaringan lambat”
seperti tulang rawan. Konsep jaringan cepat dan lambat penting memahami
bentuk klinis dekompresi (Mahdi et al., 1999).
Cara menyelam mempengaruhi daerah pembentukan gelembung
nitrogen dan gejala dari penyakit dekompresi. Penyelaman yang singkat dan
dalam, menghasilkan beban nitrogen yang tinggi pada jaringan-jaringan
cepat. Penyelaman yang lama di tempat yang dangkal akan memberikan
nitrogen lebih banyak kepada jaringan-jaringan lambat. Bentuk penyelaman
yang lama dan ditempat dangkal cenderung menimbulkan “bends” pada
persendian, karena sendi merupakan jaringan lambat (Mahdi et al., 1999).
Dekompresi asimtomatik menurunkan trombosit yang bersirkulasi
sampai sepertiganya selama periode 24 jam setelah penyelaman. Fase
pertama dari penyakit dekompresi disebabkan oleh kerja mekanik dari
gelembung, tetapi gejala dalam fase kedua disebabkan oleh pengaruh yang
merusak dari radikal oksigen yang berkaitan dengan iskemia dan hipoksia. Ini
dapat menjelaskan mula timbul gejala yang lambat (Sukmajaya and
Wijayanti, 2010)

F. Komplikasi Penyakit Dekompresi


Komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit dekompresi adalah :
1. Dapat berupa paralisis residual
2. nekrosis miokardial
3. beberapa komplikasi lainnya akibat iskemik.

G. Pemeriksaan Diagnostik Penyakit Dekompresi


Data dari U.S. Navy for developing decompression models sama
dengan The Naval Diving and Salvage Training Center, sebagai berikut : 42%
terjadi dalam 1 jam, 60% terjadi dalam 3 jam, 63 % terjadi dalam 8 jam dan
98% terjadi dalam 24 jam. Bila diagnosis tidak pasti, dapat dilakukan tes
rekompresi yaitu penderita dimasukkan dalam RUBT diberi tekanan 2,8 ATA
untuk 20-40 menit, inhalasi oksigen 100% dan 10 menit udara biasa. Bila
keluhan tidak berubah atau tetap, maka ini bukan penyakit dekompresi, tetapi
bila ada perubahan (nyeri berkurang atau bertambah) maka ini berarti
penyakit dekompresi dan dapat dilakukan pengobatan rekompresi (Sophia,
2004) (Sukmajaya and Wijayanti, 2010).
Menurut Guyton (1994) Gejala-gejala dekompresi menurut urutan
urutan frekuensi adalah : nyeri lokal di tungkai atau lengan (89%), pusing
(5,3%), paralisis (2,3%), nafas pendek/sesak nafas (1,6%), dan kolaps disertai
tidak sadarkan diri (0,5%). Thalmann (2004), menyatakan gejala dan tanda-
tanda penyakit dekompresi adalah sebagai berikut: kelelahan, gatal-gatal pada
kulit, nyeri persendian pada lengan dan kaki, pusing, sakit kepala dan telinga
berdengung, kaku/lumpuh, nafas sesak, rash pada kulit, lumpuh/otot lemah,
sulit buang air kecil, bingung, berperilaku aneh, tremor, terhuyung-huyung,
batuk darah, sputum berbusa, kolaps, tak sadarkan diri. Penyakit dekompresi
merupakan risiko kesehatan yang signifikan untuk terjadinya kecelakaan
penyelam. (Sukmajaya and Wijayanti, 2010)
H. Penatalaksanaan Penyakit Dekompresi

Penatalaksanaan pada pasien Caisson Disease, pertama-tama yang


harus dilakukan adalah mempertahankan jalan napas dengan menjamin
ventilasi dan mencapai sirkulasi. Pasien harus ditempatkan dalam posisi
terlentang. Langkah-langkah penatalaksanaan lainnya meliputi :

1. Pemberian oksigen 100% 15 liter / menit dengan menggunakan masker


reservoir. Namun perlu diperhatikan pemberian oksigen 100% hanya dapat
ditoleransi hingga 12 jam karena dapat menyebabkan toksisitas oksigen
paru.
2. Pemberian cairan untuk mempertahankan output urin yang baik. Cairan
yang diberikan lebih dari 0.5ml/kg/hari. Hemokonsentrasi yang terkait
dengan Caisson Disease adalah hasil dari peningkatan permeabilitas
pembuluh darah yang dimediasi oleh kerusakan endotel. Cairan dapat
diberikan secara oral atau diberikan secara intravena berupa NaCl 0.9%
atau kristaloid / koloid untuk mengatasi dehidrasi yang mungkin timbul
setelah penyelaman (diuresis perendaman menyebabkan penyelam
kehilangan 250-500 cc cairan per jam) atau pergeseran cairan yang
dihasilkan dari DCS.
3. Pemberian steroid deksametason 10 sampai 20 mg secara intravena,
kemudian dilanjutkan 4 mg setiap 6 jam.
4. Diazepam ( 5-10 mg ) jika pasien mengalami pusing, ketidakstabilan dan
gangguan visual terkait dengan kerusakan labirin (vestibular) pada
telinga bagian dalam.
5. Dilantin (Fenitoin) diberikan IV 50 mg / menit selama 10 menit untuk 500
mg pertama dan kemudian 100 mg setiap 30 menit setelahnya untuk
memantau konsentrasi darah yang dipertahankan 10 sampai 20 mcg / mL.
Jika lebih dari 25 mcg / mL beracun. Beberapa orang memberikan aspirin
600 mg sebagai anti-platelet.
6. DCS dapat meningkatkan kemungkinan perdarahan dalam jaringan
sehingga antikoagulan tidak boleh digunakan secara rutin dalam
pengobatan DCS. Satu pengecualian untuk aturan ini adalah kasus
kelemahan ekstremitas bawah. Heparin molekul berat rendah (LMWH)
harus digunakan untuk semua pasien dengan ketidakmampuan berjalan
pada setiap tingkat kelumpuhan ekstremitas bawah yang disebabkan oleh
DCS neurologis. Enoxaparin 30 mg atau setara diberikan secara subkutan
setiap 12 jam, dimana harus dimulai sesegera mungkin setelah cedera
untuk mengurangi risiko trombosis vena dalam (DVT) dan emboli paru
pada pasien lumpuh.
7. Terapi in-air recompression dalam ruang hiperbarik merupakan terapi di
mana penderita harus ada disuatu ruangan bertekanan tinggi dan bernafas
dengan oksigen murni (100%) pada tekanan udara lebih besar dari pada
udara atmosfer normal.
(Rijadi, R.M. Kesehatan Kelautan TNI AL. P: 89-103)

I. Pencegahan Penyakit Dekompresi

Penyakit dekompresi merupakan kondisi yang dapat dicegah. Bagi


penyelam, beberapa upaya di bawah ini dapat mencegah munculnya penyakit
dekompresi:

1. Taati aturan keamanan dan perintah dari instruktur selam.


2. Konsultasikan dengan instruktur mengenai batasan kedalaman dan durasi
menyelam.
3. Bila perlu, gunakan dive computer atau alat khusus yang dapat membantu
penyelam mengukur kedalaman hingga durasi penyelaman yang tersisa.
4. Terapkan safety stop atau berhenti beberapa menit di kedalaman tertentu
(umumnya 4-5 meter), sebelum kembali ke permukaan.
5. Hindari melakukan penerbangan atau perjalanan ke tempat tinggi,
setidaknya 24 jam setelah menyelam.
6. Seseorang yang baru pulih dari penyakit dekompresi, dianjurkan untuk
tidak melakukan penyelaman terlebih dahulu, setidaknya untuk 2 minggu.
7. Hindari mengonsumsi alkohol sebelum dan sesudah menyelam.
8. Hindari sauna atau mandi dengan air panas setelah menyelam.
9. Pastikan cairan tubuh cukup atau tidak dehidrasi.
J. Pathway
K.
Faktor Risiko : Faktor Penjamu : Usia, Lama
Temperatur air laut, Penyelaman, Frekuensi
kedalaman penyelam Penyelaman, Merokok, Obesitas

Perubahan Tekanan tinggi


menjadi rendah atau sebaliknya

Dekompresi

Gelembung2 Gelembung2 di aliran Menyelam lama


di arteri paru darah arteri untuk dan dalam
pindah ke otak
Batuk non- Menggigil
produktif Emboli gas arteri
Terpapar suhu
Sesak Gangguan Penurunan lingkungan rendah
neuromuskule fungsi
r ventrikel
Nyeri dada
MK : Hipotermia
MK : Pola MK : Gg.
Perubahan Napas Tidak Sirkulasi
membran Efektif Spontan
alveolus-
kapiler
Gelumbung2
MK : Gg. mempengaruhi sistem
Pertukaran saraf
Gas MK : Gg. Mobilitas
Fisik Masalah di seluruh
tubuh

Gangguan Lemah, ekstremitas


Neuromuskuler susah digerakkan
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN


PENYAKIT DEKOMPRESI (DECOMPRESSION SICKNESS)

ILUSTRASI KASUS
Pasien datang ke rumah sakit di antar oleh rekannya dalam keadaan tidak
sadar. Rekan pasien yang mengantar mengatakan 30 menit yang lalu pasien
menyelam di pantai dan setelah dipermukaan tidak lama kemudian pasien
pingsan. Setelah sadar pasien mengeluh mengalami kelemahan ekstremitas bawah
setelah menyelam, sesak, nyeri pada persendian, dan nyeri kepala, dan mati rasa
pada ekstremitas bawah. Hasil tanda-tanda vital didapatkan, TD : 90/80mmHg,
RR: 28x/mnt, N: 100x/mnt, S : 35,50C. Hasil lab didapatkan, Leukosit 8.200/ul,
Eritrosit: 5,10 juta/ul, Hb: 16g/dL, Trombosit: 198.000/ul, Glukosa test:
111mg/Dl. Tampak parapharese inferior, aktivitas pasien selalu dibantu keluarga,
napas cepat. Hasil radiologi, foto thorax terdapat emboli pada paru-paru. Hasil
MRI, terdapat nekrosis iskemik metafisis dan diafisis sum-sum tulang. Kekuatan
otot :

5555 5555
1111 1111

A. PENGKAJIAN
1. Biodata
a. Biodata Klien
Nama : Nn. F
Umur : 17 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pelajar
Suku bangsa : Madura
Golongan Darah : -
Tanggal Masuk RS. : -
Tanggal Pengkajian :
No. Reg. : 0312230368
Dx. Medis : Dekompresi
Alamat : Jl. Nangka No 7 Desa Mengkudu
b. Penanggung Jawab
Nama : Tn. B
Umur : 55 Tahun
Agama : Islam
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Guru SD
Suku bangsa : Madura
Alamat : Jl. Nangka No 7 Desa Mengkudu
2. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
1) Alasan masuk RS
Pasien datang ke rumah sakit di antar oleh rekannya dalam
keadaan tidak sadar. Rekan pasien yang mengantar mengatakan
30 menit yang lalu pasien menyelam di pantai dan setelah
dipermukaan tidak lama kemudian pasien pingsan.
2) Keluhan utama
Setelah sadar pasien mengeluh mengalami kelemahan
ekstremitas bawah setelah menyelam, sesak, nyeri pada
persendian, dan nyeri kepala, dan mati rasa pada ekstremitas
bawah.
3) Riwayat kesehatan masa lalu
Klien mengatakan sebelumnya belum pernah di rawat di
RS. Dengan diagnosa penyakit seperti yang dirasakan saat ini.
4) Riwayat kesehatan keluarga
Keluarga klien mengatakan di dalam keluarganya tidak ada
yang menderita penyakit menular, keturunan dan penyakit serupa
dengan klien.
b. Data Biologis
Pola Kebiasaan Sehari-
No. Sebelum Sakit Selama Sakit
hari
1. Pola makan dan minum
a. Pola makan
1) Frekuensi 3x sehari 3x sehari
2) Jumlah Satu porsi habis ½ porsi habis
3) Gangguan Tidak ada keluhan Nafsu makan
berkurang
4) Jenis Makanan tinggi Makanan lunak
kolesterol (nasi, (Bubur, lauk, dan
lauk, sayur) sayur)
5) Makanan Ada Ada
tambahan
b. Pola minum
1) Frekuensi 6-8 gelas/hari 4-5 gelas/hari
2) Jumlah 1500-2000 cc 1000-1500 cc
3) Jenis Air putih, teh, susu Air putih
2. Eliminasi dan defekasi
a. BAB
1) Frekuensi 1x/hari 1x/hari
2) Konsistensi Lembek berbentuk Lembek berbentuk
3) Warna Kuning tengguli Kuning tengguli
4) Gangguan Tidak ada keluhan Tidak ada keluhan
b. BAK
1) Frekuensi 6-5x/hari 3-4x/hari
2) Warna Kuning jernih Kuning jernih
3) Gangguan Tidak ada keluhan Tidak ada keluhan
3. Pola Aktivitas Dapat melakukan Tidak banyak
aktifitas sehari-hari melakukan
aktivitas, pasien
tidur terlentang
4. Pola Istirahat dan Tidur
a. Waktu
1) Tidur siang Tidak pernah 10.00-12.00 dan
13.00-15.00 WIB
2) Tidur malam 21.00-05.00 WIB 21.00-04.00
b. Kesulitan Tidur nyenyak Klien sering
terbangun
5. Pola kebersihan
a. Mandi 2x/hari 1x/hari
b. Gosok gigi 2x/hari 1x/hari
c. Potong kuku 1x/hari Tidak pernah
d. Cuci rambut 2x/hari Tidak pernah

c. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum :
a) Kesadaran : Stupor
b) Tanda-tanda vital :
Tekanan Darah : 90/80 mmHg
Suhu : 35,5° C
Nadi : 100x/menit
Respirasi : 28x/menit
c) Antrovomentri
TB : 165 cm
BB : 60 kg
2) Kepala
a) Rambut
Rambut berwarna hitam. Kulit kepala bersih, tidak ada
lesi, tidak ada nodul, tidak ada ketombe, rontok tidak ada,
distribusi rambut merata.
b) Mata
Konjungtiva : Anemis
Skelera : Ikterik
Reflek pupil : Normal (isokor apabila disinari cahaya)
Kornea : Berwarna bening, adanya pantulan cahaya
apabila disinari cahaya.
Lapang pandang : Dapat mengikuti 8 arah tatapan mata
Daya akomodasi : Bola mata bergerak sesuai dengan arah
benda
Fungsi penglihatan : Klien dapat membaca pada jarak 25
cm tanpa alat bantu.
c) Telinga
Serumen : Tidak ada
Pengeluaran : Otitis media perporasi (nanah, darah) tidak
ada.
Membran Thympani : Bening
Pendengaran : Klien dapat mendengar pada jarak
30 cm dengan menggunakan bisikan.
Tulang mastoid : Tidak ada nyeri tekan
d) Hidung
Cuping hidung : Tidak ada
Polip : Tidak ada
Nafas : Sesak dengan RR: 28x/menit
Rambut hidung : Penyebaran merata
Sekret : Tidak ada
Epistaksis : Tidak ada
Mukosa : Merah muda, lembab
Pembengkakan : Tidak ada
Fungsi penciuman : Dapat membedakan bau
e) Mulut
Bibir : Simetris atas bawah, warna merah muda.
Gusi : Warna merah muda, gingivitis tidak ada, scorbut
tidak ada.
Gigi : Bersih, berwarna putih, caries dentis tidak ada.
Lidah : Merah muda, fisura tidak ada, bersih, dapat
merasakan rasa.
Rongga mulut : Bersih, palatum mole berwarna merah
muda, palatum durum berwarna pucat, tidak ada radang.
Faring : Tidak ada pembesaran tonsil, pergerakan
ovula ke atas sewaktu mengucapkan “a”
f) Leher
Bentuk : Simetris
Kelenjar tyroid : Tidak ada pembesaran, adanya pergerakan
sewaktu menelan.
Vena Jugalaris : Tidak ada peningkatan
Trachea : Simetris, ditengah-tengah.
3) Dada
Dada Anterior
a) Bentuk : Simetris
b) Retraksi dinding dada : Tidak ada
c) Expansi dada : Sama antara kanan dan kiri
Paru-paru :
a) Respirasi : 28x/menit
b) Bunyi nafas : vesikuler
c) Irama nafas : Irreguler
d) Bunyi perkusi : Resonan
Jantung :
a) Bunyi jantung : S1 dan S2
b) Irama jantung : Reguler
c) Kelainan bunyi jantung : Tidak ada
4) Axila : Bersih, tidak ada lesi, tidak ada pembesaran.
Dada posterior
a) Bentuk : Simetris
b) Vokal premitus : sama antara kiri dan kanan
c) Retraksi dinding dada : Tidak ada
d) Bunyi bronkus : Bronchovesikuler
5) Abdomen
a) Bentuk : Datar, superl, tidak ada lesi
b) Bising usus : Bunyi 18x/menit
c) Aorta : 2 jari diatas umbilikal, bunyi desiran air
d) Lambung : Tidak ada nyeri tekan, bunyi perkusi :
timpani.
e) Hepar : Tidak ada nyeri tekan
f) Limpa : Tidak teraba, tidak ada nyeri tekan, tidak
ada pembesaran.
g) Ginjal : Teraba tidak ada pembesaran, tidak ada
nyeri tekan.
6) Genetalia
a) Bentuk : Utuh
b) Radang : Tidak ada
c) Sekret : Tidak ada
d) Kelainan : Tidak ada
7) Ekstremitas
a) Ekstremitas atas
Tangan kanan klien terpasang infus, oedema tidak ada,
klien dapat melakukan flexi, ekstensi, inversi, ekspersi,
pronasi, supinasi, abduksi, aduksi, rotasi, reflek bisep (+),
reflek trisep (+)
Tonus otot : 5 5
b) Ekstremitas bawah
Pada ektremitas bawah klien mengeluh nyeri pada persendian
dan mati rasa.
Tonus otot : 1 1
d. Data Psikososial
1) Keadaan emosional : Klien tampak stabil
2) Pola interaksi : Klien dapat berinteraksi dengan perawat
dan keluarga.
3) Gaya komunikasi : Klien dapat berkomunikasi secara verbal
Konsep diri
1) Peran diri : Klien selama di RS berperan sebagai anak
perempuan.
2) Ideal diri : Klien berharap segera sembuh dari penyakitnya.
e. Data Psikologis
1) Pendidikan : SMU
2) Hubungan sosial : Hubungan klien dengan pasien yang lain
cukup baik
3) Gaya hidup : Dilihat dari cara berpakaiannya klien tampak
hidup sederhana.
f. Data Spiritual
Klien selalu beribadah tepat waktu dan selalu berdoa untuk
kesembuhan penyakitnya.
g. Data Penunjang
Hasil Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Normal Interpretasi
Hemoglobin 16 P: 12,5-18,0 gr/dL
W: 12-16
Eritrosit 5,10 P: 4,6-6,2 juta/ul
W: 4,2-5,4
Leukosit 8,2 P: 4-10 Rb/ul
W: 15,0-44,0

B. ANALISA DATA
Nama : Nn. F
Umur : 17 Tahun
No. Reg : 0312230368
No. DATA ETIOLOGI MASALAH
1. DS: Gangguan Gangguan
- Pasien mengeluh Neuromuskuler mobilitas fisik
mengalami
kelemahan
ekstremitas bawah
setelah menyelam
- Klien mengeluh
nyeri pada
persendian
- Klien mengeluh
mati rasa pada
ekstremitas bawah
DO:
- TTV :
TD: 90/80 mmHg
N: 100x/menit
S: 35,5°C
RR: 28x/menit
- Hasil lab:
Leukosit: 8,2
ribu/ul,
Eritrosit: 5,10
juta/ul
Hb: 16 g/dL
Trombosit: 198.000
mcL
Glukosa test: 111
mg/Dl.
- Aktivitas pasien
selalu dibantu
keluarga
- Hasil MRI
Terdapat nekrosis
iskemik metafisis
dan diafisis sum-
sum tulang
- Kekuatan otot:

5555 5555
1111 1111
2. DS : Gangguan Pola nafas tidak
- Setelah di Neuromuskuler efektif
permukaan pantai
tidak lama
kemuadian pasien
pingsan
- Setelah sadar
pasien mengeluh
sesak
DO:
- Hasil TTV
TD: 90/80mmHg
N: 100x/mnt
S: 35,50C
Rr: 28x/mnt
- Nafas klien
tampak cepat
- Hasil radiologi
foto thorax
terdapat
emboli pada
paru-paru

3. DS : Terpapar suhu Hipotermia


- Klien lingkungan yang rendah
mengatakan
kedinginan
DO :
- Hasil TTV
S: 35,5°C
- Klien tampak pucat
- Kulit teraba dingin

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Pola nafas tidak efektif b/d gangguan neuromuskuler
2. Hipotermia b/d terpapar suhu lingkungan yang rendah
3. Gangguan mobilitas fisik b/d gannguan neuromuskuler
D. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
Nama : Nn. F
Umur : 17 Tahun
No. Reg : 0312230368

DIAGNOSA PERENCANAAN
No.
KEPERAWATAN TUJUAN INTERVENSI
1. Pola nafas tidak Setelah dilakukan 1. Monitor TTV
efektif b/d asuhan keperawatan 2. Monitor respirasi dan status
gangguan 1x1 jam diharapkan O2
neuromuskuler pola nafas dapat 3. Pertahankan jalan nafas
efektif dengan kriteria yang paten
hasil: 4. Posisikan pasien untuk
1. Keluhan sesak memaksimalkan ventilasi.
berkurang 5. Lakukan fisioterapi dada
2. Hasil TTV jika perlu
dalam batas 6. Ajarkan keluarga
normal mempertahankan posisi
RR: 16- pasien untuk
24x/jam memaksimalkan ventilasi.
3. Hasil foto 7. Kolaborasi dengan tim
thorax, emboli terapi oksigen hiperbarik
tidak ada atau
berkurang
4. Tidak ada
penggunaan
otot bantu
pernafasan.
2. Hipotermia b/d Setelah dilakukan 1. Monitor suhu tubuh pasien
terpapar suhu asuhan keperawatan 2. Bebaskan pasien dari
lingkungan yang 1x30 menit hipotermi lingkungan dingin
rendah dapat teratasi dengan 3. Monitor adanya tanda
kriteria hasil: hipotermia (menggigil,
- Klien tidak dll)
kedinginan 4. Berikan pemanas pasif
(menggigil) (selimut, pakaian hangat,
- TTV dalam dll)
rentang normal 5. Ajarkan keluarga
Suhu: 36,50C- bagaimana kompres
37,50C hangat yang baik dan
benar
6. Kolaborasi dengan tim
terapi oksigen hiperbarik
3. Gangguan Setelah dilakukan 1. Kaji keterbatasan gerak
mobilitas fisik b/d asuhan keperawatan sendi
gangguan 1x24jam diharapkan 2. Kaji kemampuan
neuromuskular masalah dapat teratasi mobilitas klien
dengan kriteria hasil: 3. Bantu klien membuat
1. Dapat jadwal latihan
menggerakkan 4. Dampingi klien saat
ekstremitas latihan mobilisasi
bawah 5. Edukasi kepada klien agar
2. Nyeri sendi tetap melakukan
berkurag atau mobilisasi semampunya
hilang 6. Kolaborasi dengan
3. Hasil MRI tidak fisioterapis dalam
terdapat pemberian terapi fisik
nekrosis 7. Kolaborasi dengan tim
iskemia terapi oksigen hiperbarik
4. Kekuatan otot

5555 5555
5555 5555
E. IMPLEMENTASI DAN EVALUASI
Nama : Nn. F
Umur : 17 Tahun
No. Reg : 0312230368

No. Tanggal Diagnosa Implementasi Evaluasi


1. Pola nafas tidak 1. Memonitor TTV - S : Klien
efektif b/d 2. Memonitor mengatakan
gangguan respirasi dan sesak berkurang
neuromuskuler status O2 - O:
3. Mempertahankan TD: 110/80
jalan nafas yang mmHg
paten N: 100x/menit
4. Memposisikan S: 36,7°C
pasien untuk RR: 25x/menit
memaksimalkan - A: Masalah
ventilasi. teratasi
5. Melakukan sebagian
fisioterapi dada - P: Lanjutkan
jika perlu intervensi 1, 2,
6. Mengajarkan 3, 4, 5, dan 6
keluarga untuk
mempertahankan
posisi pasien
untuk
memaksimalkan
ventilasi.
7. Kolaborasi
dengan tim terapi
oksigen hiperbarik
2. Hipotermia b/d 1. Memonitor - S: Klien
terpapar suhu suhu tubuh mengatakan
lingkungan yang pasien tidak merasa
rendah 2. Membebaskan kedinginan
pasien dari - O: Suhu tubuh
lingkungan klien dalam
dingin rentang normal
3. Memonitor yaitu 36,7°C
adanya tanda - A: Masalah
hipotermia tertasi
(menggigil, dll) - P: Intervensi
4. Memberikan dihentikan.
pemanas pasif
(selimut, pakaian
hangat, dll)
5. Mengajarkan
keluarga
bagaimana
kompres hangat
yang baik dan
benar.
6. Berkolaborasi
dengan dengan
tim terapi
oksigen
hiperbarik
3. Gangguan 1. Mengkaji - S: Klien
mobilitas fisik keterbatasan gerak mengatakan
b/d gangguan sendi bisa
neuromuskular. 2. Mengkaji menggerakkan
kemampuan ekstremitas
mobilitas klien bawah sesuai
3. Membantu klien dengan
membuat jadwal kemampuannya
latihan - O:
4. Mendampingi Nyeri sendi
klien saat latihan berkurang ,
mobilisasi kekuatan otot
5. Memberikan 5555 5555
edukasi kepada 3333 3333
klien agar tetap
melakukan - A:
mobilisasi Masalah
semampunya teratasi
6. Berkolaborasi sebagian .
dengan fisioterapi - P:
dalam pemberian Lanjutkan
terapi fisik intervensi 1, 2,
7. Berkolaborasi 4, 5, dan 6
dengan tim terapi –
oksigen hiperbarik
BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan
Decompression sickness atau penyakit dekompresi adalah penyakit
yang disebabkan oleh pengurangan tekanan lingkungan secara cepat yang
cukup untuk menyebabkan pembentukan gelembung dari gas-gas dalam
jaringan tubuh. Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya penyakit
dekompresi adalah faktor lingkungan yaitu temperatur air laut, kedalaman
penyelaman, faktor penjamu yaitu usia, lama penyelaman, frekuensi
penyelaman, alat bantu yang digunakan, masa kerja sebagai penyelam,
penyakit asma, merokok, obesitas dan konsumsi alkohol.
Ada dua tipe pada penyakit dekompresi yaitu Penyakit Dekompresi
Tipe I dan Penyakit Dekompresi Tipe II. Tanda dan gejala pada penyakit ini
juga sesuai dengan masing-maing tipe penyakit dekompresi. Penyakit
dekompresi merupakan kondisi yang dapat dicegah bagi penyelam salah satu
upaya yang dapat dilakukan adalah gunakan dive computer atau alat khusus
yang dapat membantu penyelam mengukur kedalaman hingga durasi
penyelaman yang tersisa.

B. Saran
Diharapkan tenaga kesehatan dapat melakukan penatalaksanaan pada
pasien yang mengalami penyakit dekompresi sesuai fase perawatan pada
penyakit dekompresi yang telah di uraikan dalam makalah ini. Serta dapat
melakukan asuhan keperawatan sesuai kebutuhan pasien dan
memprioritaskan diagnosa yang telah ditentukan.
DAFTAR PUSTAKA

Jalil Rasyid A, Haris A, dkk. 2019. Pengantar Selam Ilmiah. Yogyakarta:


Deepublish.
https://books.google.co.id/books?id=BA2fDwAAQBAJ&pg=PA223&dq=d
ekompresi&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjuwp3cgcTlAhUYX30KHV5tBv
wQ6AEIMzAC#v=onepage&q=dekompresi&f=false Di akses pada tanggal
29 Oktober 2019.

Saleh Muhammad Lalu. 2018. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Kajian


Keselamatan dan Kesehatan Kerja Sektor Maritim). Yogyakarta:
Deepublish.

https://books.google.co.id/books?id=X4-
IDwAAQBAJ&pg=PA280&dq=dekompresi&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEw
juwp3cgcTlAhUYX30KHV5tBvwQ6AEILDAB#v=onepage&q=dekompre
si&f=false Di akses pada tanggal 29 Oktober 2019

Wijaya Rezki Dian. 2018. ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN


PENYAKIT DEKOMPRESI PADA NELAYAN PENYELAM DI PULAU
BARRANG LOMPO KOTA MAKASSAR TAHUN 2011-2017. Tesis.
http://digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/N
DI4NWY3
NjljYTZmZWM4ODY5MTBkNTFjMGZhMzZmYjRhYzkzOGNkNA
==.pdf Di akses pada tanggal 29 Oktober 2019

Anda mungkin juga menyukai