Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN KEGIATAN

MINI PROJECT

ANGKA KEPATUHAN BEROBAT PADA PENDERITA GANGGUAN


JIWA BERAT (SKIZOFRENIA) DI DESA BANDUNG, CANDIMULYO,
KEMBARAN, DAN MUKTISARI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
KEBUMEN I MELALUI PENDATAAN PIS – PK FEBRUARI –
OKTOBER TAHUN 2018

Disusun oleh:
dr. Ratna Ernita
dr. Agustin Nurul Fahmawati
dr. Weni Rakhmayanti Maulida
dr. Susanti

Pembimbing:
dr. Rahmi Asfiyatul Jannah

PROGRAM DOKTER INTERNSIP


UPTD UNIT PUSKESMAS KEBUMEN I
KABUPATEN KEBUMEN

2018

1
DAFTAR ISI

I. LATAR BELAKANG
A. Pendahuluan .................................................................................... 3
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 8
D. Manfaat Penelitian .......................................................................... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi ............................................................................................. 10
B. Epidemiologi ................................................................................... 10
C. Etiologi ............................................................................................. 11
D. Gejala Klinis .................................................................................... 12
E. Penegakan Diagnosis ...................................................................... 13
F. Klasifikasi ........................................................................................ 15
G. Penatalaksanaan ............................................................................. 17
H. Prognosis .......................................................................................... 21
III. METODE PENELITIAN
A. Metode ............................................................................................. 23
B. Pengumpulan Data ......................................................................... 25
C. Tata Urutan Kerja .......................................................................... 26
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Profil Puskesmas .............................................................................. 27
B. Hasil dan Pemnbahasan .................................................................. 30
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ....................................................................................... 35
B. Saran ................................................................................................. 35
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 37
LAMPIRAN ................................................................................................... 39

2
I. LATAR BELAKANG

A. Pendahuluan
Kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat
berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial, sehingga individu
menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara
produktif, serta mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Orang
Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) adalah orang yang mengalami gangguan
dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam sekumpulan
gejala dan atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan
penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi luhur sebagai manusia
dalam keseharian (seperti pekerjaan dan sosial). Gangguan jiwa merupakan
diagnosis, berbeda dengan masalah kesehatan jiwa. Pada masalah kesehatan
jiwa mungkin saja terdapat gejala, tetapi bukan kumpulan gejala lengkap,
tidak berlangsung lama, dan belum menimbulkan gangguan fungsi sehari-
hari. Sehingga, Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) merupakan orang
yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan
perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko mengalami
gangguan jiwa (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2017).
Data World Health Organization (2016) menunjukkan terdapat sekitar
35 juta orang menderita depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena
skizofrenia, serta 47,5 juta mengalami demensia. Selain itu, menurut WHO
(2017) gangguan yang banyak terjadi juga selain depresi adalah gangguan
cemas. Diperkirakan 4,4% dari populasi global menderita gangguan depresi
dan 3,6% dari gangguan kecemasan. Jumlah penderita depresi meningkat
lebih dari 18% antara tahun 2005 hingga 2015. Depresi menjadi penyebab
terbesar kecacatan. Lebih dari 80% penyakit ini dialami orang-orang yang
tinggal di negara berkembang. Indonesia menunjukkan penambahan jumlah
kasus gangguan jiwa yang dipengaruhi oleh faktor biologis, psikologis, dan
sosial dengan keanekaragaman penduduknya. Hal tersebut dapat berdampak
pada penambahan beban negara dan penurunan produktivitas sumber daya
manusia jangka panjang (WHO, 2016; 2017).

3
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 yang dilakukan oleh
Kementerian Republik Indonesia menyimpulkan bahwa prevalensi
ganggunan mental emosional seperti depresi dan kecemasan (anxietas) pada
usia ≥ 15 tahun mencapai sekitar 14 juta jiwa atau 6% dari jumlah penduduk
Indonesia. Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat (psikosis), seperti
skizofrenia mencapai sekitar 400.000 jiwa atau sebanyak 1,7 per 1.000
penduduk. Jumlah gangguan jiwa berat tahun 2013 tersebar di berbagai
provinsi dengan jumlah terbanyak di Daerah Istimewa Yogyakarta (0,27%)
dan Aceh ( 0,27%), kemudian Sulawesi Selatan (0,26%), disusul oleh Bali
(0,23%) dan Jawa Tengah (0,23%). Masalah kesehatan jiwa tersebut di atas
jika tidak segera ditangani dapat menurunkan status kesehatan fisik dan
menimbulkan dampak psikososial antara lain tindak kekerasan,
penyalahgunaan napza, pemasungan, maupun tindakan percobaan bunuh diri
(Riset Kesehatan Dasar, 2013).
Estimasi WHO tentang ODGJ yang belum mendapatkan layanan
kesehatan jiwa di negara-negara berkembang seperti Indonesia adalah >85%.
Gangguan jiwa yang tidak tertangani dengan baik dan tidak teratur berobat/
minum obat dapat mengakibatkan gejala semakin sulit untuk diatasi,
menahun, dengan penurunan fungsi perawatan diri dan sosial yang semakin
berat. Pemasungan pada ODGJ merupakan dampak ekstrem dan tidak adanya
akses terhadap layanan kesehatan jiwa. Pemasungan adalah bentuk
pengekangan kebebasan yang dilakukan pada ODGJ di komunitas yang
mengakibatkan perampasan kebebasan untuk mengakses layanan yang dapat
membantu pemulihan fungsi ODGJ tersebut. Berdasarkan Riskesdas (2013),
sebanyak 14,3% dari penduduk yang mengalami gangguan jiwa berat tersebut
mengatakan pernah dipasung Pemasungan ODGJ tidak dibenarkan dan
melanggar hak asasi manusia. Tindak pemasungan sebagian besar dilakukan
oleh keluarga inti sebagai upaya perlindungan akibat perilaku kekerasan yang
berpotensi dilakukan ODGJ akibat gejala yang dialami dan tidak dapat diatasi
akibat kurangnya pengetahuan, kesulitan akses dan keterjangkauan ke
layanan kesehatan jiwa (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2017).

4
Gangguan jiwa sangat beragam jenisnya, mulai dari yang ringan
hingga berat. Informasi yang akurat dari pihak keluarga akan sangat
membantu para tenaga pemberi layanan kesehatan jiwa untuk melakukan
diagnosa dan menentukan perawatan yang tepat bagi ODGJ. Pada akhirnya,
diharapkan ODGJ dapat berangsur-angsur mengembalikan kualitas hidup
mereka dan kembali menjadi manusia yang produktif dan mandiri.
Skizofrenia menjadi gangguan jiwa paling dominan dibanding
gangguan jiwa lainnya dan termasuk dalam gangguan jiwa berat. Penderita
gangguan jiwa sepertiganya tinggal di negara berkembang, dan 8 dari 10
orang yang menderita skizofrenia tidak mendapatkan penanganan medis.
Gejala skizofrenia muncul pada usia 15-25 tahun lebih banyak ditemukan
pada laki-laki dibandingkan pada perempuan (Ashturkar& Dixit, 2013).
Skizofrenia adalah salah satu jenis psikotik yang menunjukan gelaja
orientasi yang buruk, halusinasi, waham, serta kehilangan fungsi luhurnya
sebagai manusia seperti merawat diri. Gejala halusinasi dan waham yang
terjadi pada pasien skizofrenia berupa gangguan alam perasaan yang tidak
menentu, isi kebesaran atau kejaran, sering bertengkar atau berdebat, dan
perilaku cemas yang tidak menentu, bahkan kemarahan/ mengamuk. Hal
tersebut dapat disebabkan kegagalan mekanisme coping stress terhadap beban
yang dialami atau karena cemas yang berkepanjangan (Videback, 2008;
Townsend, 2011; Hawari, 2014).
Pelayanan gangguan jiwa adalah pelayanan pada pasien yang
mengalami gangguan kejiwaan. Data yang masuk untuk pelayanan kesehatan
jiwa di fasilitas kesehatan tingkat pertama berasal dari Rumah Sakit Jiwa dan
Rumah Sakit Umum yang mempunyai klinik jiwa. Permasalahan yang ada
saat ini adalah tidak semua Rumah Sakit Umum mempunyai pelayanan klinik
jiwa karena belum tersedia tenaga medis jiwa dan tidak banyak kasus jiwa di
masyarakat yang berobat di sarana pelayanan kesehatan. Dari permasalahan
tersebut, upaya yang perlu dilakukan adalah peningkatan pembinaan program
kesehatan jiwa di sarana kesehatan pemerintah dan swasta, pelatihan/
refreshing bagi dokter dan paramedis puskesmas terutama upaya promotif
dan preventif, serta meningkatkan pelaksanaan sistem monitoring evaluasi

5
pencatatan dan pelaporan program kesehatan jiwa (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2017).
Tahun 2015 cakupan pelayanan kesehatan jiwa Kabupaten Kebumen
di Puskesmas tercatat 6.293 jiwa (laki-laki 3.559 jiwa dan perempuan 2.734
jiwa) dari seluruh penduduk tahun 2015 sebanyak 1.188.622 atau 5,3 per
1000 penduduk. Kasus jiwa terbanyak di Puskesmas Pejagoan yaitu 1.145
jiwa. Hal tersebut berkaitan dengan Puskemas Pejagoan sesuai SK Bupati
Kebumen No 445/95/KEP/2015 termasuk dalam Puskesmas pelaksana
pelayanan rawat inap dengan unggulan pelayanan kesehatan jiwa di
Kabupaten Kebumen. Di Puskesmas Kebumen I sendiri terdapat sekitar 178
pasien jiwa dari data tahun 2014 sampai dengan Desember 2018, atau
sebanyak 3,8 per 1000 penduduk (dari total penduduk 46.388). Sebanyak 84
pasien sudah berobat rutin, 8 orang berlum berobat, dan 86 putus obat.
Capaian tersebut belum sesuai target SPM pelayanan jiwa yaitu 100%. Hal ini
menunjukkan perlunya pelayanan kesehatan jiwa yang lebih komprehensif ke
masyarakat di wilayah Puskesmas Kebumen I pada khususnya untuk
mendeteksi pasien dengan gangguan jiwa, memastikan pasien sudah
mendapatkan terapi/ pengobatan secara rutin dan juga pemulihan fungsi
kehidupan sehari-hari.
Jumlah petugas kesehatan jiwa yang terbatas dapat dicari solusinya
dengan salah satu program berupa upaya pemberdayaan keluarga sebagai
penyaring awal gangguan jiwa dan mendukung selama terapi, serta
pemulihan pasien. Anggota keluarga dan masyarakat perlu diberi penjelasan
tentang jenis, tanda, dan gejala gangguan jiwa yang sering terjadi dan apa
yang dapat dilakukan oleh keluarga jika hal ini terjadi. Melalui pemahaman
ini, diharapkan masalah kejiwaan dan gangguan jiwa dapat dicegah dan
ditangani secepat dan semestinya. Upaya-upaya kesehatan jiwa tersebut
merupakan amanah dalam Undang-Undang No.18 tahun 2014 tentang
Kesehatan Jiwa (Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen, 2015; Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2017). Oleh karena amanat itu, di Puskesmas
Kebumen I sudah ada program Walijemino yaitu anggota keluarga sebagai
pengawas minum obat, serta sedang akan mengembangkan pembinaan

6
keluarga pasien jiwa melalui program Punggawa yang rencananya akan dirilis
mulai tahun 2019.
Selain itu, pemerintah juga memasukkan kesehatan jiwa ke dalam
indikator keluarga sehat pada Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan
Keluarga (PIS - PK). Pedoman Penyelenggaraan PIS - PK diatur dalam
Permenkes RI No. 39 Tahun 2016. PIS - PK mempunyai tujuan
meningkatkan akses keluarga dan anggotanya terhadap pelayananan
kesehatan yang komprehensif (promotif-preventif, kuratif dan rehabilitatif),
mendukung pencapaian spm di kab/kota melalui peningkatan akses screening
kesehatan, mendukung pelaksanaan JKN, mendukung tercapainya Program
Indonesia Sehat dalam Renstra Kemenkes 2015-2019.

Gambar 1.1 Indikator Keluarga Sehat PIS - PK


Bertepatan dengan uraian di atas, saat ini Puskesmas Kebumen I
masih melaksanakan pendataan Program Indonesia Sehat melalui Pendekatan
Keluarga (PIS - PK). Berdasarkan rekapan data beberapa Desa yang sudah
dilakukan pendataan seperti Candimulyo, Bandung, dan Kembaran,
menunjukkan hasil bahwa 3 masalah utama yaitu hipertensi, gangguan jiwa
berat (skizofrenia), dan tuberkulosis paru (TB paru). Sampai saat penelitian,
data PIS - PK yang sudah dientri yaitu 4 desa meliputi Bandung, Candimulyo,
Kembaran, dan Muktisari. Oleh karena itu Kami (Dokter Internsip Puskesmas
Kebumen I periode September 2018 – Januari 2019) tertarik untuk meneliti
permasalahan kesehatan jiwa dengan judul “Angka Kepatuhan Minum Obat
pada Penderita Gangguan Jiwa Berat (Skizofrenia) di Desa Bandung,

7
Candimulyo, Kembaran, dan Muktisari Wilayah Kerja Puskesmas Kebumen I
melalui Pendataan PIS - PK Bulan Februari - Oktober Tahun 2018”.

B. Rumusan Masalah
1. Berapa prevalensi ODGJ tahun 2018 berdasarkan hasil PIS - PK dan
Laporan Program Kesehatan JiwaPuskesmas Kebumen I Tahun 2018 di
Desa Bandung, Candimulyo, Kembaran, dan Muktisari?
2. Berapa angka kepatuhan berobat penderita gangguan jiwa berat
(skizofrenia) di Desa Bandung, Candimulyo, Kembaran, dan Muktisari?
3. Adakah ODGJ yang dipasung di Desa Bandung, Candimulyo, Kembaran,
dan Muktisari?
4. Berapa persentase distribusi usia dan jenis kelamin ODGJ di Desa
Bandung, Candimulyo, Kembaran, dan Muktisari?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui prevalensi ODGJ tahun 2018 berdasarkan hasil PIS -
PK dan Laporan Program Kesehatan JiwaPuskesmas Kebumen I Tahun
2018 di Desa Bandung, Candimulyo, Kembaran, dan Muktisari.
2. Untuk mengetahui angka kepatuhan berobat penderita gangguan jiwa
berat (skizofrenia) di Desa Bandung, Candimulyo, Kembaran, dan
Muktisari.
3. Untuk mengetahui angka ODGJ yang dipasung di Desa Bandung,
Candimulyo, Kembaran, dan Muktisari.
4. Untuk mengetahui persentase distribusi usia dan jenis kelamin ODGJ di
Desa Bandung, Candimulyo, Kembaran, dan Muktisari.
5. Untuk menentukan rencana tindak lanjut pada penderita gangguan jiwa
berat (skizofrenia) di Desa Bandung, Candimulyo, Kembaran, dan
Muktisari pada khususnya dan wilayah kerja Puskesmas Kebumen I pada
umumnya.

8
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat bagi Penulis
Menambah informasi dan wawasan penulis mengenai prevalensi, angka
pemasungan, persentase distribusi usia dan jenis kelamin, serta angka
kepatuhan minum obat penderita gangguan jiwa berat (skizofrenia) di
Desa Bandung, Candimulyo, Kembaran, dan Muktisari wilayah kerja
Puskesmas Kebumen I.
2. Manfaat bagi Puskesmas
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan informasi dalam
menyusun kebijakan dan strategi program-program kesehatan terutama
yang berhubungan dengan masalah kesehatan jiwa.
3. Manfaat bagi Ilmu Pengetahuan
Hasil penelitian diharapkan bisa dijadikan data awal untuk penelitian
selanjutnya.

9
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
American Psychiatric Association (1994) mendefinisikan gangguan
jiwa sebagai suatu sindrom atau pola psikologis atau perilaku yang penting
secara klinis yang terjadi pada seseorang dan dikaitkan dengan adanya
distress atau disabilitas. Psikotik adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan
ketidakmampuan individu menilai kenyataan yang terjadi, misalnya terdapat
halusinasi, waham atau perilaku kacau atau aneh. Orang dengan gangguan
jiwa (ODGJ) berat yaitu orang yang memiliki gengguan jiwa yang dengan
ciri psikotik hingga menganggu fungsi kehidupan, atau dikenal dengan
skizofrenia (DMS-IV, 2005).
Skizofrenia adalah sindrom dengan variasi dan perjalanan penyakit
yang luas, ditandai dengan adanya perubahan yang fundamental dan
karakteristik persepsi, pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Skizofrenia
merupakan gangguan psikotik yang ditandai dengan berbagai tingkat
kepribadian disorganisasi yang mengurangi kemampuan individu untuk
bekerja secara efektif dan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Gejala
klinis skizofrenia sering bingung, depresi, menarik diri atau cemas. Hal ini
berdampak pada keinginan dan kemampuan untuk melakukan tindakan oral
hygiene (Maslim, 2003).

B. Epidemiologi
Insidensi skizofrenia di seluruh dunia adalah 3.000 – 10.000 penderita.
Skizofrenia terjadi paling tinggi pada rentang usia 15 - 35 tahun. Prevalensi

10
global pada usia tersebut adalah 1,1%, sedangkan di Indonesia adalah 0,3% -
1% (Bhugra, 2005).
Skizofrenia merupakan penyakit mental yang paling menyebabkan
suatu kemunduran. Psikopatologi ini secara tipikal didiagnosis pada usia di
antara 20 - 25 tahun, suatu fase kehidupan di mana hampir setiap manusia
memperoleh kebebasan dari orang tua, menjalin suatu hubungan romantis
yang intim, merencanakan pencapaian-pencapaian dalam hal pendidikan, dan
dimulainya kehidupan berkarir pada seseorang. Prevalensi skizofrenia di
Amerika Serikat dilaporkan bervariasi terentang dari 1 sampai 1,5 persen
dengan angka insidensi 1 per 10.000 orang per tahun. Berdasarkan jenis
kelamin prevalensi skizofrenia adalah sama, perbedaannya terlihat dalam
onset dan perjalanan penyakit. Untuk laki laki 15 sampai 25 tahun sedangkan
wanita 25 sampai 35 tahun. Di Indonesia angka penderita skizofrenia 25
tahun yang lalu (PJPT I) diperkirakan 1/1000 penduduk dan proyeksi 25
tahun mendatang mencapai 3/1000 penduduk. Pada tahun 2013, skizofrenia
mencapai sekitar 400.000 jiwa atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk
(Riskesdas, 2013).

C. Etiologi
Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa
penyebab skizofrenia, antara lain:
1. Faktor Genetik
Menurut Baihaqi (2005), faktor keturunan juga menentukan
timbulnya skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang
keluarga-keluarga penderita skizofrenia terutama anak kembar satu telur/
monozigotik. Angka kesakitan bagi saudara tiri ialah 0,9 - 1,8%; bagi
saudara kandung 7 – 15%; bagi anak dengan salah satu orangtua yang
menderita skizofrenia 7 – 16%; bila kedua orangtua menderita
skizofrenia 40 – 68%; bagi kembar dua telur (heterozigot) 2 -15%; bagi
kembar satu telur (monozigot) 61 – 86%. Skizofrenia melibatkan lebih
dari satu gen, sebuah fenomena yang disebut quantitative trait loci.
Skizofrenia yang paling sering kita lihat mungkin disebabkan oleh

11
beberapa gen yang berlokasi di tempat-tempat yang berbeda di seluruh
kromosom. Ini juga mengklarifikasikan mengapa ada gradasi tingkat
keparahan pada orang-orang yang mengalami gangguan ini (dari ringan
sampai berat) dan mengapa risiko untuk mengalami skizofrenia semakin
tinggi dengan semakin banyaknya jumlah anggota keluarga yang
memiliki penyakit ini.
2. Faktor Biokimia
Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi
otak yang disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang
memungkinkan neuron-neuron berkomunikasi satu sama lain. Beberapa
ahli mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas
neurotransmitter dopamine yang berlebihan di bagian-bagian tertentu
otak atau dikarenakan sensitivitas yang abnormal terhadap dopamine.
Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas dopamine yang berlebihan
saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa neurotransmitter lain
seperti serotonin dan norepinephrine tampaknya juga memainkan
peranan (Akbar, 2008).
3. Faktor Psikologis dan Sosial
Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang
semakin lama semakin kuat, adanya trauma yang bersifat kejiwaan,
adanya hubungan orang tua-anak yang patogenik, serta interaksi yang
patogenik dalam keluarga (Wiraminaradja& Sutardjo, 2005). Banyak
penelitian yang mempelajari bagaimana interaksi dalam keluarga
mempengaruhi penderita skizofrenia. Sebagai contoh, istilah
schizophregenic mother kadang-kadang digunakan untuk
mendeskripsikan tentang ibu yang memiliki sifat dingin, dominan, dan
penolak, yang diperkirakan menjadi penyebab skizofrenia pada anak-
anaknya (Akbar, 2008). Menurut Coleman dan Maramis (1994 dalam
Baihaqi et al, 2005), keluarga pada masa kanak-kanak memegang
peranan penting dalam pembentukan kepribadian. Orangtua terkadang
bertindak terlalu banyak untuk anak dan tidak memberi kesempatan anak
untuk berkembang, ada kalanya orangtua bertindak terlalu sedikit dan

12
tidak merangsang anak, atau tidak memberi bimbingan dan anjuran yang
dibutuhkannya.

D. Gejala Klinis
1. Gangguan positif
a. Delusi/ Waham
Waham merupakan suatu keyakinan terhadap sesuatu yang
dialami pasien yang dihayati dan tidak bisa dirubah. Waham yang
muncul pada klinis skizofrenia khas didapatkan waham yang aneh/
tidak logis seperti waham kebesaran.

b. Halusinasi
Suatu persepsi terhadap panca indera tanpa adanya stimulus,
baik itu halusinasi auditorik (paling sering), halusinasi visual, dan
panca indera lainnya, sehingga muncul hal-hal sebagai berikut:
1) Perilaku aneh, tidak terorganisir.
2) Bicara sendiri, tidak teratur.
3) Gaduh dan gelisah.
4) Penuh kecurigaan dan memiliki rasa permusuhan.
2. Gangguan negatif
Gangguan negatif meliputi (Pakpahin, 2012):
1) Alogia (tidak mau bicara)
2) Emosi tumpul
3) Avolition (kehilangan motivasi)
4) Anhedonia (kehilangan minat)
5) Tidak mampu berkonsentrasi
2. Gangguan kognitif
3. Gangguan perhatian
4. Gangguan ingatan

E. Penegakan Diagnosis
Terdapat tanda dan gejala skizofrenia antara lain (PPDGJ III, 1993):

13
1. Minimal satu gejala berikut yang sangat jelas, atau minimal dua gejala
jika tidak jelas yaitu :
a. Adanya waham bizarre (thought of echo, thought of insertion,
thought of broadcasting).
b. Adanya delusion of influence, delusion of control, delusion of
passivity, delusional perception.
c. Halusinasi auditorik.
d. Waham menetap jenis lainnya yang dianggap tidak wajar dan
mustahil terjadi.

2. Atau paling sedikit dua gejala yang harus selalu ada dengan jelas, yaitu:
a. Halusinasi menetap dari indera apapun, disertai waham maupun ide
berlebihan.
b. Adanya arus pikiran yang terputus (break) atau mengalami sisipan
(interpolation).
c. Perilaku katatonik.
d. Gejala-gejala negative.
3. Gejala khas tersebut berlangsung minimal 1 bulan.
4. Terdapat perubahan yang konsisten dan bermakna dalam overall quality
dari beberapa personal behavior.

14
F. Klasifikasi
Skizofrenia dapat dibedakan menjadi beberapa subtipe yaitu sebagai
berikut (PPDGJ III, 1993).
Tabel 2.1 Klasifikasi Skizofrenia
Skizofrenia Paranoid Skizofrenia Hebefrenik Skizofrenia Katatonik
1. Kriteria umum (+) 1. Kriteria umum (+) 1. Kriteria umum (+)
2. Halusinasi dan 2. Diagnosis pertama 2. Minimal satu dari
waham (control, ditegakkan pada usia berikut
influence, 15-25 tahun mendominasi:
passivity, dikejar) 3. Kepribadian stupor, mutisme,
yang amat premorbid: pemalu, gaduh-gelisah,
menonjol. solitary posturing,
4. Selama observasi 2-3 negativism,
3. Gangguan afektif , bulan didapatkan rigiditas,
dorongan perilaku yang tidak fleksibilitas cerea,
kehendak, gejala bertanggungjawab, command
katatonik relatif mannerisme, solitary, automatism
tidak menonjol afek dangkal
inappropriate,
inkoherensi.
5. Gangguan afektif,
dorongan kehendak,
dan gangguan proses
pikir menonjol
Skizofrenia Tak Skizofrenia Residual Skizofrenia Simplek
Terinci
1. Kriteria umum (+) 1. Gejala negatif 1. Gejala negatif yang
2. Tidak memenuhi skizofrenia menonjol khas tanpa
kriteria skizofrenia 2. Riwayat satu episode didahului riwayat
paranoid, psikotik yang jelas di halusinasi, waham,

15
hebefrenik, atau masa lalu maupun manifestasi
katatonik 3. Melalui 1 tahun lain psikotik.
3. Tidak memenuhi dimana waham dan 2. Disertai perubahan
kriteria skizofrenia halusinasi sangat perilaku pribadi
residual atau berkurang, dan telah yang bermakna,
depresi post- timbul sindrom apatis atau seolah
skizofrenia negative tidak memiliki
4. Tidak ada kepentingan untuk
demensia/gangguan dirinya sendiri.
otak organik lain

Berikut ini adalah tipe skizofrenia dari DSM-IV-TR (2000). Diagnosis


ditegakkan berdasarkan gejala yang dominan yaitu (Elain, 2010):
1. Tipe Paranoid
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah waham yang mencolok atau
halusinasi auditorik dalam konteks terdapatnya fungsi kognitif dan
afektif yang relatif masih terjaga. Waham biasanya adalah waham kejar
atau waham kebesaran, atau keduanya, tetapi waham dengan tema lain
(misalnya waham kecemburuan, keagamaan, atau somalisas) mungkin
juga muncul. Ciri-ciri lainnya meliputi ansietas, kemarahan, menjaga
jarak dan suka berargumentasi, dan agresif.
2. Tipe Disorganized (tidak terorganisasi)
Ciri utama skizofrenia tipe disorganized adalah pembicaraan
kacau, tingkah laku kacau dan afek yang datar atau inappropriate.
Pembicaraan yang kacau dapat disertai kekonyolan dan tertawa yang
tidak erat kaitannya dengan isi pembicaraan. Disorganisasi tingkah laku
dapat membawa pada gangguan yang serius pada berbagai aktivitas
hidup sehari-hari.
3. Tipe Katatonik
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah gangguan pada psikomotor
yang dapat meliputi ketidakbergerakan motorik (waxy flexibility).
Aktivitas motor yang berlebihan, negativism yang ekstrim, sama sekali
tidak mau bicara dan berkomunikasi (mutism), gerakan-gerakan yang

16
tidak terkendali, mengulang ucapan orang lain (echolalia) atau mengikuti
tingkah laku orang lain (echopraxia).
4. Tipe Undifferentiated
Tipe Undifferentiated merupakan tipe skizofrenia yang
menampilkan perubahan pola simptom-simptom yang cepat menyangkut
semua indikator skizofrenia. Misalnya, indikasi yang sangat ruwet,
kebingungan (confusion), emosi yang tidak dapat dipegang karena
berubah-ubah, adanya delusi, referensi yang berubah-ubah atau salah,
adanya ketergugahan yang sangat besar, autisme seperti mimpi, depresi,
dan sewaktu-waktu juga ada fase yang menunjukkan ketakutan.
5. Tipe Residual
Tipe ini merupakan kategori yang dianggap telah terlepas dari
skizofrenia tetapi masih memperlihatkan gejala-gejala residual atau sisa,
seperti keyakinan-keyakinan negatif, atau mungkin masih memiliki ide-
ide tidak wajar yang tidak sepenuhnya delusional. Gejala-gejala residual
itu dapat meliputi menarik diri secara sosial, pikiran-pikiran ganjil,
inaktivitas, dan afek datar.

G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien skizofrenia dapat berupa terapi biologis
dan terapi psikososial.
1. Terapi Biologis
Pada penatalaksanaan terapi biologis terdapat tiga bagian yaitu
terapi dengan menggunakan obat antipsikosis, terapi elektrokonvulsif,
dan pembedahan bagian otak. Terapi dengan penggunaan obat
antipsikosis dapat meredakan gejala-gejala skizofrenia. Obat yang
digunakan adalah chlorpromazine (thorazine) dan fluphenazine
decanoate (prolixin). Kedua obat tersebut termasuk kelompok obat
phenothiazines, reserpine (serpasil), dan haloperidol (haldol). Obat ini
disebut obat penenang utama. Obat tersebut dapat menimbulkan rasa
kantuk dan kelesuan, tetapi tidak mengakibatkan tidur yang lelap,
sekalipun dalam dosis yang sangat tinggi (orang tersebut dapat dengan

17
mudah terbangun). Obat ini cukup tepat bagi penderita skizofrenia yang
tampaknya tidak dapat menyaring stimulus yang tidak relevan (Akbar,
2008).
Terapi Elektrokonvulsif juga dikenal sebagai terapi electroshock
pada penatalaksanaan terapi biologis. Pada akhir 1930-an,
electroconvulsive therapy (ECT) diperkenalkan sebagai penanganan
untuk skizofrenia.Tetapi terapi ini telah menjadi pokok perdebatan dan
keprihatinan masyarakat karena beberapa alasan. ECT ini digunakan di
berbagai rumah sakit jiwa pada berbagai gangguan jiwa, termasuk
skizofrenia. Antusiasme awal terhadap ECT semakin memudar karena
metode ini kemudian diketahui tidak menguntungkan bagi sebagian besar
penderita skizofrenia meskipun penggunaan terapi ini masih dilakukan
hingga saat ini. Sebelum prosedur ECT yang lebih manusiawi
dikembangkan, ECT merupakan pengalaman yang sangat menakutkan
pasien. Pasien seringkali tidak bangun lagi setelah aliran listrik dialirkan
ke tubuhnya dan mengakibatkan ketidaksadaran sementara, serta
seringkali menderita kerancuan pikiran dan hilangnya ingatan setelah itu.
Adakalanya, intensitas kekejangan otot yang menyertai serangan otak
mengakibatkan berbagai cacat fisik (Akbar, 2008).
Pada terapi biologis lainnya seperti pembedahan bagian otak
memperkenalkan prefrontal lobotomy, yaitu proses operasi primitif
dengan cara membuang “stone of madness” atau disebut dengan batu
gila yang dianggap menjadi penyebab perilaku yang terganggu. Menurut
Moniz, cara ini cukup berhasil dalam proses penyembuhan yang
dilakukannya, khususnya pada penderita yang berperilaku kasar. Akan
tetapi, pada tahun 1950an cara ini ditinggalkan karena menyebabkan
penderita kehilangan kemampuan kognitifnya, otak tumpul, tidak
bergairah, bahkan meninggal.
2. Terapi Psikososial
Gejala-gejala gangguan skizofrenia yang kronik mengakibatkan
situasi pengobatan di dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ)
menjadi monoton dan menjemukan. Secara historis, sejumlah

18
penanganan psikososial telah diberikan pada pasien skizofrenia, yang
mencerminkan adanya keyakinan bahwa gangguan ini merupakan akibat
masalah adaptasi terhadap dunia karena berbagai pengalaman yang
dialami di usia dini. Pada terapi psikosial terdapat dua bagian yaitu terapi
kelompok dan terapi keluarga (Akbar, 2008).
Terapi kelompok merupakan salah satu jenis terapi humanistik.
Pada terapi ini, beberapa klien berkumpul dan saling berkomunikasi dan
terapist berperan sebagai fasilitator dan sebagai pemberi arah di
dalamnya. Para peserta terapi saling memberikan feedback tentang
pikiran dan perasaan yang dialami. Peserta diposisikan pada situasi sosial
yang mendorong peserta untuk berkomunikasi, sehingga dapat
memperkaya pengalaman peserta dalam kemampuan berkomunikasi.
Pada terapi keluarga merupakan suatu bentuk khusus dari terapi
kelompok. Terapi ini digunakan untuk penderita yang telah keluar dari
rumah sakit jiwa dan tinggal bersama keluarganya. Keluarga berusaha
untuk menghindari ungkapan-ungkapan emosi yang bisa mengakibatkan
penyakit penderita kambuh kembali. Dalam hal ini, keluarga diberi
informasi tentang cara-cara untuk mengekspresikan perasaan-perasaan,
baik yang positif maupun yang negatif secara konstruktif dan jelas, dan
untuk memecahkan setiap persoalan secara bersama-sama. Keluarga
diberi pengetahuan tentang keadaan penderita dan cara-cara untuk
menghadapinya. Dari beberapa penelitian, seperti yang dilakukan
ternyata campur tangan keluarga sangat membantu dalam proses
penyembuhan, atau sekurang-kurangnya mencegah kambuhnya penyakit
penderita, dibandingkan dengan terapi-terapi secara individual.

Pada pasien dengan serangan akut, langkah yang harus dilakukan


adalah sebagai berikut (Kaplan dan Sadock, 2010):
1. Langkah Pertama
Dokter dapat melakukan diskusi dan menenangkan pasien
2. Langkah Kedua
a. Terapi medikamentosa

19
Apabila pasien membahayakan dirinya atau orang lain dapat
dilakukan isolasi terlebih dahulu selama 2-4 jam. Pemberian obat
dapat dilakukan secara peroral maupun injeksi.
1) Obat injeksi digunakan untuk mendapat efek lebih cepat,
misalnya haloperidol, dosis 5 mg setiap injeksi intramuscular
dan dapat diulang setiap setengah jam (dosis maksimum
20mg/hari)
2) Obat antipsikotika oral misalnya klorpromazin dengan dosis
300-1000 mg/hari atau trihexipenidil 2 mg sebanyak 3 kali
sehari
b. Psikoterapi, dilakukan untuk mengurangi stimulus dan stressor yang
berlebihan sekaligus memberikan ketenangan kepada pasien.
c. Terapi kejang listrik (electro compulsive therapy) bagi skizofrenia
katatonik dan skizofrenia refrakter
d. Edukasi pada keluarga dan pasien mengenai gangguan yang terjadi
pada pasien, fungsi terapi, peran keluarga, gejala, penyebab, dan cara
mengatasinya.
Pada fase stabilisasi, pasien dapat diberikan terapi sebagai berikut
(Kaplan dan Sadock, 2010):
1. Farmakoterapi dengan dosis optimal selama 8-10 minggu untuk
meminimalisasi konsekuensi kekambuhan, serta optimalisasi fungsi dan
recovery.
2. Psikoedukasi untuk meningkatkan keterampilan pasien dan keluarga,
serta melatih pasien dalam menghadapi gejala.
Pada fase rumatan, pasien dapat diberikan terapi antara lain sebagai
berikut (Kaplan dan Sadock, 2010):
1. Farmakoterapi dengan dosis tapering-off hingga didapatkan dosis
minimal yang mampu mencegah kekambuhan. Farmakoterapi dilakukan
sampai dua tahun.
2. Psikoedukasi yang dilakukan untuk mempersiapkan pasien kembali pada
kehidupan masyarakat. Terapi ini dilakukan dengan cara modalitas

20
rehabilitasi spesifik dan pengenalan gejala prodromal kepada pasien dan
keluarga
3. Terapi psikososial yang mencakup terapi perilaku, terapi keluarga, dan
terapi kelompok.
4. Psikoterapi individual untuk meningkatkan hubungan terapeutik dan rasa
aman pasien.
5. Perawatan di rumah sakit dengan indikasi:
a. Tujuan diagnostik
b. Menstabilkan medikasi
c. Keamanan pasien (jika ada gagasan bunuh diri atau membunuh)
d. Perilaku yang sangat kacau
e. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar

H. Prognosis
Beberapa faktor penentu prognosis yang dapat dilihat antara lain
kepribadian pramorbid, gejala klinik, jenis kelamin, usia serangan, frekuensi
serangan, jenis serangan, dan faktor konstitusi fisik (Syamsir, 2006). Sekitar
10-20% pasien skizofrenia menunjukkan hasil baik, 50% menunjukkan hasil
buruk (berupa rawat inap berulang, gangguan mood, dan usaha bunuh diri)
(Kaplan dan Sadock, 2010).
Beberapa peneletian mengemukakan bahwa pasien skizofrenia yang
dirawayat pada masa periode 5 hingga 10 tahun hanya memiliki hasil
kekembuhan 10 – 20 % dari selururh pasien yang mengalami perawatan. 20 –
30 % pasien mengalami penyembuhan namun tidak sempurna dan 40m- 60 %
pasien masih tetap dalam keadaan semula. Prognosis pasien dengan
skizofrenia dapat di bagi atas 2 keompok besar yaitu kelompok dengan
prognosis baik dan prognosis buruk. Hal hal yang menentukan suatu
prognosis baik atau buruk yaitu (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010):
1. Prognosis baik
a. Onset lambat/ pada usia tua
b. Faktor pencetus jelas
c. Durasi dari awitan bersifat akut

21
d. Riwayat seksual, sosial dan pekerjaan premorbid baik
e. Adanya gangguan mood
f. Menikah
g. Riwayat keluarga gangguan mood
h. Sistem pendukung yang baik
i. Gejala positif
2. Prognosis buruk
a. Onset muda/ pada usia muda
b. Faktor pencetus tidak jelas
c. Durasi dari awitan bersifat kronis
d. Riwayat seksual, sosial dan pekerjaan premodrbid jelek
e. Tidak menikah, bercerai, atau janda/duda
f. Sistem pendukung yang buruk
g. Riwayat keluarga skizofrenia
h. Gejala negative
i. Tanda dan gejala neurologis
j. Riwayat trauma perinatal
k. Tidak ada remisi dalam 3 tahun
l. Banyak relaps
m. Riwayat penyerangan

22
III. METODE PENELITIAN

A. Metode
1. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif
dengan menggunakan pendekatan kuantitatif yaitu suatu metode yang
digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu. Teknik
pengambilan sampel biasanya dilakukan dengan perhitungan teknik
sampel tertentu yang sesuai (Sugiyono, 2011). Rancangan penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui gambaran data demografi keluarga dengan
anggota keluarga yang pernah menderita gangguan jiwa berat
(skizofrenia) pada wilayah kerja UPT Puskesmas Kebumen I.
2. Waktu dan Tempat Penelitian
Tempat : Desa Bandung, Candimulyo, Kembaran, dan Muktisari
Wilayah kerja UPT Puskesmas Kebumen I
Waktu : Februari-Oktober 2018
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Instrumen Penelitiana
Penelitian ini mengambil data yang diperoleh dari kuesioner
Program Keluarga Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS - PK)
pada setiap Kepala Keluarga (KK) di Desa Bandung, Candimulyo,
Kembaran, dan Muktisari wilayah kerja UPT Puskesmas Kebumen I.
b. Populasi
1) Kriteria Inklusi :
a) Anggota keluarga yang bertempat tinggal di Desa Bandung,
Candimulyo, Kembaran, dan Muktisari wilayah kerja
Puskesmas Kebumen I.
b) Anggota keluarga yang baru dan/ atau pernah didiagnosis
gangguan jiwa berat (skizofrenia).
c) Anggota keluarga yang sedang dan/ atau pernah dipasung.

23
c. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik sampling yang digunakan adalah consecutive
sampling yaitu teknik pengambilan sampel dimana setiap subjek
yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dipilih sampai ukuran
sampel yang dibutuhkan tercapai.
Sampel pada penelitian ini adalah anggota keluarga yang
bertempat tinggal di Desa Bandung, Candimulyo, Kembaran, dan
Muktisari wilayah kerja Puskesmas Kebumen I yang menderita
gangguan jiwa berat (skizofrenia).
4. Variabel Penelitian
a. Variabel bebas : Anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa
berat (skizofrenia)
b. Variabel terikat : Angka kepatuhan berobat
5. Definisi Operasional Variabel
a. Usia
Definisi operasional : Usia sejak lahir hingga ulang tahun terakhir
Cara ukur : Ditanyakan dengan menggunakan
kuesioner
Standar : Dinyatakan dalam kelompok usia
1) Balita (0-5 tahun)
2) Anak (6-11 tahun)
3) Remaja awal (12-16 tahun)
4) Remaja akhir (17-25 tahun)
5) Dewasa awal (26-35 tahun)
6) Dewasa akhir (36-45 tahun)
7) Lansia awal (46-55 tahun)
8) Lansia akhir (56-65 tahun)
9) Manula (> 65 tahun)
Skala ukur : Ordinal
b. Jenis kelamin
Definisi operasional :Atribut fisiologis dan anatomis yang
membedakan antara laki-laki dan perempuan saat dilahirkan

24
Cara ukur : Ditanyakan dengan menggunakan
kuesioner
Standar :Dibedakan menjadi laki-laki (L) dan
perempuan (P)
Skala ukur : Nominal
c. Gangguan Jiwa Berat (Skizofrenia)
Definisi operasional : Orang yang mengalami gangguan dalam
pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam
sekumpulan gejala dan atau perubahan perilaku yang bermakna,
serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam
menjalankan fungsi luhur sebagai manusia dalam keseharian (seperti
pekerjaan dan sosial) dengan onset lebih dari 1 bulan.
Cara ukur :Ditanyakan dengan menggunakan
kuesioner, anamnesis, dan pemeriksaan fisik
Standar : Dibedakan menjadi YA atau TIDAK
Skala ukur : Nominal
d. Angka kepatuhan berobat/ minum obat jiwa
Definisi operasional : Penderita gangguan jiwa berat (skizofrenia)
yang berobat dan meminum obat rutin sesuai anjuran dokter
Cara ukur : Ditanyakan dengan menggunakan
kuesioner
Standar : Dibedakan menjadi YA atau TIDAK
Skala ukur : Nominal

B. Pengumpulan Data
1. Jenis Data
Penelitian ini menggunakan data primer yaitu berupa data hasil
wawancara menggunakan kuesioner PIS - PK dan data sekunder
Laporan Program Kesehatan JiwaPuskesmas Kebumen I.
2. Alat pengumpulan data
Alat yang digunakan adalah kuesioner PIS - PK, alat tulis untuk
mencatat data, dan komputer untuk mengolah dan memproses data.

25
3. Cara pengumpulan data
Peneliti mengumpulkan data primer dan sekunder yang didapat
dari PIS - PK Desa Bandung, Candimulyo, Kembaran, dan Muktisari di
wilayah Puskesmas Kebumen I.

C. Tata Urutan Kerja


1. Tahap persiapan meliputi konsultasi dengan pembimbing, studi pustaka,
merancang metodologi penelitian, serta perizinan penggunaan data PIS -
PK dan Laporan Program Kesehatan JiwaPuskesmas Kebumen I Tahun
2018.
2. Merekap data ODGJ dari hasil PIS - PK Desa Bandung, Candimulyo,
Kembaran, dan Muktisari sesuai kriteria inklusi.
3. Mendapatkan data Laporan Program Kesehatan JiwaPuskesmas
Kebumen I Tahun 2018.
4. Mengolah data
5. Menganalisis data.
6. Pembuatan laporan penelitian.
7. Presentasi hasil penelitian.

26
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Profil Puskesmas
Puskesmas Kebumen I adalah salah satu Puskesmas dalam wilayah
Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen. Tepatnya berada di Desa
Panjer, Kecamatan Kebumen, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah.
1. Visi dan misi
a. Visi
Menuju masyarakat sehat dengan pelayanan berkualitas
b. Misi
1) Meningkatkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan
kesehatan,
2) Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu dan
berkeadilan,
3) Bekerja dengan professional,
4) Menyediakan sarana dan prasarana untuk kemudahan akses,
5) Menciptakan inovasi untuk perbaikan berkelanjutan
2. Data geografis
a. Letak Wilayah
Puskesmas Kebumen I terletak pada posisi 7.656o Lintang
Selatan dan 109,670o Bujur Timur. Terdiri dari 11 desa dengan luas
wilayah 1224,854 Ha atau 1,364.0 Km2. Meliputi lahan persawahan
seluas 264,34 Ha (67,61%), tanah tegalan seluas 298,95 (13,60%)
tanah pekarangan 598,985 Ha (25,92%), lain-lain 62,914 Ha
(2,87%).
Puskesmas Kebumen I mempunyai wilayah binaan 9 desa
dan 2 kelurahan. Terdiri dari Desa Bandung, Candimulyo,
Candiwulan, Kalijirek, Kawedusan, Kembaran, Sumberadi,

27
Muktisari, dan Murtirejo dan 2 Kelurahan yaitu Panjer dan
Tamanwinangun.
b. Batas Wilayah
Batas-batas wilayah sebagai berikut:
1) Sebelah Barat : Wilayah kerja Puskesmas Kebumen III
2) Sebelah Selatan : Wilayah kerja Puskesmas Bulupesantren
3) Sebelah Timur : Wilayah kerja Puskesmas Kebumen II
4) Sebelah Utara : Wilayah kerja Puskesmas Alian
3. Data demografis
a. Pertumbuhan dan Persebaran Penduduk
Masalah utama kependudukan adalah jumlah penduduk yang
besar, persebaran yang kurang merata serta komposisi penduduk
yang kurang menguntungkan dimana proporsi penduduk yang
berusia muda relatif lebih tinggi berimplikasi pada rasio beban
tanggungan. Jumlah penduduk pada akhir tahun 2017 di wilayah
kerja Puskesmas Kebumen I sebanyak 46.388 dengan rincian jenis
kelamin pria sebanyak 23.764 jiwa dan wanita sebanyak 22.624
jiwa, dengan kepadatan penduduk rata-rata 34.009/Km2.
b. Komposisi Penduduk Menurut Kelompok Umur
Komposisi penduduk menurut kelompok umur dapat
menggambarkan tinggi rendahnya tingkat kelahiran. Selain itu
komposisi penduduk juga mencerminkan Rasio Beban Tanggungan
(Dependency Ratio) yaitu perbandingan antara penduduk umur non
produktif (umur 0 - l4 tahun + umur 65 tahun keatas) dengan
penduduk produktif (umur 15 - 64 tahun). Tingginya Dependency
Ratio mencerminkan besarnya beban tanggungan pemerintah secara
ekonomi di wilayahnya. Rasio Beban Tanggungan untuk wilayah
Puskesmas Kebumen I tahun 2017 sebesar 40,68% dengan penduduk
sebesar 46.388 jiwa yang terdiri dari penduduk usia produktif (15 -
64 tahun) 32.973 jiwa (laki-laki 17.002 jiwa dan perempuan 15.971
jiwa), anak-anak dan remaja (usia 0 - 14 tahun) 10.422 jiwa (laki-

28
laki 5.360 jiwa dan perempuan 5.062 jiwa) dan lanjut usia ( > 65
tahun ) 2.993 jiwa.
4. Sumber Daya Kesehatan
a. Sarana dan Prasarana Kesehatan
1) Puskesmas
Puskesmas memiliki fungsi sebagai: 1) pusat
pembangunan berwawasan kesehatan, 2) pusat pemberdayaan
masyarakat, 3) pusat pelayanan kesehatan strata pratama, yang
meliputi pelayanan kesehatan perorangan dan pelayanan
kesehatan masyarakat. Pada tahun 2017 Puskesmas Kebumen I
memiliki fasilitas kesehatan rawat jalan dan rawat inap
persalinan. Rawat jalan Puskesmas Kebumen I terdiri dari ruang
informasi, ruang pendaftaran, ruang poli dokter umum, ruang
poli dokter gigi, ruang tindakan, ruang poli lansia, ruang KIA/
KB, ruang laboratorium, ruang farmasi, ruang MTBS, ruang
IMS, ruang ASI, ruang TB, ruang konsultasi gizi dan konsultasi
sanitasi, ruang imunisasi, ruang kepala puskesmas, ruang TU,
dan rawat inap terdiri dari IGD VK, ruang perawat, ruang
bersalin, ruang rawat inap nifas, ruang dapur dan 2 ambulance
serta 5 sepeda motor. Puskesmas Kebumen I memiliki 1
Puskesmas Induk, 2 Puskesmas Pembantu, 8 Poliklinik
Kesehatan Desa, 47 Posyandu Balita, 8 Posyandu Lansia, 3
Balai Pengobatan, serta 11 pos pembinaan terpadu (posbindu).
2) Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat
Posyandu adalah salah satu UKBM wahana kesehatan
bersumber daya masyarakat yang mempunyai kegiatan utama
diantaranya KIA, KB, Gizi, lmunisasi dan P2 Diare yang
dilakukan dari, oleh, untuk masyarakat. Posyandu Menurut
Strata di Wilayah Puskesmas Kebumen I Tahun 2017 yaitu
12,76% Madya, 55,32% Purnama dan 31,91% posyandu
Mandiri.
b. Sumber daya kesehatan

29
Sumber daya kesehatan yang memberikan pelayanan
kesehatan di Puskesmas Kebumen I adalah 1 kepala puskesmas, 1
kepala sub bagian tata usaha, 2 dokter umum (1 PNS dan 1 BLUD),
1 dokter gigi, 13 bidan, 9 perawat, 2 perawat gigi, 1 apoteker, 1
epidemiolog kesehatan, 2 kesehatan lingkungan, 2 analisis
kesehatan, 1 ahli gizi, 1 penyuluh kesehatan masyarakat, dan 3 orang
staff.

B. Hasil dan Pembahasan


Hasil PIS - PK bulan Februari-Oktober 2018 terkait indikator
kesehatan jiwa yaitu ODGJ di Desa Bandung, Candimulyo, Kembaran, dan
Muktisari didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 4.1 Prevalensi ODGJ dan Angka Kepatuhan Berobat di 4 Desa
berdasarkan PIS - PK 4 Februari-Oktober 2018
No. Desa/ ODGJ Tidak Total Persentase
Kelurahan Teratur Teratur ODGJ Kepatuhan
Berobat dan Berobat Dikunjungi Berobat
Tidak
Ditelantarkan
1. Bandung 3 6 9 33,33%
2. Candimulyo 3 6 9 33,33%
3. Kembaran 0 0 0 0,00%
4. Muktisari 4 9 13 30,77%
Total 10 21 31 32,25%

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa selama kunjungan PIS - PK


ditemukan pasien ODGJ baru ataupun sekaligus verifikasi pasien lama yang
sudah terdata di Puskesmas Kebumen I. Dari 4 Desa yang sudah dilaksanakan
PIS - PK, didapatkan 31 ODGJ yang dikunjungi, 10 diantaranya sudah rutin
berobat dan tidak ditelantarkan/ tidak dipasung, sedangkan sisanya 21 ODGJ
masih belum teratur berobat. Sehingga diperoleh angka prosentase kepatuhan
berobat/ minum obat pada ODGJ sebesar 32,25%. Angka kepatuhan tertinggi
di Desa Muktisari dikarenakan penemuan ODGJ paling banyak di Desa

30
tersebut, diikuti Desa Bandung dan Candimulyo. Sedangkan di Desa
kembaran tidak ditemukan ODGJ pada saat pendataan PIS - PK. Angka
kepatuhan berobat tersebut masih rendah, bahkan belum mencapai 50% dari
jumlah ODGJ yang ditemukan/ dikunjungi. Apalagi SPM untuk pasien jiwa
seharusnya 100%.

Tabel 4.2 Prevalensi ODGJ dan Angka Kepatuhan Berobat di 4 Desa


berdasarkan Laporan Program Kesehatan JiwaPuskesmas Kebumen I Tahun
2018
No. Desa/ ODGJ Tidak Total Persentase
Kelurahan Teratur Teratur ODGJ Kepatuhan
Berobat Berobat Dikunjungi Berobat
1. Bandung 9 3 12 75,00%
2. Candimulyo 5 0 5 100,00%
3. Kembaran 1 2 3 33,33%
4. Muktisari 10 6 16 62,50%
Total 25 11 36 69,44%

Berdasarkan tabel 4.2, jumlah penderita ODGJ pada beberapa Desa


terdapat selisih antara hasil PIS - PK (31 ODGJ) dengan Laporan Program
Kesehatan JiwaPuskesmas Kebumen I hingga Desember 2018 (36 ODGJ).
Selisih tersebut dapat dikarenakan penambahan kasus baru ODGJ
dibandingkan pada saat PIS – PK yang dilakukan mulai Februari 2018 di
Bandung hingga Oktober 2018 di Muktisari. Jumlah ODGJ yang teratur
berobat jika dibandingkan hasil PIS - PK, maka jumlahnya meningkat/
menjadi lebih banyak pada Laporan Program Kesehatan Jiwatahun 2018. Hal
tersebut dikarenakan petugas PIS - PK yang menemukan ODGJ baru/ belum
berobat teratur akan dilaporkan ke penanggung jawab Program Kesehatan
Jiwa. Selanjutnya dikunjungi kembali dan diedukasi, bahkan dapat difasilitasi

31
berupa diantarkan ke Shelter Jiwa di Puskesmas Pejagoan, tergantung kondisi
ODGJ saat dikunjungi/ home visit.
Dari total 36 ODGJ di keempat Desa, maka 25 sudah berobat teratur
dan 11 masih belum teratur/ putus obat. Sehingga angka kepatuhan berobat
sebesar 69,44%. Angka kepatuhan ini meningkat sekitar 2 kali lipat dari hasil
PIS - PK.

Tabel 4.3 Data Pemasungan ODGJ Berdasarkan PIS - PK dan Laporan


Program Kesehatan Jiwa2018 di 4 Desa
ODGJ Jumlah
Dipasung 0
Tidak dipasung 36

Di 4 Desa yang sudah dilakukan PIS - PK tidak ditemukan adanya


pemasungan ODGJ (tabel 4.3). Di Puskesmas Kebumen I secara keseluruhan
masih ditemukan 2 ODGJ di Kelurahan Panjer yang terverifikasi dipasung
oleh keluarganya. Menurut petugas yang mengunjungi pasien, pemasungan
diakibatkan pemahaman keluarga yang rendah akan ODGJ, persepsi yang
keliru seperti takut pasien menyerang/ mengganggu keluarga dan masyarakat
sekitar, serta keluarga pasien masih belum rutin membawa pasien kontrol
berobat ataupun mengambilkan obat untuk pasien. Pemasungan akan
mengacaukan hasil pengobatan dan prognosis. Indonesia sendiri masih
menggalakkan Gerakan Bebas Pasung karena ODGJ berhak untuk
mendapatkan perlakuan serta layanan kesehatan yang manusiawi, hal ini
diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 54 Tahun
2017 tentang Penanggulangan Pemasungan pada Orang dengan Gangguan
Jiwa.

32
Tabel 4.4 Distribusi usia ODGJ di 4 Desa berdasarkan Laporan Program
Kesehatan JiwaTahun 2018
Usia Bandung Candi- Kembaran Muktisari Jumlah Persentase
(tahun) mulyo (%)

0–5 0 0 0 0 0 00,00
6 – 11 0 0 0 0 0 00,00
12 – 16 0 0 0 0 0 00,00
17 – 25 4 2 0 5 11 30,56
26 – 35 3 1 3 4 11 30,56
36 – 45 2 2 0 4 8 22,22
46 - 55 1 0 0 3 4 11,11
56 - 65 1 0 0 0 1 2,78
> 65 1 0 0 0 1 2,78

Total 12 5 3 16 36 100,00

Distribusi persebaran usia ODGJ pada tabel 4.4 menunjukkan bahwa


penderita ODGJ paling banyak pada usia 17 - 25 tahun (remaja akhir) dan 26
- 35 tahun (dewasa awal) yaitu 30,56%. Selanjutnya diikuti rentang usia 36 –
45 tahun (dewasa akhir) sebanyak 22,22%. Sedangkan semakin tua usia
(lansia dan manula) semakin sedikit angka kejadian ODGJ di wilayah
Puskesmas Kebumen I yaitu 11,11% (lansia awal) dan 2,78% (lansia akhir

33
dan manula). Sehingga bisa disimpulkan ODGJ di Puskesmas Kebumen I
terjadi paling banyak pada usia produktif.
Distribusi usia sampel sesuai dengan data epidemiologi insidensi
skizofrenia di seluruh dunia paling tinggi pada rentang usia 15 - 35 tahun.
Prevalensi global pada usia tersebut adalah 1,1%, sedangkan di Indonesia
adalah 0,3% - 1%. Skizofrenia merupakan penyakit mental yang paling
menyebabkan suatu kemunduran. Psikopatologi ini secara tipikal didiagnosis
pada usia di antara 20 - 25 tahun, suatu fase kehidupan di mana hampir setiap
manusia memperoleh kebebasan dari orang tua, menjalin suatu hubungan
romantis yang intim, merencanakan pencapaian-pencapaian dalam hal
pendidikan, dan dimulainya kehidupan berkarir pada seseorang. Prevalensi
skizofrenia di Amerika Serikat dilaporkan bervariasi terentang dari 1 sampai
1,5 persen dengan angka insidensi 1 per 10.000 orang per tahun (Bhugra,
2005).
Tabel 4.5 Distribusi Jenis Kelamin ODGJ di 4 Desa berdasarkan Laporan
Program Kesehatan JiwaTahun 2018
Jenis Bandung Candi- Kembaran Muktisari Jumlah Persentase
Kelamin mulyo (%)

Laki – laki 11 3 2 9 25 69,44


Perempuan 1 2 1 7 11 30,56
Total 12 5 3 16 36 100,00

Berdasarkan table 4.5, jenis kelamin ODGJ di Puskesmas Kebumen I


lebih banyak laki – laki daripada perempuan yaitu 69,44%. Sedangkan data
epidemiologi menyatakan prevalensi skizofrenia berdasarkan jenis kelamin
adalah sama, perbedaannya terlihat pada onset dan perjalanan penyakit.
Untuk laki - laki 15 sampai 25 tahun sedangkan wanita 25 sampai 35 tahun.
Hasil ini sesuai dengan data epidemiologi karena memang rentang usia pasien
ODGJ di 4 Desa tersebut berkisar usia 17 – 35 tahun (Riskesdas, 2013).

34
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Angka prevalensi ODGJ berdasarkan data hasil PIS – PK di ke 4 Desa
yaitu 31 ODGJ dengan rincian Desa Bandung 9, Candimulyo 9,
Kembaran 0, dan Muktisari 13. Sedangkan angka prevalensi ODGJ
berdasarkan Laporan Program Kesehatan Jiwa Puskesmas Kebumen I
Tahun 2018 lebih banyak yaitu 36 ODGJ dengan rincian Desa Bandung
12, Candimulyo 5, Kembaran 3, dan Muktisari 16.
2. Angka kepatuhan berobat ODGJ dari data PIS - PK pada 4 Desa yaitu
32,25% atau sebanyak 10 dari 31 ODGJ. Sedangkan angka kepatuhan
berobat ODGJ berdasarkan Laporan Program Kesehatan Jiwa Puskesmas
Kebumen I Tahun 2018 meningkat menjadi 64,44% atau sebanyak 25
dari 36 ODGJ.
3. Angka pemasungan di 4 Desa baik dari hasil PIS - PK maupun Laporan
Program Kesehatan Jiwa Puskesmas Kebumen I Tahun 2018 yaitu tidak
ditemukan pemasungan ODGJ.
4. Distribusi usia ODGJ pada 4 Desa berdasarkan Laporan Program
Kesehatan Jiwa Puskesmas Kebumen I Tahun 2018 paling banyak pada
rentang usia 17 – 25 tahun (remaja akhir) dan usia 26 – 35 tahun (dewasa
awal) yaitu masing-masing 30,56% atau 11 ODGJ. Sedangkan pada usia

35
lansia dan manula angka temuan kejadian ODGJ menurun. Artinya
sebagian besar ODGJ di wilayah Puskesmas Kebumen I berusia
produktif.
5. Distribusi jenis kelamin ODGJ pada 4 Desa berdasarkan Laporan
Program Kesehatan Jiwa Puskesmas Kebumen I Tahun 2018
menunjukkan lebih banyak laki – laki daripada perempuan yaitu 69,44%.

B. Saran
1. Perlu adanya penyuluhan/ pemberian informasi oleh tenaga kesehatan
kepada masyarakat tentang gejala dan tanda, faktor risiko, terapi, serta
dukungan terhadap ODGJ.
2. Perlu juga penyuluhan tentang kepatuhan berobat pasien ODGJ kepada
keluarga pasien untuk meningkatkan keberhasilan terapi, seperti melalui
program Walidjemino yang sudah ada di Puskesmas Kebumen I, tinggal
ditingkatkan lagi monitoring dan evaluasinya.
3. Perlu adanya dukungan keluarga yang sangat berpengaruh terhadap
kepatuhan terapi pada pasien ODGJ, seperti inovasi program Punggawa
yang akan dilaksanakan di Puskesmas Kebumen I mulai tahun 2019
melalui perkumpulan rutin keluarga ODGJ.
4. Optimalisasi lagi Pandu PTM yang ada di Puskesmas Kebumen I.
5. Perlu adanya peningkatan sinkronisasi pelaporan dan pencatatan data
lengkap ODGJ yang ditemukan/ dikunjungi saat PIS – PK dengan data
Laporan Program Kesehatan Jiwa Puskesmas Kebumen I.
6. Harapan akan dilakukannya penelitian lebih lanjut mengenai faktor-
faktor lain yang mempengaruhi kepatuhan berobat pasien ODGJ di
wilayah Puskesmas Kebumen I dengan memprioritaskan identifikasi
masalah.

36
DAFTAR PUSTAKA

Akbar, M. 2008. Hubungan Dukungan Sosial Keluarga terhadap Tingkat


Kekambuhan Penderita Skizofrenia di RS Grhasia Yogyakarta.
Yogyakarta: Penerbit Universitas Islam Indonesia.

Ashturkar, M.D., and Dixit, J.V. 2013. Selected Epidemiological Aspect of


Schizophrenia: A Cross Section Study at Terytyari Care Hospital in
Maharashtra. National Journal of Community Medicine. 4 (1): 65-69.

Baihaqi, Sunardi, Riksma, dan Euis. 2005. Pskiatri. Bandung: Refika Aditama.

Bhugra, D. 2005. The global prevalence of schizophrenia. PLoS Med. 2 (5): 151.

Budiarto, Eko. 2004. Metodologi Penelitian Kedokteran. Jakarta: EGC.

Elain, M. E. 2010. Patient’s Perception of Family Involvement and Its


Relationship to Medication Adherence for Persons with schizophrenia
and Schizoaffective Disorders. Journal Social Science. New Jersey: The
State University of New Jersey.

Hawari. 2014. Skizofrenia Pendekatan Holistik (Bio-Psiko-Sosial). Jakarta:


Penerbit FK UI.

Kaplan, H.I., Sadock B.J., and Grebb J.A. 2010. Sinopsis Psikiatri (Alih bahasa:
Widjaja Kusuma). Jakarta: Binarupa Aksara.

37
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013.
Jakarta: Kementerin Kesehatan Republik Indonesia.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016.Pedoman Umum Program


Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga. Jakarta: Kesehatan
Kementerin Kesehatan Republik Indonesia.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Modul Pelatihan Keluarga


Sehat: Pokok Bahasan 2 Kesehatan Jiwa. Jakarta: Badan Pusat Pelatihan
SDM Kesehatan Kementerin Kesehatan Republik Indonesia.

Maslim, R. 2003. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas dari
PPDGJ III. Jakarta: FK Unika Atmajaya.

Pakpahan, dan Sri Hertika. 2012. Karakteristik Penderita Skizofrenia Rawat Inap
di Rumah Sakit Jiwa Medan Tahun 2001. Sumatera Utara: FK USU.

Towsend, M.C. 2011. Psychiatric Mental Health Nursing: Concepts of Care In


Evidence-Based Practice. Philadelphia: F.A. Davis Company.

Videbeck, S.L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.

World Health Organization. 2016. Mental Health. Geneva: World Health


Organization.

World Health Organization. 2017. Mental Health Atlas. Geneva: World Health
Organization.

38
39

Anda mungkin juga menyukai