Anda di halaman 1dari 14

ABSTRAKSI

Untuk menjamin netralitas penyelenggara, artikel ini merekomendasikan pencantuman


lambang koalisi partai politik di kertas suara pemilu presiden-wakil presiden yang
mengedepankan prinsip keadilan terhadap akses kertas suara setiap peserta pemilu. Secara
paralel, Peraturan KPU mendorong pelembagaan koalisi partai politik pengusung pasangan
calon pemilu presiden-wakil agar lebih solid lewat penyatuan platform tiap koalisi dengan
serangkaian peraturan teknis dan alat peraga kampanye.

Latar Belakang
Pemilihan umum (pemilu) merupakan metode konversi suara menjadi “kursi” dalam
sistem demokrasi. Pelaksanaan pemilu merupakan salah satu bentuk pemenuhan kedaulatan
rakyat di bidang politik. Sebab, tidak mungkin rakyat menjalankan pemerintahan secara
langsung. Oleh karena itulah pemilu dibutuhkan untuk memilih perwakilan rakyat untuk
memerintah dalam rentang periode tertentu. Melalui pemilu diharapkan proses politik yang
berlangsung akan melahirkan suatu pemerintahan baru yang sah, demokratis, dan benar-benar
mewakili pemilih.
Sepanjang sejarah, Indonesia telah menyelenggarakan 11 kali pemilu. Pada awalnya,
pemilu ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan
DPRD Kabupaten/Kota. Namun, sejak amandemen UUD 1945 tahun 2002, pemilihan presiden
dan wakil presiden juga disepakati melalui mekanisme pemilu langsung oleh rakyat. Sehingga
tugas MPR yang sebelumnya sebagai lembaga yang mewakili rakyat dalam pemilihan kepala
negara tak lagi berlaku. Sejak tahun 2004, pemilu presiden-wakil presiden menjadi bagian
pemilu nasional yang dilakukan rutin 5 tahun sekali.
Pada tahun 2019, pemilu akan dilakukan untuk memilih pasangan presiden-wakil
presiden, 575 anggota DPR, 136 anggota DPD, serta anggota DPRD (Provinsi maupun
Kabupaten/Kota) se-Indonesia. Ribuan jabatan publik akan dikocok ulang untuk periode
jabatan 2019–2024. Pemilu 2019 ini diharapkan mampu menjadi alat regenerasi kekuasaan
dengan tingkat keterwakilan politik yang tinggi, sehingga dapat menjadi legitimasi yang kuat
dalam menjalankan pemerintahan ke depan.
Berbeda dengan tiga pemilu sebelumnya, pelaksaan pemilu legislatif (pileg) dan pemilu
presiden-wakil presiden (pilpres) tahun 2019 akan dilaksanakan secara serentak. Secara umum,
pemilu serentak atau concurrent election dalam konteks Indonesia adalah penyelenggaraan
pemilu legislatif yang dilakukan secara bersamaan dengan pemilu eksekutif nasional (presiden
dan wakilnya). Terdapat cukup beragam model pemilu serentak yang dikenal di dunia. Pemilu
serentak bahkan termasuk penyelenggaraan pemilu untuk tingkat supranasional, yakni
pemilihan anggota parlemen Eropa secara berbarengan dengan pemilu nasional, regional atau
lokal.1 Mengacu pada pelaksanaan pemilu serentak di negara-negara lain sebagai hipotesis,
pengujicobaan sistem tersebut pada tahun 2019 diyakini mampu berdampak positif pada sistem
kenegaraan Indonesia.
Secara format, tak ada perbedaan yang berarti selain poin keserentakan legislatif-
eksekutif di tingkat nasional. Pemilu DPR tetap menggunakan sistem proporsional, DPD
menggunakan sistem mayoritarian berwakil banyak, dan pilpres menggunakan sistem yang
digunakan adalah plurality (50%+1). Oleh karenanya, besar kemungkinan fenomena-fenomena
Pemilu 2019 akan sama dengan agenda-agenda sebelumnya. Namun, poin keserentakan jelas
membuat pihak penyelenggara dan peserta pemilu perlu mempersiapkan diri dalam
perencanaan program, pendaftaran, kampanye, pemungutan suara dalam satu waktu.
Dalam pelaksanaan kampanye, partai politik (parpol) akan mempromosikan kandidat-
kandidat terbaiknya di berbagai level kompetisi. Hal yang akan terlihat kentara adalah ketika
semua parpol menawarkan calon legislatifnya bersamaan dengan pasangan calon presiden-
wakil presiden kepada publik. Nantinya, kegiatan kampanye pasti akan menguras energi setiap
parpol yang lebih ekstra jika dibandingkan dengan kampanye caleg dan capres-cawapres pada
pemilu sebelumnya yang dilaksanakan secara terpisah.
Namun demikian, momen pemilu serentak ini nampaknya menjadi tantangan bagi
partai-partai nonparlemen. Di satu sisi, pemilu 2019 akan memberikan peluang untuk
berkampanye dan berusaha mencapai parliamantary treshold 4% suara nasional. Namun di sisi
lain, Peraturan KPU yang dirilis pada 7 Mei 2018 membuat upaya tersebut melemah karena
perubahan struktur kertas suara yang tidak berpihak pada mereka.

Permasalahan
Dalam usulan rancangan Peraturan KPU yang dirilis pada 7 Mei 2018, Komisi
Pemilihan Umum (KPU) menyatakan bahwa surat suara Pemilihan Umum Presiden 2019
hanya dapat memuat logo partai politik pengusul pasangan calon presiden dan calon wakil
presiden yang memenuhi syarat (bisnis.com/8 Mei 2018). Sesuai UU Pemilu 2017, partai yang
memenuhi syarat sebagai pengusul capres adalah yang memiliki 20 persen kursi suara DPR
atau 25 persen suara nasional pada Pileg tahun 2014. Mereka adalah 10 parpol parlemen masa

1
Electoral Research Institute – LIPI, (2014), Position Paper Pemilu Nasional Serentak 2019, hlm. 15.
jabatan 2014-2019: NasDem, PKB, PKS, PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN,
PPP, dan Hanura.
Peraturan KPU tersebut ditanggapi beragam oleh pihak parpol. Pasalnya,
pemberlakukan peraturan ini berimplikasi pada hilangnya kesempatan yang sama terhadap
partai-partai lain dalam konteks kepesertaan dalam pilpres. Artinya, enam partai yang sah
sebagai peserta pemilu 2019 tak diberikan hak pencantuman nama dan logo partai dalam surat
suara Pilpres. Mereka adalah PBB, PSI, PKPI, Partai Berkarya, Partai Garuda, dan Perindo.
Atas kondisi tersebut, posisi enam partai nonparlemen menjadi dilematis. Di satu sisi,
pelaksanaan pemilu serentak membuat partai-partai berkampanye untuk pileg dan pilpres.
Sedangkan, di sisi lain enam partai nonparlemen itu tidak terakomodasi atas kepentingan yang
sama dalam mengusung pasangan capres-cawapres tertentu.
Bagi partai parlemen, gabungan partai merupakan syarat mutlak jika ingin mengusung
pasangan capres-cawapres. Pasalnya, tak ada satu pun partai yang memenuhi syarat sebagai
pengusul tunggal pasangan calon. Bahkan, PDI Perjuangan sebagai pemenang pemilu 2014
hanya mengantongi 18% suara nasional dan kursi parlemen. Oleh karenanya, partai peserta
pilpres pasti berkoalisi untuk mengusung kandidat tertentu. Sementara itu, kehadiran partai
nonparlemen hanya diperbolehkan untuk mendukung opsi pasangan calon yang diusulkan oleh
parpol parlemen.

Pertanyaan Penelitian
Atas kondisi tersebut, muncul pertanyaan penting tentang kesesuaian antara regulasi
tersebut dengan kajian teoritis pemilu. Adakah aspek-aspek prinsipil kepemiluan yang tak
direpresentasikan dalam kasus empiris di atas? Oleh sebab itu, tulisan ini mengajukan
pertanyaan tentang bagaimana pengaturan sistem pemilu presiden-wakil presiden agar tetap
menjamin prinsip penyelenggaraan pemilu yang adil dan setara?

Landasan teori
A. Sistem Pemilu (Electoral System)
Secara umum, sistem pemilu merupakan seperangkat metode yang digunakan pemilih
(voters) untuk memilih di antara opsi pilihan. Lijphart menyatakan bahwa sistem pemilu adalah
persoalan tentang siapa (yang memilih dan dipilih) dan bagaimana caranya. 2 Dengan bahasa

2
Arend Lijphart, (1994), Electoral Systems and Party Systems: A Study of Twenty Seven Democracies, 1945-
1990, Oxford University Press. hlm. 158.
yang lain, Farrell mengatakannya sebagai mekanisme yang menentukan pihak menang dan
kalah setelah proses kampanye berakhir. 3 Secara umum, penjelasan tentang sistem pemilu
diarahkan pada jenis pemilihan yang diterapkan untuk mengubah suara menjadi kursi, baik
pada level eksekutif maupun legislatif. Farrell menjelaskan sistem pemilu (electoral system)
dengan hukum pemilu (electoral law) untuk menegaskan perbedaannya. Hukum pemilu
merupakan bagian dari perangkat hukum negara yang secara khusus berisi tentang legislasi
kepemiluan, sedangkan sistem pemilu yang mengatur pelaksanaan pemilu seperti bagaimana
pemilik suara memilih, model surat suara, metode perhitungan suara, dan penentuan kandidat
yang terpilih.4

B. Efek Ekor Jas (Coattail Effect)


Efek ekor jas (coattail effect) merupakan istilah yang menjelaskan perilaku pemilih
akibat dari pengaruh kandidat politik populer untuk mendukung kandidat lain (perorangan atau
institusi) dalam partai yang sama. Dalam kajian politik, coattail effect lebih banyak digunakan
untuk menjelaskan kecenderungan kandidat presiden untuk mengatrol suara legislatif.5 Pada
pemilu presiden dan anggota legislatif yang simultan, keterpilihan presiden memberikan
dampak elektoral pada pemilihan di tingkat lain akibat dari kesamaan partai yang pengusung.6
Bahkan dalam kondisi melemahnya identifikasi partisan dan mengingkatnya kekuatan finansial,
studi Campbell dan Sumners menunjukkan bahwa dalam kasus Amerika Serikat, keterpilihan
presiden berpengaruh pada suara senat dalam partai yang sama.7 Coattail effect terjadi akibat
informasi tentang kandidat legislatif yang cenderung membingungkan, sehingga keputusan
pemilih diambil berdasarkan ketertarikannya pada kebijakan di level atas (tingkat presiden).8

C. Koalisi Pemilu (Pre-Electoral Coalition)


Di sebagaian besar negara demokratis, partai-partai politik yang memperebutkan posisi
eksekutif “dipaksa” untuk membangun koalisi. Efeknya, mereka tentu akan membentuk koalisi
sebelum pemilu (Pre-Electoral Coalition) atau ketika sudah memenangkan pemilu

3
David M. Farrell, (1997), Comparing Electoral Systems, Macmillan Education UK. hlm. 4.
4
Ibid.
5 http://sk.sagepub.com/reference/encyclopedia-of-social-media-and-politics/n111.xml diakses pada 29

Mei 2018 pukul 23.00 WIB


6 T.Y. Wang, (2016), Presidential Approval, Coattail, and Electoral Successes: An Analysis of Taiwan’s 2016

Legislative Election. Taiwan Democracy Symposium.


7 James E. Campbell and Joe A. Sumners, Presidential Coattails in Senate Elections, The American Political

Science Review, Vol. 84, No. 2 (Jun., 1990), pp. 513-524.


8 Ibid., T.Y. Wang
(Government Coalition) 9 . Golder (2006) menyatakan bahwa pre-electoral coalition dalam
pemilu proporsional ditujukan untuk mengurangi permasalahan longgarnya ikatan pemilih
terhadap calon presiden dan partai. Koalisi pemilu akan menggabungkan parpol-parpol yang
memiliki kesamaan ideologi dan/atau platform. Hasilnya, koalisi pemilu mungkin akan
meningkatkan transparansi demokrasi dan menghasilkan koalisi pemerintah yag punya
legitimasi dan mandat yang kuat.10

Pembahasan
Di antara macam-macam lembaga politik, pemilu diyakini merupakan mekanisme
prosedural paling manipulatif yang mempengaruhi seluruh kelembagaan negara. Reilly dan
Reynolds melihat urgensitas pemilu karena dampaknya yang langsung dan menyeluruh pada
kehidupan politik suatu negara dibandingkan institusi politik lainnya.11 Berubahnya komposisi
ribuan jabatan publik pada waktu yang bersamaan tentu berdampak besar pada
penyelenggaraan negara ke depan. Pemilu menjadi satu-satunya prosedur demokrasi yang
melegitimasi tindakan dan wewenang tokoh politik dalam lembaga eksekutif atau legislatif—
yang awalnya hanya seorang kontestan pemilu.
Tidak hanya sebagai mekanisme regenerasi yang dilaksanakan secara damai, pemilu
harus memperhatikan tujuan pelaksanannya dalam konteks pembangunan nasional. Pemilu
diperlukan sebagai medium penguatan lembaga-lembaga negara, kohesitas masyarakat, dan
pendidikan politik warga negara. Lijphart mengatakan bahwa studi tentang sistem pemilu
berdampak besar pada pembangunan demokrasi politik suatu negara. Pilihan terhadap suatu
sistem pemilu harus benar-benar dipahami dampak politik yang akan terjadi pada level sistem
dan juga individu.12
Hingga pemilu ke-15 yang akan digelar tahun depan, pemangku kebijakan di Indonesia
tetap sepakat untuk kembali menerapkan sistem pemilu proporsional (proportional
representation) dengan hasil yang diakui kesuksesannya. Sistem ini dianggap lebih
representatif terhadap fakta pluralitas yang ada di masyarakat. Indonesia membuktikan bahwa
sistem proporsional mampu mengakomodasi terpilihnya kelompok minoritas, perempuan, dan

9
Sona Nadenichek Golder, (2006), The Logic of Pre-Electoral Coalition Formation, Columbus, The Ohio State
University Press, hlm. xi.
10 Ibid.
11 Reilly Ben dan Andres Reynolds, (1998), Sistem Pemilu (Terj), International IDEA, hlm. 2
12 Arend Lijphart, (1994), Electoral Systems and Party Systems: A Study of Twenty Seven Democracies, 1945-

1990, Comparative Democracies, Oxford University Press. hlm. 157.


partai kecil—yang pada gilirannya mampu meredam gejolak politik dan menguatkan sistem
pemerintah.
Sistem pemilu di Indonesia jelas bukan tanpa cela. Dari aspek kelembagaan, Pipit dan
Faishal menyatakan bahwa sistem pemilu Indonesia masih belum tersusun secara sistematis,
logis, dan taat asas. 13 Mereka melihat pentingnya kebijakan rekayasa pemilu (electoral
engineering) yang lebih komprehensif untuk dapat mengevaluasi tata kerja sistem pemilu yang
dijalankan suatu negara. Sebagaimana Giovani Sartori mengatakan bahwa rekayasa pemilu
adalah tentang upaya intervensi politik dalam rangka memperbaiki proses pembangunan
politik.14 Tentu tujuan sistem pemilu tak bisa dilepaskan dari sistem kepartaian, parlemen, dan
pemerintahan yang hendak dituju suatu negara.
Pada tingkatan paling dasar, pemilu merupakan metode translasi suara menjadi “kursi”
dalam sistem demokrasi. Lewat pemilu diharapkan proses politik yang berlangsung akan
melahirkan suatu pemerintahan baru yang sah, demokratis dan representatif. Menurut Douglas
Rae (1971) substansi pemilu sebenarnya terbatas pada operasionalisasi tiga hal; formulasi
elektoral yang membahas sistem pemilihan, besaran daerah pemilihan (district magnitude), dan
strukturisasi kertas suara (ballot structure). 15 Ketiganya merupakan komponen yang saling
terkait satu sama lain. Harapannya sistem pemilu memiliki derajat keterwakilan tinggi dengan
pelakanaan yang jujur dan berkeadilan sehingga memenuhi asas konstituensi dalam
pembentukan pemerintah.16

Strukturisasi Kertas Suara


Studi tentang kertas suara (ballot structure) merupakan hal yang penting dari rangkaian
proses pemilu. Reynolds dan Steenberger mengatakan bahwa kertas suara merupakan
perangkat dengan tingkat manipulasi tinggi yang mempengaruhi perilaku memilih.17 Secara
umum, komponen-komponen di dalamnya ada simbol, foto, layout, dan warna mempunyai
makna politis tertentu. Oleh karenanya, aspek-aspek tersebut yang sangat penting diperhatikan
oleh semua pihak yang berkepentingan.

13
Pipit Kartawidjaja dan Faishal Aminuddin, (2014), Demokrasi Elektoral (Bagian I) Perbandingan Sistem
dan Metode dalam Kepartaian dan Pemilu, Sindikasi, Hlm. 1.
14 Ibid., Hlm. 8-9.
15 Ibid., Hlm. 115.
16 Pipit Kartawidjaja dan Faishal Aminuddin, (2015), Demokrasi Elektoral (Bagian II) Sistem dan

Perbandingan Pemerintahan, Sindikasi, Hlm. 1.


17

https://www.researchgate.net/publication/222690421_How_the_World_Votes_The_Political_Conseque
nces_of_Ballot_Design_Innovation_and_Manipulation diakses pada 29 Mei 2018 pukul 23.00 WIB
Penyelenggara pemilu perlu mempertimbangkan berbagai isu ketika merancang kertas
suara. Prinsip umum adalah bahwa semakin sederhana kertas suara, maka semakin efektif.
ACE Project membuat enam poin yang harus diperhatikan dalam membuat kertas suara:
metode penandaan suara, informasi kandidat atau partai, panduan pemilih, ukuran dan warna
dalam kertas, susunan kandidat dan partai, format kertas tunggal.18 Semuanya ditujukan agar
pemilih dengan mudah memilih dan meminimalisasi suara tidak sah. Namun yang paling
penting adalah struktur kertas suara merupakan cerminan profesionalitas dan netralitas dari
institusi penyelenggara.
Sebagaimana dalam pemilu, struktur kertas suara juga harus mencerminkan prinsip
keadilan. Berbagai peraturan dan perundang-undangan yang dibuat oleh penyelenggara
seharusnya menjamin semua partai politik dan kandidat dapat bersaing dalam pemilu atas dasar
perlakuan yang adil.19 Dalam praktiknya, penyelenggara pemilu melakukan pengundian nomor
urut seluruh parpol peserta pemilu. Hasil ini digunakan sebagai landasan untuk menempatkan
lambang, nama, dan nomor untuk berdasarkan urutan yang sudah ditetapkan bersama-sama di
dalam kertas suara. Intinya, semua peserta pemilu mendapat akses kertas suara yang sama tanpa
diskriminasi.
Dalam sistem pemilu, model kertas suara dibagi dua jenis: categorial ballot dan ordinal
ballot. Pemilu Indonesia menggunakan sistem categorial ballots yang hanya mewajibkan
pemilih untuk memilih satu pilihan. Jika seseorang memilih lebih dari satu kandidat, maka nilai
suara tersebut dianggap tidak sah. Kondisinya berbeda dengan model kertas suara di negara
yang menggunakan sistem pemilu mayoritas atau campuran yang memungkinkan pemilih yang
memilih lebih dari satu pilihan dalam satu kertas suara (ordinal ballot). Sistem ini memberikan
keleluasaan pemilih untuk menulis preferensi kandidat berdasarkan prioritas yang dikehendaki.
Sejak pemilu pertama, Indonesia menggunakan sistem pemilu proporsional dengan
daftar tertutup (closed list). Bahkan, pada masa Orde Baru, pemilih hanya dihadapkan oleh tiga
jenis lambang yang kontras satu dengan lainnya. Closed list merupakan model yang paling
sederhana dalam sistem pemilu proporsionalitas, sehingga diyakini mampu mengurangi
potensi suara tidak sah. Namun sejak pemilu 2009, model proporsional daftar terbuka mulai
digunakan sebagai solusi dari kelemahan sistem daftar tertutup. Sehingga kertas suara
mencantumkan seluruh nama kandidat anggota legislatif. Walhasil, kertas suara dipenuhi
ratusan nama yang harus dipilih salah satunya oleh pemilik suara.

18
https://aceproject.org/ace-en/topics/vo/voc/voc02/voc02a diakses pada 29 Mei 2018 pukul 23.00 WIB
19
International IDEA, (2002), Standar Standar Internasional Pemilihan Umum Pedoman Peninjauan
Kembali Kerangka Hukum Pemilu, International IDEA, hlm. 55.
Pada Pemilu 2019, kertas suara dipastikan akan tetap menggunakan model proporsional
dengan daftar terbuka. Namun, isu krusial terkait surat suara bukan terletak pada kertas pilihan
calon legislatif, melainkan pada kertas suara pemilihan presiden-wakil presiden. Pasalnya,
penyelenggaraan pemilu secara serentak ini berpengaruh besar terhadap pilihan pemilik suara
atas opsi kandidat dan partai politik. Pada poin tersebut, format kertas suara (ballot structure)
merupakan bagian yang mendapat perubahan penting atas model Pemilu 2019.
Dalam Peraturan KPU No. 15 tahun 2018, pasal 12 ayat 1 menyatakan bahwa “Surat
suara untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden memuat: a. foto Pasangan Calon; b. nama
Pasangan Calon; c. nomor urut Pasangan Calon; dan d. tanda gambar Partai Politik dan/atau
tanda gambar Gabungan Partai Politik pengusul Pasangan Calon.” Dari peraturan ini terlihat
adanya perubahan dari tiga gelaran pilpres sebelumnya. Pada Pilpres 2019, logo parpol-parpol
pengusul pasangan calon diikutsertakan di dalam kertas suara. Besar kemungkinan posisinya
akan diletakkan di bawah foto-foto kandidat.
Peraturan KPU ini sebenarnya merupakan penjelasan teknis turunan dari Undang-
Undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal 221 menyatakan bahwa “Calon
Presiden dan Wakil Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh Partai Politik atau
Gabungan Partai Politik.” Pada pasal berikutnya, dikatakan bahwa partai yang memenuhi
syarat sebagai “pengusul” adalah parpol yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling
sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada
Pemilu anggota DPR sebelumnya. Oleh karena itu, parpol-parpol yang berhak menjadi
pengusul capres-cawapres adalah 10 parpol parlemen masa jabatan 2014-2019, yaitu NasDem,
PKB, PKS, PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PPP, dan Hanura.
Kebijakan ini tentu berdampak terhadap semua parpol yang berkompetisi di pemilu 2019.
Sebagaimana diketahui bahwa parpol peserta pemilu bukan hanya kontestan yang saat ini
punya perwakilan di DPR RI. Terdapat empat parpol yang baru ikut kontestasi, PSI, Partai
Berkarya, Partai Garuda, dan Perindo, serta dua peserta lama, PKPI dan PBB. Jika mengacu
pada UU Pemilu, enam parpol di atas jelas tidak memiliki hak untuk mengusulkan pasangan
capres sendiri. Terlepas bahwa adanya perdebatan konstitusional terkait UU tersebut,
Mahkamah Konstitusi telah memberikan justifikasi atas konstitutionalitas UU tersebut.
Di satu sisi, pelaksanaan pemilu serentak membuat partai-partai berkampanye untuk
pileg dan pilpres. Sedangkan, di sisi lain enam partai itu tidak terakomodasi atas kepentingan
yang sama dalam mengusung pasangan capres-cawapres tertentu. Lebih jauh, pemberlakukan
peraturan KPU sebenarnya berimplikasi pada hilangnya kesempatan yang sama dalam konteks
kepesertaan dalam pilpres. Bukan hanya mereka tak berhak mengusulkan calon sendiri, enam
partai ini tak diakomodasi kepentingannya saat mendukung pasangan capres-cawapres. Artinya,
enam partai yang sah sebagai peserta pemilu 2019 tak diberikan hak pencantuman nama dan
logo partai dalam surat suara Pilpres. Atas kondisi tersebut, posisi enam partai nonparlemen
menjadi dilematis.
Bagi partai parlemen, gabungan partai merupakan kewajiban jika ingin mengusung
pasangan capres-cawapres. Pasalnya, tak ada satu pun parpol yang memenuhi syarat sebagai
pengusul tunggal pasangan calon. Bahkan, PDI Perjuangan sebagai pemenang pemilu 2014
hanya mengantongi 18% suara nasional dan kursi parlemen. Oleh karenanya, partai peserta
pilpres pasti akan berkoalisi untuk mengusung kandidat tertentu.
Sementara itu, parpol nonparlemen mengalami dua kali diskriminasi akibat UU dan
peraturan KPU yang ada. Ketika mereka “terpaksa” mendukung pasangan kandidat pilihan
parpol-parpol parlemen, keberadaan mereka tak terakomodasi dengan baik oleh sistem pemilu.
Sebagai peserta pemilu, partisipasi parpol nonparlemen dalam pilpres hanya bersifat normatif
(dibolehkan). UU dan Peraturan KPU tak memberikan penjelasan terkait itu. Hal ini jelas
bertentangan dengan strukutur pemilu serentak 2019 yang memaksa parpol untuk berpartipasi
dalam pilpres agar bisa mendongkrak suara mereka dalam pileg.
Kebijakan pasal 12 ayat 1 Peraturan KPU perlu pula dilihat dari aspek asas dan prinsip
pelaksanaan pemilu. Diskursus logo partai pengusul dalam kertas suara perlu ditempatkan
secara tepat dalam studi kepemiluan. Prinsip utama pelaksanaan pemilu adalah “free and fair”
yang diambil dari the Universal Declaration of Human Rights (HR) and the International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).20 Prinsip pemilu yang bebas dan adil menjadi
komitmen bersama warga dunia dalam mempraktikkan demokrasi. Negara-negara yang
mengaku demokratis dan menjalankan pemilu diminta untuk meratifikasi Declaration on
Criteria for Free and Fair Elections. 21 Komitmen tersebut berintikan bahwa “Di negara
manapun, otoritas rakyat sebagaimana dinyatakan dalam pemilihan yang jujur, bebas dan adil
diadakan pada interval reguler atas dasar hak pilih universal, setara dan rahasia.”
Dari perspektif ini, peraturan KPU jelas bertentangan dengan prinsip keadilan dalam
pemilu. Saat semua parpol diminta untuk berkampanye, sistem pemilu yang ada justru tak
menghendaki adanya kompetisi yang sehat dalam mempromosikan seluruh peserta secara
setara. Tentunya, dukung-mendukung kandidat presiden memang bukan kewajiban semua

20
Guy S. Goodwin-Gill, (2006), Free And Fair Elections New Expanded Edition, Inter-Parliamentary Union,
Hlm. 1.
21 http://archive.ipu.org/Cnl-e/154-free.htm diakses pada 29 Mei 2018 pukul 23.00 WIB
parpol. Tapi situasinya justru anomali jika partai tak mendukung capres tertentu dalam struktur
pemilu serentak tahun 2019.
Pemilu serentak (concurrent election; pemilu kongruen) sebenarnya merupakan bagian
dari rekayasa pemilu untuk menciptakan hasil yang kongruen, di mana pejabat eksekutif
terpilih mendapat sokongan mayoritas legislatif agar pemerintahan kuat dan efektif. Di sinilah
pemilu serentak memanfaatkan efek ekor jas (coattail effect) demi mengejar efektivitas
pemerintahan sebagaimana terjadi dalam sistem parlementer.22 Secara teoretis, yang dimaksud
dengan coattail effect adalah pelaksaan pemilihan presiden dan parlemen yang dilaksanakan
secara bersamaan sehingga popularitas kandidat presiden mampu mempengaruhi perolehan
suara partainya. Artinya, teori coattail effect dapat terjadi ketika dua pemilu dilaksakan secara
bersamaan sehingga satu pemilu dapat memberikan efek tumpahan suara terhadap pemilu
lainnya yang tak signifikan.23
Kongruensi hasil pemilu diyakini merupakan jawaban untuk menguatkan sistem
presidensial Indonesia yang efektif. Fenomena ”pemerintahan yang terbelah” (divided
government) antara suara legislatif-eksekutif merupakan konsekuensi dari model pemilu
sebelumnya. Berbagai kajian menyimpulkan bahwa pemilu serentak 2019 akan menghasilkan
blocking politics kuat yang menggabungkan parpol-parpol ke dalam dua kutub politik yang
besar dan solid antara kubu pemerintah dan oposisi.24 Terkonsentrasinya kekuatan politik pada
kutub-kutub besar diyakini akan memudahkan proses check balance dalam struktur
pemerintahan, ketimbang kekuatan yang terpencar-pencar.
Secara umum, efek ekor jas adalah eksplanasi tentang perilaku pemilih yang terpengaruh
oleh faktor ketokohan. Fenomena ini telah lazim dimanfaatkan peserta pemilu untuk meraih
suara sebanyak-banyaknya. Oleh karenanya, parpol pasti mencari efek tumpahan suara dari
popularitas capres yang diusungnya. Dari pengalaman pilpres lalu, istilah coattail effect
terwujud dalam fenomena ”SBY Effect” dan “Jokowi Effect”. Studi Vermonte menunjukkan
bahwa elektabilitas SBY pada 2009 mampu mengungkit suara Partai Demokrat menjadi 20,9%.
Sementara, Jokowi pada 2014 juga mampu membawa pengaruh signifikan terhadap peroleh
suara PDI Perjuangan (18,95%).25

22
https://nasional.kompas.com/read/2014/01/24/0730346/Salah.Paham.Pemilu.Serentak diakses pada
29 Mei 2018 pukul 23.00 WIB
23 Ibid., T.Y. Wang.
24 Ibid., Electoral Research Institute, hlm. 21.
25 Philips Vermonte, Indonesia’s 2014 Elections: Practical Innovations and Optimistic Outcomes, Asian

Politics & Policy— Volume 7, Number 2—Pages 303–312, 2015 Policy Studies Organization. Published by
Wiley Periodicals.
Pada pemilu 2019, efek ekor jas diyakini akan memiliki tren yang cukup kuat. Bahkan
jika mengambil hipotesis dari pilpres kedua yang dilakukan SBY pada tahun 2009, potensi
Jokowi untuk mendulang suara akan lebih baik lagi dibanding pilpres 2014. Dalam konteks
Indonesia, teori efek ekor jas perlu disesuaikan antara jumlah kandidat dan partai yang
berkontestasi. Terkait hal itu, kajian Borges dan Turgeon (2017) menggunakan istilah diffused
coattail effect untuk menjelaskan distribusi tidak proporsionalitas dari tumpahan suara coattail
effect. Survei SMRC menjelaskan bahwa identifikasi PDI Perjuangan sebagai partai presiden
Jokowi membuat elektabilitasnya sejalan dengan tingkat kepuasan terhadap presiden.
Sementara, dari lima partai lain yang mendukung Jokowi, hanya Golkar yang terlihat punya
korelasi positif terhadap elektabilitasnya. Sedangkan parpol lain pendukung Jokowi yang lain
cenderung stagnan.26
Merujuk pada konsep di atas, akan sangat aneh jika partai tak berpartisipasi dalam pilpres,
apalagi untuk parpol-parpol baru. Walaupun memang harus diakui bahwa pilpres bukanlah
ajang kompetisi parpol baru. Namun, jika tak berpartisipasi dalam pilpres, partai sama saja
dengan tidak memanfaatkan instrumen kampanye penting yang berpengaruh terhadap
perolehan suara partai. Terlebih, tujuan untuk mencapai parliamantary treshold 4% suara
nasional pada tahun 2019 bukanlah pekerjaan yang mudah untuk parpol baru. Atas kondisi
tersebut, parpol baru tentu merasa diperlakukan tidak adil dalam pemilu 2019. Sebagaimana
kekecewaan disampaikan oleh Badaruddin Andi Picunang (Partai Berkarya) bahwa “Kita ‘kan
punya hak dan kewajiban sama harusnya. Ini ‘kan salah satu strategi membungkam partai baru
kalau menurut saya, kecuali partai baru memang dilarang untuk mendukung." (detik.com/26
Mei 2018).
Melihat pandangan di atas, KPU merupakan institusi yang paling relevan dengan
permasalahan yang dihadapi partai-partai baru. Sebagai institusi perumus dan pelaksana
regulasi pemilu, KPU tidak hanya dituntut untuk merumuskan aturan pemilu yang sesuai
konstitusi dan UU, tetapi juga harus memegang tujuh prinsip penyelenggaran pemilu, yang
dalam konteks ini adalah prinsip imparsialitas dan pelayanan27 sebagai jaminan legitimasi dan
kredibilitas KPU sendiri.

Rekomendasi

26
Djayadi Hanan dalam “Efek Ekor Jas” koran Kompas tanggal 8 Februari 2018.
27
7 prinsip penyelenggara pemilu adalah independensi, imparsitalitas, integritas, transparansi, efisiensi,
profesionalitas, dan pelayanan, serta akuntabilitas. Yulianto, Veri Junaidi, dan August Mellaz, (2010),
Memperkuat Kemandirian Penyelenggara Pemilu, KRHN, Hlm. 7.
UUD 1945 dan UU Pemilu 2017 tidak menjelaskan format kertas suara secara eksplisit.
Menambahkan logo partai dalam kertas suara pilpres 2019 merupakan regulasi (Peraturan KPU)
yang ditetapkan KPU atas tafsirnya terhadap konstitusi di atasnya. Diskusi akademis hingga
munculnya kebijakan penambahan logo parpol pengusung capres adalah manfaat yang ingin
didapatkan berdasarkan teori coattail effect. Sebagaimana yang dijelas di atas, teori coattail
effect akan mendorong terciptanya pemenang pemilu yang kongruen. Oleh karenanya, rekayasa
pemilu yang dibuat akan menghasilkan struktur pemerintahan mayoritas dan menguatkan
sistem pemerintah presidensialisme Indonesia.
Pencantuman logo parpol pengusul capres-cawapres jelas menguntungkan bagi partai
tersebut. Secara pragmatis, parpol tersebut tentu memikirkan nasib suara mereka untuk
melewati ambang batas parliamentary treshold 4%. Tak heran, DPR RI yang notabene parpol
pengusung tak keberatan dengan usulan kebijakan yang dibuat dalam Peraturan KPU ini.
Dengan pertimbangan prinsip pemilu dan penyelenggara pemilu, KPU sebenarnya
dituntut untuk menghadirkan prinsip keadilan dan imparsialitas terhadap semua peserta pemilu,
partai lama dan partai baru. Jika mengacu pada kasus PKPU tentang verifikasi faktual parpol
pada Januari lalu, muncul pula perbedaan perlakuan, yaitu syarat verifikasi faktual parpol
hanya ditujukan kepada partai baru. Namun akhirnya, Mahkamah Konstitusi menganulir
peraturan tersebut, sehingga verifikasi faktual parpol dilakukan terhadap semua parpol yang
mendaftarkan diri sebagai peserta pemilu 2019. Walhasil, KPU mengalami masalah teknis
besar untuk merampungkan verifikasi faktual di tenggat waktu tersisa.
Sejatinya, perumusan Peraturan KPU tidak dibuat dalam ruang kosong. Di tengah
desakan berbagai kepentingan di masyarakat, terlebih ketika dihadapkan kepada pemerintah
dan parlemen, keteguhan dalam memegang prinsip penyelenggaraan pemilu merupakan aspek
penting dalam kinerja KPU. Dalam praktiknya, KPU seringkali mengalami kesulitan ketika
harus mengakomodasi kepentingan parlemen dalam Rapat Konsultasi dengan DPR RI. Atas
kondisi tersebut, dibutuhkan institusi KPU yang kreatif dalam merumuskan regulasi tanpa
melanggar aspek prinsipil dan koridor konstitusi yang ada.
Jika KPU berani membuat kebijakan pencantuman logo parpol pengusung dalam kertas
suara, agaknya peraturan yang lebih mumpuni dan akomodatif adalah pencatuman lambang
koalisi partai pengusung pasangan calon. Dengan begitu, semua parpol peserta pemilu akan
terakomodasi soal kepentingan pencantuman logo. Tak ada lagi potensi gugatan dalam konteks
diskriminasi terhadap parpol tertentu. Namun, tentunya KPU harus membuat peraturan
turunannya yang lebih sistematis.
Sebenarnya bisa saja KPU memasukkan semua logo partai atau meniadakan sama
sekali seperti pada Pilpres 2004-2014. Namun, tentu efek ekor jas merupakan konsideran utama
atas desain pemilu 2019. Mau tidak mau, parpol-parpol pasti membentuk koalisi dalam
pengusungan paslon pada Pilpres mendatang. Koalisi pemilu jelas sudah dipraktikkan sejak
pertama Pilpres Indonesia digelar. Namun, yang menjadi kritik adalah bahwa koalisi tersebut
hanya dilihat sebagai syarat dalam pengajuan kandidat oleh calon. Oleh karenanya, perspektif
yang perlu dibangun adalah bagaimana upaya pelembagaan koalisi tersebut menjadi lebih solid.
Hal ini sejalan dengan tujuan bahwa sistem pemilu mendukung penguatan sistem kenegaraan
dan mendukung pembangunan politik.
Secara teoretis, konsep koalisi ini dikenal sebagai koalisi pemilu (pre-electoral
coalition). Golder menyatakan bahwa pre-electoral coalition dalam pemilu proporsional
ditujukan untuk mengurangi permasalahan longgarnya ikatan pemilih terhadap calon presiden
dan partai. Koalisi pemilu akan menggabungkan parpol-parpol yang memiliki kesamaan
ideologi dan/atau platform. Hasilnya, koalisi pemilu mungkin akan meningkatkan transparansi
demokrasi dan menghasilkan koalisi pemerintah yag punya legitimasi dan mandat yang kuat.28
Melalui kebijakan struktur kertas suara koalisi parpol, bukan hanya soal koalisi formalistis,
tetapi mereka akan mengidenfikasi diri dalam “rumah” koalisi. Mereka akan membangun
platform koalisi dan strategi kampanye bersama yang padu.
Dari perspektif di atas, pelembagaan koalisi tentu juga menjadi domain KPU. Intervensi
KPU untuk mendorong lahirnya pre-electoral coalition yang solid dilakukan dengan
serangkaian regulasi dalam Peraturan KPU. Jika saat ini KPU begitu kekeh dengan pelarangan
pen-caleg-an mantan residivis koruptor yang kontroversial, begitu mudahnya sistematisasi
pelembagaan koalisi yang notabene nonpolemik. Dengan berkaca dari negara tetangga—
Malaysia—yang mempunyai pre-election coalition yang solid, KPU bisa pula menghadirkan
hal serupa dengan membuat serangkaian peraturan teknis yang mendepankan “rumah” koalisi
(bukan parpol secara partial) seperti: desain dan materi kampanye serta website dan akun media
sosial. Semua dimulai oleh sebuah kebijakan pamungkas, yakni pencantuman lambang koalisi
(bukan logo partai) di bawah foto paslon presiden-wakil presiden.

Daftar Referensi
Ben Reilly dan Andres Reynolds, (1998), Sistem Pemilu (Terj), International IDEA, Stockholm.

28
Ibid., Golder.
Campbell James E. and Joe A. Sumners, Presidential Coattails in Senate Elections, The
American Political Science Review, Vol. 84, No. 2 (Jun., 1990), pp. 513-524.
Electoral Research Institute – LIPI, (2014), Position Paper Pemilu Nasional Serentak 2019,
Jakarta: tanpa penerbit.
Farrell David M., (1997), Comparing Electoral Systems, Macmillan Education UK.
Golder Sona Nadenichek, (2006), The Logic of Pre-Electoral Coalition Formation, Columbus,
The Ohio State University Press.
Goodwin-Gill Guy S., (2006), Free And Fair Elections New Expanded Edition, Inter-
Parliamentary Union Geneva.
Hanan Djayadi dalam “Efek Ekor Jas” koran Kompas tanggal 8 Februari 2018
http://sk.sagepub.com/reference/encyclopedia-of-social-media-and-politics/n111.xml diakses
pada 29 Mei 2018 pukul 23.00 WIB
International IDEA, (2002), Standar Standar Internasional Pemilihan Umum Pedoman
Peninjauan Kembali Kerangka Hukum Pemilu, International IDEA, Stockholm, hlm. 55.
Kartawidjaja Pipit dan Faishal Aminuddin, (2014), Demokrasi Elektoral (Bagian I)
Perbandingan Sistem dan Metode dalam Kepartaian dan Pemilu, Sindikasi, Surabaya.
Kartawidjaja Pipit dan Faishal Aminuddin, (2015), Demokrasi Elektoral (Bagian II) Sistem
dan Perbandingan Pemerintahan, Sindikasi, Surabaya.
Lijphart Arend, (1994), Electoral Systems and Party Systems: A Study of Twenty Seven
Democracies, 1945-1990, Comparative Democracies, Oxford University Press.
Vermonte Philips, Indonesia’s 2014 Elections: Practical Innovations and Optimistic Outcomes,
Asian Politics & Policy— Volume 7, Number 2—Pages 303–312, 2015 Policy Studies
Organization. Published by Wiley Periodicals.
Wang T.Y., (2016), Presidential Approval, Coattail, and Electoral Successes: An Analysis of
Taiwan’s 2016 Legislative Election. Taiwan Democracy Symposium.
Yulianto, Veri Junaidi, dan August Mellaz, (2010), Memperkuat Kemandirian Penyelenggara
Pemilu, KRHN. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai