Anda di halaman 1dari 8

REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANG

Secara umum yang harus diperhatikan dan dilakukan dalam merehabilitasi/reklamasi


lahan bekas tambang yaitu dampak perubahan dari kegiatan pertambangan, rekonstruksi
tanah, revegetasi, pencegahan air asam tambang, pengaturan drainase, dan tataguna lahan
pasca tambang.

Kegiatan pertambangan dapat mengakibatkan perubahan kondisi lingkungan. Hal ini


dapat dilihat dengan hilangnya fungsi proteksi terhadap tanah, yang juga berakibat pada
terganggunya fungsi-fungsi lainnya. Di samping itu, juga dapat mengakibatkan hilangnya
keanekaragaman hayati, terjadinya degradasi pada daerah aliran sungai, perubahan bentuk
lahan, dan terlepasnya logam-logam berat yang dapat masuk ke lingkungan perairan.

Rekonstruksi Tanah

Untuk mencapai tujuan restorasi perlu dilakukan upaya seperti rekonstruksi lahan dan
pengelolaan tanah pucuk. Pada kegiatan ini, lahan yang masih belum rata harus terlebih
dahulu ditata dengan penimbunan kembali (back filling) dengan memperhatikan jenis dan
asal bahan urugan, ketebalan, dan ada tidaknya sistem aliran air (drainase) yang kemungkinan
terganggu. Pengembalian bahan galian ke asalnya diupayakan mendekati keadaan aslinya.
Ketebalan penutupan tanah (sub-soil) berkisar 70-120 cm yang dilanjutkan dengan re-
distribusi tanah pucuk (Gambar 7).
Lereng dari bekas tambang dibuat bentuk teras, selain untuk menjaga kestabilan
lereng, diperuntukan juga bagi penempatan tanaman revegetasi (Gambar 6 dan 12).

Selain itu, reklamasi pada lahan ini juga digunakan teknologi hydroseeding, yaitu teknologi
penanaman dengan cara menyemprotkan benih yang dicampur dengan air dan perekat
untuk daeah tanah yang miring.
Revegetasi

Perbaikan kondisi tanah meliputi perbaikan ruang tubuh, pemberian tanah pucuk dan
bahan organik serta pemupukan dasar dan pemberian kapur. Kendala yang dijumpai dalam
merestorasi lahan bekas tambang yaitu masalah fisik, kimia (nutrients dan toxicity), dan
biologi. Masalah fisik tanah mencakup tekstur dan struktur tanah. Masalah kimia tanah
berhubungan dengan reaksi tanah (pH), kekurangan unsur hara, dan mineral toxicity. Untuk
mengatasi pH yang rendah dapat dilakukan dengan cara penambahan kapur. Sedangkan
kendala biologi seperti tidak adanya penutupan vegetasi dan tidak adanya mikroorganisme
potensial dapat diatasi dengan perbaikan kondisi tanah, pemilihan jenis pohon, dan
pemanfaatan mikroriza.

Secara ekologi, spesies tanaman lokal dapat beradaptasi dengan iklim setempat tetapi
tidak untuk kondisi tanah. Untuk itu diperlukan pemilihan spesies yang cocok dengan kondisi
setempat, terutama untuk jenis-jenis yang cepat tumbuh, misalnya sengon buto
(Enterrolobium cylocarpum), Albizia (Paraserianthes falcataria), johar (Casia siamea), kayu
angin (Casuarina sp.), dan Eukaliptus pelitayang, telah terbukti adaptif untuk tambang.
Dengan dilakukannya penanaman sengon minimal dapat mengubah iklim mikro pada lahan
bekas tambang tersebut. Untuk menunjang keberhasilan dalam merestorasi lahan bekas
tambang, maka dilakukan langkah-langkah seperti perbaikan lahan pra-tanam, pemilihan
spesies yang cocok, dan penggunaan pupuk.

Untuk mengevaluasi tingkat keberhasilan pertumbuhan tanaman pada lahan bekas


tambang, dapat ditentukan dari persentasi daya tumbuhnya, persentasi penutupan tajuknya,
pertumbuhannya, perkembangan akarnya, penambahan spesies pada lahan tersebut,
peningkatan humus, pengurangan erosi, dan fungsi sebagai filter alam. Dengan cara tersebut,
maka dapat diketahui sejauh mana tingkat keberhasilan yang dicapai dalam merestorasi lahan
bekas tambang (Rahmawaty, 2002).

Penanganan Potensi Air Asam Tambang

Pembentukan air asam cenderung intensif terjadi pada daerah penambangan, hal ini
dapat dicegah dengan menghindari terpaparnya bahan mengandung sulfida pada udara
bebas.
Secara kimia kecepatan pembentukan asam tergantung pada pH, suhu, kadar oksigen
udara dan air, kejenuhan air, aktifitas kimia Fe3+, dan luas permukaan dari mineral sulfida
yang terpapar pada udara. Sementara kondisi fisika yang mempengaruhi kecepatan
pembentukan asam, yaitu cuaca, permeabilitas dari batuan, pori-pori batuan, tekanan air
pori, dan kondisi hidrologi. Penanganan air asam tambang dapat dilakukan dengan mencegah
pembentukannya dan menetralisir air asam yang tidak terhindarkan terbentuk.

Pencegahan pembentukan air asam tambang dengan melokalisir sebaran mineral


sulfida sebagai bahan potensial pembentuk air asam dan menghindarkan agar tidak terpapar
pada udara bebas. Sebaran sulfida ditutup dengan bahan impermeable antara lain lempung,
serta dihindari terjadinya proses pelarutan, baik oleh air permukaan maupun air tanah.

Produksi air asam sulit untuk dihentikan sama sekali, akan tetapi dapat ditangani
untuk mencegah dampak negatif terhadap lingkungan. Air asam diolah pada instalasi
pengolah untuk menghasilkan keluaran air yang aman untuk dibuang ke dalam badan air.
Penanganan dapat dilakukan juga dengan bahan penetral, umumnya menggunakan
batugamping, yaitu air asam dialirkan melewati bahan penetral untuk menurunkan tingkat
keasaman (Suprapto, 2006).

Pengaturan Drainase

Drainase pada lingkungan pasca tambang dikelola secara seksama untuk menghindari
efek pelarutan sulfida logam dan bencana banjir yang sangat berbahaya, dapat menyebabkan
rusak atau jebolnya bendungan penampung tailing serta infrastruktur lainnya. Kapasitas
drainase harus memperhitungkan iklim dalam jangka panjang, curah hujan maksimum, serta
banjir besar yang biasa terjadi dalam kurun waktu tertentu baik periode waktu jangka panjang
maupun pendek.

Arah aliran yang tidak terhindarkan harus meleweti zona mengandung sulfida logam,
perlu pelapisan pada badan alur drainase menggunakan bahan impermeabel. Hal ini untuk
menghindarkan pelarutan sulfida logam yang potensial menghasilkan air asam tambang
(Gambar 13).
Reklamasi di PT Newmont Nusa Tenggara (BUKAN EMAS)

Proses reklamasi di PT Newmont Nusa Tenggara diawali dengan pembukaan lahan


(land clearing). Membersihkan lahan dari gangguan-gangguan hingga siap untuk direklamasi.
Lalu dilakukan penelitian soil sampling untuk mengetahui kelayakan tanah lapisan atas (top-
soil) dan tanah lapisan bawah (sub-soil) untuk digunakan dalam kegiatan reklamasi.

Penelitian ini penting karena sangat menentukan keberhasilan kegiatan reklamasi.


Lahan bekas tambang tersebut akan di lapisi oleh tanah-tanah tersebut. Setelah diketahui
kelayakan dari sampel tanah yang diambil, baru kemudian dilakukan pengangkutan tanah
untuk keperluan reklamasi. Lapisan yang diangkut biasanya lapisan tanah sub soil (lapisan
tanah dalam kedalaman 30-90 cm) dahulu, sedangkan lapisan top soil disimpan dahulu di
stock pile.

Penyebaran tanah dilakukan bertahap dengan pemadatan (compaction). Penyebaran


tanah pertama adalah penyebaran tanah sub-soil setebal 0,5 m. Selanjutnya tanah tersebut
dipadatkan sampai dengan kepadatan minimal 95%. Setelah pemadatan pada lapis pertama
selesai, dilakukan penyebaran dan pemadatan lapisan tanah kedua disusul dengan lapisan
tanah ketiga yaitu tanah sub-soil dengan ketebalan yang sama dengan tanah lapis pertama.
Lapisan tanah yang keempat (sub-soil) ketebalannya 0,4 m. Setelah itu dipadatkan dengan
kepadatan minimal 95%. Lapisan tanah kelima (sub-soil) ketebalannya 0,35 m dan
kepadatannya minimal 95%. Lapisan tanah keenam adalah top-soil dengan ketebalan tanah
0,5 m dan kepadatannya 85%. Setelah pemadatan enam lapis selesai dilakukan, proses
selanjutnya adalah pemasangan energy breaks, lalu penyebaran bibit (hidroseeding) dan
dilanjutkan dengan penanaman.
PEMANFAATAN LAHAN EX – TAMBANG UNTUK PERTANIAN

Ditinjau dari aspek teknis, areal bekas tambang dapat digunakan untuk budidaya
pertanian jika telah dilakukan perbaikan kondisi lahan, dan selanjutnya dapat digunakan
untuk tujuan-tujuan produktif seperti untuk pertanian. Dari aspek kualitas tanah, kendala
utama rehabilitasi lahan adalah rendahnya kandungan unsur hara dan bahan organik,
toksisitas unsur tertentu, kemampuan tanah dalam menjerap hara dan air, pH tanah, dan sifat
fisik tanah yang sangat buruk.

Untuk mempercepat pemulihan kualitas tanah (fisik, kimia dan biologi), juga dapat
digunakan bahan pembenah tanah atau amelioran, seperti bahan organik; kapur, tanah liat,
dan abu terbang. Senyawa humat dapat digunakan sebagai pengganti bahan organic
(Iskandar, 2008). Zeolit merupakan bahan pembenah mineral yang dapat meningkatkan KTK
(kapasitas tukar kation) tanah. Pupuk hayati dapat digunakan untuk memperbaiki sifat biologi
tanah, misalnya pemanfaatan fungi mikoriza sebagai pemicu pertumbuhan tanaman (Santoso
et al., 2008; Sitorus et al., 2008).

Pemanfaatan lahan bekas tambang seyogianya mengarah kepada keberlanjutan


perekonomian daerah dan masyarakat, tanpa mengabaikan fungsi lingkungan, diantaranya
berupa polikultur perkebunan dengan kehutanan. Sebagai contoh, PT Inco (Ambodo, 2008)
telah membuat plot contoh polikultur coklat dan tanaman kehutanan lokal yang bernilai
ekonomi tinggi. Dalam percobaan ini, 1 ha cover crop cukup untuk memberi pakan 10 ekor
sapi pedaging dari jenis Brahman. Dalam jangka pendek, dihasilkan daging sapi potong, dan
kotoran sapi digunakan untuk pupuk tanaman coklat. Dalam jangka menengah (3-4 tahun)
hasil tanaman coklat sudah dapat dipetik, dan dalam jangka panjang dapat dipanen kayu-kayu
yang bernilai ekonomi tinggi, yang ditanam di selasela tanaman coklat.

Selain untuk tanaman perkebunan, lahan ex tambang berpeluang dimanfaatkan untuk


budidaya tanaman semusim termasuk padi sawah. Salah satu tantangan untuk mencetak
sawah pada areal bekas tambang adalah dalam pembentukan lapisan tapak bajak, yang
merupakan komponen penting dalam system pengelolaan air pada lahan sawah. Keberhasilan
akan sulit diperoleh, apabila hanya dilakukan pelapisan permukaan tanah dengan tanah
pucuk. Oleh karena itu, perlu dilakukan berbagai manipulasi untuk mempercepat
pembentukan lapisan kedap, terutama jika tekstur tanah didominasi pasir. Usaha yang dapat
dilakukan adalah pemadatan tanah pada lapisan di bawah lapisan olah, perlu juga dicoba
untuk menggunakan bahan perekat seperti semen, atau senyawa organik untuk
mempercepat pembentukan lapisan kedap, namun sebelum teknologi ini diterapkan secara
luas, diperlukan terlebih dahulu pengkajian lebih mendalam, baik aspek teknis maupun aspek
perhitungan ekonominya.

Setelah dilakukan penataan lahan untuk sawah, lahan tidak dapat langsung
digunakan untuk tanaman padi, perlu direhabilitasi dulu dengan menggunakan tanaman
penutup tanah dari jenis kacang-kacangan (legume), sehingga perbaikan status bahan
organik akan berjalan secara insitu. Perbaikan iklim mikro dan kondisi biologi tanah juga
sudah berjalan, saat penanaman padi dilakukan. Kandungan logam berat dalam tanah
maupun air irigasi juga harus diidentifikasi terlebih dahulu, untuk menghindari pencemaran
produk pangan yang dihasilkan. Hasil analis jaringan tanaman padi yang dihasilkan pada areal
bekas tambang timah di Babel menunjukkan kandungan besi dalam seluruh jaringan tanaman
(akar, batang/daun dan beras) melebihi batas yang ditoleransikan. Kandungan Pb dalam akar
juga berada di atas ambang batas (Tabel 7). Oleh karena itu untuk mengurangi kadar logam
berat dalam tanah penting untuk dilakukan penanaman penutup tanah dalam jangka waktu
tertentu tergantung kandungan logam beratnya dan pemberian sumber bahan organik
lainnya.

NB : Logam berat adalah kelompok unsur logam dengan massa jenis lebih besar dari 5 gr/cm3,
yang pada tingkat tertentu menjadi bahan beracun dan sangat berbahaya bagi makhluk
hidup. Logam berat diantaranya adalah timbal (Pb), merkuri (Hg), arsenik (As) dan cadmium
(Cd).

Anda mungkin juga menyukai