APPENDISITIS
A. DEFENISI
Apendisitis adalah radang yang timbul pada apendiks dan
merupakan salah satu kasus akut abdomen yang paling sering ditemui
(Mansjoer, 2013) . Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks
bertambah (edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis pembuluh
darah intramural (dinding apendiks). Apendisitis perforasi terjadi ketika
sekresi mukus terus berlanjut, dan tekanan dalam ruang appendiks terus
meningkat dan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, bakteri
menembus dinding apendiks, lalu arteri terganggu dann terjadi infark
dinding apendiks yang diikuti dengan gangrene dan pecahnya dinding
apendiks yang telah rapuh. (Yucel, 2012)
B. ETIOLOGI
Apendisitis akut disebabkan oleh proses radang bakteria yang
dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus. Ada beberapa faktor yang
mempermudah terjadinya radang apendiks, diantaranya :
1. Faktor Obstruksi
Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hiperplasia jaringan
lymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing
dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh fekalit, parasit dan
cacing.
2. Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada
apendisitis akut. Bakteri yang ditemukan biasanya E.coli, Bacteriodes
fragililis, Splanchicus, Lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes
splanicus.
3. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang
herediter dari organ apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang
tidak baik dan letaknya yang memudahkan terjadi apendisitis.
4. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan
sehari-hari.
Adapun Penyebab terjadinya perforasi menurut Baretto et al (2010) adalah:
1. Lambatnya diagnosis dan penentuan kebutuhan pembedahan (penundaan
Pembedahan karena dianggap tidak memiliki komplikasi)
2. Pada pria, tingginya resiko terjadi appendicular faecoliths and calculi
meningkatkan resiko apendisitis perforasi
3. Perubahan kekuatan dinding kolon termasuk dinding appendix seiring
bertambahnya usia menjadi penyebab tingginya kejadian apendisitis
perforasi pada lansia.
4. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Penfold et al (2008) pada anak
usia 2 – 20 tahun, penundaan terapi selama 12-20 jam atau bahkan 48
jam menjadi faktor penyebab terjadinya apendisitis perforasi pada
penderita apendisitis akut.
5. Pada sebuah laporan kasus oleh Chen et al (2011) didapatkan bahwa
salah satu penyebab apendisitis akut yang kemudian menjadi apendisitis
perforasi adalah tumor jinak pada apendiks dan menyebabkan obstruksi
lumen dan merangsang produksi mucus pada apendiks hingga terjadi
rupture dinding apendiks. Meski demikian, tumor jinak apada apendiks
sangat jarang ditemukan.
C. PATOFISIOLOGI
Apendisitis merupakan peradangan pada apendiks yang disebabkan
oleh bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus, kemungkinan
oleh fekalit (massa keras dari feses), tumor atau benda asing Obstruksi pada
lumen menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami
bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas
dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
peningkatan intralumen. Tekanan di dalam sekum akan meningkat.
Kombinasi tekanan tinggi di seikum dan peningkatan flora kuman di kolon
mengakibatkan sembelit, Hal ini menjadi pencetus radang di mukosa
apendiks. Perkembangan dari apendisitis mukosa menjadi apendisitis
komplit, yang meliputi semua lapisan dinding apendiks tentu dipengaruhi
oleh berbagai faktor pencetus setempat yang menghambat pengosongan
lumen apendiks atau mengganggu motilitas normal apendiks.
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks
mengalami hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan
invasi bakteri. Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah
(edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah
intramural (dinding apendiks). Pada saat inilah terjadi apendisitis fokal yang
ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi
dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien
karena ditentukan banyak faktor.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat.
Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan
bakteri akan menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai
peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah.
Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut. Bila kemudian arteri
terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan
gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding
yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi (Guyton &
Hall, 2013).
Pada anak-anak, omentum lebih pendek dan apendiks lebih
panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan
daya tahan tubuh yang menjadi kurang memudahkan terjadinya perforasi.
Pada orang tua perforasi mudah terjadi karena ada gangguan pembuluh
darah (Mansjoer, 2014).
D. MANIFESTASI KLINIS
Adapun manifestasi klinis dari appendisitis yaitu :
1. Nyeri kuadran bawah biasanya disertai dengan demam, mual, dan sering
kali muntah.
2. Pada titik McBurney (terletak dipertengahan antara umbilicus dan spina
anterior dari ilium) nyeri tekan setempat karena tekanan dan sedikit kaku
dari bagian bawah otot rectum kanan.
3. Nyeri alih mungkin saja ada, letak appendiks mengakibatkan sejumlah
nyeri tekan, spasme otot, dan konstipasi atau diare
4. Tanda rovsing (dapat diketahui dengan mempalpasi kuadran kiri bawah,
yang menyebabkan nyeri pada kuadran kanan bawah)
5. Jika terjadi ruptur appendiks, maka nyeri akan menjadi lebih menyebar,
terjadi distensi abdomen akibat ileus paralitik dan kondisi memburuk.
E. KOMPLIKASI
1. Komplikasi utama adalah perforasi appediks yang dapat berkembang
menjadi peritonitis atau abses apendiks
2. Infeksi luka post operatif terutama pada operasi open apendektomi yang
memungkinkan terjadinya kontaminasi dinding abdomen terhadap bagian
apendiks yang mengalami inflamasi selama prosedur (Yagmurlu,et al,
2006).
3. Intraabdominal abses
4. Obstruksi intestinal
5. Septicemia
6. Peritonitis
7. Pylephlebitis, a septic thrombophlebitis of the portal vein
8. Enterocutaneous fistulae
9. Fever
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk menegakkan diagnosa pada appendicitis didasarkan atas
anamnesa ditambah dengan pemeriksaan laboratorium serta pemeriksaan
penunjang lainnya.
a. Gejala appendicitis ditegakkan dengan anamnesa, ada 4 hal yang penting
adalah :
1. Nyeri mula – mula di epeigastrium (nyeri visceral) yang beberapa
waktu kemudian menjalar keperut kanan bawah.
2. Muntah oleh karena nyeri visceral
3. Panas (karena kuman yang menetap di dinding usus)
4. Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita
nampak sakit, menghindarkan pergerakan di perut terasa nyeri.
b. Pemeriksaan yang lain
1. Lokalisasi
Jika sudah terjadi perforasi, nyeri akan terjadi pada seluruh
perut,tetapi paling terasa nyeri pada titik Mc Burney.
2. Test Rectal
Pada pemeriksaan rectal toucher akan teraba benjolan dan
penderita merasa nyeri pada daerah prolitotomi.
3. Tanda rovsing (+)
Melakukan palpasi kuadran bawah kiri yang secara paradoksial
menyebabkan nyeri yang terasa dikuadran kanan bawah
4. Uji Psoas
Dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi
sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian
paha kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang menepel di m. poas
mayor, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri.
c. Pemeriksaan Laboratorium
1. Leukosit meningkat sebagai respon fisiologis untuk melindungi tubuh
terhadap mikroorganisme yang menyerang pada appendicitis akut dan
perforasi akan terjadi leukositosis yang lebih tinggi lagi. Menurut
Baretto et al (2010), perbandingan nilai leukosit dan neutrophil pada
pasien apendisitis akut dan perforasi apendisitis sebagai berikut
Pemeriksaan Apendisitis Akut Perforasi Apendisitis
White cell count 13.8 14.8
Median (range) (4.8 – 28.7 × 10-9/l) (3.7 – 27.5 × 10-9/l)
Neutrophil count 11.2 12.4
Median (range) (1.8 – 26.7 × 10-9/l) (3 – 24 × 10-9/l)
Serum C-reactive 16 100
protein
Median (range) (0.2–390 mg/l) (0.37–403 mg/l)
G. PENATALAKSANAAN
a) Perawatan prabedah perhatikan tanda – tanda khas dari nyeri:
Kuadran kanan bawah abdomen dengan rebound tenderness (nyeri
tekan lepas), peninggian laju endap darah, tanda psoas yang positif, nyeri
tekan rectal pada sisi kanan. Pasien disuruh istirahat di tempat tidur, tidak
diberikan apapun juga per orang. Cairan intravena mulai diberikan, obat
– obatan seperti laksatif dan antibiotik harus dihindari jika mungkin.
b) Terapi bedah :
Appendicitis tanpa komplikasi, appendiktomi segera dilakukan
setelah keseimbangan cairan dan gangguan sistemik penting. Bisa dengan
open appendectomy, laparaskopi, atau midline laparatomy.
c) Terapi antibiotik,
Terapi antibiotic ini diberikan tetapi anti intravena harus diberikan
selama 5 – 7 hari jika appendicitis telah mengalami perforasi.
H. PENCEGAHAN KOMPLIKASI
1. Komplikasi berupa apendisitis perforasi yang lebih luas bisa dicegah
dengan penatalaksanaan yang tepat waktu dan tepat terapi. Karena
perforasi apendisitis merupakan kasus ambulatory care sensitive
condition (ACSC) . penyebab paling sering dari keterlambatan pemberian
terapi adalah adanya manifestasi lain yang mengarah pada diagnose
gangguan GI yang lain seperti anomali digestif congenital dan
kehamilan. oleh karena itu, pasien dengan riwayat anomali digestif
congenital dan atau sedang mengandung sebaiknya memeriksakan
penyakit segera saat merasakan keluhan nyeri abdomen (Penfold, 2013).
2. Levin et al (2007) meneliti bahwa Nonoperative management pada
perforasi apendisitis dapat mengurangi komplikasi akibat efek
postoperative. Nonoperative management dilakukan dengan melakukan
evaluasi hasil CT terkait udara extraluminal, appendicolith, ascites diluar
kuadran kanan bawah, dan efusi. Jika hasil CT menunjukkan
penumpukan cairan unilocular maka disebut ‘simple’ dan tidak
membutuhkan terapi operative. ‘kompleks’ jika didapati penumpukan
cairan multilocular (The abdomen was conceptually divided into five
sectors: the right and left upper quadrants, the RLQ and left lower
quadrant, and the pelvis. The number of sectors in which a collection was
present was recorded). Nonoperative management dilakukan dengan
memberikan terapi triple antibiotic (ampicillin/vancomycin, gentamicin
and clindamycin) on admission. Nyeri dikontrol dengan morphine.
KONSEP
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Aktivitas / istirahat
Gejala : Malaise
2. Sirkulasi
Tanda : Takikardi
3. Eliminasi
Gejala : Konstipasi pada awal awitan, Diare, penurunan bising usus
atau bahkan peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik
pada peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata
Tanda : Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan.
4. Makanan / cairan
Gejala : Anoreksia , mual, muntah
5. Nyeri / kenyamanan
Gejala :Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilicus, yang
meningkat berat dan terlokalisasi pada titik McBurney (setengah
jarak antara umbilicus dan tulang ileum kanan), meningkat
karena berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam (nyeri berhenti
tiba-tiba diduga perforasi atau infark pada apendiks
Tanda : Perilaku berhati-hati, berbaring kesamping atau telentang dengan
lutut ditekuk, meningkatnya nyeri pada kuadran kanan bawah
karena posisi ekstensi kaki kanan / posisi duduk tegak.
6. Keamanan : Demam > 38,00C
7. Pernapasan : Takipnea, pernapasan dangkal.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan dengan penekanan ujung-ujung saraf, pelepasan
mediator kimia (histamine, bradikinin, prostaglandin), distensi jaringan
usus oleh inflamasi
2. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi
3. Risiko defisit volume cairan berhubungan dengan muntah, mual,
pembatasan makanan dan cairan, kadang-kadang diare
4. Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan perforasi atau ruptur
appendiks, peritonitis, pembentukan abses
5. Ansietas berhubungan dengan rencana pembedahan, nyeri
6. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan adanya
mual,muntah dan pembatasan makanan .
7. Gangguan pola tidur berhubungan dengan Fisiologis : Demam, mual,
posisi, nyeri.
Baretto, (2012). Indian Journal of Medical Sciences, Vol. 64. ‘Acute Perforated
Appendicitis: An Analysis Of Risk Factors To Guide Surgical Decision
Making. <http://content.ebscohost.com/pdf
1821/pdf/2010/IJM/01Feb10/4949718.pdf>
Guyton & Hall. (2013). Buku ajar fisiologi kedokteran, edisi: 9. Jakarta: EGC.
Masjoer, A., dkk., (2012). Kapita selekta kedokteran. Jilid 2. Jakarta : Media
Aesculapius.