Anda di halaman 1dari 25

10

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka

1. Warna Gigi

a. Definisi Warna Gigi

Warna alami enamel adalah putih translusen dan warna struktur

gigi di bawah enamel cenderung tampak. Dentin berada di bawah

enamel, dengan warna normal kekuningan, tetapi oleh karena struktur

porous dan adanya persyarafan gigi akan menembus warna dentin

yang menyebabkan warna gigi menjadi lebih gelap sampai kearah

kuning kecoklatan (Spiller, 2005)

b. Diskolorasi

1) Definisi diskolorasi

Diskolorasi merupakan terjadinya perubahan warna pada

gigi. Perubahan warna gigi di bagian anterior merupakan problem

estetik yang sering mendorong pasien untuk melakukan perawatan.

Meskipun terdapat perawatan secara restoratif seperti pembuatan

mahkota atau vinir atau pelapisan, namun diskolorasi dapat dirawat

secara keselurahan atau sebagian dengan menggunakan teknik

bleaching. Prosedur bleaching termasuk dalam perawatan

konservatif, pelaksaannya relative lebih sederhana, dan lebih

murah (Walton dan Torabinejad, 2008)

10
11

2) Klasifikasi diskolorasi menurut (Grossman dkk., 1995)

a) Diskolorasi Ekstrinsik

Diskolorasi ekstrinsik merupakan perubahan warna yang

terjadi di luar permukaan gigi yang biasanya diakibatkan faktor

lokal, seperti noda atau stain tembakau. Diskolorasi jenis ini

lebih mudah dilakukan perawatan pemutihan gigi (Walton dan

Torabinejad,1997)

b) Diskolorasi intrinsik

Diskolorasi intrinsik merupakan noda yang terdapat di

email dan dentin yang disebabkan oleh penumpukan atau

penggabungan bahan di dalam struktur-struktur ini seperti stain

tetracycline (Grossman dkk., 1995)

3) Etiologi Diskolorasi Gigi Menurut Walton dan Torabinejad (1997)

a) Noda alamiah atau dapatan

(1) Nekrosis Pulpa

(2) Pendarahan intrapulpa

(3) Metarmorfosis kalsium

(4) Defek perkembangan

(a) Akibat obat-obatan sistemik

(b) Defek dalam pembentukan gigi

(c) Kelaianan darah dan faktor-faktor lain


12

b) Perubahan warna iatrogenik

(1) Perubahan warna karena perawatan endodonsia

(a) Material obturasi

(b) Sisa-sisa jaringan pulpa

(c) Obat-obatan intrakanal

c) Restorasi korona

(1) Restorasi logam

(2) Restorasi komposit

2. Bleaching

a. Definisi bleaching

Pemutihan gigi (bleaching) adalah suatu proses yang akan

membuat gigi tampak lebih putih. Proses pemutihan gigi ini pertama

kali digambarkan pada tahun 1864 hingga akhirnya berkembang

sampai sekarang. Ada beberapa macam pilihan cara perawatan

pemutihan gigi yang disesuaikan dengan jenis pewarnaan yang terjadi

(Gursoy dkk., 2008). Perawatan konvensional untuk menghilangkan

pewarnaan gigi ekstrinsik adalah dengan tindakan skaling dan

polishing gigi, namun untuk pewarnaan ekstrinsik yang sukar

dihilangkan, ataupun untuk pewarnaan intrinsik, diperlukan perawatan

lain yaitu dengan proses pemutihan gigi (Gursoy dkk., 2008).


13

b. Bahan-bahan pemutih gigi (bleaching)

1) Hidrogen Peroksida

Hidrogen peroksida bersifat tidak stabil dan pada konsentrasi

sangat tinggi dapat bersifat mutagenik. Selain itu hidrogen

peroksida dapat menghambat aktivitas enzim pulpa sehingga

menyebabkan perubahan permanen pada pulpa (Fauziah dkk.,

2012). Penetrasi hidrogen peroksida pada gigi lebih cepat daripada

karbamid peroksida (Hendari, 2009).

2) Karbamid Peroksida

Karbamid peroksida merupakan kombinasi hidrogen

peroksidan dan urea. Karbamid peroksida dengan konsentrasi 10%

biasa digunakan pada prosedur home-bleaching (Fauzia dkk.,

2012). Karbamid peroksida dapat diperoleh dalam berbagai

konsentrasi. Preparat komersial yang terkenal mengandung kira-

kira 10% karbamid peroksida dan mempunyai pH rata-rata 5-6,5.

Biasanya juga mengandung gliserin atau propilen glikol, natrium

stannat, asam fosfat atau asam sitrat, dan aroma. Dalam beberapa

preparat, ditambahkan carbopol, resin yang larut dalam air untuk

memperlama pelepasan peroksida aktif dan meningkatkan masa

penyimpanannya. 10% karbamid peroksida terurai menjadi urea,

ammonia, karbondioksida, dan sekitar 3,5% hidrogen peroksida.

(Walton dan Torabinejad, 2008).


14

3) Natrium Perborat

Natrium perborat merupakan suatu bubuk putih, stabil,

biasanya disediakan dalam bentuk granular, yang harus digiling

menjadi bubuk sebelum digunakan. Bubuknya larut dalam air dan

terurai menjadi sodium metaborat dan hidrogen peroksida, dengan

melepas oksigen (Grossman dkk., 1995). Jika masih baru, bahan

ini mengandung kira-kira 95% perborat dalam 90% oksigen.

Natrium perborat akan stabil bila dalam keadaan kering,

tetapi dengan adanya asam, air hangat, atau air, akan berubah

menjadi natrium metaborat, hydrogen peroksida dan oksigen

bentuk nasen. Kebanyakan preparat natrium perborat bersifat

alkali. Natrium perborat lebih mudah di control dan lebih aman

daripada cairan hydrogen peroksida pekat. Natrium perborat dapat

diperoleh dalam berbagai macam bentuk, semuanya cukup efektif

(Walton dan Torabinejad, 2008)

4) Material Oksidator Lain

Dahulu, bahan natrium peroksiborat monohidrat (Amosan),

yang melepaskan oksigen lebih banyak dibandingkan dengan

natrium perborat, dianjurkan untuk dipakai pada pemutihan secara

internal. Sekarang, secara klinis tidak umum digunakan lagi.

Natrium hipoklorit merupakan bahan irigasi saluran akar yang bisa

diperoleh sebagai bahan pemutih untuk keperluan rumah tangga

dengan konsentrasi 3-5%. (Walton dan Torabinejad, 2008).


15

3. Efek samping bleaching

Pemakaian bahan pemutih gigi dapat menyebabkan terjadinya efek

samping, yaitu pada jaringan keras, mukosa, dan sensitifitas gigi (Hendari,

2009). Beberapa bahan bleaching memiliki efek samping kurang baik

terhadap rongga mulut. Hidrogen peroksida (H2O2) merupakan agen

pemutihan yang efektif, tetapi konsentrasi tinggi harus digunakan dengan

hati-hati, untuk menghindari meningkatnya risiko resorpsi akar (Harshita

C, 2014). Secara keseluruhan bahan pemutih hidrogen peroksida aman

digunakan apabila dipakai dalam batas konsentrasi yang diawasi, waktu

yang tidak terlalu lama (bila konsentrasi tinggi) dan dalam suatu interval

waktu perawatan tertentu. Hidrogen peroksida dalam berbagai konsentrasi

merupakan bahan utama yang digunakan pada proses pemutihan. Pada

teknik in-office untuk gigi vital dan walking bleach untuk gigi non vital,

salah satu yang biasa digunakan adalah hidrogen peroksida dengan

konsentrasi 35% .

Alasan mengapa hidrogen peroksida diperhitungkan sebagai faktor

resiko untuk kesehatan, karena adanya campuran oksidasi dosis tinggi dan

mudah terdekomposisi menjadi radikal hidroksil. Radikal hidroksil sebagai

radikal bebas dengan elektron tak berpasangan, siap menyerang molekul

lain, menghasilkan radikal bebas dan seterusnya. Kerusakan yang

dihasilkan mengacu pada stress oksidatif menyebabkan disfungsi

molekuler dan seluler. Kerusakan pada makromolekul esensial oleh


16

oxygen-based reactants menjadi penyebab beberapa penyakit (Meizarini,

2009)

1) Macam-macam efek samping bahan bleaching hidrogen peroksida

35% , antara lain adalah :

a) Resorpsi eksternal

Bahan bleaching mampu merangsang terjadinya resorpsi akar di

daerah serviks gigi.

b) Fraktur korona

Meningkatnya kerapuhan korona akibat aplikasi panas dan

kandungan zat kimia dari bahan bleaching.

c) Terbakar karena zat kimia

Karena kandungan hidrogen peroksida bersifat tajam dapat

mengakibatkan gingiva terluka dan mengelupas (Walton dan

Torabinejad, 2008). Menurut Sjamsuhidayat dan Jong (2012) luka

akibat zat kimia biasanya adalah berupa luka bakar.

4. Luka Bakar Akibat Zat Kimia

Luka bakar kimia adalah luka yang ditimbulkan oleh efek iritasi zat

kimia. Kerusakan yang terjadi sebanding dengan kadar dan jumlah iritan

yang mengenai tubuh, cara dan lamanya kontak, serta sifat dan cara kerja

dari kimia tersebut. Luka bakar karena zat kimia berbeda dengan luka

bakar akibat (panas) termal. Derajat luka ditentukan olehkonsenterasi atau

kandungan agent yang ada pada zat kimia tersebut (Sjamsuhidayat dan

Jong, 2012)
17

5. Luka Rongga Mulut

a. Gingiva

Gingiva adalah bagian dari mukosa rongga mulut yang

mengelilingi gigi dan menutupi linggir (ridge alveolar), yang berperan

sebagai jaringan pendukung gigi, dan membentuk hubungan dengan

gigi. Gingiva dapat beradaptasi terhadap perubahan lingkungan dan

rongga mulut yang merupakan bagian pertama dari saluran pencernaan

dan daerah awal masuknya makanan dalam sistem pencernaan.

Jaringan rongga mulut terpapar terhadap sejumlah besar stimulus,

temperatur dan konsistensi makanan dan minuman, komposisi

kimiawi, asam dan basa sangat bervariasi. Gingiva yang sehat

berwarna merah muda, tepinya seperti pisau seseuai dengan kontur

gigi geligi (Manson dan Eley, 1993).

b. Luka di bagian gingiva

Luka pada daera gingiva sering dijumpai akibat keadaan

abnormalitas pada daerah rongga mulut. Penyembuhan luka pada

daerah gingiva terbilang kompleks karena gingiva terdapat di area

terbuka dan sering terkontaminasi bakteri yang masuk lewat rongga

mulut ( Hartini IGAA, 2012).

6. Penyembuhan luka

a. Fase penyembuhan

Fase penyembuhan luka dapat dibagi kedalam tiga fase, yaitu

inflmasi, proliferasi, dan remodeling yang merupakan pembentukan


18

ulang jaringan (Sjamsuhidayat dan Jong, 2012). Luka akan sembuh

melalui reaksi inflamasi, tujuannya adalah agar membentuk jaringan

parut yang keras yang akan menggabungkan bagian yang luka dan

mengembalikan fungsinya seperti semula (Sabiston, 1995).

1) Fase inflamasi

Inflamasi adalah reaksi fisiologik setempat dari tubuh

terhadap stimuli atau iritan noksius (Grossman dkk., 2008). Proses

inflamasi menghilangkan dan melarutkan atau membatasi agen

penyebab jejas dan member jalan agar terjadinya pemulihan

terhadap jaringan yang rusak (Robbins dan Kumar, 1995). Setiap

iritan baik traumatik, kimiawi, maupun bakterial, menyebabkan

suatu rangkaian dasar aksi fisiologik dan morfologik pada jaringan

vaskula, limfatik dan penghubung (Grossman dkk., 2008).

Pembuluh darah yang terputus pada luka akan menyebabkan

perdarahan, dan tubuh berusaha menghentikannya dengan

vasokonstriksi, pengerutan ujaung pembuluh yang putus (retraksi),

dan reaksi hemostasis.

Hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar dari

pembuluh darah saling melekat, dan bersama jala fibrin yang

terbentuk akan membekukkan darah yang keluar dari pembuluh

darah (Sjamsuhidayat dan Jong, 2012). Vaskulator-mikro pada

lokasi jejas akan melebar dan berisi darah , ini tidak akan terjadi

apabila sifat dari jejasnya ringan (Robbins dan Kumar, 1995).


19

Tanda dan gejala klinis yan timbul apabila terjadi inflamasi yaitu

berupa warna kemerahan karena kapiler melebar (rubor), rasa

hangat (kalor), timbulnya nyeri (dolor), dan timbulnya

pembengkakkan (tumor) (Sjamsuhidayat dan Jong, 2012).

Penimbunan sel-sel darah putih terutama neutrofil atau nama

lainnya adalah sel polimorfonuklear (PMN) dan juga monosit

memiliki peranan penting dalam proses inflamasi karena sel darah

putih utamanya sel PMN mampu memakan bahan yang bersifat

asing di dalam tubuh atau yang sering disebut dengan proses

fagositosis ini, akan memakan bakteri dan debris sel-sel yang

sudah nekrosis pada jaringan yang luka, sedangkan enzim lisosom

yang terkandung di dalam sel akan membantu pertahanan tubuh

dengan beberapa cara (Robbins dan kumar, 1995).

2) Fase proliferasi

Fase proliferasi ini lebih menonjolkan proses proliferasi

fibroblast, karena itu fase proliferasi sering disebut juga sebagai

fase fibroplasias. Fibroblast berasal dari sel mesenkim yang belum

berdiferensiasi, menghasilkan mukopolisakarida, asam amino

glisin, dan prolin yang merupakan bahan dasar kolagen serat yang

akan bekerja dalam proses mempertautkan tepi dari luka.

Pada fase fibroplastin ini, luka dipenuhi oleh sel inflamasi,

fibroblast, dan kolagen, serta pada fase ini akan terbentuk

pembuluh darah baru yang disebut dengan proses angiogenesis dan


20

pada fase ini akan terbentuk jaringan granulasi, fase fibroplasias ini

akan berhenti setelah epitel saling menyentuh dan menutup seluruh

permukaan luka. Dengan tertutupnya permukaan luka maka proses

fibroplasias dan proses granulasi secara otomatis akan berhenti

bekerja dan akan memulai proses pematangan pada proses

remodeling.

3) Fase remodeling

Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri dari

penyerapan kembali jaringan yang berlebihan, proses pengerutan,

dan proses akhirnya yaitu perupaan ulang jaringan baru. Fase ini

dapat berlangsung berbulan-bulan sampai semua tanda inflamasi

dinyatakan sudah lenyap. Tubuh akan berusaha menormalkan

kembali semua yang menjadi abnormal pada saat proses

penyembuhan (Sjamsuhidayat dan Jong, 2012). Proses

penyembuhan luka bakar berasal dari proliferasi epitel sepanjang

tepi-tepi luka (Sabiston, 1995).

7. Peranan sel PMN (Polimorfonuklear)

Sel PMN (neutrofil) jarang ditemukan dalam jaringan ikat normal,

dan akan berjumlah banyak pada saat proses inflamasi.(bloom dan Fawcet,

2002). Sel PMN empunyai inti bersegmen dengan bentuk bermacam-

macam, seperti kacang, tapal kuda dan lain-lain. Segmen/lobus dari inti

berkisar 2-4 buah. Granula di dalamsitoplasma berukuran kecil, nampak

hanya sebagai bintik-bintik kecil saja. Besarnya 10-12 mikron. Dengan


21

pewarnaan metilen biru-eosin tidak memberikan warna merah (eosinofilik)

maupun biru (basofilik), karena itu disebut neutrofil. Sel ini dibentuk oleh

mielosit sumsum tulang (Burkit dkk., 1995; Leeson dkk., 1996; Sudiono

dkk., 2003). Produk pecahan dari komplemen dan sitokin yang dibebaskan

pada tempat yang terjadi infeksi bakteri dan akan menginduksi sel-sel

endotel kapiler untuk membuat dan menyisipkan dalam membrannya,

sebuah glikoprotein yang disebut molekul adhesi sel endotel-1 (ELAM-1)

akan menjadikan permukaan lumennya lengket. Beberapa mediator

inflamasi lainnya membantu sel PMN untuk menginduksi dan akan

membentuk proses molekul adhesi leukosit (LeuCAM) yang akan

membuat sel PMN (neutrofil) menempel pada endotel kapiler.

Sel PMN akan bermigrasi menerobos dinding kapiler ke dalam

jaringan ikat, melawan konsentrasi gradient dari sitokin dan mediator

lainnya yang berdifusi dari tempat inflamasi. Sel PMN akan sangat

responsive terhafap faktor-faktor yang menggerakknya (kemotaksis).

Mekanisme ini akan membuat mobilisasi cepat sejumlah besar dari sel

PMN (neutrofil) untuk membantu makrofag yang ada dalam

menghancurkan bakteri yang masuk dan berada di dalam jaringan

terinflamasi (Bloom dan Fawcet, 2002)

8. Pengobatan topikal terhadap luka

Obat topikal adalah obat yang mengandung dua komponen dasar

yaitu zat pembawa (vehikulum) dan zat aktif. Zat aktif ini merupakan

komponen bahan topikal yang memiliki efek terapeutik, sedangkan zat


22

pembawa merupakan bagian inaktif dari sediaan topikal dapat berbentuk

cair atau padat yang membawa bahan aktif berkontak dengan kulit.

Idealnya zat pembawa ini memiliki sifat yang mudah dalam

mengaplikasikannya dan mudah dalam pembersihannya. Selain itu, bahan

aktif harus berada di dalam zat pembawa dan kemudian mudah dilepaskan

(Yanhendri dan Yenny, 2012).

Menurut literatur, penggunaan topikal kortikosteroid dianjurkan

untuk pengobatan terhadap ulserasi pada mukosa mulut. Topikal

kortikosteroid berfungsi sebagai agen anti-inflamasi. Topikal

kortikosteroid dapat berupa triamcinolone acetonide 0,1%, kenalog in

orabase, salep hydrocortisone acetate 1% dan salep bethamethasone

dipropionate 0,05% (Savage dan Mccullogh, 2005).

9. Obat tradisional

a. Definisi obat tradisional

Pengertian obat tradisional berdasarkan Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor 007 tahun 2012 Pasal 1 menyebutkan bahwa : Obat

tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan

tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau

campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah

digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan

norma yang berlaku di masyarakat.

Penggunaan obat tradisional di Indonesia tidak saja berlangsung

di desa yang tidak memiliki/jauh dari fasilitas kesehatan dan obat


23

modern sulit didapat, tetapi juga berlangsung di kota besar meskipun

banyak tersedia fasilitas kesehatan dan obat modern mudah diperoleh.

Obat tradisional mungkin digunakan sebagai obat alternatif karena

mahalnya atau tidak tersedianya obat modern/sintetis dan adanya

kepercayaan bahwa obat tradisional lebih aman (Dewoto, 2007)

Seperti yang dikatakan oleh Damayanti, dkk (2007) salah satu

jenis tanaman obat yang sering digunakan yaitu pepaya (Carica

papaya L). Pepaya merupakan buah yang banyak dikonsumsi dan

termasuk buah cepat masak setelah dipanen, tumbuh pada tanah

lembab yang subur dan tidak tergenang air. Buah, bunga, dan daun

muda dapat dimakan. Salah satu yang dapat dimanfaatkan sebagai

bahan obat-obatan adalah daun papaya (Carica papaya).

10. Carica Papaya Linn ( Pepaya)

a. Klasifikasi

Gambar 1. Daun Papaya (Carica papaya L.)

Tumbuhan pepaya biasanya tumbuh di daerah India Utara,


24

Filipina, Srilanka,India, Bangladesh, Malaysia, dan di negara tropical.

Banyak sekali bagian dari pepaya yang bernilai komersial. Bagian

berbeda dari tumbuhan pepaya (buah, daun,getah, dan biji) bisa

dimakan dan bisa dijadikan obat untuk berbagai penyakit.

Dalamnbeberapa studi, daun pepaya terbukti sebagai antisikling, dan

efektif melawan ulcer gastrik pada tikus, sedangkan bunga pepaya

terbukti memiliki aktivitas antibakteri. Sistematika tumbuhan pepaya

adalah sebagai berikut :

Kingdom/ Kerajaan : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh)

Divisi : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga)

Kelas : Magnoliopsida (dikotil)

Bangsa/ Ordo : Violales

Suku/ Suku : Caricaceae

Marga/ Genus : Carica

Jenis/ Spesies : Carica papaya (Anonim, 2008)

b. Kandungan Daun Pepaya (Carica papaya L.)

Daun pepaya sering digunakan dalam pengobatan tradisional.

Dilaporkan bahwa tanaman ini memiliki kandungan kimia yaitu

alkaloid, saponin dan flavonoid pada daun, akar dan kulit batangnya,

mengandung polifenol pada daun dan akarnya, serta mengandung

saponin pada bijinya (Depkes 2000)

1) Senyawa Aktif Daun Pepaya (Carica papaya L.)


25

Flavonoid merupakan senyawa antioksidan yang larut dalam

air dan membersihkan radikal bebas sehingga dapat mencegah

kerusakan sel oksidatif dan selain itu flavonoid mempunyai

aktivitas antikanker yang kuat. Sebagai senyawa antioksidan,

flavonoid memberikan aktivitas antiinflamasi (Harisaranraj dkk.,

2009). Sifat-sifat yang dimiliki oleh flavonoid ini dipertimbangkan

memiliki peran dalam proses penyembuhan luka (Hasanoglu,

2001).

Tanin dapat melakukan aktivitas penyembuhan luka dengan

meningkatkan aktifitas regenerasi dan organisasi dari jaringan baru

(Karodi dkk., 2009). Kelebihan lain yang dimiliki tanin

diantaranya meringankan rasa nyeri, membatasi terjadinya infeksi

sekunder, mencegah hilangnya plasma, dan promosi epitelisasi

yang produktif (Hasselt, 2005).

Saponin merupakan senyawa yang dapat digunakan untuk

penyembuhan luka dan menghentikan perdarahan. Saponin

memiliki sifat mampu mengendapkan dan memiliki sifat koagulasi

(Harisaranraj dkk., 2009).

11. Ekstrak

Keputusan menteri kesehatan nomor 261/MENKES/SK/IV/2009

mengatakan ekstrak merupakan sediaan kering, kental, atau cair dibuat

dengan cara menyaring simplisia nabati atau hewani sesuai cara yang

cocok, diluar pengaruh cahaya matahari langsung. Ada beberapa cara


26

metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut menurut Ditjen POM

(2000), yaitu:

a. Cara dingin

1) Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan

menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau

pengadukan pada temperatur kamar.

2) Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru, yang

umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Prosesnya terdiri

dari tahapan pengembangan bahan, tahapan maserasi antara, tahap

perkolasi sebenarnya (penetesan atau penampungan ekstrak), terus

menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang tidak

meninggalkan sisa bila 500 mg perkolat terakhir diuapkan pada

suhu ± 50ºC.

b. Cara panas

1) Refluks merupakan ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik

didihnya, selama waktu tertentu, dan jumlah pelarut terbatas yang

relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya

dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali

sehingga proses ekstraksi sempurna.

2) Sokhlet merupakan ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu

baru yang umumnya dikakukan dengan alat khusus sehingga

terjadi ekstrak kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan

dengan adanya pendingin balik.


27

3) Digesti merupakan maserasi kinetik (pengadukan) pada temperatur

yang lebih tinggi dari temperatur kamar, yaitu secara umum

dilakukan pada temperatur 40-50ºC.

4) Infus merupakan ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur 96-

98ºC selama 15-20 menit dipenangas air dapat berupa bejana infus

tercelup dengan penangas air mendidih.

12. Gel

Gel adalah suatu sistem padat atau setengah padat dari paling sedikit

dua bahan dengan kandungan massanya yang begitu rapat dan diselusupi

cairan. Gel memiliki sifat yang lunak, lembut, mudah diaplikasikan, dan

tidak meninggalkan lapisan berminyak pada permukaan kulit. Hal ini

merupakan keuntungan yang menunjukkan bahwa gel mampu meratakan

distribusi dari komponen pembentuk gel dalam pelarut (Abdassah dkk.,

2009)

13. Tikus Putih(Rattus norvegicus) Galur Sprague Dawley

Gambar 2.
Tikus Putih(Rattus norvegicus) Galur Sprague Dawley
(sumber : Akbar, 2010)
28

Tikus (Rattus sp) termasuk binatang pengerat yang merugikan dan

termasuk hama terhadap tanaman petani. Selain kerugian yang didapatkan

dari tikus ini, tikus jenis albino (tikus putih) banyak digunakan sebagai

hewan percobaan di laboratorium untuk dijadikan bahan penelitian

(Akbar, 2010)

Klasifikasi tikus putih adalah sebagai berikut (Akbar,2010) :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mammalia

Ordo : Rodentia

Subordo : Odontoceti

Familia : Muridae

Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus

Tikus putih yang digunakan untuk percobaan laboratorium yang

dikenal ada tiga macam galur yaitu Sprague Dawley, Long Evans dan

Wistar. Tikus galur Sprague-Dawley dinamakan demikian, karena

ditemukan oleh seorang ahli Kimia dari Universitas Wisconsin, Dawley

(Akbar, 2010). Tikus ini umumnya digunakan sebagai hewan model

dalam penelitian-penelitian di bidang psikologi kedokteran, biologi, dan

genetika (Harkness dan Wagner, 1989). Berbagai hewan kecil memiliki

karakteristik tertentu yang relatif serupa dengan manusia, sementara

hewan lainnya mempunyai kesamaan dengan aspek fisiologis metabolis


29

manusia maka dari itu tikus putih sering digunakan sebagai hewan coba

(Ridwan,2013)

Tikus putih memiliki beberapa sifat yang menguntungkan sebagai

hewan uji penelitian di antaranya perkembangbiakan cepat, mempunyai

ukuran yang lebih besar dari pada mencit, mudah dipelihara dalam jumlah

yang banyak. Tikus putih juga memiliki ciri-ciri morfologis seperti albino,

kepala kecil, dan ekor yang lebih panjang dibandingkan badannya,

pertumbuhannya cepat, temperamennya baik, kemampuan laktasi tinggi,

dan tahan terhadap arsenik tiroksid (Akbar, 2010)


30

B. Landasan Teori

Pemutihan gigi (bleaching) sering dilakukan di praktek dokter gigi

sebagai bagian dari perawatan estetika, kandungan bahan bleaching itu sendiri

adalah hidrogen peroksida 30-35% yang merupakan zat kimia dengan

konsentrasi cukup tinggi dan apabila tidak digunakan dengan hati-hati karena

memiliki sifat iritasi jika terkena mukosa rongga mulut. Namun selain efek

negative yang timbul akibat efek samping bahan hidrogen peroksida tersebut,

bahan ini mampu memberikan keuntungan dibanding bahan bleaching lainnya

, dimana kandungan dalam hidrogen peroksida lebih kuat dalam proses

pemutihan gigi maka dari itu kenapa bahan ini masih saja digunakan dan

diperlukan dalam proses bleaching di kedokteran gigi. Mengenai efek negative

yang timbul akibat efek samping hidrogen peroksida itu disebabkan biasanya

karena di rongga mulut selain terdiri dari gigi geligi juga terdapat jaringan

pendukung disekitarnya yang salah satunya adalah gingiva. Kejadian yang

biasa ditemukan adalah terjadinya luka akibat pada saat proses bleaching,

bahan yang digunakan mengenai jaringan mukosa gingiva karena tidak hati-

hati saat pengaplikasian maka akan menimbulkan efek melepuh karena sifat

luka diakibatkan zat kimia serta akan membuat pasien merasa kurang nyaman.

Pada proses penyembuhan luka , bagian yang terpenting saat suatu

jaringan terluka adalah neutrofil (sel polimorfonuklear) yang akan muncul

pertama kali saat prose inflamasi. Sel PMN jarang ditemukan pada jaringan

yang normal namun akan berjumlah banyak pada saat proses inflamasi.

Indikator penyembuhan luka diantaranya adalah neutrofil, limfosit,


31

makrofag, fibroblast dan didukung oleh ukuran dari diameter luka. Luka

dikatakan mengalami proses penyembuhan jika diameter pada luka semakin

kecil hingga mencapai 0,0 mm.

Buah papaya (Carica papaya L.) merupakan tumbuhan yang

mengandung saponin, flavonoid, alkaloid dan tannin yang memiliki peranan

penting untuk proses penyembuhan luka. Pada penelitian ini mengunakan gel

ekstrak daun papaya (Carica papaya L.) yang akan diujikan pada tikus

Sprague dawley jantan untuk melihat pengaruhnya terhadap ukuran diameter

luka dalam proses penyembuhan luka akibat efek samping dari bahan

bleaching kandungan hidrogen peroksida 35% jika terkena gingiva. flavonoid

telah terbukti baik secara in vitro maupun in vivo sebagai agen antiinflamasi.
32

C. Kerangka konsep

Bleaching

Kandungan bleaching Hidrogen peroksida 30%

Hidrogen peroksida 35%

Efek samping Gigi sensitif

Iritasi gingiva

Proses penyembuhan luka

pengobatan

herbal Obat kimia

Gel ekstrak daun


papaya (Carica
Papaya L.) 75%

Penutupan luka

Diameter luka mengecil

Jumlah sel PMN (neutrofil) mengalami penurunan

Gambar 3. Kerangka konsep


33

D. Hipotesis

Berdasarkan teori yang telah diuraikan pada tinjauan pustaka, maka

hipotesis penelitian ini adalah pemberian gel ekstrak daun papaya (Carica

papaya L.) 75% efektif menurunkan jumlah sel PMN dan diameter luka yang

di akibatkan oleh efek samping bleaching kandungan hidrogen peroksida

35%.
2

Anda mungkin juga menyukai