Anda di halaman 1dari 19

TINJAUAN PUSTAKA

A. Akut Miokard Infark

Akut miokard infark (AMI) adalah sel otot jantung yang mati akibat gangguan aliran darah

ke otot jantung. Sesaat setelah terjadi sumbatan koroner akut, aliran darah di pembuluh darah

terhenti, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral pembuluh darah di sekitarnya. Daerah otot di

sekitarnya yang sama sekali tidak mendapat aliran darah atau alirannya sangat sedikit sehingga

tidak dapat mempertahankan otot jantung, dikatakan mengalami infark.

Infark miokard merupakan gangguan aliran darah ke jantung yang menyebabkan sel otot

jantung mati. Aliran darah di pembuluh darah terhenti setelah terjadi sumbatan koroner akut,

kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari pembuluh darah di sekitarnya. Daerah otot di

sekitarnya yang sama sekali tidak mendapat aliran darah atau alirannya sangat sedikit sehingga

tidak dapat mempertahankan fungsi otot jantung, dikatakan mengalami infark.

Infark miokard adalah nekrosis otot jantung yang bersifat ireversibel, dan merupakan akibat

dari iskemik yang berkepanjangan. Hal ini biasanya menyebabkan ketidakseimbangan suplai

dan kebutuhan oksigen, yang mana paling sering disebabkan oleh rupturnya plak dan

pembentukan trombus pada pembuluh darah koroner, sehingga terjadi penurunan suplai darah

ke miokardium.

Akut miokard infark (AMI) dengan elevasi ST (ST elevation myocardial infarction =

STEMI) merupakan bagian dari spektrum Sindrom Koroner Akut (SKA) yang terdiri dari :

 Unstable angina

 Acute Myocardial Infarction dengan segmen ST elevasi (STEMI)


 Acute Myocardial Infarction tanpa segmen ST elevasi (NSTEMI).

B. ST Elevasi Miokard Infark

STEMI adalah sindrom klinis yang didefinisikan sebagai gejala iskemia miokard

khas yang dikaitkan dengan gambaran EKG berupa elevasi ST yang persisten dan diikuti

pelepasan biomarkaer nekrosis miokard. Mortalitas selama perawatan (5-6%) dan

mortalitas 1 tahun (7-18%) cenderung menurun dikaitkan dengan peningkatan terapi medis

sesuai pedoman (guideline) dan intervensi.

Berdasarkan penelitian berskala luas dalam Interheart Study menunjukkan kadar

lipid yang abnormal, riwayat merokok, hipertensi, DM, obesitas abdominal, faktor

psikososial, pola diet, konsumsi alkohol serta aktivitas fisik secara signifikan berhubungan

dengan infark miokard akut baik pada STEMI maupun NSTEMI. Secara garis besar, faktor

risiko tersebut terbagi menjadi dua kelompok berdasarkan dapat atau tidaknya

dimodifikasi:

Faktor resiko yang tidak dapat di rubah:

1) Usia

Resiko aterosklerosis koroner meningkat seiring bertambahnya usia. Penyakit yang

serius jarang terjadi sebelum usia 40 tahun. Faktor resiko lain masih dapat diubah, sehingga

berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik. Seluruh jenis penyakit jantung koroner

termasuk STEMI yang terjadi pada usia lanjut mempunyai risiko tinggi kematian
2) Jenis Kelamin

Laki-laki memiliki risiko lebih besar terkena serangan jantung dan

kejadiannyalebih awal dari pada wanita. Morbiditas penyakit ini pada laki-laki lebih besar

daripada wanita dan kondisi ini terjadi dan kondisi ini terjadi hampir 10 tahun lebih dini

pada wanita. Studi lain menyebutkan wanita mengalami kejadian infark miokard pertama

kali 9 tahun lebih lama daripada laki-laki. Perbedaan onset infark miokard pertama ini

diperkirakan dari berbagai faktor resiko tinggi yang mulai muncul pada wanita dan laki-

laki ketika berusia muda. Wanita agaknya relatif kebal terhadap penyakit ini sampai

menopause, dan kemudian menjadi sama rentannya seperti pria. Hal diduga karena adanya

efek perlindungan esterogen.

3) Riwayat Keluarga

Riwayat keluarga pada kasus penyakit jantung koroner yaitu keluarga langsung

yang berhubungan darah pada pasien berusia kurang dari 70 tahun merupakan faktor risiko

independen. Agregasi PJK keluarga menandakan adanya predisposisi genetik pada

keadaan ini. Terdapat beberapa bukti bahwa riwayat keluarga yang positif dapat

mempengaruhi usia onset PJK pada keluarga dekat. Faktor familial dan genetika

mempunyai peranan bermakna dalam patogenesis PJK, hal tersebut dipakai juga sebagai

pertimbangan penting dalam diagnosis, penatalaksanaan dan juga pencegahan PJK

Faktor resiko yang dapat di rubah:

1) Hipertensi

Risiko serangan jantung secara langsung berhubungan dengan tekanan darah, setiap

penurunan tekanan darah diastolik sebesar 5 mmHg risikonya berkurang sekitar 16 %.25
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140 mmHg dan atau

tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg. Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan

resistensi vaskuler terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri. Akibatnya kerja jantung

bertambah, sehingga ventrikel kiri hipertrofi untuk meningkatkan kekuatan pompa. Bila

proses aterosklerosis terjadi, maka penyediaan oksigen untuk miokard berkurang.

Tingginya kebutuhan oksigen karena hipertrofi jaringan tidak sesuai dengan rendahnya

kadar oksigen yang tersedia. Secara sederhana dikatakan peningkatan tekanan darah

mempercepat aterosklerosis dan arteriosclerosis, sehingga rupture dan oklusi vaskuler

terjadi 20 tahun lebih cepat daripada orang normotensi

2) Diabetes Mellitus

Diabetes Melitus akan menyebabkan proses penebalan membran

basalis dari kapiler dan pembuluh darah arteri koronaria, sehingga terjadi

penyempitan aliran darah ke jantung. Insiden serangan jantung meningkat 2 hingga 4 kali

lebih besar pada pasien yang dengan diabetes melitus. Orang dengan diabetes cenderung

lebih cepat mengalami degenerasi dan disfungsi endotel. Diabetes mellitus berhubungan

dengan perubahan fisik - pathologi pada system kardiovaskuler. Diantaranya dapat berupa

disfungsi endothelial dan gangguan pembuluh darah yang pada akhirnya meningkatkan

risiko terjadinya coronary artery diseases (CAD).

3) Dislipidemia

Abnormalitas kadar lipid serum yang merupakan faktor resiko adalah

hiperlipidemia. Hiperlipidemia merupakan peningkatan kadar kolesterol atau trigliserida

serum di atas batas normal. The National Cholesterol Education Program (NCEP)

menemukan kolesterol LDL sebagai faktor penyebab penyakit jantung koroner. The
CoronaryPrimary Prevention Trial (CPPT) memperlihatkan bahwa penurunan kadar

kolesterol juga menurunkan mortalitas akibat infark miokard

Dislipidemia diyakini sebagai faktor risiko mayor yang dapat dimodifikasi untuk

perkembangan dan perubahan secara progresif atas terjadinya PJK. Kolesterol ditranspor

dalam darah dalam bentuk lipoprotein, 75 % merupakan lipoprotein densitas rendah (low

density liproprotein/LDL) dan 20 % merupakan lipoprotein densitas tinggi (high density

liproprotein/HDL). Kadar kolesterol HDL lahyang rendah memiliki peran yang baik pada

PJK dan terdapat hubungan terbalik antara kadar HDL dan insiden PJK. Peningkatan kadar

lemak berhubungan dengan proses aterosklerosis. Berikut ini faktor risiko dari faktor lipid

darah: total kolesterol plasma > 200 mg/dl, kadar LDL > 130 mg/dl, kadar trigliserid > 150

mg/dl, kadar HDL < 40 mg/dl.

4) Overweight dan Obesitas

Overweight dan Obesitas meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner.

Sekitar 25-49% penyakit jantung koroner di negara berkembang berhubungan dengan

peningkatan indeks massa tubuh (IMT). Overweight didefinisikan sebagai IMT > 25-30

kg/m2 dan obesitas dengan IMT > 30 kg/m2. Obesitas sentral atau obesitas abdominal

adalah obesitas dengan kelebihan lemak berada di abdomen. Biasanya keadaan ini juga

berhubungan dengan kelainan metabolik seperti peninggian kadar trigliserida, penurunan

HDL, peningkatan tekanan darah, inflamasi sistemik, resistensi insulin dan diabetes

melitus tipe II.

5) Riwayat Merokok

Merokok meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner sebesar 50%.

Orang yang tidak merokok dan tinggal bersama perokok (perokok pasif) memiliki
peningkatan risiko sebesar 20 – 30 % dibandingkan dengan orang yang tinggal dengan

bukan perokok. Di Inggris, sekitar 300.000 kematian karena penyakit kardiovaskuler

berhubungan dengan rokok. Penggunaan tembakau berhubungan dengan kejadian miokard

infark akut prematur di daerah Asia Selatan.

Merokok sigaret menaikkan risiko serangan jantung sebanyak 2 sampai 3 kali.34

Sekitar 24 % kematian akibat PJK pada laki-laki dan 11 % pada perempuan disebabkan

kebiasaan merokok. Pemeriksaan yang dilakukan pada usia dewasa muda dibawah usia 34

tahun, dapat diketahui terjadinya atherosklerosis pada lapisan pembuluh darah (tunika

intima) sebesar 50 %.35 Berdasarkan literatur yang ada hal tersebut banyak disebabkan

karena kebiasaan merokok dan penggunaan kokain.

6) Faktor Psikososial

Faktor psikososial seperti peningkatan stres kerja, rendahnya dukungan sosial,

personalitas yang tidak simpatik, ansietas dan depresi secara konsisten meningkatkan

resiko terkena aterosklerosis. Stres merangsang sistem kardiovaskuler dengan dilepasnya

catecholamine yang meningkatkan kecepatan denyut jantung dan pada akhirnya dapat

menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah koronaria. Beberapa ilmuwan mempercayai

bahwa stress menghasilkan suatu percepatan dari proses atherosklerosis pada arteri

koroner.

Perilaku yang rentan terhadap terjadinya penyakit koroner (kepribadian tipeA)

antara lain sifat agresif, kompetitif, kasar, sinis, keinginan untuk dipandang,keinginan

untuk mencapai sesuatu, gangguan tidur, kemarahan di jalan, dan lain-lain.Baik ansietas

maupun depresi merupakan predictor penting bagi PJK.

7) Aktivitas Fisik
Olah raga secara teratur akan menurunkantekanan darah sistolik, menurunkan

kadar katekolamin di sirkulasi, menurunkan kadarkolesterol dan lemak darah,

meningkatkan kadar HDL lipoprotein, memperbaiki sirkulasi koroner dan meningkatkan

percaya diri. Diperkirakan sepertiga laki-laki dan dua per tiga perempuan tidak

dapatmempertahankan irama langkah yang normal pada kemiringan gradual (3 mph

padagradient 5 %). Olah raga yang teratur berkaitan dengan penurunan insiden PJK sebesar

20 – 40 %. Olah raga secara teratur sangat bermanfaat untukmenurunkan faktor risiko

seperti kenaikan HDL-kolesterol dan sensitivitas insulin sertamenurunkan berat badan dan

kadar LDL-kolesterol. Pada latihan fisik akan terjadi dua perubahan pada sistem

kardiovaskuler,yaitu peningkatan curah jantung dan redistribusi aliran darah dari organ

yang kurangaktif ke organ yang aktif.

8) Gaya Hidup

Resiko terkena infark miokard meningkat pada pasien yang mengkonsumsi diet

yang rendah serat, kurang vitamin C dan E, dan bahan-bahan polisitemikal. Mengkonsumsi

alkohol satu atau dua sloki kecil per hari ternyata sedikit mengurangi resiko terjadinya

infark miokard. Namun tidak semua literatur mendukung konsep ini, apabila

mengkonsumsi alkohol berlebihan, yaitu lebih dari dua sloki kecil per hari, pasien memiliki

peningkatan resiko terkena penyakit.

Studi Epidemiologi yang dilakukan terhadap beberapa orang telah diketahui bahwa

konsumsi alkohol dosis sedang berhubungan dengan penurunan mortalitas penyakit

kardiovaskuler pada usia pertengahan dan pada individu yang lebih tua, tetapi konsumsi

alkohol dosis tinggi berhubungan dengan peningkatan mortalitas penyakit kardiovaskuler.


Peningkatan dosis alkohol dikaitkan dengan peningkatan mortalitas kardivaskuler karena

aritmia, hipertensi sistemik, dan kardiomiopati dilatasi.

Patofisiologi STEMI

Lapisan endotel pembuluh darah koroner yang normal akan mengalami kerusakan

karena berbagai faktor resiko, antara lain : faktor hemodinamik seperti hipertensi, zat

vasokonstriktor, mediator (sitokin), rokok, diet aterogenik, kadar gula darah berlebih, dan

oksidasi LDL-C. LDL teroksidasi menyebabkan kematian sel dan menghasilkan respon

inflamasi. Terjadi pula respon angiotensin II, yang menyebabkan vasokonstriksi atau

vasospasme, dan menyetuskan efek protrombik dengan melibatkan platelet dan faktor

koagulasi. Kerusakan endotel memicu terjadinya reaksi inflamasi, sehingga terjadi respon

protektif dan terbentuk lesi fibrofatty dan fibrous, plak atherosklerotik.

Plak atherosklerotik yang terbentuk dapat menjadi tidak stabil dan mengalami

ruptur dan menyebabkan Sindroma Koroner Akut. Infark terjadi jika plak aterosklerotik

mengalami fisur, ruptur, atau ulserasi, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur

yang mengakibatkan oklusi arteri koroner, sehingga pasokan oksigen terhambat.

Penelitian menunjukkan plak atherosklerotik cenderung mudah mengalami ruptur

jika fibrous cap tipis dan mengandung inti kaya lipid (lipid rich core).

Gambaran patologis klasik pada STEMI terdiri atas fibrin rich red thrombus, yang

dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respon terhadap terapi

trombolitik.Reaksi koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue activator pada sel endotelyang

rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protombin menjaditrombin,


yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat akan

mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri atas agregat trombosit dan fibrin.

Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran

Darah koroner menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik

yang sudah ada sebelumnya.

Penyebab lain infark miokard tanpa aterosklerosis koronaria antara lain emboli

arteri koronaria, kelainan arteri koronaria kongenital, vasospasme koronaria terisolasi,

arteritistraumatis, gangguan hematologik, dan berbagai penyakit inflamasi sistemik.

Gejala dan Diagnosis STEMI

Seseorang kemungkinan mengalami serangan jantung, jika mengeluhkanadanya

nyeri dada atau nyeri hebat di ulu hati (epigastrium) yang bukan disebabkan oleh trauma.

Sindrom koroner akut ini biasanya berupa nyeri sepertitertekan benda berat, rasa tercekik,

ditinju, ditikam, diremas, atau rasa sepertiterbakar pada dada. Umumnya rasa nyeri

dirasakan dibelakang tulang dada (sternum) disebelah kiri yangmenyebar ke seluruh dada.

Diagnosa awal merupakan kunci dalam pengobatan awal dari STEMI.Riwayat

nyeri dada atau ketidaknyamanan yang berlangsung 10-20 menit yang dirasakan oleh

pasien harus meningkatkan kecurigaan terhadap STEMI akut pada pasien (pasien laki-laki

paruh baya, terutama jika memiliki faktor resiko penyakit koroner). Diagnosis STEMI

ditegakkan berdasarkan berikut ini :

1) Nyeri dada

2) Perubahan hasil pemeriksaan ECG atau didapatkan gelombang LBBB

baru
3) Peningkatan hasil biomarker

Pasien STEMI dapat mengalami berbagai gejala yang bervariasi dari rasa tidak

nyaman pada bagian retrosternal atau nyeri dada pada sisi bagian kiri/ ketidaknyamanan

terkait gejala khas yaitu dyspnea, serangan syncope,malaisedan sesak nafas (nafas

tersengal-sengal). Penderita lansia, diabetes maupun pasien dengan pengobatan NSAID

kemungkinan menderita silent infark miokard. Parapasien ini umumnya ditemukan adanya

syok kardiogenik, hipotensi, aritmia dan conduction block dan kegagalan akut ventrikel

kiri.

Pada anamnesis perlu ditanyakan dengan lengkap bagaimana kriteria nyeri dada

yang di alami pasien, sifat nyeri dada pada pasien STEMI merupakan nyeridada tipikal

(angina).Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI,

seperti aktivitas fisik berat, stress, emosi, atau penyakit medis lain yang menyertai.

Walaupun STEMI bisa terjadi sepanjang hari ataumalam, tetapi variasi sirkadian di

laporkan dapat terjadi pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur.

Pada pemeriksaan fisik di dapati pasien gelisah dan tidak bisa istirahat. Seringkali

ektremitas pucat di sertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal > 30 menit dan

banyak keringat di curigai kuat adanya STEMI. Tanda fisik lain pada disfungsi ventrikular

adalah bunyi jantung S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas jantung pertama dan split

paradoksikal bunyi jantung kedua.

Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat

sementara.

Diagnosis STEMI ditegakan melalui gambaran EKG adanya elevasi ST kurang

lebih 2mm, minimal pada dua sadapan prekordial yang berdampingan atau kurang lebih
1mm pada 2 sadapan ektremitas. Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang

meningkat, memperkuat diagnosis.

Diagnosis AMI dengan elevasi segmen ST ditegakkan berdasarkan

anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST >2mm, minimal

pada 2 sandapan prekordial yang berdampingan atau >1 mm pada 2sandapan ekstremitas.

Pemeriksaan enzim jantung terutama troponin T yang meningkat akan memperkuat.

Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit danbanyak keringat merupakan kecurigaan

kuat adanya STEMI.

Pemeriksaan Penunjang

1. Elektrocardiografi (ECG)

Pemeriksaan ECG 12 sadapan harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak

kedatangan di IGDpada semua pasien dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai

STEMI. Gambaran elevasi segmen ST pada ECG dapat mengidentifikasi pasien yang

bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi.Jika pemeriksaan ECG awal tidak diagnostik

untuk STEMI tetapi pasien tetap memiliki gejala dan terdapat kecurigaan kuat STEMI,

ECG serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan ECG 12 sandapan secara kontinu

harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien

dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan

infark pada ventrikel kanan.

Tabel 2. Gambaran spesifik pada rekaman ECG STEMI

Daerah Infark Perubahan ECG

Anterior Elevasi segmen ST dan / atau gelombang Q di V1-V4/V5


Anteroseptal Elevasi segmen ST dan / atau gelombang Q di V1-V3

Anterolateral Elevasi segmen ST dan / atau gelombang Q di V1-V6 dan I

dan Avl

Lateral Elevasi segmen ST dan / atau gelombang Q di V5-V6 dan

inversi gelombang T / elevasi ST / gelombang Q di I dan aVL

Inferolateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III, aVF, dan

V5-V6 (kadang-kadang I dan aVL).

Inferior Elevasi segmen ST dan / atau gelombang Q di II, III, dan aVF

Inferoseptal Elevasi segmen ST dan / atau gelombang Q di II, III, aVF, V1-

V3

True posterior Gelombang R tinggi di V1-V2 dengan segmen ST depresi di

V1-V3. Gelombang T tegak di V1-V2

RV infarction Elevasi segmen ST di precordial lead (V3R-V4R). Biasanya

ditemukan konjungsi pada infark inferior. Keadaan ini hanya

tampak dalam beberapa jam pertama infark.

2. Laboratorium

Pemeriksaan yang dianjurkan adalah Creatinine Kinase (CK)MB dan cardiac

specific troponin(cTn T atau cTn I) yang dilakukan secara serial. cTn digunakan sebagai

petanda optimal pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan

tersebutCKMB juga akan meningkat. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala AMI,

terapi reperfusi diberikan segera mungkin tanpa tergantung pemeriksaan biomarker.


Peningkatan nilai enzim di atas dua kali nilai batas atas normal menunjukkan ada

nekrosis jantung (infark miokard).

3. CKMB meningkat setelah 3 jam, mencapai puncak dalam 10- 24 jam, dan kembali

normal dalam 2- 4 hari. Operasi jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik dapat

meningkatkan CKMB

4. Terdapat dua jenis cTn, yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam

dan mencapai puncak dalam 10- 24 jam. Enzim cTn T masih dapat dideteksi setelah

5- 14 hari, sedangkan cTn I setelah 5- 10 hari

Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu :

 Mioglobin dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-

8 jam

 Creatinin Kinase (CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan

mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.

 Lactate dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24- 48 jam, mencapai puncak

3-6 hari dan kembali normal dalam 8- 14 hari.

5. Pencitraan non-invasif

Di antara pencitraan non-invasif, ekokardiografi aadalah modalitas yang paling

penting pada kejadian akut karena dapat digunakan dengan cepat dan sudah banyak

tersedia (pada sentra tertentu). Fungsi sistolik ventrikel kiri adalah variabel prognostik

yang penting pada pasien penyakit jantung koroner dan dapat dinilai secara mudah dan

akurat dengan ekokardiografi. Oleh tenaga medis yang berpangalaman, hipokinesia

atau akinesia dapat dideteksi ketika iskemik berlangsung. Lebih jauh lagi, diagnosis

banding seperti disseksi aorta, embloi pulmonum, stenosis aorta, kardiomiopati


hipertropik, atau effusi perikardial dapat diidentifikasi. Dengan demikian, sebaiknya

ekokardiografi secara rutin tersedia di instalasi gawat darurat atau unit nyeri dada, dan

digunakan pada semua pasien. Pada pasien dengan hasil EKG 12 sandapan tidak

diagnostik dan biomarker jantung negatif tetapi disangkakan ACS, pencitraan stress

(stress imaging) dapat dilakukan, pada saat pasien bebas dari nyeri dada. Berbagai studi

telah menggunakan stress echocardiography, menunjukkan negative predictive values

yang tinggi dan/atau outcome yang baik pada hasil stress echocardiogram yang normal.

Cardiac magnetic resonance (CMR) dapat mengintegrasikan penilaian fungsi

dan perfusi, dan deteksi jaringan parut pada satu sesi, tetapi teknik pencitraan ini tidak

tersedia secara luas. Berbagai studi menunjukkan kegunaan MRI untuk menyingkirkan

atau mendeteksi ACS. Demikian juga pada pencitraan dengan nuclear myocardial

perfusion imaging yang dinilai cukup bermanfaat, tetapi juga tidak tersedia luas.

Multidetector computed tomography (CT) tidak sering digunakan dalam mendeteksi

iskemik, tetapi dapat menunjukkan visualisasi langsung dari arteri koroner. Dengan

demikian, teknik ini memiliki potensi untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit

jantung koroner.

6. Pencitraan invasif (angiografi koroner)

Angiografi koroner memberikan informasi mengenai adanya dan keparahan

penyakit jantung koroner dan dengan demikian tetap menjadi baku emas (gold

standard). Direkomendasikan untuk melakukan angiogram sebelum dan sesudah

menggunakan vasodilator intrakoroner (nitrat) dalam mengatasi vasokonstriksi.


Tatalaksana Pra-Rumah Sakit

1. Mengenali gejala sindrom koroner akut

2. Tirah baring dan pemberian oksigen 2-4 L/menit.

3. Melakukan pemeriksaan EKG sesegera mungkin.

4. Berikan aspirin 160-320 mg tablet kunyah bila tidak ada riwayat alergi aspirin.

5. Berikan preparat nitrat sublingual misalnya isosorbid dinitrat 5 mg dapat diulang setiap

5-15 menit sampai 3 kali.

6. Bila memungkinkan pasang jalur infus

7. Segera kirim ke rumah sakit terdekat dengan fasilitas

o Percutaneus Coronary intervention (PCI) primer.

o Bila tidak ada maka dikirim kefasilitas layanan kesehatan yang dapat

melakukan trombolitik.

o Bila tidak ada kedua fasilitas tersebut, maka dikirim ke rumah sakit terutama

yang memiliki ruang perawatan intensif.

Tatalaksana Non-Farmakologis

1. Tirah baring

2. Pemberian oksigen 2-4 L/menit untuk mempertahankan saturasi oksigen > 95%

3. Pasang jalur infus dan monitor

Tatalaksana Nyeri

Preparat nitrat
1. Nitrat oral sublingual yaitu isosorbid dintrat 5 mg dapat diulang tiap 5 menit sampai 3

kali untuk mengatasi nyeri dada.

2. Nitrat intravena dapat diberikan bila nyeri menetap atau ada indikasi lain (seperti

edema paru). Pemberian dimulai dengan dosis 10 mcg/kg/menit, dititrasi sampai nyeri

teratasi.

3. Nitrat dikontraindikasikan pada kecurigaan infark ventrikel kanan, tekanan darah

sistolik < 90 mmHg, atau riwayat penggunaan obat PDE5 inhibotor (sildenafil,

tadalafil, vardenafil) dalam 24-28 jam sebelumnya.

Opioid Intravena

Opioid intravena (morfin 2-4 mg) dengan dosis tambahan 2 mg dengan interval 5-

15 menit. (hati-hati efek samping dengan hipotensi, bradikaradia, depresi napas). Dosis

maksimal tidak lebih dari 20 mg.

Tatalaksana Di Rumah Sakit tanpa Fasilitas PCI

Terapi Trombolik

Terapi trombolitik diberikan pada pasien STEMI dengan onset kurang dari 12 jam.

Obat trombolik yang dapat digunakan:

1. Streptokinase (SK), 1,5 juta unit iv dalam 30-60 menit (kontraindikasi dengan

riwayat pemakaian sebelumnya).

2. Alteplase (t-PA), 15 mg bolus iv dilanjutkan 0,5 mg/kg selama 60 menit drip

intravena. Dosis total tidak lebih dari 100 mg.


3. Reteplase (r-PA) 10 unit bolus intravena, 30 menit kemudian 10 unit bolus

intravena.

4. Tenecteplase (TNK-tPA), bolus iv tunggal sesuai dengan berat badan:

o 30 mg bila BB <60 kg

o 35 mg bila BB 60-70 kg

o 40 mg bila BB 70-80 kg

o 45 mg bila BB 80=90 kg

o 50 mg bila BB >90 kg

Kontraindikasi Absolut Terapi Trombolitik

1. Riwayat stroke hemoragik dalam 1 tahun terakhir.

2. Neoplasma intrakranial

3. Pendarahan internal yang aktif

4. Kecurigaan adanya diseksi aorta.

Kontraindikasi Relatif Terapi Fibrinolitik

1. Hipertensi berat yaitu tekanan darah >180 / 110 mg.

2. Dalam terapi antikoagulan oral

3. Riwayat trauma dalam satu bulan terakhir termasuk cedera kepala atau resusitasi

jantung > 10 menit atau riwayat operasi mayor dalam kurang dari 3 minggu.

4. Riwayat pendarahan internal dalam 4 minggu terakhir

5. Riwayat terapi streptokinase sebelumnya

6. Riwayat alergi dengan streptokinase


7. Kehamilan

8. Tukak lambung aktif

9. Hipertensi kronik berat

10. Resusitasi yang gagal

Indikasi Keberhasilan Terapi Fibrinolitik

1. Berkurangnya rasa nyeri dada

2. Evolusi atau perubahan EKG berupa kembalinya elevasi segmen ST ke garis

isoelektrik atau menurunya elevasi ST >50% pada sadapan yang paling jelas

terlihat setelah 90 menit dimulainya terapi fibrinolitik.

3. Kadar CK yang lebih cepat mencapai puncak timbulnya aritmia reperfusi bukan

indikator yang baik untuk keberhasilan reperfusi.

Tanda Kegagalan Terapi Fibrinolitik

Bila nyeri dada terus berlanjut dan eleasi segmen ST menetap. Komplikasi gagal

jantung atau aritmia banyak trerjadi sehingga harus dipertimbangkan recue PCI yaitu

strategi reperfusi PCI yang dilakukan pada pasien yang telah mendapat terapi fibrinolitik

tapi dicurigai tidak berhasil yaitu bila ditemukan kondisi-kondisi sebagai berikut

1. Hemodinamik tidak stabil

2. Gejala nyeri dada yang tidak membaik

3. Gambaran EKG tidak dijumpai penurunan elevasi segmen ST > 50%


Terapi Penunjang Trombolitik

Antitrombin

1. Aspirin oral 160-320 mg tablet kunyah

2. Klopodogrel oral loading dose 300 mg pada usia < 75 tahun atau 75 mg bila usia

>75 tahun. Dosis maintenance 75 mg/hari

Antikoagulan

1. UFH

Heparin drip infus. Dosis awal bolus 60 U/kg BB maksimum 4000 unit, dosis

pemeliharaan 12 U/kg BB maksimum 1000 U/jam. Kontrol aPTT pertama setelah

3 jam. Dilanjutkan kontrol aPPT/6jam dengan target 1,5-2,5 kali kontrol

2. Enoxaparine

o Usia < 75 tahun dan kreatinin <2,5 mg/dL (pria) atau < 2 mg/dL ` subkutan

tiap 12 jam maksimal 8 hari. 2 dosis pertama subkutan < 100 mg.

o Usia < 75 tahun: tidak ada bolus IV mulai dosis subkutan 0,75 mg/kg BB

tiap 12 jam debgan dosis maksimal 75 mg untuk 2 dosis pertama bila

klirens kreatinin < 30 L/menit, berapapun usianya dosis subkutan diberikan

tiap 24 jam.

3. Fondaparinux

Bila kreatinin <3 mg/dL: bolus IV 2,5 mg dilanjutkan 24 jam kemudian 2,5 mg/hari subkutan
sampai maksimal 8 har

Anda mungkin juga menyukai