Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu komplikasi persalinan yang mempunyai tingkat kematian


maternal dan perinatal yang tinggi adalah preeklamsi dan eklamsi. Menurut
Depkes RI (2007), di Indonesia penyebab utama kematian ibu di samping
perdarahan (45%) dan infeksi (15%), merupakan preeklamsi atau eklamsi
dengan angka kejadiannya sebesar (13%). Resiko relative terjadinya bayi
lahir mati pada ibu dengan preeklamsi adalah 5,65 kali lebih besar
dibandingkan dengan ibu tanpa preeklamsi.

Mengingat hal tersebut diatas maka preeklamsi dan eklamsi masih


yang menyebabkan angka kematian ibu dan janin tinggi sehingga salah satu
kebijakan nasional untuk meminimalkan angka kematian ibu dan bayinya
adalah dengan terus meningkatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas
dengan terdapatnya staf kesehatan yang ahli dalam menangani persalinan
serta mengetahui berbagai indikasi kehamilan yang dapat mengancam nyawa
ibu dan bayinya.

Angka kejadian Pre eklamsi di dunia sebesar 0 -13 %, di Singapura


0,13 – 6,6 % sedangkan di Indonesia 3,4 – 8,5 %. Urutan penyebab kematian
ibu dari yang terbanyak adalah perdarahan sesudah persalinan, pre eklamsia
dan eklamsia, perdarahan sebelum persalinan dan infrksi ( Manuaba, 2001 )

Berdasarkan penelitian, preeclampsia menjadi penyebab terbesar


nomer 2 pada kasus keguguran atau kematian janin. Gejala-gejala yang
ditimbulkan berupa sering pusing, penglihatan yang kabur dan sensitif
terhadap sinar, juga proteinuria (protein pada urin) pada pemeriksaan
laboratorium.

1
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui asuhan keperawatan gawat darurat pre-eklampsia
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui mengenai tanda dan gejala pre –eklampsia
b. Untuk mengetahui penatalaksanaan kegawatan pre-eklampsia
c. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan gawat darurat pada
pasien dengan pre- eklampsia

2
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian

Pre-eklampsia adalah sekumpulan gejala yang timbul pada wanita


hamil, bersalin dan nifas yang terdiri dari hipertensi, edema dan protein uria
tetapi tidak menjukkan tanda-tanda kelainan vaskuler atau hipertensi
sebelumnya, sedangkan gejalanya biasanya muncul setelah kehamilan
berumur 28 minggu atau lebih. (Nanda, 2012)
Pre-eklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu
kehamilan disertai dengan proteinuria (Prawirohardjo, 2008).
Pre-eklamsi adalah timbulanya hipertensi disertai proteinuria dan
edema akibat kehamilan setelah usia 20 minggu atau segera setelah persalinan
(Mansjoer dkk, 2006)
Hipertensi umumnya timbul terlebih dahulu dari pada tanda-tanda
lain. Kenaikan tekanan sistolik > 30 mmHg dari nilai normal atau mencapai
140 mmHg, atau kenaikan tekanan diastolik > 15 mmHg atau mencapai 90
mmHg dapat membantu ditegakkannya diagnosis hipertensi. Penentuan
tekanan darah dilakukan minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam pada
keadaan istirahat.
Proteinuria ditandai dengan ditemukannya protein dalam urin 24 jam
yang kadarnya melebihi 0.3 gram/liter atau pemeriksaan kualitatif
menunjukkan 1+ atau 2+ atau 1 gram/liter atau lebih dalam urin yang
dikeluarkan dengan kateter atau midstream yang diambil minimal 2 kali
dengan jarak waktu 6 jam. Umumnya proteinuria timbul lebih lambat,
sehingga harus dianggap sebagai tanda yang serius.
Preeklampsia pada perkembangannya dapat berkembang menjadi
eklampsia, yang ditandai dengan timbulnya kejang atau konvulsi. Eklampsia
dapat menyebabkan terjadinya DIC (Disseminated intravascular coagulation)

3
yang menyebabkan jejas iskemi pada berbagai organ, sehingga eklampsia
dapat berakibat fatal.

B. Klasifikasi
Dibagi dalam 2 golongan :
1. Pre-eklampsi ringan, bila keadaan sebagai berikut :
a. Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang diukur pada posisi
rebah terlentang/tidur berbaring, atau kenaikan diastolik 15 mmHg
atau lebih, atau kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih. Cara
pengukuran sekurang-kurangnya pada 2 x pemeriksaan dengan jarak
periksa 1 jam, sebaiknya 6 jam.
b. Edema umum, kaki, jari tangan dan muka, atau kenaikan berat badan
1 kg atau lebih perminggu.
c. Proteinuria kwantitatif 0,3 gr atau lebih perliter, kwalitatif 1+ atau
2+ pada urin kateter atau midstream ( Ida Bagus.1998).

2. Pre-eklampsi berat:
a. Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih
b. Proteinuria 5 gr atau lebih perliter
c. Oliguria, jmlah urin kurang dari 500 cc per 24 jam
d. Keluhan subjektif :
1) Nyeri di epigastrium
2) Gangguan penglihatan
3) Nyeri kepala
4) Edema paru dan sianosis
e. Pemeriksaan :
1) Kadar enzim hati meningkat disertai ikterus
2) Perdarahan pada retina
3) Trombosit kurang dari 100.000/mm ( Ida Bagus. 1998).

4
C. Etiologi
Penyebab preeklampsia sampai saat ini masih belum diketahui
secara pasti, sehingga penyakit ini disebut dengan “The Diseases of
Theories”.
Beberapa faktor yang berkaitan dengan terjadinya preeklampsia adalah :
1. Faktor Trofoblast
Semakin banyak jumlah trofoblast semakin besar kemungkina
terjadinya Preeklampsia. Ini terlihat pada kehamilan Gemeli dan
Molahidatidosa. Teori ini didukung pula dengan adanya kenyataan bahwa
keadaan preeklampsia membaik setelah plasenta lahir.
2. Faktor Imunologik
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan jarang
timbul lagi pada kehamilan berikutnya. Secara Imunologik dan
diterangkan bahwa pada kehamilan pertama pembentukan “Blocking
Antibodies” terhadap antigen plasenta tidak sempurna, sehingga timbul
respons imun yang tidak menguntungkan terhadap Histikompatibilitas
Plasenta. Pada kehamilan berikutnya, pembentukan “Blocking
Antibodies” akan lebih banyak akibat respos imunitas pada kehamilan
sebelumnya, seperti respons imunisasi.
Fierlie FM (1992) mendapatkan beberapa data yang mendukung
adanya sistem imun pada penderita Preeklampsia-Eklampsia :
a. Beberapa wanita dengan Preeklampsia-Eklampsia mempunyai
komplek imun dalam serum.
b. Beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi system
komplemen pada Preeklampsia-Eklampsia diikuti dengan
proteinuri.
Stirat (1986) menyimpulkan meskipun ada beberapa pendapat
menyebutkan bahwa sistem imun humoral dan aktivasi komplemen
terjadi pada Preeklampsia, tetapi tidak ada bukti bahwa sistem imunologi
bisa menyebabkan Preeklampsia.

5
3. Faktor Hormonal
Penurunan hormon Progesteron menyebabkan penurunan Aldosteron
antagonis, sehingga menimbulkan kenaikan relative Aldoteron yang
menyebabkan retensi air dan natrium, sehingga terjadi Hipertensi dan
Edema.

4. Faktor Genetik
Menurut Chesley dan Cooper (1986) bahwa Preeklampsia /
eklampsia bersifat diturunkan melalui gen resesif tunggal.2 Beberapa
bukti yang menunjukkan peran faktor genetic pada kejadian
Preeklampsia-Eklampsia antara lain:
a. Preeklampsia hanya terjadi pada manusia.
b. Terdapatnya kecendrungan meningkatnya frekwensi
Preeklampsia-Eklampsia pada anak-anak dari ibu yang menderita
Preeklampsia-Eklampsia.
c. Kecendrungan meningkatnya frekwensi Preeklampsia-Eklampsia
pada anak dan cucu ibu hamil dengan riwayat Preeklampsia-
Eklampsia dan bukan pada ipar mereka.
5. Faktor Gizi
Menurut Chesley (1978) bahwa faktor nutrisi yang kurang
mengandung asam lemak essensial terutama asam Arachidonat sebagai
precursor sintesis Prostaglandin akan menyebabkan “Loss Angiotensin
Refraktoriness” yang memicu terjadinya preeklampsia.
6. Jumlah primigravi, terutama primigravida muda
7. Distensi rahim berlebihan : hidramnion, hamil ganda, mola hidatidosa
8. Penyakit yang menyertai hamil : diaetes melitus, kegemukan
9. Jumlah umur ibu diatas 35 tahun
( Ida Bagus. 1998).

Menurut Bobak et al (2004) tidak ada profil tertentu yang


mengidentifikasikan wanita yang akan menderita preeklamsi, akan tetapi ada

6
beberapa faktor risiko tertentu yang berkaitan diantaranya adalah
primigravida, gestasi dengan usia <18 atau >35 tahun, janin besar, kehamilan
mola, kehamilan dengan janin lebih dari satu, obesitas.

Menurut Pery et al (2010) faktor risiko lain yang mendukung


terhadap terjadinya preeklamsi adanya riwayat keluarga dengan preeklamsi,
adanya riwayat penyakit dan riwayat keluarga seperti adanya hipertensi
kronik, penyakit ginjal, penyakit diabetus millitus tipe 1, selain itu, adanya
riwayat kehamilan dengan plasenta abruptio, fetal death, hambatan
pertumbuhan janin dalam rahim.

Salah satu teori yang dikemukakan pada kejadian preeklamsi


disebabkan karena iskemia rahim dan plasenta sedangkan selama kehamilan
uterus memerlukan darah lebih banyak namun pada klien dengan kehamilan
ganda, multipara, molahi- datidosa, hidroamnion menyebabkan peredaran
darah dalam dinding uterus berkurang maka keluarlah zat-zat dari plasenta
atau disebut decidue yang menyebabkan vasospasme termasuk spasmus
arteriol spiralis dengan demikian terjadinya gangguan sirkulasi uteroplasenta
yang berfungsi dalam pemberian oksigen (Wiknjosastro et al, 2007).

D. Patofisiologi

Pada Preeklampsia yang berat dan eklampsia dapat terjadi perburukan


patologis pada sejumlah organ dan sistem yang kemungkinan diakibatkan
oleh vasospasme dan iskemia (Cunningham, 2003).
Vasospasme adalah dasar patofisiologi hipertensi. Konsep ini yang
pertama kali dianjurkan oleh volhard (1918), didasarkan pada pengamatan
langsung pembulh-pembuluh darah halus dibawah kuku, fundus okuli dan
konjungtiva bulbar, serta dapat diperkirakan dari perubahan-perubahan
histologis yang tampak di berbagai organ yang terkena. Konstriksi vaskular
menyebabkan resistensi terhadap aliran darah dan menjadi penyebab
hipertensi arterial. Besar kemungkinan bahwa vasospasme itu sendiri
menimbulkan kerusakan pada pembuluh darah.

7
Selain itu, angiotensin II menyebabkan sel endotel berkonstraksi.
Perubahan-perubahan ini mungkin menyebabkan kerusakan sel endotel dan
kebocoran di celah antara sel-sel endotel. Kebocoran ini menyebabkan
konstituen darah, termasuk trombosit dan fibrinogen, mengendap di
subendotel. Perubahan-perubahan vaskular ini, bersama dengan hipoksia
jaringan di sekitarnya, diperkirakan menyebabkan perdarahan, nekrosis, dan
kerusakan organ lain yang kadang-kadang dijumpai dalam hipertensi yang
berat.

E. Manifestasi Klinis
Menurut Mansjoer et al (2001) manifestasi klinis preeklamsi yaitu:
1. Terjadinya peningkatan tekanan darah, sebagai tanda awal yang penting
pada preeklamsi.
2. Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg atau tekanan sistolik meningkat > 30
mmHg atau tekanan diastolik > 15 mmHg yang diukur setelah pasien
beristirahat selama 30 menit.
3. Kemudian adanya kenaikan berat badan yang tiba-tiba mendahului
serangan preeklamsi dan kenaikan berat badan yang berlebih merupakan
tanda pertama preeklamsi.
4. Peningkatan berat badan normal adalah 0,5 kg/minggu bila 1 kg dalam 1
minggu maka kemungkinan terjadinya preeklamsi harus dicurigai.
Peningkatan berat badan disebabkan karena retensi cairan dan selalu
ditemukan sebelum timbul gejala edema, proteinuria bila terdapat protein
sebanyak 0,3 gram/ liter dalam air kencing dalam 24 jam atau
pemeriksaan kualitatif menunjukkan +1 atau +2 atau kadar protein ≥ 1
gram per liter dalam urin yang dikeluarkan dalam kateter atau urin porsi
tengah.

Sedangkan menurut Cunningham (2006) gejala yang dirasakan adalah


nyeri epigastrium atau kuadran kanan, nyeri disebabkan nekrosis, iskemia dan
edema hepatoseluler yang meregangkan kapsul glisson, nyeri khas ini

8
biasanya disertai dengan peningkatan enzim hati dan sebagai tanda untuk
mengakhiri kehamilan.

F. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Bobak et al (2004) pemeriksaan penunjang yang diperlukan
pada preeklamsi adalah, sebagai berikut :
1. Pemeriksaan urin untuk melihat protein dalam urin dan pemeriksaan
darah lengkap (termasuk hitung trombosis).
2. Pemeriksaan pembekuan meliputi waktu perdarahan, PT, PTT dan
fibrinogen.
3. Pemeriksaan enzim hati yang meliputi bilirubin, LDH meningkat,
aspartat aminotransferase, SGOT meningkat, SGPT meningkat dan total
protein serum menurun.

G. Komplikasi
Menurut Mitayani (2009) komplikasi pada preeklamsi pada ibu
adalah :
 Pada Ibu :
1. terjadinya eklamsi
2. solusio plasenta
3. perdarahan subkasular hepar
4. kelainan pembuluh darah
5. sindrom HELLP
6. gagal jantung hingga syok dan kematian.
 Pada janin :
1. terhambatnya pertumbuhan dalam uterus
2. bayi prematur
3. asfiksia neonatorum
4. kematian dalam uterus
5. peningkatan angka kematian dan kesakitan perinatal.

9
H. Penatalaksanaan
1. Pencegahan
 Pemeriksaan antenatal yang teratur dan bermutu serta teliti
mengenali tanda-tanda sendiri mungkin (pre-eklamsi ringan), lalu
diberikan pengobatan yang cukup supaya penyakit tidak menjadi
lebih berat.
 Harus selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya pre-
eklamsi kalau ada faktor-faktor predisposisi
 Berikan penerangan tentang manfaat istirahat dan
tidur,ketenagan,serta pentingnya mengatur diit rendah
garam,lemak,serta karbohidrat dan tinggi protein,juga menjaga
kenaikan berat badan yang berlebihan.
2. Penanganan

Tujuan uatama penanganan adalah:

 Untuk mencegah terjadinta pre-eklamsi dan eklamsi


 Hendaknya janin lahir hidup
 Trauma pada janin seminimal mungkin

a. Pre-eklamsi ringan
Pengobatan hanya bersifat simtomatis dan selain rawat
inap,maka penderita dapat rawat jalan dengan skema periksa ulang yang
lebih sering,misalnya 2 kali seminggu
Penaganan pada penderita rawat jalan atau rawat inap adalah
dengan istirahat ditempat tidur,diit rendah garam,dan berikan obat
oabatan seperti valium tablet 30mg dengan dosis 3 kali 1 sehari.
Diuretik dan obat antihipertensi tidak di anjurkan,karena obat ini
tidak begitu bermanfaat bahkan bisa menutupi tanda dan gejala pre-
eklamsi berat.

10
Dengan cara diatas biasanya pre-eklamsi ringan jadi tenang dan
hilang,ibu hamil dapat dipulangkan dan dipriksa ulang lebih sering
lebih dari biasa.
Bila gejala masih menetap,penderita tetap dirawat inap.monitor
keadaan janin kadar estriolurin,lakukan amnioskipi dan ultrasografi,dan
sebagainya.bila keadaan mengizinkan barulah dilakukan induksi partus
pada usia kehamilan minggu 37 keatas

b. Pre-eklamsi berat
1. Pre-eklamsi berat pada kehamilan kurang dari 37 minggu
 Jika janin belum menunjukkan tanda-tanda maturitas paru-paru
dengan uji kocok dan rasio L atau S, maka penanganannya
adalah sebagai berikut:
a. Berikan suntikan sulfas magnesikus dengan dosis 8gr
intramuskuler,kemudian disusul dengan injeksi tambahan
4gr intramuskuler setiap 4 jam (selama tidak ada kontra
indikasi).
b. Jika ada perbaikan jalannya penyakit pemberian sulfas
magnesikus dapat diteruskan lagi selama 24 jam sampai
dicapai kriteria pre-eklamsi ringan (kecuali ada
kontraindikasi)
c. Selanjutnya ibu dirawat, diperiksa, dan keadaan janin
dimonitor, serta berat badan ditimbang seperti pada
preeklamsi ringan, sambil mengawasi timbulnya lagi
gejala.
d. Jika denagn terapi diatas tidak ada perbaikan, dilakukan
terminasi kehamilan dengan induksi partusatau tindakan
lai tergantung keadaan.
e. Jika pada pemeriksaan telah dijumpai tanda-tanda
kematangan paru janin, maka penatalaksaan kasus sama
seperti pada kehamilan diatas 37 minggu.

11
2. Pre-eklamsi berat pada kehamilan diatas 37 minggu
 Penderita dirawat inap
o Istirahat mutlak dan ditempatkan dalam kamar isolasi
o Beri diit rendah garam dan tinggi protein
o Berikan suntikan sulfas magnesiskus 8 gr IM, 4 gr
dibokong kanan dan 4 gr dibokong kiri.
o Suntikan dapat diulang dengan dosis 4 gr setiap 4 jam
o Syarat pemberian MgSo4 adalah reflek patela positif,
diuresis 100 cc dalam 4 jam terakhir, respirasi 16x/menit,
dan harus tersedia anti dotumnya yaitu kalsium glukonas
10% dalam ampul 10 cc
o Infus dextrosan 5% dan RL
o Berikan obat anti hipertensi injeksi katapres 1 amp via IM
dan selanjutnya diberikan katapres tablet 3x1/2 tabet atau 2
x ½ tablet sehari
o Diuretik tidak diberikan kecuali bila terdapat edema umum,
edema paru, dan kegagalan jantung kongesti untuk itu dapat
disuntikkan intravena lasix
o segera setelah pemberian sulfas magnesikus kedua,
dilakukan induksi dengan atau tanpa amniotomi untuk
induksi dipakai oksitoksin (pitosin atau sintonsinon) 10
satuan dalam infus tetes
o kala II harus dipersingkat ektrasi vakum atau forsep,
dilarang mengejan
o jangan berikan methergin kecuali bila terjadi perdarahan
yang disebabkan atonia uteri.
o Pemberian sulfas magnesifus kalau ada kontraindikasi,
kemudian diberikan diuretik dnegan dosis 4 gr setiap 4 jam
setelah post partum
o Bila ada indikasi obstestrik dilakukan sc

12
I. Pathway

(Amin, 2013 )

13
BAB III

Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Pada Preeklampsia

A. Pengkajian
Data yang dikaji pada ibu dengan preeklampsia adalah :
1. Data subyektif :
 Umur biasanya sering terjadi pada primi gravida , < 20 tahun atau >
35 tahun- Riwayat kesehatan ibu sekarang : terjadi peningkatan tensi,
edema, pusing, nyeri epigastrium, mual muntah, penglihatan kabur
 Riwayat kesehatan ibu sebelumnya : penyakit ginjal, anemia, vaskuler
esensial, hipertensi kronik, DM
 Riwayat kehamilan : riwayat kehamilan ganda, mola hidatidosa,
hidramnion serta riwayat kehamilan dengan preeklampsia atau
eklampsia sebelumnya
 Pola nutrisi : jenis makanan yang dikonsumsi baik makanan pokok
maupun selingan
 Psiko sosial spiritual : Emosi yang tidak stabil dapat menyebabkan
kecemasan, oleh karenanya perlu kesiapan moril untuk menghadapi
resikonya

2. Data Obyektif :
 Inspeksi : edema yang tidak hilang dalam kurun waktu 24 jam
 Palpasi : untuk mengetahui TFU, letak janin, lokasi edema
 Auskultasi : mendengarkan DJJ untuk mengetahui adanya fetal
distress
 Perkusi : untuk mengetahui refleks patella sebagai syarat pemberian
SM ( jika refleks + )

14
3. Pemeriksaan penunjang :
 Tanda vital yang diukur dalam posisi terbaring atau tidur, diukur 2
kali dengan interval 6 jam
 Laboratorium : protein uri dengan kateter atau midstream ( biasanya
meningkat hingga 0,3 gr/lt atau +1 hingga +2 pada skala kualitatif ),
kadar hematokrit menurun, BJ urine meningkat, serum kreatini
meningkat, uric acid biasanya > 7 mg/100 ml
 Berat badan : peningkatannya lebih dari 1 kg/minggu
 Tingkat kesadaran ; penurunan GCS sebagai tanda adanya kelainan
pada otak
 USG : untuk mengetahui keadaan janin
 NST : untuk mengetahui kesejahteraan janin

B. Diagnosa Keperawatan
1. Pola nafas inefektif berhubungan dengan peningkatan kebutuhan O2.
2. Resiko tinggi terjadinya kejang pada ibu berhubungan dengan penurunan
fungsi organ (vasospasme dan peningkatan tekanan darah).
3. Resiko tinggi terjadinya foetal distress pada janin berhubungan dengan
perubahan pada plasenta
4. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan kontraksi uterus dan
pembukaan jalan lahir.
5. Gangguan psikologis (cemas) berhubungan dengan koping yang tidak
efektif terhadap proses persalinan.

C. Rencana Keperawatan
1. Pola nafas inefektif berhubungan dengan peningkatan kebutuhan O2.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 60 menit pola


nafas kembali normal.

Kriteria hasil : bebas dari sianosis, pola nafas normal RR 24x/menit

15
Intervensi :

a. Mengobservasi frekuensi pernafasan dan kedalaman

Rasional : untuk mengetahui pola nafas pasien.

b. Auskultasi bunyi nafas

Rasional : mengetahui ada tidaknya nafas tambahan

c. Atur posisi pasien semi fowler

Rasional : Merangsang fungsi pernafasan atau ekspansi paru

d. Kolaborasi pemberian oksigen sesuai indikasi

Rasional : Meningkatkan pengiriman oksigen ke paru

2. Resiko tinggi terjadinya kejang pada ibu berhubungan dengan penurunan


fungsi organ (vasospasme dan peningkatan tekanan darah).

Tujuan : Setelah dilakukan keperawatan tidak terjadi kejang pada ibu

Kriteria hasil :

 Kesadaran composmetis GCS 15 (4, 5, 6)


 TN = TD : 110 – 120 / 70-80 mmHg
 S : 36 – 37oC
 Nadi : 60-80 x/menit
 RR : 16-20 x/menit

Intervensi :

a. Monitor tekanan darah tiap 4 jam

Rasional: tekanan diastola >110 mmHg sistole 160 atau lebih


merupakan indikasi dari PIH.

b. Catat tingkat kesadaran pasien

16
Rasional : Penurunan kesadaran indikasi penurunan aliran darah ke
otak.

c. Kaji adanya tanda-tanda eklampsia (hiperaktif, reflek patella dalam


penurunan nadi dan respirasi nyeri epigastrium dan oliguria).

Rasional : Manifestasi dari perubahan pada otak, ginjal, jantung,


dan jantung

d. Monitor adanya tanda-tanda dan gejala persalinan atau adanya


kontraksi uterus.

Rasional : Kejang akan meningkatkan kepekaan uterus,


kemungkinan akan terjadi persalinan.

e. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian anti hipertensi dan


SM

Rasional : Anti hipertensi untuk menurunkan tekanan darah dan SM


untuk mencegah terjadinya kejang.

3. Resiko tinggi terjadinya foetal distress pada janin berhubungan dengan


perubahan pada plasenta.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi foetal


distress pada janin.

Kriteria hasil : DJI (+) = 12-12-12, hasil NSS Normal, hasil USU.

Intervensi

a. Monitor DJI sesuai indikasi.

Rasional : Peningkatan DJI sebagai indikasi terjadi hiposia,


prematur dan sulotio plasenta.

b. Kaji tentang pertumbuhan janin

17
Rasional : Penurunan plasenta biasa karena hipertensi

c. Jelaskan adanya tanda-tanda solutio plasenta (nyeri perut,


pendarahan rahim tegang, aktivitas janin turun)

Rasional : Ibu dapat mengetahui tanda dan gejala sulotio plasenta

d. Kaji respon janin pada ibu yang diberi SM

Rasional : Reaksi tetapi dapat menurunkan pernafasan janin

e. Kolaborasi dengan medis dalam pemeriksaan USG dan NST

Rasional : USG dan NST untuk mengetahui keadaan janin.

4. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan kontraksi uterus


dan pembukaan jalan lahir.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan ibu mengerti


penyebab nyeri dan dapat mengantisipasi rasa nyerinya.

Kriteria hasil :

 Ibu mengerti penyebab nyerinya


 Ibu mampu beradaptasi terhadap rasa nyerinya.

Intervensi

a. Kaji tingkat intesisitas nyeri


Rasional : Ibu dapat mengetahui ambang nyeri, dan dapat
menentukan tindakan selanjutnya.
b. Jelaskan penyebab nyerinya
Rasional : Ibu dapat memahami penyebab nyeri
c. Ajarkan ibu mengantisipasi nyeri dengan nafas dalam bila HIS
timbul
Rasional : Dapat berelaksasi

18
d. Bantu ibu untuk mengusap bagian yang nyeri
Rasional : Untuk mengalihkan perhatian pasien

5. Gangguan psikologi cemas berhubungan dengan koping yang tidak


efektif terhadap proses persalinan.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan kecemasan ibu


berkurang atau hilang.

Kriteria hasil :

 Ibu tampak tenang


 Ibu dapat menerima kondisi yang dialami sekarang.

Intervensi

a. Kaji tingkat kecemasan ibu

Rasional : Tingkat kecemasan ringan dan sedang dapat


ditoleransi

b. Jelaskan mekanisme proses persalinan

Rasional : Dapat mengurangi emosial ibu yang maladaptif

c. Gali dan tingkatkan mekanisme ibu yang efektif

Rasional : Kecemasan dapat teratasi jika mekanisme yang


dimiliki efektif

d. Bersuport sistem pada ibu


Rasional : Ibu dapat motivasi untuk menghadapi keadaannya
sekarang

19
BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan
Menurut Nanda (2012) Pre-eklampsia adalah sekumpulan gejala yang
timbul pada wanita hamil, bersalin dan nifas yang terdiri dari hipertensi, edema
dan protein uria tetapi tidak menjukkan tanda-tanda kelainan vaskuler atau
hipertensi sebelumnya, sedangkan gejalanya biasanya muncul setelah
kehamilan berumur 28 minggu atau lebih.
Menurut Cunningham (2006) gejala yang dirasakan adalah nyeri
epigastrium atau kuadran kanan, nyeri disebabkan nekrosis, iskemia dan edema
hepatoseluler yang meregangkan kapsul glisson, nyeri khas ini biasanya
disertai dengan peningkatan enzim hati dan sebagai tanda untuk mengakhiri
kehamilan.

Salah satu tanda dari preeklamsia adalah tekanan darah ≥ 140/90 mmHg
atau tekanan sistolik meningkat > 30 mmHg atau tekanan diastolik > 15 mmHg
yang diukur setelah pasien beristirahat selama 30 menit.

B. Saran

Saran penulis semoga materi tentang preeklampsia dapat menambah


wawasan bagi mahasiswa yang belum memahami bagaimana cara merawat
pasien dengan preeklampsia dan dapat menerapkan nya di lapangan.

20
DAFTAR PUSTAKA

Bobak. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC

Gopar adul, pdf.Preeklampsi, 12 mey 2012, diakses tanggal 27 juni 2013 dari,
http://adulgopar.files.wordpress.com/preeklampsia.pdf Mariam siti

Makalah pre-eklampsia, 14 april 2013, diakses tanggal 27 juni 20013 dari,


http://sitimaryamhsb.makalah-pre-eklamsia.html

Prawirohardjo S, Pre-eklampsia dan Eklampsia, dalam Ilmu Kebidanan, edisi ke-


3, Wiknjosastro H, Saifuddin A, Rachimhadhi T, penyunting, Jakarta : Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2005: 281-301

21

Anda mungkin juga menyukai