Anda di halaman 1dari 96

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO B BLOK 12

Oleh: KELOMPOK G7

Tutor: dr. Siti Sarahdeaz FP, M. Biomed.

Ahmad Azwin Fadhlan 04011281823114

Aiga Hafiz Apriansa 04011181823042

Ellysa Carolina 04011281823177

Kusuma Wardhani NP 04011281823120

Muhammad Adam Triyoga 04011281823123

M. Fayyad Taufiq 04011281823078

Muhammad Despriansyah R. 04011281823102

Muhammad Iqbal Adi P 04011281823102

M. Ivan Pratama 04011181823021

Nurul Zataishmah 04011281823144

Sri Mulia Sholiati Harseno 04011281823141

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA

TAHUN 2020

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan tutorial yang
berjudul “Laporan Tutorial Skenario B Blok 12 ” sebagai tugas kompetensi
kelompok.
Kami menyadari bahwa laporan tutorial ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu
kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan di
masa mendatang.
Dalam penyelesaian laporan tutorial ini, kami banyak mendapat bantuan,
bimbingan dan saran. Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan syukur,
hormat, dan terimakasih kepada :

1. Tuhan yang Maha Esa, yang telah merahmati kami dengan kelancaran diskusi
tutorial,
2. selaku tutor kelompok G7, dr. Siti Sarahdeaz FP, M. Biomed
3. Teman-teman sejawat FK Unsri, terutama kelas PSPD GAMMA 2018
Semoga Tuhan memberikan balasan pahala atas segala amal yang diberikan
kepada semua orang yang telah mendukung kami dan semoga laporan tutorial ini
bermanfaat bagi kita dan perkembangan ilmu pengetahuan. Semoga kita selalu
dalam lindungan Tuhan.

Palembang, 14 Januari 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar…………………………………………………………….. 2
Daftar Isi…………………………………………………………………… 3
Kegiatan Diskusi…………………………………………………………... 4
Skenario……………………………………………………………………. 5
I. Klarifikasi Istilah………………………………………………………. 6
II. Identifikasi Masalah……………………………………………………. 7
III. Analisis Masalah……………………………………………………….. 9
IV. Keterbatasan Ilmu Pengetahuan.............................................................. 29
V. Kerangka Konsep..................................................................................... 31
VI. Sintesis…………………......…………………...................................... 32
VII. Kesimpulan………………………………………………………........ 96
Daftar Pustaka……………………………………………………………... 97

3
KEGIATAN DISKUSI

Tutor : dr. Siti Sarahdeaz FP, M. Biomed


Moderator : Sri Mulia Sholiati Harseno
Sekretaris 1 : Kusuma Wardhani NP
Sekretaris 2 : Aiga Hafiz Apriansa
Presentan : Ahmad Azwin Fadhlan dan Nurul Zataishmah
Pelaksanaan : 14 Januari 2020 (07.30-10.00 WIB)
16 Januari 2020 (07.30-10.00 WIB)

Peraturan selama tutorial :


1. Jika bertanya atau mengajukan pendapat harus mengangkat tangan terlebih
dahulu,
2. Jika ingin keluar dari ruangan izin dengan moderator terlebih dahulu,
3. Boleh minum,
4. Tidak boleh ada forum dalam forum,
5. Tidak memotong pembicaraan orang lain,
6. Menggunakan hp saat diperlukan.

4
SKENARIO B BLOK 12

Tn. B, laki-laki umur 35 tahun, mempunyai BB 95 kg dan TB 165 cm, datang ke


Poliklinik Khusus Endokrin Metabolisme RSMH Palembang dengan keluhan utama
capek sejak 3 bulan yang lalu. Dia juga mengeluhkan merasa cepat haus dan lapar sejak
2 bulan yang lalu disertai sering buang air kecil di malam hari. Di samping itu ia juga
mengeluh kesemutan dan gatal-gatal seluruh tubuh sejak 6 bulan yang lalu. Dari
anamnesis juga diketahui bahwa Tn. B mempunyai riwayat keluarga menderita
hipertensi (ayah) dan diabetes (ibu dan kakek).

Pemeriksaan Fisik

Tekanan darah 160/95 mmHg, acanthosis nigricans, obesitas sentral dengan lingkar
perut 120 cm.

Pemeriksaan laboratorium:

Rutin: Hb 14g%, Ht 42%, leukosit 7.600 mm3, trombosit 165.000/mm3, Gula darah
puasa 277 mg/dL, HbA1C 8,6%,

OGTT (puasa) 146 mg/dL; (2 jam post prandial) 246 mg/dL

Total protein 7,7 g/dL, Albumin 4,8 g/dL, Globulin 2,9 g/dL, Ureum 22 mg/dL,
Kreatinin 0,6 mg/dL, Sodium 138 mmol/l, Potasium 3,6 mmol/l, Total Cholesterol 270
mg/dL, Cholesterol LDL 210 mg/dL, Cholesterol HDL 38 mg/dL, Trigliserida 337
mg/dL.

Urinalisis: Urin reduksi +2, mikroalbuminuria (+)

5
I. Klarifikasi istilah

1. Acanthosis nigricans Acanthosis: hiperplasia dan penebalan difuse


stratum spinosum epidermis.

Acanthosis nigricans: Acanthosis difuse


seperti beludru dengan pigmentasi gelap,
khususnya di ketiak. (kamus dorland)

2. Obesitas sentral Perut buncit yang diketahui dengan mengukur


lingkar pinggang. (jurnal Unair)

3. OGTT (puasa) Oral Glucose Tolerance Test merupakan


pengukuran terhadap kadar glukosa darah.
(jurnal universitas kristen maranatha)
4. Mikroalbuminuria Peningkatan albumin urin yang sangat sedikit.
(kamus dorland)
Peningkatan albumin dalam urin dengan
rentang 30-300 mg/hari. (ncbi)
5. Lingkar perut Pengukuran antropometri yang mengukur
lingkar perut yang dilakukan untuk
mengetahui ada tidaknya obesitas abdominal
atau sentral. (jurnal unhas)
6. Urinalisis Analisis urin. (kamus dorland)
7. Post prandial Terjadi setelah makan. (merriam webster)
8. Kesemutan Paresthesia: sensation of pricking, tingling, or
creeping on the skin that has no objective
cause. (merriam webster)

6
II. Identifikasi Masalah

No. Fakta Ketidaksesuaian Prioritas

1. Tn. B, laki-laki umur 35 tahun,


mempunyai BB 95 kg dan TB 165
cm, datang ke Poliklinik Khusus
Tidak sesuai VVV
Endokrin Metabolisme RSMH
Palembang dengan keluhan utama
capek sejak 3 bulan yang lalu.
2. Dia juga mengeluhkan merasa cepat
haus dan lapar sejak 2 bulan yang
lalu disertai sering buang air kecil di
Tidak sesuai VV
malam hari dan mengeluh kesemutan
serta gatal-gatal seluruh tubuh sejak
6 bulan yang lalu.

3. Dari anamnesis juga diketahui bahwa


Tn. B mempunyai riwayat keluarga
Tidak sesuai VV
menderita hipertensi (ayah) dan
diabetes (ibu dan kakek).

4. Pemeriksaan Fisik

Tekanan darah 160/95 mmHg,


acanthosis nigricans, obesitas Tidak sesuai V

sentral dengan lingkar perut 120


cm.

5. Pemeriksaan laboratorium:

Rutin: Hb 14g%, Ht 42%, leukosit V


Tidak sesuai
7.600 mm3, trombosit 165.000/mm3,
Gula darah puasa 277 mg/dL,

7
HbA1C 8,6%,

OGTT (puasa) 146 mg/dL; (2 jam


post prandial) 246 mg/dL

Total protein 7,7 g/dL, Albumin 4,8


g/dL, Globulin 2,9 g/dL, Ureum 22
mg/dL, Kreatinin 0,6 mg/dL, Sodium
138 mmol/l, Potasium 3,6 mmol/l,
Total Cholesterol 270 mg/dL,
Cholesterol LDL 210 mg/dL,
Cholesterol HDL 38 mg/dL,
Trigliserida 337 mg/dL.

Urinalisis: Urin reduksi +2,


mikroalbuminuria (+)

Alasan :

Karena merupakan keluhan utama yang harus segera diatasi.

8
III. Analisis Masalah

1. Tn. B, laki-laki umur 35 tahun, mempunyai BB 95 kg dan TB 165 cm, datang ke


Poliklinik Khusus Endokrin Metabolisme RSMH Palembang dengan keluhan utama
capek sejak 3 bulan yang lalu.

a. Bagaimana mekanisme capek sejak 3 bulan yang lalu pada kasus?

Jawaban: Penyebab primer dari sindrom metabolik adalah resistensi insulin.


Resistensi insulin mempunyai korelasi dengan timbunan lemak viseral yang
dapat ditentukan dengan cara mengukur lingkar pinggang atau waist to hip
ratio.
Kelelahan Tn. B disebabkan karena adanya mekanisme resistensi insulin.
Insulin berfungsi untuk membawa glukosa masuk ke dalam sel. Target
organ dari insulin itu sendiri adalah sel hepar, sel otot dan sel adiposa. Sel
otot memiliki kebutuhan terhadap glukosa yang paling tinggi. Glukosa yang
gagal masuk ke dalam sel akan menumpuk di darah, sehingga glukosa
plasma meningkat, dan terjadi glukosuria. Pengeluaran glukosa melalui urin
yang berlebihan ini dapat menghilangkan kalori yang cukup besar dalam
tubuh (4,1 kkal/gr karbohidrat), sehingga menimbulkan rasa lelah yang
berlebihan.
Mekanismenya: hiperinsulinemia  Down regulation reseptor insulin 
Resistensi insulin/ reseptor kurang peka terhadap insulin  Glukosa gagal
masuk ke dalam sel/ Hiperglikemia  sel tidak memiliki sumber untuk
menghasilkan energi  sintesis ATP pada otot rangka menurun  mudah
lelah.
b. Bagaimana status IMT pada Tn. B?
Jawaban: 34.89 (obesitas tingkat 2)
c. Apa saja faktor risiko dari status IMT Tn. B?
Jawaban: Obesitas, penyakit endokrin (diabetes,dll.), penyakit
kardiovaskular (hipertensi,dll.), sindrom metabolik, resistensi insulin.
d. Bagaimana hubungan jenis kelamin dan umur pada kasus ini?

9
Jawaban: Jenis kelamin : Otot rangka laki-laki lebih resisten terhadap
insulin dibandingkan perempuan. Disamping itu, penimbunan lemak pada
laki-laki sering terjadi di daerah perut dan liver sedangkan perempuan
banyak di subkutan, pinggul dan paha. (berhubungan dengan obesitas
sentral)
Usia : pada usia tua, terjadi degenerasi (penurunan fungsi) dari sel-sel
tubuh, terutama otot, hepatosit dan sel adipose. Sehingga mudah
menyebabkan resistensi insulin. Terutama dengan rata-rata usia > 40 tahun
memiliki risiko lebih tinggi terhadap diabetes tipe 2

2. Dia juga mengeluhkan merasa cepat haus dan lapar sejak 2 bulan yang lalu disertai
sering buang air kecil di malam hari dan mengeluh kesemutan serta gatal-gatal seluruh
tubuh sejak 6 bulan yang lalu.
a. Bagaimana mekanisme cepat haus dan lapar sejak 2 bulan yang lalu?

Jawaban: Mekanisme cepat haus : resistensi insulin  hiperinsulinemia 


gangguan transduksi GLUT 4 mengikat glukosa untuk masuk ke dalam sel
 glukosa tetap di sirkulasi  ekstraseluler hiperglikemia  filtrasi di
tubulus ginjal meningkat dan hiperosmotik plasma kadar glukosa darah
yang akan direabsorbsi di tubulus ginjal meningkat  glikosuria  dieresis
osmotic  poliuria  volume cairan ektraseluler menurun  dehidrasi sel
 polidipsia (banyak minum)

Jadi bisa disimpulkan bahwa cepat haus adalah mekanisme kompensasi


tubuh terhadap kehilangan cairan akibat dehidrasi yang disebabkan proses
diuretik osmotik.

Mekanisme cepat lapar : Polifagia (cepat lapar) terjadi akibat jaringan tubuh
tidak mendapatkan suplai glukosa yang cukup akibat gagalnya insulin
membuka kanal glukosa. Akibatnya, glukosa darah menumpuk, namun tidak
mampu masuk ke dalam sel, sehingga sel menjadi kelaparan. Sistem
homeostasis tubuh berusaha mengatur kebutuhan glukosa oleh sel dengan

10
cara mengaktivasi pusat lapar di hipotalamus lateral sehingga Tn.B cepat
merasakan lapar.
b. Apa penyebab Tn. B sering buang air kecil di malam hari?

Jawaban: Resistensi insulin menyebabkan penggunaan glukosa oleh sel


menjadi menurun, sehingga kadar gula dalam plasma tinggi
(Hiperglikemia), jika hiperglikemia ini parah dan melebihi ambang batas
ginjal maka ginjal akan membuang kelebihan tersebut melalui urine atau
yang disebut glikosuria. Glikosuria ini akan menyebabkan terjadinya
diuresis osmotic karena pengenceran glukosa membutuhkan air, maka akan
meningkatkan pengeluaran urin dan terjadilah poliuria.
c. Bagaimana siklus (pagi, siang, sore, malam) buang air kecil normal pada
orang dewasa?

Jawaban: Tidak diketahui secara pasti berapa kali seseorang buang air kecil
selama 1 hari.
4 – 5 kali/24 jam  normal
Tidak normal : > 8 kali/ hari dan >2 hari selama tidur
Volume urin normal per hari adalah 900 – 1200 ml, volume tersebut
dipengaruhi banyak faktor diantaranya suhu, zat-zat diuretika (teh, alcohol,
dan kopi), jumlah air minum, hormon ADH, dan emosi.
d. Apa penyebab kesemutan sejak 6 bulan yang lalu dan mekanismenya pada
kasus?

Jawaban: Paresthesia disebabkan karena gangguan transduksi saraf dan


aliran darah. Pada penderita diabetes hal ini disebabkan karena neuropati.
Rasa kebas atau hipestesi pada ekstremitas atas (terutama jari jari tangan )
merupakan salah satu kompikasi resistensi insulin yang mengakibatkan
hiperglikemi di dalam darah, berawal dari hiperglikemia persisten, yang
menyebabkan aktivitas jalur poliol meningkat, yaitu terjadi aktivasi enzim
aldose-reduktase, yang mengubah glukosa menjadi sorbitol, yang kemudian
dimetabolisasi oleh sorbitol dehidrogenase menjadi fruktosa. Akumulasi
sorbitol dan fruktosa dalam sel saraf bersifat merusak sel saraf (saraf tepi)

11
Mekanisme : hiperglikemia  aktivitas jalur poliol  aktivasi aldose
reduktase  ubah glukosa menjadi sorbitol  membentuk fruktosa oleh
sorbitol dehidrogenase  akumulasi sorbitol  hipertonik intrasel sehingga
edema saraf  hambat mioinosotol  stress osmotic  rusak mitokondria
 gangguan transduksi saraf
Poliol  NADPH turun  NOS turun  NO turun
Hiperglikemia  roduksi advance glycosilation end produce  toxic 
rusak semua protein tubuh dan saraf. Dengan terbentuknya AGEs dan
sorbitol maka sintessi dan fungsi NO akan menurun yang berakibat
vasodilatasi berkurang , aliran darah ke saraf menurun dan bersama
rendahnya mioinositol dalam sel saraf terjadilah ND . Semua hal tersebut
menyebabkan penurunan aliran darah ke saraf.
e. Apa penyebab gatal-gatal sejak 6 bulan yang lalu dan mekanismenya pada
kasus?
Jawaban: Rasa gatal pada Tn. B disebabkan telah terjadinya salah satu
komplikasi DM, yaitu neuropati. Pada neuropati terjadi kerusakan saraf
perifer akibat hiperglikemi. Kerusakan saraf perifer ini menyebabkan
turunnya sensitifitas atau mati rasa seperti pada jari tangan, dan terjadinya
sensasi gatal. Rasa gatal ini juga terkait adanya penurunan NGF yang terjadi
pada penderita DM. penurunan NGF ini menyebabkan regulasi neuropeptida
substansi P yang memediasi rasa gatal pada kulit menjadi tidak terkontrol.
Pada DM terjadi hiperglikemia, sehingga terjadi iritabilitas ujung-ujung
saraf dan kelenjar metabolik di kulit terutama daerah anogenital atau
submammae pada wanita. Glikogen sel sel epitel kulit dan vagina meningkat
sehingga terjadi diabetes kulit (URBACH) oleh karena predisposisi berupa
dermatitis, kandidiasis, dan furunkulosis.
Pruritus pada diabetes mellitus merupakan keluhan yang sering
terdengar, tetapi tidak selalu ada. Sensasi tersebut tidak hanya disebabkan
oleh hiperglikemi, tetapi juga iritabilitas ujung-ujung saraf dan kelainan-
kelainan metabolik dikulit. Pruritus terutama berlokalisasi pada daerah
anogenital (pruritus ani/vulvae/skroti) dan daerah-daerah intertriginosa

12
(terutama submama pada wanita dengan adipositas). Kadar glikogen pada
sel-sel epitel kulit dan vagina meningkat, hingga menimbulkan “diabetes
kulit”.
3. Dari anamnesis juga diketahui bahwa Tn. B mempunyai riwayat keluarga menderita
hipertensi (ayah) dan diabetes (ibu dan kakek).

a. Bagaimana hubungan riwayat keluarga (hipertensi) memengaruhi Tn. B?


Jawaban: Hipertensi merupakan penyakit yang timbul akibat adanya
interaksi berbagai faktor resiko yang dimiliki seseorang. Faktor pemicu
hipertensi dibedakan menjadi yang tidak dapat dikontrol seperti riwayat
keluarga, jenis kelamin, dan umur. Faktor yang dapat dikontrol seperti
obesitas, kurangnya aktivitas fisik, perilaku merokok, pola konsumsi
makanan yang mengandung natrium dan lemak jenuh.
b. Bagaimana hubungan riwayat keluarga (diabetes) memengaruhi Tn. B?

Jawaban: Jika terdapat salah seorang anggota keluarga yang menyandang


diabetes maka kesempatan untuk menyandang diabetes manapun akan
meningkat.
c. Berapa besar kemungkinan riwayat keluarga (hipertensi) diturunkan kepada
Tn. B?
Jawaban: Faktor pemicu hipertensi dibedakan menjadi yang tidak dapat
dikontrol seperti riwayat keluarga, jenis kelamin, dan umur.
d. Berapa besar kemungkinan riwayat keluarga (diabetes) diturunkan kepada
Tn. B?

Jawaban: Ada empat bukti yang menunjukkan transmisi penyakit sebagai


ciri dominal autosomal. Pertama transmisi langsung tiga generasi terlihat
pada lebih dari 20 keluarga. Kedua didapatkan perbandingan anak diabetes
dan tidak diabetes 1:1 jika satu orang tua menderita diabetes. Pengaruh
genetik sangat kuat, karena angka konkordansi diabetes tipe 2 pada kembar
monozigot mencapai 100 persen. Resiko keturunan dan saudara kandung
pasien penderita NIIDM lebih tinggi dibanding diabetes tipe 1. Hampir
empat persepuluh saudara kandung dan sepertiga keturunan akhirnya

13
mengalami toleransi glukosa abnormal atau diabetes yang jelas.

4. Pemeriksaan Fisik

Tekanan darah 160/95 mmHg, acanthosis nigricans, obesitas sentral dengan lingkar
perut 120 cm.

a. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan fisik?


Jawaban: Tekanan darah tinggi, hipertensi stage II, terdapat acanthosis nigricans
tidak normal, Obesitas sentral dengan LP 120cm tidak normal
b. Bagaimana perbandingan histologi dan histopatologi acanthosis nigricans?
Jawaban:

c. Bagaimana patofisiologi acanthosis nigricans?


Jawaban: Acanthosis nigricans pada sindrom resistensi insulin disebabkan
karena kadar insulin yang tinggi mampu mengaktifkan fibroblas dermal dan
keratinosit melalui reseptor insulin-like growth factor yang ada pada sel-sel
tersebut. Sebagai hasilnya terjadi peningkatan deposisi glikosaminoglikans oleh
fibroblas di dermal. Hal ini menyebabkan papilomatosis dan
hiperkeratosis.Dalam konsentrasi yang tinggi, insulin memiliki efek lebih besar
dalam pertumbuhan melalui ikatannya dengan insulin-like growth factor 1
receptors (IGF-1Rs), yaitu reseptor dengan ukuran dan struktur menyerupai
reseptor insulin, tetapi memiliki afinitas 100 sampai 1000 kali lebih besar. Hasil

14
penelitian menyatakan bahwa aktivasi IGF-1Rs yang bergantung pada insulin
dalam menyebabkan proliferasi sel dan memfasilitasi berkembangnya AN.
Hiperinsulinemia juga dapat memfasilitasi berkembang AN secara tidak
langsung, yaitu dengan meningkatkan kadar IGF-1 bebas dalam sirkulasi darah.
IGF binding protein (IGFBPs) mengatur aktivitas IGF-1, yaitu dengan
meningkatkan waktu paruh IGF-1, menghantarkan IGF ke jaringan target, dan
mengatur kadar IGF-1 bebas. Insulin-like growth factor binding protein I
(IGFBP) jumlahnya menurun pada pasien obese dengan hiperinsulinemia,
sehingga meningkatkan konsentrasi plasma dari IGF-1. Jumlah IGF-1 yang
meningkat menyebabkan bertambahnya pertumbuhan dan diferensiasi sel.
d. Bagaimana tatalaksana dari acanthosis nigricans?
Jawaban: Koreksi hiperinsulinemia dapat mengurangi derajat lesi hiperkeratosis,
seperti halnya penurunan berat badan pada AN yang berhubungan dengan
obesitas juga dapat mengurangi lesi dermatosis tersebut. Tidak ada terapi pilihan
untuk AN. Terapi topikal yang telah diketahui efektif adalah keratolitik
(misalnya tretinoin topikal). Pengobatan oral yang cukup efektif adalah
isotretinin, metformin, dan minyak ikan. Ciproheptadin telah digunakan untuk
terapi AN maligna karena dapat menghambat pelepasan produk tumor.
e. Bagaimana patofisiologi dari obesitas sentral?
Jawaban: Obesitas terjadi akibat ketidakseimbangan masukan dan keluaran
kalori dari tubuh serta penurunan aktifitas fisik (sedentary life style) yang
menyebabkan penumpukan lemak di sejumlah bagian tubuh. Pengaturan
keseimbangan energi diperankan oleh hipotalamus melalui 3 proses fisiologis,
yaitu pengendalian rasa lapar dan kenyang, mempengaruhi laju pengeluaran
energi dan regulasi sekresi hormone. Apabila asupan energi melebihi dari yang
dibutuhkan, maka jaringan adiposa meningkat disertai dengan peningkatan kadar
leptin dalam peredaran darah. Kemudian, leptin merangsang anorexigenic center
di hipotalamus agar menurunkan produksi Neuro Peptida Y (NPY) sehingga
terjadi penurunan nafsu makan. Pada sebagian besar penderita obesitas terjadi
resistensi leptin, sehingga tingginya kadar leptin tidak menyebabkan penurunan
nafsu makan (Jeffrey, 2009).

15
f. Apa penyebab obesitas sentral?
Jawaban: Penyebab Obesitas
- Aktifitas fisik
- Asupan makanan
- Genetic
- Hormon
- Obat obatan
g. Apa faktor risiko dari obesitas sentral?
Jawaban: Faktor Resiko Obesitas Sentral
- Diabetes mellitus tipe 2
- Dyslipidemia
- Penyakit kardiovaskuler
- Hipertensi
- Sleep apnea
- Sindrom metabolik
h. Bagaimana patofisiologi dari status tekanan darah Tn. B?
Jawaban: Konsumsi makanan tinggi kalori akan mengakibatkan sindrom
metabolik dengan meningkatnya massa lemak di daerah abdomen pada individu
yang rentan. Peningkatan masa sel lemak menyebabkan peningkatan produksi
angiotensinogen di jaringan lemak, yang berperan penting dalam peningkatan
tekanan darah. Sel lemak juga membuat enzim konvertase angiotensin dan
katepsin, yang memiliki efek lokal pada katabolisme dan konversi angiotensin.
Asam lemak dapat meningkatkan stres oksidatif pada sel endotel dan proses ini
diamplifikasi oleh angiotensin. Jumlah jaringan lemak pada individu dengan
obesitas menyebabkan peningkatan RAS dalam jaringan lemak. Selain itu,
angiotensin II (komponen utama RAS) dan angiotensinogen (prekursor
angiotensin II) berperan dalam pertumbuhan, diferensiasi dan metabolisme
jaringan lemak, yang dalam jangka panjang dapat mendorong penyimpanan
trigliserida dalam hati, otot rangka, serta pankreas, sehingga menyebabkan
resistensi insulin.

16
Pada obesitas, selain pertambahan masa lemak, masa non-lemak juga meningkat,
dan terjadi hipertrofi organ seperti jantung dan ginjal. Pada ginjal terjadi
glomerulomegali, vasodilatasi arteriol aferen, dan vasokonstriksi arteriol eferen
yang menyebabkan hipertensi intraglomerular. Hipertensi intraglomerular
merupakan awal terjadinya mikroalbuminuria dan proteinuria yang selanjutnya
melalui berbagai mekanisme selular akan menyebabkan glomerulosklerosis dan
fibrosis tubulointertisial pada obesitas.
i. Apa hubungan tekanan darah terhadap permasalahan kasus?

Jawaban: Hipertensi pada sindrom metabolik dapat disebabkan oleh mekanisme


yang sulit dipisahkan satu sama lain karena adanya resistensi insulin dan
obesitas. Adanya resistensi insulin akan mengganggu produksi endothelial Nitric
Oxide Synthase (eNOS) sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah.

Gambar 3. Patofisiologi hipertensi pada sindrom metabolik

Selain itu, obesitas juga dapat menimbulkan hipertensi melalui beberapa


mekanisme berikut:
- Pada individu obese terjadi peningkatan volume darah, stroke volume dan cardiac
output sehingga terjadi peningkatan peripheral vascular resistance pada individu
obese yang dapat menimbulkan kondisi hipertensi

17
- Obesitas dikaitkan dengan disfungsi endotel, resistensi insulin, perubahan sistem
saraf simpatik, dan pelepasan mediator proinflamasi (Tumor Necrosis Factor/TNF-
α dan Intrleukin/IL-6) sehingga terjadi peningkatan peripheral vascular resistance .

5. Pemeriksaan laboratorium:

Rutin: Hb 14g%, Ht 42%, leukosit 7.600 mm3, trombosit 165.000/mm3, Gula darah
puasa 277 mg/dL, HbA1C 8,6%,

OGTT (puasa) 146 mg/dL; (2 jam post prandial) 246 mg/dL

18
Total protein 7,7 g/dL, Albumin 4,8 g/dL, Globulin 2,9 g/dL, Ureum 22 mg/dL,
Kreatinin 0,6 mg/dL, Sodium 138 mmol/l, Potasium 3,6 mmol/l, Total Cholesterol 270
mg/dL, Cholesterol LDL 210 mg/dL, Cholesterol HDL 38 mg/dL, Trigliserida 337
mg/dL.

Urinalisis: Urin reduksi +2, mikroalbuminuria (+)

a. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan laboratorium dan urinalisis?


Jawaban:

Analisis Darah

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Interpretasi

Hemoglobin 14 g% 13-18 g % Normal

Hematokrit 42 g % 40-48 % Normal

Leukosit 7.600 mm3 5.000-10.0000 Normal

Trombosit 165.000 mm3 150.000- Normal


450.000

Blood glucose 277 mg/Dl < 110 mg/dL Meningkat

HbA1C 8,6 % 4,5 – 6,3 % Meningkat

OGTT fasting 146 mg/dL 70 – 110 mg/dL Meningkat


glucose

OGTT 2 hour post 246 mg/dL < 140 mg/dL Meningkat


prandial

Total protein 7,7 g/dL 6,7 -8,7 g/dL Normal

Albumin 4,8 g/dL 3,8 – 5,1 g/dL Normal

Globulin 2,9 g/dL 1,5 -3,0 g/dL Normal

Ureum 22 mg/dL 20 – 40 mg/dL Normal

19
Kreatinin 0,6 mg/dL 0,5-1,5 mg/dL Normal
(P)

Sodium 138 mmol/l 135-155 mmol/l Normal

Potassium 3,6 mmol/l 3,6-5,5 mmol/dl Normal

Total cholesterol 270 mg/dL <200 mg/dL Meningkat

Cholesterol LDL 210 mg/dL <130 md/dL Meningkat

Cholesterol HDL 38 mg/dL > 40 mg/dL Menurun

Trigliserida 337 mg/dL < 200 mg/dL Meningkat

Analisis Urine

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Interpretasi

Reduksi urin ++ negative Warna kuning keruh terdapat

1- 1,5 % glukosa

Mikroalbuminuria + negative Terdapat gangguan pada ginjal

b. Bagaimana pengaturan hormon terhadap metabolisme pada kasus?

Jawaban: Pengaturan metabolisme oleh hormon :


1. Hormon kel. Tiroid:
- mempertahankan keseimbangan energi metabolik.
- merupakan pencetus untuk fungsi normal dari semua sel termasuk sel
otot jantung.
- menunjang proses tumbuh/growth dan perkembangan sejak bayi.
2. Stimulasi sekresi hormon Kortisol oleh Adrenal Kortex
Kadar glukosa rendah menyebabkan Hypothalamus mensekresikan CRH
(corticotropin-releasing hormone) kemudian Anterior pituitary cells

20
mensekresikan ACTH (adrenocorticotropic hormone) sehingga Adrenal
cortex akan mensekresikan cortisol (dan glukokortikoid lainnya) cortisol
mencegah uptake glukosa oleh sel-sel otot.
a. Insulin

Untuk mengendalikan storage dan membebaskan asam lemak kedalam


dan keluar depot lipid
Insulin memberi sinyal bila ada kelebihan makanan dan akan
menginisiasi uptake dan storage dari karbohidrat, lemak dan asam
amino
Mempercepat transport asam amino masuk sel
menyebabkan sel pada otot dan adiposit menyerap glukosa dari sirkulasi
darah melalui transporter glukosa GLUT1 dan GLUT4 dan
menyimpannya sebagai glikogen di dalam hati dan otot sebagai sumber
energi
bersifat anabolik yang artinya meningkatkan penggunaan protein
b. Glukagon

Lipolisis; penguraian lemak. Ini terjadi di jaringan lemak

Proteolisis; penguraian protein. Ini terjadi di otot

Gluconeogenesis dan Glykogenolisis; membuat glukosa. Ini terjadi di


hati

NaCl-, Kalsium-, dan Magnesiumresorption. Ini terjadi di bagian yang


naik dan gemuk dari Henle tubulus yakni ginjal.
c. Epinephrine

Menghambat sekresi insulin

Menstimulasi glikogenolisis di otot dan hati

Menstimulasi glikolisis di otot

21
Meningkatkan lipolisis oleh sel adiphosa
d. Norepinephrine

Memicu pelepasan glukosa


e. Esterogen

Kemungkinan SiMet meningkat juka esterogen menurun (wanita)

Sedikit pengendapan protein


f. Glukokortikoid

Regulator glukosa yang disintensis pada korteks adrenal dan


mempunyai struktur steroid

Mengaktivasi konversi protein menjadi glukosa melalui lintasan


glukoneogenesis di dalam hati dan menstimulasi konversi lebih lanjut
menjadi glikogen

Peningkatan senyawa nitrogen pada urin yang terjadi setelah


peningkatan glukokortikoid merupakan akibat dari mobilisasi asam
amino dari protein yang mengalami reaksi proteolitik dan adanya
senyawa karbon yang terjadi sepanjang lintasan glukoneogenesis.

Redistribusi senyawa lipid dan yang kedua adalah aktivasi senyawa


lipolitik

Menurunkan jumlah protein di kebanyakan jaringan dan meningkatkan


konsentrasi asam amino dalam plasma
g. Testosterone
Meningkatkan pengendapan protein dalam jaringan di seluruh tubuh,
terutama otot
h. Tiroksin
Meningkatkan laju metabolisme di semua sel dan secara tidak langsung

22
memengaruhi metabolisme protein
Jika jumlah KH dan lemak kurang memadai untuk energi, tiroksin
menyebabkan penguraian cepat protein untuk memenuhi kebutuhan
energi
Jika jumlah KH dan lemak memadai, kelebihan asam amino digunakan
untuk meningkatkan laju sintesis protein.

Pertanyaan tambahan
a. Bagaimana diagnosis pada kasus?
Jawaban: Sindrom metabolik disebabkan DM type 2, obesitas, hipotoksisitas dan
hipertensi
b. Bagaimana diagnosis banding pada kasus?
Jawaban: Hipertensi, dislipidemia, diabetes neuropati
c. Bagaimana kompetensi dokter pada kasus?
Jawaban: SKDI 3B
d. Bagaimana patofisiologi dari permasalahan kasus?

Jawaban:

Berdasarkan gambar diatas, adanya resistensi insulin ini akan semakin


meningkatkan pemecahan asam lemak bebas (lipolisis) di jaringan adiposa yang
menyebabkan terjadinya beberapa gangguan pada sistem organ antara lain:
- Jaringan otot  Terjadi penurunan ambilan glukosa (Glucose uptake)
- Hati  Terjadi peningkatan pemecahan glukosa di hati (glukoneogenesis)
- Pankreas  Terjadi peningkatan sekresi insulin oleh sel-β pancreas

23
-Pembuluh darah  Terjadinya vasokonstriksi dan penurunan relaksasi
pembuluh darah akibat penurunan Nitrit oxide
Resistensi insulin dapat menyebabkan dislipidemia melalui peningkatan asam
lemak bebas yang dapat meningkatkan sintesis dan sekresi apoB100 sebagai
kofaktor dari trigliserid dan VLDL. Pada hipertrigliseridemia terjadi penurunan
isi ester kolesterol dari inti lipoprotein menyebabkan penurunan isi kolesterol
HDL dengan peningkatan beragam trigliserida menjadikan partikel kecil dan
padat. Hal ini menyebabkan peningkatan bersihan HDL di sirkulasi.
e. Bagaimana prognosis pada permasalahan kasus?
Jawaban: Komponen sindrom metabolik dapat mengalami perbaikan dengan tata
laksana yang memprioritaskan program tata laksana berat badan yang intensif,
disamping modifikasi gaya hidup dan tata laksana faktor risiko klinis lain terkait
dengan penyakit Kardiovaskular.
f. Bagaimana pencegahan dari permasalahan kasus?
Jawaban: The US Preventive Services Task Force merekomendasi konsultasi
diet intensif terhadap pasien-pasien dewasa yang mempunyai faktor risiko untuk
terjadinya penyakit kardiovaskular. Pada dokter keluarga lebih efektif dalam
membantu pasien menerapkan kebiasaan hidup sehat. The Diabetes Prevention
Program telah membuktikan bahwa intenvensi gaya hidup yang ketat pada
pasien prediabetes dapat menghambat progresivitas terjadinya diabetes lebih dari
50% (dari 11% menjadi 4,8%).
g. Bagaimana tatalaksana dari permasalahan kasus?
Jawaban:
1. Latihan Fisik
Otot rangka merupakan jaringan yang paling sensitif terhadap insulin didalam
tubuh, dan merupakan target utama terjadinya resistensi insulin. Latihan fisik
terbukti dapat menurunkan kadar lipid dan resistensi insulin didalam otot
rangka. Pengaruh latihan fisik terhadap sensitivitas insulin terjadi dalam 24 – 48
jam dan hilang dalam 3 sampai 4 hari. Jadi aktivitas fisik teratur hendaklah
merupakan bagian dari usaha untuk memperbaiki resistensi insulin. Pasien
hendaklah diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan derajat aktifitas

24
fisiknya. Manfaat paling besar dapat diperoleh bila pasien menjalani latihan
fisik sedang secara teratur dalam jangka panjang. Kombinasi latihan fisik
aerobik dan latihan fisik menggunakan beban merupakan pilihan terbaik.
Dengan menggunakan dumbbell ringan dan elastic exercise band merupakan
pilihan terbaik untuk latihan dengan menggunakan beban. Jalan kaki dan
jogging selama 1 jam perhari juga terbukti dapat menurunkan lemak viseral
secara bermakna pada laki2 tanpa mengurangi jumlah kalori yang dibutuhkan.
2. Diet
Sasaran utama dari diet terhadap Sindrom Metabolik adalah menurunkan risiko
penyakit kardiovaskular dan diabetes melitus. Review dari Cochrane Database
mendukung peranan intervensi diet dalam menurunkan risiko penyakit
kardiovaskular. Bukti-bukti dari suatu studi besar menunjukkan bahwa diet
rendah sodium dapat membantu mempertahankan penurunkan tekanan darah.
Hasil dari studi klinis, diet rendah lemak selama lebih dari 2 tahun menunjukkan
penurunan bermakna dari kejadian komplikasi kardiovaskular dan menurunkan
angka kematian total.
Berdasarkan studi dari the Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH),
pasien yang mengkonsumsi diet rendah lemak jenuh dan tinggi karbohidrat
terbukti mengalami penurunan tekanan darah yang berarti walaupun tanpa
disertai penurunan berat badan.
Penurunan asupan sodium dapat menurunkan tekanan darah lebih lanjut atau
mencegah kenaikan tekanan darah yang menyertai proses menua. Studi dari the
Coronary Artery Risk Development in Young Adults mendapatkan bahwa
konsumsi produk2 rendah lemak dan garam disertai dengan penurunan risiko
sindrom metabolik yang bermakna. Diet rendah lemak tinggi karbohidrat dapat
meningkatkan kadar trigliserida dan menurunkan kadar HDL kolesterol,
sehingga memperberat dislipidemia. Untuk menurunkan hipertrigliseridemia
atau meningkatkan kadar HDL kolesterol pada pasien dengan diet rendah lemak,
asupan karbohidrat hendaklah dikurangi dan diganti dengan makanan yang
mengandung lemak tak jenuh (monounsaturated fatty acid = MUFA) atau
asupan karbohidrat yang mempunyai indeks glikemik rendah.

25
Diet ini merupakan pola diet Mediterrania yang terbukti dapat menurunkan
mortalitas penyakit kardiovaskular. Suatu studi menunjukkan adanya korelasi
antara penyakit kardiovaskular dan asupan biji-bijian dan kentang. Para peneliti
merekomendasikan diet yang mengandung biji-bijian, buah-buahan dan sayuran
untuk menurunkan risiko penyakit kardiovaskular. Efek jangka panjang dari diet
rendah karbohidrat belum diteliti secara adekuat, namun dalam jangka pendek,
terbukti dapat menurunkan kadar trigliserida, meningkatkan kadar HDL-
cholesterol dan menurunkan berat badan. Pilihan untuk menurunkan asupan
karbohidrat adalah dengan mengganti makanan yang mempunyai indeks
glikemik tinggi dengan indeks glikemik rendah yang banyak mengandung serat.
Makanan dengan indeks glikemik rendah dapat menurunkan kadar glukosa post
prandial dan insulin.
3. Medikamentosa
Untuk pasien yang faktor risikonya tidak berkurang secara memadai oleh
perubahan gaya hidup, intervensi farmakologis untuk mengontrol tekanan darah
dan kadar lipid diindikasikan.

Obat-obatan dapat dipakai sebagai bagian pengaturan berat badan. Obat yang
dapat diberikan adalah sibutramin dan orlistat. Sibutramin bekerja disentral

26
memberikan efek mengurangi asupan energi melalui efek memberikan rasa
kenyang dan mempertahankan pengeluaran energi. Demikian pula dengan efek
metabolik, sebagai efek penurunan berat badan pemberian sibutramin setelah 24
minggu yang disertai dengan diet dan aktifitas fisik, memperbaiki kolesterol
HDL dan kadar trigliserida.
Untuk hipertensi pada sindrom metabolik, dapat digunakan golongan ACE-
inhibitor yang memiliki makna dalam meregresi hipertrofi ventrikel. Selain itu,
valsartan sebagai penghambat reseptor angiotensin dapat mengurangi
albuminuria yang diketahui sebagai faktor risiko independen kardiovaskular.
Tiazolidindion juga memilki pengaru persisten dalam menurunkan tekanan
darah sistolik dan diastolik. Tiazolidindion dan metformin juga dapat
menurunkan kadar asam lemak bebas. Pada diabetes prevention program,
penggunaan metformin dapat mengurangi progresi diabetes sebesar 31% dan
efektif pada pasien muda dengan obesitas.
Pilihan terapi untuk dislipidemia selain dengan modifikasi gaya hidup adalah
dengan pemberian obat. Terapi dengan gemfibrozil tidak hanya memperbaiki
profil lipid tapi juga menurunkan risiko kardiovaskuler. Fenofibrat juga secara
khusus digunakan untuk menurunkan trigliserida dan meningkatkan kolesterol
HDL, telah meningkatkan perbaikan profil lipid yang sangat efektif dan
mengurangi risiko kardiovaskular.

h. Bagaimana pola diet dari penderita sindrom metabolik?

Jawaban: Berdasarkan studi dari the Dietary Approaches to Stop Hypertension


(DASH), pasien yang mengkonsumsi diet rendah lemak jenuh dan tinggi
karbohidrat terbukti mengalami penurunan tekanan darah yang berarti walaupun
tanpa disertai penurunan berat badan.
Penurunan asupan sodium dapat menurunkan tekanan darah lebih lanjut atau
mencegah kenaikan tekanan darah yang menyertai proses menua. Studi dari the
Coronary Artery Risk Development in Young Adults mendapatkan bahwa
konsumsi produk-produk rendah lemak dan garam disertai dengan penurunan
risiko sindrom metabolik yang bermakna. Diet rendah lemak tinggi karbohidrat

27
dapat meningkatkan kadar trigliserida dan menurunkan kadar HDL kolesterol,
sehingga memperberat dislipidemia. Untuk menurunkan hipertrigliseridemia
atau meningkatkan kadar HDL kolesterol pada pasien dengan diet rendah lemak,
asupan karbohidrat hendaklah dikurangi dan diganti dengan makanan yang
mengandung lemak tak jenuh (monounsaturated fatty acid = MUFA) atau
asupan karbohidrat yang mempunyai indeks glikemik rendah.
Diet ini merupakan pola diet Mediterrania yang terbukti dapat menurunkan
mortalitas penyakit kardiovaskular. Suatu studi menunjukkan adanya korelasi
antara penyakit kardiovaskular dan asupan biji-bijian dan kentang. Para peneliti
merekomendasikan diet yang mengandung biji-bijian, buah-buahan dan sayuran
untuk menurunkan risiko penyakit kardiovaskular. Efek jangka panjang dari diet
rendah karbohidrat belum diteliti secara adekuat, namun dalam jangka pendek,
terbukti dapat menurunkan kadar trigliserida, meningkatkan kadar HDL-
cholesterol dan menurunkan berat badan.
Pilihan untuk menurunkan asupan karbohidrat adalah dengan mengganti
makanan yang mempunyai indeks glikemik tinggi dengan indeks glikemik
rendah yang banyak mengandung serat. Makanan dengan indeks glikemik
rendah dapat menurunkan kadar glukosa post prandial dan insulin.

28
IV. Keterbatasan Ilmu Pengetahuan
POKOK WHAT I WHAT I WHAT I HOW WILL I
BAHASAN KNOW DON’T HAVE TO LEARN
KNOW PROVE
Sindrom Definisi, Prognosis. Patofisiologi Jurnal, kamus
Metabolik komponen dari sindrom dorland,
utama, metabolik. KBBI, artikel,
penegakkan internet, dan
diagnosis, buku literatur.
epidemiologi,
etiologi,
patofisiologi,
farmakoterapi
dan non-
farmakoterapi,
edukasi,
pencegahan
dan
kompetensi
dokter.
DM Type 2 Definisi, Hubungannya Mekanisme Buku literatur
mekanisme, dengan dan dan jurnal.
epidemiologi, hipertensi dan tatalaksana.
patogenesis, diabetes secara
patofisiologi, genetik dan
tatalaksana. jelas.
Pemeriksaan Pemeriksaan Pemeriksaan Pemeriksaan Jurnal, internet
Laboratorium darah rutin. elektrolit dan glukosa dan dan artikel.
pemeriksaan pemeriksaan
protein. cholesterol.

29
Pemeriksaan Patofisiologi - Tatalaksana Buku literatur
Fisik acanthosis non farmako dan jurnal.
nigricans, pada obesitas.
hipertensi pada
sindrom
metabolik,
obesitas,
tatalaksana
farmako pada
obesitas.
Diagnosis Diagnosis Tatalaksana Macam- Jurnal dan
Banding. banding DM masing-masing macam buku literatur.
type 2. diagnosis. diagnosis
banding DM
type 2 dan
sindrom
metabolik.

30
V. Kerangka Konsep

31
VI. Sintesis

SINDROMA METABOLIK

Sindrom Metabolik yang juga disebut sindrom resistensi insulin atau sindrom X
merupakan suatu kumpulan faktor-faktor risiko yang bertanggung jawab terhadap
peningkatan morbiditas penyakit kardiovaskular pada obesitas dan DM tipe 2. The
National Cholesterol Education Program-Adult Treatment Panel (NCEP-ATP III)
melaporkan bahwa sindrom metabolik merupakan faktor risiko independen terhadap
penyakit kardiovaskular, sehingga memerlukan intervensi modifikasi gaya hidup yang
ketat (intensif).
Komponen utama dari sindrom metabolik meliputi :
1. Resistensi insulin
2. Obesitas abdominal/sentral
3. Hipertensi
4. Dislipidemia :
a. Peningkatan kadar trigliserida
b. Penurunan kadar HDL kolesterol

Pada tahun 2001 the National Cholesterol Education Program’s Adult Traetment
Panel III (NCEP: ATP III) memberikan definisi Sindroma Metabolik adalah seseorang
yang memenuhi tiga atau lebih kelainan dari 5 kriteria berikut ini :
1. Obesitas sentral : lingkar perut ≥ 90 cm (pria),≥ 80 cm (wanita).
2. Trigliserida (> 150 mg / dL).
3. HDL <40mg/dL pada pria atau <50 mg / dL pada wanita
4. Glukosa puasa > 110 mg / dL.
5. Tekanan darah >140/90 mmHg.

Sindrom Metabolik disertai dengan keadaan proinflammasi / prothrombotik yang


dapat menimbulkan peningkatan kadar C-reactive protein, disfungsi endotel, hiperfib-
rinogenemia, peningkatan agregasi platelet, peningkatan kadar PAI-1, peningkatan
kadar asam urat, mikroalbuminuria dan peningkatan kadar LDL cholesterol. Akhir-akhir

32
ini diketahui pula bahwa resistensi insulin juga dapat menimbulkan Sindrom Ovarium
Polikistik dan Non Alcoholic Steato Hepatitis (NASH).

Diagnosis
Kriteria Diagnosis Sindrom Metabolik menurut WHO (World Health
Organization) dan NCEP-ATP III (the National Cholesterol Education Program- Adult
Treatment Panel III). Tapi Indonesia lebih ke WHO  asia (kombinasi).

Komponen Kriteria diagnosis WHO : Kriteria diagnosis NCEP ATP III :


Resistensi insulin + 2 kriteria di Minimal 3 komponen dibawah ini
bawah ini

Obesitas abdominal/ Waist to hip ratio : Lingkar pinggang :


sentral Laki2 : > 0.90; Laki2 : > 102 cm (40 inchi)
Wanita : > 0.85, atau Wanita : > 88 cm (35 inchi)
IMB > 30 kg/m2

Hipertrigliseridemia ³ 150 mg/dl (³ 1.7 mmol/L) ³ 150 mg/dl (³ 1.7 mmol/L)

HDL Cholesterol ♂ < 35 mg/dl (< 0.9 mmol/L) ♂ < 40 mg/dl (< 1.036 mmol/L)
♀ < 39 mg/dl (< 1.0 mmol/L ♀ < 50 mg/dl (< 1.295 mmol/L)

TD ³ 140/90 mmHg atau riwayat TD ³ 130/85 mmHg / riwayat terapi


Hipertensi terapi anti hipertensif anti hipertensif

Kadar glukosa Toleransi glukosa terganggu, ³ 110 mg/dl atau ³ 6.1 mmol/L
darah tinggi glukosa puasa terganggu, resistensi
insulin atau DM

Mikroalbuminuria Ratio albumin urin dan kreatinin 30


mg/g atau laju ekskresi albumin 20
mcg/menit

33
Diagnosis
Terhadap individu yang dicurigai mengalami Sindrom Metabolik hendaklah dilakukan
evaluasi klinis, yang meliputi :
Anamnesis, tentang :
a. Riwayat keluarga dan penyakit sebelumnya.
b. Riwayat adanya perubahan berat badan.
Aktifitas fisik sehari-hari.
a. Asupan makanan sehari-hari
Pemeriksaan fisik, meliputi :
a. Pengukuran tinggi badan, berat badan dan tekanan darah
b. Pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) , menggunakan rumus:
BeratBadan (kg )
BMI 
(TinggiBadan) 2
c. Pengukuran lingkaran pinggang merupakan prediktor yang lebih baik terhadap
risiko kardiovaskular daripada pengukuran waist-to-hip ratio.

Pemeriksaan laboratorium, meliputi :


a. Kadar glukosa plasma dan profil lipid puasa.
b. Pemeriksaan klemeuglikemik atau HOMA (homeostasis model assessment) untuk
menilai resistensi insulin secara akurat biasanya hanya dilakukan dalam
penelitian dan tidak praktis diterapkan dalam penilaian klinis.
c. Highly sensitive C-reactive protein
d. Kadar asam urat dan tes faal hati dapat menilai adanya NASH.
e. USG abdomen diperlukan untuk mendiagnosis adanya fatty liver karena kelainan
inidapat dijumpai walaupun tanpa adanya gangguan faal hati.

Pemeriksaan Penunjang
1. Trombosit adalah sel darah merah yang berperan dalam proses pembekuan atau
menghentikan pendarahan , tormbositopenia adalah kadar trombosit yang rendah
dari normal yang disebabkan oleh infeksi virus , keganasan , ITP , pendarahan .

34
trombositosis adalah peningkatan kadar trombosit di atas normal yang disebabkan
oleh infeksi , keganasan , reaksi dan kerusakan jaringan
2. BSS, merupakan pemeriksaan kadar gula plasma yang tidak terikat waktu
Gula darah sewaktu yang tinggi mengindikasikan
a. Diabetes mellitus
b. Baru mengonsumsi makanan yang kaya karbohidrat
3. HbA1c (hemoglobin terglikosilasi)
Adalah substansi yang terbentuk di dalam sel darah merah ketika gula berikatan
dengan hemoglobin. Jadi secara tidak langsung jumlah HbA1c menggambarkan
kadar glukosa darah. HbA1c dapat digunakan untuk mengukur glukosa darah
selama 3 bulan terakhir. Kadar HbA1c yang tinggi/diatas normal mencerminkan
kurangnya pengendalian glucose plasma (hyperglycemia). 1% perubahan pada hasil
HbA1c merefleksikan adanya perubahan sekitar 30 mg/dL (1.67 mmol/L) glukosa
dalam darah.
4. OGTT (oral glucose tolerance test)
Adalah semacam tes ketahanan glukosa melalui mulut. Tes ini dilaksanakan di
bawah kondisi yang terkendali dan sangat menghendaki siapapun untuk mematuhi
serangkaian pedoman. Secara ringkas berikut pedoman yang digunakan:
a. Selama 3 hari sebelum tes orang yang akan diperiksa harus mengkonsumsi tiga
makanan yang banyak mengandung karbohidrat setiap harinya
b. Puasa satu malam mulai pukul 22.00-04.00 sehari sebelum tes dilaksanakan.
Selama puasa pasien hanya diperkanankan minum air putih
c. Penderita tidak boleh merokok dan berolahraga selama 3 hari tersebut
d. Sampel darah puasa diambil, kemudian pasien diberikan minuman beraroma
yang mengandung 75 gram glukosa dengan 250 ml air. Sampel darah kedua
diambil setelah 2 jam.
e. Signifikansi:
i. IFG (impaired fasting glucose, glukosa puasa 100-140 mg/dL)
ii. IGT (impaired glucose tolerance, glukosa post prandial 140-200)
5. Albumin : beberapa fungsi albumin :
a. betanggung jawab terhadap tekanan osmotic plasma

35
b. mengangkut ion organic besar (FFA)
c. mengangkut hormone
Memiliki nilai diatas normal, hal ini mengindikasikan terjadinya peningkatan
metabolisme lemak (lypolisis meningkat) sehingga dibutuhkan “bus pengangkut”
hasil metabolic (FFA).
a. Kolesterol Total : nilai kolesterol tinggi biasa ditemukan pada penderita
obesitas.
b. HDL-kolesterol : Rendah
dislipidemia
c. TG : Tinggi
Adalah lipoprotein densitas tinggi yang berperan membawa kolesterol untuk
dikeluarkan dari dalam tubuh. Sering juga disebut kolesterol baik.
Signifikansi dari rendahnya HDL:
a. Dislipidemia
b. Risiko CVD
c. Jumlah kolesterol yang dapat dikeluarkan dari dalam tubuh menurun sehingga
dapat menumpuk di pembuluh darah dan mengakibatkan arteriosklerosis.

Pemeriksaan urine
Reduction : +2, menunjukan glycosuria akibat hyperglycemia yang melebihi
renal threshold.
Warna Nilai Konsentrasi glukosa
Biru/hijau keruh - -
Hijau/hijau kekuningan + <0,5%
Kuning/kuning kehijauan ++ 0,5-1%
Jingga +++ 1,0-2,0%
Merah ++++ >2,0%

Microalbuminuria : +, urine mengandung protein (kerusakan ginjal), hasil positif ini


mengindikasikan serangan awal dari diabetic nephropathy.

36
1. Pemeriksaan klem euglikemik atau HOMA (homeostasis model assessment) untuk
menilai resistensi insulin secara akurat biasanya hanya dilakukan dalam penelitian
dan tidak praktis diterapkan dalam penilaian klinis.
2. Highly sensitive C-reactive protein.
3. Kadar asam urat dan tes faal hati dapat menilai adanya NASH.

Epidemiologi/ Prevalensi
Prevalensi Sindrom Metabolik bervariasi tergantung pada definisi yang
digunakan dan populasi yang diteliti. Berdasarkan data dari the Third National Health
and Nutrition Examination Survey (1988 sampai 1994), prevalensi sindrom metabolik
(dengan menggunakan kriteria NCEP-ATP III) bervariasi dari 16% pada laki-laki kulit
hitam sampai 37% pada wanita Hispanik. Prevalensi Sindrom Metabolik meningkat
dengan bertambahnya usia dan berat badan. Karena populasi penduduk Amerika yang
berusia lanjut makin bertambah dan lebih dari separuh mempunyai berat badan lebih
atau gemuk , diperkirakan Sindrom Metabolik melebihi merokok sebagai faktor risiko
primer terhadap penyakit kardiovaskular. Sindrom metabolik juga merupakan prediktor
kuat untuk terjadinya DM tipe 2 di kemudian hari.

Etiologi :
Etiologi Sindrom Metabolik belum dapat diketahui secara pasti. Suatu hipotesis
menyatakan bahwa penyebab primer dari sindrom metabolik adalah resistensi insulin.
Resistensi insulin mempunyai korelasi dengan timbunan lemak viseral yang dapat
ditentukan dengan pengukuran lingkar pinggang atau waist to hip ratio. Hubungan
antara resistensi insulin dan penyakit kardiovaskular diduga dimediasi oleh terjadinya
stres oksidatif yang menimbulkan disfungsi endotel yang akan menyebabkan kerusakan
vaskular dan pembentukan atheroma. Hipotesis lain menyatakan bahwa terjadi
perubahan hormonal yang mendasari terjadinya obesitas abdominal. Suatu studi
membuktikan bahwa pada individu yang mengalami peningkatan kadar kortisol didalam
serum (yang disebabkan oleh stres kronik) mengalamiobesitas abdominal, resistensi
insulin dan dislipidemia. Para penelitijuga mendapatkan bahwa ketidakseimbangan

37
aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal yang terjadi akibat stres akan menyebabkan
terbentuknya hubungan antara gangguan psikososial dan infark miokard.

Patofisiologi
Patofisiogi dari sindrom resistensi insulin tidak didasarkan dari satu factor utama
dan bersifat multifaktor. Namun, dari beberapa penelitian didapatkan bahwa resistensi
insulin dan obesitas sentral merupakan patofisiologi dasar yangsaling berkaitan erat satu
sama lain tanpa mengesampingkan faktor lainnya dari sindrom metabolik.
1. Obesitas sentral
Obesitas adalah penimbunan lemak tubuh melebihi nilai normal sehingga dapat
menyebabkan peningkatan resiko morbiditas dan mortalitas penyakit. Obesitas dapat
disebabkan oleh banyak faktor tetapi prinsip dasarnya adalah sama yaitu
ketidakseimbangan dalam penyimpanan dan pengeluaran energi. Energi yang
dimasukkan dalam tubuh tidak digunakan secara efektif sehingga tertimbun
dalam jaringan lemak.
Terdapat dua tipe obesitas yaitu obesitas sentral dan perifer. Pada obesitas
sentral terjadi penimbunan lemak dalam tubuh melebihi nilai normal di daerah
abdomen. Sedangkan, obesitas perifer adalah penimbunan lemak didaerah gluteo
femoral. Obesitas sentral merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam
mencetuskan terjadinya resistensi insulin. Hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya
resistensi insulin, antara lain :

38
b. Lipotoksisitas
Pemaparan asam lemak bebas yang lama pada sel beta pancreas
meningkatkan pengeluaran insulin basal tapi menghambat sekresi insulin yang
disebabkan oleh glukosa. Selain itu asam lemak bebas juga dapat menghambat
ekspresi insulin pada keadaan glukosa plasma yang tinggi dan menginduki
apoptosis sel beta pankreas. Asam lemak bebas yang meningkat mengganggu
kemampuan insulin untuk menghambat penghasilan glukosa hepatik dan
menghambat pemasokan glukosa ke dalam otot skelet, juga menghambat
sekresi insulin dari sel beta pankreas. Hal ini menyebabkan resistensi insulin
pada organ hati dan otot.
c. Adipositokin
Sitokin-sitokin yang dihasilkan oleh sel lemak seperti TNF-α, IL -6 dan
resistin dapat mencetuskan terjadinya resistensi insulin karena adanya efek
proinflamasi. Efek-efek ini dapat mengganggu fungsi GLUT-4 sebagai
transporter glukosa sehingga tidak dapat memasukkan glukosa ke dalam sel.
Jaringan lemak yang dulu dianggap sebagai deposit trigliserid ternyata
mempunyai fungsi endokrin sitokin dengan menghasilkan hormon TNF-
α,leptin, interleukin 6, resistin. TNFα, interleukin dan resitin menyebabkan
resistensi insulin sedang adiponektin dan leptin menghambat resistensi insulin.
d. Adinopektin
Adinopektin adalah protein sekretorik mirip kolagen yang dihasilkan
oleh sel lemak. Kadar adinopektin dalam serum berbanding terbalik dengan
berat badan. adinopektin juga memiliki peran dalam meningkatkan sensitifitas
insulin, anti-inflamasi dan anti-aterogenik.

39
Gambar 1. Peran adinopektin terhadap resistensi insulin

e. Leptin
Kadar leptin serum sangat berhubungan dengan ekspresi mRNA leptin
pada sel lemak dan kadar trigliserida dalam sel tersebut. Tempat kerja leptin di
hipotalamus, dimana leptin bekerja sebagai regulator pemasukan dan
pengeluaran energi. Leptin memiliki efek menurunkan sintesis lemak,
menurunkan sintesis trigliserida dan meningkatkan oksidasi asam lemak
sehingga bisa meningkatkan sensitifitas insulin. Selain itu leptin berfungsi
menurunkan nafsu makan dan meningkatkan penggunaan energi.

f. Interleukin-6
IL-6 adalah sitokin yang dihasilkan oleh sel lemak dimana peningkatan
kadarnya dipengaruhi oleh peningkatan jumlah dan ukuran sel lemak. IL-6
disekresi 2-3 kali lebih banyak oleh jaringan lemak viseral daripada jarigan
lemak subkutan pada orang yang obes berat.IL-6 memiliki sifat pro-inflamasi
yang dapat dihubungkan dengan terjadinya resistensi insulin. IL-6 diperkirakan

40
dapat mengirimkan sinyal-sinyal secara sistemik untuk menurunkan sensitifitas
sel terhadap insulin khususnya sel hati.

g. Resistin
Resistin adalah hormon yang diekspresi dan disekresi oleh sel lemak.
Ekspresi gen resistin diinduksi pada saat diferensiasi sel lemak. Resistin
diperkirakan memiliki peran dalam obesitas dan resistensi insulin.

h. TNF-α
Sel lemak merupakan sumber dan target dari sitokin TNF-α. Orang yang
mengalami obesitas mengekspresikan mRNA TNF-α 2-3 kali lebih banyak
daripada orangbkurus. Kadar TNF-α akan menurun dengan penurunan berat
badan. Efek TNF-α pada jaringan lemak yaitu penurunan eksresi transporter
glukosa GLUT-4 dan peningkatan hormon lipase. TNF-α memiliki potensi
untuk mencetuskan resistensi insulin karena glukosa plasma yang masuk ke sel
berkurang.

2. Resistensi insulin
Perkembangan resistensi insulin pada sindrom metabolik disebabkan oleh
banyaknya asam lemak bebas yang beredar di plasma pada orang dengan obesitas
sentral.

41
Gambar 2. Patofisiologi gangguan pada sindrom metabolic

Berdasarkan gambar diatas, adanya resistensi insulin ini akan semakin


meningkatkan pemecahan asam lemak bebas (lipolisis) di jaringan adiposa yang
menyebabkan terjadinya beberapa gangguan pada sistem organ antara lain:
- Jaringan otot  Terjadi penurunan ambilan glukosa (Glucose uptake)
- Hati  Terjadi peningkatan pemecahan glukosa di hati (glukoneogenesis)
- Pankreas  Terjadi peningkatan sekresi insulin oleh sel-β pancreas
- Pembuluh darah  Terjadinya vasokonstriksi dan penurunan relaksasi pembuluh
darah akibat penurunan Nitrit oxide

Resistensi insulin dapat menyebabkan dislipidemia melalui peningkatan asam


lemak bebas yang dapat meningkatkan sintesis dan sekresi apoB100 sebagai kofaktor
dari trigliserid dan VLDL. Pada hipertrigliseridemia terjadi penurunan isi ester
kolesterol dari inti lipoprotein menyebabkan penurunan isi kolesterol HDL dengan
peningkatan beragam trigliserida menjadikan partikel kecil dan padat. Hal ini
menyebabkan peningkatan bersihan HDL di sirkulasi.

42
Gambar 3. Patofisiologi dislipidemia pada sindrom metabolic

Hipertensi pada sindrom metabolik dapat disebabkan oleh mekanisme yang sulit
dipisahkan satu sama lain karena adanya resistensi insulin dan obesitas. Adanya
resistensi insulin akan mengganggu produksi endothelial Nitric Oxide Synthase (eNOS)
sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah.

Gambar 3. Patofisiologi hipertensi pada sindrom metabolik

43
Selain itu, obesitas juga dapat menimbulkan hipertensi melalui beberapa
mekanisme berikut:
- Pada individu obese terjadi peningkatan volume darah, stroke volume dan cardiac
output sehingga terjadi peningkatan peripheral vascular resistance pada individu
obese yang dapat menimbulkan kondisi hipertensi

- Obesitas dikaitkan dengan disfungsi endotel, resistensi insulin, perubahan sistem


saraf simpatik, dan pelepasan mediator proinflamasi (Tumor Necrosis Factor/TNF-
α dan Intrleukin/IL-6) sehingga terjadi peningkatan peripheral vascular resistance .

44
Penatalaksanaan
Saat ini belum ada studi acak terkontrol yang khusus tentang penatalaksanaan
Sindrom Metabolik. Berdasarkan studi klinis, penatalaksanaan agresif terhadap
komponen-komponen Sindrom Metabolik dapat mencegah atau memperlambat onset
diabetes, hipertensi dan penyakit kardiovaskular. Semua pasien yang didiagnosis
dengan Sindrom Metabolik hendaklah dimotivasi untuk merubah kebiasaan makan dan
latihan fisiknya sebagai pendekatan terapi utama. Penurunan berat badan dapat
memperbaiki semua aspek Sindrom Metabolik, mengurangi semua penyebab dan
mortalitas penyakit kardiovaskular. Namun kebanyakan pasien mengalami kesulitan
dalam mencapai penurunan berat badan. Latihan fisik dan perubahan pola makan dapat
menurunkan tekanan darah dan memperbaiki kadar lipid, sehingga dapat memperbaiki
resistensi insulin.

Latihan Fisik :
Otot rangka merupakan jaringan yang paling sensitif terhadap insulin didalam
tubuh, dan merupakan target utama terjadinya resistensi insulin. Latihan fisik terbukti
dapat menurunkan kadar lipid dan resistensi insulin di dalam otot rangka. Pengaruh
latihan fisik terhadap sensitivitas insulin terjadi dalam 24 – 48 jam dan hilang dalam 3
sampai 4 hari. Jadi aktivitas fisik teratur hendaklah merupakan bagian dari usaha untuk
memperbaiki resistensi insulin. Pasien hendaklah diarahkan untuk memperbaiki dan
meningkatkan derajat aktivitas fisiknya. Manfaat paling besar dapat diperoleh bila
pasien menjalani latihan fisik sedang secara teratur dalam jangka panjang. Kombinasi
latihan fisik aerobik dan latihan fisik menggunakan beban merupakan pilihan terbaik.
Dengan menggunakan dumbbell ringan dan elastic exercise band merupakan pilihan
terbaikuntuk latihan dengan menggunakan beban. Jalan kaki dan jogging selama 1jam
perhari juga terbukti dapat menurunkan lemak viseral secara bermakna pada laki-laki
tanpa mengurangi jumlah kalori yang dibutuhkan.

Diet
Sasaran utama dari diet terhadap Sindrom Metabolik adalah menurunkan risiko
penyakit kardiovaskular dan diabetesmelitus. Review dari Cochrane Database

45
mendukung peranan intervensi diet dalam menurunkan risiko penyakit kardiovaskular.
Bukti-bukti dari suatu studi besar menunjukkan bahwa diet rendah sodium dapat
membantu mempertahankan penurunkan tekanan darah. Hasil-hasil dari studiklinis diet
rendah lemak selama lebih dari 2 tahun menunjukkan penurunan bermakna dari
kejadian komplikasi kardiovaskular dan menurunkan angka kematian total.
The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7)
merekomendasikan tekanan darah sistolik antara 120 – 139 mmHg atau diastolik 80 –
89 mmHg sebagai stadium pre hipertensi, sehingga modifikasi gaya hidup sudah mulai
ditekankan pada stadium ini untuk mencegah penyakit kardiovaskular. Berdasarkan
studi dari the Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH), pasien yang
mengkonsumsi diet rendah lemak jenuh dan tinggi karbohidrat terbukti mengalami
penurunan tekanan darah yang berarti walaupun tanpa disertai penurunan berat badan.
Penurunan asupan sodium dapat menurunkan tekanan darah lebih lanjut atau
mencegah kenaikan tekanan darah yang menyertai proses menua. Studi dari the
Coronary Artery Risk Development in Young Adults mendapatkan bahwa konsumsi
produk-produk rendah lemak dan garam disertai dengan penurunan risiko sindrom
metabolik yang bermakna. Diet rendah lemak tinggi karbohidrat dapat meningkatkan
kadar trigliserida dan menurunkan kadar HDL kolesterol, sehingga memperberat
dislipidemia. Untuk menurunkan hipertrigliseridemia atau meningkatkan kadar HDL
kolesterol pada pasien dengan diet rendah lemak, asupan karbohidrat hendaklah
dikurangi dan diganti dengan makanan yang mengandung lemak tak jenuh
(monounsaturated fatty acid = MUFA) atau asupan karbohidrat yang mempunyai indeks
glikemik rendah.
Diet ini merupakan pola diet Mediterrania yang terbukti dapat menurunkan
mortalitas penyakit kardiovaskular. Suatu studi menunjukkan adanya korelasi antara
penyakit kardiovaskular dan asupan biji-bijian dan kentang. Para peneliti
merekomendasikan diet yang mengandung biji-bijian, buah-buahan dan sayuran untuk
menurunkan risiko penyakit kardiovaskular. Efek jangka panjang dari diet rendah
karbohidrat belum diteliti secara adekuat, namun dalam jangka pendek, terbukti dapat
menurunkan kadar trigliserida, meningkatkan kadar HDL-cholesterol dan menurunkan

46
berat badan.
Pilihan untuk menurunkan asupan karbohidrat adalah dengan mengganti
makanan yang mempunyai indeks glikemik tinggi dengan indeks glikemik rendah yang
banyak mengandung serat. Makanan dengan indeks glikemik rendah dapat menurunkan
kadar glukosa post prandial dan insulin.

Edukasi
Dokter-dokter keluarga mempunyai peran besar dalam penatalaksanaan pasien
dengan Sindrom Metabolik, karena mereka dapat mengetahui dengan pasti tentang gaya
hidup pasien serta hambatan-hambatan yang dialami mereka dalam usaha memodifikasi
gaya hidup tersebut. Dokter keluarga juga diharapkan dapat mengetahui pengetahuan
pasien tentang hubungan gaya hidup dengan kesehatan, yang kemudian memberikan
pesan-pesan tentang peranan diet dan latihan fisik yang teratur dalam menurunkan
risiko penyulit dari Sindrom Metabolik. Dokter keluarga hendaklah mencoba membantu
pasien mengidentifikasi sasaran jangka pendek dan jangka panjang dari diet dan latihan
fisik yang diterapkan. Pertanyaan-pertanyaan seperti : “ Bagaimana pendapat anda
apakah diet dan latihan fisik yang diterapkan dapat mempengaruhi kesehatan anda?”
atau “ Permasalahan apa yang anda hadapi dalam mencoba menerapkan perubahan diet
atau aktifitas fisik?” , dapat membantu dokter keluarga dalam menerapkan langkah-
langkah berikutnya terhadap masing-masing pasien. Jawaban pasien hendaklah dicatat
dalam rekam medik dan di review pada kunjungan berikutnya. Hal ini dapat membantu
dokter mengidentifikasi adanya hambatan-hambatan dalam menerapkan perubahan gaya
hidup.

Farmakoterapi :
Terhadap pasien-pasien yang mempunyai faktor risiko dan tidak dapat
ditatalaksana hanya dengan perubahan gaya hidup, intervensi farmakologik diperlukan
untuk mengontrol tekanan darah dan dislipidemia. Penggunaan aspirin dan statin dapat
menurunkan kadar C-reactive protein dan memperbaiki profil lipid sehingga diharapkan
dapat menurunkan risiko penyakit kardiovaskular. Intervensi farmakologik yang agresif
terhadap faktor-faktor risiko telah terbukti dapat mencegah penyulit kardiovaskular

47
pada penderita DM tipe2.

Pencegahan/ Preventif
The US Preventive Services Task Force merekomendasi konsultasi diet intensif
terhadap pasien2 dewasa yang mempunyai faktor-faktor risiko untuk terjadinya penyulit
kardiovaskular. Para dokter keluarga lebih efektif dalam membantu pasien menerapkan
kebiasaan hidup sehat. The Diabetes Prevention Program telah membuktikan bahwa
intervensi gaya hidup yang ketat pada pasien prediabetes dapat menghambat
progresivitas terjadinya diabetes lebih dari 50% ( dari 11% menjadi 4,8%).

Kompetensi Dokter
Kompetensi Dokter dalam menangani kasus sindrom metabolik adalah 3B. Yang
mana lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi
pendahulan pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah
keparahan dan/atau kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan
yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu
menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.

DIABETES MELITUS

48
Definisi

Diabetes mellitus adalah sindrom yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara


kebutuhn dan suplai insulin. Sindrom ini ditandai oleh adanya hiperglikemia dan
berkaitan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein.

Klasifikasi Diabetes Mellitus

1. Tipe I “Insulin Dependent Diabetes Mellitus” (IDDM)


Pengobatannya tergantung pada insulin. Penderita tipe ini biasanya tidak gemuk
dan mudah menjadi koma yang umumnya ditemukan pada dewasa muda dan anak-
anak.
2. Tipe II “Noni nsulin Dependent Diabetes Mellitus” (NIDDM)
Pengobatannya tidak tergantung insulin. Umumnya penderita pada tipe ini gemuk
dan mudah menjadi koma.
3. Diabetes Mellitus Kehamilan
4. Diabetes pada waktu kehamilan
5. Tipe lain, termasuk diabetes dengan sindrom tertentu (Diabetes sekunder) misalnya
penyakit pancreas, penyakit hormonal, karena obat atau zat kimia tertentu serta
sindrom genetik yang tidak menentu.

Gejala khas Diabetes Mellitus dikenal dengan 3P yaitu:


1. Poliuria (banyak kencing) merupakan gejala umum pada penderita Diabetes
Mellitus, banyaknya kencing disebabkan kadar gula dalam darah berlebihan,
sehingga merangsang tubuh untuk berusaha mengeluarkannya melalui ginjal
bersama air dan kencing.
2. Polidipsia (banyak minum) merupakan akibat dari banyaknya kencing tersebut,
untuk menghindari tubuh kekurangan cairan, maka secara otomatis akan timbul
rasa haus.
3. Polipagia (banyak makan) merupakan gejala yang tidak menonjol kejadian ini
disebabkan karena habisnya cadangan glukosa di dalam tubuh meskipun kadar
glukosa darah tinggi. Gejala lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah

49
kesemutan, gatal-gatal, mata kabur, luka yang tidak sembuh-sembuh, badan lemas,
lelah otot, dan gangguan ginekologis.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Diabetes Mellitus

1. Gaya Hidup
Gaya hidup menjadi salah satu penyebab utama terjdinya diabetes mellitus. Diet
dan olahraga yang tidak baik berperan besar terhadap timbulnya diabetes mellitus
yang dihubungkan dengan minimnya aktivitas sehingga meningkatkan jumlah
kalori dalam tubuh.

2. Usia
Peningkatan usia juga merupakan salah satu faktor risiko yang penting.
Diabandingkan wanita pada usia 20-an, wanita yang berusia diatas 40 tahun
berisiko enam kali lipat mengalami kehamilan dengan diabetes. Kadar gula darah
yang normal cenderung meningkat secara ringan tetapi progresif setelah usia 50
tahun, terutama pada orang-orang yang tidak aktif.

3. Ras dan Suku Bangsa


Suku bangsa Amerika Afrika, Amerika Meksiko, Indian Amerika, Hawai, dan
sebagian Amerika Asia memiliki resiko diabetes dan penyakit jantung yang lebih
tinggi. Hal itu sebagian disebabkan oleh tingginya angka tekanan darah tinggi,
obesitas, dan diabetes pada populasi tersebut.

4. Riwayat Keluarga
Meskipun penyakit ini terjadi dalam keluarga, cara pewarisan tidak diketahui
kecuali untuk jenis yang dikenal sebagai diabetes pada usia muda dengan dewasa.
Jika terdapat salah seorang anggota keluarga yang menyandang diabetes maka
kesempatan untuk menyandang diabetes maupun meningkat. Ada empat bukti yang
menunjukkan transmisi penyakit sebagai ciri dominal autosomal. Pertama transmisi
langsung tiga generasi terlihat pada lebih dari 20 keluarga. Kedua didapatkan

50
perbandingan anak diabetes dan tidak diabetes 1:1 jika satu orang tua menderita
diabetes. Pengaruh genetik sangat kuat, karena angka konkordansi diabetes tipe 2
pada kembar monozigot mencapai 100 persen. Resiko keturunan dan saudara
kandung pasien penderita NIIDM lebih tinggi dibanding diabetes tipe 1. Hampir
empat persepuluh saudara kandung dan sepertiga keturunan akhirnya mengalami
toleransi glukosa abnormal atau diabetes yang jelas.

5. Kegemukan (Obesitas)
Overweight dan obesitas erat hubungannya dengan peningkatan resiko sejumlah
komplikasi yang dapat terjadi sendiri-sendiri atau secara bersamaan. Seperti yang
telah disebutkan di awal, komorbiditas itu dapat berupa hipertensi, dislipidemia,
penyakit kardiovaskular, stroke, diabetes tipe II, penyakit gallblader, disfungsi
pernafasan, gout, osteoarthritis, dan jenis kanker tertentu. Penyakit kronik yang
paling sering menyertai obesitas adalah diabetes tipe II, hipertensi, dan
hiperkolesterolemia. NHANES III menyebutkan bahwa kurang lebih 12% orang
dengan BMI 27 menderita dibetes tipe 2. Obesitas merupakan faktor resiko utama
pada penderita diabetes tipe 2.

Komplikasi

Diabetes merupakan penyakit yang memiliki komplikasi yang paling banyak. Hal ini
berkaitan dengan kadar gula darah yang tinggi terus menerus, sehingga berakibat
rusaknya pembuluh darah, saraf dan struktur internal lainnya. Zat kompleks yang terdiri
dari gula di dalam dinding pembuluh darah menyebabkan pembuluh darah menebal dan
mengalami kebocoran. Akibat penebalan ini maka aliran darah akan berkurang,
terutama yang menuju aliran saraf dan kulit. Kadar gula darah yang tidak terkontrol juga
cenderung menyebabkan kadar zat berlemak dalam darah meningkat, sehingga
mempercepat terjadinya aterosklerosis (penimbunan plak lemak di dalam pembuluh
darah).

Aterosklerosis ini 2-6 kali lebih sering terjadi pada penderita diabetes. Sirkulasi darah

51
yang buruk melalui pembuluh darah besar bisa melukai otak, jantung, dan pembuluh
darah kaki (makroangiopati), sedangkan pembuluh darah kecil bisa melukai mata, saraf,
dan kulit serta memperlambat penyembuhan luka. Penderita diabetes bisa mengalami
berbagai komplikasi jangka panjang jika diabetesnya tidak dikelola dengan baik.
Komplikasi yang lebih sering terjadi dan mematikan adalah serangan jantung dan
stroke.

Kerusakan pada pembuluh darah mata bisa menyebabkan gangguan penglihatan, akibat
kerusakan pada retina mata (retinopati diabetikum). Kelainan fungsi ginjal bisa
menyebabkan gagal ginjal sehingga penderita harus menjalani cuci darah. Gangguan
saraf dapat bermanifestasi dalam beberapa bentuk, misalnya jika satu saraf mengalami
kelainan fungsi, maka sebuah lengan atau tungkai bisa secara tiba-tiba menjadi lemah.
Jika saraf yang menuju ketangan, dan tungkai mengalami kerusakan, maka pada lengan
dan tungkai bisa merasakan kesemutan atau nyeri seperti terbakar atau kelemahan.
Kerusakan pada saraf menyebabkan kulit sering mengalami cedera karena penderita
tidak dapat merasakan perubahan tekanan maupun suhu. Berkurangnya aliran darah
kekulit juga bisa menyebabkan ulkus atau borok diamana proses penyembuhannya akan
berjalan secara lambat hingga menyebabkan amputasi

Patogenesis

Diabetes Mellitus dapat mengakibatkan hiperglikemia, yaitu suatu keadaan dimana


kadar glukosa dalam darah tinggi yang merupakan gambaran biokimiawi sentral
penyakit Diabetes Mellitus. Hiperglikemia terjadi akibat gangguan pengangkutan
glukosa kedalam dan akibat pengangkutan glukosa oleh hepar kedalam sirkulasi darah.
Bila kadar glukosa diatas 160 mg/dl, tubulus ginjal tidak mampu menyerap kembali
semua glukosa yang difiltrasi oleh glomerulus. Ambang ginjal terlewatkan dan timbul
glukosuria.

Ekskresi glukosa lewat ginjal memerlukan ekskresi air secara bersamaan menimbulkan
diuresis osmotic. Kehilangan peningkatan menyebabkan peningkatan osmolaritas serum
yang merangsang pusat haus di hipotalamus. Tiga gejala “poli” yang klasik pada

52
Diabetes Mellitus menjadi jelas dengan memperlihatkan sejumlah besar air dan glukosa
dari dalam tubuh yang membawa kompensasi bertambahnya bertambahnya rasa lapar
serta haus.

Apabila jumlah insulin berkurang, jumlah glukosa yang memasuki sel akan berkurang
juga. disamping itu produksi glukosa oleh hati menjadi tidak terkendali. Kedua faktor
ini akan menimbulkan hiperglikemi. Dalam upaya untuk menghilangkan glukosa yang
berlebihan dari dalam tubuh, ginjal akan mengekskresikan glukosa bersama-sama air
dan elektrolit (seperti natrium dan kalium). Diurisis osmotik yang ditandai oleh urinasi
yang berlebihan (poliuri) akan menyebabkan dehidrasi dan kehilangna elektrolit.
Penderita ketoasidosis diabetik yang berat dapat kehilangan kira-kira 6,5 L air dan
sampai 400 hingga 500 mEq natrium, kalium serta klorida selam periode waktu 24 jam.

Akibat defisiensi insulin yang lain adlah pemecahan lemak (lipolisis) menjadi asam-
asam lemak bebas dan gliserol. Asam lemak bebas akan diubah menjadi badan keton
oleh hati. Pada ketoasidosis diabetik terjadi produksi badan keton yang berlebihan
sebagai akibat dari kekurangan insulin yang secara normal akan mencegah timbulnya
keadaan tersebut. Badan keton bersifat asam, dan bila bertumpuk dalam sirkulais darah,
badan keton akan menimbulkan asidosis metabolik.

53
Penatalaksanaan

Terapi nonfarmakologis
1. Penilaian kondisi pasien
a. Status gizi: penilaian status gizi dengan menghitung Indeks Masa Tubuh
(IMT) = BB(kilogram)/TB2(meter) untuk melihat apakah penderita DM
mengalami kegemukan/ obesitas, normal atau kurang gizi. IMT normal pada
orang dewasa antara 18,5-25.
b. Toleransi glukosa: dengan memberikan kadar gula darah (glukosa) apakah
dalam batas-batas toleransi normal (terkontrol). Biasanya diperiksa gula darah
puasa dan 2 jam setelah makan, gula darah sewaktu dan HbA1c. Selain itu juga
diperiksa kadar gula dalam urin.
c. Komplikasi lain: pemeriksaan klinis dan laboratorium lebih lanjut perlu
dilakukan bila untuk mengetahui apakah sudah ada komplikasi baik akut atau
kronik seperti kadar gula darah selalu rendah atau bahkan selalu tinggi,
komplikasi ke penyakit jantung, ginjal, hati, pembuluh darah, saraf atau mata.

2. Perencanaan Diet dan Mendidik Pasien


Mendidik pasien DM bertujuan agar pasien tersebut dapat mengontrol gula darah,
mengurangi komplikasi dan meningkatkan kemampuan untuk merawat diri sendiri.
Perencanaan diet bertujuan agar cukup asupan kalori, protein, lemak, asam mineral
dan serat serta air dengan frekuensi makan sepanjang hari disesuaikan dengan
pemberian obat anti diabetes atau injeksi insulin. Selain itu kebutuhan kalori dan
serat gizi lain disesuaikan dengan status gizi dan kondisi kesehatan penderita DM
(misalnya bila disertai hipertensi atau tekanan darah tinggi, harus mengikuti diet
rendah garam). Perencanaan diet dapat menggunakan daftar penukar bahan
makanan, sehingga penderita DM dapat menggunakan daftar itu sendiri.

3. Olah Raga
Penderita DM dianjurkan untuk melakukan olahraga secara teratur 3-4 kali/minggu,
setidaknya 20-30 menit (misalnya jalan kaki cepat, senam). Untuk memperbaiki
aktivitas insulin. Selain itu olahraga membantu penurunan BB pada penderita

54
gemuk atau obesitas. Bila melakukan olahraga berat sebaiknya sebelum, selama dan
sesudah olahraga memonitor kadar gula darah, khususnya untuk DM tipe I, guna
menentukan kebutuhan insulin dan asupan makanan harus disesuaikan. Bila
melakukan olahraga ringan, tidak perlu mengatur kebutuhan insulin, cukup snack
kecil sebelum olahraga pada gula darah < 80mg/dl. Untuk olahraga yang lama
snack diperlukan setiap ½ - 1 jam. Pada olahraga berat dan lama, dosis insulin perlu
diturunkan untuk mencegah hipoglikemia (kadar gula darah turun). Pada penderita
DM dianjurkan memperbanyak cairan sebelum, selama dn sesudah olahraga untuk
mencegah dehidrasi.

Terapi farmakologis (OAD)


Metformin
Efek utama metformin adalah menurunkan “hepatic glucose output” dan menurunkan
kadar glukosa puasa. Monoterapi dengan metformin dapat menurunkan A1C sebesar ~
1,5%. Pada umumnya metformin dapat ditolerir oleh pasien. Efek yang tidak diinginkan
yang paling sering dikeluhkan adalah keluhan gastrointestinal. Monoterapi metformin
jarang disertai dengan hipoglikemia; dan metformin dapat digunakan secara aman tanpa
menyebabkan hipoglikemia pada prediabetes. Efek nonglikemik yang penting dari
metformin adalah tidak menyebabkan penambahan berat badan atau menyebabkan
panurunan berat badan sedikit. Disfungsi ginjal merupakan kontraindikasi untuk
pemakaian metformin karena akan meningkatkan risiko asidosis laktik; komplikasi ini
jarang terjadi tetapi fatal.

Sulfonilurea
Sulfonilurea menurunkan kadar glukosa darah dengan cara meningkatkan sekresi
insulin.Dari segi efikasinya, sulfonylurea tidak berbeda dengan metformin, yaitu
menurunkan A1C ~ 1,5%. Efek yang tidak diinginkan adalah hipoglikemia yang bisa
berlangsung lama dan mengancam hidup. Episode hipoglikemia yang berat lebih sering
terjadi pada orang tua. Risiko hipoglikemia lebih besar dengan chlorpropamide dan
glibenklamid dibandingkan dengan sulfonylurea generasi kedua yang lain. Sulfonilurea
sering menyebabkan penambahan berat badan ~ 2 kg. Kelebihan sulfonylurea dalam

55
memperbaiki kadar glukosa darah sudah maksimal pada setengah dosis maksimal, dan
dosis yang lebih tinggi sebaiknya dihindari.

Glinide
Seperti halnya sulfonylurea, glinide menstimulasi sekresi insulin akan tetapi golongan
ini memiliki waktu paruh dalam sirkulasi yang lebih pendek dari pada sulfonylurea dan
harus diminum dalam frekuensi yang lebih sering. Golongan glinide dapat merunkan
A1C sebesar ~ 1,5 % Risiko peningkatan berat badan pada glinide menyerupai
sulfonylurea, akan tetapi risiko hipoglikemia nya lebih kecil.

Penghambat α-glukosidase
Penghambat α -glukosidase bekerja menghambat pemecahan polisakharida di usus
halus sehingga monosakharida yang dapat diabsorpsi berkurang; dengan demikian
peningkatan kadar glukosa postprandial dihambat. Monoterapi dengan penghambat α-
glukosidase tidak mengakibatkan hipoglikemia. Golongan ini tidak seefektif metformin
dan sulfonylurea dalam menurunkan kadar glukosa darah; A1C dapat turun sebesar 0,5
– 0,8 %. Meningkatnya karbohidrat di colon mengakibatkan meningkatnya produksi gas
dan keluhan gastrointestinal. Pada penelitian klinik, 25-45% partisipan menghentikan
pemakaian obat ini karena efek samping tersebut.

Thiazolidinedione (TZD)
TZD bekerja meningkatkan sensitivitas otot, lemak dan hepar terhadap insulin baik
endogen maupun exogen. Data mengenai efek TZD dalam menurunkan kadar glukosa
darah pada pemakaian monoterapi adalah penurunan A1C sebesar 0,5-1,4 %. Efek
samping yang paling sering dikeluhkan adalah penambahan berat badan dan retensi
cairan sehingga terjadi edema perifer dan peningkatan kejadian gagal jantung kongestif.
Insulin
Insulin merupakan obat tertua iuntuk diabetes, paling efektif dalam menurunkan kadar
glukosa darah. Bila digunakan dalam dosis adekuat, insulin dapat menurunkan setiap
kadar A1C sampai mendekati target terapeutik. Tidak seperti obat antihiperglikemik
lain, insulin tidak memiliki dosis maximal. Terapi insulin berkaitan dengan peningkatan

56
berat badan dan hipoglikemia.
Dipeptidyl peptidase four inhibitor (DPP4 Inhibitor),

DPP-4 merupakan protein membran yang diexpresikan pada berbagai jaringan termasuk
sel imun.DPP-4 Inhibitor adalah molekul kecil yang meningkatkan efek GLP-1 dan GIP
yaitu meningkatkan “glucose- mediated insulin secretion” dan mensupres sekresi
glukagon. Penelitian klinik menunjukkan bahwa DPP-4 Inhibitor menurunkan A1C
sebesar 0,6-0,9 %. Golongan obat ini tidak meninmbulkan hipoglikemia bila dipakai
sebagai monoterapi.
.

57
DIABETES MELITUS TIPE II

Patogenesis diabetes tipe 2 jauh lebih sedikit diketahui meskipun tipe ini
merupakan yang tersering ditemukan. Tidak ada bukti bahwa mekanisme autoimun
berperan. Gaya hidup jelas lebih berperan, yang akan jelas jika kegemukan
dipertimbangkan. Pada saat ini terjadi peningkatan epidemic insidensi diabetes tipe ini
pada anak-anak kegemukan.

Pada tipe ini, faktor genetic berperan lebih penting dibandingkan dengan
diabetes tipe 1A. Diantara kembar identik, angka concordance adalah 60% hingga 80%.
Pada anggota keluarga dekat dari pasien diabetes tipe 2 (dan pada kembar non identik),
resiko menderita penyakit ini 5-10x lebih besar dari subjek (dengan usia dan berat yang
sama) yang tidak memiliki riwayat penyakit dalam keluarganya.

Tidak seperti diabetes tipe 1A, penyakit ini tidak berkaitan dengan gen HLA
(Human Leukocyte Antigen). Penelitian epidemiologic menunjukkan bahwa diabetes

58
tipe 2 tampaknya terjadi akibat sejumlah defek genetik, masing-masing memberi
kontribusi pada resiko; yang juga dipengaruhi lingkungan. Pemindahan genom terhadap
pasien dan anggota keluarga mereka memastikan bahwa tidak ada satu pun gen yang
berperan utama dalam kerentanan terhadap diabetes tipe 2. Dua defek metabolic yang
menandai diabetes tipe 2 adalah gangguan sekresi insulin pada sel beta dan
ketidakmampuan jaringan perifer berespons terhadap insulin (resistensi insulin).

Predisposisi Genetik Lingkungan


Defek genetik multipel Kegemukan

Resistensi insulin
Defek sel beta primer
jaringan perifer
Gangguan sekresi insulin
Kurangnya
pemanfaatan glukosa

Hiperglikemia

Kelelahan sel beta

Diabetes tipe 2

Gangguan sekresi insulin pada sel Beta


Defek pada sekresi insulin bersifat samar dan secara kuantitatif kurang berat
dibandingkan dengan yang terjadi pada diabetes tipe 1. Pada awalnya, kadar insulin
meningkat untuk mengompensasi resistensi insulin. Pada kasus yang jarang, mutasi di
reseptor insulin menimbulkan resistensi insulin yang parah. Pada banyak pasien
mempertahankan kadar glukosa darah dalam batas normal, karena sel beta normal dapat
meningkatkan produksi insulin.

59
Pada awalnya, sekresi insulin tampak normal dan kadar insulin plasma tidak
berkurang. Tetapi, pola sekresi insulin yang berdenyut dan osilatif lenyap, dan fase
pertama sekresi insulin (yang cepat) saat dipicu glukosa menurun. Namun, pada
perjalanan selanjutnya, terjadi defisiensi absolut insulin yang ringan sampai sedang.
Mula-mula resistensi insulin menyebabkan peningkatan kompensatorik massa
sel beta dan produksi insulinnya. Pada mereka yang memiliki kerentanan genetic
terhadap DM 2, kompensasi ini gagal. Selanjutnya, terjadi kehilangan 20-50% sel beta,
tetapi belum menyebabkan kegagalan dalam sekresi insulin yang dipicu glukosa. Tetapi,
terjadi gangguan dalam pengenalan glukosa oleh sel beta. Dasar molecular gangguan
sekresi insulin yang dirangsang glukosa ini masih belum sepenuhnya dipahami.
Penelitian terakhir menunjukkan adanya suatu protein mitokondria yang memisahkan
respirasi biokimia dari fosfolirasi oksidatif (sehingga menimbulkan panas, bukan ATP).
Protein ini adalah uncoupling protein 2 (UCP2), yang diekspresikan sel beta. Kadar
UCP2 intrasel yang tinggi menumpulkan respon insulin, sedangkan kadar yang rendah
memperkuatnya.

Oleh karena itu, dihipotesiskan bahwa peningkatan kadar UCP2 di sel beta
pankreas penderita DM 2 mungkin dapat menjelaskan hilangnya sinyal glukosa yang
khas pada penyakit ini. Manipulasi terapeutik untuk menurunkan kadar UCP2 dipercaya
dapat mengobati DM 2.

Mekanisme lain kegagalan sel beta pada DM 2 dilaporkan berkaitan dengan


pengendapan amiloid di islet. Amilin, komponen utama amiloid, secara normal
dihasilkan sel beta pankreas dan disekresikan bersama dengan insulin sebagai respons
terhadap pemberian glukosa. Hiperinsulinemia yang disebabkan oleh resistensi insulin
pada fase awal DM 2, meningkatkan produksi amilin, yang kemudian mengendap
sebagai amiloid di islet. Amilin yang mengelilingi sel beta mungkin menyebabkan sel
beta agak refrakter dalam menerima sinyal glukosa. Selain itu, amiloid bersifat toksik
bagi sel beta sehingga mungkin berperan menyebabkan kerusakan sel beta yang
ditemukan pada kasus DM 2 tahap lanjut.

60
Resistensi insulin dan obesitas
Resistensi insulin adalah suatu fenomena kompleks yang tidak terbatas pada
sindrom diabetes. Pada kegemukan dan kehamilan, sensitivitas insulin jaringan sasaran
menurun (walaupun tidak diabetes), dan kadar insulin serum mungkin meningkat untuk
mengompensasi resistensi insulin tersebut. Oleh karena itu, baik kegemukan ataupun
obesitas, dapat menyebabkan terungkapnya DM 2 subklinis dengan meningkatkan
resistensi insulin ke suatu tahap yang tidak lagi dapat dikompensasi dengan
meningkatkan produksi insulin.

61
Dasar selular dan molecular resistensi insulin masih belum sepenuhnya
dimengerti. Terdapat tiga sasaran utama kerja insulin: jaringan lemak dan otot (insulin
meningkatkan penyerapan glukosa), dan hati (insulin menekan produksi glukosa).
Insulin bekerja pada sasaran pertama-tama dengan berikatan dengan reseptornya.
Pengaktifan reseptor insulin memicu serangkaian respons intrasel yang memengaruhi
jalur metabolisme sehingga terjadi translokasi unit transport glukosa ke membrane sel
yang memudahkan penyerapan glukosa. Resistensi insulin dapat terjadi di tingkat
reseptor insulin atau di salah satu jalur sinyal (pasca reseptor) yang diaktifkan oleh
pengikatan insulin ke reseptornya. Pada DM 2, jarang terjadi defek kualitatif atau
kuantitatif dalam reseptor insulin. Oleh karena itu, resistensi insulin diperkirakan
terutama berperan dalam pembentukan sinyal pascareseptor.
Sel-sel adiposit merupakan suatu sistem endokrin, yang memberikan efek adiposit jarak
jauh melalui zat-zat perantara yang dikeluarkan sel lemak. Molekul ini meliputi faktor
nekrosis tumor (TNF), asam lemak, leptin, dan resistin.
1. TNF, yang lebih dikenal karena efeknya pada peradangan dan imunitas, disintesis di
adiposity dan mengalami ekspresi berlebihan dalam sel lemak orang kegemukan.
TNF menyebabkan resistensi insulin dengan memengaruhi jalur-jalur sinyal
pascareseptor. Pada kegemukan, kadar asam lemak bebas lebih tinggi daripada
normal, dan asam lemak ini meningkatkan resistensi insulin melalui mekanisme
yang belum sepenuhnya diketahui.
2. Leptin menyebabkan obesitas hebat dan resistensi insulin bila tidak memiliki
gennya. Pengembalian leptin mengurangi obesitas, dan secara independen resistensi
insulin. Karena itu, tidak seperti TNF, leptin memperbaiki resistensi insulin.
3. Resistin, yang diberikan nama demikian karena zat ini meningkatkan resistensi
insulin. Resistin dihasilkan sel lemak, dan kadarnya meningkat pada berbagai model
obesitas. Penurunan kadar resistin meningkatkan kerja insulin, dan sebaliknya
pemberian resistin rekombinan meningkatkan resistensi insulin pada hewan normal.
Efek terapeutik ODA tertentu yang digunakan dalam penanganan DM 2 pada
manusia juga mungkin berkaitan dengan kemampuan obat tersebut memodulasi
produksi resistin.

62
Dampak
Tingginya kadar glukosa dalam cairan ekstraseluler mempengaruhi tekanan
osmotic, sehingga air bergerak keluar sel dan menyebabkan dehidrasi. Tingginya kadar
glukosa di ginjal, berpegaruh juga pada rearbsorbsi air, karena glukosa merupakan
diuretic osmotic yang menghambat rearbsorbsi air, dan menyebabkan poliuria. Karena
ditemukan glukosa dalam urin maka terjadi, glikouria. Dehidrasi juga memberikan
stimulus ke hipotalamus, untuk meningkatkan volume air, melalui polidipsia (banyak
minum akibat rasa haus yang berlebih). Dehidrasi juga mengakibatkan berkurangnya
tekanan turgor kulit, dan juga ditemukan bibir dan mulut yang kering.

Selain itu, pada penderita DM terutama DM 2, glukosa tidak dapat digunakan


oleh jaringan akibat terganggunya reseptor insulin. Hal ini menyebabkan kurangnya
glukosa pada jaringan, dan jaringan memberikan sinyal ke otak untuk menambah kadar
glukosa. Cara pertama adalah dengan meningkatkan asupan makanan (polipagia) yang
diharapkan dapat menambah glukosa. Selain itu, juga terjadi glukoneogenesis, baik dari
lipid maupun protein.
Berkurangnya glukosa pada sel mengakibatkan metabolisme sel menjadi menurun,
sehingga menyebabkan keadaan fatigue.

Salah satu cara glukoneogenesis yang sering dijumpai adalah lipolisis,


pemecahan lemak untuk membentuk glukosa. Peningkatan lipolisis memberikan efek
samping, yakni meningkatnya produksi benda-benda keton (ketogenesis) di hati. Benda-
benda keton ini bersifat asam, sehingga penumpukan benda-benda keton di tubuh
mengakibatkan ketoasidosis. Untuk kompensasinya, tubuh meningkatkan produksi urin
untuk mengeluarkan keton, sehingga dijumpai ketonuria.

Penggunaan lipid untuk metabolisme meningkatkan kadar kolesterol plasma,


yang memberikan berbagai macam dampak: atherosclerosis, iskemik kardiak, gangguan
serebrovaskular, gangguan vaskular perifer, gangrene, dan infark miokardium.

Dampak lain dari tingginya kadar glukosa dalam darah adalah: melambatnya

63
aliran darah (yang dapat menyebabkan kematian sel), nefropati (gangguan pada
pembuluh darah ginjal), retinopati (gangguan pada pembuluh darah retina), gingivitis
dan periodontitis (akibat pertumbuhan bakteri yang cepat, dan neuropati (gangguan
pada sistem saraf).

64
PEMERIKSAAN FISIK

A. Tekanan Darah
Interpretasi : Tinggi, hipertensi stage II menurut JNC

Patofisiologi Hipertensi Akibat Sindrom Metabolik

Sebagian besar peneliti menitikberatkan patofisiologi hipertensi akibat sindrom


metabolik pada tiga hal utama yaitu gangguan sistem autonom, resistensi insulin, serta
abnormalitas struktur dan fungsi pembuluh darah. Ketiga hal tersebut dapat saling
mempengaruhi satu dengan lainnya.

Akhir-akhir ini diketahui bahwa peningkatan kejadian obesitas dan sindrom metabolik
terjadi akibat asupan total fruktosa meningkat. Fruktosa menyebabkan peningkatan kadar asam
urat dengan cepat. Fruktosa adalah gula biasa yang terdapat pada madu dan buah-buahan.

65
Fruktosa sering ditambahkan pada minuman ringan, kue, permen, dan yogurt. Pemberian
fruktosa oral atau intravena dalam waktu 30-60 menit dapat meningkatkan asam urat serum
pada manusia dan hal ini dapat berkesinambungan. Glukosa dan gula sederhana lainnya tidak
mempunyai efek seperti ini. Di hati, fruktosa akan diubah menjadi fruktosa-11 fosfat dan
adenosin triphosphate (ATP) oleh enzim fruktokinase, dan selanjutnya diubah menjadi adenosin
diphosphate (ADP). Turunan ADP dimetabolisme menjadi bermacam-macam subtrat purin.
Pelepasan fosfat yang cepat bersamaan dengan reaksi adenosin monophosphate (AMP)
deaminase. Kombinasi keduanya akan meningkatkan substrat melalui fruktosa oral, dan enzim
(deaminase AMP) merupakan regulasi produksi asam urat (Gambar 1). Asam urat yang tinggi
dapat mengakibatkan disfungsi endotel dan menurunkan bioavailabilitas nitric oxide (NO)
endotel. Gangguan nitric oxide memediasi terjadinya resistensi insulin dan hipertensi.

Pada obesitas terjadi resistensi insulin dan gangguan fungsi endotel pembuluh darah
yang menyebabkan vasokonstriksi dan reabsorpsi natrium di ginjal yang mengakibatkan
hipertensi. insulin dapat meningkatkan produksi norepinephrine plasma yang bermakna yang
dapat meningkatkan tekanan darah. Resistensi insulin dapat meningkatkan tekanan darah
melalui penurunan nitric oxide yang menimbulkan vasokonstriksi, peningkatan sensitivitas
garam, atau peningkatan volume plasma

66
Konsumsi makanan tinggi kalori akan mengakibatkan sindrom metabolik dengan
meningkatnya massa lemak di daerah abdomen pada individu yang rentan. Peningkatan masa
sel lemak menyebabkan peningkatan produksi angiotensinogen di jaringan lemak, yang
berperan penting dalam peningkatan tekanan darah. Sel lemak juga membuat enzim konvertase
angiotensin dan katepsin, yang memiliki efek lokal pada katabolisme dan konversi angiotensin.
Asam lemak dapat meningkatkan stres oksidatif pada sel endotel dan proses ini diamplifikasi
oleh angiotensin. Telah dibuktikan bahwa renin angiotensin system (RAS) pada jaringan lemak
terlibat dalam patofisiologi obesitas dan penyakit yang berhubungan dengan obesitas, termasuk
hipertensi dan resitensi insulin. Kadar RAS lokal di dalam jaringan lemak berperan dalam
meningkatkan aktivitas RAS sistemik, sehingga menyebabkan kenaikan tekanan darah. Jumlah
jaringan lemak pada individu dengan obesitas menyebabkan peningkatan RAS dalam jaringan
lemak. Selain itu, angiotensin II (komponen utama RAS) dan angiotensinogen (prekursor
angiotensin II) berperan dalam pertumbuhan, diferensiasi dan metabolisme jaringan lemak, yang
dalam jangka panjang dapat mendorong penyimpanan trigliserida dalam hati, otot rangka, serta
pankreas, sehingga menyebabkan resistensi insulin. Pada obesitas, selain pertambahan masa
lemak, masa non-lemak juga meningkat, dan terjadi hipertrofi organ seperti jantung dan ginjal.
Pada ginjal terjadi glomerulomegali, vasodilatasi arteriol aferen, dan vasokonstriksi arteriol
eferen yang menyebabkan hipertensi intraglomerular. Hipertensi intraglomerular merupakan
awal terjadinya mikroalbuminuria dan proteinuria yang selanjutnya melalui berbagai
mekanisme selular akan menyebabkan glomerulosklerosis dan fibrosis tubulointertisial pada
obesitas.

B. Acanthosis Nigricans
Acanthosis nigricans adalah suatu kelainan kulit berupa penebalan dan kehitaman pada
kulit yang ditandai dengan papilomatosis dan plak hiperkeratosis, terutama pada daerah leher
dan lipatan kulit.

67
Patofisiologi Acanthosis Nigricans
Acanthosis nigricans telah dilaporkan pada beberapa penelitian disebabkan oleh
meningkatnya melanosit dan melanin, sedangkan yang lainnya menyatakan bahwa AN lebih

68
berhubungan dengan penebalan lapisan kulit luar yang mengandung keratin. Acanthosis
nigricans pada sindrom resistensi insulin disebabkan karena kadar insulin yang tinggi mampu
mengaktifkan fibroblas dermal dan keratinosit melalui reseptor insulin-like growth factor yang
ada pada sel-sel tersebut. Sebagai hasilnya terjadi peningkatan deposisi glikosaminoglikans oleh
fibroblas di dermal. Hal ini menyebabkan papilomatosis dan hiperkeratosis. Insulin dengan
konsentrasi rendah mengatur metabolisme karbohidrat, lipid, dan protein, serta membantu
pertumbuhan dengan berikatan pada reseptor insulin. Dalam konsentrasi yang tinggi, insulin
memiliki efek lebih besar dalam pertumbuhan melalui ikatannya dengan insulin-like growth
factor 1 receptors (IGF-1Rs), yaitu reseptor dengan ukuran dan struktur menyerupai reseptor
insulin, tetapi memiliki afinitas 100 sampai 1000 kali lebih besar. Hasil penelitian menyatakan
bahwa aktivasi IGF-1Rs yang bergantung pada insulin dalam menyebabkan proliferasi sel dan
memfasilitasi berkembangnya AN. Jadi insulin dapat menyebabkan AN melalui aktivasi
langsung jalur sinyal IGF-1. Hiperinsulinemia juga dapat memfasilitasi berkembang AN secara
tidak langsung, yaitu dengan meningkatkan kadar IGF-1 bebas dalam sirkulasi darah. IGF
binding protein (IGFBPs) mengatur aktivitas IGF-1, yaitu dengan meningkatkan waktu paruh
IGF-1, menghantarkan IGF ke jaringan target, dan mengatur kadar IGF-1 bebas. Insulin-like
growth factor binding protein I (IGFBP) jumlahnya menurun pada pasien obese dengan
hiperinsulinemia, sehingga meningkatkan konsentrasi plasma dari IGF-1 bebas. Jumlah IGF-1
yang meningkat menyebabkan bertambahnya pertumbuhan dan diferensiasi sel.

69
Tatalaksana Acanthosis Nigricans
Terapi pada AN adalah untuk mengkoreksi penyakit yang mendasarinya. Terapi lesi
hanya untuk tujuan kosmetik saja. Koreksi hiperinsulinemia dapat mengurangi derajat lesi
hiperkeratosis, seperti halnya penurunan berat badan pada AN yang berhubungan dengan
obesitas juga dapat mengurangi lesi dermatosis tersebut. Tidak ada terapi pilihan untuk AN.
Terapi topikal yang telah diketahui efektif adalah keratolitik (misalnya tretinoin topikal).
Pengobatan oral yang cukup efektif adalah isotretinin, metformin, dan minyak ikan.
Ciproheptadin telah digunakan untuk terapi AN maligna karena dapat menghambat pelepasan
produk tumor.

C. Obesitas Sentral
Pengertian obesitas abdominal atau sentral yang didapatkan penimbunan lemak tubuh
terutama didaerah pinggang dan abdominal. Obesitas sentral diketahui dengan mengukur
lingkar pinggang (waist circumference/WC), menghitung ratio lingkar pinggang-pinggul (waist
hip ratio/WHR).

Berdasarkan distribusi lemak, obesitas dibagi 2 bentuk yaitu obesitas viseral dan
obesitas perifer (Mccance et al., 2014). Obesitas viseral atau yang biasa disebut dengan obesitas
intra-abdominal sentral atau maskulin terjadi ketika distribusi lemak terlokalisasi pada bagian
perut atau bagian atas tubuh. Obesitas viseral ini biasanya dihasilkan bentuk tubuh seperti apel.
Sedangkan obesitas perifer terjadi ketika distribusi lemak tubuh terlokalisasi pada bagian bawah
tubuh seperti pinggul dan paha (Tchernof dan Despres, 2013). Memasuki usia pertengahan baik
laki-laki maupun perempuan biasanya proporsi lemak tubuh juga akan bertambah (Kopelman et
al., 2005).

Pada umumnya, penilaian status gizi seperti obesitas dapat menggunakan IMT (Indeks
Massa Tubuh). . Akan tetapi IMT ini tidak bisa diginakan dalam mengukur status obesitas
sentral seseorang. Hal tersebut dikarenakan IMT tidak dapat menilai distribusi timbunan lemak
tubuh sehingga kurang sensitif dalam menentukan obesitas sentral (Sunarti dan Maryani, 2013).
Penilaian obesitas sentral dapat dilakukan dengan mengukur lingkar pinggang atau rasio lingkar
pinggang-panggul. Menurut WHO, pengukuran lingkar pinggang dilakukan dengan mengukur
titik tengah antara bagian atas puncak tulang panggul dengan tulang rusuk terakhir, sedangkan
lingkar pinggul diukur pada lingkaran pinggul terbesar (WHO, 2008). Pengukuran lingkar

70
pinggang-pinggul dihitung dengan 13 membagi ukuran lingkar pinggang dengan lingkar
pinggul (Sunarti dan Maryani, 2013).

Laki-laki dikatakan obesitas sentral apabila memiliki Lingkar Pinggang (LP) >90 cm
dan perempuan yang memiliki Lingkar Pinggang (LP) >80 cm (WHO, 2008). Selain itu Rasio
Lingkar Pinggang-Pinggul (RLPP) >0,85 untuk perempuan dan RLPP >0,90 untuk laki-laki
(WHO, 2008). Pengukuran lingkar pinggang dapat menggambarkan penimbunan lemak dalam
tubuh (Sunarti dan Maryani, 2013). Hal ini dikarenakan lingkar pinggang baik pada laki-laki
maupun perempuan berhubungan dengan lemak pada bagian viseral dan subkutan perut (Power
et al., 2008).

Penyebab Obesitas
- Aktifitas fisik
- Asupan makanan
- Genetic
- Hormon
- Obat obatan
Faktor Resiko Obesitas Sentral
- Diabetes mellitus tipe 2
- Dyslipidemia
- Penyakit kardiovaskuler
- Hipertensi
- Sleep apnea
- Sindrom metabolik

Patofisiologi Obesitas
Obesitas terjadi akibat ketidakseimbangan masukan dan keluaran kalori dari tubuh serta
penurunan aktifitas fisik (sedentary life style) yang menyebabkan penumpukan lemak di
sejumlah bagian tubuh (Rosen, 2008). Penelitian yang dilakukan menemukan bahwa
pengontrolan nafsu makan dan tingkat kekenyangan seseorang diatur oleh mekanisme neural
dan humoral (neurohumoral) yang dipengaruhi oleh genetik, nutrisi,lingkungan, dan sinyal
psikologis. Pengaturan keseimbangan energi diperankan oleh hipotalamus melalui 3 proses
fisiologis, yaitu pengendalian rasa lapar dan kenyang, mempengaruhi laju pengeluaran energi
dan regulasi sekresi hormon. Proses dalam pengaturan penyimpanan energi ini terjadi melalui

71
sinyal-sinyal eferen (yang berpusat di hipotalamus) setelah mendapatkan sinyal aferen dari
perifer (jaringan adiposa, usus dan jaringan otot). Sinyal-sinyal tersebut bersifat anabolik
(meningkatkan rasa lapar serta menurunkan pengeluaran energi) dan dapat pula bersifat
katabolic (anoreksia, meningkatkan pengeluaran energi) dan dibagi menjadi 2 kategori, yaitu
sinyal pendek dan sinyal panjang. Sinyal pendek mempengaruhi porsi makan dan waktu makan,
serta berhubungan dengan faktor distensi lambung dan peptida gastrointestinal, yang diperankan
oleh kolesistokinin (CCK) sebagai stimulator dalam peningkatan rasa lapar. Sinyal panjang
diperankan oleh fat-derived hormon leptin dan insulin yang mengatur penyimpanan dan
keseimbangan energi (Sherwood, 2012). Apabila asupan energi melebihi dari yang dibutuhkan,
maka jaringan adiposa meningkat disertai dengan peningkatan kadar leptin dalam peredaran
darah. Kemudian, leptin merangsang anorexigenic center di hipotalamus agar menurunkan
produksi Neuro Peptida Y (NPY) sehingga terjadi penurunan nafsu makan. Demikian pula
sebaliknya bila kebutuhan energi lebih besar dari asupan energi, maka jaringan adiposa
berkurang dan terjadi rangsangan pada orexigenic center di hipotalamus yang menyebabkan
peningkatan nafsu makan. Pada sebagian besar penderita obesitas terjadi resistensi leptin,
sehingga tingginya kadar leptin tidak menyebabkan penurunan nafsu makan (Jeffrey, 2009).

72
PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Permeriksaan Darah Rutin

Pada pemeriksaan darah lengkap, pengambilan sampel darah dilakukan dengan


cara pengambilan melalui darah vena dikarenakan parameter yang akan diperiksa
jumlahnya banyak seperti: pemeriksaan hemoglobin, pemeriksaan eritrosit, pemeriksaan
trombosit, pemeriksaan leukosit, pemeriksaan hematokrit, pemeriksaan LED , dan lain –
lain. Pengambilan darah vena dilakukan dengan cara menusukkan kulit dengan
mengunaka spuit ke dalam lumen darah vena secara perlahan – lahan sampai jumlah
yang dibutuhkan, kemudian masukkan kedalam tabung yang telah berisi antikoagulan
(Gandasoebrata, 2008).

Struktur Sel – Sel Darah

 Sel darah merah (Eritrosit)

Sel darah merah berbentuk cakram bionkraf dengan diameter sekitar 7,5 mikron,
tebal bagian tepi 2 mikron dan bagian tengahnya 1 mikro atau kurang, tersusun atas
membran yang sangat tipis sehingga sangat mudah terjadi difusi, karbondioksida dan
sitoplasma, tetapi tidak mempunyai inti sel. Sel darah merah yang matang mengandung
200 – 300 juta hemoglobin (terdiri darihemyang mana merupakan gabungan
protoportifirin dengan besi dan globin adalah bagian dari protein yang tersusun oleh 2
rantai alfa dan 2 rantai beta) dan enzim – enzim seperti G6PD (glucose 6-phophate
dehydogenase). Hemoglobin mengandung kira – kira 95 % besi dan berfungsi
membawa oksigen dengan cara mengikat oksigen (oksihemoglobin) dan diedarkan
keseluruh tubuh untuk kebutuhan metabolisme. Kadar normal hemoglobin tergantung
usia dan jenis kelamin (Tarwoto dan Wartonah, 2008). Nilai eritrosit normal pada pria
4,5 – 6,5juta/μl dan pada wanita 3,9 – 5,6juta/μL (Rubenstein, dkk., 2007).

 Sel darah putih (Leukosit)

Leukosit atau sel darah putih mempunyai fungsi utama dalam system pertahanan
tubuh.Leukosit juga berfungsi untuk mengungkapkan keadaan kesehatan tubuh melalui
sel – sel leukosit, biasanya untuk mendiagnosa system pertahanan tubuh baik atau

73
tidaknya yang perlu diperhatikan adalah mengenai jumlah sel dan morfologi
leukositnya.Untuk mempelajari atau mengamatinya dapat dilihat pada sedian apusan
darah.Jumlah nilai leukosit normal pada umumnya berkisar 5000 – 10000 sel/mm3
(Subowo, 2009).

 Butir pembeku darah (Trombosit)


Butir pembeku darah (Trombosit) merupakan sel tak berinti, berbentuk cakram
dengan diameter 2 – 5 μm, berasal dari pertunasan sel raksasa berinti banyak
megakariosit yang terdapat dalam sum – sum tulang. Jumlah trombosit normal dalam
tubuh sekitar 150.000 – 300.000/μl darah dan mempunyai masa hidup sekitar 1 sampai
2 minggu atau kira – kira 8 hari. Trombosit tersusun atas substansi fospolipid yang
penting dalam pembekuan dan juga menjaga keutuhan pembuluh darah serta
memperbaiki pembuluh darah kecil yang rusak. Trombosit diproduksi di sum – sum
tulang belakang sekitar 80% beredar disirkulasi darah dan hanya 20 % yang disimpan
dalam limpa sebagai cadangan. Fungsi trombosit berkaitan dengan pembekuan darah
dan hemostatis (menghentikan perdarahan, bila pembuluh darah mengalami kerusakan
maka dapat dihentikan dengan proses :
a. Permukaannya menjadi lengket, sehingga memungkinkan trombosit saling
melekat dan menutupi luka karena ada pembekuan darah.

74
b. Merangsang pengerutan pembuluh darah, sehingga terjadi penyempitan ukuran
lubang pembuluh darah (Tarwoto dan Wartonah, 2008).

 Hemoglobin
Hemoglobin adalah protein berpigmen merah yang terdapat dalam sel darah
merah. Fungsi hemoglobin adalah mengangkut oksigen dari paru – paru dan dalam
peredaran darah untuk dibawa ke jaringan tubuh.Ikatan hemoglobin dengan oksigen
disebut oksihemoglobin (HbO2). Fungsi hemogloblin tidak hanya membawa oksigen,
hemoglobin juga membawa karbondioksida membentuk ikatan
karbonmonosihemoglobin (HbCO), juga berperan dalam keseimbangan pH darah.
Sintesis hemoglobin terjadi selama proses eritroposis, pematangan sel darah merah akan
mempengaruhi fungsi hemoglobin. Struktur hemoglobin terdiri dari dua unsur utama
yaitu :
a. Besi yang mengandung pigmen hem.
b. Protein globin, seperti halnya jenis protein lain, globin mempunyai rantai
panjang dari asam amino. Ada empat rantai globin yaitu alpha (α), beta (β), delta
(δ) dan gamma (γ).
 Hematokrit
Hematokrit merupakan suatu hasil pengukuran yang menyatakan perbandingan
sel darah merah terhadap volume darah.Kata hematokrit berasal dari bahasa Yunani,
yaitu hema (berarti darah) dan krite (yang memiliki arti menilai atau mengukur).
Hematokrit berarti mengukur atau menilai darah. Hematokrit adalah volume eritrosit
yang dipisahkan dari plasma dengan memutarnya atau di sentrifugasi dalam tabung
khusus yang nilainya dinyatakan dalam persen.
Hematokrit disebut juga dengan nama asing PCV (Packed Cell Volume), dan
HCT (Hematokrit). Nilai hematokrit digunakan untuk mengetahui ada tidaknya anemia
pada pasien.Nilai normal hematokrit untuk pria 40 – 48% volume sedangkan pada
wanita 37 – 43% volume (Gandasoebrata, 2008).

 Laju Endap Darah (LED)

75
Laju Endap Darah adalah kecepatan mengendapnya eritrosit dari suatu sampel
darah yang diperiksa dalam suatu alat tertentu yang dinyatakan dalam mm/jam. LED
merupakan salah satu pemeriksaan rutin untuk darah. Fungsinya untuk mengetahui ada
atau tidaknya peradangan dalam tubuh seseorang.
Makin banyak sel darah merah yang mengendap, maka makin tinggi Laju Endap
Darah (LED)-nyajuga dapat ditemukan pada non peradangan seperti pada wanita hamil,
wanita sedang datang bulan, lanjut usia, anemia, kanker, penyakit thyroid, diabetes,
penyakit jantung, kecanduan obat atau narkotika, penggunaan obat cortikosteroid. Pada
lanjut usia akan mempunyai kecenderungan nilai LED lebih tinggi dari orang yang lebih
muda. Begitupun pada wanita akan mempunyai nilai LED lebih tinggi dari pria
(Tarwonto dan Wartonah, 2008).

 Pemeriksaan HbA1c

Jika telah terdiagnosis menderita diabetes, pemeriksaan HbA1c dapat


dimanfaatkan sebagai sarana kontrol terhadap keberhasilan pengobatan. Hal ini
dilakukan dengan memastikan apakah kadar gula darah Anda telah berada di nilai yang
telah ditargetkan. Oleh sebab itu, penderita diabetes dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan HbA1c secara berkala setiap 3-6 bulan sekali.

Hasil pemeriksaan akan tertulis dalam persentase, dengan interpretasi sebagai berikut:

 Normal: jumlah HbA1c di bawah 5,7%.

 Prediabetes: jumlah HbA1c antara 5,7-6,4%.

76
 Diabetes: jumlah HbA1c mencapai 6,5% atau lebih.

Semakin tinggi jumlah HbA1c berarti semakin banyak hemoglobin yang


berikatan dengan glukosa, dan ini menandakan bahwa gula darah tinggi. Jika jumlah
HbA1c melebihi 8%, kemungkinan mengalami diabetes yang tidak terkontrol dan
berisiko mengalami komplikasi.

Pemeriksaan Glukosa

Berbagai metode tes darah secara rutin digunakan dalam diagnosis Diabetes Mellitus Tipe 2
(Widjayanti, 2008):
• Tes Glukosa Puasa
• Postprandial Plasma Glucose Test
• Oral Glukosa Toleransi Test (OGTT)
• Uji Plasma Insulin

1. Tes Glukosa Puasa


Uji Glukosa Puasa berbanding lurus dengan tingkat keparahan diabetes mellitus.
Selama tes ini, darah diambil dari vena di lengan pasien setelah pasien belum makan selama
sedikitnya delapan jam, biasanya di pagi hari sebelum sarapan. Sel-sel darah merah dipisahkan
dari sampel dan jumlah glukosa diukur dalam plasma yang tersisa. Tingkat plasma dari 200
mg/dL atau lebih kuat mengindikasikan diabetes asalkan obat-obatan seperti glukokortikoid
tidak dikelola. Tes glukosa puasa biasanya kembali diulangi-hari.Kadar glukosa plasma pada
penderita diabetes terkontrol berkisar selama khas 24 jam dari serendah 250mg /L sampai
setinggi 3250mg/L. Variasi ini lebih luas dibandingkan pasien bukan diabetes.

2. Postprandial Plasma Glucose Test


Diabetes Mellitus lebih mudah terdeteksi ketika kapasitas karbohidrat metabolisme
diuji. Hal ini dapat dilakukan dengan menekankan sistem dengan beban glukosa didefinisikan
bahwa beban glukosa dibersihkan dari darah, dibandingkan dengan tingkat clearance glukosa
pada orang yang sehat untuk pendeteksian penurunan metabolisme glukosa. Suatu makanan
yang tingg karbohidrat digunakan sebagai beban karbohidrat, meskipun meminum glukosa 75g
biasanya lebih disukai daripada makan. Darah diambil pada 2 jam setelah konsumsi memakan
atau meminum glukosa. Kadar glukosa diatas 1400 mg/L yang tidak normal; tingkat 1200-1400
mg/L yang ambigu; dan tingkat 1200mg menjadi rendah/L normal. Variabel ini termasuk usia,

77
berat badan, diet sebelumnya, aktivitas, penyakit, obat, pada waktu tes dilakukan dan ukuran
dari dosis glukosa. Ketika makanan digunakan sebagai beban, beban glukosa yang efektif
tergantung pada pencernaan disakarida dan polisakarida serta penyerapan selanjutnya dari
saluran usus.

3. Oral Glukosa Toleransi Test (OGTT)


Tes toleransi glukosa oral mengevaluasi izin dari peredaran setelah pemuatan glukosa
dalam kondisi tidak dikendalikan. Tes telah dilakukan oleh Komite Statistik dari American
Diabetes Association. Pasien diharuskan berpuasa selama 8-14 jam dengan sampel darah yang
diambil. Pasien diberi larutan glukosa, yang diminum dalam waktu 5 menit. Darah diambil pada
interval untuk pengukuran glukosa (gula darah), dan kadang-kadang tingkat insulin. Interval dan
jumlah sampel bervariasi sesuai dengan tujuan tes. Untuk screening diabetes sederhana, sampel
yang paling penting adalah sampel 2 jam post prandial. Pada non-diabetes, tingkat glukosa
dalam darah naik segera setelah minum dan kemudian menurun secara bertahap dimana insulin
digunakan oleh tubuh untuk memetabolisme atau menyerap gula. Pada diabetes, glukosa dalam
darah naik dan tetap tinggi setelah minum cairan manis.
Tingkat glukosa plasma dari 2000 mg/L atau lebih tinggi pada dua jam setelah minum
sirup dan pada satu titik selama periode pengujian dua jam menegaskan diagnosis diabetes.
Selama pengujian, pasien harus rawat jalan, karena dalam aktivitas menurun toleransi glukosa,
tes ini juga dapat dipengaruhi oleh penyakit pelainan hormon seperti Muroxine, hormon
pertumbuhan, kortisol, dan katekolamin, obat-obatan dan seperti kontrasepsi oral, salisilat, asam
nikotinat, diuretik dan agen hipoglikemik dan waktu pengujian. Beban glukosa harus terdiri dari
glukosa saja.

4. Uji Plasma Insulin

Kadar insulin plasma puasa di tipe 1 penderita diabetes adalah rendah. Bagi
penderita diabetes tipe 2 yang rendah hanya jika kadar glukosa plasma puasa melebihi
2500mg/L. Tantangan glukosa memisahkan diabetes mellitus tipe 1 dari penderita
diabetes mellitus tipe 2. Pemuatan glukosa memunculkan ada pelepasan kembali insulin
yang signifikan yang menanggapi diabetes mellitus tipe 1 dan tertunda, Tanggapan
berulang pada diabetes mellitus tipe 2.

78
Penderita diabetes dapat memantau kadar glukosa darah mereka sendiri dengan
pemantauan glukosa darah di rumah. Sebuah jarum kecil atau lancet digunakan untuk
menusuk jari dan setetes darah dikumpulkan dan dianalisis oleh perangkat monitoring.
Penggunaan yang benar dari alat tersebut meminimalkan kesalahan pengambilan
glukosa darah penderita diabetes yang dapat menyebabkan peristiwa hipoglikemik dan
bahkan komplikasi jangka panjang dari diabetes mellitus. Beberapa pasien dapat
menguji kadar glukosa darah mereka beberapa kali selama sehari dan menggunakan
informasi terkait untuk menyesuaikan diet atau dosis insulin.

Dalam sebuah pernyataan konsensus tentang pemantauan glukosa darah,


pengguna insulin telah direkomendasikan untuk program pemantauan diri. Ini termasuk
wanita hamil, pasien dengan diabetes yang tidak stabil, pasien yang menerima terapi
insulin intensif dan pasien dengan ginjal yang mencapai ambang batas normal untuk
glukosa. Untuk pasien tanpa gejala khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah
abnormal satu kali saja belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan
investigasi lebih lanjut yaitu GDP ≥ 126 mg/dl, GDS ≥ 200 mg/dl atau hasil Tes
Toleransi Glukosa Oral (TTGO) ≥ 200 mg/dl.

Pemeriksaan Elekrolit
Cairan tubuh terdiri dari air dan elektrolit. Cairan tubuh dibedakan atas cairan ekstrasel
dan intrasel. Cairan ekstrasel meliputi plasma dan cairan interstisial berikut adalah yang
termasuk dalam elektrolit yaitu : a. Natrium. Natrium merupakan kation terbanyak dalam cairan
ekstrasel, berperan dalam memelihara tekanan osmotik, keseimbangan asambasa dan membantu
rangkaian transmisi impuls saraf. Konsentrasi serum natrium diatur oleh ginjal, sistem saraf
pusat (SSP) dan sistem endokrin (Kemenkes, 2011). Jumlahnya bisa mencapai 60 mEq per
kilogram berat badan dan sebagian kecil (sekitar 10- 14 mEq/L) berada dalam cairan intrasel.
Lebih dari 90% tekanan osmotik di cairan ekstrasel ditentukan oleh garam yang mengandung
natrium, khususnya dalam bentuk natrium klorida (NaCl) dan natrium bikarbonat (NaHCO3)
sehingga perubahan tekanan osmotik pada cairan ekstrasel menggambarkan perubahan
konsentrasi natrium. Perbedaan kadar natrium intravaskuler dan interstitial disebabkan oleh
keseimbangan Gibbs- Donnan, sedangkan perbedaan kadar natrium dalam cairan ekstrasel dan

79
intrasel disebabkan oleh adanya transpor aktif dari natrium keluar sel yang bertukar dengan
masuknya kalium ke dalam sel (pompa natrium kalium) (Yaswir dan Ferawati, 2012).
Jumlah natrium yang keluar dari traktus gastrointestinal dan kulit kurang dari 10%.
Cairan yang berisi konsentrasi natrium yang berada pada saluran cerna bagian atas hampir
mendekati cairan ekstrasel, namun natrium direabsorpsi sebagai cairan pada saluran cerna
bagian bawah, oleh karena itu konsentrasi natrium pada feses hanya mencapai 40mEq/L4.
Keringat adalah cairan hipotonik yang berisi natrium dan klorida. Kandungan natrium pada
cairan keringat orang normal rerata 50 mEq/L. Jumlah pengeluaran keringat akan meningkat
sebanding dengan lamanya periode terpapar pada lingkungan yang panas, latihan fisik dan
demam (Yaswir & Ferawati, 2012 ).
Ekskresi natrium terutama dilakukan oleh ginjal. Pengaturan eksresi ini dilakukan untuk
mempertahankan homeostasis natrium, yang sangat diperlukan untuk mempertahankan volume
cairan tubuh. Natrium difiltrasi bebas di glomerulus, direabsorpsi secara aktif 60- 65% di
tubulus proksimal bersama dengan H2O dan klorida yang direabsorpsi secara pasif, sisanya
direabsorpsi di lengkung henle (25- 30%), tubulus distal (5%) dan duktus koligentes (4%).
Sekresi natrium di urine <1%. Aldosteron menstimulasi tubulus distal untuk mereabsorpsi
natrium bersama air secara pasif dan mensekresi kalium pada sistem renin-angiotensin-
aldosteron untuk mempertahankan elektroneutralitas. Nilai rujukan kadar natrium padamenurut
Yaswir dan Ferawati (2012):
Serum bayi : 134-150 mmol/L
Serum anak dan dewasa : 135-145 mmol/L
Urine anak dan dewasa : 40-220 mmol/24 jam
Cairan serebrospinal : 136-150 mmol/L
Feses : kurang dari 10 mmol/hari

Pemeriksaan Urine
Tingkat glukosa dalam urin tertinggal tingkat glukosa dalam darah. Pengujian urin
dengan tes tongkat atau kertas strip, sebagai pengujian darah. Namun, dapat memberikan cepat
dan senang membaca.
Protein dalam urin dapat menunjukkan masalah dengan fungsi ginjal dan dapat
digunakan untuk melacak perkembangan gagal ginjal. Sebuah tes yang lebih sensitif
untuk protein urin menggunakan radioaktif tagged bahan kimia untuk mendeteksi

80
mikroalbuminuria, sejumlah kecil protein dalam urin, yang mungkin tidak muncul pada
tes dipstick (Widjayanti, 2008).

Mikroalbuminuria adalah keadaan dimana terdapat peningkatan eksresi albumin


dalam urin yang lebih besar dari batas nilai normal tetapi lebih rendah dari albumin urin
kritis

Nilai rujukan data klinis (Pearce, 2006)


Nilai rujukan protein :
Dewasa : 6,0 – 8,0 g/dL
Anak – anak :
a. Prematur : 4,2 – 7,6 g/dL
b. Bayi baru lahir : 4,6 – 7,4 g/dL
c. Bayi : 6,0 – 6,7 g/dL
d. Anak : 6,2 – 8,0 g/dL
Nilai rujukan albumin :
a. Dewasa : 3,5 – 5,0 g/dL
b. Bayi baru lahir : 2,9 – 5,4 g/dL
c. Bayi : 4,4 – 5,4 g/dL
d. Anak – anak : 4,0 – 5,8 g/dL
Serum Darah :
Komposisi :
Air : 91,0 %
Protein : 8,0 % (Albumin, globulin, protrombin , dan
fibrinogen)
Mineral : 0,9 % (NaOH, Natrium bikarbonat, garam dari kalsium,
fosfor, magnesium dan besi)
Bahan organik : Glukosa, lemak, urea, asam urat, kreatinin,
kolestrol dan asam amino.
Interpretasi Klinis
1. Protein total
Nama Lain : TP, Protein Total

81
pemeriksaan untuk mengukur semua protein yang terdiri dari
Definisi :
Albumin dan Globulin
Sampel : Serum
Pemeriksaan : Setiap Hari
Nilai Rujukan : Bervariasi tiap laboratorium.
Konvensional : 6,6 – 8,7 g/dL
SI Unit : 66 – 87 g/L
Menurun: penyakit hati, ginjal, sindroma nefrositik, pendarahan,
Hasil luka bakar, malnutrisi, malabsorpsi, dll
:
Abnormal Meningkat: Multiple myeloma, inflamasi atau infeksi kronis
penyakit HIV, Hepatitis B dan C, dll
2. Albumin
Nama Lain : ALB
bagian dari protein plasma dalam tubuh yang diproduksi di dalam
Definisi :
hati.
Sampel : Serum, Plasma EDTA
Pemeriksaan : Setiap Hari
Nilai Rujukan : Bervariasi tiap laboratorium.
Konvensional : 3,5 – 5,2 g/dL
SI Unit : 35 – 52 g/L
Menurun: Penyakit hati, ginjal, sindroma nefrotik, malnutrisi/
Hasil
: kekurangan gizi, peradangan/ inflamasi, dll
Abnormal
Meningkat: Dehidrasi

Pemeriksaan Kolesterol

Pemeriksaan kolesterol total itu dilakukan setelah terlebih dahulu puasa


sepanjang malam kurang lebih 9-12 jam lamanya sebelum pemeriksaan. Tujuan puasa
ini adalah agar tidak terjadi kesalahan pengukuran karena adanya pengaruh lemak yang
baru dikonsumsi yang berasal dari makanan yang baru saja dimakan.Biasanya dokter

82
melakukan pemeriksaan kolesterol ini di pagi hari dan pasien harus puasa sebelumnya.
24 jam sebelum melakukan pemeriksaan kolesterol ini pula, sebaiknya tidak melakukan
aktivitas fisik yang berat ataupun olahraga berat karena kelelahan yang amat sangat
dapat mempengaruhi pula hasil tes yang dilakukan. Kemudian pemeriksaan lemak
dalam darah dimulai dengan cara mengambil darah dari tubuh pasien yang akan
diperiksa. Darah yang telah diambil itu diukur diukur kadar kolesterolnya. Pemeriksaan
ini dapat menghasilkan informasi perkiraan kadar kolesterol yang beredar didalam
sirkulasi darah seseorang. Hasil data yang ditemukan dalam pemeriksaanitu akan
dibandingkan dengan tabel klasifikasi kadar kolesterol standar dalam dunia kedokteran
yang ada sehingga dapat dianalisis bagaimana keadaan kolesterol seseorang itu.
Disamping itu hasil pemeriksaan darah, para dokter akan mendiagnosis pasiennya
dengan menanyakan riwayat kolesterol tinggi dikeluarga pasien serta penyakit-penyakit
yang dideritanya sebagai bahan analisis terhadap keadaan pasiennya(Graha, 2010).

Hasil Pemeriksaan Kolesterol Total


Kolesterol biasanya diketahui lewat pemeriksaan darah dilaboratorium. Kolesterol
dapat diukur dalam satuan milligram per desiliterdarah yang biasanya disingkat mg/dl,
danada juga yang menggunakan satuan milimol per liter darah disingkat mmol/L.
Ketika mendapatkan hasil dari pemeriksaan kolesterol dari sebuah laboratorium atau
rumah sakit biasanya dikertas laporan hasilnya akan tertera informasi sebagai berikut:
 Total kolesterol
 HDL kolesterol
 LDL kolesterol
 Trigliserida
Keempat komponen diatas merupakan lemak utama dalam darah yang akan
diperiksa kadarnyadan dapat memberikan gambaran penyakit yang diderita seseorang
tersebut.
• Total Kolesterol
Total kolesterol menunjukkan jumlah antara HDL kolesterol, LDL kolesterol, dan
Trigliserida.

83
• HDL Kolesterol
Kadar HDL kolesterol menunjukkan seberapa besar kolesterol baik didalam darah,
karena HDL kolesterol ini berperan membawa kolesterol jahat (LDL kolesterol),
dari arteri dan kembali ke hati untuk dibuang (dalam empedu) serta menghilangkan
kelebihan kolesterol dari plak dan memperlambat pertumbuhan.

• LDL Kolesterol
Kadar LDL kolesterol menunjukkan berapa besar kadar kolesterol jahat didalam
darah,Dimana LDL kolesterol ini bertugas mendistribusikan kolesterol dari liver ke
sel-sel diseluruh tubuh. Bila kadar ini berlebihan dapat membuat penimbunan
lemak pada tubuh yang membahayakan kesehatan.

Semakin tinggi kadar LDL didalam darah seseorang, maka memberikan informasi
resiko yang tinggi pada tubuh terhadap penyakit jantung koroner.
• Trigliserida

84
Jenis Pemeriksaan Nilai Normal Hasil Satuan Keterangan
Pemeriksaan

Tekanan Darah Sistolik : 90-120 160/95 mmHg Hipertensi


Stadium 1
Diastolik : 60-80

Acanthosis (-) (+) -


Nigricans

Lingkaran Perut ♂ : 70 – 89 ♂ : 120 cm Tinggi

♀ : 80 – 99

Hb ♂ : 12,5 – 16,5 14 g% Normal

♀ : 11,5 – 15,5

Ht ♂ : 40 – 48 42 % Normal

♀ : 37 – 43

Leukosit 5.000 - 10.000 7.600 mm3 Normal

Trombosit 150.000 – 300.000 165.000 /mm3 Normal

Gula Darah Puasa 80 – 126 277 mg/dL Tinggi

HbA1c 6,0 - 6,4 8,6 % Buruk

OGTT Puasa : 80 – 126 Puasa : 146 mg/dL Tinggi

Post Prandial : 140 - Post Prandial :


199 246

Total Protein 6,0 – 7,8 7,7 g/dL Normal

Albumin 3,5 – 5.5 4,8 g/dL Normal

Globulin 2,5 – 3,5 2,9 g/dL Normal

85
Ureum 8 – 20 22 mg/dL Meningkat

Kreatinin 0,7 – 1,3 0,6 mmol/l Menurun

Sodium 136 – 145 138 mmol/l Normal

Potassium 3,5 – 5,0 3,6 mmol/l Normal

Total cholestrol 150 – 199 270 mg/dL Sangat Tinggi

Cholesterol LDL ≤ 130 210 mg/dL Sangat Tinggi

Cholesterol HDL ≥ 40 38 mg/dL Rendah

Trigliserida ≤ 250 337 mg/dL Sangat Tinggi

Urin Reduksi (-) +2 - Hiperglikemi

Mikroalbuminuria (-) (+) - Nefropati


Diabetik

86
DIAGNOSIS BANDING

DIABETES MELLITUS TIPE 2

Diabetes tipe 2 (bervariasi mulai yang terutama dominan resistensi insulin


disertai defesiensi insulin relatif sampai yang terutama defek sekresi insulin disertai
resistensi insulin).

Diabetes tipe 2 ( Diabetes Non Insulin Dependent) ini tidak ada kerusakan pada
pankreasnya dan dapat terus menghasilkan insulin, bahkan kadang-kadang insulin pada
tingkat tinggidari normal. Akan tetapi, tubuh manusia resisten terhadap efek insulin,
sehingga tidak ada insulin yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Diabetes tipe
ini sering terjadi pada dewasa yang berumur lebih dari 30 tahun dan menjadi lebih
umum dengan peningkatan usia. Obesitas menjadi faktor resiko utama pada diabetes
tipe 2. Sebanyak 80% sampai 90% dari penderita diabetes tipe 2 mengalami obesitas.
Obesitas dapat menyebabkan sensitivitas insulin menurun, maka dari itu orang obesitas
memerlukan insulin yang berjumlah sangat besar untuk mengawali kadar gula darah
normal (Merck,2008).

GEJALA

Gejala klinis DM yang klasik: mula-mula polifagi, poliuri, dan polidipsi.


Apabila keadaan ini tidak segera diobati, maka akan timbul gejala Dekompensasi
Pankreas, yang disebut gejala klasik DM, yaitu poliuria, polidipsi, dan polifagi. Ketiga
gejala klasik tersebut diatas disebut pula “TRIAS SINDROM DIABETES AKUT”
bahkan apabila tidak segera diobati dapat disusul dengan mual-muntah dan keto asidosis
diabetik. Gejala kronis DM yang sering muncul adalah lemah badan, kesemutan, kaku
otot, penurunan kemampuan seksual, gangguan penglihatan yang sering berubah, sakit
sendi dan lain-lain(Tjokroprawiro, 2007).

PATOFISIOLOGI

DM Tipe 2 (Diabetes Mellitus Tidak Tergantung Insulin=DMT 2)

DMT 2 adalah DM tidak tergantung insulin. Pada tipe ini, pada awalnya
kelainan terletak pada jaringan perifer (resistensi insulin) dan kemudian disusul dengan

87
disfungsi sel beta pankreas (defek sekresi insulin), yaitu sebagai berikut:
(Tjokroprawiro, 2007)

1. Sekresi insulin oleh pankreas mungkin cukup atau kurang, sehingga glukosa
yang sudah diabsorbsi masuk ke dalam darah tetapi jumlah insulin yang efektif
belum memadai.
2. Jumlah reseptor di jaringan perifer kurang (antara 20.000-30.000) pada obesitas
jumlah reseptor bahkan hanya 20.000.
3. Kadang-kadang jumlah reseptor cukup, tetapi kualitas reseptor jelek, sehingga
kerja insulin tidak efektif (insulin binding atau sensitifitas insulin terganggu).
4. Terdapat kelainan di pasca reseptor sehingga proses glikolisis intra selluler
terganggu.
5. Adanya kelainan campuran diantara nomor 1,2,3 dan 4.
DM tipe 2 ini Biasanya terjadi di usia dewasa. Kebanyakan orang tidak
menyadari telah menderita diabetes tipe 2, walaupun keadaannya sudah menjadi
sangat serius. Diabetes tipe 2 sudah menjadi umum di Indonesia, dan angkanya
terus bertambah akibat gaya hidup yang tidak sehat, kegemukan dan malas
berolahraga (Riskesdas, 2007).

SKDI

SKDI Diabetes Mellitus tipe2 adalah 4A. Artinya, sebagai lulusan dokter kita
harus mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksaan penyakit tersebut
secara mandiri dan tuntas.

88
HIPERTENSI

Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon


pembuluh darah terhadap rangsangan vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sangat
sensitif terhadap norpinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal
tersebut bisa terjadi (Corwin, 2005).

Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah
sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang mengakibatkan
tambahan aktivitas vasokontriksi. Korteks adrenal mengsekresikan kortisol dan steroid
lainnya yang dapat memperkuat respon vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi
yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal dapat menyebabkan pelepasan
renin. Renin merangsang pembentukkan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi
angiotensin II, suatu vasokontriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi
aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh
tubulus ginjal sehingga menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor
tersebut cenderung mencetuskan keadaan hipertensi (Brunner, 2002).

89
OBESITAS

Pada kasus, IMT pasien adalah 34,89 yang menandakan bahwa pasien
mengalami obesitas tingkat 2. Obesitas terjadi akibat ketidakseimbangan masukan dan
keluaran kalori dari tubuh serta penurunan aktifitas fisik (sedentary life style) yang
menyebabkan penumpukan lemak di sejumlah bagian tubuh (Rosen, 2008). Penelitian
yang dilakukan menemukan bahwa pengontrolan nafsu makan dan tingkat kekenyangan
seseorang diatur oleh mekanisme neural dan humoral (neurohumoral) yang dipengaruhi
oleh genetik, nutrisi, lingkungan, dan sinyal psikologis. Pengaturan keseimbangan
energi diperankan oleh hipotalamus melalui 3 proses fisiologis, yaitu pengendalian rasa
lapar dan kenyang, mempengaruhi laju pengeluaran energi dan regulasi sekresi hormon.
Proses dalam pengaturan penyimpanan energi ini terjadi melalui sinyal-sinyal eferen
(yang berpusat di hipotalamus) setelah mendapatkan sinyal aferen dari perifer (jaringan
adiposa, usus dan jaringan otot).

Apabila asupan energi melebihi dari yang dibutuhkan, maka jaringan adiposa
meningkat disertai dengan peningkatan kadar leptin dalam peredaran darah. Kemudian,
leptin merangsang anorexigenic center di hipotalamus agar menurunkan produksi Neuro
Peptida Y (NPY) sehingga terjadi penurunan nafsu makan. Demikian pula sebaliknya
bila kebutuhan energi lebih besar dari asupan energi, maka jaringan adiposa berkurang
dan terjadi rangsangan pada orexigenic center di hipotalamus yang menyebabkan
peningkatan nafsu makan. Pada sebagian besar penderita obesitas terjadi resistensi

90
leptin, sehingga tingginya kadar leptin tidak menyebabkan penurunan nafsu makan
(Jeffrey, 2009).

DISLIPIDEMIA
Low Density Lipoprotein (LDL) merupakan salah satu dari komponen lemak itu
sendiri. Kehadiran lemak sendiri dalam tubuh kita sesungguhnya memiliki fungsi
sebagai zat gizi yang sangat diperlukan oleh tubuh disamping zat gizi lainnya seperti
karbohidrat, protein, vitamin dan mineral yang mempunyai fungsi dalam tubuh yaitu
untuk melapisi dinding sel tubuh, membentuk asam empedu, membentuk hormon
seksual, berperan dalam pertumbuhan jaringan saraf dan otak. Kolesterol sebanyak 75%
dibentuk di organ hati sedangkan 25% diperoleh dari asupan makanan. Kenaikan kadar
kolesterol di atas nilai normal diantaranya disebabkan oleh berlebihnya asupan makanan
yang berasal dari lemak hewani, telur dan serta makanan-makanan yang dewasa ini
disebut sebagai junkfood (Gandha, 2009).

Low Density Lipoprotein (LDL) disebut juga β-lipoprotein yang mengandung


21% protein dan 78% lemak. LDL dikatakan kolesterol jahat karena LDL berperan
membawa kolesterol ke sel dan jaringan tubuh, sehingga bila jumlahnya berlebihan,
kolesterol dapat menumpuk dan mengendap pada dinding pembuluh darah dan

91
mengeras menjadi plak. Plak dibentuk dari unsur lemak, kolesterol, kalsium, produk
sisa sel dan materi-materi yang berperan dalam proses pembekuan darah. Hal inilah
yang kemudian dapat berkembang menjadi menebal dan mengerasnya pembuluh darah
yang dikenal dengan nama aterosklerosis (Gandha, 2009).

92
VII. Kesimpulan

Tn. B, laki-laki usia 35 tahun menderita sindrom metabolik yang terdiri atas
Diabetes melitus tipe 2, hipertensi, dislipidemia, dan obesitas sentral.

93
Daftar Pustaka

American Diabetes Association. 2010. Clinical Practice Recommendations: Report of


the Expert Commite on the Diagnosis and Classifications of Diabetes Mellitus
Diabetes Care. USA: American Diabetes Association.
Amy Z. Fan. Etiology of the Metabolic Syndrome. 2007. Current Cardiology Review
pg. 232-239

Aquilante, Christina and Joseph P. Vande Griend. Metabolic syndrome. 2008. BCPS

Atik Dina Nasekhah. 2016. Hubungan Kelelahan dengan Kualitas Hidup Penderita
Diabetes Melitus tipe 2 di Persadia Salatiga. Semarang. Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro.

Decroli, Eva. 2019. Diabetes Melitus tipe 2. Padang. Pusat Penerbitan Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

Deen D. Metabolic Syndrome : Time of Action. Am Fam Physician 2004;69: 2875-82


Grundy, S.M., Metabolic syndrome update. Trends Cardiovasc Med, 2016. 26(4): p.
364-73. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26654259
Hirano, T. (2018). Pathophysiology of Diabetic Dyslipidemia. Journal of
Atherosclerosis and Thrombosis .
Kaur, J. (2014). A Comprehensive Review on Metabolic Syndrome. Cardiology
Reaseach and Practice .
Mallos, Crina Frincu. Endothelial Dysfunction in Metabolic Syndrome May Predict
Cardiovascular Risk. 2008. NJHS,Baltimore, Marylan.

Mendizábal, Y., Llorens, S. and Nava, E. (2013). Hypertension in Metabolic Syndrome:


Purnamasari D. 2009. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. In Sudoyo AW,
Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (Ed). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III 5th ed. Jakarta: Interna Publishing. hal: 1873-95.

Putu Moda Arsana, d. (2015). Panduan Pengelolaan Dislipidemia di Indonesia-2015.


PB. PERKENI.
Renaldy,oly. Peran adinopektin terhadap kejadian resistensi insulin pada Sindrom
metabolik. 2009. FK. UGM

Rini,S. (2015). Sindrom Metabolik. Jurnal Kedokteran Unila, 4(4), Pp.88-93.

94
Rochlani, Y., Pothineni, N., Kovelamudi, S. and Mehta, J. (2017). Metabolic syndrome:
pathophysiology, management, and modulation by natural
compounds. Therapeutic Advances in Cardiovascular Disease, 11(8), pp.215-
225.

Shahab, A. (2017). Dasar- Dasar Endokrinologi. Jakarta Timur: Rayyana


Komunikasindo.

Sherwood, Lauralee. Organ endokrin perifer dalam Fisiologi Manusia dari Sel ke
Sistem hal. 661-667. 2006. EGC Staff Unila. 2011. Dislipidemia. Universitas
Lampung. Lampung. (diakses tanggal 16 januari)

Staff Unila. 2011. Hipertensi. Universitas Lampung.Lampung. (diakses tanggal 16


januari)

Staff Unila. 2011. Obesitas. Universitas Lampung. Lampung. (diakses tanggal 16


januari)

Sutedjo, AY. 2009, Buku Saku Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan
Laboratorium, Amara Books, Jakarta

Vascular Pathophysiology. International Journal of Hypertension, 2013, pp.1-15.

Victoria Henuhili, dkk. 2011. Pola Pewarisan Penyakit Hipertensi dalam Keluarga
sebagai Sumber Belajar Genetika. Yogyakarta. Pendidikan Biologi FMIPA
Universitas Negeri Yogyakarta.

Wang, S.S. Metabolic Syndrome. Cardiology 2017; Available from:


https://emedicine.medscape.com/article/165124-overview.

95
96

Anda mungkin juga menyukai