Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hasil hutan kayu maupun hasil hutan non kayu akan lebih bermanfaat apabila dapat
dikeluarkan dari hutan dengan lancar dan cepat sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat
atau dijadikan bahan baku di pabrik-pabrik pengolahannya.

Agar pengelolaan hutan lestari dan pemanfaatan hasil hutan yang maksimal dapat tercapai,
maka prasarana akses keluar masuk hutan harus tersedia dengan baik sehingga kegiatan-kegiatan
penanaman, pembinaan hutan, perlindungan hutan, pemanenan hasil hutan, monitoring, evaluasi,
dan pengawasan dapat dilakukan dengan lancar dan mudah. Pada intinya kegiatan pembukaan
wilayah hutan ini adalah melayani segala aktivitas dalam pengelolaan hutan.

Pembukaan wilayah hutan (PWH) adalah salah satu kegiatan dalam pengelolaan hutan yang
menyediakan prasarana/infrastruktur berupa jaringan jalan, log pond, basecamp induk, basecamp
cabang, basecamp pembinaan hutan, tempat penimbunan kayu/ TPK, tempat penimbunan kayu
antara/ TPK antara, tempat pengumpulan kayu/ TPN, jembatan dan gorong-gorong, menara
pengawas dan lain-lain, dalam rangka melancarkan kegiatan pengelolaan hutan. Dalam
pengelolaan hutan lestari, prasarana PWH yang dibangun harus bersifat permanen karena
peranan PWH dalam pengelolaan hutan lestari adalah harus dapat melayani kebutuhan
pengelolaan hutan masa kini dan masa yang akan datang sehingga prasarana PWH harus
didesain dan dibangun untuk masa pakai yang lama (jangka panjang) dan harus bersifat
permanen. Pembukaan wilayah hutan mempunyai fungsi untuk mempermudah penataan hutan;
mempermudah pengangkutan pekerja, peralatan, dan bahan-bahan keluar masuk hutan;
mempermudah kegiatan pembinaan hutan; mempermudah kegiatan pemanenan hutan,
penebangan, penyaradan, pengumpulan, dan pengangkutan, serta mempermudah kegiatan hutan
lainnya. Konsep pembangunan PWH adalah dalam perencanaan, pelaksanaan pembuatan dan
pemeliharaan prasarana PWH harus memperhatikan aspek teknis, ekonomis, dan ekologis secara
terpadu dalam 4 bidang, yaitu:

1. Perencanaan hutan,
2. Penataan areal hutan,
3. Pembukaan wilayah hutan, dan
4. Pemilihan sistem pemanenan kayu.
Hutan tidak akan dapat dikelola secara lestari apabila persyaratan pembukaan wilayah hutan
(PWH) yang memadai belum dipenuhi. Hal ini mengingat PWH merupakan persyaratan utama
bagi kelancaran perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam pengelolaan hutan, dan PWH
merupakan suatu bagian yang penting dalam pengelolaan hutan lestari.

1
Ciri-ciri pembukaan wilayah hutan (PWH) yang merupakan prasyarat untuk mewujudkan
pengelolaan hutan lestari dapat dilihat dari desainnya yang memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:

1. Keselamatan kerja karyawan dan umum,


2. Sesuai dengan bentang alam,
3. Mengakomodasi 50-100 tahun areal tidak terjadi banjir,
4. Menghindari kerusakan kawasan lindung dan gangguan terhadap flora dan fauna langka
atau yang dilindungi,
5. Terhindar dari bahaya erosi, dan
6. Pengembangan akses masyarakat setempat.

Pembukaan wilayah hutan menyediakan akses ke dalam areal hutan untuk pemanenan kayu
dan hasil hutan lainnya, penanaman, pembinaan hutan, perlindungan hutan terhadap kebakaran,
hama dan penyakit, dan lain-lain. Namun pembangunan prasarana PWH dapat menyebabkan
perubahan terhadap bentang alam dan kerusakan lingkungan, seperti kerusakan hutan, erosi,
sedimentasi, penurunan kualitas air, penurunan produktivitas hutan, dan gangguan terhadap
kehidupan satwa liar. Dibandingkan dengan kerusakan hutan yang disebabkan oleh kegiatan-
kegiatan kehutanan lainnya, seperti kerusakan lingkungan akibat penebangan dan penyaradan,
pemeliharaan dan penjarangan tegakan, kegiatan pembangunan prasarana PWH merupakan
kegiatan yang memerlukan investasi modal yang paling tinggi, dan berpotensi paling merusak
lingkungan. Apabila perencanaan jaringan jalan, pembuatan jalan dan pemeliharaan jalan tidak
dilakukan dengan tepat, maka akan mengakibatkan biaya PWH dan biaya pengangkutan tinggi,
dan kerusakan lingkungan yang berat yang berdampak negatif terhadap kehidupan sosial
ekonomi masyarakat di sekitar hutan dan habitat serta kehidupan fauna dan flora in-
situ maupun ex-situ.

B. Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum pembuatan trace jalan hutan adalah :
1. Mengetahui perencanaan pembuatan jalan yang efisien dan efektif sesuai dengan
ketentuan – ketentuan pembuatan jalan yang baik.
2. Melatih pembacaan peta kontur.
3. Melatih cara mengklasifikasikan wilayah hutan berdasarkan tingkat kemiringan lereng.
4. Melatih dalam merencanakan jaringan jalan hutan.
5. Mengetahui cara memilih alternative pembukaan wilayah hutan yang optimal.
6. Melatih menghitung volume dan biaya galian serta timbunan sesuai dengan aligment
yang telah direncanakan.
7. Mampu menghitung biaya pembuatan jaringan jalan hutan.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep/Strategi PWH :
 PWH adalah suatu kegiatan di dalam pengelolaan hutan yang berusaha menciptakan
persyaratan-persyaratan yang lebih baik agar pengelolaan hutan dapat lestari,
 Merupakan perpaduan teknik, ekonomis dan ekologis dari pembukaan dasar wilayah
hutan, pembukaan tegakan dan sistem penanaman, pemeliharaan, penjarangan dan
pemanenan.
 Pada tahun 1970-an, PWH merupakan suatu kegiatan pembukaan jalan untuk
mengeluarkan kayu dari hutan, dimana pada saat itu :
 Belum ada usaha untuk mengusahakan agar hutan dapat lestari
 Menghasilkan kayu sebanyak-banyaknya dengan biaya sekecil-kecilnya sehingga terjadi
kerusakan hutan.
PERANAN PWH :
PWH secara keseluruhan merupakan persyaratan bagi kelancaran pelaksanaan dan
pengawasan dalam produksi hutan dan PWH bertugas menciptakan kondisi yang lebih baik
dalam pengelolaan hutan serta meningkatkan fungsi sosial dan ekonomi dari hutan.
Fungsi PWH :
1. Mempermudah penataan hutan
- Membuat tata batas dalam dan luar hutan
- Tata batas dalam membagi areal hutan ke dalam blok-blok.
2. Mempermudah pengukuran pekerja, peralatan dan bahan-bahan keluar masuk hutan.
3. Mempermudah kegiatan pembinaan hutan.
4. Mempermudah kegiatan pemanenan hasil hutan ) penebangan, penyaradan,
pengumpulan, pengnagkutan dan penimbunan)
5. Mempermudah pengawasan hutan.
6. Mempermudah perlindungan hutan (terhadap kebakaran, serangan hama dan penyakit
hutan)
7. Memungkinkan hutan sebagai tempat rekreasi yang mudah dicapai.
8. Di daerah yang terisolasi/terpencil, PWH dapat merupakan bagian yang penting dari
infrastruktur daerah tersebut, bahkan dapat merupakan pionir pengembangan hutan.
Tingkat-tingkat PWH
Ada 3 tingkatan PWH :
a. Pembukaan wilayah hutan yang menghubungkan areal hutan yang dikelola
dengan lalu lintas umum atau dengan industri kayu. Biasa juga disebut jalan

3
koridor, yaitu jalan yang menghubungkan jalan areal hutan dengan lalu-
lintas umum yang letaknya di luar wilayah hutan (acces road).
b. Pembukaan wilayah hutan yang menghubungkan bagian-bagian hutan
dengan jalan koridor. PWH ini dilakukan dengan jalan utama (main road)
c. Pembukaan wilayah hutan yang membuka bagian hutan dan
menghubungkannya dengan jalan utama.

 PWH ini dilakukan dengan membuat jalan cabang dan jalan ranting.
 Jalan cabang dan ranting untuk menghubungkan bagian dengan jalan utama.
 Dengan adanya tingkatan PWH dapat dikatakan bahwa PWH merupakan pembukaan
wilayah bukan pembukaan titik.
 Pembukaan titik hanya menghubungkan 2 tempat saja.
Cirinya : standar jalan sama
 Pembukaan wilayah : membuka wilayah secara merata.
Cirinya : ada perbedaan kelas-kelas standar jalan.
Ciri khas pembukaan wilayah al :
o Konsentrasi kendaraan akan mulai padat apabila keluar hutan.
o Jarak angkut dalam hutan lebih pendek dibanding jarak angkut di luar hutan,
sehingga untuk mengangkut kayu di hutan muatannya yang lebih diperhatikan
bukan kecepatannya, bila di luar, kecepatan dan muatan harus diperhatikan.
- Kecepatan di jalan ranting : 4-8 km/jam
- Kecepatan di jalan cabang : 10-15 km/jam
- Kecepatan di jalan utama : 30-40 km/jam
- Kecepatan di jalan koridor : 40-50 km/jam
 Jalan utama :
 Menghubungkan bagian-bagian hutan dengan areal luar hutan.
 Mempunyai standar tertentu (merupakan jalan permanen yang diperlihara terus-
menerus setiap tahun).
 Jalan cabang :
 Menghubungkan bagian di dalam hutan dengan jalan utama
 Jalan ini kadang diperkeras, tergantung fungsinya.
 Diperlihara secara permanen/secara preriodik.
 Jalan sarad :
 Menghubungkan individu pohon dengan jalan ranting/cabang/ utama
 Jalan tanah
 Standar teknik untuk jalan sarad lebih rendah dari jalan lainnya.
 Jarak angkut 300-400 m

4
B. Parameter Penilaian PWH :
Untuk mengetahui suatu jaringan jalan yang sudah ada atau yang direncanakan, telah
dikembangkan beberapa parameter penilai, yaitu :
 Kerapatan jalan (WD)
 Spasi jalan (WA)
 Persen PWH (E)
 Jarak sarad rata-rata (RE)
d. Kerapatan jalan
Kerapatan jalan (WD) adalah panjang jalan rata-rata pada suatu areal tertentu (m/ha).
e. Spasi/Jarak Jalan
Spasi jalan (WA) adalah jarak rata-rata antar jalan angkutan yang dibangun dalam suatu
areal (m, hm).
f. Jarak Sarad Rata-rata
Menurut Segebaden (1964) ada 3 jenis jarak sarad rata-rata :
 Jarak sarad rata-rata terpendek dari model PWH yang ideal (REo).
 Jarak sarad rata-rata terpendek yang sebenarnya di lapangan (REm).
 Jarak sarad rata yang ditempuh di dalam penyaradan sebenarnya di lapangan (REt).
Untuk mendapatkan jarak sarad rata-rata yang sebenarnya dari kerapatan jalan, Segebaden
(1964) menganjurkan memakai dua faktor koreksi, yaitu :
1. Faktor koreksi jaringan jalan : Vcorr ini mengoreksi tata letak jalan di lapangan.
2. Faktor koreksi jalan sarad : Tcorr ini mengoreksi jarak sarad, dimana kayu tidak disarad
melalui jalan terpendek ke jalan angkutan atau landing, melainkan melalui jalan yang
lebih panjang, karena adanya halangan-halangan di tengah jalan seperti kemiringan
lapangan, tanah tidak rata, tegakan dll.
Gabungan kedua faktor koreksi tersebut di atas disingkat KG
FAO (1974), menyarankan agar di dalam pemanenan dan penangangkutan kayu di antara
tanaman di negara berkembang dipergunakan nilai KG sbb. :
 Untuk di daerah datar : KG = 1,6 – 2,0
 Untuk di daerah sedang dan berbukit : KG = 2,0 – 2,8
 Untuk di daerah pegunungan dan curam : KG = 2,8 – 3,6
 Untuk di daerah pegunungan dan sangat curam : KG >3,6
Persen PWH
Persen PWH adalah persen keterlayanan/keterbukaan suatu wilayah hutan yang
disebabkan oleh pembuatan jalan (PWH).
Cara menghitung % PWH :
a. Berdasarkan Backmund (1966)
Menurut Backmund (1966) bahwa luas areal dibuka ada 3 macam :
1. Pembuatan jalan hutan diasumsikan membuka wilayah di kiri dan kanan jalan.

5
2. Lebar wilayah yang terbuka oleh pembuatan jalan = WA, artinya sebelah kanan jalan
terbuka ½ WA dan sebelah kiri jalan terbuka ½ WA.
3. Luas total areal yang terbuka adalah jumlah luas total dari areal yang terbuka dalam
jalur tadi (menjumlahkan luas jalur-jalur yang terbuka).

b. Berdasarkan Sachs (1968)


Menurut Sachs (1968), dengan mengubah asumsi kedua :
Lebar areal yang terbuka di sebelah kiri dan kanan tersebut tidak bisa diukur dengan WA
tetapi harus disesuaikan dengan teknologi yang dipakai dalam sub sistem penyaradan.
1. Lebar jalan yang dikiri dan kana tidak sama, tetapi berdasarkan topografinya.
2. Naik lereng, jangkauan alat penyaradan kayu lebih pendek dan sebaliknya.
3. Kriteria angka yang dapat dipakai sebagai patokan menurut Backmund (1966) :

E (%) Penilai
< 65 Tidak baik
65 – 70 Cukup
70 – 75 Baik
75 – 80 Sangat Baik
> 80 Luar biasa

Bilangan PWH
Bilangan PWH adalah suatu bilangan yang menunjukkan suatu parameter kerapatan jalan
dan % PWH yang digunakan untuk menyatakan persen kualitas dari PWH dinyatakan dalam
bentuk tulisan. (Misalnya WD = 45 m/ha, E = 77 %, maka bilangan PWH = 45/77).

C. Pola Jaringan Jalan Tipe Jalan Hutan


A. Pola jalan di daerah datar
1. Jalan-jalan sejajar menuju ke satu titik/pusat
2. Jalan-jalan angkutan sejajar menuju kesatu jalan induk dengan sudut antara jalan
indukdengan jalan cabang 35 °
3. Jalan-jalan angkutan sejajar menuju ke beberapa titik pusat.
4. Jalan-jalan sejajar menyudut dengan membelah blok hutan.
B. Pola Jalan di Daerah Pegunungan
1. Jalan-jalan hutan sejajar di daerah lereng yang panjang dihubungkan dengan jalan
sejajar menanjak.
2. Jika lereng sempit, maka teknik pembukaan wilayah hutan dua jalan yaitu jalan
punggung dan jalan lembah.
3. Jika lembahnya sedang digunakan pola jalan sejajar menuruni lereng

6
4. Pola jaringan acak dengan jarak dan arah yang tidak teratur/tak terencanakan
5. Pola jaringan jalan cincin. Bisa digunung atau cekungan besar yang dikelilingi
gunung-gunung/sungai, danau.
C. Lokasi dan Tipe Jalan Angkutan
Berdasarkan lokasi jalan dapat dibedakan 3 tipe jalan :
a) Jalan Lembah
Jalan lembah adalah jalan yang terdapat di lembah.
Kelebihan jalan lembah :
 Mudah dibuat
 Tidak banyak galian dan timbunan
 Kayu yang disarad ke jalan lembah adalah kayu yang disarad turun lereng.
Kelemahan :
 Sering harus membuat jembatan
 Pada musim hujan kemungkinan terendam air banjir sehingga jalan dan
jembatan rusak.

b) Jalan Punggung
Jalan punggung ialah jalan yang menyusuri punggung bukit.
Kelebihan jalan punggung :
 Keadaannya kering, sehinga intensitas pemakaiannya lebih tinggi
 Biaya pemeliharaannya lebih rendah
Kelemahan jalan punggung :
 Banyak galian dan timbunan
 Biayanya lebih mahal dari pembuatan jalan lembah
 Kayu yang diangkut melalui jalan ini harus disarad naik lereng
c) Jalan Kontur
Jalan kontur ialah jalan yang mengikuti kontur. Jalan kontur dibuat apabila lereng cukup lebar
dan landai.
Kayu yang diangkut berasal dari kayu yang disarad naik dan turun lereng.

7
BAB III

BAHAN DAN METODE PRAKTIKUM

A. Alat dan Bahan

1. Alat
- Penggaris
- Pensil
- Jangka
- Busur derajat
- Penghapus
- Kalkulator
2. Bahan
- Peta topografi skala 1: 2000
- Kertas milimeter block

. B. Prosedur Praktikum

1. Pembuatan Trase Jalan dan Penentuan Titik Profil


- Membuat trase untuk menghubungkan titik A dan titik B, yang terdapat pada Peta
Topografi skala 1 : 2000 dengan langkah- langkah sebagai berikut :
- Menentukan titik – titik profil pada trase jalan yang menghubungkan titik A dan
titik B, diberi nama dari A-1-2-3.....B
- Menentukan tinggi pada masing – masing titik profil, kemudian menghitung beda
tingginya
- Mengitung jarak antar titik profil dari titik profil A sampai titik profil B, dengan
mempertimbangkan beberapa ketentuan yaitu Jarak antar titik profil pada jalan lurus
maksimal 100 meter, dan pada daerah belokan diletakan 3 titik profil masing –
masing pada awal, tengah dan akhir belokan. Untuk belokan diperhalus dengan
menggunakan jangka, serta ditentukan jari jari pada belokan.
Untuk daerah lurus jarak antar titik profil dihitung berdasarkan panjang titik profil
dilihat dari penggaris kemudian dihitung berdasarkan perbandingan skala.

8
Sedangkan untuk daerah belokan jarak dihitung dengan rumus :
Jarak (J) = α x 2  r
360
Ket : α = Besar sudut pada belokan
 = 3,14
r = Jari – jari belokan
- Setelah jarak antar profil diketahui, selanjutnya menghitung heling pada masing-
masing titik profil. Penentuan helling harus sesuai dengan syarat yang telah
ditentukan baik untuk daerah lurus maupun daerah belokan, yaitu:
 Untuk daerah datar max 5%
 Untuk daerah pegunungan sedang 6 – 7%
 Untuk daerah pegunungan berat 8 – 10%
 Untuk Belokan maksimal 5%
 Pada daerah belokan jari-jari minimal 50 m dan maksimal 80 m. Pada belokan ini
dibuat titik profil awal, titik tengah dan titik akhir belokan
- Menghitung helling menggunakan rumus :
Helling = Beda Tinggi / Jarak antar titik profil x 100 %
- Membuat tabel bantu pembuatan trace, serta mengisinya dengan data – data hasil
perhitungan jarak antar profil, ketinggian titik profil maupun % helling.
Nomor Ketinggian Jarak Beda Helling Keterangan
Profil Titik Profil Antar Tinggi (%)
(m dpl) Profil (m)
(m)
A
Dst
B

2. Pembuatan Penampang Memanjang


Membuat penampang memanjang dalam kertas mm blok, pembuatan penampang
memanjang berdasarkan pada trace dengan skala vertikal 1:200 dan horizontal 1:2000
dengan langkah-langkah sebagai berikut :

- Membuat dua buah garis sumbu x dan sumbu y


- Sumbu x untuk jarak antar titik profil, sedangkan sumbu y untuk ketinggian masing-
masing titik profil

9
- Membuat grafik untuk penampang memanjang jalan, jarak antar titik profil
disesuaikan dengan ketinggian masing-masing profil
- Setelah penampang memanjang jalan jadi, langkah selanjutnya adalah membuat
tabel untuk penampang melintang jalan

No. Titik profil Titik Profil A Sampai Titik Profil B

Jarak antar titik profil (m)


Jarak langsung (m)
Tinggi As tanah (m)
Tinggi As jalan (m)
Perbedaan galian(m) timbunan (m)
Helling mula-mula (%)
Helling garis perataan (m)

Untuk mengisi tabel penampang memanjang, hal yang harus diperhatikan adalah :
 Menyesuaikan nomor titik profil dengan titik profil yang telah di buat
 Selanjutnya, menyesuaikan jarak antar titik profil yang merupakan jarak antara dua
titik profil yang berurutan, dengan skala horizontal 1 : 2000
 Menentukan jarak langsung, untuk mengetahui jarak dari perencanaan yang dibuat
berdasarkan data yang didapat dari tabel bantu.
 Menentukan tinggi tanah di As jalan yang merupakan ketinggian tanah asal di
dalam perencanaan jaringan jalan sebelum di lakukan garis perataan.
 Perbedaan galian dan timbunan, didapat setelah dilakukan penarikan garis perataan.
Jika garis perataan berada diatas tanah asli berarti terdapat timbunan dan sebaliknya
 Helling mula-mula, merupakan persentase perbandingan antara beda tinggi di As
tanah dari dua titik profil yang berurutan dengan jarak dua titik profil yang
bersangkutan
 Helling garis perataan, merupakan persentase perbandingan antara beda tinggi tanah
di As jalan dari dua titik profil yang berurutan dengan jarak dua titik
 Jalan lurus atau belokan, digambarkan dengan kode berupa garis lurus atau
berbentuk busur

10
3. Pembuatan Penampang Melintang
- Menyiapkan kertas milimeter blok dan penggaris. Setiap kontur dengan ukuran 1cm
menandakan 1mm pada kertas mm blok
- Membuat bidang melintang trace pada peta, bidang ini akan tergambar sesuai
dengan garis lurus yang memotong tegak lurus trace
- Memindahkan keatas kertas grafik dengan skala 1:200 (vertikal dan horisontal)
badan melintang trace pada peta tersebut
- Menentukan terlebih dahulu tinggi tanah di as jalan dan tinggi as jalan pada
penggambaran diatas mm block
- Selanjutnya penampang melintang trace digambarkan pada perpotongan tinggi tanah
pada as jalan dengan bidang melintang trace yang dipindahkan tersebut, dengan
ketentuan sebagai berikut
 Lebar badan jalan 5 meter (2,5 cm dalam kertas mm block)
 Lebar berm dikiri dan kanan jalan masing-masing 1,5 m (0,75 cm didalam
kertas mm block)
 Parit (selokan) dibuat selebar 0,25 m kiri dan kanan (0,125 cm didalam kertas
mm block)
 Dalam selokan 0,25 meter (0,125 cm dalam kertas mm block)
 Kemiringan talud 1:1 yang membentuk 45°
- Setelah jarak antara kontur sudah diketahui, selanjutnya memasukkan data-data ke
dalam tabel pembuatan penampang melintang

No. Titik Profil Titik profil A – Titik profil B

Jarak antar titik profil (m)

Jarak langsung (m)

Tinggi As tanah (m)

Tinggi As jalan (m)

4. Pembuatan Daftar Pekerjaan Tanah

11
- Menghitung luas bidang galian dan timbunan pada tiap-tiap profil (bentuk segitiga,
bujur sangkar, persegi panjang dll.)
- Menjumlahkan masing-masing luas bidang galian untuk mendapatkan luas total pada
satu profil.
- Mencari rata-rata bidang galian dan timbunan antara titik profil yang berdekatan.
- Mengalikan rata-rata bidang galian dan timbunan dengan jarak titik profil yang
berdekatan untuk mendapatkan taksiran volume galian dan timbunan.
 Volume galian : Jarak profil x luas rata-rata penampang galian
 Volume timbunan : Jarak profil x luas rata-rata penampang timbunan
- Membuat tabel daftar pekerjaan tanah

Titik Jarak Luas penampang Luas penampang Volume (m³)


Profil (m) melintang (m²) rata-rata (m²)
Galian Timbunan Galian Timbunan Galian Timbunan
A
Dst
B
Total

5. Daftar Analisa biaya


Biaya galian dan timbuana dapat dihitung dengan cara :
- Biaya galian : Total volume galian x biaya galian/m3
- Biaya timbunan : Total volume timbunan x biaya timbunan/m3
Yang mana upah untuk :

Galian : Rp. 100.000,- /m3


Timbunan : Rp. 95.000,- /m3

12
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pembuatan Trace dan Penentuan Titik Profil

Dalam pembuatan trace jalan, titik – titik profil diperlukan untuk mempermudah
pekerjaan pembuatan jalan. Pembuatan trase jalan dari titik A ke titik B yang dibuat pada
peta topografi dengan skala 1 : 2000, serta penentuan titik profil sekaligus penentuan
ketinggian dari masing – masing titik profil diperoleh hasil dengan data sebagai berikut :

Tabel 1. Tinggi Titik Profil

Nomor Profil Tinggi titik profil (mdpl)

A 523

1 514

2 516

3 512

4 513

5 512,4

6 516

7 519

8 527

9 517

B 520

13
Penentuan jarak antar masing – masing titik profil diperoleh dengan membandingkan skala
pada peta dengan skala di lapangan. Skala pada peta topografi adalah 1:2000 yang mengartikan 1
cm di peta sama dengan 20 m dilapangan. Untuk jarak antar titik profil pada area belokan
diperoleh dengan menggunakan rumus :

Jarak = α 2 .π .R ket : α = sudut pada belokan

360º π = 3,14

R = jari- jari belokan

Dari hasil pengukuran dengan menggunakan penggaris dipeta diperoleh jarak antar masing-
masing titik profil adalah sebagai berikut.

Tabel 2. Jarak Antar Titik Profil

Nomor Profil Jarak Antar titik Profil (m dpl)

A-1 96

1-2 42

2-3 98

3-4 44

4-5 32

5-6 52,35

6-7 52,35

7-8 68

8-9 70

9-B 8

14
Penentuan jarak

 Jarak profil A-1


Pada peta 4,8 cm yang berarti 96 m dilapangan
 Jarak profil 1-2
Pada peta 2,1 cm yang berarti 42 m dilapangan
 Jarak profil 2-3
Pada peta 4,9 cm yang berarti 98 m dilapangan
 Jarak profil 3-4
Pada peta 2,2 cm yang berarti 44 m dilapangan
 Jarak profil 4-5
Pada peta 1,6 cm yang berarti 32 m dilapangan
 Jarak profil 5-6
Jarak = 50º/360º × 2 × 3,14 × 60
= 52,35 m dilapangan yang berarti 2,6 cm pada peta
 Jarak profil 6-7
 Jarak = 50º/360º × 2 × 3,14 × 60
 = 52,35 m dilapangan yang berarti 2,6 cm pada peta
 Jarak profil 7-8
Pada peta 3,4 cm yang berarti 68 m dilapangan
 Jarak profil 8-9
Pada peta 3,5 cm yang berarti 70 m dilapangan
 Jarak profil 9-B
Pada peta 0,4 cm yang berarti 8 m dilapangan

Pada tahap pembuatan trace jalan juga ditentukan beda tinggi antar titik profil untuk
menentukan helling. Perhitungan helling diperoleh dengan rumus :

Helling = Beda Tinggi x 100%


Jarak

15
Perhuitungan Helling

Titik profil A-1 Titik profil 1-2

BT = 523-514 = 9 BT = 514-516 = 2

H = 9/96 × 100% = 9,37 % H = 2/42 × 100% = 4,76 %

Titik profil 2-3 Titik profil 3-4

BT = 516-512 = 4 BT = 512-513 = 1

H = 4/98× 100% = 4,08 % H = 1/44 × 100% = 2,27 %

Titik profil 4-5 Titik profil 5-6

BT = 513-512,4 = 0,6 BT = 512,4-516 = 3,6

H = 0,6/32 × 100% = 1,87 % H = 3,6/52,35 × 100% = 1,15 %

Titik profil 6-7 Titik profil 7-8

BT = 516-519 = 3 BT = 519-527 = 8

H = 3/52,35 × 100% = 6,88 % H = 8/68 × 100% = 11,76 %

Titik profil 8-9 Titik profil 9-B

BT = 527-517 = 10 BT = 517-520 = 3

H = 10/70 × 100% = 14,28 % H = 3/8 × 100% = 37,5 %

16
Tabel 3. Daftar Pembuatan Trase

No. Ketinggian Jarak BT Helling Lurus/Belokan Keterangan


Profil Titik Profil (m) (m) (%)
(m dpl )
A 523
96 9 9,37 Lurus
1 514
42 2 4,76 Lurus
2 516
98 4 4,08 Lurus
3 512
44 1 2,27 Lurus
4 513
32 0,6 1,87 Lurus
5 512,4
52,35 3,6 1,15 Belokan R = 60 m
α = 50º
6 516
52,35 3 6,88 Belokan R = 60 m
α = 50º
7 519
68 8 11,76 Lurus
8 527
70 10 14,28 Lurus
9 517
8 3 37,5 Lurus
B 520

B. Pembuatan Penampang Memanjang


Pembuatanpenampang memanjang dilalukan diatas milimeter blok dengan skala 1 : 200 pada
sumbu y dan skala 1 : 2000 pada sumbu x. Sumbu x untuk jarak antar profil, sedangkan
sumbu y adalah ketinggian masing – masing profil.

 Jarak antar profil


A-1 = 96 m
1-2 = 42 m
2-3 = 98 m

17
3-4 = 44 m
4-5 = 32 m
5-6 = 52,35 m
6-7 = 52,35 m
7-8 = 68 m
8-9 = 70 m
9-B = 8 m
 Jarak langsung
A-1 = 96 m
A-2 = 138 m
A-3 = 236 m
A-4 = 280 m
A-5 = 312 m
A-6 = 364,35 m
A-7 = 416,7 m
A-8 = 484,7 m
A-9 = 554,7 m
A-B = 562,7 m
Sehingga diperoleh jarak langsung antara titik A dan titik B sebesar 562,7 meter.

 Tinggi As Tanah
Ketinggian titik profil sebelum perataan ( tinggi titik profil sesungguhnya )
Nomor Profil Tinggi titik profil (mdpl)
A = 523 mdpl
1 = 514 mdpl
2 = 516 mdpl
3 = 512 mdpl
4 = 513 mdpl
5 = 512,4 mdpl
6 = 516 mdpl
7 = 519 mdpl
8 = 527 mdpl
9 = 517 mdpl
B = 520 mdpl

18
 Tinggi As jalan
Tinggi As jalan diperoleh dari garis perataan pada penampang memanjang, dengan data
tinggi jalan setelah perataan adalah sebagai berikut :

Tabel 4. Tinggi As Jalan

Nomor Profil Tinggi As Jalan (mdpl)


A 519
1 519
2 519
3 519
4 519
5 519
6 519
7 519
8 520
9 520
B 520

 Perbedaan Galian dan Timbunan


Perbedaan galian dan timbunan diperoleh dari selisih Tinggi As Tanah dengan Tinggi As
Jalan.

Tabel 5. Perbedaan Galian dan Timbunan

Nomor Titik Profil Perbedaan Galian – Timbunan (m)

A Galian = 523-519 = 4
1 Timbunan = 514-519 = 5
2 Timbunan = 516-519 = 3
3 Timbunan = 512-519 = 7
4 Timbunan = 513-519 = 6
5 Timbunan = 512,4-519 = 6.6
6 Timbunan = 516-519 =3
7 519-519 =0
8 Galian = 527-520 = 7
9 Timbunan = 517-520 = 3
B 520-520 = 0

19
 Pelandaian Helling Perataan
Perhitungan Helling garis perataan menggunakan data tinggi as jalan ( setelah perataan )
dengan ditentukan terlebih dahulu beda tinggi antar masing – masing titik profil.
Kemudian membaginya dengan jarak antar titik profil.

Helling garis perataan = Beda tinggi / Jarak x 100 %

Titik profil A-1 Titik profil 1-2

BT = 519-519 = 0 BT = 519-519 = 0

H = 0/96 × 100% = 0 % H = 0/42 × 100% = 0 %

Titik profil 2-3 Titik profil 3-4

BT = 519-519 = 0 BT = 519-519 = 0

H = 0/98 × 100% = 0 % H = 0/44 × 100% = 0 %

Titik profil 4-5 Titik profil 5-6

BT = 519-519 = 0 BT = 519-519 = 0

H = 0/32 × 100% = 0 % H = 0/52,35 × 100% = 0 %

Titik profil 6-7 Titik profil 7-8

BT = 519-519 = 0 BT = 519-520 = 1

H = 0/52,35 × 100% = 0 % H = 1/68 × 100% = 1,47 %

20
Titi profil 8-9 Titik profil 9-B

BT = 520-520 = 0 BT = 520-520 = 0

H = 0/70 × 100% = 0 % H = 0/8 × 100% = 0 %

C. Pembuatan Penampang Melintang


Pembuatan penampang melintang dilakukan pada peta topografi dengan skala 1 : 2000,
penampang melintang berupa garis tegak lurus pada masing masing – masing titik profil,
yang kemudian garis tersebut digunakan sebagai garis pembantu dalam pembuatan
penampang melintang di milimeter blok. Setiap 1 mm di peta mengartikan 1cm di milimeter
blok. Perhitungan luas penampang melintang adalah dengan menggunakan rumus bangun
yang diperoleh (segitiga, trapesium, jajar genjang, atau rumus bangun lainya) tergantung
bentuk bangun yang terdapat pada penampang melintang. Dari hasil pembuatan penampang
melintang diperoleh data sebagai berikut :

21
Gamba 1. Profil A

Galian :

L1 (segitiga) : ½ × 10 mm × 5 mm = 25 mm²

L2 (segitiga) : ½ × 12 mm × 6 mm = 36 mm²

L3 (persegi panjang) : 8 mm × 7 mm = 56 mm²

L4 (segitiga) : ½ × 38 mm × 7 mm = 95 mm²

L5 (persegi panjang) : 40 mm × 15 mm = 600 mm²

L6 (segitiga) : ½ × 20 mm × 5 mm = 20 mm²

L7 (segitiga) : ½ × 10 mm × 5 mm = 25 mm²

L8 (persegi panjang) : 10 mm × 7 mm = 70 mm²

L9 (persegi panjang) : 6 mm × 4 mm = 24 mm²

L10 (segitiga) : ½ × 6 mm × 3 mm = 9 mm²

L11 (segitiga) : ½ × 6 mm × 4 mm = 12 mm²

Luas 2 buah talud : 2 × ( ½ × 1,25 mm × 1,25 mm ) = 1,5625 mm²

Luas total galian : 973,5625 mm × 1 m² = 38,9425 m²

22
25 mm

Timbunan : 0

23
Gambar 2. Profil 1

Galian : 0

Timbunan

L1 (segitiga) : ½ × 31 mm × 16 mm = 248 mm²

L2 (persegi panjang) : 24 mm × 20 mm = 480 mm²

L3 (segitiga) : ½ 2 mm × 20 mm = 20 mm²

L4 (persegi panjang) : 25 mm × 20 mm = 500 mm²

L5 (segitiga) : ½ × 35 mm × 18 mm = 315 mm²

L6 (segitiga) : ½ × 2 mm × 22 mm = 22 mm²

Luas total timbunan :1585 mm × 1 m² = 63,4 m²

25 mm

24
Gambar 3. Profil 2

Galian : 0

Timbunan

L1 (segitiga) : ½ × 20 mm × 10 mm = 10 mm²

L2 (persegi panjang) : 20 mm × 15 mm = 300 mm²

L3 (persegi panjang) : 15 mm × 10 mm = 150 mm²

L4 (persegi) : 10 mm × 10 mm = 100 mm²

L5 (segitiga) : ½ × 14 mm × 7mm = 49 mm²

L6 (persegi panjang) : 20 mm × 5 mm = 100 mm²

L7 (segitiga) : ½ × 5 mm × 30 mm = 75 mm²

L8 (segitiga) : ½ × 19 mm × 7 mm = 66,5 mm²

Luas total timbunan : 850,5 mm × 1 m² = 34,02 m²

25 mm

25
Gambar 4. Profil 3

Galian : 0

Timbunan

L1 (segitiga) : ½ × 48 mm × 25 mm = 600 mm²

L2 (persegi panjang) : 35 mm × 20 mm = 700 mm²

L3 (persegi panjang) : 33 mm × 2 mm = 66 mm²

L4 (segitiga) : ½ × 44 mm × 22 mm = 484 mm²

L5 (segitiga) : ½ × 3 mm × 52 mm = 78 mm²

Luas total timbunan : 1928 mm × 1 m² = 77,12 m²

25 mm

26
Gambar 5. Profil 4

Galian : 0

Timbunan

L1 (segitiga) : ½ × 14 mm × 6 mm = 42 mm²

L2 (segitiga) : ½ × 28 mm × 14 mm = 196 mm²

L3 (persegi panjang) : 20 mm × 10 mm = 200 mm²

L4 (persegi panjang) : 40 mm × 30 mm = 1200 mm²

L5 (persegi panjang) : 40 mm × 20 mm = 800 mm²

L6 (segitiga) : ½ × 40 mm × 5 mm = 100 mm²

L7 (persegi panjang) : 8 mm × 5 mm = 40 mm²

L8 (segitiga) : ½ × 6 mm × 3 mm = 9 mm²

Luas total timbunan : 2587 mm × 1 m² = 103,48 m²

25 mm

27
Gambar 6. Profil 5

Galian : 0

Timbunan

L1 (segitiga) : ½ × 35 mm × 18 mm = 315 mm²

L2 (segitiga) : ½ × 9 mm × 7 mm = 31,5 mm²

L3 (persegi panjang) : 20 mm × 10 mm = 200 mm²

L4 (persegi panjang) : 30 mm× 23 mm = 690 mm²

L5 (segitiga) : ½ × 2 mm × 30 mm = 30 mm²

L6 (persegi panjang) : 30 mm× 20 mm = 600 mm²

L7 (segitiga) : ½ × 3 mm × 57 mm = 40,5 mm²

L8 (segitiga) : ½ × 42 mm × 21 mm = 441 mm²

Luas total timbunan : 2348 mm × 1 m² = 93,92 m²

25 mm

28
Gambar 7. Profil 6

Galian : 0

Timbunan

L1 (segitiga) : ½ × 9 mm × 4 mm = 18 mm²

L2 (segitiga) : ½ × 2 mm × 12 mm = 12 mm²

L3 (persegi panjang) : 12 mm × 5 mm = 60 mm²

L4 (segitiga) : ½ × 16 mm × 7 mm = 56 mm²

L5 (segitiga) : ½ × 5 mm × 20 mm = 50 mm²

L6 (persegi panjang) : 20 mm × 10 mm = 200 mm²

L7 (segitiga) : ½ × 14 mm × 7 mm = 49 mm²

L8 (persegi) : 10 mm × 10 mm = 100 mm²

L9 (persegi panjang) : 15 mm × 10 mm = 150 mm²

L10 (segitiga) : ½ × 5 mm × 10 mm = 50 mm²

L11 (persegi panjang) : 10 mm × 8 mm = 80 mm²

29
L12 (segitiga) : ½ × 5 mm × 9 mm = 45 mm²

L13 (persegi panjang) : 17 mm × 8 mm = 136 mm²

L14 (segitiga) : ½ × 2 mm × 21 mm = 21 mm²

L15 (segitiga) : ½ × 11 mm × 6 mm = 33 mm²

Luas total galian : 1062,5 mm × 1 m² = 42,5 m²

25 mm

30
Gambar 8. Profil 7

Galian : 0

Timbunan :

L1 (segitiga) : ½ × 5 mm × 20 mm = 50 mm²

L2 (segitiga) : ½ × 9 mm × 3 mm = 13,5 mm²

Luas 1 buah talud : 1 × ( ½ × 1,25 mm × 1,25 mm = 0,03805 mm²

Luas total galian : 63,5 mm × 1 m² = 2,54 m²

25 mm

31
Gambar 9. Profil 8

Galian

L1 (segitiga) : ½ × 55 mm × 28 mm = 0770 mm²

L2 (persegi panjang) : 15 mm × 5 mm = 75 mm²

L3 (segitiga) : ½ × 8 mm × 5 mm = 20 mm²

L4 (persegi panjang) : 35 mm × 23 mm = 805 mm²

L5 (segitiga) : ½ × 19 mm × 28 mm = 266 mm²

L6 (persegi panjang) : 12 mm × 20 mm = 240 mm²

L7 (segitiga) : ½ × 20 mm × 12 mm = 120 mm²

L8 (segitiga) : ½ × 25 mm × 12 mm = 150 mm²

Luas 2 buah talud : 2 × ( ½ × 1,25 mm × 1,25 mm) = 1,5625 mm²

Luas total timbunan : 2447,5625 mm × 1 m² = 97,9025 m²

25 mm

Timbunan : 0

32
Gambar 10. Profil 9

Galian : 0

Timbunan

L1 (segitiga) : ½ × 17 mm × 3 mm = 25,5 mm²

L2 (segitiga) : ½ × 17 mm × 8 mm = 68 mm²

L3 (segitiga) : ½ × 9 mm × 5 mm = 22,5 mm²

L4 (persegi panjang) : 9 mm × 8 mm = 72 mm²

L5 (segitiga) : ½ × 12 mm × 5 mm = 30 mm²

L6 (segitiga) : ½ × 19 mm × 5 mm = 47,5 mm²

L7 (persegi panjang) : 19 mm × 10 mm = 190 mm²

L8 (segitiga) : ½ × 13 mm × 7 mm = 50 mm²

L9 (persegi panjang) : 10 mm × 10 mm = 100 mm²

L10 (segitiga) : ½ × 10 mm × 5 mm = 25 mm²

L11 (persegi panjang) : 15 mm × 10 mm = 150 mm²

33
L12 (segitiga) : ½ × 20 mm × 3 mm = 30 mm²

L13 (persegi panjang) : 20 mm × 10 mm = 200 mm²

L14 (segitiga) : ½ × 9 mm × 2 mm = 9 mm²

L15 (segitiga) : ½ × 12 mm × 6 mm = 36 mm²

Luas total timbunan : 1021 mm × 1 m² = 40,84 m²

25 mm

34
Gambar 11. Profil B

Galian

L1 (segitiga) : ½ × 20 mm × 2 mm = 20 mm²

L2 (segitiga) : ½ × 4 mm × 2 mm = 4 mm²

Luas 1 buah talud : 1 × ( ½ × 1,25 mm × 1,25 mm ) = 0,78125 mm²

Luas total galian : 19.53125 mm × 1 m² = 0,96m²

25 mm

Timbunan

L1 (segitiga) : ½ × 6 mm × 2 mm = 6 mm²

L2 (segitiga) : ½ × 22 mm × 2 mm = 22 mm²

Luas total timbunan : 28 mm × 1 m² = 1,15805 m²

25 mm

35
A. Daftar Pekerjaan Tanah
Daftar pekerjaan tanah dibuat berdasarkan perhitingan luas galian dan timbunan. Berikut
daftar pembantu daftar pekerjaan tanah

Tabel 6. Daftar Pekerjaan Tanah

Titik Jarak Luas Penampang Luas Penampang Rata- Volume


Profil (m) Melintang (m²) rata (m²) (m³)
Galian Timbunan Galian Timbunan Galian Timbunan
A 38,9425 0
96 19,4712 31,7 1.869,23 3.043,2
1 0 63,4
42 0 48,71 0 2.045,82
2 0 34,02
98 0 55,57 0 5.445,86
3 0 77,12
44 0 90,3 0 3.973,2
4 0 103,48
32 0 98,7 0 3.158,4
5 0 93,92
52,35 0 68,21 0 3.570,79
6 0 42,5
52,35 0,019025 22,52 0,9959 1.178,92
7 0,03805 0
68 48,9702 1,27 3.329,97 86,38
8 97,9025 0
70 48,95125 20,42 3.426,5875 1.429,4
9 0 40,84
8 0,48 21,2102 3,84 169,68
B 0,96 1,5805
Total 8.630,62 24.101,65

B. Analisis Biaya
Besarnya biaya yang telah ditentukan untuk kegiatan pekerjaan tanah per meter kubik
adalah :
Besar biaya galian per meter kubik = Rp. 105.000,-
Besar biaya timbunan per meter kubik = Rp. 97.000,-

Biaya galian = Total volume galian x biaya galian

36
= 8.630,62 x 105.000

= Rp 906.215,100,-

Biaya timbunan = Total volume timbunan x biaya timbunan

= 24.101,65 x 97.000

= Rp 2.337.860,050,-

Total Biaya Keseluruhan = Rp 906.215,100,- + Rp 2.337.860,050,-

= Rp 3.244.075,150,-

( Tiga miliar dua ratus empat puluh empat juta, tujuh puluh lima ribu seratus lima puluh
rupiah )

37
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari kegiatan perencanaan pembuatan trace jalan yang telah dilakukan dapat disimpulkan :

 Jumlah titik profil sebanyak 11 titik, termasuk A dan B


 Panjang jarak langsung dari titi A ke B adalah sepanjang 562,7 m
 Semakin banyak atau besar galian dan timbunan, semakin besar pula volume dan biaya
pekerjaannya.

Biaya timbunan lebih tinggi yaitu senilai Rp 2.337.860,050,- dan sedangkan biaya galian senilai
Rp 906.215,100,- .

Jadi, total biaya keseluruhan yaitu senilai Rp 3.244.075,150,-

B. Saran
1. Sebisa mungkin menghindari jalur pegunungan.
2. Kegiatan pembuatan trace harus dilakukan secara teliti, agar dari peta dan
kenampakan asli dilapangan sesuai dengan apa yang direncanakan. Ini sangat
berpengaruh dalam biaya Pembukaan Wilayah Hutan.
3. Biaya yang dikeluarkan di usahakan seminim mungkin, namun dengan tetap
memperhatikan kualitas yang baik pula.

38
DAFTAR PUSTAKA

Elias. 2012. Pembukaan Wilayah Hutan. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor.

Dissmeyer, .G.E. dan R.f. Stump. 1978. predicted erosion. rates for forest management activities
and conditions samnled in Southeast. USDA Forest Service, State and Private Forestry,
Southem Ares, Atlanta.

Kirby, M. 1973. An example of optimal planning for forest roads and projects. in: Planning and
Decision Making as Applied to Forest Harvesting. School of Forestry, Oregon State
University, Corvallis, Oregon. pp. 83.

Kochenderfer, J.N. 1977. Area in skid roads. truck roads, and landings in central Appalachians.
Jour forestry: 507-508

Tinambunan, D. 1990. Identifikasi permasalahan yang di hadapi dewasa ini dalam pemanenan
hutan di luar Jawa. Jour. Penelitian Hasil Hutan 8(3):88-94.

https://foresteract.com/pembukaan-wilayah-hutan-pwh/

http://bacazeuz.blogspot.com/2014/02/pembukaan-wilayah-hutan.html

39

Anda mungkin juga menyukai