AGUS ADHARI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN PANCA BUDI
Abstrak
DPRD sebagai lambang kedaulatan rakyat daerah dengan sistem perwakilan sesuai sila
keempat Pancasila memiliki hak untuk menentukan siapa kepala daerah yang akan
memimpin. Karena sistem pemerintahan daerah tidak menganut sistem presidensial
dimana kepala daerah harus dipilih langsung. Pilkada langsung akhirnya membentuk
dualisme kepemimpinan, padahal kepala daerah dan DPRD merupakan unsur
penyelenggara pemerintahan daerah. Pilkada langsung seperti menutup celah kearifan
lokal dalam menentukan konsep demokrasi lokal. Model pemilihan langsung saat ini
juga tidak mematangkan proses demokrasi malah menciptakan masalah baru dalam
kehidupan masyarakat. Model pilkada yang ideal adalah mampu mengangkat unsur
kearifan lokal dan atau menyerahkan kembali pada DPRD selaku pemegang amanat
rakyat.
Keyword ; DPRD, Sistem Pemerintahan Daerah, Pilkada
A. Pendahuluan
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan mekanisme pemilihan
calon pemimpin daerah, dimana kepala daerah menjadi penentu dalam
melahirkan kebijakan daerah bersama-sama dengan Dewan Pewakilan Rakyat
Daerah (DPRD). Kepala Daerah memiliki peran penting dalam mengelola
daerah, karena kepala daerah sebagai pemerintah daerah harus
bertransformasi menjadikan daerahnya unggul baik secara ekonomi maupun
pembangunan pendidikan dan kebudayaan.
DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat daerah menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari pemerintahan daerah sesuai dengan Pasal 19 (2) UU
No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang berbunyi
“Penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD.
Abcarian dan Masannat mengatakan bahwa fungsi utama legislatif terkait
dengan pembuatan kebijakan publik yang mewakili kepentingan publik atau
masyarakat dimana kewenangan atau kekuasaan anggota legislatif tersebut
tentunya bervariasi antara sistem politik yang satu dengan yang lainnya, dan
kewenangan itu meliputi pengawasan terhadap pihak eksekutif, melakukan
penyelidikan, memilih, mengubah, dan memberikan pandangan terhadap
perundangan yang berkaitan dengan kepentingan publik, sekaligus
memberikan pelayanan dalam konteks mekanisme politik1
DPRD juga memiliki tiga fungsi dalam konsep parlementarisme.
Pertama, fungsi perwakilan, sebagai lembaga wakil rakyat yang merupakan
representasi rakyat dalam pemerintahan DPRD memegang kedudukan sebagai
1
pemegang kedaulatan rakyat daerah dalam sistem perwakilan. Kedua, fungsi
pembuat kebijakan (Legislasi), fungsi ini merupakan fungsi DPRD sebagai
parlemen daerah dalam merumuskan kebijakan daerah bersama kepala
daerah. Ketiga, fungsi pengawasan (monitoring) dimana parlemen yang
merupakan lembaga perwakilan memiliki kewenangan kontrol terhadap
proses peradilan.2
Pada Pasal 292 (1)dan Pasal 343 (1) UU No. 27 Tahun 2009 tentang
MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) menyatakan jika DPRD Provinsi,
Kabupaten/Kota memiliki tiga fungsi yaitu; fungsi legislasi, anggaran dan
pengawasan. Ketiga fungsi tersebut sama dengan fungsi yang dimiliki oleh
DPR Pusat. Jadi dalam hal kewenangan DPRD sedikit memiliki kewenangan
yang sama, hanya wilayah kewenangan hanya di tingkat daerah sesuai
tingkatan.
Sebelum Undang-Undang tentang pemerintahan daerah diubah dari UU
No 22 Tahun 1999 menjadi UU No. 32 Tahun 2004, DPRD memiliki
kewenangan memilih kepala daerah, hal ini tertulis dalam Pasal 18 (1) a UU
No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahn Daerah, bahkan kewenangan DPRD
lebih luas lagi ditambah memilih anggota MPR pusat sebagai utusan daerah.
Namun sejak diubah, DPRD tidak lagi memilih kepala daerah baik
tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. DPRD berubah menjadi bagian dari
pemerintahan daerah, dimana posisinya sama kuat dengan kepala daerah
karena kepala daerah dipilih langsung.
Pemilihan kepala daerah langsung seperti meniru kesuksesan
pemilihan umum presiden Tahun 2004 dimana presiden menjadi pemimpin
pilihan rakyat, konsep pemilihan presiden langsung merupakan konsekwensi
amandemen konstitusi yang merubah sistem perintahan ke arah presidensial
dimana presiden memang dipilih langsung. Dalam sistem pemerintahan
Indonesia dikenal pula distribution of power bukan saparation of power
seperti yang dikemukakan Montesque, guna menciptakan keseimbangan
presiden harus dipilih langsung sehingga kedudukannya sama dengan
legislatif. Daerah bukan merupakan unit yang terpisah dari negara, oleh
karena itu konsep pemisahan kekuasaan tidak tergambarkan dalam UU
pemerintahan daerah, dan pemilihan langsung kepala daerah tidak tepat
karena sistem pemerintahan presidensial tidak berlaku dalam sistem
pemerintahan daerah, sehingga daerah seharusnya lebih diarahkan pada
konsep pemilihan asimetris. Bila merujuk pada Pasal 18 (4) UUD NRI 1945
tentu model pemilihan diberikan kebebasan pada daerah, mengingat
penduduk Indonesia yang heterogen. Pembangunan daerah seharusnya
difokuskan pada pembangunan budaya, sehingga konsep pemerintahan tidak
bertentangan dengan konsep budaya yang telah lama hidup.
Penyeragaman model pemilihan kepala daerah yang termaktub dalam
Pasal 24 UU No 32 tahun 2004 tidak menjawab keberagaman dan kekhususan
daerah yang otonom dalam menentukan model pemilihan kepala daerah.
DPRD yang merupakan representasi rakyat seperti kehilangan
legitimasi atas pemilihan kepala daerah, dan pemerintah daerah seperti
2 Hessel Nogi Tangkilisan, Menajemen Publik,Cetakan Kedua (Jakarta: Grasindo, 2007) hlm. 45.
2
lembaga eksekutif daerah padahal antara DPRD dan Pemerintah Daerah
merupakan satu kesatuan.
3
Disisi lain DPRD, tidak lagi mempunyai kewenangan untuk menjatuhkan
kepala daerah jika terjadi penyimpangan, demikian pula fungsi legislasi yang
harus diputuskan bersama dengan Kepala Daerah, yang seharusnya menjadi
kewenangan DPRD sebagai pemegang kekuasaan legislatif. Dengan demikian
posisi Kepala Daerah menjadi lebih kuat dibandingkan dengan lembaga
legislatif.3
Lebih jauh Enny Nurbaningsih membedakan penyelenggaraan
pemerintahan daerah antara UU No 22 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004
sebagai berikut:4
Unsur UU No 22 Tahun 1999 UU No 32 tahun 2004
Hubungan Tidak ada hubungan Adanya hubungan antar satuan
Antar satuan hirarki antarsatuan pemerintahan dalam
pemerintahan. Pasal 4 (1) penyelenggaraan urusan. Pasal
2 (3)
Pembagian Terpisah antara Terbagi menjadi:
Kewenangan 1. Kewenangan Pusat 1. Kewenangan Mutlak
2. Kewenangan Pusat
Provinsi 2. Kewenangan concurent
3. Kewenangan utuh (Pusat, Provinsi,
Kabupaten/Kota Kabupaten/Kota)
Pola 1. Geeral Competence Ultra Vires (terinci dengan sifat
Pembagian (terbatas) meluas)
Urusan 2. Diserahkan penuh
ke daerah
Pengawasan 1. Tidak ada 1. Pengawasan preventif
pengawasan kuat
preventif 2. Pengawasan represif
2. Pengawasan kuat
represif lemah
Kedudukan Lembaga legislatif daerah Keduanya adalah unsur
DPRD pemerintahan daerah
Kedudukan Lembaga Eksekutif Daerah
Pemerintah
Daerah
Proses Langsung berlaku setelah Untuk perda tertentu (APBD,
perda disetujui DPRD dan KDH Pajak, retribusi dan tata ruang)
berlaku setelah ada pengesahan
pusat. Peraturan pelaksanaan
memperluas perda yang tidak
tertentu dimintaan pengesahan
berjenjang
3 R. Widodo Trisaputra, Supardal, Pembaruan Otonomi Daerah, (Yogyakarta : APMD Press, 2005) hlm.
67
4 Enny Nurbaningsih. Aktualisasi Pengaturan Wewenang Mengatur Urusan Daerah Dalam Peraturan
Daerah, Ringkasan Disertasi Program Pascasarjana Fak Hukum Universitas Gadjah Mada, 2011, hlm
27-28.
4
C. Kedudukan DPRD dalam Sistem Pemerintahan Daerah
Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari 34 provinsi dan 520
kabupaten/kota sampai dengan Maret 2014,5 dimana setiap provinsi dan
kabupaten kota merupakan daerah otonom sesuai dengan Pasal 18 (2) UUD
NRI 1945.
Setiap daerah otonom dalam kerangka negara kesatuan Indonesia
memiliki DPRD yang dipilih dalam pemilihan umum. Ketentuan ini terdapat
dalam Pasal 18 (3) UUD NRI 1945, dan ini menunjukan jika teori perwakilan
dikenal hingga satuan pemerintahan daerah dan mengukuhkan eksistensi
DPRD sebagai cermin kedaulatan rakyat di daerah, lembaga perwakilan
daerah (DPRD) muncul sebagai representasi rakyat yang tidak mungkin
mengelola negara karena jumlah yang sangat besar dan kehidupan yang
kompleks sehingga dimandatkan pada sebuah lembaga perwakilan.6
Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Hatta “Kedaulatan rakyat
adalah kekuasaan yang dijalankan oleh rakyat atau atas nama rakyat di atas
dasar permusyawaratan”.7 Meskipun menurut A.F Polard lembaga perwakilan
bukan merupakan produk demokrasi melainkan produk feodal.8
DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang dipilih lima
tahun sekali dalam pemilihan umum. Dalam Pasal 22E UUD NRI 1945
disebutkan jika pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota
DPR, DPR Presiden/wakil presiden dan DPRD. Konstitusi mengatur langsung
mekanisme pemilihan anggota DPRD melalui pemilihan langsung oleh rakyat,
sehingga sistem perwakilan dibangun mulai dari tingkat pusat hingga daerah.
mekanisme ini merupakan perwujudan dari sila keempat yaitu “kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan”. Konsep kedaulatan rakyat yang dianut adalah kedaulatan rakyat
yang menjelama menjadi perwakilan di parlemen.
Jika dikaitkan dengan kedudukan kepala daerah, mekanisme pemilihan
kepala daerah tidak diatur langsung dalam konstitusi melainkan hanya bentuk
umum jika kepala daerah dipilih secara demokratis, hal ini memberikan
kebebasan pada peraturan dibawahnya (further regulation) untuk
membentuk sistem pemilihan berbasis demokrasi lokal yang dianggap relevan
dengan perkembangan daerah.
Namun bentuk demokrasi lokal disamakan seluruh Indonesia lewat
tafsir pada prasa “dipilih secara demokratis” dan dituangkan dalam konsep
pemilihan langsung. Jika dilihat konsep pemilihan langsung kepala daerah
bukan didasari oleh lahirnya UU No 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
Aceh, melainkan suksesi pemilihan Presiden 2004. Perlahan karena dianggap
sukses, pemilihan presiden menjadi cermin pemilihan kepala daerah yang
belum mencerminkan posisinya sebagai pemerintah daerah, maka diadopsilah
5
UU No 12 tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD dan UU No 23
tahun 2003 dalam UU No 32 tahun 2004.9
Dalam pemilihan umum, posisi DPRD merupakan lembaga yang
langsung mendapatkan posisi hak untuk dipilih dalam pemilihan langsung,
sehingga memberikan legitimasi jika DPRD merupakan lembaga perwakilan
rakyat daerah. Lantas kedudukan kepala daerah tidak dimasukan dalam
pemilihan umum karena dianggap bukan bagian terpisah dari pemerintahan
daerah, dalam arti DPRD sebagai representasi rakyat berhak menentukan
siapa kepala daerah.
Kedudukan DPRD memiliki peran penting di daerah, sebagai lembaga
perwakilan DPRD memegang mandat rakyat untuk membangun daerah, jadi
tugas DPRD bukan hanya semata pada tiga fungsi saja. Lebih dalam DPRD
memiliki tanggungjawab sebagai lembaga perwakilan yang bertanggungjawab
pada rakyat setiap lima tahunnya, dan pertanggungjawaban DPRD pada rakyat
dilakukan secara langsung pada konstituennya, begitu pula sanksi yang
didapat adalah tidak terpilih lagi pada pemilu berikutnya.
Sebagai lembaga perwakilan, DPRD memiliki kewenangan kontrol atas
pemerintah daerah dalam hal pertanggungjawaban. Laporan
pertanggungjawaban kepala daerah, selain dilaporkan pada Presiden/
Mendagri juga harus dilaporkan pada DPRD sebagai kontrol pada pelaksanaan
program kepala daerah dalam tiap pengajuan dan laporan APBD pada masa
satu tahun (Pasal 27 (2) dan (3) UU No 32 Tahun 2004). Kontrol ini
dimaksudkan sebagai penilaian kinerja pemerintah daerah oleh rakyat yang
direpresentasikan oleh DPRD.10
9 Indra Bastian, Akutansi Sektor Publik: Suatu Pengantar. (Jakarta: Erlangga, 2005) hlm. 400
10 Fadel Muhammad, Reinventing Local Government: Pengalaman dari Daerah. (Jakarta: Kompas
Gramedia, 2008) hlm. 20
11 Pasal 12 UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Aceh, pada saat pemberlakuan Pemilihan
langsung kepala daerah, hanya Aceh yang telah memiliki dasar hukum untuk melaksanakannya. Hal itu
terjadi pada tahun 2001, dimana pemilihan kepala daerah langsung serentak di Indonesia baru terjadi
Tahun 2005.
6
mekanisme pemilihan Kepala Daerah langsung dimulai pada Juni 2005 sebagai
Pilkada langsung pertama yang dananya berasal dari APBN dan APBD.12
Proses Pilkada langsung memiliki beberapa tahap, berdasarkan UU No.
32 Tahun 2004 Jo. UU No 12 tahun 2008, UU No 22 tahun 2007, UU Partai
Politik dan Further Regulation-nya menjelaskan jika proses pilkada terdiri dari
proses mendapatkan dukungan dari partai atau gabungan partai politik,
proses seleksi administratif di dan politis di internal partai atau gabungan
partai politik, proses seleksi administratif di KPUD untuk menetapkan calon
kepala daerah sebagai peserta pilkada. Kemudian dilanjutkan dengan tahap
pembentukan tim sukses dan menggalang masa, proses kampanye dan
terakhir pencoblosan.13
Calon peserta Pilkada dalam UU No 32 tahun 2004 Jo UU No 12 tahun
2008 tidak hanya berasal dari partai politik, melainkan dari kalangan
Independen (Lihat Pasal 59 (1) UU No 12 tahun 2008). Bagi calon dari partai
politik harus mendapatkan dukungan 15% jumlah kursi DPRD atau 15% suara
sah dalam pemilihan anggota DPRD, sementara calon Independen harus
mendapatkan dukungan suara sebagai berikut;
Gubernur (%) Bupati/Walikota (%)
<2 juta Jiwa (6,5%) <250.000 Jiwa (6,5%)
2 juta-6 juta (5%) 250.000-500.000 Jiwa (5%)
6 Juta-12 Juta (4%) 500.000-1000.000 Jiwa (4%)
>12 Juta (3%) >1.000.000 Jiwa (3%)
12 Sri Nuryati, Pilkada Langsung: Memperkuat Demokrasi Lokal?, Dalam Ambiguitas Perdamaian (Pusat
Penelitian politik LIPI, 2006), hlm 31.
13 Johny Lumolos, Sikap Pemilih Terhadap Pasangan Calon Kepala Daerah Menjelang Pilkada Langsung
di Kota Bitung, Jurnal Penelitian Politik LIPI Vol. 4 No 1, 2007, hlm 34.
14 Lili Romli, Evaluasi Pilkada Langsung dalam Democrazy Pilkada, (Pusat Penelitian Politik LIPI, 2007),
hlm. 2.
7
Konsistensi penyelenggaraan pilkada langsung mengikuti sistem
presidensial yang dianut negara Indonesia. Dan konsistensi ini berbeda jika
dilihat dari Pemilihan Presiden diatur langsung dalam Pasal 6A UUD 1945,
sedangkan Pemilihan Kepala Daerah diatur dalam Pasal 18 (4) UUD 1945 dan
harus ditafsir ulang dalam Undang-undang.15
Dalam sistem presidensial ditandai dengan pemilihan langsung
Presiden dan DPR oleh rakyat sebagai bentuk Checks and Balances, tentu harus
ditelusuri apakah penting penyeragaman sistem pemerintahan pusat dan
daerah mengingat daerah Indonesia tidak menganut asas sentralisasi
melainkan desentralisasi. Tiap daerah bebas menjalankan rumah tangga
daerah sendiri.16 Asas Desentralisasi yang di anut memberikan keleluasaan
daerah untuk menentukan masa depannya dengan tujuan mengembangkan
potensi daerah menjadi daerah yang mandiri baik dari infrastruktur maupun
sumberdaya manusianya. Dengan demikian penerapan sistem presidensial
ditingkat daerah dapat menimbulkan negara baru dalam negara dan hal ini
sudah jauh diantisipasi.
Dalam konsep negara kesatuan, yang bedaulat adalah negara bukan
daerah, daerah hanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam negara
kesatuan. Rosseau berpendapat jika kedaulatan memiliki empat sifat yaitu;17
Pertama, Unity (Kesatuan), dalam hal ini negara yang memiliki
kedaulatan atas semua wilayah yang berada dalam sebuah negara. Kedua,
Indivisibelite yang berarti bulat tidak terbagi, kedaulatan sebuah negara tidak
terbagi baik dalam bentuk desentralisasi. Ketiga, inalienabilite atau tidak
dapat dialihkan pada siapapun, termasuk pada daerah dala negara yang
berdaulat seperti Indonesia. Keempat, imprescriptibilite yang berarti
kedaulatan tidak dapat berubah, kedaulatan di Indonesia adalah kedaulatan
rakyat, dengan demikian kedaulatan rakyat tidak dapat berubah.
Dengan demikian, sangat jelas jika alasan diberlakukannya Pilkada
langsung adalah konsistensi sistem presidensial maka konsep ini melahirkan
negara di dalam negara dan negara kesatuan republik Indonesia didirikan
bukan untuk itu.
Sistem pemerintahan daerah tidak memiliki desain seperti
pemerintahan pusat, karena daerah di Indonesia menjalankan pemerintahan
dengan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan medebewind yaitu pembagian,
pelimpahan dan tugas pembantuan dari pemerintah pusat pada pemerintah
daerah. Daerah hanya menjalankan kewenangan diluar kewenangan
pemerintah pusat yang enam, yaitu Politik Luar Negeri, Pertahanan,
Keamanan, Fiskal Dan Moneter, Yustisi dan Agama. Sementara itu kewenangan
pemerintah daerah dirangkum dalam Pasal 13 dan 14 UU No. 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah.
Kewenangan Presiden dan Kepala Daerah, DPR dan DPRD secara
substansi juga berbeda, walaupun dilihat sekilas pelaksanaan kinerja
pemerintahan daerah dapat dilakukan secara mutatis mutandis. Namun secara
15 AM. Fatwa, Potret Konstitusi Pasca Amandemen, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2009), hlm xiii.
16 Khrisna Darumuti, Umbu Rauta, Otonomi Daerah: Perkembangan dan Pelaksanaan, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2000), hlm. 16.
17 Jimly Assiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, (Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan
8
hakiki perbedaan dapat dilihat dari struktur pemerintahan pusat yang terdiri
dari menteri, lembaga independen, kepolisian, pertahanan.
Hal yang paling paling fundamental adalah distribution of power di
pemerintahan pusat tidak terdapat pada pemerintahan daerah. Tiga cabang
kekuasaan yang menggambarkan trias politica yang terbagi dalam Eksekutive
(Presiden), Legislative (DPR dan DPD), Judikative (MK, MA, KY), meskipun
UUD 1945 tidak ada menyimpulkan trias politica, tapi karena UUD Indonesia
menganut demokrasi konstitusionil, maka Indonesia dapat disimpulkan
menganut trias politica dalam artian pembagian kekuasaan.18
Pembagian kekuasaan inilah yang tidak terdapat dalam pemerintahan
daerah, dan atas dasar itu dapat disimpulkan jika sistem presidensial tidak
berlaku di daerah.
18 Mirriam Budihardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 157.
19 Masyarakat Sunda dan Jawa dari sisi kebahasaan memang heterogen, namun bila dituinjau dari
aspek etnografis Jawa dan Sunda bersifat homogen. Lihat Alo Liliwer, Makna Budaya dalam Komunitas
Antarbudaya, Cetakan Kedua (Yogyakarta: LkiS, 2007), hlm 157.
20 Lili Romli, Evaluasi Pilkada Langsung, hlm. 1
9
banyak persoalan. Menurut dia, pemerintahan menjadi tidak efektif karena
kurangnya koordinasi antara gubernur, bupati dan walikota.21
Beberapa masalah lain terkait Pilkada langsung adalah kurang
demokratis, dan bahkan tidak dapat dikategorikan sebagai pemilik suara
rakyat. Terjadi penistaan terhadap kedaulatan rakyat. Hal ini dapat dilihat dari
jumlah pemilih dalam Pilkada.
Data memberikan tingkat pemilih semakin berkurang setiap agenda
Pilkada di daerah-daerah. Dari data tahun 2008 sampai 2013, NTT 80,47%
menjadi 78%, Jabar 67,31% menjadi 63%, dan yang paling terendah adalah
Sumut dari 59,13% menjadi 48,5 % penduduk yang memberikan hak
politiknya pada Pilgubsu kemarin (Litbang Kompas). Hasil Pilkada Kaltim juga
mengalami masalah, terdapat 45% pemilih tidak memberikan suaranya alias
golput. Banyak aspek yang dinafikan dalam hal ini, kedaulatan rakyat semakin
disingkirkan, jika asumsi calon pemilih di Sumut 100% maka kedaulatan
rakyat minimal di atas 50%, namun data menunjukan hanya 48% pemilih
yang memberikan suaranya. Ada pembangkangan terhadap kedaulatan rakyat
yang dilapisi kata demokrasi di dalamnya. Tingkat pemilih secara nasional
juga mengalami kemerosotan tajam dari tahun ke tahun. Dari tahun 2006
(75,35%), 2007 (70,16%), 2008 (68,23%), 2010 (67,72%), 2011 (71,78%),
2012 (68,48 %) dan Tahun 2013 (65,63%). Sungguh angka yang semakin kecil
dan kedaulatan rakyat juga terus digerus demokrasi yang tidak berbatas.22
Konsep pemilihan kepala daerah kembali pada DPRD diakui masih
mengalami kelemahan, namun pilkada langsung malah menimbulkan masalah
baru dan korupsi serta jual beli suara. Dan tentunya meningkatkan intensitas
gugatan sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi.23
Mekanisme Pilkada oleh DPRD juga dapat menekan angka golput,
karena pemilihan kepala daerah dipilih oleh anggota DPRD. Kemudian
mencegah politik uang dikalangan masyarakat, sejak Pilkada langsung bergulir
banyak terjadi praktek uang dan kampanye hitam. Walaupun Pilkada langsung
telah bergulir politik uang semakin besar bermain, mulai dari membeli
dukungan partai-partai pendukung hingga jelas dicalonkan dari partai.24
Pilkada oleh DPRD dapat menekan biaya kampanye yang besar hingga
meminimalisir dana-dana tidak jelas, termasuk dana dari pihak ketiga yang
banyak menjerat kepala daerah dalam kasus pelanggaran hukum.25
21 “Alasan Pemerintah Ngotot Kepala Daerah Harus Dipilih DPRD”, Merdeka, 27 Februari 2014.
22 Agus Adhari. “Lampu Merah Demokrasi” www.waspadamedan.com, diakses pada 5 April 2014.
23 “Ketidakpuasan Terhadap Pilkada Meningkat”, Republika, 2 Januari 2013.
24 Riwanto Titosudarmo, Mencari Indonesia: Demografi Politik Pasca Soeharto, (Jakarta: LIPI Press,
10
atas 51%, namun suara kandidat tidak ada yang mencapai 30% suara sah,
pemilihan putaran kedua dilakukan oleh DPRD.Kedua, jika proses pemilihan
sudah matang, maka peralihan dapat dilakukan secara menyeluruh, dimana
kepala daerah dipilih langsung oleh DPRD dengan syarat mendapat dukungan
suara seperti pada pemilihan calon Independen, kemudian kandidat
membangun dukungan dengan partai pendukung untuk dipilih pada masa
pemilihan.
Konsepnya adalah setiap warga negara berhak menjadi kepala daerah
baik berasal dari partai politik maupun non partai politik, dengan demikian
kekhawatiran terhadap hilangnya kesempatan calon independen untuk maju
dapat diminimalisir.
Konsep selanjutnya adalah, memberikan kebebasan bagi daerah dalam
menentukan mekanisme pemilihan kepala daerah, selama masih menekankan
prinsip kearifan lokal yang masih hidup dan berkembang dalam suatu sistem
masyarakat. Ringkasnya, model pemilihan kepala daerah asimetris merupakan
salah satu pilihan menjawab makna “dipilih secara demokratis”.
G. Kesimpulan
11
Kedua, jika proses pemilihan sudah matang, maka peralihan dapat
dilakukan secara menyeluruh, dimana kepala daerah dipilih langsung oleh
DPRD dengan syarat mendapat dukungan suara seperti pada pemilihan calon
Independen, kemudian kandidat membangun dukungan dengan partai
pendukung untuk dipilih pada masa pemilihan.
Ketiga, Pilkada simetris yang memberikan keleluasaan pada daerah
menentukan mekanisme pemilihan kepala daerah, selama berkaitan dengan
kearifan lokal yang masih hidup dan berkembang dalam sistem masyarakat
adat.
DAFTAR PUSTAKA
12
- Tangkilisan, Hessel Nogi, 2007, Menajemen Publik,Cetakan Kedua Jakarta:
Grasindo.
- Titisudarmo, Riwanto, 2007, Mencari Indonesia: Demografi Politik Pasca
Soeharto, Jakarta: LIPI Press.
- Trisaputra, R. Widodo , Supardal, 2005, Pembaruan Otonomi Daerah,
Yogyakarta: APMD Press.
Artikel
- Agus Adhari. “Lampu Merah Demokrasi” www.waspadamedan.com,
diakses pada 5 April 2014.
- JPNN, “Jumlah Daerah Otonom di Indonesia Harus Dikunci”, 6 April 2014.
- Merdeka, “Alasan Pemerintah Ngotot Kepala Daerah Harus Dipilih DPRD”,
27 Februari 2014.
- Padang ekspres“awasi Dana Kampanye Haram”, 8 Oktober 2013.
- Republika, “Ketidakpuasan Terhadap Pilkada Meningkat”, 2 Januari 2013.
Undang-undang
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Aceh
Undang-Undang No 12 tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR,DPD,DPRD
Undang-Undang No 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden
Undang-Undang No. 22 tahun 2009 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No. 22 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan
Umum
Undang-Undang No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan UU Pemda
Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentan MD3
Biografi Singkat
Agus Adhari S.H., LL.M lahir di Pangkalan Berandan 01 Agustus 1987, menyelesaikan
pendidikan Strata Satu di Fakultas Syariah Jurusan Politik dan Ketatanegaraan Islam
IAIN Sumut dan Fakultas Hukum Universitas Alwashliyah Medan pada Tahun 2010
dan melanjutkan studi Magister Ilmu Hukum Kluster Hukum Tata Negara di Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta selesai tahun 2012. Saat ini berkerja
sebagai staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Panca Budi, dan
mengampu mata kuliah Hukum Tata Negara dan Hukum Pemerintahan Daerah. Selain
sebagai pengajar, juga aktif menulis jurnal meneliti serta menulis di berbagai media
masa.
13