Anda di halaman 1dari 10

1

HUBUNGAN INTERNASIONAL

Hubungan Internasional (HI; sering disebut Studi Internasional (SI), meski keduanya tidak sama)
adalah ilmu yang mempelajari hubungan antarnegara, termasuk peran sejumlah negara, organisasi
antarpemerintah (IGO), organisasi nonpemerintah internasional (INGO), organisasi non-pemerintah
(NGO), dan perusahaan multinasional (MNC). HI merupakan sebuah bidang akademik dan kebijakan
publik dan dapat bersifat positif atau normatif, karena keduanya berusaha menganalisis dan merumuskan
kebijakan luar negeri negara-negara tertentu. HI sering dianggap sebagai cabang ilmu politik (khususnya
setelah tata nama UNESCO tahun 1988), tetapi pihak akademisi lebih suka menganggapnya sebagai
bidang studi yang interdisipliner. Aspek-aspek hubungan internasional telah dipelajari selama ribuan tahun
sejak masa Thucydides, tetapi baru pada awal abad ke-20 HI menjadi disiplin yang terpisah dan tetap.[1]

Berbeda dengan ilmu politik, HI menggunakan berbagai bidang ilmu seperti ekonomi, sejarah, hukum
internasional, filsafat, geografi, kerja sosial, sosiologi, antropologi, kriminologi, psikologi, studi gender,
dan ilmu budaya/kulturologi. HI mencakup rentang isu yang luas, termasuk globalisasi, kedaulatan negara,
keamanan internasional, kelestarian lingkungan, proliferasi nuklir, nasionalisme, pembangunan ekonomi,
keuangan global, terorisme, kejahatan terorganisasi, keamanan manusia, intervensionisme asing, dan hak
asasi manusia.

Sejarah
Sejarah hubungan internasional dapat ditelusuri hingga ribuan tahun yang lalu; Barry Buzan dan Richard
Little, misalnya, menganggap interaksi antara beberapa negara-kota kuno di Sumeria, yang berawal pada
tahun 3.500 SM, sebagai sistem internasional paling dewasa pertama di dunia.[2]

Potret resmi Raja Władysław IV dengan pakaian model Prancis, Spanyol, dan Polandia yang
merefleksikan kerumitan politik Persemakmuran Polandia-Lituania selama Perang Tiga Puluh Tahun

Sejarah hubungan internasional berdasarkan negara berdaulat dapat ditelusuri hingga Perdamaian
Westfalen (Westphalia) tahun 1648, sebuah batu loncatan dalam perkembangan sistem negara modern.
Sebelumnya, organisasi otoritas politik Eropa abad pertengahan masih didasarkan pada ordo keagamaan
hierarkis yang tidak jelas. Berlawanan dengan kepercayaan masyarakat, Westfalen (Westphalia) masih
menerapkan sistem kedaulatan berlapis, khususnya di dalam Kekaisaran Romawi Suci.[3] Selain
Perdamaian Westfalen (Westphalia), Traktat Utrecht tahun 1713 dianggap mencerminkan suatu norma
baru bahwa negara berdaulat tidak memiliki kesamaan internal di dalam wilayah tetapnya dan tidak ada
penguasa luar yang dapat menjadi penguasa mutlak di dalam perbatasan sebuah wilayah berdaulat.[butuh
rujukan]

Tahun-tahun antara 1500 hingga 1789 menjadi masa kebangkitan negara-negara berdaulat yang merdeka,
institusionalisasi diplomasi dan angkatan bersenjata. Revolusi Prancis turut menambahkan ide baru bahwa
yang dapat ditetapkan sebagai berdaulat bukanlah pangeran atau oligarki, tetapi warga negara yang
didefinisikan sebagai bangsa. Suatu negara yang bangsanya berdaulat dapat disebut sebuah negara-bangsa
(berbeda dengan monarki atau negara keagamaan). Istilah republik mulai menjadi sinonimnya. Sebuah
model alternatif negara-bangsa dikembangkan sebagai tanggapan atas konsep republik Prancis oleh bangsa
Jerman dan lainnya, yang bukannya memberikan kedaulatan kepada warga negara, malah
mempertahankan pangeran dan kerajaan, tetapi menetapkan kenegarabangsaan dalam hal etnolinguistik,
sehingga menetapkan ide yang jarang terwujud bahwa semua orang yang mempertuturkan satu bahasa
dimiliki oleh satu negara saja. Klaim yang sama terhadap kedaulatan dibuat untuk kedua bentuk negara-
bangsa. Perlu diketahui bahwa di Eropa saat ini, beberapa negara mengikuti kedua definisi negara-bangsa:
banyak yang melanjutkan sistem kerajaan berdaulat, dan sedikit sekali negara yang homogen etnisnya.

Sistem Eropa yang mengusung kesetaraan kedaulatan negara-negara dibawa ke Amerika, Afrika, dan Asia
melalui kolonialisme dan "standar peradaban" mereka. Sistem internasional kontemporer akhirnya
ditetapkan melalui dekolonisasi selama Perang Dingin. Tetapi, hal ini malah terlalu disederhanakan. Meski
sistem negara-bangsa dianggap "modern", banyak negara belum memberlakukan sistem ini dan dianggap
"pra-modern".
2

Lebih jauh lagi, beberapa negara telah bergerak keluar dari penuntutan kedaulatan penuh, dan dapat
dianggap "pascamodern". Kemampuan kuliah HI kontemporer untuk menjelaskan hubungan antara jenis-
jenis negara ini masih diragukan. "Tingkat analisis" adalah cara memandang sistem internasional, yang
mencakup tingkat individual, kondisi domestik sebagai satu kesatuan, tingkat internasional berupa
persoalan transnasional dan antarpemerintah, dan tingkat global.

Hal yang secara eksplisit diakui sebagai teori Hubungan Internasional belum dikembangkan hingga akhir
Perang Dunia I. Meski begitu, teori HI sudah lama bergantung pada karya ilmu sosial lain. Pemakaian
huruf kapital "H" dan "I" dalam Hubungan Internasional bertujuan untuk membedakan disiplin akademik
Hubungan Internasional dari fenomena hubungan internasional. Banyak orang merujuk The Art of War
karya Sun Tzu (abad ke-6 SM), History of the Peloponnesian War karya Thucydides (abad ke-5 SM),
Arthashastra karya Chanakya (abad ke-4 SM) sebagai inspirasi bagi teori realis, dengan penjelasan yang
lebih dalam oleh Leviathan karya Hobbes dan The Prince karya Machiavelli.

Demikian pula, liberalisme bergantung pada karya Kant dan Rousseau, dengan karya Kant yang sering
dirujuk sebagai penjelasan pertama mengenai teori perdamaian demokratis. Meski hak asasi manusia
kontemporer dianggap berbeda daripada tipe hak asasi yang tergambar dalam hukum kodrat, Francisco de
Vitoria, Hugo Grotius dan John Locke memberikan penjelasan langsung mengenai penetapan universal
terhadap hak-hak tertentu atas dasar kemanusiaan umum. Pada abad ke-20, selain teori kontemporer
internasionalisme liberal, Marxisme telah menjadi dasar hubungan internasional.

Studi HI

Awalnya, hubungan internasional sebagai bidang studi yang terpisah hampir sepenuhnya Britania-sentris.
HI baru muncul sebagai 'disiplin' akademik formal pada tahun 1918 melalui pembentukan jabatan dosen
ilmu HI pertama, Woodrow Wilson Chair di Aberystwyth, Universitas Wales (sekarang Universitas
Aberystwyth[4]) atas sumbangan David Davies, dan menjadi jabatan akademik pertama dalam bidang HI.
Hal ini dengan cepat diikuti oleh pembukaan studi HI di berbagai universitas Amerika Serikat dan Jenewa,
Swiss. Pada awal 1920-an, departemen Hubungan Internasional London School of Economics didirikan
atas sumbangan pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Philip Noel-Baker, dan merupakan institut pertama
yang memiliki berbagai macam gelar dalam bidang ini. Selain itu, departemen Sejarah Internasional di
LSE terus berfokus pada sejarah HI pada periode modern awal, kolonial, dan Perang Dingin.

Universitas pertama yang didirikan khusus studi HI adalah Graduate Institute of International Studies
(sekarang Graduate Institute of International and Development Studies), yang didirikan tahun 1927 untuk
menghasilkan para diplomat yang berhubungan dengan Liga Bangsa-Bangsa, yang didirikan di Jenewa
beberapa tahun sebelumnya. Graduate Institute of International Studies memberikan gelar Ph.D. pertama
dalam bidang hubungan internasional. Edmund A. Walsh School of Foreign Service di Universitas
Georgetown adalah fakultas hubungan internasional tertua di Amerika Serikat; didirikan tahun 1919.
Committee on International Relations di Universitas Chicago adalah institusi pertama yang memberi gelar
sarjana dalam bidang ini pada tahun 1928.

Epistemologi dan teori HI

Teori HI dapat dibagi menjadi dua kelompok epistemologis: "positivis" dan "pascapositivis". Teori
positivis bertujuan untuk mereplikasi metode -metode ilmu alam dengan menganalisis dampak kekuatan
material. Teori tersebut biasanya berfokus pada fitur hubungan internasional seperti interaksi negara,
ukuran pasukan militer, keseimbangan kekuasaan, dll. Epistemologi pascapositivis menolak ide bahwa
dunia sosial dapat dipelajari dengan cara yang objektif dan bebas nilai. Teori ini menolak ide-ide sentral
berupa neo-realisme/liberalisme, seperti teori pilihan rasional, atas dasar bahwa metode ilmiah tidak dapat
diaplikasikan ke dunia sosial dan bahwa 'ilmu pengetahuan' HI mustahil ada.

Perbedaan utama antara kedua posisi tersebut adalah bahwa meski teori positivis, seperti neo-realisme,
memberikan penjelasan yang bersifat sebab (seperti mengapa dan bagaimana kekuasaan dijalankan), teori
pascapositivis berfokus pada pertanyaan yang konstitutif, misalnya apa yang dimaksud dengan
'kekuasaan'; hal apa saja yang menciptakannya, bagaimana kekuasaan dialami dan bagaimana kekuasaan
direproduksi. Teori pascapositivis secara eksplisit sering mempromosikan pendekatan normatif terhadap
HI dengan mempertimbangkan etika. Ini adalah sesuatu yang sering diabaikan oleh HI 'tradisional', karena
teori positivis membuat perbedaan antara 'fakta' dan penilaian normatif, atau 'nilai'.
3

Pada akhir 1980-an dan 1990-an, perdebatan antara kaum positivis dan pascapositivis menjadi perdebatan
yang dominan dan telah disebut sebagai "Perdebatan Besar" Ketiga (Lapid 1989).

Teori positivis

Realisme

Realisme berfokus pada keamanan dan kekuasaan negara di atas segalanya. Para penganut pertama seperti
E.H. Carr dan Hans Morgenthau berpendapat bahwa negara adalah aktor rasional yang egois dan mengejar
kekuasaan, yang berusaha memaksimalkan keamanan dan kemungkinan keselamatan mereka. Kerja sama
antarnegara adalah cara memaksimalkan keselamatan masing-masing negara (berbeda dengan alasan yang
lebih idealis). Sama halnya, tindakan perang apapun harus didasarkan pada kepentingan pribadi, alih-alih
idealisme. Banyak realis memandang Perang Dunia II sebagai pendukung teori mereka.

Perlu diketahui bahwa penulis klasik seperti Thucydides, Machiavelli, Hobbes dan Theodore Roosevelt,
sering disebut sebagai "bapak pendiri" realisme oleh para realis kontemporer.[butuh rujukan] Meski begitu,
sementara karya mereka bisa mendukung doktrin realis, kecil kemungkinannya bahwa mereka telah
mengelompokkan diri sebagai realis (dalam artian ini). Para realis biasanya terpisah menjadi dua
kelompok: Klasik atau Realis Sifat Alami Manusia (seperti yang dijelaskan di sini) dan Struktural atau
Neorealis (di bawah).

Realisme politik yakin bahwa politik, seperti masyarakat pada umumnya, dipimpin oleh hukum objektif
yang berasal dari sifat alami manusia. Untuk memperbaiki masyarakat, pertama mereka perlu memahami
hukum yang menjadi acuan hidup masyarakat. Pelaksanaan hukum-hukum tersebut tidak berubah dengan
pilihan kita, masyarakat akan menantangnya jika muncul risiko kegagalan.

Realisme, yang juga percaya terhadap objektivitas hukum politik, juga harus percaya terhadap
kemungkinan mengembankan sebuah teori rasional yang merfleksikan hukum-hukum objektif ini
sekalipun tidak sempurna dan memihak. Realisme juga percaya pada kemungkinan pemisahan dalam
politik antara fakta dan pendapat-antara apa yang benar secara objektif dan rasional, diperkuat oleh bukti
dan dicerahkan oleh alasan, dan apa yang berupa penilaian subjektif, dipisahkan dari fakta sebagaimana
adanya dan diinformasikan oleh pemikiran yang buruk sangka dan penuh harapan.

Penempatan realisme di bawah positivisme jauh dari keadaan tanpa masalah. What is History karya E.H.
Carr merupakan kritik pribadi terhadap positivisme, dan tujuan Hans Morgenthau dalam Scientific Man vs
Power Politics, sebagaimana judulnya, adalah menghapus semua pendapat bahwa politik
internasional/politik kekuasaan dapat dipelajari secara ilmiah.

Liberalisme/idealisme/Internasionalisme liberal

Teori hubungan internasional liberal muncul setelah Perang Dunia I sebagai respon atas
ketidakmampuan negara-negara untuk mengendalikan dan membatasi perang dalam hubungan
internasional mereka. Para penganut pertamanya meliputi Woodrow Wilson dan Norman Angell, yang
berpendapat keras bahwa negara dapat makmur melalui kerja sama dan bahwa perang bersifat sangat
destruktif serta sia-sia.

Liberalisme belum diakui sebagai sebuah teori yang koheren sampai akhirnya secara kolektif dan
mengejek disebut idealisme oleh E. H. Carr. Sebuah versi baru "idealisme" yang berfokus pada hak asasi
manusia sebagai dasar legitimasi hukum internasional dikemukakan oleh Hans Köchler.

Neoliberalisme

Neoliberalisme mencoba memperbarui liberalisme dengan menerima anggapan neorealis bahwa negara
adalah aktor utama dalam hubungan internasional, tetapi masih mengakui pentingnya aktor non-negara
dan organisasi antarpemerintah (IGO). Pendukung seperti Maria Chattha berpendapat bahwa negara-
4

negara akan saling bekerja sama tanpa memandang hasil relatifnya, dan lebih melihat hasil absolutnya. Ini
juga berarti bahwa bangsa-bangsa, pada dasarnya, bebas membuat pilihan mereka sendiri tentang
bagaimana mereka menjalankan kebijakan tanpa adanya organisasi internasional yang menghalang-
halangi hak sebuah bangsa untuk berdaulat.

Neoliberalisme juga memiliki teori ekonomi yang didasarkan pada pemanfaatan pasar terbuka dan bebas
dengan sedikit intervensi pemerintah, jika ada, untuk mencegah munculnya monopoli dan konglomerat
lain. Saling ketergantungan yang muncul sepanjang dan setelah Perang Dingin melalui institusi
internasional mendorong penetapan neo-liberalisme sebagai institusionalisme; bagian baru dari teori ini
didukung oleh Robert Keohane dan Joseph Nye.

Teori rezim

Teori rezim berasal dari tradisi liberal yang berpendapat bahwa institusi atau rezim internasional
mempengaruhi kelakuan negara-negara (atau aktor internasional lainnya). Teori ini berasumsi bahwa kerja
sama dapat dilaksanakan pada sistem negara yang anarkis. Memang, dilihat dari definisinya, rezim
merupakan contoh kerja sama internasional.

Sementara realisme memperkirakan bahwa konflik harus menjadi norma dalam hubungan internasional,
teoriwan rezim mengatakan bahwa terjadi kerja sama meski bersifat anarki. Mereka sering merujuk pada
kerja sama perdagangan, hak asasi manusia dan keamanan kolektif. Contoh kerja sama ini adalah rezim.
Definisi rezim yang sering dikutip berasal dari Stephen Krasner. Krasner mendefinisikan rezim sebagai
"institusi yang memiliki norma, aturan keputusan, dan prosedur yang memfasilitasi konvergensi
harapan."[kutipan ini butuh rujukan]

Tidak semua pendekatan terhadap teori rezim bersifat liberal atau neoliberal; sejumlah sarjana realis
seperti Joseph Greico telah mengembangan teori hibrid yang mengambil pendekatan berbasis realis
terhadap teori ini yang pada dasarnya liberal. Para realis tidak berkata kerja sama tidak pernah terjadi,
tetapi karena itu bukanlah normanya; kerja sama adalah perbedaan derajat).

Teori pascapositivis/reflektivis

Teori masyarakat internasional (aliran Inggris)


Teori masyarakat internasional, juga disebut Aliran Inggris, berfokus pada norma dan nilai bersama negara-
negara dan bagaimana mereka mengatur hubungan internasional. Contoh-conton norma tersebut adalah
diplomasi, ketertiban, dan hukum internasional. Tidak seperti neo-realisme, teori ini tidak positivis. Para teoriwan
lebih memperhatikan intervensi kemanusiaan, dan terbagi antara solidaris, yang lebih mendukung intervensi, dan
pluralis, yang mendukung ketertiban dan kedaulatan. Nicholas Wheeler adalah solidaris terkenal, sementara
Hedley Bull dan Robert H. Jackson adalah pluralis terkenal.

Konstruktivisme sosial

Konstruktivisme sosial mencakup serangkaian teori yang bertujuan menjawab pertanyaan-pertanyaan


ontologi, seperti perdebatan struktur dan lembaga, serta pertanyaan epistemologi, seperti perdebatan
"material/ideasional" yang memperhatikan peran relatif kekuatan material versus ide. Konstruktivisme
bukan merupakan teori HI dalam artian neo-realisme, tetapi sebuah teori sosial yang lebih bagus dipakai
untuk menjelaskan tindakan-tindakan yang diambil oleh negara dan aktor-aktor besar lain, serta identitas
yang memandu negara dan aktor-aktor ini.

Konstruktivisme dalam HI dapat dibagi menjadi sesuatu yang Hopf (1998) sebut konstruktivisme
'konvensional' dan 'kritis'. Hal yang umum terhadap segala jenis konstruktivisme adalah kepentingan
terhadap peran yang dimainkan kekuatan-kekuatan ideasional. Sarjana konstruktivis ternama, Alexander
Wendt, menulis dalam artikelnya di International Organization tahun 1992 (yang diikuti oleh buku Social
Theory of International Politics (1999)) bahwa "anarki adalah sesuatu yang dihasilkan negara". Dengan
5

ini, ia berusaha mengatakan bahwa struktur anarkis yang diklaim para neo-realis mengatur interaksi negara
faktanya merupakan suatu fenomena yang dibangun secara sosial dan direproduksi oleh negara.

Misalnya, jika sistem ini didominasi oleh negara-negara yang melihat anarki sebagai situasi hidup atau
mati (yang disebut Wendt sebagai anarki "Hobbesian"), sistem tersebut akan ditandai dengan peperangan.
Di sisi lain, jika anarki dilihat sebagai sesuatu yang membatasi (anarki "Lockean"), sistem yang lebih
damai akan tercipta. Anarki dalam pandangan ini dibentuk oleh interaksi negara, alih-alih diterima sebagai
fitur kehidupan internasional yang alami dan kekal sebagaimana dikatakan para teoriwan HI neo-realis.

Teori kritis
Teori hubungan internasional kritis adalah penerapan 'teori kritis' terhadap hubungan internasional. Para
pendukungnya seperti Andrew Linklater, Robert W. Cox dan Ken Booth berfokus pada perlunya emansipasi
manusia dari negara. Karena itu, teori ini "kritis" terhadap teori HI arus utama yang bersifat negara-sentris.

Marxisme

Teori Marxis dan Neo-Marxis HI menolak pandangan realis/liberal terhadap konflik atau kerja sama
negara; mereka berfokus pada aspek ekonomi dan material. Ini menciptakan asumsi bahwa ekonomi
mengalahkan masalah lainnya, sehingga memungkinkan peningkatan kelas menjadi fokus studi. Para
Marxis memandang sistem internasional sebagai satu sistem kapitalis terpadu yang terus menambah
modal. Jadi, masa kolonialisme membawa sumber bahan baku dan pasar terkurung untuk ekspor,
sementara dekolonialisasi membawa kesempatan baru dalam bentuk ketergantungan.

Teori yang terhubung dengan Marxis adalah teori ketergantungan yang berpendapat bahwa negara-negara
maju, dalam mencapai kekuasaannya, menyusup ke negara-negara berkembang melalui penasihat politik,
misionaris, para ahli, dan MNC untuk mengintegrasikan mereka ke sistem kapitalis demi mendapatkan
sumber daya alam yang cukup dan mendorong ketergantungan.

Teoriwan Marxis kurang mendapat perhatian di Amerika Serikat, karena negara tersebut tidak memiliki
partai sosialis besar. Teori ini lebih mencuat di sebagian wilayah Eropa dan merupakan salah satu
kontribusi teori terpenting di kalangan akademisi Amerika Latin, misalnya melalui teologi pembebasan.

Teori kepemimpinan

Sudut pandang kelompok kepentingan


Teori kelompok kepentingan mengatakan bahwa pendorong perilaku negara adalah kelompok kepentingan
subnegara. Contoh-contoh kelompok kepentingan adalah pelobi politik, militer, dan perusahaan. Teori kelompok
berpendapat bahwa meski kelompok-kelompok kepentingan ini konstitutif terhadap negara, mereka juga
merupakan tenaga pendorong pelaksanaan kekuasaan negara.

Sudut pandang strategis


Sudut pandang strategis adalah pendekatan teoretis yang memandang individu memilih tindakan mereka dengan
mempertimbangkan tindakan yang diantisipasi dan respon individu lain dengan tujuan memaksimalkan
kesejahteraan mereka.

Model keyakinan buruk tersirat


"Model keyakinan buruk tersirat" dalam pemrosesan informasi adalah teori psikologi politik yang pertama kali
dikemukakan Holsti untuk menjelaskan hubungan antara keyakinan John Foster Dulles dan model pemrosesan
informasinya.[5] Model ini merupakan model saingan yang paling banyak dipelajari.[6] Sebuah negara dianggap
sebagai musuh, dan segala indikator yang menyatakan sebaliknya justru tidak diakui. Indikator-indikator ini
dianggap sebagai propaganda atau tanda kelemahan. Contohnya adalah sikap John Foster Dulles terhadap Uni
Soviet, atau sikap awal Israel terhadap Organisasi Pembebasan Palestina.[7]
6

Teori pascastrukturalis

Teori pascastrukturalis HI berkembang pada tahun 1980-an dari studi pascamodernis dalam ilmu politik.
Pascastrukturalisme mempelajari dekonstruksi konsep-konsep yang secara tradisional tidak problematis
dalam HI, seperti 'kekuasaan' dan 'lembaga' dan menguji bagaimana pembuatan konsep-konsep ini
membentuk hubungan internasional. Pengujian 'narasi' memainkan peran penting dalam analisis
pascastrukturalis, misalnya karya pascastrukturalis feminis telah menguji peran bahwa 'wanita' turut
berpartisipasi dalam masyarakat global dan bagaimana mereka dibangun dalam perang sebagai sosok
'tidak bersalah' dan 'warga sipil'.

Contoh-contoh penelitian pascapositivis meliputi:

 Feminisme (perang "gender")


 Pascakolonialisme (menantang sifat eurosentrisme HI)
 Pascarealisme (berfokus pada teori HI sebagai retorika ilmiah dan politik)

Konsep
Konjungtur
Dalam pembuatan keputusan hubungan internasional, konsep konjungtur, bersama kebebasan bertindak dan
kesetaraan, adalah elemen penting. Para pembuat keputusan perlu mempertimbangkan rangkaian kondisi
internasional dalam mengambil inisiatif yang akan menghasilkan berbagai jenis respon.

Konsep level sistemik


Hubungan internasional sering dipandang dalam hal level analisis. Konsep level sistemik adalah konsep-konsep
luas yang menetapkan dan membentuk suatu lingkungan internasional yang ditandai dengan anarki.

Kekuatan
Konsep kekuatan dapat dideskripsikan sebagai tingkat sumber daya, kemampuan, dan pengaruh dalam masalah
internasional. Konsep ini sering dibagi menjadi konsep kekuatan keras dan kekuatan lunak; kekuatan keras
berkaitan dengan kekuatan koersif, seperti pemakaian kekuatan, dan kekuatan lunak yang biasanya mencakup
pengaruh ekonomi, diplomasi, dan budaya. Meski begitu, tidak ada garis pemisah yang jelas antara kedua bentuk
kekuatan tersebut.

Polaritas

Polaritas dalam hubungan internasional merujuk pada pengaturan kekuatan di dalam sistem internasional.
Konsep ini muncul dari bipolaritas pada Perang Dingin, dengan sistem internasionalnya didominasi oleh
konflik antara dua kekuatan super, dan telah diterapkan secara retrospektif oleh para teoriwan. Tetapi,
istilah bipolar sering digunakan oleh Stalin yang mengatakan bahwa ia memandang sistem internasional
sebagai sistem bipolar dengan dua basis kekuatan dan ideologi yang saling bertentangan. Akibatnya,
sistem internasional sebelum 1945 bisa disebut multi-polar, dengan kekuatan terbagi-bagi antara kekuatan
besar.

Imperium dunia pada tahun 1910.

Kejatuhan Uni Soviet tahun 1991 telah mendorong munculnya unipolaritas, dengan Amerika Serikat
sebagai kekuatan super tunggal. Tetapi, karena pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang cepat (pada tahun
2010, Cina menjadi ekonomi terbesar kedua di dunia), ditambah posisi internasional yang patut
diperhitungkan di dunia politik serta kekuasaan yang dimiliki pemerintah Cina terhadap rakyatnya
(populasi terbesar di dunia), muncul perdebatan apakah Cina sekarang merupakan kekuatan super atau
kandidat potensial pada masa depan.
7

Sejumlah teori hubungan internasional berasal dari ide polaritas:

Keseimbangan kekuatan adalah konsep yang menonjol di Eropa sebelum Perang Dunia I, pemikiran
bahwa dengan menyeimbangkan blok-blok kekuatan, mereka dapat menciptakan stabilitas dan mencegah
perang. Teori keseimbangan kekuatan mendapat perhatian lagi selama Perang Dingin dan menjadi
mekanisme utama dalam Neorealisme Kenneth Waltz. Di sini, konsep menyeimbangkan (berkuasa untuk
melawan lainnya) dan menempel (berpihak pada lainnya) dikembangkan.

Teori kestabilan hegemon (dikembangkan oleh Robert Gilpin) juga berasal dari ide Polaritas, terutama
keadaan unipolaritas. Hegemoni adalah pembesaran kekuatan di satu kutub sistem internasional, dan teori
ini berpendapat bahwa ini merupakan konfigurasi yang stabil dikarenakan manfaat bersama dari kedua
kekuatan yang dominan dan kekuatan lain di sistem internasional. Hal ini bertentangan dengan argumen
Neorealis, terutama Kenneth Waltz, yang menyatakan bahwa akhir Perang Dingin dan keadaan
unipolaritas merupakan konfigurasi yang tidak stabil dan kelak akan berubah.

Pernyataan tersebut dapat dijelaskan dalam teori peralihan kekuatan, yang menyatakan bahwa sebuah
kekuatan besar tidak mungkin menantang sebuah hegemoni setelah periode tertentu, sehingga
menghasilkan perang besar. Teori ini menyatakan bahwa meski hegemoni dapat mengendalikan
munculnya perang, mereka juga menciptakan perang. Pendukung utamanya, A.F.K. Organski,
berpendapat bahwa hal ini didasarkan pada terjadinya perang-perang sebelumnya antara hegemoni
Britania, Portugal, dan Belanda.

Saling ketergantungan
Banyak ahli menyatakan bahwa sistem internasional saat ini ditandai dengan tumbuhnya saling ketergantungan;
pertanggungjawaban dan ketergantungan bersama satu sama lain. Para pendukung merujuk pada globalisasi yang
semakin tumbuh, terutama dengan interaksi ekonomi internasional. Peran institusi internasional, dan penerimaan
sejumlah prinsip operasi dalam sistem internasional, memperkuat ide bahwa hubungan ditandai oleh saling
ketergantungan.

Ketergantungan
Teori ketergantungan adalah teori yang sering dikaitkan dengan Marxisme, menyatakan bahwa sejumlah negara
Inti mengeksploitasi beberapa negara Periferal yang lebih lemah demi kemakmuran mereka. Berbagai versi teori
ini menyatakan bahwa hal ini bisa bersifat tidak terhindarkan (teori ketergantungan standar) atau memakai teori
tersebut untuk menekankan perlunya perubahan (Neo-Marxis).

Peralatan sistemik

 Diplomasi adalah praktik komunikasi dan negosiasi antara sejumlah perwakilan negara. Sampai
batas tertentu, semua alat hubungan internasional lainnya dapat dianggap sebagai kegagalan
diplomasi. Pemakaian alat lain adalah bagian dari komunikasi dan negosiasi tetap di dalam
diplomasi. Sanksi, kekuatan, dan menyesuaikan regulasi perdagangan, meski tidak dianggap
bagian dari diplomasi, adalah alat yang sebenarnya berharga demi kepentingan pengaruh dan
penempatan dalam negosiasi.
 Sanksi biasanya merupakan pilihan pertama setelah gagalnya diplomasi, serta salah satu alat utama
yang digunakan untuk mendorong perjanjian. Sanski bisa berupa sanksi diplomatik atau ekonomi
dan mencakup pemutusan hubungan dan pemberlakuan batasan komunikasi atau perdagangan.
 Perang, pemakaian kekuatan, sering dianggap sebagai alat utama dalam hubungan internasional.
Sebuah definisi yang diterima luas oleh Clausewitz mengenai perang adalah, "penyambungan
politik dengan cara lain". Ada studi baru yang mempelajari 'perang baru' yang melibatkan aktor,
bukan negara. Studi perang dalam hubungan internasional dicakup oleh disiplin 'Studi perang' dan
'Studi strategis'.
 Pengungkitan aib internasional dapat dianggap sebagai alat hubungan internasional. Ini adalah
usaha mengubah tindakan suatu negara melalui 'penyebutan nama dan pengungkitan aib' di tingkat
internasional. Ini biasanya dilakukan oleh sejumlah LSM HAM besar seperti Amnesty
International (terutama ketika mereka menyebut Teluk Guantanamo sebagai "Gulag"),[9] atau
Human Rights Watch. Alat ini sering dipakai oleh prosedur 1235 Komisi HAM PBB, yang secara
8

terbuka mengekspos pelanggaran HAM di suatu negara. Dewan Hak Asasi Manusia juga
menggunakan mekanisme ini.
 Pembagian keuntungan ekonomi dan/atau diplomatik. Contohnya adalah kebijakan perluasan
Uni Eropa. Negara-negara kandidat diizinkan masuk UE hanya jika memenuhi kriteria
Kopenhagen.

Konsep level unit


Sebagai suatu level analisis, level unit sering disebut sebagai level negara, karena level ini menempatkan
penjelasannya di tingkat nevara, alih-alih sistem internasional.

Tipe rezim
Sering dianggap bahwa bentuk pemerintahan suatu negara dapat menentukan cara negara tersebut berinteraksi
dengan negara lain dalam sistem internasional.

Teori Perdamaian Demokratis adalah teori yang mengemukakan bahwa sifat demokrasi berarti bahwa
negara-negara demokrasi tidak akan berperang satu sama lain. Pembenaran untuk hal ini adalah bahwa
negara demokrasi menyampingkan norma mereka dan hanya berperang dengan alasan yang pasti, dan
bahwa demokrasi mendorong kepercayaan dan penghargaan terhadap satu sama lain.

Komunisme mendukung revolusi dunia, yang akan menimbulkan kehidupan berdampingan yang damai
berdasarkan masyarakat global yang proletar.

Revisionisme/Status quo
Negara dapat dikelompokkan menurut apakah mereka menerima status quo internasional, atau bersifat revisionis,
yaitu menginginkan perubahan. Negara revisionis berusaha mengubah aturan dan praktik hubungan internasional
secara dasar, merasa tidak diuntungkan oleh status quo. Mereka melihat sistem internasional sebagai suatu
bentukan dunia barat yang mengukuhkan realitas yang ada. Jepang adalah contoh negara yang beralih dari negara
revisionis ke negara yang puas dengan status quo, karena status quo kini menguntungkan mereka.

Agama
Sering muncul anggapan[oleh siapa?] bahwa agama dapat mempengaruhi cara negara bertindak di dalam sistem
internasional. Agama terlihat sebagai suatu prinsip pengorganisasi, terutama pada negara-negara Islam,
sementara sekularisme ada di ujung lain spektrum dengan pemisahan negara dan agama menjadi dasar teori
hubungan internasional liberal.

Konsep individu atau level subunit

Level di bawah unit (negara) bisa bermanfaat untuk menjelaskan faktor-faktor dalam Hubungan
Internasional yang tidak dapat dijelaskan oleh teori-teori lain, dan untuk menjauhi pandangan hubungan
internasional yang negara-sentris.

 Faktor psikologis dalam Hubungan Internasional - Penilaian faktor psikologis dalam hubungan
internasional berasal dari pemahaman bahwa negara bukanlah sebuah 'kotak hitam' seperti yang
dikemukakan Realisme, dan bahwa mungkin ada pengaruh-pengaruh lain terhadap keputusan
kebijakan luar negeri. Meneliti peran kepribadian dalam proses pembuatan keputusan bisa
memiliki sejumlah kekuatan penjelas, sebagaimana halnya dengan peran mispersepsi antara
berbagai aktor. Penerapan utama dalam faktor psikologis level subunit dalam hubungan
internasional adalah konsep pemikiran kelompok. Penerapan lainnya adalah kecenderungan para
pembuat kebijakan untuk berpikir secara analogis.
 Politik birokrat - Melihat peran birokrasi dalam pembuatan keputusan, dan melihat keputusan
sebagai hasil pertarungan internal birokratik, dan dibentuk oleh berbagai kendala.
 Kelompok keagamaan, etnis, dan separatis - Melihat aspek-aspek level subunit ini memiliki
kekuatan penjelas yang berkaitan dengan konflik etnis, perang agama, diaspora transnasional
9

(politik diaspora) dan aktor lain yang tidak menganggap dirinya pas dengan batas negara yang
sudah ditetapkan. Ini berguna dalam konteks dunia negara lemah pra-modern.
 Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Hubungan Internasional - Bagaimana iptek mempengaruhi
kesehatan, bisnis, lingkungan, teknologi, dan pembangunan global.
 Ekonomi politik internasional, dan faktor ekonomi dalam hubungan internasional.[10]
 Kulturologi politik internasional – Memandang bagaimana budaya dan variabel budaya
memengaruhi hubungan internasional.

Institusi
Institusi internasional membentuk bagian penting dalam Hubungan Internasional kontemporer. Sebagian
besar interaksi pada tingkat sistem diatur oleh mereka, dan mereka menyingkirkan sejumlah institusi dan
praktik Hubungan Internasional tradisional, seperti pelaksanaan perang (kecuali demi mempertahankan
diri).

Ketika manusia memasuki fase peradaban keplanetan, sejumlah ilmuwan dan teoriwan politik[siapa?]
melihat sebuah hierarki institusi global yang menggantikan sistem negara-bangsa berdaulat yang sudah
ada sebagai komunitas politik utama. Mereka berpendapat bahwa bangsa adalah suatu komunitas khayalan
yang tidak mampu menangani tantangan-tantangan global seperti efek "Dogville" (orang asing di dalam
komunitas homogen), status hukum dan politik masyarakat dan pengungsi tanpa negara, dan perlunya
mengingatkan dunia tentang masalah-masalah seperti perubahan iklim dan wabah.

Futuris Paul Raskin membuat hipotesis bahwa bentuk politik global yang baru dan lebih sah dapat
didasarkan pada "pluralisme yang dibatasi". Prinsip ini mendorong pembentukan institusi berdasarkan tiga
karakteristik: iredusibilitas, ketika sejumlah isu harus diputuskan pada tingkat global, subsidiaritas, yang
membatasi cakupan otoritas global terhadap isu-isu yang memang bersifat global, sementara isu-isu pada
cakupan yang lebih kecil diatur pada tingkatan yang lebih rendah; dan heterogeneitas, yang
memungkinkan pendirian berbagai bentuk institusi lokal dan regional selama mereka memenuhi
kewajiban global.

Organisasi antarnegara umum

Perserikatan Bangsa-Bangsa
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah sebuah organisasi internasional yang mendeskripsikan dirinya sebagai
"asosiasi pemerintahan seluruh dunia yang memfasilitasi kerja sama dalam hukum internasional, keamanan
internasional, pembangunan ekonomi, dan kesetaraan sosial"; PBB merupakan institusi internasional paling
terkenal. Banyak institusi hukum mengikuti struktur organisasi yang sama seperti PBB.

OIC
Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) adalah sebuah organisasi internasional yang terdiri dari 57 negara anggota.
Organisasi ini berusaha menjadi corong kolektif bagi suara dunia Muslim (umat) dan melindungi kepentingan serta
menjamin kemajuan dan kesejahteraan umat Islam.

Lainnya

 Uni Afrika
 ASEAN
 Liga Arab
 CIS
 Uni Eropa
 G8
 G20
 Liga Bangsa-Bangsa
 Organisasi Negara-Negara Amerika
10

Institusi ekonomi

 Bank Pembangunan Asia


 Bank Pembangunan Afrika
 Bank of International Settlements
 Bank Pembangunan Inter-Amerika
 Dana Moneter Internasional
 Bank Pembangunan Islam
 Bank Dunia
 Organisasi Perdagangan Dunia

Badan hukum internasional

Hak asasi manusia

 Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa


 Komite Hak Asasi Manusia
 Pengadilan Hak Asasi Manusia Inter-Amerika
 Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa
 Pengadilan Kriminal Internasional
 Pengadilan Kriminal Internasional untuk Rwanda
 Pengadilan Kriminal Internasional untuk Bekas Yugoslavia

Hukum

 Mahkamah Afrika
 Mahkamah Eropa
 Mahkamah Internasional
 Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut

Organisasi keamanan regional


Artikel utama: Keamanan kolektif

 CSCAP
 GUAM
 Rezim keamanan maritim
 NATO
 SCO
 SAARC
 UNASUR

Anda mungkin juga menyukai