Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kayu Laminasi


Bodig dan Jayne (1982) menyatakan bahwa kayu laminasi adalah salah
satu komponen kayu komposit yang berfungsi untuk mengontrol atau mengatur
sifat produk melalui desain dan telah dipraktekkan selama beberapa tahun.
Layered Composite System, khususnya kayu laminasi dibuat untuk meningkatkan
penggunaannya di dalam struktur perencanaan. Serrano (2003) menyatakan bahwa
keuntungan penggunaan kayu laminasi adalah memberikan pilihan bentuk
geometri lebih beragam, memungkinkan untuk penyesuaian kualitas laminasi
dengan tingkat tegangan yang diinginkan, meningkatkan akurasi dimensi, dan
stabilitas bentuk. Disamping kelebihan tersebut, kayu laminasi juga memiliki
beberapa kekurangan. Apabila kayu solid tersedia dalam ukuran yang diperlukan,
maka proses tambahan dalam pembuatan kayu laminasi akan meningkatkan biaya
produksinya melebihi kayu gergajian. Pembuatan kayu laminasi memerlukan
peralatan khusus, perekat, fasilitas pabrik dan keahlian dalam pembuatannya,
dibandingkan bila memproduksi kayu gergajian. Semua tahap dalam proses
pembuatan memerlukan perhatian untuk menjamin produk akhir yang berkualitas
tinggi (Moody et al. 1999).
Moody dan Hernandez (1997) menyatakan bahwa penggunaan utama kayu
laminasi adalah pada sistem atap dari bangunan-bangunan komersial, sistem atap
dan lantai rumah. Penggunaan lainnya adalah sebagai bangunan-bangunan
komersial dan rumah (sebagai balok persegi, balok lengkung, kuda-kuda, balok
struktur, bangunan kayu bertingkat, kubah dan tiang), jembatan (untuk bagian-
bagian dari struktur bagian atas seperti balok penopang dan decking), serta
penggunaan struktur lain (seperti tower transmisi listrik, tonggak listrik, dan
penggunaan lain untuk memenuhi persyaratan ukuran dan bentuk yang tidak dapat
dicapai dengan menggunakan tiang kayu konvensional). Komponen penyusun
kayu laminasi adalah face, core dan back. Face adalah lapisan teratas pada kayu
laminasi, core adalah lapisan tengah pada kayu laminasi dan back adalah lapisan
terakhir atau terbawah dari kayu laminasi.
4

Kayu laminasi simetris terdiri dari bahan dan ketebalan yang sama pada
bagian face dan core, sehingga garis atau sumbu netral tepat berada di tengah
(bagian core) dari kayu laminasi. Kayu laminasi asimetris terdiri dari bahan yang
berbeda pada ketiga bagian penyusunnya. Perbedaan jenis dan ketebalan bahan
menyebabkan garis atau sumbu netral tidak tepat berada di tengah kayu laminasi
(dapat terjadi pada bagian core atau back, tergantung dari tebal masing-masing
bahan dan centroid pada kondisi transformed cross section (TCS). Penggunaan
transformed cross section akan mengkonversi berbagai nilai E (modulus
elastisitas), dengan satu nilai E saja. Dalam pengukuran pada kondisi TCS, salah
satu bagian dari lamina dijadikan sebagai referensi dalam melakukan konversi
(pada umumnya bagian atas dari lamina). Adanya TCS menyebabkan
pengurangan lebar pada bagian lamina yang memiliki nilai E lebih kecil dari E
referensi, dan penambahan lebar pada bagian lamina yang memiliki nilai E lebih
besar dari E referensi (Bodig dan Jayne 1982).

2.2 Dinding Sekat


Dinding berfungsi untuk memberi perlindungan terhadap cuaca maupun
sebagai pembagi bangunan pada ruang atau bilik. Bahan yang digunakan untuk
membuat dinding biasanya adalah bata, kayu solid, maupun kayu komposit.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam membentuk dinding yaitu kestabilan,
kekuatan, ketahanan terhadap cuaca, ketahanan terhadap bahaya kebakaran, serta
kemampuannya dalam pengaliran dan penyerapan bunyi. Dinding diperlukan
untuk menyerap bunyi, oleh karena itu pemilihan bahan sangat berperan penting.
Bahan penyerap bunyi dapat diaplikasikan pada dinding untuk menyerap
gelombang bunyi. Kayu banyak digunakan untuk membuat rangka dinding,
pelapisan dinding dan dinding sekat (Anonim 2008).

2.3 Sifat Mekanis


Brown et al. (1952) menyatakan bahwa sifat mekanis kayu merupakan
sifat ketahanan kayu terhadap gaya-gaya luar yang diberikan serta reaksi yang
ditimbulkan oleh kayu terhadap adanya gaya-gaya tersebut. Sifat mekanis
berhubungan erat dengan tegangan dan perubahan bentuk atau deformasi yang
5

terjadi akibat beban dan faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi sifat mekanis.
Sifat mekanis yang diamati dalam penelitian ini adalah modulus elastisitas (MOE)
dan kekuatan lentur/Modulus of Rupture (MOR) (Haygreen et al. 2003)
2.3.1 Modulus Elastisitas (Modulus of Elasticity, MOE)
Tsoumis (1991) menyatakan bahwa elastisitas adalah sifat benda yang
mampu kembali ke kondisi semula dalam bentuk dan ukurannya ketika beban
yang mengenainya dihilangkan. Nilai MOE hanya valid jika yang diambil adalah
nilai batas proporsionalnya saja. MOE tinggi menunjukkan kekakuan bahan yang
tinggi untuk dapat menahan tekanan besar yang dikenakan padanya tanpa
deformasi yang besar. Nilai modulus elastisitas kayu bervariasi antara 25000-
170000 kg/cm2. Nilai modulus elastisitas berbeda pada ketiga arah
pertumbuhannya. Pada arah transversal, modulus elastisitasnya hanya berkisar
3000-6000 kg/cm2, sedangkan perbedaan untuk arah radial dan tangensial tidak
nyata.
2.3.2 Kekuatan Lentur (Modulus of Rupture, MOR)
Kekuatan lentur merupakan ukuran kemampuan benda untuk menahan
beban lentur maksimum sampai benda tersebut mengalami kerusakan yang
permanen (Brown et al. 1952). Tsoumis (1991) menyatakan bahwa bila beban
terjadi di atas batas proporsi, maka deformasinya akan permanen. Nilai dari MOR
bervariasi. Besarnya hasil pengujian kekuatan lentur ini dinyatakan dalam
modulus of rupture (MOR) atau modulus patah. Nilai MOR bervariasi antara 550-
1600 kg/cm2 yang menunjukkan bahwa kekuatan lentur mirip dengan kekuatan
tegangan aksial. Oleh sebab itu MOR bisa digunakan sebagai indeks kekuatan
tegangan aksial, ketika nilai dari besaran akhir tidak tersedia.
2.3.3 Pengujian Lentur
Ada beberapa metode pengujian lentur yang dapat dilakukan yaitu metode
one point loading dan two point loading.
2.3.3.1 Metode One Point Loading
Momen lentur dan gaya geser pada balok dengan beban tunggal di tengah
bentang (metode one point loading) dapat dilihat pada Gambar 1, sedangkan
diagram untuk momen lentur dan gaya gesernya dapat dilihat pada Gambar 2.
6

P
½ L  ½ L 

Ra L Rb

Gambar 1 Skema pengujian lentur dengan metode one point loading.

Pada metode one point loading , seluruh bagian mengalami momen lentur
dan gaya geser secara bersama-sama seperti terlihat pada Gambar 2, sehingga
defleksi yang terjadi merupakan akibat resultan keduanya (Mardikanto et al.
2011). Nilai Modulus Elastisitas sebenarnya (true MOE) tidak dapat diperoleh
dengan metode ini, namun metode ini paling banyak digunakan untuk menguji
spesimen berukuran kecil (contoh uji bebas cacat).

Momen lentur  Mx

Gaya geser  Vx

L
½ L ½ L

Gambar 2 Diagram momen lentur (Mx) dan gaya geser (Vx) sepanjang bentang
balok dengan beban tunggal di tengah batang.

2.3.3.2 Metode Two Point Loading


Momen lentur dan gaya geser pada balok dengan beban ganda (two point
loading) dapat dilihat pada Gambar 3.
7

2P 

a Lb  a

L
R  R 

Gambar 3 Skema pengujian lentur dengan metode two point loading.

Diagram momen lentur dan gaya geser pada metode two point loading
dapat dilihat pada Gambar 4. Pada metode ini, tidak semua bagian balok lentur
mengalami gaya geser. Bagian di antara dua beban tidak mengalami gaya geser,
sehingga defleksi pada bagian itu murni disebabkan oleh momen lentur. Oleh
karena itu, modulus elastisitas yang sebenarnya dapat ditentukan dengan
mengukur defleksi di antara dua beban.

2P 

Momen lentur  Mx

Gaya geser  Vx 

L
a Lb a

Gambar 4 Diagram momen lentur (Mx) dan gaya geser (Vx) pada balok dengan
beban ganda (two points load).

2.4 Sifat Fisis


2.4.1 Kadar Air
Kadar air (KA) adalah banyaknya air yang terkandung dalam kayu, yang
dinyatakan dalam persentase terhadap berat kering tanur (Brown et al. 1952).
Kadar air mempengaruhi kekuatan kayu. Jika terjadi penurunan kadar air (kayu
8

tersebut mengering) maka kekuatan kayu akan meningkat. Pengaruh penurunan


kadar air terhadap sifat kekuatan kayu tampak jelas apabila kadar air berada di
bawah titik jenuh serat. Air dalam kayu terdiri atas air bebas dan air terikat
dimana keduanya secara bersama-sama menentukan kadar air kayu. Dalam satu
jenis pohon kadar air segarnya bervariasi tergantung pada tempat tumbuh dan
umur pohon (Haygreen et al. 2003).

2.4.2 Kerapatan

Kerapatan didefinisikan sebagai massa atau berat per satuan volume,


biasanya dinyatakan dalam kg/m3, g/cm3, dan lb/ft3. Faktor-faktor yang
mempengaruhi variasi kerapatan kayu dalam spesiesnya antara lain : lokasi dalam
satu pohon, lokasi dalam satu spesies, kondisi lingkungan setempat (tanah, air,
kemiringan), serta faktor genetik (Haygreen et al. 2003). Tsoumis (1991)
menyatakan bahwa kerapatan mempengaruhi sifat-sifat higroskopisitas,
penyusutan dan pengembangan, sifat mekanis, panas, sifat akustik, kelistrikan,
dan lainnya yang berhubungan dengan pengerjaan kayu selanjutnya (pengolahan
dan pengeringan).

2.4.3 Berat Jenis

Menurut Haygreen et al. (2003), berat jenis kayu adalah suatu sifat fisika
kayu yang paling penting. Berat jenis kayu merupakan istilah yang dipakai untuk
menunjukkan perbandingan antara kerapatan kayu dengan kerapatan air.
Kebanyakan sifat mekanis kayu sangat berhubungan dengan berat jenis dan
kerapatan. Kerapatan dan berat jenis digunakan untuk menerangkan massa atau
berat per satuan volume. Ciri-ciri ini umumnya digunakan dalam hubungannya
dengan semua tipe bahan. Kerapatan didefinisikan sebagai massa atau berat per
satuan volume. Sedangkan berat jenis adalah perbandingan kerapatan bahan
dengan kerapatan air (1 g/cm3). Faktor-faktor yang mempengaruhi variasi berat
jenis kayu diantaranya adalah kondisi lingkungan setempat, iklim, letak geografi,
gangguan selama pertumbuhan, serta jenis spesies. Faktor lingkungan setempat
yang dapat mempengaruhi berat jenis diantaranya adalah kelembaban, cahaya
matahari, nutrisi, angin, dan suhu.
9

Tobing (1995) yang diacu dalam Sugiarti (2010) menyatakan bahwa berat
jenis selain digunakan sebagai penduga kekuatan kayu, juga digunakan sebagai
indikator untuk menduga mudah tidaknya suatu kayu dikeringkan. Kayu yang
memiliki BJ tinggi pada umumnya sukar dikeringkan dan mengalami cacat yang
lebih besar dibandingkan kayu yang memiliki berat jenis (BJ) rendah.

2.5 Sound Absorption


Tsoumis (1991) menyatakan bahwa kemampuan kayu untuk menyerap
suara biasa diukur dengan Coefficient of sound absorption. Besarnya energi suara
yang dipantulkan, diserap, atau diteruskan bergantung pada jenis dan sifat dari
bahan atau material tersebut. Pada umumnya bahan berpori (porous material)
akan menyerap energi suara yang lebih besar dibandingkan dengan jenis bahan
lainnya. Adanya pori-pori menyebabkan gelombang suara dapat masuk ke dalam
material tersebut. Energi suara yang diserap oleh bahan akan dikonversikan
menjadi bentuk energi lainnya, yang pada umumnya adalah energi kalor.
Energi akustik yang mencapai kayu akan memasuki massa kayu, kemudian
sebagian akan diserap, dipantulkan dan dibiaskan. Keuntungan kayu dibanding
dengan bahan-bahan yang lain yaitu strukturnya yang menyerap namun
mempunyai koefisien rendah yaitu kurang dari 10 %. Faktor-faktor yang
mempengaruhi sound absorption adalah kerapatan kayu, modulus elastisitas,
kadar air, temperatur, intensitas dan frekuensi dari suara, serta kondisi pada
permukaan kayu. Kayu dengan kerapatan dan modulus elastisitas yang rendah,
serta kadar air dan temperatur yang tinggi lebih banyak menyerap suara (Tsoumis
1991).
Material penyerap secara alami pada umumnya bersifat restitif, berserat
(fibrous), berpori (porous), atau dalam kasus khusus bersifat resonator aktif.
Ketika gelombang bunyi menumbuk material penyerap, maka energi bunyi
sebagian akan diserap dan diubah menjadi panas. Besarnya penyerapan bunyi
pada material penyerap dinyatakan dengan koefisien serapan (α). Koefisien
serapan dinyatakan dalam bilangan antara 0 dan 1. Nilai koefisien serapan 0
menandakan tidak ada energi bunyi yang diserap dan nilai koefisien serapan 1
menandakan serapan yang sempurna (Mediastika 2009).
10

Rusmawati (2007) menyatakan bahwa α adalah salah satu parameter


penting dalam penentuan sejauh mana suatu bahan dapat menyerap atau
mereduksi bunyi. Koefisien absorbsi suara antara satu bahan dengan bahan yang
lain berbeda. Salah satu metode untuk mengukur penyerapan suara adalah metode
standing wave. Metode tersebut banyak digunakan karena metode tersebut
sederhana dan menunjukkan hasil yang akurat. Metode ini memerlukan
pengoperasian suatu frekuensi suara (dari mikrofon yang bergerak) di dalam
tabung impedansi untuk memperkirakan tekanan akustik dan mengetahui dimana
terjadinya tekanan akustik minimum dan maksimum (Kang et al. 2006).

2.6 Perekat Poly Vinil Acetat (PVAc)


PVAc merupakan perekat sintetis yang bersifat thermoplastic (mengeras
dalam keadaan dingin, melunak bila dipanaskan, dan kembali mengeras bila
didinginkan). Masa tunggu perekat PVAc yaitu 10-15 menit. Perekat ini kurang
tahan terhadap cuaca dan kelembaban tertentu, serta digunakan untuk pemakaian
interior. Perekat PVAc tidak memerlukan kempa panas dan dalam
penggunaannya secara luas dapat menghasilkan keteguhan rekat yang baik dengan
biaya yang rendah (Pizzi 1994).
Menurut Kollman et al. (1975), perekat PVAc memiliki kelebihan dan
kelemahan sebagai berikut :
Kelebihan :
a. Merupakan perekat yang dapat dimodifikasi untuk mendapatkan
bermacam kecepatan pengeringan lem yang sama di setiap penggunaan.
b. Mudah dalam penggunaan, bersih, memiliki waktu penyimpanan tidak
terbatas, dan tahan terhadap mikroorganisme.
c. Dapat menghasilkan kekuatan pengeleman pada kayu dan hasil produk
kayu lainnya.
Kelemahan :
a. Sensitif terhadap air sehingga kurang baik untuk pemakaian eksterior.
b. Mengakibatkan peregangan pada sambungan bila terkena temperatur
tinggi.
c. Tidak baik diaplikasikan pada permukaan yang tidak memiliki pori.
11

2.7 Gambaran Umum Bahan Baku Pembentuk Kayu Laminasi


2.7.1 Plywood atau Kayu Lapis
Kayu lapis adalah suatu produk yang diperoleh dengan cara menyusun
bersilangan tegak lurus lembaran venir yang diikat dengan perekat, minimal tiga
lapis (SNI 1992). Pemasangan venir dengan arah saling tegak lurus dimaksudkan
untuk mendapatkan kekuatan mekanis yang lebih tinggi, penyusutan lebih kecil
sehingga menjadikan produk tersebut memiliki stabilitas dimensi yang tinggi. SNI
(1992) menyatakan bahwa kayu lapis Indonesia terdiri atas kayu lapis penggunaan
umum, kayu lapis struktural, dan kayu lapis bermuka film. Kayu lapis penggunaan
umum adalah kayu lapis yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan tanpa
diproses lebih lanjut. Kayu lapis tersebut dikelompokkan ke dalam kelas mutu (A,
B, C, dan D), menurut penampilan, kandungan cacat dari venir muka atau
belakang (venir luar), dan menurut ukurannya. Toleransi ukuran, kesikuan, dan
kadar air merupakan prasyarat dalam pengujian kayu lapis. Tipe kayu lapis
struktural dapat dibedakan berdasarkan kekuatan ikatan perekat, yaitu :
1. Tipe Eksterior I adalah kayu lapis yang dalam penggunaannya tahan
terhadap cuaca dalam waktu relatif lama.
2. Tipe Eksterior II adalah kayu lapis yang dalam penggunaannya hanya
tahan terhadap cuaca dalam waktu relatif singkat.
3. Tipe Interior I adalah kayu lapis yang dalam penggunaannya hanya
tahan terhadap kelembaban udara tinggi.
4. Tipe Interior II adalah kayu lapis yang dalam penggunaannya hanya
tahan terhadap kelembaban udara rendah.
2.7.2 Styrofoam
Styrofoam dibuat dari monomer stirena melalui polimerisasi suspense pada
tekanan dan suhu tertentu. Pada umumnya styrofoam digunakan sebagai insulator
dalam bahan konstruksi bangunan. Proses selanjutnya yaitu pemanasan untuk
melunakkan resin dan menguapkan sisa blowing agent. Styrofoam merupakan
bahan plastik yang memiliki sifat khusus dengan struktur yang tersusun dari
butiran berkerapatan rendah yang memiliki bobot ringan serta terdapat ruang antar
butiran yang berisi udara (Badan POM RI 2008). Menurut Bpanel (2009),
12

styrofoam memiliki sifat insulasi panas dan insulasi akustik yang baik serta
mudah dalam pengaplikasiannya.
Penelitian Martiandi (2010) menyatakan bahwa penambahan styrofoam
pada papan partikel tidak memberikan pengaruh yang signifikan untuk
meningkatkan nilai absorbsi suara bila dibandingkan dengan papan partikel tanpa
styrofoam. Hal ini perlu diteliti lebih lanjut mengingat bahwa karakteristik
styrofoam yang porous memiliki potensi untuk meredam suara. Penelitian
Martiandi (2010) menghasilkan papan komposit campuran kayu afrika dan
styrofoam yang menyerap suara dengan baik pada frekuensi 1250 Hz-1600 Hz,
dimana nilai α mencapai 0,80 dan nilainya terus meningkat sesuai dengan
pertambahan frekuensi. Melihat kecenderungan peningkatan nilai koefisien
absorbsi pada penelitian Martiandi, perlu dilakukan uji absorbsi pada frekuensi
yang lebih tinggi lagi untuk mengetahui nilai koefisien absorbsinya.
2.7.3 Kayu Balsa (Ochroma sp.)
Kayu Balsa merupakan kayu berdiameter besar yang termasuk dalam
kategori kayu cepat tumbuh (fast growing species) dan tingginya bisa mencapai
20-30 m. Pohon balsa merupakan tumbuhan asli dari Brasil, Bolivia Utara sampai
Meksiko Selatan. Kayunya evergreen dan daunnya rontok bila musim panas yang
terlalu lama. Kayu Balsa merupakan hardwood berdasarkan bentuk daunnya,
walaupun kayunya lunak. Kayu balsa sangat lunak dan terang, serta memiliki
permukaan kasar. Kerapatan kering tanur dari kayu balsa berkisar antara 0,04 –
0,34 g/cm3. Kayu balsa juga sering digunakan sebagai core material pada kayu
komposit, contoh : turbin angin, meja tennis yang dibuat dari balsa dengan dilapisi
plywood pada bagian atas dan bawahnya. Kayu balsa juga digunakan sebagai
laminasi pada fiberglass untuk meningkatkan kualitas balsa pada surfboard, deck
dan bagian atas dari boats (Anonim 2009).
Menurut Miller (1999), kayu ini cocok untuk berbagai penggunaan karena
karakteristiknya lunak dan warnanya yang terang. Kayu balsa dikenali
berdasarkan berat kayunya yang sangat ringan dan warna kayu yang pucat
(biasanya putih, kekuning-kuningan, dan terkadang berona kemerah-mudaan,
serta menimbulkan kesan raba beludru). Karena beratnya yang ringan dan
kayunya memiliki pori, balsa sangat efisien sebagai bahan insulasi terhadap panas
13

dan dingin. Kayu balsa juga mempunyai sifat rambatan yang lambat terhadap
suara dan getaran. Penggunaan kayu balsa pada umumnya adalah sebagai alat-alat
penolong, alat pelampung, rakit, bahan penyekat, bantalan, sound modifiers, serta
alat peraga.
2.7.4 Medium Density Fiberboard (MDF)
Menurut Haygreen et al. (2003) MDF merupakan salah satu produk dari
papan serat. Papan serat adalah panel yang dibuat dengan cara mengkonversi kayu
bulat atau serpih kayu menjadi serat melalui proses pulp mekanis kemudian
membentuknya menjadi lembaran papan dengan kempa panas baik dengan wet
process maupun dry process. Maloney (1996) menyatakan bahwa papan serat
berkerapatan sedang (MDF) adalah produk panel kayu yang terbuat dari serat
berlignoselulosa dikombinasikan dengan perekat buatan atau perekat lainnya yang
mempunyai kerapatan 0,50 sampai 0,80 g/cm3.
Haygreen et al. (2003) menyatakan bahwa MDF dapat dibuat dari banyak
material seperti residu kayu (sisa serutan dari mesin planner, serbuk gergaji kayu,
potongan pinggir dari plywood, dan lain sebagainya), namun harus tetap
menambahkan minimal 25 % pulp chip untuk menghasilkan kualitas furnish yang
diinginkan. Limbah pertanian dan semua sumber serat dapat dicampurkan asalkan
interaksi antara bahan mentah dan resin dapat dikontrol (Maloney 1996 dalam
Haygreen et al. 2003). MDF memiliki sifat fisis yang seragam, permukaan halus
dan padat (sehingga memungkinkan untuk dicetak, dicat, dan diberi bahan
pelapis), memiliki sifat penyekrupan yang baik serta memiliki kestabilan dimensi
yang relatif tinggi di bawah perubahan kondisi kelembaban lingkungan (Tsoumis
1991).
MDF digunakan sebagai furniture, kitchen cabinets, dan wall paneling
(dimana dibutuhkan permukaan yang halus, dapat dicetak, dan dilukis namun
kekuatan kayu tidak terlalu diperhitungkan). Bagian tepi dari particleboards
terlalu keropos sehingga memerlukan penanganan lanjutan sedangkan bagian tepi
dari MDF halus sehingga MDF lebih banyak digunakan dalam pembuatan
furniture. MDF memiliki kerapatan yang lebih seragam, dapat diprofil, dapat
diproses menggunakan mesin sama seperti pada kayu solid, serta tidak
memerlukan veneer tambahan untuk menutupi permukaannya. Permukaan MDF
14

yang halus menyebabkan permukaannya mudah di-finishing (Haygreen et al.


2003).
2.7.5 Kayu Akasia (Acacia mangium Willd)
Kayu akasia (Acacia mangium Willd) adalah tumbuhan asli yang banyak
tumbuh di wilayah Papua Nugini, Papua Barat dan Maluku. Tanaman ini pada
mulanya dikembangkan secara eksitu di Malaysia Barat dan selanjutnya di
Malaysia Timur, yaitu di Sabah dan Serawak. Kayu akasia menunjukkan
pertumbuhan yang baik, sehingga Filipina telah mengembangkan pula sebagai
hutan tanaman (Malik et al. 2005). Sejak dicanangkan pembangunan hutan
tanaman industri (HTI) di Indonesia pada tahun 1984, kayu akasia telah dipilih
sebagai salah satu jenis favorit untuk ditanam di aeral HTI. Pada mulanya jenis ini
dikelompokkan ke dalam jenis-jenis kayu HTI untuk memenuhi kebutuhan kayu
serat terutama untuk bahan baku industri pulp dan kertas. Dengan adanya
perubahan-perubahan kondisional baik menyangkut kapasitas industri maupun
adanya desakan kebutuhan kayu untuk penggunaan lain, tidak tertutup
kemungkinan terjadi perluasan tujuan penggunaan kayu akasia (Malik et al.
2005).
Mandang dan Pandit (1997) menyatakan bahwa kayu akasia masuk ke
dalam famili Leguminosae. Kayu teras alami berwarna coklat pucat sampai coklat
tua, kadang-kadang coklat zaitun sampai coklat kelabu, sedangkan kayu gubal
berwarna kuning pucat sampai kuning jerami. Corak kayu polos atau berjalur-jalur
berwarna gelap dan terang bergantian pada bidang radial. Memiliki tekstur halus
sampai agak kasar dan merata dengan arah serat biasanya lurus dan kadang-
kadang berpadu. Kayu akasia memiliki BJ rata-rata 0,61 (0,43-0,66) dengan kelas
awet III dan kelas kuat II-III. Malik et al. (2005) menyatakan bahwa berdasarkan
sifat mekanisnya, kayu akasia dapat digunakan sebagai bahan konstruksi ringan.
Produk yang telah dibuat dari kayu ini adalah kusen jendela, rangka daun jendela,
dan penyekat ruangan (lumber sharing).

Anda mungkin juga menyukai