BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Kebutaan di Indonesia merupakan bencana Nasional. Sebab kebutaan menyebabkan
kualitas sumber daya manusia rendah. Hal ini berdampak pada kehilangan produktifitas serta
membutuhkan biaya untuk rehabilitasi dan pendidikan orang buta. Salah satu penyebab
kebutaan adalah katarak. Pandangan mata yang kabur atau berkabut bagaikan melihat
melalui kaca mata berembun, ukuran lensa kacamata yang sering berubah, penglihatan
ganda ketika mengemudi di malam hari , merupakan gejala katarak. Tetapi di siang hari
penderita justru merasa silau karena cahaya yang masuk ke mata terasa berlebih.
Begitu besarnya resiko masyarakat Indonesia untuk menderita katarak memicu kita
dalam upaya pencegahan. Dengan memperhatikan gaya hidup, lingkungan yang sehat dan
menghindari pemakaian bahan-bahan kimia yang dapat merusak akan membuat kita
terhindar dari berbagai jenis penyakit dalam stadium yang lebih berat yang akan
menyulitkan upaya penyembuhan.
Sehingga kami sebagai mahasiswa keperawatan memiliki solusi dalam mencegah dan
menanggulangi masalah katarak yakni dengan memberikan sebuah rangkuman makalah
tentang katarak sebagai bahan belajar dan pendidikan bagi mahasiswa keperawatan.
B. Tujuan Khusus
a. Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui definisi penyakit Katarak
b. Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui klasifikasi penyakit Katarak
c. Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui etiologi penyakit Katarak
d. Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui patofisiologi penyakit Katarak
e. Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui manifestasi klinik dari penyakit
Katarak
f. Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui komplikasi dari penyakit Katarak
g. Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
penyakit Katarak
h. Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui penatalaksanaan penyakit Katarak
i. Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui asuhan keperawatan penyakit
Katarak
2.2 KLASIFIKASI
1. Berdasarkan Penyebabnya
1.1. Katarak traumatik
Katarak traumatik paling sering disebabkan oleh trauma benda asing pada lensa atau trauma
tumpul pada bola mata. Peluru senapan angin dan petasan merupakan penyebab yang sering.
Lensa menjadi putih segera setelah masuknya benda asing karena lubang pada kapsul lensa
menyebabkan humor aqueus dan kadang-kadang vitreus masuk ke dalam struktur lensa.
1.2. Katarak toksika
Kortikosteroid yang diberikan dalam waktu lama baik secara sistemik maupun dalam bentuk
obat tetes mata dapat meneyebabkan kekeruhan lensa. Obat-obat lain yang diduga
menyebabkan katarak antara lain : phenotiazine, chlorpromazine, obat tetes miotik kuat
seperti phospholine iodine.
1.3. Katarak komplikata
Katarak dapat terbentuk akibat efek langsung penyakit intraocular yang mempengaruhi
fisiologis lensa. Katarak biasanya berawal dari daerah subkapsular posterior dan akhirnya
mengenai seluruh struktur lensa. Penyakit intraokuler yang sering berkaitan antara lain
uveitis kronik atau rekuren, glaucoma, retinitis pigmentosa dan ablation retinae. Katarak ini
biasanya unilateral. Katarak komplikata juga dapat disebabkan akibat gangguan sistemik
seperti diabetes mellitus, distrofi miotonik, dermatitis atopic, hipoparatiroidisme,
galaktosemia dan sindrom Lowe, Werner dan down.
2. Berdasarkan Usia
2.1. Katarak kongenital
Katarak yang sudah terlihat pada usia kurang dari 1 tahun
2.2. Katarak juvenile
Katarak yang terjadi sesudah usia 1 tahun
2.3. Katarak senile
Katarak setelah usia 50 tahun (Ilyas,1999)
JENIS-JENIS KATARAK
1. Katarak kongenital
- Katarak kongenital adalah katarak yang mulai terjadi sebelum atau segera setelah lahir dan
bayi berusia kurang dari 1 tahun. Sewaktu dalam kandungan, terbentuknya lensa adalah
minggu ke lima sampai ke delapan usia kehamilan. Pada masa ini belum terbentuk kapsul
pelindung, sehingga virus bisa masuk ke dalam jaringan lensa. Seluruh lensa buram, tampak
abu-abu putih.
- Penyebab katarak kongenital :
b. Mungkin herediter dengan atau tanpa penyakit mata atau penyakit sistemik lain.
c. Infeksi teratogenik yang diderita ibu saat kehamilan seperti campak jerman, cacar air,
penyakit gondong, hepatitis dan poliomyelitis.
d. Infeksi maternal selama masa kehamilan seperti pada infeksi toksoplasmosis
e. Ibu hamil penderita diabetes melitus
f. Kelainan genetik seperti Trisomi 21, galaktosemia dan sindrom Lowe
- Katarak kongenital digolongkan menjadi 2 macam katarak :
a. Kapsulolentikuler dimana pada golongan ini termasuk katarak kapsuler dan katarak Polaris
b. Katarak lentikuler termasuk dalam golongan ini katarak yang mengenai korteks atau nucleus
lensa.
2. Katarak Rubela
- Rubella pada ibu dapat mengakibatkan katarak pada lensa fetus.
- Terdapat 2 bentuk kekeruhan yaitu kekeruhan sentral dengan perifer jernih seperti mutiara
dan kekeruhan diluar nuclear yaitu korteks anterior dan posterior atau total.
- Mekanisme terjadinya tidak jelas, akan tetapi diketahui bahwa rubella dapat dengan mudah
menular melalui barier plasenta. Virus ini dapat masuk atau terjepit di dalam vesikel lensa
dan bertahan di dalam lensa sampai 3 tahun
3. Katarak Juvenil
- Kekeruhannya halus dan bulat, umumnya timbul pada usia tigapuluhan
- Katarak ini perkembangannya lamban dan biasanya tidak mengganggu penglihatan.
- Jika kekeruhan ini menyatu akan berbentuk cincin di perifer yang disebut katarak koronaria,
apabila tipis dan kebiru-biruan disebut katarak serulea.
- Biasanya merupakan penyulit penyakit sistemik ataupun metabolik dan penyakit lainnya
seperti katarak metabolik, distrofi miotonik, katarak traumatic dan katarak komplikata.
4. Katarak Senil
- Biasanya timbul pada usia 50 tahun
- Secara klinik dikenal dalam 4 stadium yakni insipient, imatur, matur dan hiper matur
- Pada stadium awal (katarak insipiens) mungkin ada celah-celah kekeruhan di bagian perifer
atau berbentuk baji (kuneiform). Keadaan ini bisa diperburuk dengan adanya katarak nuklear
yang merupakan lanjutan daripada sklerosis nuclear fisiologis. Dengan berlanjutnya
pertumbuhan katarak, tajam penglihatan menjadi terganggu (katarak imatur). Katarak
dikatakan matur bila lensa sudah keruh seluruhnya sehingga fundus tidak dapat dilihat lagi.
Di antaranya ada stadium intemusen yaitu stadium membengkaknya lensa dan edema lensa.
Pada akhirnya katarak matur berubah menjadi stadium hipermatur, yaitu korteksnya mencair
sehingga intinya mengambang turun ke dasar kantong kapsul. Pada stadium ini mungkin
terjadi reaksi fakolitik dan glaukoma. Bila proses katarak berjalan lanjut disertai dengan
kapsul yang tebal maka korteks akan memperlihatkan bentuk menjadi sekantong susu
disertai dengan nukleus yang terbenam di dalam korteks lensa karena lebih berat. Keadaan
ini disebut sebagai katarak morgagni
- Perbedaan katarak insipien, imatur , matur dan hipermatur
Insipien Imatur Matur Hipermatur
Kekeruhan Ringan Sebagian Seluruh Masif
Cairan lensa Normal Bertambah Normal Berkurang
(masuk) (air+masa
lensa keluar)
Iris Normal Terdorong Normal Tremulans
Bilik mata Normal Dangkal Normal Dalam
depan
Sudut bilik Normal Sempit Normal Terbuka
mata
Shadow test Negatif Positif Negatif Pseudopos
Penyulit - Glaukoma - Uveitis +
glaukoma
5. Katarak Brunesen
- Katarak yang berwarna coklat sampai hitam (katarak nigra) terutama pada nukleus lensa,
juga dapat terjadi pada katarak pasien diabetes mellitus dan myopia tinggi. Sering tajam
penglihatan lebih baik daripada dugaan sebelumnya dan biasanya ini terdapat pada orang
berusia lebih dari 65 tahun yang belum memperlihatkan adanya katarak kortikal posterior.
6. Katarak diabetes
- Diakibatkan karena adanya penyakit diabetes mellitus.
- Terbagi dalam 3 bentuk :
Pasien dengan dehidrasi berat, asidosis dan hiperglikemia nyata, pada lensa akan terlihat
kekeruhan berupa garis akibat kapsul lensa berkerut. Bila dehidrasi lama akan terjadi
kekeruhan lensa, kekeruhan akan hilang bila terjadi rehidrasi dan kadar gula normal kembali
Pasien diabetes juvenile dan tua tidak terkontrol, dimana terjadi katarak serentak pada
kedua mata dalam 48 jam, bentuk dapat snow flake atau bentuk piring subkapsular
Katarak pada pasien diabetes dewasa dimana gambaran secara histologik dan biokimia
sama dengan katarak pasien nondiabetik.
2.3 EtTIOLOGI
Katarak dapat terjadi akibat :
1. Kelainan bawaan/ kongenital
2. Proses penuaan
Prevalensi katarak pada individu berusia 65 – 74 tahun adalah sebanyak 50%, prevalensi ini
meningkat hingga 70% pada individu di atas 75 tahun.
3. Kelainan sistemik atau metabolik seperti diabetes mellitus, galaktosemi dan distrofi
miotonik.
4. Genetik dan gangguan perkembangan
5. Infeksi virus di masa pertumbuhan janin
6. Bahan toksik : kimia dan fisik
7. Bermacam-macam penyakit mata seperti glaucoma, ablasi retina, uveitis dan retinitis
pigmentosa
8. Keracunan beberapa jenis obat seperti eserin 0.25 – 0.5%, kortikosteroid ergot,
antikolinesterase topical
9. Kelainan kaca mata minus yang dalam
2.4 PATOFISIOLOGI
Lensa mengandung tiga komponen anatomis. Pada zona central terdapat nucleus, di
perifer ada korteks dan yang mengelilingi keduanya adalah kapsul anterior dan posterior.
Pada lensa katarak secara karakteristik terdapat agregat-agregat protein yang
menghamburkan berkas cahaya dan mengurangi transparansinya. Perubahan protein pada
lensa mengakibatkan perubahan warna lensa menjadi coklat kekuningan. Di sekitar opasitas
terdapat densitas seperti duri di anterior dan posterior nucleus. Opasitas pada kapsul
posterior merupakan bentuk katarak yang paling bermakna nampak seperti kristal salju pada
jendela.
Perubahan fisik dan kimia dalam lensa mengakibatkan hilangnya transparansi. Perubahan
pada serabut halus multiple, memanjang dari badan silier ke sekitar daerah lensa
mengakibatkan penglihatan distorsi. Perubahan kimia dalam protein lensa dapat
menyebabkan koagolasi, sehingga mengakibatkan pandangan berkabut.Salah satu teori
menyebutkan terputusnya protein lensa normal disertai influks air ke dalam lensa yang
mengakibatkan patahnya serabut lensa yang tegang sehingga mengganggu transmisi sinar.
Teori lain mengatakan bahwa suatu enzim tertentu mempunyai peran dalam melindungi
lensa dari degenerasi, jumlah enzim ini akan menurun dengan bertambahnya usia.
Sejumlah faktor yang diduga turut berperan dalam terbentuknya katarak antara lain
kerusakan oksidatif (dari proses radikal bebas), sinar ultraviolet dan malnutrisi.
2.6 Komplikasi
2.7 Pemeriksaan
1. Pemeriksaan visus dengan kartu snellen atau chart projector dengan koreksi terbaik serta
menggunakan pinhole
2. Pemeriksaan dengan slit lamp untuk melihat segmen anterior
3. Tekanan intraocular (TIO) diukur dengan tonometer non contact, aplanasi atau Schiotz
4. Jika TIO dalam batas normal (< 21 mmHg) dilakukan dilatasi pupil dengan tetes mata
Tropicanamide 0.5%. setelah pupil cukup lebar dilakukan pemeriksaan dengan slit lamp
untuk melihat serajat kekeruhan lensa apakah sesuai dengan visus pasien.
a. Derajat 1 : nukleus lunak, biasanya visus masih lebih baik dari 6/12, tampak sedikit
kekeruhan dengan warna agak keputihan. Refluks fundus masih mudah diperoleh. Usia
penderitanya biasanya kurang dari 50 tahun.
b. Derajat 2 : Nukleus dengan kekerasan ringan, biasanya visus antara 6/12 – 6/30, tampak
nucleus mulai sedikit berawarna kekuningan. Refleks fundus masih mudah diperoleh dan
paling sering memberikan gambaran seperti katarak subkapsularis posterior.
c. Derajat 3 : nukleus dengan kekerasan medium, biasanya visus antara 6/30 – 3/60, tampak
nukleus berwarna kuning disertai kekeruhan korteks yang berwarna keabu-abuan
d. Derajat 4: nukleus keras, biasanya visus antara 3/60 – 1/60, tampak nukleus berwarna
kuning kecoklatan. Reflex fundus sulit dinilai
e. Derajat 5 ; nukleus sangat keras, biasanya visus hanya 1/60 atau lebih jelek. Usia penderita
sudah di atas 65 tahun. Tampak nucleus berawarna kecoklatan bahkan sampai kehitaman,
katarak ini sangat keras dan disebut juga sebagai Brunescence cataract atau black cataract.
5. Pemeriksaan funduskopi jika masih memungkinkan
6. Pemeriksaan penunjang : USG untuk menyingkirkan adanya kelainan lain pada mata selain
katarak
7. Pemeriksaan tambahan : biometri untuk mengukur power IOL jika pasien akan dioperasi
katarak dan retinometri untuk mengetahui prognosis tajam penglihatan setelah operasi.
2.8 Penatalaksanaan
1. Pembedahan dengan membersihkan lensa mata yang keruh
2. Katarak tidak dapat dibedah dengan sinar
3. Hasil bedah katarak sangat baik, 90% pasien pasca bedah dapat mempergunakan matanya
seperti sedia kala
4. Ada dua jenis operasi katarak yakni Ekstraksi Katarak Intrakapsuler (EKIK) dan Ekstraksi
Katarak Ekstrakapsuler (EKEK).
5. EKIK adalah pembedahan dengan mengeluarkan seluruh lensa bersama kapsul. Dapat
dilakukan pada zonula zinn telah rapuh atau berdegenerasi dan mudah diputus. Pada EKIK
tidak akan terjasi katarak sekunder.kontraindikasi EKIK adalah pada pasien < 40 tahun yang
masih mepunyai ligament hialoidea kapsuler. Penyulit yang sering terjadi: astigmat,
glaucoma, uveitis, endoftalmus dan perdarahan.EKIK sekarang jarang dilakukan karena
tersedianya teknik bedah yang lebih canggih.
6. EKEK adalah tindakan pembedahan pada lensa katarak dimana dilakukan pengeluaran isi
lensa dengan memecah atau merobek kapsul lensa anterior sehingga masa lensa dan korteks
lensa dapat keluar melalui robekan tersebut. Termasuk ke dalam golongan ini ekstraksi
linier, aspirasi dan irigasi. Penyulit yang dapat timbul pada pembedahan ini yaitu dapat
terjadinya katark sekunder, yakni terbentuknya jaringan fibrosis pada sisa lensa yang
tertinggal, paling cepat keadaan ini terlihat sesudah 2 hari EKEK.
7. Salah satu penemuan terbaru pada EKEK adalah Fakoemulsi. Cara ini memungkinkan
pengambilan lensa melalui insisi yang lebih kecil dengan menggunakan alat ultrasound
frekwensi tinggi untuk memecah nucleus dan korteks lensa menjadi partikel kecil yang
kemudian diaspirasi melalui alat yang sama yang juga memberikan irigasi kontinu. Dengan
teknik ini waktu penyembuhan menjadi lebih pendek dan penurunan insiden astigmatisme
pasca operasi.
8. Pada mata yang telah dikeluarkan lensanya akibat katarak, pasien akan menggalami
penglihatan yang tidak jelas dan perlu lensa pengganti dan mata tidak dapat melihat dekat
atau berakomodasi. Karena itu pasien memerlukan sebuah lensa pengganti / koreksi. Koreksi
ini dapat dilakukan dengan metode : kaca mata apakia, lensa kontak atau implant lensa
intraokuler (IOL)
9. Kaca mata apakia
Keuntungan : dapat mengambil alih fungsi lensa mata yang dikeluarkan, kaca mata
merupakan alat penglihatan yang aman dan harga yang tidak terlalu mahal.
Kerugian : adanya perasaan asing sewaktu memakainya, kaca mata terlalu tebal dan berat,
benda akan terlihat melengkungg, terlihat benda lebih besar 30% dari ukuran sesungguhnya,
pada waktu melihat harus selalu menggerakkan kepala karena melihat dengan bagian tengah
lensa, akibatnya terjadi penyempitan lapang pandangan, serta terdapat bagian yang tidak
terlihat pada lapang pandangan 40-60%.
10. Lensa kontak jauh lebih nyaman dari kaca mata apakia, dengan pembesaran 5% - 10%, tidak
menimbulkan aberasi sferis, tak ada penurunan lapang pandang dan tak ada kesalahan
orientasi spasial.
Kelemahan tenik ini adalah penyimpanan yang selamanya harus bersih dan kalau bisa steril,
pemakaian sukar pada usia lanjut dan diperlukannya ketrampilan pasien dalam hal
memasang, melepaskan dan merawat lensa kontak secara bersih.
11. IOL adalah lensa permanen plastic yang secara bedah diimplantasi ke dalam mata. Mampu
menghasilkan bayangan dengan bentuk dan ukuran normal, menghilangkan efekoptikal
lensa afakia yang menjengkelkan dan ketidakpraktisan lensa kontak .
Ada beberapa bentuk IOL :
g. Lensa bilik mata yang ditempatkan di depan iris dengan kaki penyokongnya bersandar pada
sudut bilik mata
h. Lensa dijepit pada iris yang kakinya tidak terletak pada sudut bilik mata
i. Lensa bilik mata belakang yang diletakkan pada kedudukan lensa normal di belakang iris.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang muncul selama periode peri operasi (pre, intra dan post operasi)
adalah :
1. Penurunan persepsi sensori : penglihatan yang berhubungan dengan penurunan tajam
penglihatan dan kejelasan penglihatan.
2. Ansietas yang berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kejadian operasi.
3. Resiko cedera yang berhubungan dengan peningkatan tekanan intraocular (TIO),
perdarahan, kehilangan vitreous.
4. Nyeri yang berhubungan dengan luka pasca operasi.
5. Gangguan perawatan diri yang berhubungan dengan penurunan penglihatan, pembatasan
aktivitas pasca operasi.
6. Resiko ketidakefektifan penatalaksanaan regimen terapeutik yang berhubungan dengan
kurang pengetahuan, kurang sumber pendukung.
Intervensi :
Rencana tindakan yang mungkin dapat diterapkan pada klien dengan katarak meliputi :
Dx. 1
Penurunan persepsi sensori : penglihatan yang berhubungan dengan penurunan tajam
penglihatan dan kejelasan penglihatan.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam klien
melaporkan atau memeragakan kemampuan yang lebih baik untuk proses rangsang
penglihatan dan mengkomunikasikan perubahan visual.
Kriteria hasil :
- Klien mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi penglihatan.
- \Klien mengidentifikasi dan menunjukan pola-pola alternative untuk meningkatkan
penerimaan rangsang penglihatan.
Intervensi :
1. Kaji ketajaman penglihatan klien.
R/ Mengidentifikasi kemampuan visual klien.
2. Identifikasi alternative untuk optimalisasi sumber rangsangan.
R/ Memberikan keakuratan penglihatan dan perawatanya.
3. Sesuaikan lingkungan untuk optimalisasi penglihatan :
- Orientasikan klien terhadap ruang rawat.
- Letakan alat yang sering digunakan di dekat klien atau pada sisi mata yang lebih sehat.
- Berikan pencahayaan cukup.
- Letakan alat di tempat yang tepat.
- Hindari cahaya menyilaukan.
- Anjurkan penggunaan alternative rangsang lingkungan yang dapat diterima: auditorik,
taktil.
R/ Meningkatkan kemampuan persepsi sensori.
Dx. 2
Ansietas yang berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kejadian operasi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam tidak terjadi kecemasan.
Kriteria hasil :
- Klien mengungkapkan kecemasan hilang atau minimal.
- Klien berpartisipasi dalam persiapan operasi.
Intervensi :
1. Jelaskan gambaran kejadian pre dan paska operasi, manfaat operasi, dan sikap yang harus
dilakukan klien selama masa operasi.
R/ Meningkatkan pemahaman tentang gambaran operasi untuk menurunkan ansietas.
2. Jawab pertanyaan khusus tentang pembedahan.
R/ Meningkatkan kepercayaan dan kerjasama.
3. Berikan waktu untuk mengekspresikan perasaan.
R/ Berbagi perasaan membantu menurunkan tegangan.
4. Informasikan bahwa perbaikan penglihatan tidak terjadi secara langsung, tetapi bertahap
sesuai penurunan bengkak pada mata dan perbaikan kornea.
R/ Informasi tentang perbaikan penglihatan bertahap diperlukan untuk mengantisipasi
depresi atau kekecewaan setelah fase operasi dan memberikan harapan akan hasil operasi.
Dx. 3
Resiko cedera yang berhubungan dengan peningkatan tekanan intraocular (TIO),
perdarahan, kehilangan vitreous.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam tidak terjadi
cedera mata pasca operasi.
Kriteria hasil : - Klien dapat menyebutkan faktor yang menyebabkan cedera.
- Klien tidak melakukan aktivitas yang meningkatkan resiko cedera.
Intervensi :
1. Diskusikan tentang rasa sakit, pembatasan aktifitas dan pembalutan mata.
R/ Meningkatkan kerjasama dan pembatasan yang diperlukan.
2. Tempatkan klien pada tempat tidur yang rendah dan ajurkan untuk membatasi pergerakan
mendadak atau tiba-tiba serta menggerakan kepala berlebih.
R/ Istirahat mutlak diberikan hanya beberapa menit hingga satu atau dua jam paska operasi
atau satu malam jika ada komplikasi.
3. Bantu aktifitas selama fase istirahat.
R/ Mencegah atau menurunkan resiko komplikasi cedera.
4. Ajarkan klien untuk menghindari tindakan yang dapat menyebabkan cedera.
R/ Tindakan yang dapat meningkatkan TIO dan menimbulkan kerusakan struktur mata
paska operasi:
- Mengejan (valsalva maneuver)
- Menggerakan kepala mendadak
- Membungkuk terlalu lama
- Batuk
5. Amati kondisi mata : luka menonjol, bilik mata depan menonjol, nyeri mendadak setiap 6
jam pada awal operasi atau seperlunya.
R/ Berbagai kondisi seperti luka menonjol, bilik mata menonjol, nyeri mendadak, hyperemia
serta hipopion mungkin menunjukan cedera mata paska operasi.Apabila pandangan melihat
benda mengapung (floater) atau tempat gelap mungkin menujukan ablasio retina.
Dx. 4
Nyeri yang berhubungan dengan luka pasca operasi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam nyeri berkurang, hilang
dan terkontrol.
Kriteria hasil :
- Klien mendemonstrasikan tehnik penurunan nyeri.
- Klien melaporkan nyeri berkurang atau hilang.
Intervensi :
1. Kaji derajat nyeri setiap hari.
R/ Normalnya nyeri terjadi dalam waktu kurang dari lima hari setelah operasi dan berangsur
menghilang. Nyeri dapat meningkat karena peningkatan TIO 2-3 hari paska operasi.Nyeri
mendadak menunjukan peningkatan TIO massif.
2. Anjurkan untuk melaporkan perkembangan nyeri setiap hari atau segera saat terjadi
peningkatan nyeri mendadak.
R/ Meningkatkan kolaborasi ; memberikan rasa aman untuk peningkatan dukungan
psikologis.
3. Anjurkan klien untuk tidak melakukan gerakan tiba-tiba yang dapat memprovokasi nyeri.
R/ Beberapa kegiatan klien dapat meningkatkan nyeri seperti gerakan tiba-tiba,
membungkuk, mengucek mata, batuk, mengejan.
4. Ajarkan tehnik distraksi dan relaksasi.
R/ Menurunkan ketegangan, mengurangi nyeri.
5. Lakukan tindakan kolaboratif untuk pemberian analgesic topical atau sistemik.
R/ Mengurangi nyeri dengan meningkatkan ambang nyeri.
Dx. 5
Gangguan perawatan diri yang berhubungan dengan penurunan penglihatan, pembatasan
aktivitas pasca operasi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam kebutuhan perawatan diri
klien terpenuhi.
Kriteria hasil :
- Klien mendapatkan bantuan parsial dalam pemenuhan kebutuhan diri.
- Klien memeragakan perilaku perawatan diri secara bertahap.
Intervensi :
1. Terangkan pentingnya perawatan diri dan pembatasan aktivitas selama fase paska operasi.
R/ Klien dianjurkan untuk istirahat di tempat tidur pada 2-3 jam pertama paska operasi atau
12 jam jika ada komplikasi. Selama fase ini, bantuan total diperlukan bagi klien.
2. Bantu klien untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri.
R/ Memenuhi kebutuhan perawatan diri.
3. Secara bertahap, libatkan klien dalam memenuhi kebutuhan diri.
R/ Upaya melibatkan klien dalam aktivitas perawatan dirinya dilakukan bertahap dengan
berpedoman pada prinsip bahwa aktivitas tidak memicu peningkatan TIO dan menyebabkan
cedera mata. Kontrol klinis dilakukan dengan menggunakan indicator nyeri mata pada saat
melakukan aktivitas.Umumnya 24 jam paska operasi, individu boleh melakukan aktivitas
perawatan diri.
Dx. 6
Resiko ketidakefektifan penatalaksanaan regimen terapeutik yang berhubungan dengan
kurang pengetahuan, kurang sumber pendukung.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam perawatan rumah berjalan
efektif.
Kriteria hasil :
- Klien mampu mengidentifikasi kegiatan keperawatan rumah (lanjutan) yang diperlukan.
- Keluarga menyatakan siap untuk mendampingi klien dalam melakukan perawatan.
Intervensi :
1. Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang perawatan paska hospitalisasi.
R/ Sebagai modalitas dalam pemberian pendidikan kesehatan tentang perawatan di rumah.
2. Terangkan aktivitas yang diperbolehkan dan dihindari (minimal untuk 1 minggu) untuk
mencegah komplikasi post operasi.
R/ Aktivitas yang diperbolehkan :
- Menonton televise, membaca tetapi jangan terlalu lama.
- Mengerjakan aktivitas biasa (ringan dan sedang).
- Mandi waslap, selanjutnya dengan bak mandi atau pancuran (dengan bantuan).
- Tidak boleh membungkuk pada wastafel atau bak mandi, condongkan kepala sedikit
kebelakang saat mencuci rambut.
- Tidur dengan perisai atau pelindung mata logam pada malam hari, mengenakan kacamata
pada siang hari.
- Aktivitas dengan duduk.
- Mengenakan kaca mata hitam untuk kenyamanan.
- Berlutut atau jongkok saat mengambil sesuatu dari lantai.
R/ Aktivitas yang dihindari :
- Tidur pada sisi yang sakit.
- Menggosok mata, menekan kelopak mata.
- Mengejan saat defekasi.
- Memakai sabun mendekati mata.
- Mengangkat benda lebih dari 7 kg.
- Melakukan hubungan seks.
- Mengendarai kendaraan.
- Batuk, bersin, muntah.
- Menundukan kepala sampai bawah pinggang.
3. Terangkan berbagai kondisi yang perlu dikonsultasikan.
R/ Kondisi yang harus segera dilaporkan :
- Nyeri pada dan disekitar mata, sakit kepala menetap.
- Setiap nyeri yang tidak berkurang dengan obat pengurang nyeri.
- Nyeri disertai mata merah, bengkak, atau keluar cairan : inflamasi dan cairan dari mata.
- Nyeri dahi mendadak.
- Perubahan ketajaman penglihatan, kabur, pandangan ganda, selaput pada lapang
penglihatan, kilatan cahaya, percikan atau bintik didepan mata, kalau di sekitar sumber
cahaya.
4. Terangkan cara penggunaan obat-obatan.
R/ Klien mungkin mendapatkan obat tetes atau salep(topical).
5. Berikan kesempatan bertanya.
R/ Meningkatkan rasa percaya, rasa aman, dan mengeksplorasi pemahaman serta hal-hal
yang mungkin belum dipahami.
6. Tanyakan kesiapan klien paska hospitalisasi.
R/ Respon verbal untuk meyakinkan kesiapan klien dalam perawatan hospitalisasi.
7. Identifikasi kesiapan keluarga dala perawatan diri klien paska hospitalisasi.
R/ Kesiapan keluarga meliputi orang yang bertanggung jawab dalam perawatan, pembagian
peran dan tugas serta penghubung klien dan institusi pelayanan kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Vaughan et al. 2009. Oftalmologi Umum. Jakarta. EGC
Ilyas Sidarta. 2004. Ilmu Perawatan Mata. Jakarta. CV.Sagung Seto
Brunner et al. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta. EGC
Hollwich Fritz. 1993. Opthalmology. Jakarta. Binarupa Aksara