Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN MINI PROJECT

Tingkat Kepatuhan Minum OAT Pada pasien TB Paru


di Wilayah Kerja Puskesmas Wajo Kelurahan Wajo Tahun 2019

Disusun Oleh :

dr. Virna Septiana

Pembimbing
dr. LM. Awaluddin

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


PUSKESMAS WAJO
KOTA BAUBAU
2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini terjadi di seluruh dunia dan merupakan
pembunuh terbesar kedua penyakit infeksi di dunia setelah Human Immunodeficiency
Virus / Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS).
Secara global pada tahun 2016 terdapat 10,4 juta kasus insiden TBC (CI 8,8 juta –
12, juta) yang setara dengan 120 kasus per 100.000 penduduk. Lima negara dengan insiden
kasus tertinggi yaitu India, Indonesia, China, Philipina, dan Pakistan. Sebagian besar
estimasi insiden TBC pada tahun 2016 terjadi di Kawasan Asia Tenggara (45%) dan 25%
nya terjadi di kawasan Afrika. (WHO, 2014).
Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun 2017 (data
per 17 Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TBC 2017 pada laki-laki
1,4 kali lebih besar dibandingkan perempuan. Bahkan berdasarkan Survei Prevalensi
Tuberculosis prevalensi laki-laki 3 kali lebih tinggi dibandingkan pada perempuan. Begitu
juga pada negara-negara lain. Berdasarkan survei prevalensi TBC 2013-2014, prevalensi
TBC dengan konfirmasi bakteriologis di Indonesia sebesar 759 per 100.00 penduduk
berumur 15 tahun ke atas. Gambaran kesakitan menurut pendidikan menunjukkan,
prevalensi semakin rendah seiring dengan tingginya tingkat pendidikan. Sama halnya
dengan semakin tinggi tingkat kemampuan social ekonomi prevalensi semakin rendah
(Kemenkes RI, 2018).
Pada tahun 2017 di Sulawesi Tenggara ditemukan 2.587 kasus baru BTA positif
(BTA+), menurun dibandingkan tahun 2016 dengan 3.105 kasus. Penemuan kasus baru
tertinggi yang dilaporkan pada tahun 2017 berasal dari 4 kabupaten yaitu Kota Kendari,
Kabupaten Konawe, Kolaka, dan Baubau. Jumlah kasus baru di empat kabupaten tersebut
mencapai ˃50% dari keseluruhan kasus baru BTA+ di Sulawesi Tenggara. Baubau berada
di urutan keempat kasus terbanyak di Sultra dengan 228 kasus BTA+ pada tahun 2017
(Dinkes Sultra, 2018). Data yang ada menunjukkan bahwa jumlah kasus baru BTA+
tertinggi rata-rata terjadi di kabupaten/kota yang berpenduduk besar, ini menunjukan
bahwa kejadian kasus baru BTA+ di Sulawesi Tenggara tidak merujuk pada karakteristik
wilayah tertentu, tapi lebih kepada besar kecilnya jumlah penduduk, ini berarti pula bahwa
proporsi kasus BTA+ di masyarakat relatif merata di semua kabupaten/kota. (Kemenkes
RI, 2018).
Untuk wilayah kerja dari Puskesmas Wajo sendiri, jumlah insiden kasus TB yang
ditemukan sejak awal tahun 2017 adalah 51 kasus. Pada tahun 2018 terdapat 42 kasus.
Pada tahun 2019 terdapat 31 kasus. Kasus-kasus TB ini didapatkan dari pemeriksaan
skrining dahak dengan BTA+ , dari foto thorax dan GeneXpert
Sesuai dengan alur diagnosis dan tindak lanjut TB paru pada dewasa, pasien
dengan pemeriksaan klinis dan BTA negatif pada fasilitas yang tidak bisa dirujuk, terlebih
dahulu diberikan terapi antibiotik non obat anti tuberkulosis (OAT).Pada fasilitas rujukan
apabila pada foto toraks mendukung kearah TB, berdasarkan pertimbangan dokter dapat
didiagnosis TB. Namun bila tidak mendukung kearah TB, pertimbangan dokter dapat
menganggap bukan TB. Sehingga hal yang demikian dapat menimbulkan under atau
overdiagnosis TB.
Teknik kultur masih dianggap sebagai pemeriksaan baku emas karena identifikasi
dan sensitivitas yang lebih baik dibanding pemeriksaan BTA, namun pertumbuhan lambat
bakteri M. tuberculosis merupakan hambatan besar untuk diagnosis cepat penyakit ini.
Kelemahan lainnya adalah fasilitas pemeriksaan kultur yang hanya ada di laboratorium
tertentu. Adanya beberapa kekurangan metode ini dan membutuhkan waktu yang lama
dalam menentukan diagnosis pasti TB paru, maka dibutuhkan alat diagnostik yang cepat
dan mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi untuk memperbaiki metoda
diagnostik yang konvensional seperti pewarnaan BTA dan kultur. Berbagai metoda baru
telah dikembangkan saat ini untuk diagnosis cepat TB aktif dengan teknik terbaik seperti
pemeriksaan genotip atau molekuler.
GeneXpert merupakan penemuan terobosan untuk diagnosis TB berdasarkan
pemeriksaan molekuler yang menggunakan metode Real Time Polymerase Chain
Reaction Assay (RT-PCR) semi kuantitatif yang menargetkan wilayah hotspot gen rpoB
pada M. tuberculosis, yang terintegrasi dan secara otomatis mengolah sediaan dengan
ekstraksi deoxyribo nucleic acid (DNA).

B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah tingkat kepatuhan minum OAT pada pasien TB paru di Puskesmas
Wajo tahun 2019 ?
C. Tujuan Kegiatan
Mengetahui tingkat kepatuhan minum OAT pada pasien TB paru di puskesmas Wajo
tahun 2019.

D. Manfaat Penulisan
1. Melaksanakan program Mini Project dokter internsip di puskesmas Wajo.
2. Meningkatkan pengetahuan pasien TB paru mengenai penyakit TB paru dan
pentingnya kepatuhan minum OAT.
3. Meningkatkan pelayanan program pengobatan TB paru di puskesmas Wajo.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Penyakit tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman Mycobacterium tuberculosis
menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya. Penyakit ini merupakan
infeksi bakteri kronik yang ditandai oleh pembentukan granuloma pada jaringan yang
terinfeksi dan reaksi hipersensitivitas yang diperantarai sel (cell mediated
hypersensitivity). Penyakit tuberkulosis yang aktif bisa menjadi kronis dan berakhir
dengan kematian apabila tidak dilakukan pengobatan yang efektif (Daniel, 1999).
Klasifikasi penyakit tuberkulosis berdasarkan organ tubuh yang diserang kuman
Mycobacterium tuberculosis terdiri dari tuberkulosis paru dan tuberkulosis ekstra paru.
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk
pleura (selaput paru). Sedangkan tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang
menyerang organ tubuh lain selain paru misalnya, pleura, selaput otak, selaput jantung
(perikardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat
kelamin, dan lain-lain (Depkes RI, 2006).

B. Kuman tuberkulosis
Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri batang tipis lurus berukuran sekitar 0,4
x 3 µm (Brooks,et al 2004).

Gambar 2.1. Mycobacterium tuberculosis pada pewarnaan tahan asam


Gambar di atas adalah Mycobacterium tuberculosis yang dilihat dengan
pewarnaan tahan asam dan berwarna merah. Sebagian besar bakteri ini terdiri atas asam
lemak (lipid), peptidoglikan dan arabinoman. Lipid inilah yang menyebabkan kuman
mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan sehingga disebut pula
sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA) (Daniel, 1999).
Di dalam jaringan Mycobacterium tuberculosis hidup sebagai parasit intraseluler
yakni dalam sitoplasma makrofag. Sifat lain bakteri ini adalah aerob, sehingga bagian
apikal merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis (Bahar, 2007).

C. Cara penularan
Sumber penularan adalah melalui pasien tuberkulosis paru BTA (+). Pada waktu
batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan
dahak). Kuman yang berada di dalam droplet dapat bertahan di udara pada suhu kamar
selama beberapa jam dan dapat menginfeksi individu lain bila terhirup ke dalam saluran
nafas. Kuman tuberkulosis yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan dapat
menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran
limfe, saluran pernafasan, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya
(Depkes RI, 2006).

D. Risiko penularan
Risiko penularan tiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection =ARTI) di
Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3 %. Pada daerah dengan ARTI
sebesar 1% mempunyai arti bahwa pada tiap tahunnya diantara 1000 penduduk, 10 orang
akan terinfeksi. Sebagian besar orang yang terinfeksi tidak akan menderita tuberkulosis,
hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita tuberkulosis (Depkes
RI, 2006).

E. Patogenesis tuberkulosis
1. Infeksi primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman
tuberkulosis. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati
sistem pertahanan mukosilier bronkus dan terus berjalan sampai ke alveolus dan
menetap di sana. Infeksi dimulai saat kuman tuberkulosis berhasil berkembang biak
dengan cara membelah diri di paru yang mengakibatkan radang dalam paru. Saluran
limfe akan membawa kuman ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut
kompleks primer. Waktu terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer
adalah 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadi perubahan reaksi
tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung
kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada
umumnya respon daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman
tuberkulosis. Meskipun demikian, ada beberapa kuman menetap sebagai kuman
persisten atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu
menghentikan perkembangan kuman. Akibatnya dalam beberapa bulan yang
bersangkutan akan menjadi pasien tuberkulosis. Masa inkubasi mulai dari seseorang
terinfeksi sampai menjadi sakit, membutuhkan waktu sekitar 6 bulan (Depkes RI,
2006).
2. Tuberkulosis pasca primer (post primary tuberculosis)
Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun
sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi
HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah
kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura (Depkes RI, 2006).

F. Faktor Resiko Tuberculosis


1. Host
Host atau pejamu adalah manusia atau hewan hidup, termasuk burung dan
arthropoda yang dapat memberikan tempat tinggal dalam kondisi alam. Manusia
merupakan reservoar untuk penularan bakteri Mycobacterium tuberculosis, bakteri
tuberkulosis menular melalui droplet nuclei. S (Depkes RI, 2002). Adanya riwayat
kontak dengan penderita juga menjadi factor resiko yang dipengaruhi oleh faktor lain,
seperti kurangnya kesadaran dari keluarga terhadap kesehatan lingkungan rumah
mereka misalnya tidak memiliki kesadaran untuk membuka setiap jendela-jendela
rumah agar ada udara yang masuk. Selain itu, faktor lain yang mempengaruhinya adalah
pada saat batuk penderita tidak menutup mulut, hal itu dapat menyebabkan penularan
melalui inhalasi droplet yang berasal dari orang yang terinfeksi bakteri tersebut
(Pangalo, 2018).
Host untuk bakteri tuberkulosis paru adalah manusia dan hewan, tetapi host yang
dimaksud disini adalah manusia. Beberapa faktor host yang mempengaruhi penularan
penyakit tuberkulosis paru adalah :
a. Umur
Lingkungan kerja yang padat serta berhubungan dengan banyak orang menjadi
faktor risiko bagi usia produktif untuk menderita TB paru. Hal tersebut disebabkan
meningkatnya peluang bagi usia produktif untuk terpapar dengan M.tuberculosis.
Sedangkan anak dengan usia<2 tahun berisiko menderita TB paru yang ditularkan
melalui kehidupan rumah tangga. Lamanya kontak atau terpapar dengan penderita
TB paru adalah faktor risiko untuk tertular (Dotulong, 2015; Narasimhan, 2013)
b. Jenis kelamin
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki yang menderita TB paru lebih
banyak dibandingkan perempuan. Hal ini disebabkan laki-laki lebih banyak
merokok dan mengonsumsialkohol yang merupakan faktor risiko terjadinya infeksi,
termasuk TB paru (Dotulong, 2015)
c. Status Gizi
Apabila kualitas dan kuantitas gizi yang masuk dalam tubuh cukup akan
berpengaruh pada daya tahan tubuh sehingga tubuh akan tahan terhadap infeksi
bakteri tuberkulosis paru. Namun apabila keadaan gizi buruk maka akan mengurangi
daya tahan tubuh terhadap penyakit ini, karena kekurangan kalori dan protein serta
kekurangan zat besi, dapat meningkatkan risiko tuberkulosis paru.
d. Status imunitas
Seseorang dengan status imunitas yang rendah, misalnya pada pasien HIV/AIDS
sangat berisiko untuk menderita TB, menurunnya imunitas meningkatkan risiko
terjadinya infeksi. Cell mediated immunity adalah komponen penting pertahanan
tubuh yang dilemahkan oleh HIV sehingga meningkatkan risiko reaktivasi TB paru
dan pada umumnya juga meningkatkan risiko penyebaran yang luas dan
menyebabkan extra pulmonary tuberculosis. Individu dengan penyakit autoimun
yang telah menerima pengobatan tumor necrosis factor – alpha(TNFα) inhibitor juga
berisiko tinggi menderita TB karena TNFα sangat berperan penting dalam respon
imun terhadap bakteri, jamur, parasit dan mikroba lainnya (Narasimhan, 2013)
2. Agen
Agen adalah faktor esensial yang harus ada agar penyakit dapat terjadi. Agent
dapat berupa benda hidup, tidak hidup, energi, sesuatu yang abstrak, suasana sosial,
yang dalam jumlah yang berlebih atau kurang merupakan penyebab utama/esensial
dalam terjadinya penyakit (Werdhani, 2009). Agent yang mempengaruhi penularan
penyakit tuberkulosis adalah bakteri Mycobacterium tuberculosis. Agent ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pathogenitas, infektifitas dan virulensi (
Apsari,2018).
3. Lingkungan
Lingkungan lembab, ventilasi yang buruk dan kurangnya sinar ultraviolet
berperan penting dalam rantai penularan TB paru. M.tuberculosis merupakan bakteri
yang tidak tahan terhadap sinar ultraviolet, sehingga lingkungan yang lembab dan sinar
ultraviolet kurang menjadi risiko seseorang untuk menderita TB (Setiati, 2014)

G. Gejala Tuberculosis
1. Gejala sistemik (Setiati, 2014)
1) Demam
Biasanya demam subfebris yang menyerupai deman influenza, tetapi kadang-kadang
mencapai 40-41°C. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien
dan berat ringannya infeksi kuman TB yang masuk.
2) Maleise
Gejala maleisi yang sering ditemukan adalah anoreksia, tidak ada nafsu makan, sakit
kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam dan lain-lain. Gejala malaise semakin
lama semakin berat dan sering hilang timbul secara tidak teratur.
3) Berat badan turun
Pasien biasanya tidak merasakan penurunan berat badan. Sebaiknya, berat badan
ditanyakan pada saat sekarang dan waktu pasien belum sakit.
4) Rasa lelah
Rasa lelah jarang dikeluhkan oleh pasien.

2. Gejala respiratorik (Setiati, 2014)


1) Batuk / batuk darah
Batuk terjadi karena adanya iritasi bronkus. Karena terlibatnya bronkus pada setiap
penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru terjadi setelah penyakit TB
berkembang dalam jaringan paru setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan
peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif)
kemudian setelah timbul peradangan berubah menjadi produktif (menghasilkan
dahak). Batuk dapat menhasilkan darah karena terdapat pembuluh darah kecil yang
pecah.
2) Sesak nafas
Sesak nafas ditemukan pada penderita TB paru yang sudah lanjut, dimana
infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
3) Nyeri dada
Nyeri dada muncul bila infiltrasi sel radang telah sampai ke pleura sehingga
menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik
nafas/melepaskan nafasnya.
4) Sering terserang flu
Daya tahan tubuh yang menurun menyebabkan tubuh rentan terhadap infeksi lain
seperti influenza.

H. Klasifikasi
1. Berdasarkan Organ yang Terkena
a. Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru,
tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
b. Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput
otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus,
ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain – lain.
2. Berdasarkan Pemeriksaan Laboratorium
a. Tuberkulosis paru BTA positif
- Sekurang- kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif
- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukan
gambaran tuberkulosis
- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif
- 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT
b. Tuberkulosis paru BTA negatif
- Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.
- Foto toraks abnormal menunjukan gambaran tuberkulosis.
- Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
- Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
3. Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya
a. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
b. Kasus kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA postif (apusan atau kultur).
c. Kasus setelah putus berobat (default) adalah pasien yang telah berobat dan putus
berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
d. Kasus setelah gagal (failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap
positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
e. Kasus pindahan (transfes in) adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang
memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
f. Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kasus
ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulangan.

I. Diagnosis Tuberkulosis
Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan diagnosis klinis, dilanjutkan dengan
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologis.
1. Diagnosis klinis
Diagnosis klinis adalah diagnosis yang ditegakkan berdasarkan ada atau
tidaknya gejala pada pasien. Pada pasien TB paru gejala klinis utama adalah batuk
terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih. Gejala tambahan yang
mungkin menyertai adalah batuk darah, sesak nafas dan rasa nyeri dada, badan lemah,
nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise),
berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan dan demam/meriang lebih dari sebulan
(Depkes RI, 2006).
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan pertama pada keadaan umum pasien mungkin ditemukan
konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris), badan
kurus atau berat badan menurun. Pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak
menunjukkan suatu kelainan terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah
terinfiltrasi secara asimtomatik. Pada TB paru lanjut dengan fibrosis yang luas sering
ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bila TB mengenai pleura, sering
terbentuk efusi pleura sehingga paru yang sakit akan terlihat tertinggal dalam
pernapasan, perkusi memberikan suara pekak, auskultasi memberikan suara yang
lemah sampai tidak terdengar sama sekali. Dalam penampilan klinis TB sering
asimtomatik dan penyakit baru dicurigai dengan didapatkannya kelainan radiologis
dada pada pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin yang positif (Bahar, 2007).
3. Pemeriksaan radiologis
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk
menemukan lesi TB. Dalam beberapa hal pemeriksaan ini lebih memberikan
keuntungan, seperti pada kasus TB anak-anak dan TB milier yang pada pemeriksaan
sputumnya hampir selalu negatif. Lokasi lesi TB umumnya di daerah apex paru tetapi
dapat juga mengenai lobus bawah atau daerah hilus menyerupai tumor paru. Pada awal
penyakit saat lesi masih menyerupai sarang-sarang pneumonia, gambaran radiologinya
berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah
diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas tegas dan
disebut tuberkuloma (Depkes RI, 2006).
Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat dengan densitas
tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas dengan penciutan yang dapat
terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu bagian paru. Gambaran
tuberkulosa milier terlihat berupa bercak-bercak halus yang umumnya tersebar merata
pada seluruh lapangan paru. Pada TB yang sudah lanjut, foto dada sering didapatkan
bermacam-macam bayangan sekaligus seperti infiltrat, garis-garis fibrotik, kalsifikasi,
kavitas maupun atelektasis dan emfisema (Bahar, 2007). Sebagaimana gambar TB
paru yang sudah lanjut pada foto rontgen dada di bawah ini :

Gambar 2.2 Tuberkulosis Yang Sudah Lanjut Pada Foto Rontgen Dada (Bahar, 2007)
4. Pemeriksaan bakteriologis
a. Sputum
Menurut American Thoracic Society (ATS) dan WHO 1964 diagnosis pasti
tuberkulosis paru adalah dengan menemukan kuman M. tuberculosis dalam sputum
atau jaringan paru secara biakan, namun tidak semua memberikan sediaan atau biakan
sputum yang positif karena kelainan paru yang belum berhubungan dengan bronkus
atau pasien tidak bisa membatukkan sputumnya dengan baik sehingga diagnosis
tuberkulosis paru banyak ditegakkan berdasarkan kelainan klinis dan radiologis saja.
Kesalahan diagnosis dengan cara ini cukup banyak sehingga memberikan efek terhadap
pengobatan yang sebenarnya tidak diperlukan.
Sumber penularan TB paru adalah pasien TB dengan Basil Tahan Asam (BTA)
positif melalui percik renik sputum yang dikeluarkannya, namun bukan berarti bahwa
pasien TB dengan hasil pemeriksaan negatif tidak mengandung kuman dalam
sputumnya. Hal tersebut bisa terjadi oleh karena jumlah kuman yang terkandung dalam
contoh uji < 5000 kuman/ml sputum sehingga sulit dideteksi melalui pemeriksaan
mikroskopis langsung.5 Pemeriksaan BTA pada spesimen sputum telah digunakan di
seluruh dunia untuk menegakkan diagnosa TB.Pasien dengan BTA sputum negatif
kurang infeksius dibandingkan dengan BTA sputum positif tetapi tetap menjadi sumber
penularan kuman TB.Mikroskopdapat mendeteksi kuman mikobakterium dengan
jumlah minimal 5000 kuman/ml sputum, sedangkan jumlah yang dapat menginfeksi
hanya beberapa kuman. Oleh karena itu, orang dalam kontak dengan pasien TB paru
BTA negatif tetap berada pada risiko infeksi akibat M. tuberculosis dan perkembangan
selanjutnya menjadi aktif.
Proporsi kasus TB dengan BTA negatif di Indonesiamengalami peningkatan
dari 56% pada tahun 2008 menjadi 59% pada tahun 2009. Peningkatan jumlah kasus
TB dengan BTA negatif yang terjadi selama beberapa tahun terakhir sangat mungkin
disebabkan oleh karena meningkatnya pelaporan kasus TB dari rumah sakit yang telah
terlibat dalam program TB nasional. Pasien TB dengan BTA negatif dengan kultur
positif memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB sebesar 26%, sedangkan pasien
TB dengan hasil kultur negatif dan foto torak positif adalah 17%. Totsmann et al (2008)
di Belanda mendapatkan pasien dengan BTA negatif dan kultur positif akan menjadi
sumber penularan TB sebesar 13%. Meskipun metode tercepat, termudah dan termurah
yang tersedia adalah pewarnaan BTA namun sensitivitasnya yang rendah telah
membatasi penggunaannya terutama di daerah dengan insiden TB rendah, TB
ekstrapulmoner serta pada pasien terinfeksi HIV. Pulasan BTA sputum juga
mempunyai sensitivitas yang rendah terutama TB nonkavitas yang memberikan
kepositifan 10%. Pada pasien dengan gambaran klinis TB paru diperkirakan 40%
mempunyai hasil negatif pada pulasan sputumnya. Foto polos toraks memberi hasil
dengan sensitivitas tak lebih 30% pada negara berkembang. Bila terdapat gambaran
infiltrat di lobus atas dan kavitas pada foto polos toraks, maka kemungkinan TB paru
80–85%.
Dhingra VK et al (2003) menilai validitas dan reliabilitas pemeriksaan BTA
sputum dibandingkan dengan kultur pada media Loweinstein Jensen terhadap 5776
pasien tuberkulosis paru. Didapatkan sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan BTA
sputum sebesar 62% dan 99% dengan nilai prediksi positif 96,4% dan nilai prediksi
negatif 84,2%.
Sesuai dengan alur diagnosis dan tindak lanjut TB paru pada dewasa, pasien
dengan pemeriksaan klinis dan BTA negatif pada fasilitas yang tidak bisa dirujuk,
terlebih dahulu diberikan terapi antibiotik non obat anti tuberkulosis (OAT).Pada
fasilitas rujukan apabila pada foto toraks mendukung kearah TB, berdasarkan
pertimbangan dokter dapat didiagnosis TB. Namun bila tidak mendukung kearah TB,
pertimbangan dokter dapat menganggap bukan TB. Sehingga hal yang demikian dapat
menimbulkan under atau overdiagnosis TB. Teknik kultur masih dianggap sebagai
pemeriksaan baku emas karena identifikasi dan sensitivitas yang lebih baik dibanding
pemeriksaan BTA, namun pertumbuhan lambat bakteri M. tuberculosis merupakan
hambatan besar untuk diagnosis cepat penyakit ini. Kelemahan lainnya adalah fasilitas
pemeriksaan kultur yang hanya ada di laboratorium tertentu.
Adanya beberapa kekurangan metode ini dan membutuhkan waktu yang lama
dalam menentukan diagnosis pasti TB paru, maka dibutuhkan alat diagnostik yang
cepat dan mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi untuk memperbaiki
metoda diagnostik yang konvensional seperti pewarnaan BTA dan kultur. Berbagai
metoda baru telah dikembangkan saat ini untuk diagnosis cepat TB aktif dengan teknik
terbaik seperti pemeriksaan genotip atau molekuler.
GeneXpert merupakan penemuan terobosan untuk diagnosis TB berdasarkan
pemeriksaan molekuler yang menggunakan metode Real Time Polymerase Chain
Reaction Assay (RT-PCR) semi kuantitatif yang menargetkan wilayah hotspot gen
rpoB pada M. tuberculosis, yang terintegrasi dan secara otomatis mengolah sediaan
dengan ekstraksi deoxyribo nucleic acid (DNA) dalam cartridgesekali pakai. Penelitian
invitro menunjukkan batas deteksi kuman TB dengan metode RT-PCR GeneXpert
minimal 131 kuman/ml sputum.Waktu hingga didapatkannya hasil kurang dari dua jam
dan hanya membutuhkan pelatihan yang simpel untuk dapat menggunakan alat ini.
Teknik pemeriksaan dengan metode RT-PCR GeneXpert didasarkan pada
amplifikasi berulang dari target DNA dan kemudian dideteksi secara fluorimetrik.
Teknik ini dapat mengidentifikasigen rpoBM. tuberculosis dan urutannya secara lebih
mudah, cepat dan akurat. Gen ini berkaitan erat dengan ketahanan sel dan merupakan
target obat rifampisin yang bersifat bakterisidal pada M. tuberculosis dan M. leprae.
Penelitian pendahuluan menyatakan sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi pada
sampel saluran pernapasan untuk mendeteksiM. tuberculosis dan sekaligus mendeteksi
resistensi M. tuberculosis terhadap rifampisin.
Penelitian Boehme CC et al (2010) meneliti 171 kasus TB BTA negatif/kultur
positif didapatkan 72,5% positif dengan sekali pengujian dengan metode RTPCR
GeneXpert. Jika dilakukan pengujian sampel sampai 3 kali, sensitivitas meningkat
menjadi 90,2%.16 Menurut WHO tahun 2011, dari hasil controlled clinical validation
trials yang melibatkan 1730 penderita suspek TB atau Multi Drug Resistant (MDR) TB
didapatkan dengan uji satu sampel, sensitivitas pemeriksaan dengan metode RT-PCR
GeneXpert pada BTA negatif/kultur positif 72,5% dan meningkat menjadi 90,2% bila
ketiga sampel diuji, dengan spesifisitas 99%.17 http://jurnal.fk.unand.ac.id 733 Jurnal
Kesehatan Andalas. 2016; 5(3) Van Rie A et al (2013) meneliti kasus suspek TB dengan
BTA negatif, didapatkan sensitivitas dan spesifisitas pewarnaan BTA adalah 27% dan
99%, sedangkan pemeriksaan dengan metode RT-PCR GeneXpert didapatkan
sensitivitas 67% dan spesifisitas 99%. Semua kasus yang diidentifikasi oleh RT-PCR
GeneXpert mendapatkan terapi pada hari yang sama atau pada hari berikutnya.
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan jumlah penyakit
infeksi TB yang tinggi di dunia, maka sangat diperlukan diagnosis dan pengobatan yang
cepat dan tepat sehingga dapat menekan penularannya.Mengingat cukup banyaknya
kasus BTA negatif pada pasien yang diduga menderita tuberkulosis, maka sangat
diperlukan pemeriksaan diagnostik yang cepat untuk membuktikan ada tidaknya kuman
M. tuberculosis tersebut. Berdasarkan hal diatas perlu dilakukan penelitian tentang
pemeriksaan dengan metode RTPCR GeneXpert ini pada kasus suspek tuberkulosis
paru dengan BTA sputum negatif karena belum didapatkan laporannya di Indonesia,
dengan tujuan untuk mengetahui validitas metode RT-PCR GeneXpert sebagai alat
diagnostik yang cepat dan menentukan pada penderita TB paru BTA negatif.

b. Darah
Pada saat TB baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit
meninggi dengan pergeseran hitung jenis ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah
normal. Laju endap darah (LED) mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah
leukosit kembali ke normal dan jumlah limfosit masih tinggi, LED mulai turun ke arah
normal lagi. Hasil pemeriksaan darah lain juga didapatkan: anemia ringan dengan
gambaran normokrom normositer, gama globulin meningkat, dan kadar natrium darah
menurun (Depkes RI, 2006).

c. Tes Tuberkulin
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis
TB terutama pada anak-anak (balita). Sedangkan pada dewasa tes tuberkulin hanya
untuk menyatakan apakah seorang individu sedang atau pernah mengalami infeksi
Mycobacterium tuberculosis atau Mycobacterium patogen lainnya (Depkes RI, 2006).
Tes tuberkulin dilakukan dengan cara menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin P.P.D
(Purified Protein Derivative) secara intrakutan. Dasar tes tuberkulin ini adalah reaksi
alergi tipe lambat. Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa
indurasi kemerahan. Cara penyuntikan tes tuberkulin dapat dilihat pada gambar di
bawah ini (Bahar, 2007):

Gambar 2.4. Penyuntikan Tes Tuberkulin


Berdasarkan indurasinya maka hasil tes mantoux dibagi dalam (Bahar, 2007):
1) Indurasi 0-5 mm (diameternya) : Mantoux negatif = golongan no sensitivity. Di
sini peran antibodi humoral paling menonjol.
2) Indurasi 6-9 mm : Hasil meragukan = golongan normal sensitivity. Di sini peran
antibodi humoral masih menonjol.
3) Indurasi 10-15 mm : Mantoux positif = golongan low grade sensitivity. Di sini
peran kedua antibodi seimbang. d). Indurasi > 15 mm : Mantoux positif kuat =
golongan hypersensitivity. Di sini peran antibodi seluler paling menonjol.
Biasanya hampir seluruh penderita TB paru memberikan reaksi mantoux yang
positif (99,8%). Kelemahan tes ini adalah adanya positif palsu yakni pada pemberian
BCG atau terinfeksi dengan Mycobacterium lain, negatif palsu pada pasien yang baru
2-10 minggu terpajan tuberkulosis, alergi, penyakit sistemik serta (Sarkoidosis, LE),
penyakit eksantematous dengan panas yang akut (morbili, cacar air, poliomielitis),
reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit hodgkin, pemberian obat imunosupresi,
usia tua, malnutrisi, uremia, dan penyakit keganasan. Untuk pasien dengan HIV, tes
mantoux ± 5 mm, dinilai positif (Bahar, 2007).

Tersangka penderita
TBC (suspek TBC)

Periksa dahak Sewaktu, Pagi, Sewaktu

Hasil BTA Hasil BTA Hasil BTA - - -


+ + +/+ + - + - -

Beri antibiotik spektrum luas


Periksa Rontgen Dada

Tidak ada Ada


Hasil tidak perbaikan perbaikan
Hasil
mendukung TBC
mendukung
TBC
Ulang pemeriksaan dahak
mikroskopik

M
Penderita TBC BTA
Hasil BTA Hasil BTA
positif +++ ---
m++-
+--

Periksa Rontgen dada

Hasil Hasil
mendukung TBC Rontgen (-)

TBC BTA negatif


Rontgen positif Bukan TBC,
penyakit lain
Gambar 2.5. Alur Diagnosis TB paru
J. Komplikasi tuberkulosis
Tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan Komplikasi
dini antara lain dapat timbul pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis. Sedangkan
komplikasi lanjut menyebabkan obstruksi jalan nafas, kerusakan parenkim paru, kor
pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, dan sindrom gagal napas (terjadi pada TB milier
dan kavitas TB) (Bahar, 2007).

K. Tipe penderita tuberkulosis


Tipe penderita TB berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, yaitu :
1. Kasus baru
Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
mengkonsumsi OAT kurang dari satu bulan.
2. Kambuh (relaps)
Kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosa dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat
dengan pemeriksaan dahak BTA positif.
3. Pindahan (transfer in)
Pindahan (transfer in) adalah pasien yang sedang mendapat pengobatan di suatu
kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita pindahan
tersebut harus membawa surat rujukan / pindah (form TB. 09).
4. Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out)
Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out) adalah pasien yang sudah berobat
paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali
berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA
positif.
5. Gagal
Gagal adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif
pada akhir bulan kelima (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau pada akhir
pengobatan. Atau penderita dengan hasil BTA negatif rontgen positif pada akhir bulan
kedua pengobatan.
6. Kasus kronis
Kasus kronis adalah pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai
pengobatan ulang kategori II dengan pengawasan yang baik.
7. Tuberkulosis resistensi ganda
Tuberkulosis resistensi ganda adalah tuberkulosis yang menunjukkan resistensi
terhadap Rifampisin dan INH dengan/tanpa OAT lainnya (Depkes RI, 2006).

L. Pengobatan Tuberkulosis Paru


1. Prinsip pengobatan
Terdapat 2 macam aktifitas/sifat obat terhadap TB yaitu aktivitas bakterisid di
mana obat bersifat membunuh kuman–kuman yang sedang tumbuh (metabolismenya
masih aktif) dan aktivitas sterilisasi, obat bersifat membunuh kuman-kuman yang
pertumbuhannya lambat (metabolismenya kurang aktif). Aktivitas bakterisid biasanya
diukur dari kecepatan obat tersebut membunuh/melenyapkan kuman sehingga pada
pembiakan akan didapatkan hasil yang negatif (2 bulan dari permulaan pengobatan).
Aktivitas sterilisasi diukur dari angka kekambuhan setelah pengobatan dihentikan.
Hampir semua OAT mempunyai sifat bakterisid kecuali Etambutol dan Tiasetazon
yang hanya bersifat bakteriostatik dan masih berperan untuk mencegah resistensi
kuman terhadap obat. Rifampisin dan Pirazinamid mempunyai aktivitas sterilisasi yang
baik, sedangkan INH dan Streptomisin menempati urutan lebih bawah (Bahar & Amin,
2007).

2. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


Obat-obat TB dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis regimen, yaitu obat lapis
pertama dan obat lapis kedua. Kedua lapisan obat ini diarahkan ke penghentian
pertumbuhan basil, pengurangan basil dormant dan pencegahan resistensi. Obat-obatan
lapis pertama terdiri dari Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol dan
Streptomisin. Obat-obatan lapis dua mencakup Rifabutin, Ethionamid, Cycloserine,
Para-Amino Salicylic acid, Clofazimine, Aminoglycosides di luar Streptomycin dan
Quinolones. Obat lapis kedua ini dicadangkan untuk pengobatan kasus-kasus multi
drug resistance. Obat tuberkulosis yang aman diberikan pada perempuan hamil adalah
Isoniazid, Rifampisin, dan Etambutol (Bahar & Amin, 2007). Jenis OAT lapis pertama
dan sifatnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Jenis OAT Sifat Keterangan
Isoniazid Bakterisid Obat ini sangat efektif terhadap kuman
(H) Terkuat dalam keadaan metabolik aktif, yaitu
kuman yang sedang berkembang.
Mekanisme kerjanya adalah menghambat
cell-wall biosynthesis pathway
Rifampisin bakterisid Rifampisin dapat membunuh kuman semi-
(R) dormant (persistent) yang tidak dapat
dibunuh oleh Isoniazid. Mekanisme
kerjanya adalah menghambat polimerase
DNA-dependent ribonucleic acid (RNA)
M. Tuberculosis

Pirazinamid bakterisid Pirazinamid dapat membunuh kuman yang


(Z) berada dalam sel dengan suasana asam.
Obat ini hanya diberikan dalam 2 bulan
pertama pengobatan.
Streptomisin bakterisid obat ini adalah suatu antibiotik golongan
(S) aminoglikosida dan bekerja mencegah
pertumbuhan organisme ekstraselular.
Etambutol bakteriostatik -
(E)
Tabel 2.1. Jenis dan Sifat OAT. (Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007).

3. Regimen pengobatan (metode DOTS)


Pengobatan TB memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6 bulan agar dapat
mencegah perkembangan resistensi obat, oleh karena itu WHO telah menerapkan
strategi DOTS dimana petugas kesehatan tambahan yang berfungsi secara ketat
mengawasi pasien minum obat untuk memastikan kepatuhannya. Oleh karena itu WHO
juga telah menetapkan regimen pengobatan standar yang membagi pasien menjadi 4
kategori berbeda menurut definisi kasus tersebut, seperti bisa dilihat pada tabel di
bawah ini (Bahar & Amin, 2007) :
Kategori Paduan pengobatan TB
pengobatan Pasien TB alternatif
TB Fase awal Fase
(setiap hari / 3 lanjutan
x seminggu)
I Kasus baru TB paru dahak 2 EHRZ 6 HE
positif; kasus baru TB paru (SHRZ) 4 HR
dahak negatif dengan 2 EHRZ 4 H3 R 3
kelainan luas di paru; kasus (SHRZ)
baru TB ekstra-pulmonal 2 EHRZ
berat (SHRZ)
II Kambuh, dahak positif; 2 SHRZE / 1 5 H3R3E3
pengobatan gagal; HRZE 5 HRE
pengobatan setelah terputus 2 SHRZE / 1
HRZE
III Kasus baru TB paru dahak 2 HRZ atau 6 HE
negatif (selain dari kategori 2H3R3Z3
I); kasus baru TB ekstra- 2 HRZ atau 2 HR/4H
pulmonal yang tidak berat 2H3R3Z3
2 HRZ atau 2 H3R3/4H
2H3R3Z3
IV Kasus kronis (dahak masih TIDAK DIPERGUNAKAN
positif setelah menjalankan (merujuk ke penuntun WHO
pengobatan ulang) guna pemakaian obat lini
kedua yang diawasi pada
pusat-pusat spesialis)
Tabel 2.2. Berbagai Paduan Alternatif Untuk Setiap Kategori Pengobatan
Sesuai tabel di atas, maka paduan OAT yang digunakan untuk program penanggulangan
tuberkulosis di Indonesia adalah (Bahar & Amin, 2007):
a. Kategori I : 2HRZE (S) / 6HE.
Pengobatan fase inisial regimennya terdiri dari 2HRZE (S) setiap hari selama 2
bulan obat H, R, Z, E atau S. Sputum BTA awal yang positif setelah 2 bulan diharapkan
menjadi negatif, dan kemudian dilanjutkan ke fase lanjutan 4HR atau 4 H3 R3 atau 6
HE. Apabila sputum BTA masih positif setelah 2 bulan, fase intensif diperpanjang
dengan 4 minggu lagi tanpa melihat apakah sputum sudah negatif atau tidak.
b. Kategori II : 2HRZES/1HRZE/5H3R3E3
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZES/1HRZE yaitu R dengan H, Z, E, setiap
hari selama 3 bulan, ditambah dengan S selama 2 bulan pertama. Apabila sputum BTA
menjadi negatif fase lanjutan bisa segera dimulai. Apabila sputum BTA masih positif
pada minggu ke-12, fase inisial dengan 4 obat dilanjutkan 1 bulan lagi. Bila akhir bulan
ke-2 sputum BTA masih positif, semua obat dihentikan selama 2-3 hari dan dilakukan
kultur sputum untuk uji kepekaan, obat dilanjutkan memakai fase lanjutan, yaitu
5H3R3E3 atau 5 HRE.
c. Kategori III : 2HRZ/2H3R3
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZ atau 2 H3R3, yang dilanjutkan dengan fase
lanjutan 2HR atau 2 H3R3.
d. Kategori IV : Rujuk ke ahli paru atau menggunakan INH seumur hidup
Pada pasien kategori ini mungkin mengalami resistensi ganda, sputumnya harus
dikultur dan dilakukan uji kepekaan obat. Seumur hidup diberikan H saja sesuai
rekomendasi WHO atau menggunakan pengobatan TB resistensi ganda (MDR-TB).
Selain 4 kategori di atas, disediakan juga paduan obat sisipan (HRZE). Obat sisipan akan
diberikan bila pasien tuberkulosis kategori I dan kategori II pada tahap akhir intensif
pengobatan (setelah melakukan pengobatan selama 2 minggu), hasil pemeriksaan
dahak/sputum masih BTA positif (Depkes RI, 2006).
4. Dosis obat
Tabel di bawah ini menunjukkan dosis obat yang dipakai di Indonesia secara harian
maupun berkala dan disesuaikan dengan berat badan pasien (Bahar & Amin, 2007):
Jenis Dosis

Isoniazid (H)  harian : 5mg/kg BB


 intermiten : 10 mg/kg BB 3x seminggu
Rifampisin (R) harian = intermiten : 10 mg/kgBB

Pirazinamid (Z)  harian : 25mg/kg BB


 intermiten : 35 mg/kg BB 3x seminggu
Streptomisin (S)  harian = intermiten : 15 mg/kgBB
 usia sampai 60 th : 0,75 gr/hari
 usia > 60 th : 0,50 gr/hari
Etambutol (E)  harian : 15mg/kg BB
 intermiten : 30 mg/kg BB 3x seminggu
Tabel 2.3. Dosis Obat yang Dipakai di Indonesia. (Depkes RI, 2006)
5. Kombinasi obat
Tersedia obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) untuk paduan OAT kategori I
dan II. Tablet OAT-KDT ini adalah kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam 1 tablet.
Dosisnya (jumlah tablet yang diminum) disesuaikan dengan berat badan pasien, paduan
ini dikemas dalam 1 paket untuk 1 pasien dalam 1 masa pengobatan. Dosis paduan OAT-
KDT untuk kategori I, II dan sisipan dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Depkes RI,
2006) :
Berat badan Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan 3x seminggu
selama 56 hari selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT
> 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT
Tabel 2.4. Dosis Paduan OAT KDT Kategori I : 2(RHZE)/4(RH)3. (Depkes RI, 2006)

Berat Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan3x seminggu


badan RHZE (150/75/400/275) RH (150/150) + E (400)
+S
Selama 58 hari Selama 28 hari Selama 2 Minggu
30 – 37 kg 2 tab 4KDT + 500mg 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT + 2
Streptomisin inj tab Etambutol
38 – 54 kg 3 tab 4KDT + 750mg 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT + 3
Streptomisin inj tab Etambutol
55 – 70 kg 4 tab 4KDT + 1000mg 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT + 4
Streptomisin inj tab Etambutol
> 71 kg 5 tab 4KDT + 1000mg 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT + 5
Streptomisin inj tab Etambutol
Tabel 2.5. Dosis Paduan OAT KDT Kategori II: 2(RHZE)S/(RHZE)/5(HR)3E3. (Depkes RI,
2006)

Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari


RHZE (150/75/400/275)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT
Tabel 2.6. Dosis OAT untuk Sisipan. (Depkes RI, 2006)
6. Efek samping pengobatan
Efek samping yang dapat ditimbulkan OAT berbeda-beda pada tiap pasien,
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Jenis Obat Ringan Berat
Isoniazid tanda-tanda keracunan pada Hepatitis, ikhterus
(H) syaraf tepi, kesemutan, nyeri
otot dan gangguan
kesadaran. Kelainan yang
lain menyerupai defisiensi
piridoksin (pellagra) dan
kelainan kulit yang
bervariasi antara lain gatal-
gatal.
Rifampisin gatal-gatal kemerahan kulit, Hepatitis, sindrom
(R) sindrom flu, sindrom perut. respirasi yang ditandai
dengan sesak nafas,
kadang disertai dengan
kolaps atau renjatan
(syok), purpura, anemia
hemolitik yang akut,
gagal ginjal
Pirazinamid Reaksi hipersensitifitas : Hepatitis, nyeri sendi,
(Z) demam, mual dan kemerahan serangan arthritis gout

Streptomisin Reaksi hipersensitifitas : Kerusakan saraf VIII


(S) demam, sakit kepala, muntah yang berkaitan dengan
dan eritema pada kulit keseimbangan dan
pendengaran
Etambutol Gangguan penglihatan Buta warna untuk warna
(E) berupa berkurangnya merah dan hijau
ketajaman penglihatan
Tabel 2.7. Efek Samping Pengobatan dengan OAT. (Depkes RI, 2006)
Untuk mencegah terjadinya efek samping OAT perlu dilakukan pemeriksaan
kontrol, seperti (Bahar & Amin, 2007):
a. Tes warna untuk mata, bagi pasien yang memakai Etambutol
b. Tes audiometri bagi pasien yang memakai Streptomisin
c. Pemeriksaan darah terhadap enzim hepar, bilirubin, ureum/kreatinin, darah perifer
dan asam urat (untuk pasien yang menggunakan Pirazinamid)
M. Hasil pengobatan tuberkulosis
World Health Organization (1993) menjelaskan bahwa hasil pengobatan penderita
tuberkulosis paru dibedakan menjadi :
1. Sembuh: bila pasien tuberkulosis kategori I dan II yang BTA nya negatif 2 kali atau
lebih secara berurutan pada sebulan sebelum akhir pengobatannya.
2. Pengobatan lengkap: pasien yang telah melakukan pengobatan sesuai jadwal yaitu
selama 6 bulan tanpa ada follow up laboratorium atau hanya 1 kali follow up dengan
hasil BTA negatif pada 2 bulan terakhir pengobatan.
3. Gagal: pasien tuberkulosis yang BTA-nya masih positif pada 2 bulan dan seterusnya
sebelum akhir pengobatan atau BTAnya masih positif pada akhir pengobatan.
Pasien putus berobat lebih dari 2 bulan sebelum bulan ke-5 dan BTA terkhir masih
positif.
Pasien tuberkulosis kategori II yang BTA menjadi positif pada bulan ke-2 dari
pengobatan.
4. Putus berobat/defaulter: pasien TB yang tidak kembali berobat lebih dari 2 bulan
sebelum bulan ke-5 dimana BTA terakhir telah negatif.
5. Meninggal: penderita TB yang meninggal selama pengobatan tanpa melihat sebab
kematiannya.

N. Evaluasi pengobatan
Bayupurnama (2007) menjelaskan bahwa terdapat beberapa metode yang bisa
digunakan untuk evaluasai pengobatan TB paru :
1. Klinis: biasanya pasien dikontrol dalam 1 minggu pertama, selanjutnya 2 minggu
selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai akhir pengobatan. Secara
klinis hendaknya terdapat perbaikan keluhan-keluhan pasien seperti batuk berkurang,
batuk darah hilang, nafsu makan bertambah, berat badan meningkat dll.
2. Bakteriologis: biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA mulai menjadi
negatif. Pemeriksaan kontrol sputum BTA dilakukan sekali sebulan. WHO (1991)
menganjurkan kontrol sputum BTA langsung dilakukan pada akhir bulan ke-2, 4 dan
6. Pemeriksaan resistensi dilakukan pada pasien baru yang BTA-nya masih positif
setelah tahap intensif dan pada awal terapi bagi pasien yang mendapatkan pengobatan
ulang (retreatment). Bila sudah negatif, sputum BTA tetap diperiksakan sedikitnya
sampai 3 kali berturut-turut. Bila BTA positif pada 3 kali pemeriksaan biakan (3
bulan), maka pasien yang sebelumnya telah sembuh mulai kambuh lagi.
3. Radiologis: bila fasilitas memungkinkan foto kontrol dapat dibuat pada akhir
pengobatan sebagai dokumentasi untuk perbandingan bila nanti timbul kasus kambuh.
Jika keluhan pasien tidak berkurang (misalnya tetap batuk-batuk), dengan
pemeriksaan radiologis dapat dilihat keadaan TB parunya atau adakah penyakit lain
yang menyertainya. Karena perubahan gambar radiologis tidak secepat perubahan
bakteriologis, evaluasi foto dada dilakukan setiap 3 bulan sekali (Bayupurnama,
2007).
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan mengambil data rekam medis dan hasil
kuisioner pasien TB paru yang sedang menjalani pengobatan di Puskesmas Wajo
kelurahan Wajo tahun 2019.

B. Waktu dan Lokasi Penelitian


Waktu penelitian dilaksanakan bulan Januari 2020. Lokasi penelitian dilakukan di
Rumah pasien dan Puskesmas Wajo.

C. Populasi Penelitian
Populasi penelitian adalah semua pasien TB paru yang menjalani pengobatan OAT
di Pukesmas Wajo tahun 2019.

D. Kriteria Inklusi dan Eksklusi


1. Kriteria Inklusi
Semua Pasien TB paru kategori 1, yaitu pasien dengan BTA positif, pasien TB
paru BTA negatif foto thoraks positif, dan pasien TB ekstra paru yang berobat ke
Puskesmas Wajo Tahun 2019.
2. Kriteria Eksklusi
a) Pasien TB paru dengan pengobatan OAT kategori 2, yaitu kasus kambuh, gagal
pengobatan, atau putus obat.
b) Pasien dengan diagnosis bukan TB paru.
c) Pasien TB paru yang pindah berobat ke PKM lain.
d) Pasien dengan MDR TB dan XDR TB.
e) Pasien dengan profilaksis TB paru.
f) Pasien meninggal dunia.

E. Definisi Operasional
Variabel dependen dan independen dibuat berdasarkan definisi operasional, yaitu
dari cara mengukur setiap variabel, alat ukur yang digunakan pada setiap variabel, hasil
ukur pada setiap variabel, dan juga skala yang digunakan pada setiap variabel.
Variabel Definisi Operasional Cara ukur Alat Hasil Skala
Ukur
Variabel dependen
Pasien TB paru dengan 1. Pemeriksaan Buku 1. Kategori 1 Ordinal
Pasien TB
BTA posiif, TB paru BTA mikroskopis register 2. Bukan
paru kategori
negatif foto toraks positif, 2. Foto pasien TB kategori 1
1
dan TB ekstra paru. roentgen
(Depkes RI, 2006) toraks

Variabel independent

Kepatuhan Kepatuhan pasien dalam Wawancara Kuesioner 0.Tidak patuh Ordinal


minum OAT mengonsumsi OAT selama 1. Patuh
minimal 6 bulan yang
terbagi dalam fase intensif
dan fase lanjutan. (Depkes
RI, 2006)

F. Pengumpulan Data
Data diambil dari buku register pasien TB paru puskesmas Wajo, pencatatan
dilakukan berdasarkan umur, jenis kelamin, alamat, gejala klinis, hasil pemeriksaan
laboratorium yang dapat didukung dengan hasil foto rontgen, serta lama pengobatan OAT.

G. Pengolahan dan Analisis Data


Pengolahan data dilakukan secara manual, disusun dalam bentuk tabel, dan
dianalisis secara deskriptif untuk menarik kesimpulan.
BAB IV
HASIL PENELITIAN

Semua subjek penelitian menyetujui untuk berpartisipasi dalam penelitian dan telah
menandatangani informed consent. Proses pengumpulan data dilakukan pada bulan Desember
2019 dengan melakukan survey melalui kuesioner yang kami berikan kepada setiap pasien TB
paru di Puskesmas Wajo. Dari 4 subjek penelitian didapatkan gambaran kepatuhan minum
obat, meliputi kepatuhan pasien terhadap konsumsi OAT, jadwal pengambilan OAT di
puskesmas, serta tingkat keberhasilan fase intensif dan fase lanjutan. Sebanyak 4 pasien
menjalani fase lanjutan.
Terdapat delapan pertanyaan yang diberikan dalam kuesioner terstruktur untuk
mengetahui luaran kepatuhan minum obat pada subjek penelitian yang dibagi dalam dua
kelompok, yaitu kelompok pada fase intensif dan kelompok pada fase lanjutan.

Tabel 4.1. Gambaran Kepatuhan Minum OAT Fase Intensif


Kategori Ya Kategori Tidak
No Poin Pertanyaan
Jumlah Persentase Jumlah Persentase
1 Apakah pasien mengetahui aturan - - - -
minum OAT
2 Apakah pasien mengetahui jumlah - - - -
OAT yang dikonsumsi
3 Apakah pasien pernah mengurangi atau - - - -
berhenti mengonsumsi OAT jika telah
merasa sembuh
4 Apakah pasien pernah lupa membawa - - - -
OAT jika sedang bepergian jauh dan
lama
5 Apakah pasien rutin mengambil OAT - - - -
di puskesmas jika obat telah habis
6 Apakah pasien pernah dinyatakan putus - - - -
minum OAT dan harus mengulangi
pengobatan dari awal
7 Apakah pasien tetap melanjutkan - - - -
konsumsi OAT jika pasien merasakan
efek samping dari pengobatan
8 Apakah pasien merasa kesulitan untuk - - - -
mengonsumsi OAT
Berdasarkan data tersebut dapat dinilai jumlah kedua pasien TB fase intensif dinyatakan
patuh mengonsumsi OAT dengan persentase 100 %.

Tabel 4.2. Gambaran Kepatuhan Minum OAT Fase Lanjutan


Kategori Ya Kategori Tidak
No Poin Pertanyaan
Jumlah Persentase Jumlah Persentase
1 Apakah pasien mengetahui aturan 4 100% - -
minum OAT
2 Apakah pasien mengetahui jumlah 4 100% - -
OAT yang dikonsumsi
3 Apakah pasien pernah mengurangi atau 1 25% 3 75%
berhenti mengonsumsi OAT jika telah
merasa sembuh
4 Apakah pasien pernah lupa membawa - - 4 100%
OAT jika sedang bepergian jauh dan
lama
5 Apakah pasien rutin mengambil OAT 4 100% - -
di puskesmas jika obat telah habis
6 Apakah pasien pernah dinyatakan putus - - 4 100%
minum OAT dan harus mengulangi
pengobatan dari awal
7 Apakah pasien tetap melanjutkan 3 75% 1 25%
konsumsi OAT jika pasien merasakan
efek samping dari pengobatan
8 Apakah pasien merasa kesulitan untuk 1 25% 3 75%
mengonsumsi OAT

Pada kelompok fase lanjutan, pertanyaan pertama sebanyak 4 pasien yang mengetahui
aturan minum OAT. Pada pertanyaan kedua sebanyak 4 pasien yang mengetahui jumlah OAT
yang dikonsumsi. Pada pertanyaan ketiga sebanyak 1 pasien yang mengurangi atau berhenti
mengonsumsi OAT jika telah merasa sembuh dan sebanyak 3 pasien yang tidak pernah
mengurangi atau berhenti mengonsumsi OAT ketika merasa telah sembuh. Pada pertanyaan
keempat sebanyak 4 pasien tidak pernah lupa membawa OAT ketika sedang bepergian jauh
dan lama. Pada pertanyaan kelima 4 pasien rutin mengambil OAT ke puskesmas jika obat telah
habis. Pada pertanyaan keenam 4 pasien dinyatakan tidak putus minum OAT. Pada pertanyaan
ketujuh 3 pasien tetap melanjutkan mengonsumsi OAT walaupun merasakan efek samping dari
pengobatan dan sebanyak 1 pasien yang tidak melanjutkan konsumsi OAT jika pasien merasakan
efek samping dari pengobatan. Pada pertanyaan kedelapan 1 pasien merasakan kesulitan
mengonsumsi OAT dan sebanyak 3 pasien yang tidak merasakan kesulitan mengonsumsi OAT.
Berdasarkan data tersebut dapat dinilai jumlah tiga pasien TB fase lanjutan dinyatakan
patuh mengonsumsi OAT dengan persentase 75 % dan satu pasien dinyatakan tidak patuh
mengonsumsi OAT dengan persentase 25%.

BAB V
PEMBAHASAN
Masalah putus obat merupakan salah satu masalah yang penting dalam manajemen TB.
Rendahnya kepatuhan minum obat dapat berakibat pada resistensi bakteri Mycobacterium
tuberculosa terhadap obat anti tuberculosis. Pasien yang tidak teratur minum obat akan
mengakibatkan peningkatan angka kegagalan pengobatan TB bahkan dapat menimbulkan drug
resistance-tuberculosis (DR-TB).5,8
Instrumen yang paling penting dalam mendiagnosis TB adalah pemeriksaan
mikroskopis langsung terhadap apusan dahak/sputum. Pemeriksaan mikroskopis terhadap
apusan dahak dilakukan secara teratur untuk mencari bacilli tahan asam (BTA) pada interval
yang ditentukan selama periode pengobatan. Puskesmas Wajo menjadwalkan pengambilan
dahak pada minggu terakhir bulan ke 2, bulan ke 5 dan bulan ke 6. Pada penelitian ini, 2 pasien
berada dalam fase intensif pengobatan OAT kategori 1 dan 3 pasien berada dalam fase lanjutan
pengobatan OAT kategori 1 telah mengalami konversi sputum ke BTA negatif pada minggu
terakhir bulan ke-2 (akhir fase intensif). Hasil penelitian terhadap kepatuhan minum obat yang
menyatakan bahwa 100% responden Puskesmas Wajo kelurahan Lamangga patuh minum obat
dalam fase intensif OAT. Penelitian oleh Bello dan Itiolla yang dilakukan di Iliorin, Nigeria
juga mendapatkan hasil yang serupa. Didapatkan tingkat kepatuhan minum obat yang tinggi,
yaitu sebesar 94.6% pada populasi yang diteliti.10
Responden yang sedang dalam pengobatan OAT fase lanjut juga menunjukkan tingkat
kepatuhan minum obat yang tinggi yaitu sebesar 100%. Selain itu, tingkat kepatuhan terhadap
jadwal pemeriksaan dahak dan pengambilan obat didapatkan sebesar 100%. Namun, hal ini
berbeda dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Adene et al pada pasien TB di Etiopia yang
mana tingkat kepatuhan minum obat pada fase lanjut lebih rendah yaitu 86.67% dibandingkan
dengan kepatuhan minum obat pada fase intensif yang sebesar 94.44%. Berdasarkan hasil
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ketidakpatuhan minum obat akan lebih tinggi apabila
pasien berada pada fase lanjut OAT.9,10 Tingginya tingkat kepatuhan pengobatan pada
responden dapat disebabkan oleh beberapa faktor pendukung, yaitu obat-obatan dan layanan
kesehatan diberikan secara gratis, regimen dosis satu kali sehari selama fase intensif, efek
samping yang ringan dan dapat dikoreksi, instruksi tertulis yang telah jelas tentang aturan
minum obat, pusat pelayanan kesehatan yang mudah diakses oleh masyarakat8. Data mengenai
perilaku pasien dan kepatuhan minum obat hanya didapatkan melalui wawancara sehingga
memungkinkan terjadinya bias. Seharusnya dilakukan observasi terhadap perilaku subjek
penelitian di lingkungan tempat tinggal responden. Selama proses pengumpulan data atau
wawancara, kehadiran pihak ketiga tidak dapat dihindarkan sehingga kemungkinan dapat
mempengaruhi jawaban yang diberikan responden.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Tingkat kepatuhan minum obat pada responden wilayah kerja Puskesmas Wajo
kelurahan Wajo menyatakan bahwa tingkat kepatuhan minum obat sebanyak 100%
pada fase intensif OAT dan 75% fase lanjutan OAT.
2. Tingginya tingkat kepatuhan pengobatan pada responden dapat disebabkan oleh
beberapa faktor pendukung, yaitu obat-obatan dan layanan kesehatan diberikan secara
gratis, regimen dosis satu kali sehari selama fase intensif, efek samping yang ringan
dan dapat dikoreksi, instruksi tertulis yang telah jelas tentang aturan minum obat, pusat
pelayanan kesehatan yang mudah diakses oleh masyarakat, serta dukungan dari
keluarga dan lingkungan sekitar.

B. Saran
1. Bagi petugas kesehatan Puskesmas Wajo perlu meningkatkan pelayanan kesehatan
yang berkaitan dengan penyakit TB, tidak hanya kuratif tetapi preventif dan promotif
serta perlu meningkatkan penemuan kasus TB
2. Bagi Dinas kesehatan Kota Baubau, bisa memberikan imbalan dalam bentuk
penghargaan, uang, barang, dan sebagainya atas kinerja kader kesehatan yang bersifat
sukarela, sehingga dapat memicu semangat dari kader kesehatan dalam bertugas
membatu pengendalian kasus TB di Wilayah kerja Puskesmas Wajo
3. Bagi Masyarakat
 Segera memeriksakan dirinya ke Puskesmas Wajo apabila memiliki gejala,
riwayat kontak dan faktor resiko terinfeksi TB agar dapat dilakukan diagnosis
dini dan tatalaksana yang sesuai.
 Agar meningkatkan pengetahuan tentang penyakit TB Paru dari definisi, faktor
resiko, pengobatan hingga pencegahan melalui berbagai media seperti
penyuluhan dari tenaga kesehatan, bertanya ke tenaga kesehatan maupun
mengambil informasi dari media dan lingkungan sosial yang terpercaya.
 Harus meningkatkan kesadaran tentang perilaku hidup bersih dan sehat dalam
menjaga kebersihan lingkungan rumah
DAFTAR PUSTAKA

Aditama, TY,. Chairil, AS,. 2002. Jurnal Tuberkulosis Indonesia. Jakarta : Perkumpulan
Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia.
Amirudin, Rifai. 2007. Fisiologi dan Biokimia Hati. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. pp : 415-419
Apsari, Depri. 2018. Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas Batu Anam
Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun Tahun 2015-2017. Skripsi: Universitas
Sumatra Utara. http://repositori.usu.ac.id
Arsyad, Zulkarnain. 1996. Evaluasi FaaI Hati pada Penderita Tuberkulosis Paru yang
Mendapat Terapi Obat Anti Tuberkulosis dalam Cermin Dunia Kedokteran No. 110,
1996 15.
Azhar K, Perwitasari D. 2013. Kondisi Fisik Rumah Dan Perilaku Dengan Prevalensi Tb Paru
Di Propinsi DKI Jakarta, Banten Dan Sulawesi Utara. Media Litbangkes. 23(4): 172-
81.
Bahar, A., 2007. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Edisi IV.
Jakarta : BPFKUI; 988-994.
Bayupurnama, Putut. 2007. Hepatoksisitas karena Obat dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI;471-474.
Behrman, et al. 2002. Nelson - Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15. Jakarta : EGC
Brooks, G.F., Butel, J. S. and Morse, S. A., 2004. “Jawetz, Melnick & Adelbergh’s:
Mikrobiologi Kedokteran”. Buku I, Edisi I, Alih bahasa: Bagian Mikrobiologi FKU
Unair, Jakarta : Salemba Medika.
Crofton, John. 2002. Tuberkulosis Klinis Edisi 2. Jakarta : Widya Medika.
Daniel, M. Thomas. 1999. Harrison : Prinsip-Prinsip Ilmu penyakit dalam Edisi 13 Volume
2. Jakarta : EGC : 799-808
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama. Jakarta.
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Dirjen P2&PL). 2014.
Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Katalog Dalam Terbitan: Kementerian
Kesehatan Nasiona
Fitriani, E. 2012. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Tuberkulosis Paru.
Universitas Negeri Semarang. Unnes Journal of Public Health.
Kemenkes RI. 2011. Laporan situasi terkini perkembangan tuberkulosis diIndonesia Januari-
Juni 2011. Jakarta
Kemenkes RI. 2011. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta
Kemenkes RI. 2013. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia tahun 2013.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kemenkes RI. 2014. Pedoman Nasional PengendalianTuberkulosis : Indonesia Bebas
Tuberkulosis.
Kemenkes RI. 2016. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2015. Jakarta
Kemenkes RI. 2018. Tuberculosis. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan. ISSN
2442-7659
Kenedyanti, E., (2017). “Analisis Kondisi Fisik Rumah, Perilaku, Keberadaan Mycobacterium
tuberculosis Dengan Kejadian Tuberkulosis (TB) Paru di Wilayah Kerja Puskesmas
Mulyorejo, Kecamatan Mulyorejo, Kota Surabaya”. Skripsi. Surabaya: Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga .
Kurniasari RAS, Suhartono, Cahyo. 2012. Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru di
Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri. Media Kesehatan Masyarakat Indonesia.
11(2): 198–204
Muslimah, D.D.L. 2019. Keadaan Lingkungan Fisik Dan Dampaknya Pada Keberadaan
Mycobacterium Tuberculosis: Studi Di Wilayah Kerja Puskesmas Perak Timur
Surabaya. Jurnal Kesehatan Lingkungan. Vol. 11 No. 1 Januari 2019 (26 - 34) ISSN:
1829 - 7285
Narasimhan, P et al. 2013. Risk Factor for Tuberculosis. The University of New South Wales,
Kensington, Sydney, NSW 2052, Australia. Hindawi Publishing Corporation.
Nurjana MA. 2015. Faktor Risiko Terjadinya Tuberkulosis Paru Usia Produktif (15-49 Tahun)
di Indonesia. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 25(3): 163–70.
Pangalo, Risye M., dkk. 2018. “Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru Di Puskesmas
Enemawira Kecamatan Tabukan Utara Kabupaten Kepulauan Sangihe”. Jurnal
KESMAS, Vol. 7 No. 5, 2018
Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Edisi 6 Volume 1. Alih Bahasa: Brahm U. Pendit, Huriawati Hartanto, Pita
Wulansari, Dewi Asih Mahanani. Jakarta: EGC.
Sari, Levi T. 2019. Hubungan Motivasi Kesembuhan Dengan Kepatuhan Minum Obat Pada
Penderita Tb Paru Dewasa. JuKe Vol. 3 No. 1, Januari -Juni 2019
Setiati S,ed et al. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing
Thomson, A.D dan Cotton, R.E. 1997. Catatan Kuliah Patologi. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta.
University of Maryland Medical Center. Pulmonary Tuberkulosis. Diakses 18 Desember
2019. www.umm.edu/ency/artcle/000077.htm
Widhiasnasir, Eka R. 2017. Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru Di Kota Parepare Tahun
2016. Skripsi. Makassar: Unuversitas Hasanuddin
Widmann. 1995. Tinjauan Klinis Atas Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta : penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Widyarsih, F., Rochmawati., Saleh,I., (2015). “Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru Di
Unit Pelayanan Kesehatan (Upk) Puskesmas Perum 2 Pontianak” Jurnal Mahasiswa
dan Peneliti Kesehatan, Vol 2 No.2
http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/JJUM/article/viewFile/334/26
World Health Organization. 1993. Treatment of Tuberculosis : Guidelines for National
programmes. Geneva : 3-15
World Health Organization. Tuberkulosis Facts 2007. http://www.who.int/TB/en/. Diakses
18 Desember 2019.
World Health Organization. 2010. Epidemiologi tuberkulosis di Indonesia diakses pada 18
Desember 2019 pukul 14:39 WIB http://www.tbindonesia.or.id/tbnew/epidemiologi-
tb-di-indonesia/article/55/000100150017/2
LAMPIRAN

Lembar Persetujuan Sebagai Responden Penelitian


Saya yang bertandatangan dibawah ini :
Nama :
Umur :
Alamat :

Setelah mendapat keterangan dan penjelasan secara lengkap dari peneliti tentang
penelitian yang akan dilakukan serta memahaminya, maka dengan penuh kesadaran dan
tanpa paksaan saya menyatakan bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini.

Baubau, Desember 2019


Yang membuat pernyataan

(............................................)
Lembaran Kuesioner
Jawablah pertanyaan – pertanyaan dibawah ini dengan memberikan tanda check list
( √ ) pada salah satu jawaban yang anda anggap benar.
“Ya” = Bila pernyataan sesuai dengan perasaan anda
“Tidak” = Bila pernyataan tidak sesuai dengan perasaan anda

No Pertanyaan Ya Tidak
1 Apakah Anda mengetahui aturan minum OAT ?
2 Apakah Anda mengetahui jumlah OAT yang dikonsumsi ?
3 Apakah Anda pernah mengurangi atau berhenti mengonsumsi
OAT jika telah merasa sembuh ?
4 Apakah Anda pernah lupa membawa OAT jika sedang
bepergian jauh dan lama ?
5 Apakah Anda rutin mengambil OAT di puskesmas jika obat
telah habis ?
6 Apakah Anda pernah dinyatakan putus minum OAT dan harus
mengulangi pengobatan dari awal ?
7 Apakah Anda tetap melanjutkan konsumsi OAT jika pasien
merasakan efek samping dari pengobatan ?
8 Apakah Anda merasa kesulitan untuk mengonsumsi OAT ?
DOKUMENTASI

Anda mungkin juga menyukai