Laporan Mini Project
Laporan Mini Project
Disusun Oleh :
Pembimbing
dr. LM. Awaluddin
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah tingkat kepatuhan minum OAT pada pasien TB paru di Puskesmas
Wajo tahun 2019 ?
C. Tujuan Kegiatan
Mengetahui tingkat kepatuhan minum OAT pada pasien TB paru di puskesmas Wajo
tahun 2019.
D. Manfaat Penulisan
1. Melaksanakan program Mini Project dokter internsip di puskesmas Wajo.
2. Meningkatkan pengetahuan pasien TB paru mengenai penyakit TB paru dan
pentingnya kepatuhan minum OAT.
3. Meningkatkan pelayanan program pengobatan TB paru di puskesmas Wajo.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Penyakit tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman Mycobacterium tuberculosis
menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya. Penyakit ini merupakan
infeksi bakteri kronik yang ditandai oleh pembentukan granuloma pada jaringan yang
terinfeksi dan reaksi hipersensitivitas yang diperantarai sel (cell mediated
hypersensitivity). Penyakit tuberkulosis yang aktif bisa menjadi kronis dan berakhir
dengan kematian apabila tidak dilakukan pengobatan yang efektif (Daniel, 1999).
Klasifikasi penyakit tuberkulosis berdasarkan organ tubuh yang diserang kuman
Mycobacterium tuberculosis terdiri dari tuberkulosis paru dan tuberkulosis ekstra paru.
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk
pleura (selaput paru). Sedangkan tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang
menyerang organ tubuh lain selain paru misalnya, pleura, selaput otak, selaput jantung
(perikardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat
kelamin, dan lain-lain (Depkes RI, 2006).
B. Kuman tuberkulosis
Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri batang tipis lurus berukuran sekitar 0,4
x 3 µm (Brooks,et al 2004).
C. Cara penularan
Sumber penularan adalah melalui pasien tuberkulosis paru BTA (+). Pada waktu
batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan
dahak). Kuman yang berada di dalam droplet dapat bertahan di udara pada suhu kamar
selama beberapa jam dan dapat menginfeksi individu lain bila terhirup ke dalam saluran
nafas. Kuman tuberkulosis yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan dapat
menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran
limfe, saluran pernafasan, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya
(Depkes RI, 2006).
D. Risiko penularan
Risiko penularan tiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection =ARTI) di
Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3 %. Pada daerah dengan ARTI
sebesar 1% mempunyai arti bahwa pada tiap tahunnya diantara 1000 penduduk, 10 orang
akan terinfeksi. Sebagian besar orang yang terinfeksi tidak akan menderita tuberkulosis,
hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita tuberkulosis (Depkes
RI, 2006).
E. Patogenesis tuberkulosis
1. Infeksi primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman
tuberkulosis. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati
sistem pertahanan mukosilier bronkus dan terus berjalan sampai ke alveolus dan
menetap di sana. Infeksi dimulai saat kuman tuberkulosis berhasil berkembang biak
dengan cara membelah diri di paru yang mengakibatkan radang dalam paru. Saluran
limfe akan membawa kuman ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut
kompleks primer. Waktu terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer
adalah 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadi perubahan reaksi
tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung
kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada
umumnya respon daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman
tuberkulosis. Meskipun demikian, ada beberapa kuman menetap sebagai kuman
persisten atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu
menghentikan perkembangan kuman. Akibatnya dalam beberapa bulan yang
bersangkutan akan menjadi pasien tuberkulosis. Masa inkubasi mulai dari seseorang
terinfeksi sampai menjadi sakit, membutuhkan waktu sekitar 6 bulan (Depkes RI,
2006).
2. Tuberkulosis pasca primer (post primary tuberculosis)
Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun
sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi
HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah
kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura (Depkes RI, 2006).
G. Gejala Tuberculosis
1. Gejala sistemik (Setiati, 2014)
1) Demam
Biasanya demam subfebris yang menyerupai deman influenza, tetapi kadang-kadang
mencapai 40-41°C. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien
dan berat ringannya infeksi kuman TB yang masuk.
2) Maleise
Gejala maleisi yang sering ditemukan adalah anoreksia, tidak ada nafsu makan, sakit
kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam dan lain-lain. Gejala malaise semakin
lama semakin berat dan sering hilang timbul secara tidak teratur.
3) Berat badan turun
Pasien biasanya tidak merasakan penurunan berat badan. Sebaiknya, berat badan
ditanyakan pada saat sekarang dan waktu pasien belum sakit.
4) Rasa lelah
Rasa lelah jarang dikeluhkan oleh pasien.
H. Klasifikasi
1. Berdasarkan Organ yang Terkena
a. Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru,
tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
b. Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput
otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus,
ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain – lain.
2. Berdasarkan Pemeriksaan Laboratorium
a. Tuberkulosis paru BTA positif
- Sekurang- kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif
- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukan
gambaran tuberkulosis
- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif
- 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT
b. Tuberkulosis paru BTA negatif
- Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.
- Foto toraks abnormal menunjukan gambaran tuberkulosis.
- Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
- Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
3. Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya
a. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
b. Kasus kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA postif (apusan atau kultur).
c. Kasus setelah putus berobat (default) adalah pasien yang telah berobat dan putus
berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
d. Kasus setelah gagal (failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap
positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
e. Kasus pindahan (transfes in) adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang
memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
f. Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kasus
ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulangan.
I. Diagnosis Tuberkulosis
Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan diagnosis klinis, dilanjutkan dengan
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologis.
1. Diagnosis klinis
Diagnosis klinis adalah diagnosis yang ditegakkan berdasarkan ada atau
tidaknya gejala pada pasien. Pada pasien TB paru gejala klinis utama adalah batuk
terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih. Gejala tambahan yang
mungkin menyertai adalah batuk darah, sesak nafas dan rasa nyeri dada, badan lemah,
nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise),
berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan dan demam/meriang lebih dari sebulan
(Depkes RI, 2006).
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan pertama pada keadaan umum pasien mungkin ditemukan
konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris), badan
kurus atau berat badan menurun. Pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak
menunjukkan suatu kelainan terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah
terinfiltrasi secara asimtomatik. Pada TB paru lanjut dengan fibrosis yang luas sering
ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bila TB mengenai pleura, sering
terbentuk efusi pleura sehingga paru yang sakit akan terlihat tertinggal dalam
pernapasan, perkusi memberikan suara pekak, auskultasi memberikan suara yang
lemah sampai tidak terdengar sama sekali. Dalam penampilan klinis TB sering
asimtomatik dan penyakit baru dicurigai dengan didapatkannya kelainan radiologis
dada pada pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin yang positif (Bahar, 2007).
3. Pemeriksaan radiologis
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk
menemukan lesi TB. Dalam beberapa hal pemeriksaan ini lebih memberikan
keuntungan, seperti pada kasus TB anak-anak dan TB milier yang pada pemeriksaan
sputumnya hampir selalu negatif. Lokasi lesi TB umumnya di daerah apex paru tetapi
dapat juga mengenai lobus bawah atau daerah hilus menyerupai tumor paru. Pada awal
penyakit saat lesi masih menyerupai sarang-sarang pneumonia, gambaran radiologinya
berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah
diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas tegas dan
disebut tuberkuloma (Depkes RI, 2006).
Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat dengan densitas
tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas dengan penciutan yang dapat
terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu bagian paru. Gambaran
tuberkulosa milier terlihat berupa bercak-bercak halus yang umumnya tersebar merata
pada seluruh lapangan paru. Pada TB yang sudah lanjut, foto dada sering didapatkan
bermacam-macam bayangan sekaligus seperti infiltrat, garis-garis fibrotik, kalsifikasi,
kavitas maupun atelektasis dan emfisema (Bahar, 2007). Sebagaimana gambar TB
paru yang sudah lanjut pada foto rontgen dada di bawah ini :
Gambar 2.2 Tuberkulosis Yang Sudah Lanjut Pada Foto Rontgen Dada (Bahar, 2007)
4. Pemeriksaan bakteriologis
a. Sputum
Menurut American Thoracic Society (ATS) dan WHO 1964 diagnosis pasti
tuberkulosis paru adalah dengan menemukan kuman M. tuberculosis dalam sputum
atau jaringan paru secara biakan, namun tidak semua memberikan sediaan atau biakan
sputum yang positif karena kelainan paru yang belum berhubungan dengan bronkus
atau pasien tidak bisa membatukkan sputumnya dengan baik sehingga diagnosis
tuberkulosis paru banyak ditegakkan berdasarkan kelainan klinis dan radiologis saja.
Kesalahan diagnosis dengan cara ini cukup banyak sehingga memberikan efek terhadap
pengobatan yang sebenarnya tidak diperlukan.
Sumber penularan TB paru adalah pasien TB dengan Basil Tahan Asam (BTA)
positif melalui percik renik sputum yang dikeluarkannya, namun bukan berarti bahwa
pasien TB dengan hasil pemeriksaan negatif tidak mengandung kuman dalam
sputumnya. Hal tersebut bisa terjadi oleh karena jumlah kuman yang terkandung dalam
contoh uji < 5000 kuman/ml sputum sehingga sulit dideteksi melalui pemeriksaan
mikroskopis langsung.5 Pemeriksaan BTA pada spesimen sputum telah digunakan di
seluruh dunia untuk menegakkan diagnosa TB.Pasien dengan BTA sputum negatif
kurang infeksius dibandingkan dengan BTA sputum positif tetapi tetap menjadi sumber
penularan kuman TB.Mikroskopdapat mendeteksi kuman mikobakterium dengan
jumlah minimal 5000 kuman/ml sputum, sedangkan jumlah yang dapat menginfeksi
hanya beberapa kuman. Oleh karena itu, orang dalam kontak dengan pasien TB paru
BTA negatif tetap berada pada risiko infeksi akibat M. tuberculosis dan perkembangan
selanjutnya menjadi aktif.
Proporsi kasus TB dengan BTA negatif di Indonesiamengalami peningkatan
dari 56% pada tahun 2008 menjadi 59% pada tahun 2009. Peningkatan jumlah kasus
TB dengan BTA negatif yang terjadi selama beberapa tahun terakhir sangat mungkin
disebabkan oleh karena meningkatnya pelaporan kasus TB dari rumah sakit yang telah
terlibat dalam program TB nasional. Pasien TB dengan BTA negatif dengan kultur
positif memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB sebesar 26%, sedangkan pasien
TB dengan hasil kultur negatif dan foto torak positif adalah 17%. Totsmann et al (2008)
di Belanda mendapatkan pasien dengan BTA negatif dan kultur positif akan menjadi
sumber penularan TB sebesar 13%. Meskipun metode tercepat, termudah dan termurah
yang tersedia adalah pewarnaan BTA namun sensitivitasnya yang rendah telah
membatasi penggunaannya terutama di daerah dengan insiden TB rendah, TB
ekstrapulmoner serta pada pasien terinfeksi HIV. Pulasan BTA sputum juga
mempunyai sensitivitas yang rendah terutama TB nonkavitas yang memberikan
kepositifan 10%. Pada pasien dengan gambaran klinis TB paru diperkirakan 40%
mempunyai hasil negatif pada pulasan sputumnya. Foto polos toraks memberi hasil
dengan sensitivitas tak lebih 30% pada negara berkembang. Bila terdapat gambaran
infiltrat di lobus atas dan kavitas pada foto polos toraks, maka kemungkinan TB paru
80–85%.
Dhingra VK et al (2003) menilai validitas dan reliabilitas pemeriksaan BTA
sputum dibandingkan dengan kultur pada media Loweinstein Jensen terhadap 5776
pasien tuberkulosis paru. Didapatkan sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan BTA
sputum sebesar 62% dan 99% dengan nilai prediksi positif 96,4% dan nilai prediksi
negatif 84,2%.
Sesuai dengan alur diagnosis dan tindak lanjut TB paru pada dewasa, pasien
dengan pemeriksaan klinis dan BTA negatif pada fasilitas yang tidak bisa dirujuk,
terlebih dahulu diberikan terapi antibiotik non obat anti tuberkulosis (OAT).Pada
fasilitas rujukan apabila pada foto toraks mendukung kearah TB, berdasarkan
pertimbangan dokter dapat didiagnosis TB. Namun bila tidak mendukung kearah TB,
pertimbangan dokter dapat menganggap bukan TB. Sehingga hal yang demikian dapat
menimbulkan under atau overdiagnosis TB. Teknik kultur masih dianggap sebagai
pemeriksaan baku emas karena identifikasi dan sensitivitas yang lebih baik dibanding
pemeriksaan BTA, namun pertumbuhan lambat bakteri M. tuberculosis merupakan
hambatan besar untuk diagnosis cepat penyakit ini. Kelemahan lainnya adalah fasilitas
pemeriksaan kultur yang hanya ada di laboratorium tertentu.
Adanya beberapa kekurangan metode ini dan membutuhkan waktu yang lama
dalam menentukan diagnosis pasti TB paru, maka dibutuhkan alat diagnostik yang
cepat dan mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi untuk memperbaiki
metoda diagnostik yang konvensional seperti pewarnaan BTA dan kultur. Berbagai
metoda baru telah dikembangkan saat ini untuk diagnosis cepat TB aktif dengan teknik
terbaik seperti pemeriksaan genotip atau molekuler.
GeneXpert merupakan penemuan terobosan untuk diagnosis TB berdasarkan
pemeriksaan molekuler yang menggunakan metode Real Time Polymerase Chain
Reaction Assay (RT-PCR) semi kuantitatif yang menargetkan wilayah hotspot gen
rpoB pada M. tuberculosis, yang terintegrasi dan secara otomatis mengolah sediaan
dengan ekstraksi deoxyribo nucleic acid (DNA) dalam cartridgesekali pakai. Penelitian
invitro menunjukkan batas deteksi kuman TB dengan metode RT-PCR GeneXpert
minimal 131 kuman/ml sputum.Waktu hingga didapatkannya hasil kurang dari dua jam
dan hanya membutuhkan pelatihan yang simpel untuk dapat menggunakan alat ini.
Teknik pemeriksaan dengan metode RT-PCR GeneXpert didasarkan pada
amplifikasi berulang dari target DNA dan kemudian dideteksi secara fluorimetrik.
Teknik ini dapat mengidentifikasigen rpoBM. tuberculosis dan urutannya secara lebih
mudah, cepat dan akurat. Gen ini berkaitan erat dengan ketahanan sel dan merupakan
target obat rifampisin yang bersifat bakterisidal pada M. tuberculosis dan M. leprae.
Penelitian pendahuluan menyatakan sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi pada
sampel saluran pernapasan untuk mendeteksiM. tuberculosis dan sekaligus mendeteksi
resistensi M. tuberculosis terhadap rifampisin.
Penelitian Boehme CC et al (2010) meneliti 171 kasus TB BTA negatif/kultur
positif didapatkan 72,5% positif dengan sekali pengujian dengan metode RTPCR
GeneXpert. Jika dilakukan pengujian sampel sampai 3 kali, sensitivitas meningkat
menjadi 90,2%.16 Menurut WHO tahun 2011, dari hasil controlled clinical validation
trials yang melibatkan 1730 penderita suspek TB atau Multi Drug Resistant (MDR) TB
didapatkan dengan uji satu sampel, sensitivitas pemeriksaan dengan metode RT-PCR
GeneXpert pada BTA negatif/kultur positif 72,5% dan meningkat menjadi 90,2% bila
ketiga sampel diuji, dengan spesifisitas 99%.17 http://jurnal.fk.unand.ac.id 733 Jurnal
Kesehatan Andalas. 2016; 5(3) Van Rie A et al (2013) meneliti kasus suspek TB dengan
BTA negatif, didapatkan sensitivitas dan spesifisitas pewarnaan BTA adalah 27% dan
99%, sedangkan pemeriksaan dengan metode RT-PCR GeneXpert didapatkan
sensitivitas 67% dan spesifisitas 99%. Semua kasus yang diidentifikasi oleh RT-PCR
GeneXpert mendapatkan terapi pada hari yang sama atau pada hari berikutnya.
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan jumlah penyakit
infeksi TB yang tinggi di dunia, maka sangat diperlukan diagnosis dan pengobatan yang
cepat dan tepat sehingga dapat menekan penularannya.Mengingat cukup banyaknya
kasus BTA negatif pada pasien yang diduga menderita tuberkulosis, maka sangat
diperlukan pemeriksaan diagnostik yang cepat untuk membuktikan ada tidaknya kuman
M. tuberculosis tersebut. Berdasarkan hal diatas perlu dilakukan penelitian tentang
pemeriksaan dengan metode RTPCR GeneXpert ini pada kasus suspek tuberkulosis
paru dengan BTA sputum negatif karena belum didapatkan laporannya di Indonesia,
dengan tujuan untuk mengetahui validitas metode RT-PCR GeneXpert sebagai alat
diagnostik yang cepat dan menentukan pada penderita TB paru BTA negatif.
b. Darah
Pada saat TB baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit
meninggi dengan pergeseran hitung jenis ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah
normal. Laju endap darah (LED) mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah
leukosit kembali ke normal dan jumlah limfosit masih tinggi, LED mulai turun ke arah
normal lagi. Hasil pemeriksaan darah lain juga didapatkan: anemia ringan dengan
gambaran normokrom normositer, gama globulin meningkat, dan kadar natrium darah
menurun (Depkes RI, 2006).
c. Tes Tuberkulin
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis
TB terutama pada anak-anak (balita). Sedangkan pada dewasa tes tuberkulin hanya
untuk menyatakan apakah seorang individu sedang atau pernah mengalami infeksi
Mycobacterium tuberculosis atau Mycobacterium patogen lainnya (Depkes RI, 2006).
Tes tuberkulin dilakukan dengan cara menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin P.P.D
(Purified Protein Derivative) secara intrakutan. Dasar tes tuberkulin ini adalah reaksi
alergi tipe lambat. Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa
indurasi kemerahan. Cara penyuntikan tes tuberkulin dapat dilihat pada gambar di
bawah ini (Bahar, 2007):
Tersangka penderita
TBC (suspek TBC)
M
Penderita TBC BTA
Hasil BTA Hasil BTA
positif +++ ---
m++-
+--
Hasil Hasil
mendukung TBC Rontgen (-)
N. Evaluasi pengobatan
Bayupurnama (2007) menjelaskan bahwa terdapat beberapa metode yang bisa
digunakan untuk evaluasai pengobatan TB paru :
1. Klinis: biasanya pasien dikontrol dalam 1 minggu pertama, selanjutnya 2 minggu
selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai akhir pengobatan. Secara
klinis hendaknya terdapat perbaikan keluhan-keluhan pasien seperti batuk berkurang,
batuk darah hilang, nafsu makan bertambah, berat badan meningkat dll.
2. Bakteriologis: biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA mulai menjadi
negatif. Pemeriksaan kontrol sputum BTA dilakukan sekali sebulan. WHO (1991)
menganjurkan kontrol sputum BTA langsung dilakukan pada akhir bulan ke-2, 4 dan
6. Pemeriksaan resistensi dilakukan pada pasien baru yang BTA-nya masih positif
setelah tahap intensif dan pada awal terapi bagi pasien yang mendapatkan pengobatan
ulang (retreatment). Bila sudah negatif, sputum BTA tetap diperiksakan sedikitnya
sampai 3 kali berturut-turut. Bila BTA positif pada 3 kali pemeriksaan biakan (3
bulan), maka pasien yang sebelumnya telah sembuh mulai kambuh lagi.
3. Radiologis: bila fasilitas memungkinkan foto kontrol dapat dibuat pada akhir
pengobatan sebagai dokumentasi untuk perbandingan bila nanti timbul kasus kambuh.
Jika keluhan pasien tidak berkurang (misalnya tetap batuk-batuk), dengan
pemeriksaan radiologis dapat dilihat keadaan TB parunya atau adakah penyakit lain
yang menyertainya. Karena perubahan gambar radiologis tidak secepat perubahan
bakteriologis, evaluasi foto dada dilakukan setiap 3 bulan sekali (Bayupurnama,
2007).
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan mengambil data rekam medis dan hasil
kuisioner pasien TB paru yang sedang menjalani pengobatan di Puskesmas Wajo
kelurahan Wajo tahun 2019.
C. Populasi Penelitian
Populasi penelitian adalah semua pasien TB paru yang menjalani pengobatan OAT
di Pukesmas Wajo tahun 2019.
E. Definisi Operasional
Variabel dependen dan independen dibuat berdasarkan definisi operasional, yaitu
dari cara mengukur setiap variabel, alat ukur yang digunakan pada setiap variabel, hasil
ukur pada setiap variabel, dan juga skala yang digunakan pada setiap variabel.
Variabel Definisi Operasional Cara ukur Alat Hasil Skala
Ukur
Variabel dependen
Pasien TB paru dengan 1. Pemeriksaan Buku 1. Kategori 1 Ordinal
Pasien TB
BTA posiif, TB paru BTA mikroskopis register 2. Bukan
paru kategori
negatif foto toraks positif, 2. Foto pasien TB kategori 1
1
dan TB ekstra paru. roentgen
(Depkes RI, 2006) toraks
Variabel independent
F. Pengumpulan Data
Data diambil dari buku register pasien TB paru puskesmas Wajo, pencatatan
dilakukan berdasarkan umur, jenis kelamin, alamat, gejala klinis, hasil pemeriksaan
laboratorium yang dapat didukung dengan hasil foto rontgen, serta lama pengobatan OAT.
Semua subjek penelitian menyetujui untuk berpartisipasi dalam penelitian dan telah
menandatangani informed consent. Proses pengumpulan data dilakukan pada bulan Desember
2019 dengan melakukan survey melalui kuesioner yang kami berikan kepada setiap pasien TB
paru di Puskesmas Wajo. Dari 4 subjek penelitian didapatkan gambaran kepatuhan minum
obat, meliputi kepatuhan pasien terhadap konsumsi OAT, jadwal pengambilan OAT di
puskesmas, serta tingkat keberhasilan fase intensif dan fase lanjutan. Sebanyak 4 pasien
menjalani fase lanjutan.
Terdapat delapan pertanyaan yang diberikan dalam kuesioner terstruktur untuk
mengetahui luaran kepatuhan minum obat pada subjek penelitian yang dibagi dalam dua
kelompok, yaitu kelompok pada fase intensif dan kelompok pada fase lanjutan.
Pada kelompok fase lanjutan, pertanyaan pertama sebanyak 4 pasien yang mengetahui
aturan minum OAT. Pada pertanyaan kedua sebanyak 4 pasien yang mengetahui jumlah OAT
yang dikonsumsi. Pada pertanyaan ketiga sebanyak 1 pasien yang mengurangi atau berhenti
mengonsumsi OAT jika telah merasa sembuh dan sebanyak 3 pasien yang tidak pernah
mengurangi atau berhenti mengonsumsi OAT ketika merasa telah sembuh. Pada pertanyaan
keempat sebanyak 4 pasien tidak pernah lupa membawa OAT ketika sedang bepergian jauh
dan lama. Pada pertanyaan kelima 4 pasien rutin mengambil OAT ke puskesmas jika obat telah
habis. Pada pertanyaan keenam 4 pasien dinyatakan tidak putus minum OAT. Pada pertanyaan
ketujuh 3 pasien tetap melanjutkan mengonsumsi OAT walaupun merasakan efek samping dari
pengobatan dan sebanyak 1 pasien yang tidak melanjutkan konsumsi OAT jika pasien merasakan
efek samping dari pengobatan. Pada pertanyaan kedelapan 1 pasien merasakan kesulitan
mengonsumsi OAT dan sebanyak 3 pasien yang tidak merasakan kesulitan mengonsumsi OAT.
Berdasarkan data tersebut dapat dinilai jumlah tiga pasien TB fase lanjutan dinyatakan
patuh mengonsumsi OAT dengan persentase 75 % dan satu pasien dinyatakan tidak patuh
mengonsumsi OAT dengan persentase 25%.
BAB V
PEMBAHASAN
Masalah putus obat merupakan salah satu masalah yang penting dalam manajemen TB.
Rendahnya kepatuhan minum obat dapat berakibat pada resistensi bakteri Mycobacterium
tuberculosa terhadap obat anti tuberculosis. Pasien yang tidak teratur minum obat akan
mengakibatkan peningkatan angka kegagalan pengobatan TB bahkan dapat menimbulkan drug
resistance-tuberculosis (DR-TB).5,8
Instrumen yang paling penting dalam mendiagnosis TB adalah pemeriksaan
mikroskopis langsung terhadap apusan dahak/sputum. Pemeriksaan mikroskopis terhadap
apusan dahak dilakukan secara teratur untuk mencari bacilli tahan asam (BTA) pada interval
yang ditentukan selama periode pengobatan. Puskesmas Wajo menjadwalkan pengambilan
dahak pada minggu terakhir bulan ke 2, bulan ke 5 dan bulan ke 6. Pada penelitian ini, 2 pasien
berada dalam fase intensif pengobatan OAT kategori 1 dan 3 pasien berada dalam fase lanjutan
pengobatan OAT kategori 1 telah mengalami konversi sputum ke BTA negatif pada minggu
terakhir bulan ke-2 (akhir fase intensif). Hasil penelitian terhadap kepatuhan minum obat yang
menyatakan bahwa 100% responden Puskesmas Wajo kelurahan Lamangga patuh minum obat
dalam fase intensif OAT. Penelitian oleh Bello dan Itiolla yang dilakukan di Iliorin, Nigeria
juga mendapatkan hasil yang serupa. Didapatkan tingkat kepatuhan minum obat yang tinggi,
yaitu sebesar 94.6% pada populasi yang diteliti.10
Responden yang sedang dalam pengobatan OAT fase lanjut juga menunjukkan tingkat
kepatuhan minum obat yang tinggi yaitu sebesar 100%. Selain itu, tingkat kepatuhan terhadap
jadwal pemeriksaan dahak dan pengambilan obat didapatkan sebesar 100%. Namun, hal ini
berbeda dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Adene et al pada pasien TB di Etiopia yang
mana tingkat kepatuhan minum obat pada fase lanjut lebih rendah yaitu 86.67% dibandingkan
dengan kepatuhan minum obat pada fase intensif yang sebesar 94.44%. Berdasarkan hasil
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ketidakpatuhan minum obat akan lebih tinggi apabila
pasien berada pada fase lanjut OAT.9,10 Tingginya tingkat kepatuhan pengobatan pada
responden dapat disebabkan oleh beberapa faktor pendukung, yaitu obat-obatan dan layanan
kesehatan diberikan secara gratis, regimen dosis satu kali sehari selama fase intensif, efek
samping yang ringan dan dapat dikoreksi, instruksi tertulis yang telah jelas tentang aturan
minum obat, pusat pelayanan kesehatan yang mudah diakses oleh masyarakat8. Data mengenai
perilaku pasien dan kepatuhan minum obat hanya didapatkan melalui wawancara sehingga
memungkinkan terjadinya bias. Seharusnya dilakukan observasi terhadap perilaku subjek
penelitian di lingkungan tempat tinggal responden. Selama proses pengumpulan data atau
wawancara, kehadiran pihak ketiga tidak dapat dihindarkan sehingga kemungkinan dapat
mempengaruhi jawaban yang diberikan responden.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Tingkat kepatuhan minum obat pada responden wilayah kerja Puskesmas Wajo
kelurahan Wajo menyatakan bahwa tingkat kepatuhan minum obat sebanyak 100%
pada fase intensif OAT dan 75% fase lanjutan OAT.
2. Tingginya tingkat kepatuhan pengobatan pada responden dapat disebabkan oleh
beberapa faktor pendukung, yaitu obat-obatan dan layanan kesehatan diberikan secara
gratis, regimen dosis satu kali sehari selama fase intensif, efek samping yang ringan
dan dapat dikoreksi, instruksi tertulis yang telah jelas tentang aturan minum obat, pusat
pelayanan kesehatan yang mudah diakses oleh masyarakat, serta dukungan dari
keluarga dan lingkungan sekitar.
B. Saran
1. Bagi petugas kesehatan Puskesmas Wajo perlu meningkatkan pelayanan kesehatan
yang berkaitan dengan penyakit TB, tidak hanya kuratif tetapi preventif dan promotif
serta perlu meningkatkan penemuan kasus TB
2. Bagi Dinas kesehatan Kota Baubau, bisa memberikan imbalan dalam bentuk
penghargaan, uang, barang, dan sebagainya atas kinerja kader kesehatan yang bersifat
sukarela, sehingga dapat memicu semangat dari kader kesehatan dalam bertugas
membatu pengendalian kasus TB di Wilayah kerja Puskesmas Wajo
3. Bagi Masyarakat
Segera memeriksakan dirinya ke Puskesmas Wajo apabila memiliki gejala,
riwayat kontak dan faktor resiko terinfeksi TB agar dapat dilakukan diagnosis
dini dan tatalaksana yang sesuai.
Agar meningkatkan pengetahuan tentang penyakit TB Paru dari definisi, faktor
resiko, pengobatan hingga pencegahan melalui berbagai media seperti
penyuluhan dari tenaga kesehatan, bertanya ke tenaga kesehatan maupun
mengambil informasi dari media dan lingkungan sosial yang terpercaya.
Harus meningkatkan kesadaran tentang perilaku hidup bersih dan sehat dalam
menjaga kebersihan lingkungan rumah
DAFTAR PUSTAKA
Aditama, TY,. Chairil, AS,. 2002. Jurnal Tuberkulosis Indonesia. Jakarta : Perkumpulan
Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia.
Amirudin, Rifai. 2007. Fisiologi dan Biokimia Hati. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. pp : 415-419
Apsari, Depri. 2018. Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas Batu Anam
Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun Tahun 2015-2017. Skripsi: Universitas
Sumatra Utara. http://repositori.usu.ac.id
Arsyad, Zulkarnain. 1996. Evaluasi FaaI Hati pada Penderita Tuberkulosis Paru yang
Mendapat Terapi Obat Anti Tuberkulosis dalam Cermin Dunia Kedokteran No. 110,
1996 15.
Azhar K, Perwitasari D. 2013. Kondisi Fisik Rumah Dan Perilaku Dengan Prevalensi Tb Paru
Di Propinsi DKI Jakarta, Banten Dan Sulawesi Utara. Media Litbangkes. 23(4): 172-
81.
Bahar, A., 2007. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Edisi IV.
Jakarta : BPFKUI; 988-994.
Bayupurnama, Putut. 2007. Hepatoksisitas karena Obat dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI;471-474.
Behrman, et al. 2002. Nelson - Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15. Jakarta : EGC
Brooks, G.F., Butel, J. S. and Morse, S. A., 2004. “Jawetz, Melnick & Adelbergh’s:
Mikrobiologi Kedokteran”. Buku I, Edisi I, Alih bahasa: Bagian Mikrobiologi FKU
Unair, Jakarta : Salemba Medika.
Crofton, John. 2002. Tuberkulosis Klinis Edisi 2. Jakarta : Widya Medika.
Daniel, M. Thomas. 1999. Harrison : Prinsip-Prinsip Ilmu penyakit dalam Edisi 13 Volume
2. Jakarta : EGC : 799-808
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama. Jakarta.
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Dirjen P2&PL). 2014.
Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Katalog Dalam Terbitan: Kementerian
Kesehatan Nasiona
Fitriani, E. 2012. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Tuberkulosis Paru.
Universitas Negeri Semarang. Unnes Journal of Public Health.
Kemenkes RI. 2011. Laporan situasi terkini perkembangan tuberkulosis diIndonesia Januari-
Juni 2011. Jakarta
Kemenkes RI. 2011. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta
Kemenkes RI. 2013. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia tahun 2013.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kemenkes RI. 2014. Pedoman Nasional PengendalianTuberkulosis : Indonesia Bebas
Tuberkulosis.
Kemenkes RI. 2016. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2015. Jakarta
Kemenkes RI. 2018. Tuberculosis. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan. ISSN
2442-7659
Kenedyanti, E., (2017). “Analisis Kondisi Fisik Rumah, Perilaku, Keberadaan Mycobacterium
tuberculosis Dengan Kejadian Tuberkulosis (TB) Paru di Wilayah Kerja Puskesmas
Mulyorejo, Kecamatan Mulyorejo, Kota Surabaya”. Skripsi. Surabaya: Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga .
Kurniasari RAS, Suhartono, Cahyo. 2012. Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru di
Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri. Media Kesehatan Masyarakat Indonesia.
11(2): 198–204
Muslimah, D.D.L. 2019. Keadaan Lingkungan Fisik Dan Dampaknya Pada Keberadaan
Mycobacterium Tuberculosis: Studi Di Wilayah Kerja Puskesmas Perak Timur
Surabaya. Jurnal Kesehatan Lingkungan. Vol. 11 No. 1 Januari 2019 (26 - 34) ISSN:
1829 - 7285
Narasimhan, P et al. 2013. Risk Factor for Tuberculosis. The University of New South Wales,
Kensington, Sydney, NSW 2052, Australia. Hindawi Publishing Corporation.
Nurjana MA. 2015. Faktor Risiko Terjadinya Tuberkulosis Paru Usia Produktif (15-49 Tahun)
di Indonesia. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 25(3): 163–70.
Pangalo, Risye M., dkk. 2018. “Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru Di Puskesmas
Enemawira Kecamatan Tabukan Utara Kabupaten Kepulauan Sangihe”. Jurnal
KESMAS, Vol. 7 No. 5, 2018
Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Edisi 6 Volume 1. Alih Bahasa: Brahm U. Pendit, Huriawati Hartanto, Pita
Wulansari, Dewi Asih Mahanani. Jakarta: EGC.
Sari, Levi T. 2019. Hubungan Motivasi Kesembuhan Dengan Kepatuhan Minum Obat Pada
Penderita Tb Paru Dewasa. JuKe Vol. 3 No. 1, Januari -Juni 2019
Setiati S,ed et al. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing
Thomson, A.D dan Cotton, R.E. 1997. Catatan Kuliah Patologi. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta.
University of Maryland Medical Center. Pulmonary Tuberkulosis. Diakses 18 Desember
2019. www.umm.edu/ency/artcle/000077.htm
Widhiasnasir, Eka R. 2017. Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru Di Kota Parepare Tahun
2016. Skripsi. Makassar: Unuversitas Hasanuddin
Widmann. 1995. Tinjauan Klinis Atas Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta : penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Widyarsih, F., Rochmawati., Saleh,I., (2015). “Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru Di
Unit Pelayanan Kesehatan (Upk) Puskesmas Perum 2 Pontianak” Jurnal Mahasiswa
dan Peneliti Kesehatan, Vol 2 No.2
http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/JJUM/article/viewFile/334/26
World Health Organization. 1993. Treatment of Tuberculosis : Guidelines for National
programmes. Geneva : 3-15
World Health Organization. Tuberkulosis Facts 2007. http://www.who.int/TB/en/. Diakses
18 Desember 2019.
World Health Organization. 2010. Epidemiologi tuberkulosis di Indonesia diakses pada 18
Desember 2019 pukul 14:39 WIB http://www.tbindonesia.or.id/tbnew/epidemiologi-
tb-di-indonesia/article/55/000100150017/2
LAMPIRAN
Setelah mendapat keterangan dan penjelasan secara lengkap dari peneliti tentang
penelitian yang akan dilakukan serta memahaminya, maka dengan penuh kesadaran dan
tanpa paksaan saya menyatakan bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini.
(............................................)
Lembaran Kuesioner
Jawablah pertanyaan – pertanyaan dibawah ini dengan memberikan tanda check list
( √ ) pada salah satu jawaban yang anda anggap benar.
“Ya” = Bila pernyataan sesuai dengan perasaan anda
“Tidak” = Bila pernyataan tidak sesuai dengan perasaan anda
No Pertanyaan Ya Tidak
1 Apakah Anda mengetahui aturan minum OAT ?
2 Apakah Anda mengetahui jumlah OAT yang dikonsumsi ?
3 Apakah Anda pernah mengurangi atau berhenti mengonsumsi
OAT jika telah merasa sembuh ?
4 Apakah Anda pernah lupa membawa OAT jika sedang
bepergian jauh dan lama ?
5 Apakah Anda rutin mengambil OAT di puskesmas jika obat
telah habis ?
6 Apakah Anda pernah dinyatakan putus minum OAT dan harus
mengulangi pengobatan dari awal ?
7 Apakah Anda tetap melanjutkan konsumsi OAT jika pasien
merasakan efek samping dari pengobatan ?
8 Apakah Anda merasa kesulitan untuk mengonsumsi OAT ?
DOKUMENTASI