KELOMPOK 4
Nur Janah
Refy Sukidawati Putri
Desy Haslinda Atika Sari
Yaumil Fitri
Fegi Tamaran
Salmiati
Mila Marta D
M Rezky
A. Latar Belakang
Sindrom nefrotik, adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada
anak, merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuria
masif, hipoalbuminemia, hiperkolesteronemia serta edema. Yang dimaksud
proteinuria masif adalah apabila didapatkan proteinuria sebesar 50-100 mg/kg berat
badan/hari atau lebih. Albumin dalam darah biasanya menurun hingga kurang dari
2,5 gram/dl. Selain gejala-gejala klinis di atas, kadang-kadang dijumpai pula
hipertensi, hematuri, bahkan kadang-kadang azotemia.
Pada anak SN tidak jelas sehingga disebut Sindrom Nefrotik Idiopatik (SNI).
Kelainan histologis SNI menunjukkan kelainan-kelainan yang tidak jelas atau sangat
sedikit perubahan yang terjadi sehingga disebut Minimal Change Nephrotic
Syndrome atau Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM).
Penyebab sindroma nefrotik dibagi menjadi penyebab primer dan sekunder.
Sindroma nefrotik primer dikenal sebagai sindroma nefrotik idiopatik, yaitu penyakit
yang terkait dengan faktor glomerular intrinsik pada ginjal dan tidak disebabkan
oleh faktor sistemik. Sindroma nefrotik idiopatik adalah sindroma nefrotik yang
paling sering terjadi, mencapai 90% kasus. Sindroma nefrotik sekunder disebabkan
oleh faktor dari luar ginjal/faktor ekstrinsik, termasuk Henoch-Schönlein purpura
(HSP), lupus eritematosus sistemik, Amyloidosis, diabetes melitus, sifilis, hepatitis B
dan C, human immunodeficiency virus (HIV), keganasan, dan obat–obatan.
Lebih dari 60% sindroma nefrotik idiopatik mengalami kekambuhan berulang,
sehingga pemantauan jangka panjang menjadi sangat penting, baik dalam terapi
medis maupun tata laksana nutrisinya. Kasus penyakit ini dikaitkan dengan
peningkatan risiko komplikasi komplek, seperti edema anasarka, berbagai kejadian
infeksi, penyakit kardiovaskular, trombosis, dislipidemia, gagal ginjal akut, bahkan
berkembang menjadi gagal ginjal kronis ataupun gagal ginjal terminal dengan
segala dampak psikologisnya
B. Rumusan masalah
Apakah terdapat pengaruh pemberian kompres hangat terhadap
penurunan intensitas nyeri punggung ppada anak dengan sindrom nefrotik
C. Tujuan
1. Tujuan umum
Adakah pengeruh pemberian kompres hangat pada nyeri punggung
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengurangi nyeri punggung
b. Untuk mencegah nyeri punggung
c. Untuk mengetahui seberapa berpengaruh kompres hangat untuk nyeri
punggung
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. Etiologi
Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
a. Sindrom nefrotik primer, faktor etiologinya tidak diketahui.
Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini
secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada
penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Termasuk
dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital, yaitu salah
satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di
bawah 1 tahun.
Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer
dikelompokkan menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of
Kidney Disease in Children). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan
melalui pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila diperlukan,
disempurnakan dengan pemeriksaan mikroskop elektron dan
imunofluoresensi.
Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer
1) Kelainan minimal (KM)
2) Glomerulopati membranosa (GM)
3) Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
4) Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa
sindrom nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa prevalensi sindrom
nefrotik tipe kelainan minimal jauh lebih sedikit dibandingkan pada anak-anak.
Di Indonesia gambaran histopatologik sindrom nefrotik primer agak
berbeda dengan data-data di luar negeri. Wila Wirya menemukan hanya 44.2%
tipe kelainan minimal dari 364 anak dengan sindrom nefrotik primer yang
dibiopsi, sedangkan Noer di Surabaya mendapatkan 39.7% tipe kelainan
minimal dari 401 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi.
b. Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik
atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek
samping obat. Penyebab yang sering dijumpai adalah :
1) Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom
Alport, miksedema.
2) Infeksi : hepatitis B, malaria, Schistosomiasis mansoni, Lues, Subacute
Bacterial Endocarditis, Cytomegalic Inclusion Disease, lepra, sifilis,
streptokokus, AIDS.
3) Toksin dan alergen: logam berat (Hg), Trimethadion, paramethadion,
probenecid, penisillamin, vaksin polio, tepung sari, racun serangga, bisa
ular.
4) Penyakit sistemik bermediasi imunologik: Lupus Eritematosus Sistemik,
purpura Henoch-Schonlein, sarkoidosis.
5) Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, Leukemia, tumor
gastrointestinal.
6) Penyakit perdarahan : Hemolytic Uremic Syndrome
3. Manifestasi Klinis
Terdapat empat gambaran klinik yang spesifik pada sindroma nefrotik, yaitu
proteinuria masif (keluaran protein melalui urin lebih dari 40 mg/m2/jam, atau
>50 mg/kg BB/24 jam atau rasio albumin/kreatinin urin sewaktu ≥ 2 mg/mg),
hipoalbuminemia (kadar albumin serum < 2,5 g/dL), hiperkolesterolemia
(kolesterol serum > 200 mg/dL), dan terdapatnya edema. Proteinuria masif
dimungkinkan adanya peningkatan permeabilitas dinding kapiler glomerulus
yang terjadi akibat hilangnya muatan negatif glikoprotein pada dinding kapiler
glomerulus. Protein yang terbawa urin terutama albumin, dapat lebih dari 2 g/24
jam, edema timbul apabila albumin serum kurang dari 2,5 g/dL.
Penderita biasanya memeriksakaan diri karena keluhan bengkak yang
diawali di sekitar mata, bisa disertai keadaan asites, edema anasarka, sesak (dapat
akibat terjadinya efusi pleura ataupun adanya bronkhopneumonia), sakit perut
(kemungkinan peritonitis), infeksi saluran nafas atas, eksantema, dan atopi (30–
60 % kasus), hematuria (22 %), hipertensi (15–20 %), peningkatan ureum dan
kreatinin sementara (32 %).
4. Patofisiologi
a. Proteinuria
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya
sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui
benar. Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan
negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan
membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin
yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus.
Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari proteinuria yang hebat.
Edema muncul akibat rendahnya kadar albumin serum yang menyebabkan
turunnya tekanan onkotik plasma dengan konsekuensi terjadi ekstravasasi
cairan plasma ke ruang interstitial.
Pada SN, proteinuria umumnya bersifat masif yang berarti eksresi
protein > 50 mg/kgBB/hari atau >40 mg/m2/jam atau secara kualitatif
proteinuria +++ sampai ++++. Oleh karena proteinuria paralel dengan
kerusakan mbg , maka proteinuria dapat dipakai sebagai petunjuk sederhana
untuk menentukan derajat kerusakan glomerulus. Jadi yang diukur adalah
Index Selectivity of Proteinuria (ISP).
b. Hiperlipidemia
Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula
oleh penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya a-glikoprotein
sebagai perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik
secara spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya
kadar lipid kembali normal. Dikatakan hiperlipidemia karena bukan hanya
kolesterol saja yang meninggi ( kolesterol > 250 mg/100 ml ) tetapi juga
beberapa konstituen lemak meninggi dalam darah. Konstituen lemak itu
adalah kolesterol, Low Density Lipoprotein(LDL), Very Low Density
Lipoprotein(VLDL), dan trigliserida (baru meningkat bila plasma albumin <
1gr/100 mL. Akibat hipoalbuminemia, sel-sel hepar terpacu untuk membuat
albumin sebanyak-banyaknya. Bersamaan dengan sintesis albumin ini, sel sel
hepar juga akan membuat VLDL. Dalam keadaan normal VLDL diubah menjadi
LDL pleh lipoprotein lipase. Tetapi, pada SN aktivitas enzim ini terhambat oleh
adanya hipoalbuminemia dan tingginya kadar asam lemak bebas. Disamping
itu menurunnya aktivitas lipoprotein lipase ini disebabkan pula oleh rendahnya
kadar apolipoprotein plasma sebagai akibat keluarnya protein ke dalam urine.
Jadi, hiperkolesteronemia ini tidak hanya disebabkan oleh produksi yang
berlebihan , tetapi juga akibat gangguan katabolisme fosfolipid.
c. Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia terjadi apabila kadar albumin dalam darah < 2,5
gr/100 ml. Hipoalbuminemia pada SN dapat disebabkan oleh proteinuria,
katabolisme protein yang berlebihan dan nutrional deficiency.
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma
intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus
dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang
menyebabkan edema. Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif
merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium
dan air ini timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar
volume dan tekanan intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya
mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan
tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya mempercepat ekstravasasi cairan
ke ruang interstitial.
Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang
memicu rentetan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron dengan akibat
retensi natrium dan air, sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan
kadar natrium rendah. Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill. Dalam teori
ini dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin plasma dan aldosteron adalah
sekunder karena hipovolemia. Tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom
nefrotik menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa penderita sindrom
nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume plasma dan penurunan
aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep baru
yang disebut teori overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium dan air
terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak tergantung pada
stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan
ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi
sebagai akibat overfilling cairan ke dalam kompartemen interstitial. Teori
overfill ini dapat menerangkan volume plasma yang meningkat dengan kadar
renin plasma dan aldosteron rendah sebagai akibat hipervolemia.
d. Edema
Pembentukan edema pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses
yang dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill
berlangsung bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama,
karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin merupakan suatu kombinasi
rangsangan yang lebih dari satu.3Edema mula-mula nampak pada kelopak
mata terutama waktu bangun tidur. Edema yang hebat / anasarca sering
disertai edema genitalia eksterna. Edema anasarca terjadi bila kadar albumin
darah < 2 gr/ 100 ml. Selain itu, edema anasarca ini dapat menimbulkan diare
dan hilangnya nafsu makan karena edema mukosa usus. Akibat anoreksia dan
proteinuria masif, anak dapat menderita PEM. Hernia umbilikalis, dilatasi vena,
prolaps rekstum dan sesak nafas dapat pula terjadi akibat edema anasarca ini.
Pada umumnya tipe SNKM mempunyai gejala-gejala klinik yang disebut
diatas tanpa gejala-gejala lain. Oleh karena itu, secara klinik SNKM ini dapat
dibedakan dari SN dengan kelainan histologis tipe lain yaitu pada SNKM
dijumpai hal-hal sebagai berikut pada umunya :
1) Anak berumur 1-6 tahun
2) Tidak ada hipertensi
3) Tidak ada hematuria makroskopis atau mikroskopis
4) Fungsi ginjal normal
5) Titer komplemen C3 normal
6) Respons terhadap kortikosteroid baik sekali.
Oleh karena itulah, bila dijumpai kasus SN dengan gejala-gejala diatas
dan mengingat bahwa SNKM terdapat pada 70-80% kasus, maka pada
beberapa penelitian tidak dilakukan biopsi ginjal.
5. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi dapat merupakan bagian dari penyakit itu sendiri
ataupun efek dari terapi. Komplikasi dari penyakitnya termasuk keadaan
proteinuria terutama albuminurianya, kejadian infeksi, tromboemboli, penyakit
kardiovaskular, krisis hipovolemik, anemia, gagal ginjal akut, gangguan
keseimbangan elektrolit, dan hormonal.
a. Proteinuria dan hipoalbuminemia
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan gejala utama terjadinya sindroma
nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui dengan
benar. Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan
negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan
membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut akan menyebabkan
albumin tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus, seperti diketahui
albumin memiliki muatan negatif. Albuminuria masif menyebabkan hati
tidak dapat mengkompensasi keadaan hipoalbuminemia, keadaan ini
dianggap sebagai kegagalan hati dalam mensintesis albumin. Keadaan ini
diperberat oleh adanya pelepasan sitokin, dimana sitokin akan menekan
sintesis albumin di hati.
b. Edema
Proteinuria/albuminuria akan menyebabkan turunnya kadar albumin
serum. Rendahnya kadar albumin serum menyebabkan turunnya tekanan
onkotik plasma, sehingga terjadi ekstravasasi cairan plasma menembus
dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial, dan terjadilah
edema. Edema dapat terlihat pada wajah, ektermitas atas, ektermitas bawah,
organ genetalia, asites, bahkan edema yang menyeluruh (edema anasarka).
Penurunan volume plasma menstimulasi retensi air dan natrium di ginjal.
Retensi natrium dan air ini merupakan kompensasi tubuh untuk
mempertahankan volume dan tekanan intravaskular tetap normal.14,17 Suatu
teori menyatakan bahwa berkurangnya volume intravaskular akan merangsang
sekresi renin dan memicu aktifitas renin–angiotensin– aldosteron sehingga
terjadi retensi natrium dan air, kemudian produksi urin menjadi berkurang dan
lebih pekat. 17,18,19 Pendapat ini dikenal dengan teori underfill. Dalam teori
ini dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin dan aldosteron plasma
merupakan akibat sekunder dari hipovolemianya. Pada kenyataannya
beberapa penderita sindroma nefrotik justru memperlihatkan peningkatan
volume plasma serta penurunan aktivitas renin dan kadar aldosteron plasma.
c. Hiperkolesterolemia
Terdapat berbagai pendapat mengenai terjadinya hiperkolesterolemia,
antara lain adanya penurunan tekanan onkotik plasma akan disertai
penurunan aktivitas degradasi lemak akibat hilangnya suatu glikoprotein
perangsang lipase. Pada kenyataannya pula apabila kadar albumin serum
kembali normal, maka biasanya kadar lipid plasma juga akan kembali normal.
d. Gagal ginjal akut
Gagal ginjal pada sindroma nefrotik merupakan gagal ginjal yang
disebabkan intra renal.
e. Hipovolemia dan Gangguam keseimbangan Elektrolit
Penderita sindroma nefrotik dikaitkan dengan edema dan retensi
natrium, tetapi ternyata pada beberapa kasus konsentrasi natrium serum
cukup rendah. Kondisi ini dikenal sebagai pseudohiponatremia.
Terdapatnya edema pada pasien sindroma nefrotik biasanya diterapi
dengan diuretik. Dampak pemberian diuretik antara lain hipovolemia,
penderita dalam keadaan oliguria, hipotensi, takikardi, dan akral dingin
f. Trombosis
Hiperkoagulasi, peningkatan kadar fibrinogen, faktor VIII, penurunan
kadar antitrombin III, serta penurunan aktifitas protein S dan C akan
mempermudah terjadinya trombosis. Trombosis diperberat oleh keadaan
dehidrasi.
g. Infeksi
Kehilangan imunoglobulin, komplemen faktor B dan D melalui urin
dapat mengakibatkan gangguan imunitas dan peningkatan risiko infeksi.
Keadaan ini diperberat oleh penggunaan obat–obatan imunosupresif.4
Komplikasi infeksi yang terjadi terutama akibat streptococcus pneumoniae,
meskipun bakteri gram negatif juga sering ditemukan. Penderita dengan terapi
sitotoksik lebih rentan mengalami infeksi dibandingkan yang mendapatkan
terapi steroid. Keadaan sepsis merupakan penyebab utama kematian akibat
infeksi.
h. Hipokalsemia
Hilangnya globulin vitamin D–binding dapat mengakibatkan kekurangan
vitamin D, hipokalsemia, osteomalasia, dan hiperparatiroidisme sekunder.
Osteoporosis dan osteopenia dapat disebabkan pula oleh penggunaan steroid
jangka panjang.
Meskipun total kalsium serum sering rendah, tetapi tingkat kalsium
terionisasi biasanya normal. Rendahnya kalsium serum disebabkan rendahnya
ikatan protein dengan kalsium. Meskipun demikian, suatu laporan
menyebutkan bahwa sebagian besar anak dengan sindroma nefrotik tidak
menunjukkan defisiensi kepadatan mineral tulang yang signifikan
i. Hipertensi
Hipertensi pada sindroma nefrotik dapat terjadi akibat adanya gangguan
perfusi di ginjal, sehingga disebut hipertensi renalis.
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada sindroma nefrotik meliputi urin rutin, protein
urin kuantitatif, darah tepi, kadar albumin, kadar kolesterol, kadar ureum dan
kreatinin, titer ASTO, kadar komplemen C3, serta biopsi ginjal. Mengingat
sebagian besar kasus sindroma nefrotik memberikan gambaran lesi minimal
maka biopsi tidak selalu diperlukan. Lesi minimal glomerulus secara histologi
masih dianggap normal. Biopsi ginjal menjadi indikasi apabila onset kurang dari
satu tahun atau lebih dari 16 tahun, hematuria mikroskopik atau makroskopik
persisten dengan kadar C3 rendah, hipertensi atau gangguan fungsi ginjal
menetap, resisten terhadap steroid, serta apabila timbul gejala–gejala ekstra renal
seperti limfadenopati, arthritis, dan sebagainya).
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
B. Keluhan Utama
Bengkak-bengkak pada seluruh tubuh sejak satu minggu dan susah buang air
kecil.
G. Riwayat Sosial
1. Yang mengasuh :
Pasien mengatakan yang mengasuh pasien sehari-hari adalah orang tua. Pasien
tinggal bersama orang tua.
2. Hubungan dengan anggota keluarga :
Pasien mengatakan hubungan dengan anggota keluarga sangat baik.
3. Hubungan dengan teman sebaya :
Pasien mengatakan hubungan dengan teman sebaya sangat baik, sehari-hari
pasien selalu berkomunikasi dengan teman sebaya.
H. Riwayat Keluarga
1. Sosial ekonomi
Pasien mengatakan kebutuhan sehari-hari terpenuhi dan tidak pernah
merasakan kekurangan. Pasien menggunakan jaminan kesehatan nasional BPJS.
2. Lingkungan rumah
Pasien mengatakan rumah pasien di pinggir jalan. Lingkungan rumah pasien
sangat bersih karena setiap hari selalu dibersihkan.
3. Penyakit keluarga
Orang tua pasien mengatakan almh. Nenek pasien meninggal karena mengidap
penyakit ginjal dan sampai komplikasi.
4. Genogram
Keterangan :
= Perempuan
= Laki-laki
= Meninggal Dunia
K. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum
Nyeri pinggang dengan skala 4 dengan kualitas nyeri tumpul, pasien merasakan
nyeri hilang timbul dengan waktu nyeri 3-5 menit, bengkak-bengkak pada
seluruh tubuh, susah buang air kecil, demam, jika buang air kecil selalu disertai
dengan buang air besar (diare).
Tanda-tanda vital :
TD:100/50mmHg. RR: 24x/menit
Nadi: 96x/menit, Suhu: 38,6 ºC, BB/TB: 59 kg/ 151 cm.
Lingkar Kepala: 51 cm, Lingkar dada: 89 cm, Lingkar lengan atas: 27cm
Skala Nyeri : 4
Resiko Jatuh :
Skala Humpty Dumpty
< 3 tahun 4
Usia 3-7 tahun 3
7-13 tahun 2
≥ 13 tahun 1 1
Perempuan 1 1
Gangguan Perilaku/Psikiatri 2
Diagnosis lainnya 1 1
2. Kulit
Warna kulit sawo matang, tidak ada lesi, tidak ada nyeri tekan, bengkak pada
seluruh tubuh, CRT < 2 detik, turgor kulit >2 detik.
3. Kepala
Rambut pasien panjang dan berwarna hitam, distribusi rambut merata, tidak
ada lesi pada area kepala, tidak ada benjolan, tidak ada ketombe.
4. Mata
Mata simetris kanan kiri, konjungtiva anemis.
5. Telinga
Pasien tidak menggunakan alat bantu pendengaran, tidak ada gangguan
pendengaran, telinga simetris kanan dan kiri, telinga bersih dan tidak ada
serumen.
6. Hidung
Hidung simetris kanan dan kiri, tidak ada polip hidung, tidak ada perdarahan
pada hidung, tidak ada secret pada hidung.
7. Mulut
Warna mukosa bibir pink, tidak ada lesi, mukosa bibir lembab, gigi tidak ada
yang berlubang, tidak terjadi perdarahan pada gusi.
8. Leher
Leher simetris kanan kiri, warna kulit leher merata, tidak ada lesi, tidak ada
pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada nyeri tekan.
9. Dada
Dada simetris kanan kiri, tidak ada nyeri tekan pada dada, payudara simetris
kanan dan kiri.
10. Paru
Inspeksi: tidak terlihat tarikan dinding dada kedalam
Palpasi: vocal premitus kanan dan kiri sama
Perkusi : sonor
Auskultasi: bunyi paru normal (vesikuler)
11. Jantung
Inspeksi: ictus cordis tidak tampak
Palpasi:
Perkusi : pekak
Auskultasi: terdengar bunyi jantung S1 dan S2.
12. Abdomen
Inspeksi: tidak ada strechmark pada abdomen, tidak ada lesi.
Palpasi: tidak ada nyeri tekan
Perkusi: timpani
Auskultasi: bising usus 25x/menit
13. Genetalia
Tidak terpasang kateter
14. Anus dan rectum
Tidak dapat di kaji.
15. Muskuloskeletal
Kekuatan otot normal
L. Pemeriksaan Diagnostik lainnya
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Lab Edta : Tanggal 17-01-2020
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Unit
Leukosit 8.71 4.80-10.80 10^3/𝜋l
Eritrosit 4.23 4.20-5.40 10^6/𝜋l
Hemoglobin 8.3 12.0-16.0 g/dL
Hematokrit 29.0 37.0-54.0 %
MCV 68.5 81.0-99.0 fL
MCH 19.7 27.0-31.0 pg
MCHC 28.8 33.0-37.0 g/dL
PLT 816 150-450 10^3/𝜋l
RDW-SD 59.5 35.0-47.0 fL
RDW-CV 25.3 11.5-14.5 %
PDW 15.1 9.0-13.0 fL
MPV 7.5 7.2-11.1 fL
2. Dan lain-lain
.......................................................................................................................................................................
.......................................................................................................................................................................
.......................................................................................................................................................................
.......................................................................................................................................................................
.......................................................................................................................................................................
.......................................................................................................................................................................
.......................................................................................................................................................................
.......................................................................................................................................................................
.......................................................................................................................................................................
M. Program terapi dan Cairan
Cairan : terpasang infus NaCl 0,9%
Obat-obatan :
1. Ceftriaxone 2x 1gr (IV)
2. Lasix 2 x 1gr (IV)
3. Ondansentron 2 x 1 (IV)
4. Paracetamol (oral)
N. Informasi lain
.............................................................................................................................................................................
.............................................................................................................................................................................
.............................................................................................................................................................................
.............................................................................................................................................................................
.............................................................................................................................................................................
.............................................................................................................................................................................
Samarinda, 15/01/2020
Perawat
(...............................................)
II. Analisa Data
Data objektif:
Seluruh badan bengkak-
bengkak
Turgor kulit > 2 detik
Tekanan darah = 100/50
mmHg
Nadi = 96x/menit
Respirasi= 24x/menit
Suhu = 38,6 ºC
Data Objektif:
Produksi urin sedikit
NO DIAGNOSA KEPERAWATAN
TUJUAN (SLKI) INTERVENSI (SIKI) RASIONAL
(SDKI)
Keterangan :
1 = Menurun
2 = Cukup menurun
3 = Sedang
4 = Cukup Meningkat
5 = Meningkat
1. Frekuensi nadi
(3)
2. Tekanan darah
(3)
3. Kadar Hb (3)
4. Kadar Ht (3)
5. Oliguria (3)
6. Intake Cairan
(3)
Keterangan :
1= Memburuk
2= Cukup memburuk
3= Sedang
4= Cukup membaik
5= Membaik
2. Nyeri Akut Kontrol Nyeri Manajemen Nyeri Mengurangi keluhan nyeri yang
Definisi: Tindakan Definisi: mengidetifikasi dan mengelola dirasakan pasien
Kode : D.0077 untuk meredakan pengalaman sensorik atau emosianal
Kategori: Psikologik pengalaman sensorik yang berkaitan dengan keusakan
Subkategori: nyeri dan atas emosional yang jaringan atau fungsional dengan onset
kenyamanan tidak menyenangkan mendadak atau lambat dan berintensitas
Definisi : pengalaman akibat kerusakan ringan hingga berat dan konstan.
sensorik atau emosianal yang jaringan. Tindakan. :
berkaitan dengan kerusakan Observasi
jaringan aktual atau Setelah dilakukan 1. Identifikasi skala nyeri
fungsional, dengan onset tindakan 2. Identifikasi respon nyeri non
mendadak atau lambat dan keperawatan..x jam verbal
berintensitas ringan hingga diharapkan pasien 3. Identifikasi faktor yang
berat yang berlangsung mampu memenuhi memperberat dan memperingan
kurang dari 3 bulan kriteria sebagai nyeri
berikut: Terapeutik :
1. Melaporkan 1. Berikan teknik nonfarmakologis
nyeri untuk mengurangi rasa nyeri
terkontrol (3) 2. Kontrol lingkungan yang
2. Kemampuan memperberat rasa nyeri
mengenali
penyebab
nyeri (3)
3. Kemampuan
menggunakan
teknik non-
farmakologis
(3)
Keterangan :
1 = Menurun
2 = Cukup menurun
3 = Sedang
4 = Cukup Meningkat
5 = Meningkat
3. Gangguan eliminasi urin Eliminasi urine Manajemen Eliminasi Urine Membantu meningkatkan
Defenisi: mengidentifikasi dan mengelola pengeluaran/output urine
Kode: D.0040 Defenisi : gangguan pola eliminasi urin
Kategori: Fisiologis pengosongan
Subkategori : Eliminasi kandung kemih yang Tindakan:
lengkap Observasi
Defenisi: 1. Identifikasi tanda dan gejala retensi
Disfungsi eliminasi urin Setelah dilakukan urin atau inkontinensia urin
tindakan 2. Identifikasi faktor yang
keperawatan..x jam menyebabkan retensi atau
diharapkan pasien inkontinensia urin
mampu memenuhi 3. Monitor eliminasi urine (mis.
kriteria sebagai Frekuensi, konsistensi, aroma,
berikut: volume dan warna
1. Distensi kandung Terapeutik
kemih (3) 1. Batasi asupan cairan
2. Disuria (3) 2. Catat waktu dan haluaran berkemih
Edukasi
Keterangan : 1. Anjurkan mengurangi minum
1= meningkat menjelang tidur
2= cukup meningkat 2. Anjurkan minum yang cukup
3= sedang
4= cukup menurun
5= menurun
Catatan Perkembangan
Nama Klien : Umur :
No RM : Ruang :
Judul : EFEKTIFITAS KOMPRES HANGAT BASAH DAN KERING TERHADAP NYERI PUNGGUNG BAWAH PADA LANSIA DI
namun belum diketahui efektivitas diantara dua terapi tersebut. Tujuan: untuk mengetahui efektivitas antara kompres hangat basah dan kering
terhadap nyeri punggung bawah pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Telen. Metode penelitian: Quasy eksperiment dengan pre and post test
without control. Pengambilan sampel dilakukan dengan tehnik Quota Sampling, jumlah sampel sebanyak 32 responden yang dibagi menjadi 2
kelompok. Instrumen Numeric Rating Scale. Uji statistik Mann Whitney. Hasil: Rata-rata penurunan skala nyeri kompres hangat kering 1,94 dan
basah 0,19 dengan P value 0,000 ≤ 0,05. Uji beda kompres hangat kering dan basah P value 0,48. Kesimpulan: Tidak ada perbedaan efektivitas
kompres hangat basah dan kering terhadap nyeri punggung bawah pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Telen. Saran: Untuk peneliti
selanjutnya teknik pengambilan sampel menggunakan random agar memberi kesempatan yang sama.
NO KOMPONEN ISI KRITISI SEBAIKNYA PJ
1 Latar Belakang Lansia yang ada di wilayah Dalam jurnal tidak dijelaskan terkait Dalam penulisan sistematika
puskesmas Talen berjumlah 229 alasan dilakukanya penelitian ini, penulisan abstrak latar belakang harus
orang, terdapat 75 (32,75%) lansia serta tidak mencantumkan mencantumkan komponen, yaitu:
tersebut.
2 Tujuan Untuk mengetahui efektivitas antara Dalam jurnal sudah menjelaskan Tujuan penelitian adalah pernyataan
kompres hangat basah dan kering tujuan dilakukanya penelitian, mengenai apa yang hendak kita capai.
terhadap nyeri punggung bawah sehingga dapat memudahkan Tujuan penelitian dicantumkan
pada lansia di wilayah kerja pembaca untuk memahami apa yang dengan maksud agar kita sebagai
Puskesmas Telen. akan dilakukan dalam penelitian ini. penulis pihak lain yang membaca
post test without control. menjelaskan metode yang tahap yang digunakan peneliti untuk
dengan tehnik Quota Sampling, dengan pre dan post test tanpa
5 Hasil Rata-rata penurunan skala nyeri Dalam penelitian ini menyajikan hasil Hasil penelitian yaitu penyajian hasil
kompres hangat kering 1,94 dan perhitungan rata-rata penurunan yang didapat dari penelitian yang
basah 0,19 dengan P value 0,000 ≤ skala nyeri dari uji statistik. telah dilakukan oleh peneliti.
6 Kesimpulan Tidak ada perbedaan efektivitas Dalam penelitian ini telah Kesimpulan yaitu jawaban dari tujuan
kompres hangat basah dan kering menjelaskan tidak terdapat penelitian ini dilakukan.