Anda di halaman 1dari 13

Kajian Yuridis Terhadap Kedudukan Kekayaan Negara dalam Permodalan BUMN

Persero
Nurjannah
NPM 1806275792

Abstract
The aim of research is to determine the position of state assets in regard to the capital of BUMN
Persero and the relation of BUMN persero and its subsidiaries. The research used normative
empirical method by using statutory approach. The research found that subsidiary is a company
that more than half of its shares owned by another company or wholly owned by another company. The other
company is called a holding company. BUMN is a business entity which entire or most of its capital is owned
by the State through direct participation from the separated state assets. Meanwhile, if BUMN’s subsidiary is
formed and there is capital participation from BUMN as a holding company that means that the capital is in
the form of a Persero (Liability Company) as a legal entity that has separate assets from shareholders as
regulated in Law Number 19 Year 2003 about BUMN. BUMN Persero along with its subsidiaries is an
independent legal entity in which its management must be done in accordance with certain rules
(good corporate governance) without any interfere from any parties

Keywords: State Assets, BUMN, Subsdiaries.

Abstrak
Tujuan penelitian untuk mengetahaui kedudukan kekayaan negara dalam permodalan BUMN
Persero dan hubungan antara BUMN Persero dengan anak-anak perusahaannya. Metode
penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif empiris dengan menggunakan statutory
approach. Hasil penelitian ditemukan bahwa anak perusahaan adalah perusahaan yang lebih
dari separuh sahamnya dimiliki oleh perusahaan lain atau sepenuhnya dimiliki oleh perusahaan
lain. Perusahaan lain itu disebut perusahaan induk atau induk perusahaan. BUMN adalah badan
usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan secara
langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Sementara apabila dibentuk anak
perusahaan BUMN dan adanya penyertaan modal dari BUMN sebagai perusahaan induk, itu
artinya modal tersebut yang berbentuk Perseroan sebagai badan hukum yang memiliki kekayaan
terpisah dari pemegang saham sebagaimana ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2003 tentang BUMN. BUMN Persero beserta dengan anak-anak perusahaan BUMN merupakan
suatu badan hukum mandiri, pengelolaannya harus dilakukan berdasarkan kaidah (good
corporate governance) tanpa adanya intervensi atau campur tangan dari pihak manapun.
Kata kunci: Kekayaan Negara, BUMN, Anak Perusahaan.
PENDAHULUAN

Penyelenggaraan perekonomian nasional merupakan pilar penting dalam pembangunan


suatu Negara guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Negara di dalam penyelenggaraan
perekonomian nasional bertindak sebagai regulator maupun sebagai pelaku itu sendiri. Peran
Negara sebagai pelaku ekonomi diwujudkan melalui pembentukan Badan Usaha Milik Negara
(BUMN). Pemerintah Indonesia mendirikan BUMN dengan dua tujuan utama, yaitu tujuan yang
bersifat ekonomi dan tujuan yang bersifat sosial.1
Dalam tujuan yang bersifat ekonomi, BUMN dimaksudkan untuk mengelola sektor - sektor
bisnis strategis agar tidak dikuasai pihak–pihak tertentu, sebagaimana yang diamanatkan Pasal 33
Undang–Undang Dasar 1945. Tujuan yang bersifat sosial, BUMN dapat menciptakan lapangan
kerja, pemberdayaan masyarakat sebagai mitra kerja dalam mendukung kelancaran proses
kegiatan usaha. Apabila diuraikan lebih lanjut maka BUMN memiliki tiga makna yang terkandung
di dalamnyaa yakni” public purpose, public ownership, dan public control. “2
Eksistensi BUMN sebagai suatu badan hukum mandiri (separate legal entity) telah
mendapatkan pengakuan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003.3 Pengakuan demikian
mengakibatkan berlakunya seluruh prinsip kemandirian Perseroan Terbatas ke dalam
kelembagaan BUMN khususnya bagi BUMN Persero. Namun demikian, ketidaksinkronan
pengaturan berkaitan dengan kelembagaan BUMN di dalam peraturan perundang - undangan telah
mengakibatkan kekaburan hukum dalam tataran normatif. Ketidaksinkronan tersebut antara lain
nampak dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN (UU BUMN), Undang
Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara) serta Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT).
UU BUMN secara eksplisit telah menegaskan berlakunya segala ketentuan dan prinsip
perseroan sebagaimana diatur dalam UUPT bagi kelembagaan BUMN Persero.4 Melalui
pengaturan yang demikian maka jelaslah bahwa segala prinsip kemandirian PT demi hukum
berlaku bagi BUMN Persero.

1
Purwoko, Model Privatisasi BUMN yang Mendatangkan Manfaat Bagi Pemerintah dan Masyarakat
Indonesia, Jurnal Kajian Ekonomi dan Keuangan, Vol. 6, No.1 (Maret 2002), hlm. 1-2.
2
Jonker Sihombing, Peran dan Aspek Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Alumni, Bandung, 2010,
hlm 92.
3
Baca Pasal 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN mengenai definisi BUMN itu
sendiri.
4
Lihat Pasal 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
Sebagaimana telah dikemukakan, kekaburan hukum terjadi manakala ketentuan UU BUMN
disandingkan dengan ketentuan UU Keuangan Negara. UU Keuangan Negara mengkategorikan
“kekayaan perusahaan negara sebagai bagian dari keuangan negara”.5 Ketentuan ini seakan
memberikan legitimasi bagi negara untuk melakukan campur tangan atas pengelolaan BUMN
Persero yang sejatinya merupakan badan hukum mandiri. Inilah yang kemudian menimbulkan
begitu banyak implikasi baik dalam tataran normatif maupun dalam tataran praktis. Salah satunya
adalah mengenai campur tangan negara dalam pengelolaan BUMN Persero yang terus-menerus
dilakukan hingga menimbulkan berbagai persoalan bahkan tak jarang memunculkan indikasi
monopoli.

RUMUSAN MASALAH

1) Bagaimanakah kedudukan kekayaan negara dalam permodalan BUMN Persero?


2) Bagaimanakah hubungan antara BUMN Persero dengan anak-anak perusahaanya
berdasarkan pada teori dan doktrin hukum perseroan terbatas?

PEMBAHASAN

Kajian Yuridis terhadap Kedudukan Kekayaan Negara yang dipisahkan pada BUMN
Persero

BUMN sebagai agent of development memegang peranan penting dalam pelayanan publik
masyarakat Indonesia dewasa ini karena mereka bersentuhan langsung dengan hajat hidup
orang banyak, meskipun sebagian sahamnya telah dimiliki juga oleh individu ataupun badan-
badan usaha swasta. Peranan BUMN dalam penyediaan layanan publik tersebut bersifat sangat
mandiri dan otonom. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya keleluasaan secara penuh dalam
menjalankan misi usahanya baik itu dari segi pengelolaan keuangan, sumber daya manusia,
organisasi, dan kelembagaan dengan menggunakan prinsip-prinsip good corporate
governance dan paradigma business judgement rules.6
BUMN yang berbentuk Persero pada dasarnya adalah perusahaan yang berbentuk perseroan

5
Baca Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
6
Henny Juliany, Kedudukan Kekayaan Negara Yang Dipisahkan Pada Badan Usaha Milik Negara
(BUMN), https://ejournal.undip.ac.id/index.php/mmh/article/view/13739/10453 diakses pada tanggal 20 Desemberi
2019, Pukul 23.00 WIB
terbatas sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas yang telah digantikan oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UUPT). Hal ini dapat dilihat dari pencantuman kata
“Perseroan Terbatas” pada BUMN berbentuk persero dan sesuai dengan ketentuan Pasal 11
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut
UU BUMN), yang menyebutkan bahwa terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-
prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
UUPT secara tegas menyebutkan bahwa perseroan terbatas adalah badan hukum. Pasal 1
angka (1) UUPT mendefenisikan perseroan terbatas sebagai badan hukum yang merupakan
persekutuan modal, didirikan ber-dasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal
dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam
Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.7Status badan hukum tersebut diperoleh oleh
perseroan terbatas bersamaan dengan tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri Hukum dan
HAM RI mengenai pengesahan badan hukum Perseroan.8 Sejak diperolehnya status badan
hukum tersebut, maka tanggung jawab para pemegang saham berubah menjadi tanggung jawab
terbatas pada modal yang disetorkannya pada perseroan. Tanggung jawab terhadap perikatan-
perikatan yang dilakukan perseroan menjadi tanggung jawab perseroan itu sendiri sebagai badan
hukum.
Pada prinsipnya cara pandang terhadap PT sebagaimana diuraikan di atas akan
dipergunakan untuk menganalisis status kekayaan yang terpisah pada BUMN Persero untuk
menentukan status kepemilikan kekayaan BUMN Persero. Karena sebagaimana diketahui bentuk
badan usaha PT dipilih dengan alasan, karakter ini menarik sebab mempunyai kekayaan terpisah
(separate legal entity) dan modal yang terbagi atas saham-saham (shares). Pada karakter
pertama, kekayaan terpisah atau separate legal entity, penting diadopsi untuk menghilangkan
birokrasi dan rigiditas, yang menjadi problem pengembangan Perusahaan Negara. Dengan
separate legal entity, Persero dapat me-misahkan diri dari pengaruh Negara, dapat melakukan
tindakan hukum dalam lingkup hukum privat (privatrechthandeling) atau me-lakukan bisnis

7
Lihat Pasal 1 angka (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
8
Lihat Pasal 7 ayat (4). UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
(bisniszakelijk) tanpa diganggu birokrasi.9
Terhadap BUMN/Persero, pengelolaannya tunduk kepada ketentuan UU BUMN dan UUPT
serta Undang-Undang tentang Pasar Modal untuk BUMN/Persero terbuka. Hal ini menyebabkan
sistem pengelolaan dan pertanggungjawabannya berbeda dengan sistem pertanggungjawaban
APBN/APBD meskipun terdapat uang negara disana. Karakter PT sangat lekat pada
BUMN/Persero sehing-ga ketentuan hukum yang berlaku terhadap PT juga berlaku bagi BUMN/
Persero. Untuk mengetahui kedudukan kekayaan BUMN/ Persero, harus melihat kepada sumber
kekayaan BUMN/Persero. Sumber kekayaan BUMN/Persero terbagi dalam 2 golongan, yaitu
pendanaan yang disebut dengan penyer-taan modal negara, yang berbentuk saham-saham yang
masuk dalam kekayaan Persero dan penyertaan negara berupa pendanaan yang bersumber dari
anggaran pelaksanaan PSO (Public Service Obligation) yang tidak masuk dalam kekayaan
Persero.10
Kekayaan yang dipisahkan dari APBN yang kemudian dijadikan sebagai modal pendirian
BUMN/Persero ataupun yang terdiri dari saham-saham dengan sendirinya akan menjadi
kekayaan BUMN/Persero bukan lagi kekayaan negara. Hal ini disebabkan adanya perbedaan
kedudukan negara pada BUMN/ Persero, ketika negara masuk sebagai bagian dari
BUMN/Persero, maka kedudukannya adalah sebagai shareholder atau setara dengan pemegang
saham lainnya. Negara cq. pemerintah tidak lagi sebagai badan hukum publik yang memegang
kuasa penyelenggara-an negara tapi sebagai badan hukum privat yang tunduk kepada ketentuan
persero.
BUMN Persero adalah entitas hukum yang terpisah dari pendirinya yang dalam hal ini
adalah Negara cq. Pemerintah. Sebagai badan hukum yang mandiri dan terpisah, maka tindakan-
tindakan yang dilakukan oleh BUMN Persero, demikian pula tanggung-jawab atas tindakan
tersebut merupakan tindakan dan tanggungjawab BUMN Persero itu sendiri, bukan merupakan
tindakan Negara atau pemerintah. Begitu pula dengan kepemilikan kekayaan dan asetnya. Berarti
sejak status BUMN Persero sebagai badan hukum maka sejak saat itu hukum memperlakukan
pemegang saham dan direksi terpisah dari BUMN Persero itu sendiri.11

9
Wuri Andriyani, Kedudukan Persero Dalam Hubungan Dengan Hukum Publik dan Hukum Privat,
www.gagasanhukum.com , diakses pada 20 Desember 2019.
10
Dwi Ananda Fajar Wati, Pertanggungjawaban Hukum Terhadap Kerugian Negara Pada
BUMN/Persero, Badamai Law Journal, Vol. 1, Issues 1, April 2016
11
Ibid
Perusahaan dengan tanggung jawab terbatas, tidak hanya kepemilikan kekayaan oleh
perusahaan saja yang terpisah dengan uang yang dimiliki oleh orang yang menjalankan
perusahaan melainkan juga pemegang saham perusahaan tidak bertanggung jawab atas utang
perusahaan. Pasal 4 ayat (1) Undang-undang nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN menyatakan
bahwa modal BUMN berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Penjelasan Pasal 4 ayat (1)
jelas menyebutkan makna dan tujuan pemisahan kekayaan negara tersebut dengan menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan dipisahkan adalah memisahkan kekayaan negara dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan modal Negara pada BUMN untuk
selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarka pada system.12
Sedangkan anggaran yang terkait dengan PSO tetap tunduk kepada ketentuan Undang-
Undang Keuangan Negara karena anggaran ini murni dari APBN dan tetap dipandang sebagai
bagian dari APBN yang pengelolaan dan pertanggungjawabannya mengikuti sistem
pertanggungjawaban ke-uangan negara. Perlu dijelaskan sebelumnya, yang dimaksud PSO
adalah kewajiban pe-layanan umum yang diemban oleh BUMN/ Persero sebagai entitas hukum,
karena sesuai dengan tujuan berdirinya BUMN/Persero selain untuk mengejar keuntungan juga
“menyelenggarakan kemanfaatan umum be-rupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu
tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak”, atau dengan kata lain dalam
PSO, BUMN berperan sebagai wakil pemerintah/negara karena pada hakikat-nya yang
melaksanakan fungsi pelayanan umum adalah negara.13
Berdasar pengaturan ini maka terdapat dua macam penggunaan “penyertaan modal negara”.
Pertama, yang digunakan pemerintah untuk mendirikan perusahaan, dan kedua “Penyertaan
Modal Negara” yang disebut hanya dengan “penyertaan” saja. Karena terkait APBN maka semua
penyertaan ini harus digunakan Peraturan Pemerintah (PP), sedangkan untuk penyertaan yang
berasal dari kapitalisme cadangan dan sumber lainnya, dilakukan dengan RUPS dan oleh menteri
negara BUMN. Sumber-sumber lain yaitu keuntungan revaluasi asset dan agio saham. Penjelasan
Pasal 4 ayat (5) UU BUMN menegaskan bahwa apabila sumber-sumber dana ini akan dijadikan
penyertaan, tidak perlu dilakukan dengan Peraturan Pemerintah, sebab berdasarkan penjelasan
Pasal 4 ayat (2) bahwa sumber dana ini telah terpisah dari APBN.

12
Sutan Remy Sjahdeni, “Tanggung Jawab Pribadi Direksi dan Komisaris”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol.
14, Juli 2001, hlm. 108.
13
Ibid
Batasan penggunaan ekanisme APBN adalah pada penggunaan dana tersebut. Apabila
kemudian dana-dana tersebut diatas tidak dijadikan penyertaan modal, tetapi murni untuk
membiayai proyek-proyek pemerintah yang dilaksanakan oleh BUMN, maka
pertangungjawabannya adalah pertanggung jawaban sesuai asas-asas pengelolaan keuangan
negara. Sehingga apabila menilai kekayaan BUMN dikaitkan dengan keuangan negara maka
rezim hukum yang dapat diberlakukan adalah:
a) rezim hukum keuangan negara (UU Keuangan Negara) yang mengatur pengelolaan
kekayaan Negara yang tidak dipisahkan APBN/APBD);
b) rezim hukum korporasi (UU BUMN) yang mengatur pengelolaan kekayaan Negara yang
dipisahkan (BUMN);
c) rezim hukum Keuangan Negara hanya berlaku bagi BUMN sebatas yang terkait dengan
permodalan dan eksistensi BUMN. Misalnya, di dalam UU BUMN diatur bahwa
pendirian, penggabungan, peleburan, pengam-bilalihan, perubahan modal, privatisasi, dan
pembubaran BUMN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, dan bahkan dalam proses-
nya melibatkan Menteri Teknis, Menteri Keuangan, Presiden, dan DPR. Sedangkan
tindakan-tindakan operasional (di luar permodalan dan eksistensi BUMN), tunduk
sepenuhnya kepada rezim hukum korporasi.14
Dengan demikian, kedudukan kekayaan BUMN/Persero terkait dengan dua aspek hukum
yang mengaturnya, yakni hukum keuangan negara (publik) dan hukum koorporasi (privat) hal
ini dapat dilihat ketika negara menyertakan modalnya kepada BUMN/Persero harus ada
mekanisme ketentuan hukum administrasi yang mengaturnya, begitu pula ketika negara cq.
Pemerintah ingin mendirikan suatu BUMN/Persero atau ketika negara menyertakan anggaran
PSO dalam APBN kemudian memberikan mandat kepada BUMN/Persero untuk
melaksanakannya, tindakan pemerintah masih dalam kuasa hukum publik (publieke
rechthandeling) yang dilakukan dalam bentuk pernyataan keinginan (wilsverklaring) dalam
bentuk peraturan pemerintah. 15
Namun ketika kekayaan yang dipisahkan dari APBN tersebut telah masuk kedalam modal
BUMN/Persero yang terdiri dari saham-saham maka secara otomatis pengelolaannya akan
tunduk kepada ketentuan hukum perseroan terbatas dan hal ini tidak berlaku terhadap anggaran

14
Dwi Ananda, Op.Cit
15
Ibid
pelaksanaan PSO yang tetap merupakan bagian dari pelaksanaan APBN16
Pengelolaan kekayaan BUMN/Persero merupakan bagian dari pengelolaan/ manajemen
keseluruhan yang dipegang oleh organ persero yakni RUPS, direksi dan komisaris. Selaku
pelaksana ‘day to day’ persero, direksi memegang peranan penting dalam pengelolaan kekayaan
persero. Oleh karena ‘uang negara’ yang masuk sebagai modal persero telah mengalami
transformasi dari kekayaan negara menjadi kekayaan persero maka dalam hal pengelolaan
kekayaan BUMN/Persero kental dengan sifat keperdataannya, yakni konsep kedudukan negara
sebagai pemegang saham, hal ini terkait dengan 3 hal yaitu : Kekayaan Persero dalam separate
legal entity, pertanggung-jawaban terbatas pada saham, dan hak-hak negara sebagai pemegang
saham.17
Oleh sebab itu ada batasan yang tegas dalam pengelolaan kekayaan persero, negara tidak
dapat lagi menganggap kekayaan yang disertakannya merupakan ‘miliknya’ namun telah
dibatasi oleh prosedur yang bersifat keperdataan sebagaimana tersebut diatas. Hal mengenai
pengelolaan kekayaan BUMN/ persero juga telah dinyatakan secara tegas dalam ketentuan : Asas
Ultra Vires, Fiduciary Duty, Business Judgement Rule, dan Acquit et de charge.
Selain kekayaan murni BUMN/ Persero, terdapat pula kekayaan yang bersumber dari
anggaran PSO atau kewajiban pelayanan umum sebagaimana salah satu fungsi BUMN/Persero
maka selain pengelolaan yang mengacu kepada aturan hukum korporasi dan asas-asas yang
berlaku pada tata kelola perusahaan yang baik (Good Coorporate Governance)18, terhadap
pengelolaan kekayaan yang terkait dengan PSO tetap tunduk kepada asas-asas pengelolaan
keuangan negara dan pertanggungjawabannya tunduk kepada sistem pertanggungjawaban
APBN.

16
Ibid
17
Baca Rudhi Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas Disertai dengan Ulasan Menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Tebatas,1995, Penerbit PT. Alumni, Bandung
18
Corporate Governance is the relationship among various participants indetermining the direction and
performance of corporation”. Ada pula penulis lain yang mendefiniskan GCG sebagai “the system by which
companies are directed and controlled. Lihat Inda Rahadiyan, Pengawasan Pasar Modal di Indonesia Pasca
Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan, Tesis, Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,
2012. hlm. 116.
Hubungan Kedudukan BUMN dan Anak - Anak Perusahaan BUMN sebagai Separate
Legal Entity Berdasarkan Hukum Perseroan Terbatas

Berkaitan dengan masalah kekayaan negara pada BUMN maka pertanyaan yang juga
seringkali mengemuka adalah mengenai kedudukan dari anak-anak perusahaan BUMN. Apakah
anak-anak perusahaan BUMN adalah juga BUMN? NUndang-Undang BUMN menentukan bahwa
terhadap Persero dan Perum berlakuNprinsip-prinsip dan ketentuan sebagaimana terdapat di dalam
Undang-Undang Perseroan Terbatas. Berdasarkan pada Undang-Undang Perseroan Terbatas
(meski tidak ditentukan secara eksplisit)19 tetap dapat dipahami bahwa anak-anak perusahaan dari
suatu Perseroan Terbatas merupakan badan hukum yang mandiri.
Sebelum melanjutkan pembahasan mengenai anak-anak perusahaan BUMN ada baiknya
dikemukakan pembahasan secara singkat mengenai keterkaitan antara induk dan anak perusahaan
dalam kerangka pengaturan di Indonesia. Hal ini penting untuk dilakukan guna memberikan
sebuah pemahaman mendasar mengenai kedudukan anak perusahaan dalam hukum perseroan.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 (UUPT) dan peraturan perundang - undangan lainnya
masih memberikan pengakuan yuridis terhadap status badan hukum induk dan anak perusahaan
sebagai subjek hukum mandiri. Hal demikian berimplikasi pada status induk dan anak perusahaan
yang masing-masing tetap merupakan subjek hukum mandiri meskipun saling terkait sebagai satu
kesatuan ekonomi.20
Bentuk pengakuan yuridis terhadap anak perusahaan sebagai subjek hokum mandiri
menunjukan bahwa kerangka pengaturan mengenai keterkaitan antara induk dan anak perusahaan
masih menggunakan pendekatan perseroan tunggal meskipun anak perusahaan menjadi bagian
21
dari kesatuan ekonomi bagi induknya. UUPT memberikan legitimasi kepada suatu perseroan
untuk memperoleh atau memiliki saham pada perseroan lain melalui rumusan pengaturan yang

19
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tidak mengatur mengenai istilah ‘anak perusahaan’ dalam batang
tubuhnya. Namun demikian berdasarkan pada ketentuan Undang – Undang tersebut, hubungan hukum antara induk
dan anak perusahaan antara lain dapat terjadi berdasarkan tindakan pengambilalihan atas mayoritas saham suatu
Perseroan Terbatas atas Perseroan Terbatas yang lain. Melalui pengambilalihan demikian maka kemudian lahirlah
konsep hubungan antara Induk dengan anak perusahaan. Hal demikian pada prakteknya dapat menimbulkan implikasi
yang sangat luas terutama menyangkut konsep pertanggungjawaban pemagang saham mengingat hingaa saat ini
Indonesia belum memiliki Undang-Undang tentang perusahaan grup. Untuk ini baca Sulistiowati, Aspek Hukum dan
Realitas Bisnis Perusahaan Grup di Indonesia, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2010, hlm. 111-112
20
Sulistiowati, Op.Cit., hlm.112
21
Ibid hlm. 111.
memperbolehkan suatu perseroan untuk mendirikan perseroan lain, mengambilalih saham
perseroan lain serta melakukan pemisahan usaha.22
Legitimasi UUPT terhadap kepemilikan induk perusahaan atas saham anak perusahaan
menandai dimasukannya konsep pengendalian oleh induk perusahaan kepada anak perusahaan ke
dalam ranah hukum perseroan. Konsepsi yang demikian telah menimbulkan munculnya
kontradiksi antara aspek yuridis dengan aspek realitas hukum bisnis mengenai keterkaitan antara
induk dengan anak perusahaan. Mengenai hal demikian, Sulistiowati23 menyatakan bahwa
konsepsi pengendalian oleh perseroan terhadap perseroan lain seharusnya tidak berada dalam
ranah hokum perseroan karena pengendalian oleh suatu perseroan terhadap perseroan lainnya
mengakibatkan lahirnya hubungan subordinasi di antara badan hukum yang sejatinya mandiri.24
Sebaliknya, UUPT telah mengadopsi konsepsi pengendalian tersebut.25 Kondisi
demikianlah yang sekiranya terjadi berkaitan dengan keterkaitan antara BUMN dengan anak-anak
perusahaannya sehingga BUMN sebagai induk perusahaan memiliki keleluasaan untuk melakukan
campur tangan dalam pengelolaan anak-anak perusahaannya. Suatu kondisi yang jelas
bertentangan dengan prinsip kemandirian anak perusahaan yang sejatinya merupakan separate
legal entity.
Dalam konteks yang lebih luas, konsepsi mengenai kedudukan anak perusahaan BUMN
ini menjadi semakin penting terutama pada saat dikaitkan dengan tindakan - tindakan bisnis (aksi
korporasi) tertentu baik yang dilakukan oleh atau menyangkut anak perusahaan BUMN. Apabila
kekayaan BUMN tetap dipandang sebagai bagian dari kekayaan negara, maka manajemen BUMN
harus melakukan koordinasi dengan DPR terkait transaksi - transaksi bisnis tertentu.26
Selain itu, berkaitan dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, masalah pengelolaan
BUMN dapat menimbulkan implikasi yang dalam level tertentu menjadi sangat berbahaya.
Apabila pengelolaan BUMN terbukti justru merugikan keuangan BUMN maka bisa jadi
manajeman (Direksi) dari BUMN bersangkutan dijerat dengan Undang-Undang Tipikor. Hal

22
Mengenai akibat hukum dari adanya perbuatan - perbuatan hukum sebagaimana dimaksud, baca Bab VIII
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
23
Pakar hukum perseroan terbatas Universitas Gadjah Mada
24
Baca Sulistiowati, Op.Cit., hlm. 78.
25
Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 mendefinisikan ‘Pengambilalihan’ sebagai
suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambilalih saham
Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas perseroan yang sahamnya telah diambilalih. Dengan
perkataan lain, pengambilalihan saham oleh suatu perseroan atas perseroan lainnya berarti juga pengambilalihan
pengendalian
26
Misal mengenai privatisasi BUMN, Pemerintah harus terlebih dahulu melakukan konsultasi dengan DPR
demikian terjadi karena pengurus BUMN (Direksi) dianggap telah mengakibatkan timbulnya
‘kerugian keuangan negara’. Ini jelas sangat bertentangan dengan prinsip hukum perseroan
terbatas mengenai kedudukan perseroan sebagai separate legal entity.
Dalam hukum perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 sejatinya anggota Direksi dan/atau Komisaris tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban atas timbulnya kerugian dalam pengurusan Perseroan Terbatas sepanjang
pengurusan sebagaimana dimaksud dilakukan berdasarkan itikad baik, penuh tanggung jawab
serta sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan Terbatas. Dalam hukum perseroan, prinsip ini
dikenal sebagai prinsip Business Judgment Rule.27
Pengaturan lebih lanjut mengenai business judgement rule diatur dalamPasal 97 ayat (5)
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 menenetukan bahwa anggota Direksi tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas kerugian yang timbul dalam pengurusan Perseroan apabila dapat
membuktikan:
a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan
sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas
tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
Sebagaimana telah disinggung pada bagian sebelumnya, salah satu karakteristik badan
hukum adalah adanya pemisahan harta kekayaan badan hukum dari harta kekayaan pribadi
pendiri/pengurusnya. Ini merupakan konsekuensi yuridis dari kedudukan perseroan sebagai
separate legal entity. 28Hal demikian berarti bahwa suatu badan hukum yang berbentuk Perseroan
Terbatas memiliki harta kekayaannya sendiri yang terpisah dari harta kekayaan organ-organnya29

27
Sartika Nanda Lestari, Business Judgement Rule Sebagai Immunity Doctrine Bagi Direksi Badan Usaha
Milik Negara di Indonesia, Notarius ▪ Edisi 08 Nomor 2, ISSN:2086-1702, September 2015 hlm 307
28
Lihat Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Perseroan Terbatas.
29
Lihat Pasal 11 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara
KESIMPULAN

Pertama, berdasarkan pada hukum perseroan terbatas maka perseroan terbatas merupakan
suatu badan hukum mandiri (separate legal entity). Kemandirian badan hukum perseroan
menimbulkan berbagai konsekuensi yuridis. Salah satu di antaranya adalah mengenai hak suatu
Perseroan Terbatas untuk memiliki harta kekayaan sendiri yang terpisah dari harta kekayaan para
pengurusnya termasuk dari harta kekayaan pribadi para pemegang sahamnya.
Dalam konteks BUMN Persero maka penyertaan kekayaan negara ke dalam permodalan
BUMN merupakan hasil dari pemisahan kekayaan negara sebagaimana ditentukan oleh Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Dalam kaitan ini maka negara harus ditafsirkan
sebagai seorang pemegang saham dalam suatu perseroan. Sebagai pemegang saham layaknya
pemegang saham pada Perseroan Terbatas maka negara dilarang melakukan intervensi apapun
terhadap jalannya pengurusan perseroan
Kedua, dengan mendasarkan pada hukum perseroan terbatas sekaligus teori dan doktrin
hukum perseroan maka jelas bahwa BUMN Persero merupakan suatu badan hukum mandiri.
Demikian juga dengan anak-anak perusahaan BUMN. Karena kedudukannya sebagai badan
hukum yang mandiri maka pengelolaan terhadap BUMN Persero harus dilakukan berdasarkan
pada kaidah - kaidah pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance) tanpa
adanya intervensi atau campur tangan dari pihak manapun tak terkecuali pihak Pemerintah. Jangan
sampai intervensi Pemerintah dalam pengelolaan BUMN Persero justru ‘menodai’ prinsip
kemandirian BUMN Persero itu sendiri.

Daftar Pustaka

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara


Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Ananda, Dwi, Pertanggungjawaban Hukum Terhadap Kerugian Negara Pada BUMN/Persero,
Badamai Law Journal, Vol. 1, Issues 1, April 2016
Andriyani, Wuri (2008). Kedudukan Persero Dalam Hubungan Dengan Hukum Publik dan Hukum
Privat, Surabaya. Penerbit: Program Pascasarjana Universitas Airlangga.
Andriyani, Wuri, Kedudukan Persero Dalam Hubungan Dengan Hukum Publik dan Hukum
Privat, Desember 2019.
Atmadja, Arifin P. Soeria, Aktualisasi Hukum Keuangan Publik, editor: Yuli Indrawati, 2014,
Bandung: Mujahid Press
Barata, Adya Atep dan Bambang Trihartanto, Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah:
Berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Jakarta.
Penerbi: PT Elex Media Komputindo, (2004).
Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Normatif, Bayumedia Publishing, Malang,
2006.
Khairandy, Ridwan, dan Camelia Malik, Good Corporate Governance, Perkembangan
Pemikiran dan Implementa sinya di Indonesia dalam Perspektif Hukum, Yogyakarta:
Total Media, 2007
Lestari, Sartika Nanda Business Judgement Rule Sebagai Immunity Doctrine Bagi Direksi Badan
Usaha Milik Negara di Indonesia, Notarius, Edisi 08 Nomor 2, ISSN:2086-1702,
September 2015
Lukman, Mediya, 2013, Badan Layanan Umum dari Birokrasi Menuju Korporasi, Jakarta:
BumiAksara
Mertoksumo, Sudikno, Mengenal Hukum. Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2006.
Prasetya, Rudhi, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas Disertai dengan Ulasan Menurut
Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Tebatas. Penerbit PT. Alumni,
Bandung, 1995.
Purwoko, Model Privatisasi BUMN yang Mendatangkan Manfaat Bagi Pemerintah dan
Masyarakat Indonesia, Jurnal Kajian Ekonomi dan Keuangan, Vol. 6, No.1, Maret 2002
Ridwan Khairandy, “Korupsi di Badan Usaha Milik Negara Khususnya Perusahaan Perseroan:
Suatu Kajian Atas Makna Kekayaan Negara yang Dipisahkan dan Keuangan Negara”,
Jurnal Hukum Hukum No.1 Vol.16 Januari 2009
Rudhi Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas Disertai dengan Ulasan Menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Tebatas, Penerbit PT. Alumni,
Bandung, 1995
Sihombing, Jonker, Peran dan Aspek Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Alumni, Bandung,
2010
Sjahdeni, Sutan Remy, “Tanggung Jawab Pribadi Direksi dan Komisaris”, Jurnal Hukum Bisnis,
Vol. 14, Juli 2001,
Sulistiowati, Aspek Hukum dan Realitas Bisnis Perusahaan Grup di Indonesia, Penerbit Erlangga,
Jakarta, 2010

Anda mungkin juga menyukai