Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMERINTAHAN TERHADAP DISKRESI


YANG MENIMBULKAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA

Mata Kuliah Peradilan Administrasi Negara


Dosen Pengampu Prof. Dr. Anna Erliyana, S.H., M.H.

Oleh:

Nama : Nurjannah
NPM : 1806275792
Kelas : Hukum Kenegaraan (Sore)

PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM


UNIVERSITAS INDONESIA
JAKARTA
2019
OUTLINE

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Permasalahan
1. Bagaimana bentuk penyalahgunaan wewenang adminitrasi oleh pejabat
pemerintahan yang dikualifikasikan sebagai melawan hukum?
2. Bagaimana pertanggungjawaban pejabat pemerintahan dalam penggunaan
diskresi yang menimbulkan merugikan keuangan negara?

II. Pembahasan
A. Tindakan Penyalahgunaan Kewenanangan Adminitrasi oleh Pejabat
Pemerintahan
B. Pertanggungjawaban Pejabat Pemerintahan dalam Penggunaan Diskresi yang
Menimbulkan Kerugian Keuangan Negara

III. Penutup

A. Kesimpulan

B. Saran
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar


Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka segala aspek kehidupan dalam bidang
kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus senantiasa
berdasarkan atas hukum.1 Hal ini merupakan perwujudan dari asas legalitas di bidang
hukum administrasi negara yang menurut H.D. Stout memiliki makna “pemerintah
tunduk kepada undang-undang”2 atau “asas legalitas menentukan, bahwa semua
ketentuan yang mengikat warga negara harus berdasarkan pada undang-undang”3. Asas
legalitas menjadi dasar legitimasi tindakan pemerintahan dan jaminan perlindungan hak-
hak rakyat yang dijamin dalam UUD 1945, oleh karena penerapan asas legalitas akan
menunjang berlakunya kepastian hukum dan kesamaan perlakuan.4
Terkait dengan hal diatas, pemerintah berwenang melaukan pembentukan undang-
undang dan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang secara
materiil mengikat umum; penetapan beschikking yang bersifat individual, konkrit, dan
final;5 pelaksanaan tindakan administrasi yang nyata dan aktif; dan pelaksanaan fungsi
administrasi dalam hal banding administrasi.6 Di samping itu, pemerintah memiliki
kewenangan freis ermessen, yaitu kewenangan untuk membuat peraturan atas inisiatif
sendiri terutama dalam menghadapi persoalan genting yang belum ada peraturannya,
serta kekuasaan untuk menafsirkan sendiri berbagai aturan yang bersifat enumeratif.7

1
Lihat Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesai Tahun 1945
2
H.D Stout dalam Ridwan HR,Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada,Jakarta 2006,
hlm. 65
3
Ibid., hlm 66
4
Eni Rohyani, “kriminalisasi perbuatan administrasi negara”, seminar nasional kriminalisasi
kebijakan, diselenggarkan oleh Program Doktor Ilmu Hukum PPs UNISBA, Hotel Preanger Bandung, 5
Juni2010, hlm 1
5
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
6
Ibid.
7
Ibid
Kekuasaan diskresi terdapat pada kekuasaan menjalankan jabatan yang dimiliki
pejabat publik. Kekuasaan diskresi merupakan jenis kekuasaan untuk menggunakan
wewenangan berdasarkan inisiatif pejabat. Kekuasaan ini diberikan oleh undang-undang
dengan maksud agar pejabat dapat menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Kondisi
seperti inilah jabatan rawan untuk diselewengkan, karena bersamaan dengan menjalankan
kebijakan untuk publik, dengan mudah terdapat niat untuk menarik keuntungan pribadi
atau pun keuntungan kelompok. 8Penggunaan diskresi mempunyai syarat-syarat khusus,
agar dalam menggunakan kewenangannya, pejabat tidak berlaku sewenang- wenang.
Permasalahan yang menyangkut kebijakan tidak sedikit yang diproses dan dijerat
dengan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, sehingga menimbulkan polemik.9
Pejabat terperangkap menjadi koruptor karena tugas mereka yang melekat pada jabatan
itu. Tanda tangan pejabat harus ada dalam kebijakan itu, sehingga merekalah yang
bertanggung jawab jika ternyata menimbulkan kerugian negara yang akhirnya dianggap
sebagai tindak pidana korupsi, walaupun dana yang dihasilkan tidak dinikmati pejabat
tersebut10
Sejatinya diskursus mengenai wewenang atau kewenangan tidak bisa dilepaskan dari
domain hukum administrasi dan/atau hukum tata negara. Kewenangan (bevoegdheden)
melekat pada jabatan (het ambt). Tanpa jabatan tidak bakal ada kewenangan. Jabatan (het
ambt) adalah badan (orgaan) hukum publik, merupakan sumber keberadaan kewenangan.
Dalam mengfungsikan kewenangan yang melekat padanya, jabatan (het ambt) diwakili
oleh manusia pribadi (natuurlijke persoon), lazim disebut pejabat (ambtsdrager) atau
pejabat pemerintahan. Badan Pemerintahan adalah wujud badan pemerintahan

8
Indriyanto Seno Adji, KORUPSI : Kriminalisasi Kebijakan Aparatur Negara? (Jakarta: 2010),
hlm1-2. Makalah disampaikan dalam diskusi panel dengan topik “Kebijakan Aparatur Negara dan
Pertanggungjawaban Pidana”, pada Rakernas Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI)
dengan tema “Revitalisasi Peran Gubernur Guna Menciptakan Sinergitas & Harmonisasi Hubungan
Pemerintah Pusat dan Daerah” pada hari Kamis, di Hotel Grand Preanger, Bandung, 2 Desember 2010
9
Marwan Effendy, Apakah Suatu Kebijakan Dapat Di Kriminalisasi?, hlm 1-2. Makalah
disampaikan dalam Seminar “Pertanggungjawaban Kebijakan Ditinjau Dari Hukum”, yang
diselenggarakan oleh Lembaga Pengembangan Fraud Auditing (LPFA), di Hotel Bumi Karsa Bidakara –
Jakarta, Selasa,11 Mei 2010
10
Benny Irawan, Diskresi sebagai Tindak Pidana Korupsi: Kajian Kriminologi dan Hukum
terhadap Fenomena Pejabat
Otoritas, (Mimbar, Vol. XXVII, No.2, 2011) hlm 143-144
(bestuursorgaan) dalam format kelembagaan, semacam kementerian, instansi/jawatan
yang dalam memfungsikan kewenangannya, juga diwakili oleh pejabat (ambtsdrager).11
Dalam UUAP, penyalahgunaan wewenang merupakan genus yang terdiri dari tiga
spesies yang berbeda-beda yakni (1) melampaui wewenang; (2) mencampuradukkan
wewenang; (3) bertindak sewenang-wenang. UUAP tidak menjelaskan pengertian
penyalahgunaan wewenang, ia hanya mengkualifikasi ke tiga jenis spesies
penyalahgunaan wewenang sebagaimana disebut di atas. Dikaitkan dengan kewenangan
Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun) dalam menguji penyalahgunaan wewenang dalam
pasal 21 UUAP haruslah dilihat dalam konteks yang terbatas yakni semata dalam aspek
pengujian penyalahgunaan wewenang yang menimbulkan kerugian keuangan negara.
Pengujian penyalahgunaan wewenang dalam aspek seperti ini sangat terbatas jika
dibandingkan dengan luasnya ruang lingkup dan kompleksitas pengertian
penyalahgunaan wewenang dalam hukum administrasi.

B. RUMUSAN PERMASALAHAN
1. Bagaimana bentuk penyalahgunaan wewenang adminitrasi oleh pejabat
pemerintahan yang dikualifikasikan sebagai melawan hukum?
2. Bagaimana pertanggungjawaban pejabat pemerintahan dalam penggunaan diskresi
yang menimbulkan merugikan keuangan negara?

11
Sehubungan dengan hal tersebut, manakala sanksi pidana bersifat ultimum remedium terbuka
ruang bagi penerapan sanksi administrasi mendahului sanksi pidana sebaliknya manakala sanksi pidana
bersifat primum remedium, penerapan sanksi administrasi tidak mendapat tempat. Addink
mengungkapkan: “The administrative law instruments can be used in a much more effective and direct way
than the penal law mechanisms, which in general take a long time, often several years. “…there are more
corruption cases than penal law court decisions on corruption; the administrative law approach in
corruption policy was underestimated for a long time” G.H. Addink & J.B.J.M. ten Berge, Study on
Innovation of Legal Means for Eliminating Corruption in the Public Service in the Netherlands, vol. 11.1
ELECTRONIC JOURNAL OF COMPARATIVE LAW, (May 2007), http://www.ejcl.org/111/article111-
1.pdf, diakses 20 Mei 2011.
II. PEMBAHASAN

A. PENYALAHGUNAAN WEWENANG MENURUT HUKUM


ADMINITRASI
Menurut Philiphus M. Hadjon, wewenang (bevoegdheid) dideskripsikan sebagai
kekuasaan hukum (rechtsmacht).12 F.P.C.L. Tonner dalam Ridwan HR berpendapat:
“Overheids-bevoegdheid wordt in dit verband opgevad als het vermogen om positief
recht vast te srellen en Aldus rechtsbetrekkingen tussen burgers onderling en tussen
overhead en te scheppen” (kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai
kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu dapat diciptakan
hubungan hukum antara pemerintahan dengan warga negara).13 Baik hukum tata negara
dan hukum administrasi mengatur tentang kewenangan. Hukum tata negara berkaitan
dengan susunan negara atau organ dan negara (staats, inrichtingrecht, organisatierecht)
dan posisi hukum warga negara berkaitan dengan hak-hak dalam hubungannya dengan
negara (grondrechten).14
Dalam organ atas susunan negara diatur mengenai: bentuk negara, bentuk
pemerintahan, dan pembagian kekuasaan dalam negara. Hubungan integral antara hukum
administrasi dengan konsepsi kewenangan menurut Tatiek Sri Djatmiati dikarenakan
hukum administrasi atau hukum tata pemerintahan (administratiefrecht atau
bestuursrecht) berisikan norma-norma hukum pemerintahan. Norma-norma pemerintahan
tersebut menjadi parameter yang dipakai dalam penggunaan kewenangan yang dilakukan
oleh badan-badan pemerintah. Adapun parameter yang dipakai dalam penggunaan
wewenang itu adalah kepatuhan hukum ataupun ketidakpatuhan hukum, sehingga apabila
terjadi penggunaan kewenangan dilakukan secara improper illegal maka badan
pemerintah yang berwenang tersebut harus mempertanggung-jawabkan.15
Hukum administrasi hakikatnya berhubungan dengan kewenangan publik dan cara-cara
pengujian kewenangannya, juga hukum mengenai kontrol terhadap kewenangan tersebut. 9

12
Philiplus. Hadjon, “Tentang Wewenang”, Yuridika, o 5&6 Tahun XII, September-Desember,
1997, hlm1
13
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2006, hlm. 100
14
Tatiek Sri Djatmiati, Prinsip Izin Usaha Industri di Indonesia, Disertasi Program Pascasarjana
Universitas Airlangga, Surabaya, 2004, hlm. 62-63.
15
Tatiek Sri Djatmiati, Op. Cit., hlm. 62-63.
H.B. Jacobini dalam menjawab pertanyaan “what is administrative law?” mengatakan:
“definitions of administrasi law contain several or all of the following components: control
of administration, the legal rules, both internal and external, emerging from administrative
agencies, the concerns and procedures pertinent to remedying legal injury to individuals
caused by government entities and their agents, and court decisions pertinent to all or to
parts of these.16
Konsepsi H.B. Jacobini tersebut cukup memberikan penjelasan bahwa pemahaman
tentang tanggung gugat (pemerintah atau negara) berkaitan dengan konsep hukum
administrasi yang menyangkut penggunaan wewenang dalam menjalankan tugas untuk
pelayanan publik. Memang tidak setiap konsep hukum administrasi yang dikemukakan oleh
para yuris mengandung unsur-unsur yang sama, namun umumnya selalu terdapat unsur
pengujian atau pengawasan penggunaan kewenangan oleh pemerintah.17
Penyalahgunaan wewenang dalam konsep hukum administrasi selalu diparalelkan
dengan konsep détournement de pouvoir. Dalam Verklarend Woordenboek Openbaar
Bestuur dirumuskan sebagai: het oneigenlijk gebruik maken van haar bevoegdheid door de
overheid. Hiervan is sprake indien een overheidsorgaan zijn bevoegdheid kennelijk tot een
ander doel heeft gebruikt dan tot doeleinden waartoe die bevoegdheid is gegeven. De
overheid schendt aldus het specialiteitsbeginsel (penggunaan wewenang tidak sebagaimana
mestinya. Dalam hal ini pejabat menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain yang
menyimpang dari tujuan yang telah diberikan kepada wewenang itu. Dengan demikian
pejabat melanggar asas spesialitas).18 Dalam mengukur apakah telah terjadi penyalahgunaan
wewenang, haruslah dibuktikan secara faktual bahwa pejabat telah menggunakan
wewenangnya untuk tujuan lain. Terjadinya penyalahgunaan wewenang bukanlah karena
suatu kealpaan, melainkan secara sadar yaitu mengalihkan tujuan yang telah diberikan
kepada wewenang itu. Pengalihan tujuan didasarkan atas interest pribadi, baik untuk

16
H.B. Jacobini, An Introduction to Comparative Administrative Law, (New York: Oceana
Publications Inc), hlm. 1991, hlm.3
17
Kepustakaan hukum administrasi Perancis mengikuti pandangan Laubedere yang
mengemukakan empat elemen hukum administrasi yang meliputi: (1) the administrative organization of
the state; (2) the study of administrative activity; (3) the means of actions by which administration is in
fact carried out, particulary the personnel employed and the material level utilized; (4) the patterns of
litigation or yudicial control of administration. H.B. Jacobini, hlm. 4
18
Philiphus M Hadjon. “Konsep Penyalahgunaan Wewenang Berdasarkan UU No. 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan”, disampaikan dalam Colloquium Membedah Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, Hotel Garden Palace, 5 Juni 2015, hlm. 4
kepentingan dirinya sendiri ataupun untuk orang lain.). Philiphus M. Hadjon menguraikan
tiga unsur utama penyalahgunaan wewenang:
(1) Met opzet (dengan sengaja);
(2) Mengalihkan tujuan wewenang;
(3) Ada interest pribadi yang negatif.19
Unsur lain yang tidak bisa dilepaskan untuk mengetahui apakah pejabat telah
menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain yang menyimpang dari tujuan yang telah
diberikan kepada wewenang itu, maka harus diperhatikan peraturan dasar sebagai sumber
kewenangan pejabat yang bersangkutan. Pengertian ini dianut oleh Belanda, Perancis dan
Indonesia. Perancis memperkaya konsep tersebut dengan istilah abuse of power (penggunaan
wewenang melampaui batas, tidak layak dan tidak sesuai peraturan).20
Penyalahgunaan wewenang hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang memperoleh
wewenang atas dasar atribusi dan delegasi. Dalam hal mandate, pihak yang mungkin
menyalahgunakan wewenang adalah mandans (pemberi tugas) dan bukan mandataris
(pelaksana tugas). Pihak pelaksana tugas (mandataris) tidak dilekati wewenang, karena itu
tidak mungkin menyalahgunakan wewenang dan karena itu pula tidak dibebani tanggung
jawab hukum.21 Hal ini identik dengan hukum pidana yang memiliki kaidah orang yang
menjalankan tugas atas perintah atasan, maka tidak akan dikenakan pertanggungjawaban
hukum pidana. Dengan demikian baik dalam hukum administrasi maupun hukum pidana,
pihak yang diberi dan yang menyalahgunakan wewenang adalah pihak yang dibebani
tanggung jawab hukum. Hal ini sejalan dengan asas geen bevoegheid zonder
verantwoordelijkhedi dan geen veroontwoordelijkheid zonder verantwoording (tidak ada
kewenangan tanpa pertanggungjawaban dan tidak ada pertanggungjawaban tanpa
kewajiban)22

19
Ibid.
20
Détournement de Pouvoir dalam rubrik Kamus Hukum, Majalah Konstitusi Januari 2013. Atau
selengkapnya lihat Anna Erliyana, Keputusan Presiden: Analisis Keppres R.I. 1987—1998, Program
Pascarsarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta 2005, hlm. 82-84.
21
Ibid.
22
Ridwan, Diskresi dan Tanggung Jawab Pemerintah, Yogyakarta: FH UII Press, 2014,
hlm. 181
B. PENYALAHGUNAAN WEWENANG ADMINITRASI OLEH PEJABAT
PEMERINTAHAN YANG DIKUALIFIKASIKAN SEBAGAI MELAWAN
HUKUM
Perbuatan melawan hukum dapat dilakukan, baik oleh individu maupun penguasa.
Oleh karena itu, kebijakan yang diambil penguasa untuk kepentingan umum tidak
dapat digugat, bahwa soal perbuatan melanggar hukum oleh penguasa di samping
harus diukur dengan undang-undang, peraturan-peraturan formal yang berlaku juga
23
harus tetap diukur dengan batas kepatutan dalam masyarakat. Untuk itu, suatu
kebijakan yang dikeluarkan oleh seorang pejabat publik tidak boleh melanggar
hukum dalam arti melanggar perundangundangan yang lain atau perundangundangan
yang berlaku di masyarakat. Pembuktian ada tidaknya unsur melawan hukum (dalam
arti materill dan formil) merupakan upaya perlindungan hukum terhadap pengambil
dan pelaksana kebijakan.24
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor : 003/PUU-IV/2006 menyatakan
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesai Nomor 4150)
sepanjang frase yang berbunyi:
“Yang dimaskud dengan secara melawan hukum dalam Pasal ini mencakup
perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni
meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan,
namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan
rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka
perbuatan tersebut dipidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”25

23
Sofjan Sastrawidjaja, Hukum Pidana : Asas Hukum Pidana Sampai dengan Alasan Peniadaan
Pidana, Armico, Bandung, 1995, hlm. 151
24
Suatu kebijakan yang diambil dengan melanggar peraturan lain merupakan perbuatan melawan
hukum. Perbuatan melawan hukum dalam doktrin hukum pidana sampai sekarang masih terbelah dua
ajaran antara ajaran melawan hukum formil dan ajaran melawan hukum materiil. Lihat Dwidja Priyatno,
Op. Cit., hlm. 7
25
Ujang charda, Potensi penyalahgunaan kwenangan oleh Pejabat Administrasi Negara dalam
Pengambilan dan Pelaksanaan Kebijakan Publik (Potential for Abuse of Authority bu The Administrative
Officers of the State pf Public Policy Making and Execution), Jurnal Wawasa Hukum, Vol. 27 No 02
September 2012, Fakultas Hukum Universitas Subang
Dalam konteks kebijakan yang dikategoirkan sebagai tindak pidana dan terdapat
perbuatan melawan hukum, makan kebijakan tersebut disamping tidak boleh melanggar
undang-undang, juga harus sesuai dengan asas kepatutan, proporsional, dan memenuhi
prinsip-prinsip atau asas-asas umum pemerintahan yang baik26 sebuah kebijakan yang
diambil tidak boleh keluar dari pelaksanaan kewenangan seorang pejabat atau melampaui
batas kewenangan yang telah ditentukan oleh undang-undang atau peraturan, maka
disitulah telah terjadi adanya penyalahgunan kewenangan.
Pengertian penyalahgunaan kewenangan dalam Hukum Administrasi Negara menurut
Jean Rivero dan Waline dapat diartikan dalam 3 (tiga) wujud, yaitu:27
a. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang
bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepetningan
pribadi, kelompok atau golongan.
b. Penyalahgunaann kewenangan dalama arti, bahwa tindakan pejabat tersebut
adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan
apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan
lain.
c. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang
seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, teteapi telah
menggunakan prosedur lain agar terlaksana.

Bentuk ketiga yang dinamakan abuse of procedure (atau penyalahgunaan


kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan
untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi menggunakan prosedur lain agar terlaksana) ini
seringkali dipergunakan penegak hukum untuk melakukan kriminalisasi bentuk-
bentuk perbuatan dalam ruang lingkup/ranah kompetensi Hukum Administrasi
Negara dan Hukum Perdata sebagai koruptif. Jadi kesimpulannya, sebuah kebijakan

26
Pasal 1 angka 6 Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, menyatakan bahwa Asas Umum Pemerintahan Negara yang Baik adalah
menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan dan norma hukum, untuk mewujudkan Penyelengara
Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, dan menurut Pasal 3, bahwa Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 1999, bahwa asas-asas umum penyelenggaraan negara meliputi : 1. Asas
Kepastian Hukum; 2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara; 3. Asas Kepentingan Umum; 4. Asas
Keterbukaan; 5. Asas Proporsionalitas; 6. Asas Profesionalitas; dan 7. Asas Akuntabilitas.
27
dari administrasi negara dapat merupakan suatu tindak pidana apabila mekanisme
seperti disebutkan di atas dilanggar. Oleh karenanya perlu diketahui, bahwa entry
point dari perbuatan korupsi (kejahatan yang selalu berhubungan dengan kebijakan
publik) adalah perbuatan-perbuatan yang sepertinya legal, tetapi mengandung unsur
penyesatan dalam pengambilan keputusan/kebijakan tersebut.
Dalam rangka kepastian hukum dan nuansa keadilan, serta perlindungan hukum
khususnya atas kriminalisasi kebijakan, kepada pengambil dan pelaksana kebijakan
menurut Dwidja Priyatno harus secara tegas dimuat dalam peraturan perundang-
undangan dalam bentuk kebijakan legislasi.28 Dengan mengacu pula pada tugas dan
fungsi keadministrasian serta peraturan yang ada sesuai dengan kenyataan melalui
freies ermessen yang memberikan peluang kepada pemerintah untuk membuat
peraturan tentang hal-hal yang belum ada pengaturan atas inisiatif sendiri dalam
menyelesaikan persoalan yang bersifat mendesak berdasarkan asas keselamatan
dan kesejahteraan umum sebagai hukum tertinggi (solus populi suprema lex)29
Apabila dilihat dari perspektif hukum pidana, maka dalam penjelasan Pasal 3
UndangUndang Tipikor baik Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 maupun
Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tidak diatur secara paradigmatik tentang latar
belakang dijadikannya unsur penyalahgunaan kewenangan sebagai bagian dari tindak
pidana korupsi. Dalam pandangan penulis, hal ini mengingat kajian tentang
wewenang atau kewenangan berikut yang terkait dengan topik-topik yang terkait
dengan kewenangan misalnya penyalahgunaan wewenang, sewenang-wenang dan
melampaui kewenangan sejatinya adalah kajian dari hukum administrasi negara.
Sesungguhnya titik tekan kewenangan hukum pidana dalam hal penyalahgunaan
kewenangan adalah terletak pada akibat dari penyalahgunaan tersebut yakni; adanya
kerugian negara yang melahirkan tindakan melawan hukum (wederrechtelijkheid).
Dalam menguji kewenangan yang dimiliki oleh pejabat yang melaksanakan
kekuasaan pemerintahan maka tolak ukurnya adalah peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang sumber kewenangan serta substansi diberikannya kewenangan

28
Ibid.
29
Ujang Charda S., “Pendidikan Tinggi Hukum Mencetak Sarjana Hukum Homo Juridicus dan
Homo Ethicus”, Jurnal Wawasan Hukum Edisi Khusus, STHB, Bandung, September 2006, hlm. 75. Lihat
juga Eni Rohyani, Op. Cit., hlm. 5.
tersebut kepada pejabat tertentu. Hal yang sama dengan menguji sebuah keputusan
tata usaha negara, maka untuk menguji sah tidaknya sebuah keputusan TUN maka
yang dijadikan batu uji adalah ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang
penerbitan keputusan tersebut bukan pada orang (persoon) yang menerbitkan Surat
Keputusan (SK) tersebut. Penilaian sah tidaknya suatu keputusan tata usaha negara
dalam hukum administrasi dilakukan dengan penelaahan terhadap keterkaitan
peraturan perundang-undangan (gelede of getrapt normstelling) atau norma
berjenjang)30. Sementara dalam kajian hukum pidana pengujian terhadap ada tidaknya
tindak pidana berdasarkan asas legalitas.

Topik utama dari Pasal 3 UU Tipikor adalah Penyalahgunaan kewenangan yang


dalam sehari-hari kajian tersebut terkait dengan jabatan dan kedudukan tertentu dalam
birokrasi pemerintahan. Artinya ada korelasi antara jabatan dengan potensi tindak
pidana suatu dakwaaan tindak pidana yah dikaitkan denga unsu/elemen
“kewenangan” atau “jabatan” atau “kedudukan”, maa dalam memperitmbangkannya
tidak dapat dilepaskan dari aspek hokum adminitrasi negara yang
memberlakukanprinsip pertanggungjawab jabata (liability jabatan) yang harus
dipisahkan dari prinsip pertanggungjawaban pribadi (liability pribadi) dalam hokum
pidana.

Unsur yang terpenting dari suatu tindak pidana adalah melawan hukum. Suatu
kebijakan yang dikeluarkan oleh seorang pejabat public tidak boleh melanggar hukum
dalam arti melanggar perundang-undangan yang lain atau peraturan yang berlaku di
masyarakat. Sebuah kebijakan yang diambil dengan melanggar peraturan lain
merupakan perbuatan melawan hukum. Pengertian melawan hukum dalam doktrin
hukum pidana sampai sekarang masih terbelah dua, antara ajaran melawan hukum
formil dan ajaran melawan hukum materil.31

Dalam konteks kebijakan yang dikategorikan sebagai sebuah tindak pidana dan
terdapat melawan hukum, maka kebijakan tersebut di samping tidak boleh melanggar

30
Hadjon, 1999 Op.Cit hlm 55
31
Setiadi, “Kriminalisasi Kebijakan dan Bekerjanya Hukum Pidana”, SeminarNasional
Kriminalisasi Kebijakan, Bandung: PDIH Unisba, 5 Juni 2010. hlm 6
undang-undang, juga kebijakan tersebut harus sesuai dengan asas kepatutan,
proporsional dan memenuhi prinsip-prinsip atau asas-asas umum pemerintahan yang
baik. Sebuah kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari pelaksanaan kewenangan
seorang pejabat.32

Sebuah diskresi dari pejabat administrasi negara dapat merupakan suatu tindak
pidana apabila mekanisme penyalahgunaan kewenangan dalam Hukum Administrasi
Negara sperti yang telah disebutkan sebelumny menurut Jean Rivero dan Waline
dapat diartikan dalam 3 (tiga) wujud. Perlu diketahui bahwa hal yang utama dari
perbuatan korupsi (kejahatan yang selalu berhubungan dengan sebuah kebijakan
publik) adalah perbuatan-perbuatan yang sepertinya legal, tetapi mengandung unsur
penyesatan dalam pengambilan kebijakan tersebut (Setiadi, 2010: 8

C. PERTANGUNGJAWABAN PEJABAT YANG MELAKUKAN DISKRESI


YANG MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA

Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan


oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoaln konkret ang dihadapi dalam
penyelenggaraan pemerintahan dalamhal peraturan perundang-undangan yang
memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya
stagnasi pemerintahan33. Diskresi sering disebut dengan Ermeessen yaitu
mempertimbangkan, menilai, menduga, menilai, pertimbangan dan keputusan menurut
Philipus M Hadjon,kebebasan bertindak (Freies Ermessen) pada dasarnya berarti
kebebasan untuk menerapkan peraturan dalam situasi konkrit, kebebasan untuk bertindak
meskipun belum ada pengaturannya secara tegas.kewenangan bebas dala hal ini bukan
dalam arti kemerdekaan yang lepas dari bingkai hokum, namun tetap terikat pada norma
hokum umum yang berasal dari asa,undang-undang, norma hokum dann asas-asa
pemerintahan yang baik.

32
Ibid, Hlm 7
33
Pasal 1 angka 9 Undnag-Undang Nomo 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014, Nomor 292. Tambahan Lembaran Negara Republik
Indoneisa Nomor 5601.
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan telah
mengatur bagaimana selayaknya aparatur pemerintah bekerja. Selain itu jugamengatur
bagaimana tata cara menggunakan wewenang diskresi. Diskresi merupakan prinsip
mendasar yang dimiliki oleh aparatur pemerintah dalam menjalankan pemerintahan. Asas
ini memberikan legitimasi atas kebjakan yang diambil oleh pemerintah demi kepentigan
umum. Berdasarkan prinsip ini, seorang pejabat tidak dapa dipidana selama engikuti
rambu-rambu penggunaan diskresi. Sejainya diskresi merupakan kekuasaan yang ebbas
dan dapat digunakan untuk mengatasi maslaah tertentu. Namun, saat ini ruang diskresi
semakin sempt.hampir semua urusan pemerintahan telah diatur oleh regulasi da aturan
teknis yang terperinci bahkan, penggunan disresi pun telah diatur secara tertulis dalam
UU Adminidtrasi Pemerintahan. Penggunaan disresi pun diatur prosedurnya, sesuatu
yang sebenarnya menyalah konsep diskresi itu sendiri.
Dalam praktik pemerintahan, penggunaan diskresi seharusnya tidakperlu
dikhawatirkan oleh pejabat pemerintah. Selain sebagai asas dalam menjalankan fungsi
pemerintahan, diskresi juga telah memiliki landasan hokum yang kuat berdasarka UU
Administrasi Pemerintahan. Adapun yang menjadi persoalan adalah penyalahgunaan
diskresi (discretional corruption), karena pemahaman yang keliru atas diskresi atau
adanya niat jahat untuk memperoleh keuntungan tertentu. Karenanya, diskresi berpotensi
dijadikan alasan untuk elanggar prosedur hukum. Hampir setiap tahun pejabat tingkat
kementerian memproduksi aturan teknis yang menjelaskan bagaimana kewenangan ini
dijalankan. Walaupun terkadang aturan-aturan yang dterbitkan pemrintah pusat inilah
pangkal masalahnya. Jadi, masalahnya bukan pada diskresi, melainkan pada
penyahgunaaan diskresi yang berujung pada korupsi.34
Dalam konsep hokum administrasi, setiap pemberian wewewnang kepada suatu
badan atau pejabat pemerintahan sealu disertai dengan tujuan dan maskud diberikannya
wewewnang itu. Sehingga penerapan wewenang harus sesuai dengan tujuan dan maksud
diberikannya wewenang itu, sehingga penerapan wewenang harus sesuai dengan tujuan
dan maksudnya tersebut.35 Jika penerapan wewenang tidak sesuai dengan tujuan dan

34
Dsikresi atau Korupsi, Harian Kompas, 11 Agusutus 2016
35
Nur Basuki Minarno, Penylahgunaan ewwenang dlm pengelolan keuangn daerh yng berimplikasi
Tindk Pidana Korupsi, Surabay: Penerbit Laksbang Meidatam, 2011, hlm 80
maksud diberkannya wewenang. maka dapat dikatakan telah terjadi penyalahgunaan
wewenang (deteourment de pouvoir).
Parameter tujuan dan maksud pemberian wewenang dalam menenukan terjadiya
penyalahgunaan wewenang dikenal dengan asas penelitian (specialialifeisbeginsel).36
Asas spesialitas menjadi landasan bagi kewenangan pemerintah untuk bertindak dengan
mempertimbangkan pada suatu tujuan. Setiap wewenang pemerintah diatur oleh
peraturan perundang-undanga. Permasalahannya jika ketentuan tujuan itu tidak ada (tidak
diatur) maka akan muncul pertentangan apa yang harus dilakukan untuk menjalankan
perintah peraturan perundang-undangan.
Ada kalanya pemerintah ditunut untuk bertindak sesuatu untuk mengatasi suatu keadaan
tertentu, di sisi lain tidak ada dasar peraturannya, atau samar-samar mengatur. Untuk
mengukur apakah tindakan pemrintah itu termasuk diskresi atau penyalahgunaan
wewenang, harus berdasarkan pada asas spesialitas yang mendasari wewenang itu sendiri
yang berkaitan dengan kepentinagn umum tertentu.
Kewenangan diskresi bisa terjadi karena peraturan perundang-undangan tidak
mengatur kewenangan pemerintah sama sekali atau samar. Dalam hal terjadi situasi
mendesak dan sangat diperlukan diambil keputusan namn tidak ada dasar hukum.
Pertanyaan yang timbul saat melaksanakan wewenang di luar apa yang telah ditentukan
dalam peraturan perundangan-perundangan (asas legalitas), asas spesialis dapat
digunakan sebagai parametet ada tidaknya penyalahgunaan wewenang. Dalam kondisi
seperti ni, diskresi harus didasarkan pada Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik
(AAUPB). AAUPB ini dipakai untuk menilai kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi
tersebut masih dalam koridor rechmatgheid.37
Diskresi sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat
pemerintahan untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnnya dengan
peraturan perundang-undangan.38 Di sisi lain, diskresi membuka peluang terjadinya
benturan kepentingan antara pemerintah dalam menjalankan tugasnya yang harus menaati
peraturan perundang-undangan dan tidak boleh semena-mena. Bahkan A.V. Dicey

36
Ibid
37
Nur Basuki Minarno, Op.Cit, hlm 86
38
Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Surabaya: Penerbit Pusataka Tinta Wmas, 1988,
hlm 30
bependapat, bahwa “the rules of law and discretionary are contradictory” (negara hukum
dan kekuasaam diskresi itu bertentangan). Pendapat ini merupakan karakter pemikiran
positivisme, cenderung kaku, membaca pearturan perundang-undangan sesuai teksnya
tanpa penafsiran. Pejabat pemerintahan dan aparat penegak hukum lebih banyak
berpikiran postivisme, menjalankan apa yang ada dalam teks perundang-undangan dan
tidak melakukan penafsiran. Sedangkan dalam Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan telah berpikiran post-positivisme dengan memberikan ruang untuk
melakukan diskresi meskipun dengan batasan yang tegas.39
Pejabat pemerintahan yang memiliki kekuasaan diskresi yang luas dan tidak
terstruktur merupakan potensi aka lahirnya tindakan sewenang-wenang, sehingga
wewenang diskresi ini perlu pembatasan dan ada meknisme pertanggungjawaban bagi
pejabat yang melakukan diskresi. Pertanggungjawaban harus dilakukan sesuai dengan
lingkup perbuatan dan kesalahan yang dilakukan oleh pejabat tersebut. Apabila perbuatan
diskresi yangdilakukan pejabat mengandung kesalahan, maka pertanggungjawabannya
harus sesuai dengan lingkup bidang perbuatan yang pejabat tersebut lakukan (Hukum
Administrasi Negara). Oleh karenanya, keputusan diskresi yang dilakukan oleh pejabat
tidak selalu dapat dikategorikan sebagai perbuatan korupsi.
Peraturan perundang-undangan yang sering berubah-ubah dan terkadang tidak sesuai
dengan kebutuhsan serta kondisi yang dihadapi, menuntut pejabat harus cermat dan
cerdas dalam bertindak. Hal ini menimbulkan ketakutan para pejabat yang berhadapan
langsung dengan masyarakat untuk melaksanakan tugasnya, di sisi lain aparat
pemerintahan memang cenderung berpikiran positivistik. Apabila melakukan sesuai
dengan isi peraturan teknisnya, maka tidak akan memberikan hasil yang baik kepada
masyarakat, tetapi jika membuat suatu kebijakan dalam menjalankan tugasnya dengan
sedikit keluar dari peraturan perundang-undangan, maka pertanggungjawabannya diuji
dengan pemeriksaan perkara dugaan korupsi.
Wewenang diskresi bertujuan untuk membrikan doelmarigheid dalam
penyelenggaraan urusan pemerintah, tetapi prinsip doelmarigheid tidak boleh digunakan
untuk mengesampinghkan prinsip rechmatigheid, kecuali benar-benar dapat ditunjukkan

39
Erlyn Indarti, Diskresi dan Paradigma sebuah telaah filsafat Hukum, Pidato Pengukuhan Guru
Besar, Fakultas Hukum Diponogoro, diakses di http://eprints.undip.ac.id/28180/1/Erlyn_Indarti.pdf.
Diakses tanggal 16 November 2019
bahwa hal tersebut sangat diperluka sebagai suatu yang terpaksa untuk mencapai tujuan
pemerintahan yang sah berdasarkan atas hukum.40 Perlu dihapuskan kesan seola-olah
diskresi adalah kebijakan yang berkaitan dengan doelmatigheid tetapi tidak terkait
dengan rechtmatigheid bahkan dianggap boleh menyimpangi rechtmatigheid. Unsur
rechtmatigheid sebagai dasar keputusan diskresi haruslah bertujuan dan memberikan
manfaat yang dibenarkan oleh hukum. Setiap tindakan pejabat di luar weweangnya yang
telah ditetapkan oleh hukum meskipun dengan alasan diskresi adalah tindakan melampau
batas wewenang atau menyalahgunakan wewenang atau bahkan melawan hukum.
Secara hukum diskresi dapat dianggap sah secara hukum jika terpenuhi syarat-syatrat
berupa: legalitas dan rasionalitas yang meliputi pertmbangan yang relevan, kejujuran, dan
keterbukaan, tujuan yang layak dan konsistensi.41 Legalitas bukan berarti bentuk
diskresinya diatur jelas dalam peraturan perundang-undangan, tetapi tersirat dalam
peraturan perundang-undangan, tetapi tersirat dalam peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan. Rasionalitas berarti setiap tindakan pengambilan keputusan atas dasar
diskresi harus didasarkan pada alasan yang dapat diterima oleh akal sehat. Keputusan
harus memuat pertimbangan yang relevan, didasarkan pada kejujuran atau keterbukaan
untuk tujuan yang baik dan terdapat konsistensi. Syarat diskresi ini kemudia diatur lebih
konkret pada Pasal 24 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, yang berisi:
a. Sesuai dengan tujuan diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2);
b. Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
c. Sesuai dengan AAUPB;
d. Berdasarkan alasan-alasan uang objektif
e. Tidak menimbulkan konflik kepentingan; dan
f. Dilakukan dengan itikad baik.
Syarat ini mencegah perbuatan penyalahgunaan wewenang, baik dalam betuk sewenang-
wenang, penyalahgunaan wewenang, mencampuradukkan wewenang atau bahkan
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan. Keputusan pejabat
tersebut dapat diuji pada Pengadilan Tata Usaha Negara dan dapat dinyatakan tidak sah
menimbulkan kerugian keuangan negaraa, maka badan pemerintahan berkewajiban

40
Bagir manan, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta: Penerbit FH UII Press, 2003, hlm 152
41
Ridwan, Op.Cit, hlm 155
42
mengganti kerugian negara tersebut, namun ketika kerugian negara tersebut terjadi
karena penyalahgunaan wewewnang oleh pejabat, maka pejabat tersebut secara pribadi
yang harus mengembalikan keuangan negara43
Parameter penyalahgunaan wewenang sebagaimana yang dimaskud dalam Pasal 17 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 3014 tentang Administrasi Pemerintahan dengan
sifat melawan hukum dalam hukum pidana khusunya pidana korupsi memiliki itisan
sangat tipis, terkadang sangat sulit membedakan apaka perbuatan pejabat tersenut
merupakan penyalahgunaan wewenang yang harus dipertanggungjawabkan dengan cara
hukum Administrasi Negara, atau sudah termasuk melawan hukum dalam konteks
pidana.
Penjelasan unsur melawan hukum dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentanh Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disingkat
Undang-Undang PTPK) dan penyalahgunaan wewenang dalam Pasal 3 Undang-Undang
PTPK hanya pasal 2 yang terdapat penjelasan yang memadai. Diaturnya unsur melawan
hukum dan penyalahgunaan wewenang dalam Undang-Undang PTPK menjadikan
ketidakjelasan konsep dan parameter untuk menentukan kategori perbuatan dan
bagaimana pertanggungjawabannya.
Dalam hukum administrasi negara, dikenal konsep onrechtmtigheid (melawan
hukum). Parameter untuk menentukan hal itu adalah peraturan perundang-undangan dan
AAUPB. Sehingga onrechtmatigheid adalah genus-nya dan peraturan perundang-
undangan dan AAUPB adalah species-nya. Persoalan di ata muncul dari putusan
pengadilan (perkara pidana) terjadi keragaman penafsiran tentnag konsep dan p[arameter
unsur melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang. Hak tersebut dapat dilihat dari
tabel di bawah ini: 44

42
Pasal 20 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5601
43
Pasal 20 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indoneisa Nomor 2601
44
No PUTUSAN PARAMETER PENYALAHGUNAAN
WEWENANG
1 MA. RI. Nomor : 380K/Pid/2001 SK Presiden, SK Menteri Keuangan, SKB
Direksi BI dengan BPPN
2 PN. Jakarta Pusat Nomor : Asas Kepatutan
449/Pid.B/2002
3 PT. Jakarta Nomor : 171/Pid.B/2002 Asas kecermatan
4 MA. RI. Nomor : 572K/Pid/2003 Asas-asa Umum Penyelenggaraan
Pemerintahan yang Baik
5 PN. Jakarta Pusat Nomor : Asas Kepatutan
2043/Pid.B/2001
6 MA.RI. Nomor : 336K/Pid/2000 Peraturan Daerah
7 MA.RI. Nomor : 223/Pid/2002 Peraturan daerah dan Surat Keputusan
Bupati

Majelis Hakim pemriksa perkara pidana pada umumnya akan melakukan


penilaian atas perbuatan penyalahgunbaan wewenang dalam tindak pidana korupsi
menggunakan parameter peraturan perundang-undangan. Paramenter peraturan
perundang-undangan untuk menilai penyalahgunaan wewenang sebetulnya digunakan
juga dalam Hukum Administrasi pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), namun
pada PTUN memiliki pendekatan yang berbeda dengan pemeriksaaan pidaka korupsi.
Dalam hukum administrasi, majelis hakim PTUN hanya menilai apakah Keputusan Tata
Usaha Negara yang diterbitkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sah atau tidak.
Dalam hukum pidana, khusunya perkara korupsi, untuk menentukan apakah perbuatan
tersebut merupakan perbuatan pidana atau tidak, dan apakaj pelakunya dapat dijatuhi
sanksi pidana atau tidak didasarkan pada asas legalitas. 45
Parameter peraturan perundang-undangan dipakai untuk mengukur
penyalahgunaan wewenang dalam kategori wewewnag terikat, tetapi dalam weweang
bebas (diskresi) parameter yang digunakan adalah AAUPB. Asas legalitas (wetmatigheid

45
Heri Hartanto, “Pertanggungjawaban Hukum Pejabat Pemerintahan terhadap Keputusan
Diskresi yang Mneimbulkan Kerugian keuangan Negara”, Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas
Udayana, Volume 38, Nomor 3, Desember 2016 hlm 220
van bestuur dalam hukum administrasi) tidak cukup untuk menilai keputusan diskresi,
karena diskresi diambil di luar dari keadaan normal yang telah ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan. Sehingga dalam memeriksa perkara korupsi harus
terlebih dahulu dilihat apakah keputusan yang dibuat pejabat pemerintahan masuk
klasifikasi wewenag terikat atau wewenag bebas. Pada kategori wewenang terikat, untuk
menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang menggunakan asa legalitas, sedangkan
salam wewenang bebas (diskresi) menggunakan parameter AAUPB.
Wewenang diskresi dapat dilakukan dengan alasan peraturan perundang-
undangan tidak mengatur atau mengatir secara samar-samar. Selain itu diskresi juga
dapat dilakukan dengan alasan keadaan mendesak, sedangkan secara filosofi pemrintahan
tidak bolehberhenti meskipun hanya sedetik dengan alasan weweanag tersebut tidak ada
landasan hukumnya. Asas dan pengujian berdasarkan peraturan perundang-undangan
tidak dapt diberlakukan pada peraturan yang bersifat kebijaksanaan (diskresi). Suatu
peraturan kebijaksanaan (diskresi) tidak dapat diuji oleh hukum positif, karena memang
tidak ada dasar peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Peraturan yang
bersifat kebijaksanaan (diskresi) lebih diarahkan pada dolmatigheid dan karena itu alat
ukurnya ada AAUPB.
Unsur melawan hukum dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disingkat PTPK) meliputi sifat
melawan hukum formil dan materiil, tetapi dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
003/PUU-IV/2006 hanya sebatas sifat melawan hukum formil, yaitu bertentnangan
dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 1 ayat (1) KUHP menganut ajaran legalitas
formal (noella poena sine lege), maka melawan hukum dalam hal ini diartika secara
sempit bertentangan dengan perundang-undangan (tertulis)46
Apabila melawan hukum (wederrechtelijk) dinyatakan secara tegas sebagai unsur
dari rumusan delik, maka tentnag adanya melawan hukum (wederrechtelijk) itu harus
dibuktikan dalam setiap proses peradilan. Sedangkan tidak disebutkannya secara tegas
unsur melawan hukum (wederrechtelijk) dalam rumusan pasal diartikan rumusan

46
R.B Budi Prastiwi, Delik Formil/Materiil, Sifat Melawan Hukum Formil/Materiil dan
Pertanggungjawaban Pidana dalam Tindak Pidana Korupsi, Kajian Teori Hukum Pidana terhadap Putusan
Mahkaman Konstitusi R.I. Perkara Nomor 003/PUU-IV/2006, Jurnal Hukum Pro Justitia, 2006, Vol 24 N 3
hlm 26
melawan hukum (wederrechtelijk) dianggap tercantum dalam rumusan pasal. Hal tersebut
diartikan untuk memberi kesempatan kepada tertuduh ntuk membuktikan bahwa sifatnya
yang melawan hukum dari perbuatannya itu sebenarnya tidak benar, dengan kata lain
memberi keempatan kepada tertuduh tentang beban pembuktian sebaliknya. 47
Dalam rumusan bunyi Pasal 3 UU PTPK menyebutkan “penyalahgunaan
wewenang” sebagai melawan hukum (wederrecthtlijk), namun tidak dirumuskan dengan
jelas dan tegas bagaimmana perbuatan melawan hukum tersebut dilakukan. Maka unsur
melawan hukum dianggap ada dalam pasal 3 Undang-Undang PTPK tersebut. Namun
terbuktinya melawan hukum belum cukup untuk menghukum pelakunya, perlu
dibuktikan faktor kesalahan dari pelakunya. Kesalahan merupakan salah satu unsur yang
fundamental disamping sifat melawan hukum dari perbuatan, yang harus dipenuhi untuk
menghukum pelakunya. Menurt Sudarto, dipidananya seorang tidaklah cukup apabila
orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentnagan dengan hukum atau bersifat
melawan hukum. Meskipun pembuatnya memenuhi rumusan delik dalam undang-
undang, tetapi masih diperlukan hal lain untuk menjatuhkan pidana, yaitu bahwa orang
yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guild).
Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertangungjawabkan kepada orang
tersebut. Disini berlaku apa yang disebut “asas tiada pidana tanpa kesalahan” (keine
strafe ohne schuld atau gen straf zonder schuld atau nulla poena sine culpa), culpa di sini
dalam arti luas meliputi juga kesengajaan.48
Pasal 20 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan juga mengatur kesalahan
dari pejabat, namun terbatas pada kesalahan administrasi yang dapat juga mengakibatkan
kerugian (keuangan) negara. Sedangkan dalam pasal 3 Undang-Undang PTPK secara
tegas bkesalahan dari pejabat yang merugikan keuangan negara. Ada beberapa persamaan
unsur dalam kedua pasal tersebut, namun pertanggungjawabannya berbeda. Persamaanya
pertama adalah pelaku merupakan pejabat negara. Kedua, pejabat tersebut melakukan
kesalahan dan ketiga, adalah ada keruguian negara. Sedangkan perbedaan dari kedua
pasal tersebut adalah kesalahan yang dimaksud dalam Pasal 20 Undang-Undang
Administrasi Pemerintahan dapat terjadi karena kelalaian atau penyalahgunaan

47
PA.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indoneisa, Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya
Bakti, 2013, hlm 377
48
Sudarto, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Bandung: Penerbit Sinar Baru, 1983, hlm 85
wewenang, sedangkan dalam pasal 3 UU PTPK kesalahan pelaku merupakan akibat
melakukan sesuatu yang bertentnagan dengan hukum (sifat melawan hukum)49
Penilaian terhadap perbuatan pejabat termasuk dalam kesalahan administrasi atau
kesalahan pejabat akibat melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum (sifat
melawan hukum) pidana. Apabila perbuatan pejabat tersebut telah memenuhi unsur
penyalahgunaan wewenang ataupun bersifat melawan hukum (wederrecthtlijk) maka
menentukan klasifikasi perbuatan pejabat tersebut merupakan bagian dalam bidang
hukum administrasi negara atau hukum pidana (korupsi) harus dinilai opzet dari
pelakunya. Pejabat tersebut harus memiliki pengetahuan tentang sifat melawan hukum
dari perbuatannya, tentang sifat dapat di hukum karena perbuatannya satau sifat yang
tidak dapat dibenarkan menurut kepatutan dan pergaulan hidup dari perbuatannya.50

49
Heri Hartanto, “Pertanggungjawaban Hukum Pejabat Pemerintahan terhadap Keputusan
Diskresi yang Mneimbulkan Kerugian keuangan Negara”, Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas
Udayana, Volume 38, Nomor 3, Desember 2016 hlm 221
50
P.A.F lamintang Op.Cit hlm 321-322
III. PENUTUP

KESIMPULAN
Secara ringkas bentuk penyalahgunaan wewenang administrasi oleh aparatur
pemerintah yang dikualifikasikan melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam
Undang-Undang Nomo 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
dikategorisasikan ke dalam 3 bentuk tidakan larangan yakmi:
a. Melampaui wewenang, yang dikonsepsikan dalam 3 bentuk tindakan:
1) Melampaui masa jabatan atau batas berlakunya wewewnag;
2) Melapaui batas wilayah berlakunya wewenag;
3) Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
b. Mencampuradukkan wewenang yang dikonsepsikan dalam 2 bentuk tindakan:
1) Di laur cakupan materi wewewnang;
2) Bertentnagan dengan tujuan diberikannya wewenang;
c. Bertindak sewenang-wenang yang dikonsepsikan dalam 2 bentuk tindakan:
1) Tanpa dasar kewenangan;
2) Bertentangan dengan Putusan Pengadian yang berkekuatan hukum tetap.

SARAN
Dalam menjalankan kekuasaan diskresi mungkin saja seorang pejabat tidak
menikmati hasilnya tetapi dapat saja yang menikmatinya adalah pihak lain yang selama
ini mendukung posisinya, karena yang akan diuji secara normatif adalah dampak dari
perbuatannya yang dapat merugikan negara.
Kesalahan pejabat pemerintahan yang menimbulkan kerugian keuangan negara
pada prinsipnya harus dikembalikan oleh pejabat yang melakukan kesalahan. Baik
penyelesaian melalui hukum administrasi maupun hukum pidana korupsi, menuntut
direhabilitasinya kerugian negara oleh pihak yang bersalah. Sehingga, dalam mengadili
permasalahan diskresi, penegak hukum harus berhati-hati dalam menentukan ranah
Hukum Administrasi Negara atau ranah Hukum Tindak Pidana Korupsi.
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesai Tahun 1945


Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999,

Buku

Anna Erliyana, Keputusan Presiden: Analisis Keppres R.I. 1987—1998, Program


Pascarsarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta 2005
Eni Rohyani, “kriminalisasi perbuatan administrasi negara”, seminar nasional
kriminalisasi kebijakan, diselenggarkan oleh Program Doktor Ilmu Hukum PPs
UNISBA, Hotel Preanger Bandung, 5 Juni 2010
G.H. Addink & J.B.J.M. ten Berge, Study on Innovation of Legal Means for Eliminating
Corruption in the Public Service in the Netherlands, vol. 11.1 ELECTRONIC
JOURNAL OF COMPARATIVE LAW, May 2007
Heri Hartanto, “Pertanggungjawaban Hukum Pejabat Pemerintahan terhadap Keputusan
Diskresi yang Mneimbulkan Kerugian keuangan Negara”, Jurnal Ilmiah Fakultas
Hukum Universitas Udayana, Volume 38, Nomor 3, Desember 2016
PA.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indoneisa, Bandung: Penerbit PT. Citra
Aditya Bakti, 2013
Philiplus. Hadjon, “Tentang Wewenang”, Yuridika, o 5&6 Tahun XII, September-
Desember, 1997
R.B Budi Prastiwi, Delik Formil/Materiil, Sifat Melawan Hukum Formil/Materiil dan
Pertanggungjawaban Pidana dalam Tindak Pidana Korupsi, Kajian Teori Hukum
Pidana terhadap Putusan Mahkaman Konstitusi R.I. Perkara Nomor 003/PUU-
IV/2006, Jurnal Hukum Pro Justitia, 2006, Vol 24 N 3 hlm 26
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2006
---------, Diskresi dan Tanggung Jawab Pemerintah, Yogyakarta: FH UII Press, 2014
Sofjan Sastrawidjaja, Hukum Pidana : Asas Hukum Pidana Sampai dengan Alasan
Peniadaan Pidana, Armico, Bandung, 1995
Sudarto, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Bandung: Penerbit Sinar Baru, 1983
Tatiek Sri Djatmiati, Prinsip Izin Usaha Industri di Indonesia, Disertasi Program
Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2004
Ujang charda, Potensi penyalahgunaan kwenangan oleh Pejabat Administrasi Negara
dalam Pengambilan dan Pelaksanaan Kebijakan, Jurnal Wawasa Hukum, Vol. 27
No 02 September 2012, Fakultas Hukum Universitas Subang

Anda mungkin juga menyukai