Anda di halaman 1dari 11

Kisi-Kisi SBA:

1. Perbedaan simplisia dengan ekstrak.


 Simplisia bahan alam yang telah dikeringkan yang digunakan untuk pengobatan dan belum
mengalami pengolahan, kecuali dinyatakan lain suhu pengeringan simplisia tidak lebih dari 60
derajat celcius. Simplisia--> dapat melihat karakteristik dari serbuknya, misalnya dengan cara
mikroskopis.

 Ekstrak  Ekstrak adalah sediaan pekat diperoleh dengan cara ekstraksi senyawa aktif dari
simplisia nabati atau simplisia hewani dengan pelarut yang sesuai.

2. standarisasi ekstrak

tetap ada parameter spesifik dan non spesifik, antara negara itu berbeda. misal terkait logam berat di
Jepang ada kobalt, sn dan lain-lain sedangkan di Indonesia hanya 4, atau di farmakope eropa Di Indonesia
kan ada parameter spesifik dan non spesifik bedanya apa antara simplisia dan ekstrak

Jawaban:

A. Parameter Non-Spesifik
1. Susut Pengeringan
INDONESIA
A. Pengertian: Pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada temperatur 105oC selama
30 menit
B. Prinsip: simplisia dalam bentuk serbuk dengan derajat halus nomer 8 dan suhu
pengeringan 105 derajat celcius.
C. Tujuan: memberikan rentang ttg besarnya senyawa yang hilang pada proses
pengeringan
D. Prosedur: timbang ekstrak 1-2 gr tara botol susut pengeringan yg telah dikeringkan
selama 30 menit masukan ekstrak dalam botol timbangan  masukkan dalam oven
dengan keadaan botolnya terbuka dan panaskan 5-10 derajat celcius dibawah suhu
lebur selama 1-2 jam botol segera ditutup dan dibiarkan dalam desikator sampai
suhunya mencapai suhu kamar timbang kembali

KOREA: sama dengan Indonesia


Contoh: pada deskripsi “tidak lebih dari 1,0% (1g, 105°C, 4 jam)” dalam monograf. Indikasi
hilangnya massa tidak boleh lebih dari 10 mg / 1 g dari substansi pada tes yaitu 1 gr yang secara
akurat ditimbang dan dikeringkan pada suhu 105°C dan dipindahkan ke desikator dan
kemudian dikeringkan dalam vakum selama 4 jam.

Eropa:
Prosedur: cawan yang rata rata berdiameter sekitar 50 mm dan tinggi sekitar 30 mm, timbang
dengan cepat 0,50 g ekstrak yang akan diperiksa Keringkan dalam oven pada suhu 100-105
° C selama 3 jam dengan diphosphorus pentoxide R atau anhydrous silica gel R dan timbang.
2. Bobot Jenis
INDONESIA
A. Pengertian: massa per satuan volume pada suhu kamar tertentu (25°C) yang
ditentukan dengan alat khusus piknometer atau alat lainnya
B. Tujuan: memberikan rentang ttg besarnya massa per satuan volume yang merupakan
parameter khusus ekstrak cair sampai ekstrak pekat (kental) yang masih dapat dituang
dan untuk memberikan gambaran kandungan kimia yang terlarut pada suatu ekstrak.
C. Prosedur: piknometer dikalibras, ditimbang ekstrak dengan suhu 20 derajat celcius
dimasukkan ke piknometer kurangkan bobot sebelum dan sesudah diisi bobot
jenis ekstrak cair: pembagian bobot ekstrak dengan bobot air pada suhu 25 derajat
celcius.

KOREA

Ada 4 metode:

a. Pake piknometer U/ekstrak kental/cair


b. Sprengel-Ostwald piknometerekstrak kental
c. Hidrometer esktrak cair
d. Oscillator-type density meter ekstrak cair/gas

3. Kadar Air
INDONESIA
A. Pengertian: pengukuran kandungan air yang berada dalam bahan yang dilakukan
dengan menggunakan cara yang tepat (Titrasi, Gravimetri, destilasi)
B. Prinsip: simplisia dalam bentuk serbuk dengan derajat halus nomer 8 dan suhu
pengeringan 105 derajat celcius.
C. Tujuan: memberikan rentang ttg besarnya kandungan air di dalam bahan.
D. Prosedur:
Titrasi langsung: 20 ml methanol masukin ke labu titrasi dengan pereaksi akrl
fischer u/dapetin kesetaraannya dengan cepat zat yg mengandung 10-50mg air
dimasukan dalam labu aduk 1 menit titrasi dengan pereaksi karl fischer.
(volume pereaksi karl fischerx kesetaraan)

Titrasi tidak langsung sama prosesnyasetelah sampel dimasukkan dan diaduk


ditambahkan kelebihan pereaksi karl fischer diamkantitrasi pakai air-
methanol baku.

KOREA

Prosedur:

A. VOLUMETRIC TITRATION
1. Direct Titration harus dalam kondisi kelembapan rendah, kalau gak bisa harus
ada blanko
Methanol dititrasi dengan pereaksi karl fischer sampel yang mengandung 5-30
mg air dimasukkan dalam labu titrasi dilarutkan dititrasi lagi pake karl fischer
Rumus %air= (volume x kesetaraan x100): jumlah sampel.

2. Back Titration titrasi tidak langsung  sama prosesnyasetelah sampel


dimasukkan dan diaduk ditambahkan kelebihan pereaksi karl fischer
diamkantitrasi pakai air-methanol baku.

B. COULOMETRIC TITRATION labu titrasi dilengkapi dengan sel elektrolit u/ pembentukan


iodin, pengaduk dan sistem titrasi potensiometri pada arus konstan.

EROPADestilasi

4. Kadar Sisa Pelarut


A. Tujuan : u/menentukan kandungan sisa pelarut serta menjamin bahwa selama proses
tidak meninggalkan sisa pelarut yang memang seharusnya tidak boleh ada.
B. Prosedur:
1. Destilasi  u/ekstrak cair dan tingtura penetapan kadar etanol
Pipet 25 ml zat uji dimasukkan ke alat destilasi destilat yg diperoleh kurang
lebih 2 ml lebih kecil dari volume yg dipipet  suhu destilat =suju pipet
tambahkan air secukupnya sehingga volume=volume cairan uji tetapkan bobot
jenis cairan hitung persentase dalam volume dari etanol menggunakan table
bobot jenis dan kadar etanol.

2. Kromatografi gas-cair

5. Kadar Abu
INDONESIA:
A. Prinsip: bahan uji dipanaskan pada temperature dimana senyawa organic dan
turunannya terdestruksi dan menguap sehingga tinggal sisa unsur mineral dan
anorganik saja.
B. Tujuan: u/memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang
berasal dari awal proses-terbentuknya ekstrak.
C. Prosedur:
1. Kadar abu total: 2-3g dimasukkan dalam krus silikat yg udah dipijarkan dan
ditara pijarin lagi sampe arang habis dinginkan dan timbang.
Jika arang tdk bisa ilang tambahin air panas, aduk, saring pake kertas saring
bebas abu pijarkan kertas saring beserta sisa penyaringan dalam kurs yg sama
masukkan filtrate dalam kurs, uapin dan pijarin sampe bobot tetap hitung kadar
abu total (%b/b)

2. Kadar abu larut asam abu dari kadar abu total dididihkan dengan HCl encer
selama 5 menit yg tidak larut asam, saring pake kertas saring cuci dengan air
panas dan pijarkan dalam krus hingga bobot tetap hitung kadarnya dengan
dihitung terhadap berat bahan uji.
KOREA: sama prosedurnya sama saja seperti Indonesia, bedanya Jika arang masih tersisa,
basahi dengan sejumlah kecil etanol dan pecahkan arang dengan batang pengaduk. Kemudian
bilas batang pengaduk dengan sedikit etanol sebelum diuapkan, timbang residu dengan cara
yang sama dengan metode di atas. Biarkan dingin dalam desikator.

EROPA:

1. Kadar abu total sama caranya kaya indo, tapi dipanaskannya ada suhu nya (100-105)
selama 1 jam
2. Kadar abu larut asam sama caranya tapi di sini pakenya asam sulfat bukan hcl

6. Residu Pestisida
Pestidsida digunakan u/membasmi hama-hama penyakit. Jenis: organofosfat,
organoklorin”ddt”, karbamat, pitretoid.

INDONESIA: pakai KG.


Ekstrak diuapkan sampai hampir kering dan residu dilarutkan dalam aseton, serta ditetapkan
dengan kromatografi gas menggunakan detector ECD.

KOREA: sama dengan Indonesia

7. Cemaran Logam Berat -spektroskopi serapan atom (AAS)


Logam Berat : elemen kimiawi metalik dan metaloida, memiliki bobot atom dan bobot jenis
yang tinggi yang dapat bersifat racun bagi makhluk hidup (SNI,2009)

Prinsip : terbentuknya endapan  ion sulfide dan reaksi logam.

Indonesia & Eropa ion sulfide (tioasetamida)

Korea  ionsulfie (NaS)


8. Cemaran Bakteri:
Tujuan: u/memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung mikroba pathogen dan
tidak mengandung mikroba non pathogen melebihi batas yang ditetapkan karena berpengaruh
pada stabilitas ekstrak dan berbahaya bagi kesehatan (toksik).

Prosedur :
1. Uji angka lempeng total  pakai PCA (Plate Count Agar)

Perhitungan jumlah koloni: jumlah koloni nya harus sekitar 30-300 koloni.
Rumus: jumlah koloni rata-rata dari kedua cawan dikalikan dengan faktor pengencerannya

2. Uji Nilai Duga Terdekat (MPN) ColHorm


Prinsip: Pertumbuhan bakteri coliform setelah cuplikan diinokulasikan pada media cair
yang sesuai,  adanya reaksi fermentasi dan pembentukan gas di dalam tabung Durham

Mikroba Aerob:
Media: soybean casein digest broth/agar pada suhu 30-35 derajat celcius selama 18-24 jam.
u/candida albicans sabouraud dextrose agar 20-25 derajat selama 2-3 hari
suspense uji pakai dapar fosfat 7,2.
Syarat: Sediaan memenuhi syarat uji jika tidak ada koloni yang tumbuh atau jika hasil uji
konfirmasi identifikasi negatif.

Bakteri :
1. Clostridia
Pertumbuhan koloni anaerob bentuk batang (dengan atau tanpa endospora) memberikan
reaksi katalase negatif, menunjukkan adanya Clostridia

2. E.colli

3. Salmonella
Interpretasi : Pertumbuhan koloni berwarna merah, dengan atau tanpa titik hitam di
bagian tengah menunjukkan karakteristik Salmonella

4. Pseudomonas aeruginosa
5. Staphylococcus aureus
Pertumbuhan koloni berwarna kuning atau putih dikelilingi zona kuning menunjukkan
adanya S.aureus

6. Candida albicans
Adanya pertumbuhan koloni berwarna putih menunjukkan adanya C.albicans

9. Cemaran Jamur dan Aflatoksin


a. Cemaran Jamur
Indonesia
Menggunakan perhitungan angka kapang khamir jumlah koloni x faktor pengenceran.
Contoh: pengenceran 10^-1 terdapat sebanyak 40 koloni angka kapang khamir= 40x10^-1
koloni/gram.
KOREA
1. U/candida albicans  sabouraud glucose agar medium/fluid sabouraud glucose
medium di inkubasi 20-25 derajat celcius selama 2-3 hari.
2. U/aspergillus brasiliensis  sabouraud glucose agar medium/potato dextrose agar
medium  20-25 derajat celcius 5-7 hari
3. Bisa juga pakai soybean-casein digest agar medium
Kriteria penerimaan:
i. 101 CFU: jumlah maksimum yang dapat diterima = 20,
ii. 102 CFU: jumlah maksimum yang dapat diterima = 200
iii. 103 CFU: jumlah maksimum yang dapat diterima = 2000

b. Aflatoksin
INDONESIA
Prinsip: pemisahan isolate aflatoksin dengan menggunakan metode kromatografi lapis tipi
Media: Yeast Extract Sucrose Broth (YES)
Prosedur: kultur aspergilus hasil isolate dan identifikasi dari ekstrak di inkokulasi pada
permukaan YES dengan suhu 25 derajat celcius selama 1 minggu dalam posisi miring.
Biakan diautoklaf 121 derajat celcius 15 menit diambil pake pipet dan dimasukkan dalam
tabung reaksi kecil.

Ujinya pake KLT


1. Silica gel
2. Eluen kloroform:aseton:n-heksan
3. Jarak rambat: 10 cm
4. Penampak bercak biru/hijau kebiruan dibawah uv 366 alfatoksin +

EROPA Pakai kromatografi cair


Persyaratan: obat-obatan herbal mengandung tidak lebih dari 2 mikrogram/kg flapoksin
b1

B. Parameter Spesifik
1. Organoleptik pakai pancaindra (bentuk, warna, bau, rasa)
Tidak ada perbedaan antara farmakope indonesi, korea eropa

2. Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu


u/memberikan gambaran awal jumlah senyawa kandungan, dgn melarutkan ekstrak dengan
pelarut (alcohol/air/pelarut mudah menguap lainnya)

Indonesia:
1. Kadar senyawa yang larut air
Timbang 5 gr bahan masukkan dalam labu+ 100 ml air jenuh kloroform kocok berkali
kali selama 6 jam pertama biarkan selama 18 jam saring Uapkan 20 mL filtrat hingga
kering dalam cawan dangkal beralas datar yang telah dipanaskan 105° dan ditara,
panaskan sisa pada suhu 105° hingga bobot tetap.  Hitung kadar dalam % sari larut air.

2. Kadar senyawa yang larut etanol


Timbang 5 gr bahan masukkan dalam labu+ 100 ml etanol 95% p kocok berkali kali
selama 6 jam pertama biarkan selama 18 jam saring Uapkan 20 mL filtrat hingga
kering dalam cawan dangkal beralas datar yang telah dipanaskan 105° dan ditara,
panaskan sisa pada suhu 105° hingga bobot tetap.  Hitung kadar dalam % sari larut
etanol

Eropa:
Kadar senyawa yang larut dalam air
Timbang 5 gr bahan masukkan dalam labu bersumbat+200 ml air mendidih diamkan 10
menit kocok berkali-kali, dinginkan encerkan hingga 20 ml saring  Uapkan 20 mL
filtrat hingga kering dalam water-bath. Keringkan residu dalam oven pada 100-105°C Hitung
kadar dalam % sari larut air.

3. uji bakteri ada 4: pseudomonas aeruginosa, stapilococus aureus, e.coli, dan salmonella. di negara lain
ada yg lebih bahkan ada yg uji shigella. dibandingkan uji bakteri antara farmakope, disesuaikan
dengan kondisi-kondisi negara.

jahe indonesia banyak ditolak di eropa dan ke jepang--> jadi uji karakterisasi dulu agar bisa di terima.

4. perbedaan antara komponen pelarut. ketika menggunakan pelarut yang satu dengan yang lain
tentunya ada perbedaan terkait kandungan bahan bahan kimia dan rendemennya berapa

5. cara-cara ekstraksi dari komponen komponen kandungan kimia yang akan di ekstraksi

6. metode untuk uji keamanan, ada uji toksisitas akut, kronis dan subkronis. untuk sediaan fitofarmaka
harus melalu uji klinis, pembuatan ekstraknya harus CPOTB obat herbal terstandar juga harus CPOTB.

Ada dua uji

1. UJI TOKSISITAS
a. Uji toksisitas akut oral
Prinsip: sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis diberikan pada beberapa kelompok hewan
uji dengan satu dosis per kelompok, kemudian dilakukan pengamatan terhadap adanya efek
toksik dan kematian diamati dalam waktu 24 jam
Tujuan:
1. Deteksi toksisitas intrinsic suatu zat
2. Menentukan organ sasaran
3. Kepekaan spesies
4. Menetapkan tingkat dosis
5. Memperoleh ld 50 suatu sediaan

b. Uji toksisitas subkronis oral


Prinsip: sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis diberikan setiap hari pada beberapa
kelompok hewan uji dengan satu dosis per kelompok selama 28 atau 90 hari harus diamati
setiap hari u. melihat adanya toksisitas hewan yg mati sebelum kaku, segera diotopsi dan
organ serta jaringan diamati secara makropatologi dan histipatologi Pada akhir periode
pemberian sediaan uji, semua hewan yang masih hidup diotopsi selanjutnya dilakukan
pengamatan secara makropatologi pada setiap organ dan jaringan.

Tujuan:

1. memperoleh informasi adanya efek toksik zat yang tidak terdeteksi pada uji toksisitas
akut
2. informasi kemungkinan adanya efek toksik setelah pemaparan sediaan uji secara
berulang dalam jangka waktu tertentu
3. informasi dosis yang tidak menimbulkan efek toksik (No Observed Adverse Effect Level
/ NOAEL)
4. dan mempelajari adanya efek kumulatif dan efek reversibilitas zat tersebut.

c. Uji toksisitas kronis oral


Prinsip: prinsipnya sama dengan uji toksisitas subkronis, tetapi sediaan uji diberikan selama
tidak kurang dari 12 bulan.

Tujuan :
1. mengetahui profil efek toksik setelah pemberian sediaan uji secara berulang selama
waktu yang panjang
2. untuk menetapkan tingkat dosis yang tidak menimbulkan efek toksik (NOAEL)

2. UJI KHASIAT

Obat herbal tradisional dan fitofarmaka harus melalui uji khasiat ini

Pembuktian khasiat suatu obat herbal/fitofarmaka dilakukan melalui uji nonklinik (in vitro dan in
vivo) dan uji klinik.
Uji nonklinik  uji yang dilakukan pada hewan coba untuk menilai keamanan serta profil
farmakodinamik produk yang diuji

Uji klinik kegiatan penelitian dengan mengikutsertakan subjek manusia disertai adanya
intervensi produk uji, untuk menemukan atau memastikan efek klinik, farmakologik dan/atau
farmakodinamik lainnya, dan/atau mengidentifikasi setiap reaksi yang tidak diinginkan, dan/atau
mempelajari absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi dengan tujuan untuk memastikan
keamanan dan/atau efektifitas produk yang diteliti.

Metode pada uji klinik: Randomized Control Trial (RCT) ideal karena dapat mengurangi bias dan
antar kelompok uji dan pembanding mempunyai karakteristik yg relative sama.

1. Single blind peneliti tau isi produk uji, subyek peserta uji tidak tahu
2. Double blind  peneliti dan subyek peserta uji sama sama tidak tahu ttg isi produk uji

Langkah dalam uji klinik di Indonesia:

1. Karakteristik produk uji  Pemastian terhadap identitas, riwayat empiris, bagian yang
digunakan, dan senyawa aktif/identitas
2. Standarisasi
3. Proses pembuatan harus mengacu kepada standar CPOTB
4. Lakukan penilaian terhadap data nonklinik yang ada/telah dilakukan, bagaimana profil
keamanan dan/atau aspek lainnya. Bagaimana LD50, data toksisitas akut, subkronik
dan/atau kronik sesuai kebutuhan untuk kondisi yang diujikan.
5. Elemen dalam protokol uji klinik yang disusun harus jelas dan lengkap
6. Persiapkan untuk adanya penjaminan mutu pelaksanaan uji klinik dan untuk dapat
dihasilkannya data yang akurat dan terpercaya.
7. Pengajuan persetujuan untuk dokumen/ pelaksanaan uji klinik.
8. Pertimbangan/peninjauan dan persetujuan uji klinik oleh Komisi Etik dan regulator
9. Persetujuan subjek (Informed Consent) dan rekrutmen subjek
10. Penapisan (screening) dan penyertaan (enrollment) subjek.
11. Pengelolaan pelaporan Kejadian Tidak Diinginkan maupun pelaporan lain
12. Pengelolaan data penelitian
13. Laporan akhir penelitian

Anda mungkin juga menyukai