Bab I1
Bab I1
PENDAHULUAN
1
6. Sistim Pemerintahan Daerah Indonesia
7. Perbandingan Undang Undang
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
2. Sebagai sarana pendidikan politik. Banyak kalangan ilmuwan politik
berargumentasi bahwa pemerintah daerah merupakan Kancah pelatihan
dan pengembangan demokrasi dalam sebuah negara.
3. Pemerintahan daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan.
Banyak kalangan ilmuwan politik sepakat bahwa pemerintah daerah
merupakan langkah persiapan untuk meniti karir lanjutan, terutama
karir di bidang politik dan pemerintahan di tingkat nasional
4. Stabilitas politik, Sharpe berargumentasi bahwa stabilitas politik
nasional mestinya berawal dari stabilitas politik pada tingkat local. Hal
ini dilihat dari terjadinya pergolakan daerah Pada tahun 1957-1958
dengan puncaknya adalah kehadiran dari PRRI dan PERMESTA,
karena daerah kekuasaan pemerintah Jakarta yang sangat dominan.
5. Kesetaraan politik. Dengan dibentuknya pemerintahan daerah maka
kesetaraan politik di antara berbagai komponen masyarakat akan
terwujud.
6. Akuntabilitas publik. Demokrasi memberikan ruang dan peluang
kepada masyarakat. termasuk di daerah, untuk berpartisipasi dalam
segala bentuk kegiatan penyelenggaraan negara.
4
2.3 Pentingnya Pemerintah Daerah
5
2.4 Implementasi Pemerintah Daerah
Pada masa lalu, pengerukan potensi daerah ke pusat terus dilakukan dengan
dalih pemerataan pembangunan. Alih-alih mendapatkan manfaat dari
pembangunan, daerah justru mengalami proses pemiskinan yang luar biasa.
Dengan kewenangan yang didapat daerah dari pelaksanaan Otonomi Daerah,
banyak daerah yang optimis bakal bisa mengubah keadaan yang tidak
menguntungkan tersebut.
6
1.Di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, masyarakat lokal dan LSM yang
mendukung telah berkerja sama dengan dewan setempat untuk merancang
suatu aturan tentang pengelolaan sumber daya kehutanan yang bersifat
kemasyarakatan (community-based). Aturan itu ditetapkan pada bulan Oktober
yang memungkinkan bupati mengeluarkan izin kepada masyarakat untuk
mengelola hutan milik negara dengan cara yang berkelanjutan.
Selain karena kurangnya kesiapan daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber
daya dengan berlakunya otonomi daerah, dampak negatif dari otonomi daerah
juga dapat timbul karena adanya berbagai penyelewengan dalam pelaksanaan
Otonomi Daerah tersebut.
7
Berbagai penyelewengan dalam pelaksanan otonomi daerah:
• Penggunaan dana anggaran yang tidak terkontrol. Hal ini dapat dilihat dari
pemberian fasilitas yang berlebihan kepada pejabat daerah. Pemberian fasilitas
yang berlebihan ini merupakan bukti ketidakarifan pemerintah daerah dalam
mengelola keuangan daerah.
• Rusaknya Sumber Daya Alam. Rusaknya sumber daya alam ini disebabkan
karena adanya keinginan dari Pemerintah Daerah untuk menghimpun
pendapatan asli daerah (PAD), di mana Pemerintah Daerah menguras sumber
daya alam potensial yang ada, tanpa mempertimbangkan dampak
negatif/kerusakan lingkungan dan prinsip pembangunan berkelanjutan
(sustainable development). Selain itu, adanya kegiatan dari beberapa orang
Bupati yang menetapkan peningkatan ekstraksi besar-besaran sumber daya
alam di daerah mereka, di mana ekstraksi ini merupakan suatu proses yang
semakin mempercepat perusakan dan punahnya hutan serta sengketa terhadap
tanah. Akibatnya terjadi percepatan kerusakan hutan dan lingkungan yang
berdampak pada percepatan sumber daya air hampir di seluruh wilayah tanah
air. Eksploitasi hutan dan lahan yang tak terkendali juga telah menyebabkan
hancurnya habitat dan ekosistem satwa liar yang berdampak terhadap punahnya
8
sebagian varietas vegetasi dan satwa langka serta mikro organisme yang sangat
bermanfaat untuk menjaga kelestarian alam.
9
2.5 Sistem Pemerintah Daerah Indonesia
Pemerintah Daerah yang relatif otonom pertama kali didirikan oleh Pemerintah
Kolonial Belanda melalui Desentralisatie Wet Tahun 1903. Undang-undang ini
hanya mencakup wilayah Jawa dan Madura saja. Sebelum Tahun 1903, seluruh
wilayah Hindia Belanda diperintah secara sentral di bawah Gubernur Jenderal
sebagai Wakil Raja Belanda di tanah jajahan. Disamping itu, terdapat juga
daerah-daerah yang disebut ‘Swapraja’ yang diperintah oleh raja-raja pribumi
setempat. Raja-raja tersebut memerintah berdasarkan kontrak politik yang
ditandatangani dengan wakil Pemerintah Belanda dan diberikan tugas untuk
menjalankan beberapa tugas atas nama pemerintah kolonial, di antara kerajaan
tersebut adalah Yogyakarta, Surakarta, Deli dan Bone.
10
Diterbitkan 23 Nopember 1945 dan merupakan undang-undang Pemerintahan
Daerah yang pertama setelah kemerdekaan. Undang-undang tersebut
didasarkan pasal 18 UUD 1945. Sistem pemerintahan daerah berdasarkan
undang-undang tersebut adalah dibentuknya Komite Nasional Daerah pada
setiap tingkatan daerah otonom terkecuali di tingkat provinsi. Komite tersebut
bertindak selaku badan legislatif dan anggota-anggota diangkat oleh
Pemerintah Pusat. Untuk menjalankan roda pemerintahan daerah, Komite
memilih lima orang dari anggotanya untuk bertindak selaku badan eksekutif
yang dipimpin Kepala Daerah. Kepala Daerah menjalankan dua fungsi utama;
Sebagai Kepala Daerah Otonom dan sebagai Wakil Pemerintah Pusat di daerah
tersebut. Sistem ini mencerminkan kehendak Pemerintah untuk menerapkan
desentralisasi dan dekonsentrasi dalam sistem pemerintahan daerah, namun
penekanannya lebih pada prinsip dekonsentrasi.
11
E. Undang-undang Nomor 1 tahun 1957
12
H. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
Era demokratisasi terpimpin telah berakhir dan diganti oleh era pemerintahan
Orde Baru. Dalam pengaturan pemerintahan daerah, UU 18 Tahun 1965 diganti
dengan UU No. 5 Tahun 1974. Ada tiga prinsip dasar yang dianut oleh UU No.
5 Tahun 1974, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Prakteknya, prinsip dekonsentrasi lebih dominan. Struktur pemerintahan
daerah terdiri dari kepala Daerah Otonom dan sebagai Kepala Wilayah (yaitu
Wakil Pemerintah di Daerah). DPRD mempunyai kewenangan melakukan
pemilihan calon Kepala Daerah, namun keputusan akhir ada di tangan Pusat.
Bangunan Pemerintah Daerah yang demikian, kondusif untuk menciptakan
landasan yang kuat untuk pembangunan ekonomi. Sistem tersebut pada satu sisi
telah menciptakan stabilitas, kondusif untuk menjalankan program-program
nasional yang dilaksanakan di daerah. Namun pada sisi lain, kondisi telah
menciptakan ketergantungan yang tinggi dalam melaksanakan otonominya,
seperti ketergantungan dalam aspek keuangan, kewenangan, kelembagaan,
personil, perwakilan termasuk pelayanan yang dihasilkan oleh Pemerintah
Daerah.
13
sebagai Badan legislatif Daerah yang mengawasi jalannya pemerintahan.
Otonomi daerah tetap dititik beratkan di Kabupaten/Kota, namun
Bupati/Walikota tidak lagi bertindak selaku Wakil Pemerintah di Daerah.
Fungsi ini dipegang hanya oleh Gubernur sebagai bagian dari Integrated
Prefectoral System, Secara eksplisit, UU ini juga menyebutkan tidak ada
hubungan hierarkhis antara Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam
penyelenggaraannya, ternyata otonomi daerah yang diselenggarakan
berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 menghadapi berbagai potensi
permasalahan, antara lain (1) terjadinya konflik kewenangan seperti di
Pelabuhan, Kehutanan, Investasi, Otorita Batam, dan banyak lagi lainnya; (2)
Lembaga Daerah membengkak, pengelompokan tugas tidak tepat, biaya
organisasi tinggi, biaya operasi dan infrastruktur terabaikan; (3) rekruitmen,
pembinaan dan mutasi personil tidak berdasar kompetensi dan profesionalisme,
pendekatan kedaerahan didahulukan; (4) sarana dan prasarana organisasi
terabaikan, teknologi informasi belum terpakai optimal; (5) manajemen
pembangunan dan pelayanan belum mengalami reformasi (perubahan)
mendasar; (6) dalam menggali sumber penerimaan daerah telah terjadi pula
berbagai ekses antara lain: peningkatan PAD yang menimbulkan biaya
ekonomi tinggi, ketergantungan daerah dari DAU yang mematikan kreatifitas
daerah dan penerimaan sah lainnya yang belum dioptimalkan; (7) standar
pelayanan minimum yang belum terumuskan dengan baik; dan (8) DPRD
dalam system perwakilan (baru) menjadi sangat powerfull, Kepala Daerah
(eksekutif) tersandera oleh Laporan Pertanggungjawaban.
14
Secara garis besar penyempurnaan terhadap UU No. 22 Tahun 1999 didasarkan
untuk penyesuaian ketentuan di dalam UU No. 22 Tahun 1999 dengan UUD
1945, Ketetapan dan Keputusan MPR serta penyerasian dan penyelarasan
dengan undang¬-undang bidang politik dan undang-undang lainnya. Di
samping itu juga melakukan penyempurnaan terhadap ketentuan di dalam UU
No. 22 Tahun 1999 yang menimbulkan permasalahan, menyebabkan penafsiran
ganda dan belum lengkap.
15
Hal ini dimaksudkan agar pembentukan daerah dapat menjamin
terselenggaranya pelayanan secara optimal
16
urusan pilihan. Urusan wajib adalah urusan pemerintahan yang berkaitan
dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan
kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar dan sebagainya.
Sedangkan yang bersifat pilihan adalah hal yang secara nyata ada dan
berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan.
Aspek penting lainnya adalah aspek demokratisasi yang diukur dari unsur
keterlibatan masyarakat dalam menentukan pejabat publik di daerah.
Berdasarkan konsep ini, pemerintahan dapat dikatakan demokratis apabila para
pejabat yang memimpin Pemerintahan Daerah itu dipilih secara langsung dan
bebas oleh masyarakat dengan cara yang terbuka dan jujur. Oleh sebab itu,
17
maka berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah akan dipilih secara langsung oleh rakyat yang
selambat-lambatnya akan dilaksanakan pada bulan Juni Tahun 2005. Melalui
Pemilihan yang demokratis ini diharapkan akan memperkuat posisi Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat
dalam mewujudkan Hubungan Kemitraan antara Pemerintah Daerah dan
DPRD. Hubungan antara Pemerintah Daerah dan DPRD merupakan hubungan
kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Kedudukan yang setara
bermakna bahwa di antara lembaga pemerintahan daerah itu memiliki
kedudukan yang sama dan sejajar, artinya tidak saling membawahi. Hal ini
tercermin dalam membuat kebijakan daerah berupa Peraturan Daerah.
Hubungan kemitraan bermakna bahwa antara Pemerintah Daerah dan DPRD
adalah sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk
melaksanakan Otonomi Daerah sesuai fungsi masing-masing, sehingga antar
kedua lembaga itu membangun suatu hubungan kerja yang sifatnya saling
mendukung, bukan merupakan lawan ataupun pesaing dalam melaksanakan
fungsi masing-masing. Keberadaan DPRD yang merupakan lembaga
perwakilan rakyat daerah haruslah mampu menciptakan check and balances
disamping melalui fungsi anggaran yaitu dalam menyusun APBD juga melalui
fungsi legislasi dan pengawasan terhadap Pemerintah Daerah, untuk
menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dari praktek KKN.
18
K. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
19
b. Dekonsentrasi, yaitu, pelimpahan wewenang dari pemerintah atau kepala
wilayah atau kepala instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabat di
daerah
1. Wilayah negara dibagi ke dalam Daerah besar dan kecil yang bersifat otonom
atau administratif saja. Sekalipun tidak ada perbedaan yang tegas di antara
keduanya, tetapi kenyataannya sebuah wilayah pemerintahan mempunyai dua
kedudukan sekaligus, yaitu sebagai Daerah Otonom yang berpemerintahan
sendiri dan sebagai Wilayah Administratif yang merupakan representasi dari
kepentingan Pemerintah Pusat yang ada di Daerah.
20
3. DPRD baik Tingkat I maupun II dan Kotamadya merupakan bagian dari
Pemda. Prisip ini baru pertama kali dalam sejarah perjalanan Pemda di
Indonesia karena pada umumnya DPRD terpisah dari Pemda.
5. UU ini memberikan tempat yang sangat terhormat dan sangat kuat kepada
Kepala Wilayah ketimbang kepada Kepala Daerah.
21
dengna peraturan puerundangan yang lebih tinggi tingkatannya atau peraturan
perundangan yang lain. (Pasal 114 ayat 1). Ada beberapa ciri khas yang
menonjol dari UU ini:
3. Sistem otonomi luas dan nyata, Pemda berwenang melakukan apa saja yang
menyangkut penyelenggaraan pemerintah, kecuali 5 hal yaitu yang
berhubungan dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan politik luar negeri,
pertahanan dan keamanan negara, moneter, sistem peradilan, dan agama.
22
UU No.32 tahun 2004 mengatur hal-hal tentang; pembentukan daerah dan
kawasan khusus, pembagian urusan pemerintahan, penyelenggaraan
pemerintahan, kepegawaian daerah, perda dan peraturan kepala daerah,
perencanaan pembangunan daerah, keuangan daerah, kerja sama dan
penyelesaian perselisihan, kawasan perkotaan, desa, pembinaan dan
pengawasan, pertimbangan dalamkebijakan otonomi daerah.
Menurut UU No.32 tahun 2004 ini, negara mengakui dan menghormati satuan-
satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus dan istimewa. Sehubungan
dengan daerah yang bersifat khusus dan istimewa ini, kita mengenal adanya
beberapa bentuk pemerintahan yang lain, seperti DKI Jakarta, DI Aceh, DI
Yogyakarta, dan provinsi-provinsi di Papua.
Bagi daerah-daerah ini secara prinsip tetap diberlakukan sama dengan daerah-
daerah lain. Hanya saja dengan pertimbangan tertentu, kepada daerah-daerah
tersebut, dapat diberikan wewenang khusus yang diatur dengan undang-
undang. Jadi, bagi daerah yang bersifat khusus dan istimewa, secara umum
berlaku UU No.32 tahun 2004 dan dapat juga diatur dengan UU tersendiri.
23
UU No.32/2004 mengakui otonomi yang dimiliki desa ataupun dengan sebutan
lain. Otonomi desa dijalankan bersama-sama oleh pemerintah desa dan badan
pernusyawaratan desa sebagai perwujudan demokrasi.
24
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
• Akuntabilitas publik.
25
4. Alasan pentinya di bentuk Pemerintah Daerah Ialah:
26
DAFTAR PUSTAKA
http://hitamandbiru.blogspot.com/2012/08/perbandingan-undang-undang-nomor-
5.html#ixzz3Vk1gSlwU
http://hitamandbiru.blogspot.com/2012/08/perbandingan-undang-undang-nomor-
5.html
http://brainly.co.id/tugas/1723432
27