Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Sistem pemerintahan mempunyai sistem dan tujuan untuk menjaga suatu kestabilan
negara itu. Namun di beberapa negara sering terjadi tindakan separatisme karena
sistem pemerintahan yang dianggap memberatkan rakyat ataupun merugikan
rakyat. Sistem pemerintahan mempunyai fondasi yang kuat dimana tidak bisa
diubah dan menjadi statis. Jika suatu pemerintahan mempunya sistem
pemerintahan yang statis, absolut maka hal itu akan berlangsung selama-lamanya
hingga adanya desakan kaum minoritas untuk memprotes hal tersebut. Secara luas
berarti sistem pemerintahan itu menjaga kestabilan masyarakat, menjaga tingkah
laku kaum mayoritas maupun minoritas, menjaga fondasi pemerintahan, menjaga
kekuatan politik, pertahanan, ekonomi, keamanan sehingga menjadi sistem
pemerintahan yang kontiniu dan demokrasi dimana seharusnya masyarakat bisa
ikut turut andil dalam pembangunan sistem pemerintahan tersebut. Hingga saat ini
hanya sedikit negara yang bisa mempraktikkan sistem pemerintahan itu secara
menyeluruh. Secara sempit,Sistem pemerintahan hanya sebagai sarana kelompok
untuk menjalankan roda pemerintahan guna menjaga kestabilan negara dalam
waktu relatif lama dan mencegah adanya perilaku reaksioner maupun radikal dari
rakyatnya itu sendiri

1.2 RUMUSAN MASALAH


Agar perumusan masalah ini tidak meluas maka penulis perlu membatasi ruang
lingkup masalah Sistem Pemerintahan ini adalah sebagai berikut :
1. Pengertian Sistem Pemerintahan.
2. Fungsi Dan Tujuan Pemerintahan Daerah
3. Tujuan Pemerintahan Daerah
4. Pentingnya Pemerintahan Daerah
5. Implementasi Pemerintahan Daerah

1
6. Sistim Pemerintahan Daerah Indonesia
7. Perbandingan Undang Undang

1.3 TUJUAN MASALAH


1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Sistem Pemerintahan
2. Fungsi Dan Tujuan Pemerintahan Daerah
3. Tujuan Pemerintahan Daerah
4. Pentingnya Pemerintahan Daerah
5. Implementasi Pemerintahan Daerah

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pemerintah Daerah

Definisi Pemerintah Daerah berdasarkan UU Nomor 32 Tahu 2004


sebagaimana telah diamandemen dengan UU Nomor 12 Tahu 2008 Tentang
Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat (2) adalah sebagai berikut: Pemerintahan
Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintahan
daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip
otonomi yang seluas-luasnya dalam system dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia Tahun 1945” Melihat definisi pemerintahan daerah seperti
yang telah dikemukakan di atas maka yang dimaksud pemerintahan daerah
adalah penyelenggaraan urusan-urusan yang menjadi urusan daerah oleh
pemerintahan daerah dan DPRD

2.2 Fungsi dan Tujuan Pemerintah Daerah


Berbagai argumen dan penjelasan mengenai fungsi pemerintah daerah
yaitu:
1. Untuk terciptanya efisiensi-efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
Pemerintahan berfungsi mengelola berbagai dimensi kehidupan seperti
bidang social, kesejahteraan masyarakat, Ekonomi, keuangan, politik,
integrasi social, pertahanan, keamanan dalam negeri, dan lain-lain.
Selain itu juga mempunyai fungsi distributif akan hal yang telah
diungkapkan, fungsi regulatif baik yang menyangkut penyediaan
barang dan jasa, dan fungsi ekstraktif yaitu memobilisasi sumber daya
keuangan dalam rangka membiayai aktivitas penyelenggaraan negara.

3
2. Sebagai sarana pendidikan politik. Banyak kalangan ilmuwan politik
berargumentasi bahwa pemerintah daerah merupakan Kancah pelatihan
dan pengembangan demokrasi dalam sebuah negara.
3. Pemerintahan daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan.
Banyak kalangan ilmuwan politik sepakat bahwa pemerintah daerah
merupakan langkah persiapan untuk meniti karir lanjutan, terutama
karir di bidang politik dan pemerintahan di tingkat nasional
4. Stabilitas politik, Sharpe berargumentasi bahwa stabilitas politik
nasional mestinya berawal dari stabilitas politik pada tingkat local. Hal
ini dilihat dari terjadinya pergolakan daerah Pada tahun 1957-1958
dengan puncaknya adalah kehadiran dari PRRI dan PERMESTA,
karena daerah kekuasaan pemerintah Jakarta yang sangat dominan.
5. Kesetaraan politik. Dengan dibentuknya pemerintahan daerah maka
kesetaraan politik di antara berbagai komponen masyarakat akan
terwujud.
6. Akuntabilitas publik. Demokrasi memberikan ruang dan peluang
kepada masyarakat. termasuk di daerah, untuk berpartisipasi dalam
segala bentuk kegiatan penyelenggaraan negara.

2.2.2 Tujuan Pemerintah Daerah

 Mencegah pemutusan keuangan


 Sebagai usaha pendemokrasian pemerintah daerah untuk
mengikutsertakan rakyat bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
pemerintahan.
 Penyusunan program-program untuk perbaikan sosial ekonomi pada
tingkat local sehingga dapat lebih realistis

4
2.3 Pentingnya Pemerintah Daerah

Alasan pentinya di bentuk Pemerintah Daerah Ialah:

1. Kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini sangat terpusat di Jakarta.


Sementara itu pembangunan di beberapa wilayah lain di lalaikan

2. Pembagian kekayaan secara tidak adil dan merata

3. Kesenjangan sosial (dalam makna seluas-luasnya) antara satu daerah dengan


daerah lain sangat terasa. Pembangunan fisik di satu daerah berkembang pesat
sekali, sedangkan pembangunan di banyak daerah masih lamban dan bahkan
terbengkalai. Sementara lain ada alesan lain yang didasarkan pada kondisi
ideal, sekaligus memberikan landasan filosofis bagi penyelenggaraan
pemerintah daerah (desentralisasi) sebagaimana dinyatakan oleh The Liang Gie
sebagai berikut : (Jose Riwu Kaho, 2001,h.8):

 Dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi


dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja
yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani.
 Dalam bidang politik, penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai
tindakan pendemokrasian, untuk menarik rakyat ikut serta dalam
pemerintahan dan melatih diri dalam mempergunakan hak-hak demokrasi.
 pemerintahan daerah (desentralisasi) adalah semata-mata untuk mencapai
suatu pemerintahan yang efisien. Apa yang dianggap lebih utama untuk
diurus oleh pemerintah setempat, pengurusannya diserahkan pada daerah.
 Dari sudut kultur, desentralisasi perlu diadakan supaya adanya perhatian
sepenuhnya ditumpukan kepada kekhususan sesuatu daerah, seperti
geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak kebudayaan atau
latar belakang sejarahnya.
 Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi diperlukan
karena pemerintah daerah dapat lebih banyak dan secara langsung dapat
membantu pembangunan tersebut.

5
2.4 Implementasi Pemerintah Daerah

Pemerintahan Daerah saat ini telah menjadi dasar penyelenggara pemerintahan


yang diterima secara universal dengan berbagai macam bentuk aplikasi di
setiap negara. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa tidak semua urusan
pemerintahan dapat diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, mengingat kondisi
geografis, kompleksitas perkembangan masyarakat, kemajemukan struktuk
sosial dan budaya lokal serta adanya tuntutan demokratisasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan.

Sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,


banyak aspek positif yang diharapkan dalam pemberlakuan Undang-Undang
tersebut. Dan implementasi dari Pemerintah Daerah ialah adanya Otonomi
Daerah. Otonomi Daerah memang dapat membawa perubahan positif di daerah
dalam hal kewenangan daerah untuk mengatur diri sendiri. Kewenangan ini
menjadi sebuah impian karena sistem pemerintahan yang sentralistik cenderung
menempatkan daerah sebagai pelaku pembangunan yang tidak begitu penting
atau sebagai pelaku pinggiran. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah
sangat baik, yaitu untuk memberdayakan daerah, termasuk masyarakatnya,
mendorong prakarsa dan peran serta masyarakat dalam proses pemerintahan
dan pembangunan.

Pada masa lalu, pengerukan potensi daerah ke pusat terus dilakukan dengan
dalih pemerataan pembangunan. Alih-alih mendapatkan manfaat dari
pembangunan, daerah justru mengalami proses pemiskinan yang luar biasa.
Dengan kewenangan yang didapat daerah dari pelaksanaan Otonomi Daerah,
banyak daerah yang optimis bakal bisa mengubah keadaan yang tidak
menguntungkan tersebut.

Beberapa contoh keberhasilan dari berbagai daerah dalam pelaksanaan otonomi


daerah yaitu:

6
1.Di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, masyarakat lokal dan LSM yang
mendukung telah berkerja sama dengan dewan setempat untuk merancang
suatu aturan tentang pengelolaan sumber daya kehutanan yang bersifat
kemasyarakatan (community-based). Aturan itu ditetapkan pada bulan Oktober
yang memungkinkan bupati mengeluarkan izin kepada masyarakat untuk
mengelola hutan milik negara dengan cara yang berkelanjutan.

2. Di Gorontalo, Sulawesi, masyarakat nelayan di sana dengan bantuan LSM-


LSM setempat serta para pejabat yang simpatik di wilayah provinsi baru
tersebut berhasil mendapatkan kembali kontrol mereka terhadap wilayah
perikanan tradisional/adat mereka.

Kedua contoh di atas menggambarkan bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah


dapat membawa dampak positif bagi kemajuan suatu daerah. Kedua contoh
diatas dapat terjadi berkat adanya Otonomi Daerah di daerah terebut.

Selain membawa dampak positif bagi suatu daerah otonom, ternyata


pelaksanaan Otonomi Daerah juga dapat membawa dampak negatif. Pada tahap
awal pelaksanaan Otonomi Daerah, telah banyak mengundang suara pro dan
kontra. Suara pro umumnya datang dari daerah yang kaya akan sumber daya,
daerah-daerah tersebut tidak sabar ingin agar Otonomi Daerah tersebut segera
diberlakukan. Sebaliknya, bagi daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber
daya, mereka pesimis menghadapi era otonomi daerah tersebut. Masalahnya,
otonomi daerah menuntut kesiapan daerah di segala bidang termasuk peraturan
perundang-undangan dan sumber keuangan daerah. Oleh karena itu, bagi
daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya pada umumnya belum siap
ketika Otonomi Daerah pertama kali diberlakukan.

Selain karena kurangnya kesiapan daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber
daya dengan berlakunya otonomi daerah, dampak negatif dari otonomi daerah
juga dapat timbul karena adanya berbagai penyelewengan dalam pelaksanaan
Otonomi Daerah tersebut.

7
Berbagai penyelewengan dalam pelaksanan otonomi daerah:

• Adanya kecenderungan pemerintah daerah untuk mengeksploitasi rakyat


melalui pengumpulan pendapatan daerah.

•Keterbatasan sumberdaya dihadapkan dengan tuntutan kebutuhan dana


(pembangunan dan rutin operasional pemerintahan) yang besar. Hal tersebut
memaksa Pemerintah Daerah menempuh pilihan yang membebani rakyat,
misalnya memperluas dan atau meningkatkan objek pajak dan retribusi.
Padahal banyaknya pungutan hanya akan menambah biaya ekonomi yang akan
merugikan perkembangan ekonomi daerah. Pemerintah daerah yang terlalu
intensif memungut pajak dan retribusi dari rakyatnya hanya akam menambah
beratnya beban yang harus ditanggung warga masyarakat.

• Penggunaan dana anggaran yang tidak terkontrol. Hal ini dapat dilihat dari
pemberian fasilitas yang berlebihan kepada pejabat daerah. Pemberian fasilitas
yang berlebihan ini merupakan bukti ketidakarifan pemerintah daerah dalam
mengelola keuangan daerah.

• Rusaknya Sumber Daya Alam. Rusaknya sumber daya alam ini disebabkan
karena adanya keinginan dari Pemerintah Daerah untuk menghimpun
pendapatan asli daerah (PAD), di mana Pemerintah Daerah menguras sumber
daya alam potensial yang ada, tanpa mempertimbangkan dampak
negatif/kerusakan lingkungan dan prinsip pembangunan berkelanjutan
(sustainable development). Selain itu, adanya kegiatan dari beberapa orang
Bupati yang menetapkan peningkatan ekstraksi besar-besaran sumber daya
alam di daerah mereka, di mana ekstraksi ini merupakan suatu proses yang
semakin mempercepat perusakan dan punahnya hutan serta sengketa terhadap
tanah. Akibatnya terjadi percepatan kerusakan hutan dan lingkungan yang
berdampak pada percepatan sumber daya air hampir di seluruh wilayah tanah
air. Eksploitasi hutan dan lahan yang tak terkendali juga telah menyebabkan
hancurnya habitat dan ekosistem satwa liar yang berdampak terhadap punahnya

8
sebagian varietas vegetasi dan satwa langka serta mikro organisme yang sangat
bermanfaat untuk menjaga kelestarian alam.

• Bergesernya praktik korupsi dari pusat ke daerah. Praktik korupsi di daerah


tersebut terjadi pada proses pengadaan barang-barang dan jasa daerah
(procurement). Seringkali terjadi harga sebuah barang dianggarkan jauh lebih
besar dari harga barang tersebut sebenarnya di pasar.

• Pemerintahan kabupaten juga tergoda untuk menjadikan sumbangan yang


diperoleh dari hutan milik negara dan perusahaan perkebunaan bagi budget
mereka. Berdasarkan uraian diatas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa
pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia masih belum optimal. Walaupun di
daerah Wonosobo dan Gorontalo terdapat contoh nyata keberhasilan
pelaksanaan Otonomi Daerah, tetapi kedua daerah tersebut hanya merupakan
contoh keberhasilan kecil dari pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia.

Secara keseluruhan, pelaksanaan Otonomi Daerah di tempat-tempat lain di


seluruh pelosok Indonesia masih belum dapat berjalan dengan optimal.

Belum optimalnya pelaksanaan Otonomi Daerah antara lain disebabkan karena


adanya berbagai macam penyelewengan yang dilakukan oleh berbagai pihak
yang terlibat dalam pelaksanaan Otonomi Daerah di daera-daerah otonom.

Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan pelaksanaan Otonomi


Daerah, tetapi hal yang paling penting yang harus dilakukan untuk
meningkatkan pelaksanaan Otonomi Daerah itu adalah dengan meningkatkan
kualitas Sumber Daya Manusia sebagai pelaksana dari Otonomi Daerah
tersebut. Sumber Daya Manusia yang berkualitas merupakan subjek dimana
faktor-faktor lain yang ikut menentukan keberhasilan dalam pelaksanaan
Otonomi Daerah ini bergantung. Oleh karena itu, sangat penting sekali untuk
meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia karena inilah kunci penentu dari
berhasil tidaknya pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia.

9
2.5 Sistem Pemerintah Daerah Indonesia

A. Sistem Pemerintahan Daerah Sebelum Kemerdekaan

Pemerintah Daerah yang relatif otonom pertama kali didirikan oleh Pemerintah
Kolonial Belanda melalui Desentralisatie Wet Tahun 1903. Undang-undang ini
hanya mencakup wilayah Jawa dan Madura saja. Sebelum Tahun 1903, seluruh
wilayah Hindia Belanda diperintah secara sentral di bawah Gubernur Jenderal
sebagai Wakil Raja Belanda di tanah jajahan. Disamping itu, terdapat juga
daerah-daerah yang disebut ‘Swapraja’ yang diperintah oleh raja-raja pribumi
setempat. Raja-raja tersebut memerintah berdasarkan kontrak politik yang
ditandatangani dengan wakil Pemerintah Belanda dan diberikan tugas untuk
menjalankan beberapa tugas atas nama pemerintah kolonial, di antara kerajaan
tersebut adalah Yogyakarta, Surakarta, Deli dan Bone.

Perbedaan sistem pemerintahan daerah sebelum dan sesudah UU Tahun 1903


terletak pada eksistensi Dewan Daerah. Sebelum itu, tidak terdapat sama sekali
otonomi pemerintahan daerah. Semua unit pemerintah bersifat administratif
atas dasar prinsip dekonsentrasi. Setelah UU Tahun 1903 diterbitkan,
didirikanlah Dewan Daerah pada unit-unit pemerintahan tertentu, di mana
mereka diberikan kewenangan menggali pendapatan daerah guna membiayai
pemerintahan daerah. Anggota Dewan Daerah diangkat dari tokoh setempat,
namun Gubernur, Residen, atau Bupati tetap diangkat Pemerintah Pusat.

B. Sistem Pemerintahan Daerah Paska Kemerdekaan

Sistem pemerintahan daerah di Indonesia paska proklamasi ditandai dengan


diberlakukannya berbagai peraturan perudang-undangan tentang pemerintahan
daerah. Setiap undang-undang yang diberlakukan pada suatu kurun waktu
tertentu menandai terjadinya perubahan dalam sistem pemerintahan daerah,
yang mana hal ini sangat erat kaitannya dengan situasi politik nasional.

C. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945

10
Diterbitkan 23 Nopember 1945 dan merupakan undang-undang Pemerintahan
Daerah yang pertama setelah kemerdekaan. Undang-undang tersebut
didasarkan pasal 18 UUD 1945. Sistem pemerintahan daerah berdasarkan
undang-undang tersebut adalah dibentuknya Komite Nasional Daerah pada
setiap tingkatan daerah otonom terkecuali di tingkat provinsi. Komite tersebut
bertindak selaku badan legislatif dan anggota-anggota diangkat oleh
Pemerintah Pusat. Untuk menjalankan roda pemerintahan daerah, Komite
memilih lima orang dari anggotanya untuk bertindak selaku badan eksekutif
yang dipimpin Kepala Daerah. Kepala Daerah menjalankan dua fungsi utama;
Sebagai Kepala Daerah Otonom dan sebagai Wakil Pemerintah Pusat di daerah
tersebut. Sistem ini mencerminkan kehendak Pemerintah untuk menerapkan
desentralisasi dan dekonsentrasi dalam sistem pemerintahan daerah, namun
penekanannya lebih pada prinsip dekonsentrasi.

D. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948

UU No. 22 Tahun 1948 dikeluarkan 10 Juli 1948, dimaksudkan sebagai


pengganti UU Nomor 1 Tahun 1945 yang dianggap tidak sesuai dengan
semangat kebebasan. UU 22 Tahun 1948 hanya mengatur tentang daerah
otonom dan sama sekali tidak menyinggung daerah administratif. Undang-
undang tersebut hanya mengakui 3 tingkatan daerah otonom, yaitu provinsi,
kabupaten atau kotamadya dan desa atau kota kecil. Kekuasaan eksekutif
dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan pemerintahan
sehari-hari dijalankan oleh Dewan Pemerintahan Daerah (DPD). Kepala
Daerah bertindak selaku Ketua DPD. Kepala Daerah diangkat oleh Pemerintah
dari calon-calon yang diusulkan oleh DPRD. Walau demikian, terdapat klausul
dalam Pasal 46 UU No. 22 Tahun 1948 yang memungkinkan Pemerintah untuk
mengangkat orang-orang pilihan Pemerintah Pusat, yang umumnya diambil
dari Pamong Praja untuk menjadi Kepala Daerah. Melalui klausul tersebut
Pemerintah sering menempatkan calon yang dikehendaki tanpa harus
mendapatkan persetujuan DPRD.

11
E. Undang-undang Nomor 1 tahun 1957

UU 1 Tahun 1957 ditandai dengan penekanan lebih jauh lagi ke arah


desentralisasi. UU No. 1 Tahun 1957 adalah produk sistem parlementer liberal
hasil Pemilihan Umum pertama tahun 1955, di mana partai-partai politik
menuntut adanya Pemerintah Daerah yang demokratik.

F. Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 6 Tahun 1959

Tanggal 16 Nopember 1959, sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden,


Pemerintah mengeluarkan Penpres 6 tahun 1959 untuk mengatur Pemerintah
Daerah agar sejalan dengan UUD 1945. Dalam Penpres tersebut diatur bahwa
Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD. Kepala daerah
mengemban dua fungsi yaitu sebagai eksekutif daerah dan wakil Pusat di
daerah. Kepala Daerah juga bertindak selaku Ketua DPRD. Sebagai eksekutif
daerah, dia bertanggungjawab kepada DPRD, namun tidak bisa dipecat oleh
DPRD. Sedangkan sebagai wakil Pusat dia bertanggungjawab kepada
Pemerintah Pusat.

G. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965

Kebijakan pada UU No. 18 Tahun 1965 merupakan arus balik dari


kecenderungan sentralisasi menuju desentralisasi. Hal ini nampak dari
kebebasan yang diberikan kepada Kepala daerah dan BPH untuk menjadi
anggota partai politik tertentu. Dengan demikian, kesetiaan atau loyalitas
eksekutif daerah tidak lagi hanya kepada Pemerintah Pusat. Pada masa ini
terjadi tuntutan yang kuat untuk memberikan otonomi yang seluas-luasnya
kepada daerah dan tuntutan pendirian daerah otonomi tingkat III yang berbasis
pada Kecamatan. Kondisi tersebut akan memungkinkan Parpol untuk
mendapatkan dukungan politis dari grass-roots.

12
H. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974

Era demokratisasi terpimpin telah berakhir dan diganti oleh era pemerintahan
Orde Baru. Dalam pengaturan pemerintahan daerah, UU 18 Tahun 1965 diganti
dengan UU No. 5 Tahun 1974. Ada tiga prinsip dasar yang dianut oleh UU No.
5 Tahun 1974, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Prakteknya, prinsip dekonsentrasi lebih dominan. Struktur pemerintahan
daerah terdiri dari kepala Daerah Otonom dan sebagai Kepala Wilayah (yaitu
Wakil Pemerintah di Daerah). DPRD mempunyai kewenangan melakukan
pemilihan calon Kepala Daerah, namun keputusan akhir ada di tangan Pusat.
Bangunan Pemerintah Daerah yang demikian, kondusif untuk menciptakan
landasan yang kuat untuk pembangunan ekonomi. Sistem tersebut pada satu sisi
telah menciptakan stabilitas, kondusif untuk menjalankan program-program
nasional yang dilaksanakan di daerah. Namun pada sisi lain, kondisi telah
menciptakan ketergantungan yang tinggi dalam melaksanakan otonominya,
seperti ketergantungan dalam aspek keuangan, kewenangan, kelembagaan,
personil, perwakilan termasuk pelayanan yang dihasilkan oleh Pemerintah
Daerah.

I. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999

UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dimaksudkan untuk


mengoreksi UU 5 Tahun 1974 yang dirasa sentralistik menjadi desentralistik
dan mendekatkan pelayanan masyarakat menjadi pelayanan local, serta
meningkatkan pendidikan politik masyarakat. Prinsif otonomi seluas-luasnya
menjiwai hampir di semua pasal. Bahkan manajemen kepegawaian dan
keuangan yang di UU pendahulunya diatur dengan ketat oleh Pusat
didelegasikan secara penuh kepada Daerah. Sebagian besar istilah yang dipakai
di UU ini mengadopsi dari UU No. 5 Tahun 1974, namun istilah “subsidi”,
“ganjaran” dan “sumbangan” dihapus sama sekali, diganti dengan dana
perimbangan. Menurut UU ini, Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah
dan perangkat Daerah; DPRD berada di luar Pemerintah Daerah berfungsi

13
sebagai Badan legislatif Daerah yang mengawasi jalannya pemerintahan.
Otonomi daerah tetap dititik beratkan di Kabupaten/Kota, namun
Bupati/Walikota tidak lagi bertindak selaku Wakil Pemerintah di Daerah.
Fungsi ini dipegang hanya oleh Gubernur sebagai bagian dari Integrated
Prefectoral System, Secara eksplisit, UU ini juga menyebutkan tidak ada
hubungan hierarkhis antara Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam
penyelenggaraannya, ternyata otonomi daerah yang diselenggarakan
berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 menghadapi berbagai potensi
permasalahan, antara lain (1) terjadinya konflik kewenangan seperti di
Pelabuhan, Kehutanan, Investasi, Otorita Batam, dan banyak lagi lainnya; (2)
Lembaga Daerah membengkak, pengelompokan tugas tidak tepat, biaya
organisasi tinggi, biaya operasi dan infrastruktur terabaikan; (3) rekruitmen,
pembinaan dan mutasi personil tidak berdasar kompetensi dan profesionalisme,
pendekatan kedaerahan didahulukan; (4) sarana dan prasarana organisasi
terabaikan, teknologi informasi belum terpakai optimal; (5) manajemen
pembangunan dan pelayanan belum mengalami reformasi (perubahan)
mendasar; (6) dalam menggali sumber penerimaan daerah telah terjadi pula
berbagai ekses antara lain: peningkatan PAD yang menimbulkan biaya
ekonomi tinggi, ketergantungan daerah dari DAU yang mematikan kreatifitas
daerah dan penerimaan sah lainnya yang belum dioptimalkan; (7) standar
pelayanan minimum yang belum terumuskan dengan baik; dan (8) DPRD
dalam system perwakilan (baru) menjadi sangat powerfull, Kepala Daerah
(eksekutif) tersandera oleh Laporan Pertanggungjawaban.

J. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sesuai amanat UUD


1945 yang telah di amandemen, maka UU No. 22 Tahun 1999 telah diganti
dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Ini merupakan
penyempurnaan dalam rangka menyesuaikan dengan keadaan, ketatanegaraan
dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah.

14
Secara garis besar penyempurnaan terhadap UU No. 22 Tahun 1999 didasarkan
untuk penyesuaian ketentuan di dalam UU No. 22 Tahun 1999 dengan UUD
1945, Ketetapan dan Keputusan MPR serta penyerasian dan penyelarasan
dengan undang¬-undang bidang politik dan undang-undang lainnya. Di
samping itu juga melakukan penyempurnaan terhadap ketentuan di dalam UU
No. 22 Tahun 1999 yang menimbulkan permasalahan, menyebabkan penafsiran
ganda dan belum lengkap.

Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia memasuki babak


baru dengan terbitnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
yang telah diundangkan pada tanggal 15 Oktober 2004. Undang-undang
tersebut secara substansial mengubah beberapa paradigma penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah dalam UU No. 22 Tahun 1999. Salah satunya adalah
desentralisasi dan dekonsentrasi dipandang sebagai sesuatu yang bersifat
kontinum bukan bersifat dikotomis. Secara filosofi, keberadaan Pemerintahan
Daerah disebabkan karena adanya masyarakat pada daerah otonomi.
Pemerintahan Daerah dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat, sehingga keberadaan Pemerintahan Daerah dalam rangka
pemberian pelayanan merupakan inti dari penyelenggaraan otonomi daerah.
Orientasi pemberian pelayanan kepada masyarakat ini dapat dilihat antara lain
dalam hal pembentukan daerah yang dimaksudkan untuk meningkatkan
pelayanan publik, mempercepat kesejahteraan masyarakat, serta sebagai sarana
pendidikan politik di tingkat lokal. Untuk itu maka pembentukan daerah
mempertimbangkan berbagai faktor seperti kemampuan ekonomi, potensi
daerah, luas wilayah, kependudukan dan pertimbangan dari aspek politik, sosial
budaya, pertahanan dan keamanan serta pertimbangan dan syarat lain yang
memungkinkan daerah itu menyelenggarakan dan mewujudkan tujuan
dibentuknya otonomi daerah. Dalam pembentukan daerah, UU No. 32 Tahun
2004 juga mengatur persyaratan administrasi, teknis dan fisik kewilayahan.

15
Hal ini dimaksudkan agar pembentukan daerah dapat menjamin
terselenggaranya pelayanan secara optimal

Akar masalah yang muncul adalah kesalahan dalam mempersepsikan otonomi


daerah. Otonomi seringkali diukur dengan kemampuan keuangan daerah.
Akibatnya konsep “urusan” lebih dikaitkan dengan “keuangan”, yaitu hak
daerah untuk menggali sumber keuangan dan bukan untuk memberikan
pelayanan. Akibatnya, terjadi perebutan urusan antar tingkatan pemerintahan
dengan justifikasinya masing-masing yang bermuara pada terlantarnya
pelayanan masyarakat.

Orientasi pelayanan masyarakat di dalam UU No. 32 Tahun 2004, dicerminkan


dalam pembagian urusan antar tingkat pemerintahan. Pembagian urusan
pemerintahan dalam konteks desentralisasi merupakan penyerahan urusan
pemerintahan dari Pemerintah kepada daerah otonom. Urusan pemerintahan
yang diserahkan kepada daerah hanyalah urusan yang menjadi kewenangan
Pemerintah saja (eksekutif), tidak termasuk urusan yang menjadi kewenangan
legislatif (pembuatan UU) dan urusan yang menjadi kewenangan yudikatif
(peradilan), Pembagian urusan pemerintahan berangkat dari adanya diktum
tidak mungkin urusan diselenggarakan semuanya oleh Pemerintah atau
semuanya diserahkan kepada daerah.

Berkenaan dengan pembagian urusan pemerintahan terdapat pembagian urusan


yang spesifik. Pertama, urusan yang sepenuhnya menjadi urusan Pemerintah
Pusat, meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal
nasional, yustisi, dan agama. Kedua, urusan yang bersifat concurrent atau
urusan yang dapat dikelola bersama antara Pusat, provinsi, atau pun
kabupaten/Kota. Pembagian urusan ini diatur dalam pasal 11 ayat (1) UU No.
32 Tahun 2004, dengan menggunakan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan
efisiensi dalam rangka mewujudkan proporsionalitas pembagian urusan
pemerintahan, sehingga ada kejelasan siapa melakukan apa. Dalam urusan
bersama yang menjadi kewenangan daerah terbagi dua, yakni urusan wajib dan

16
urusan pilihan. Urusan wajib adalah urusan pemerintahan yang berkaitan
dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan
kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar dan sebagainya.
Sedangkan yang bersifat pilihan adalah hal yang secara nyata ada dan
berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan.

Adanya pengaturan yang bersifat wajib, sangat terkait dengan kebutuhan


mendasar masyarakat, sehingga menjadi kewajiban bagi Pemerintah Daerah
untuk menyediakan pelayanan yang prima. Adanya pengaturan tersebut
dimaksudkan untuk menghindarkan daerah melakukan urusan yang kurang
relevan dengan kebutuhan warganya dan tidak terperangkap untuk melakukan
urusan atas pertimbangan pendapatan semata. Selanjutnya agar penyediaan
pelayanan kepada masyarakat mampu memenuhi ukuran kelayakan minimal,
pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat oleh Pemerintah Daerah harus
berpedoman kepada Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang ditetapkan oleh
Pemerintah. Selain melaksanakan urusan yang bersifat wajib, dalam
menyelenggarakan otonomi, daerah juga mempunyai kewajiban sebagaimana
diatur dalam Pasal 22 UU No. 32 Tahun 2004, sebagai penegasan bahwa
Pemerintahan Daerah merupakan sub-sistem dari sistem pemerintahan
Nasional dalam perspektif pemberian pelayanan umum. Sebagai implikasi dari
penataan urusan perlu dilakukan penataan kelembagaan yang pada prinsipnya
merupakan pewadahan dari urusan yang diserahkan kepada daerah yaitu
lembaga Pemerintahan Daerah (Pemerintah Daerah dan DPRD), serta
ditetapkan organisasi dan tata kerja Perangkat Daerah melalui Peraturan
Daerah.

Aspek penting lainnya adalah aspek demokratisasi yang diukur dari unsur
keterlibatan masyarakat dalam menentukan pejabat publik di daerah.
Berdasarkan konsep ini, pemerintahan dapat dikatakan demokratis apabila para
pejabat yang memimpin Pemerintahan Daerah itu dipilih secara langsung dan
bebas oleh masyarakat dengan cara yang terbuka dan jujur. Oleh sebab itu,

17
maka berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah akan dipilih secara langsung oleh rakyat yang
selambat-lambatnya akan dilaksanakan pada bulan Juni Tahun 2005. Melalui
Pemilihan yang demokratis ini diharapkan akan memperkuat posisi Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat
dalam mewujudkan Hubungan Kemitraan antara Pemerintah Daerah dan
DPRD. Hubungan antara Pemerintah Daerah dan DPRD merupakan hubungan
kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Kedudukan yang setara
bermakna bahwa di antara lembaga pemerintahan daerah itu memiliki
kedudukan yang sama dan sejajar, artinya tidak saling membawahi. Hal ini
tercermin dalam membuat kebijakan daerah berupa Peraturan Daerah.
Hubungan kemitraan bermakna bahwa antara Pemerintah Daerah dan DPRD
adalah sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk
melaksanakan Otonomi Daerah sesuai fungsi masing-masing, sehingga antar
kedua lembaga itu membangun suatu hubungan kerja yang sifatnya saling
mendukung, bukan merupakan lawan ataupun pesaing dalam melaksanakan
fungsi masing-masing. Keberadaan DPRD yang merupakan lembaga
perwakilan rakyat daerah haruslah mampu menciptakan check and balances
disamping melalui fungsi anggaran yaitu dalam menyusun APBD juga melalui
fungsi legislasi dan pengawasan terhadap Pemerintah Daerah, untuk
menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dari praktek KKN.

18
K. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

UU No. 23 tahun 2014 merupakan makanan pokok bagi praja Institut


Pemerintahan Dalam Negeri yang nantinya akan dijadikan acuan dalam
bertugas di pemerintah daerah. Secara keseluruhan undang-undang tersebut
memiliki kesamaan dengan UU No. 32 tahun 2004 namun ada beberapa pasal
yang mengalami perubahan.

Kemudian ditambahkan, prinsip secara umum atau garis besar UU Nomor 23


tahun 2014 ini merupakan kombinasi UU Nomor 5 tahun 1974 dan UU Nomor
32 tahun 2004. Sehingga fungsi Gubernur bukan hanya sebagai kepala daerah
melainkan juga sebagai kepala wilayah .

Di sisi lain, pada pasal 2 dinyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik


Indonesia ( NKRI ) dibagi atas daerah provinsi, provinsi dibagi atas daerah
kabupaten dan kota, kabupaten/kota dibagi atas kecamatan dan kecamatan
dibagi atas kelurahan dan/atau desa. Jadi, pasal ini menegaskan bahwa atasan
kepala desa/lurah adalah camat, atasan camat adalah bupati/walikota, dan
seterusnya.

karna melaksanakan urusan pemerintahan umum. Bupati dan walikota


melibatkan urusan pemerintahan umum kepada camat, otomatis camat
merupakan kepala wilayah.

2.6 Perbandingan Undang-Undang

A. UU No. 5 Tahun 1974

Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas


administrasi, UU No.5 tahun 1974 yang mengatur tentang pokok-pokok
Pemerintahan Daerah dibentuk. UU ini telah meletakkan dasar-dasar sistem
hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip, yaitu:

a. Desentralisasi, yaitu penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau


daerah tingkat atasnya kepada daerah

19
b. Dekonsentrasi, yaitu, pelimpahan wewenang dari pemerintah atau kepala
wilayah atau kepala instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabat di
daerah

c. Tugas perbantuan (medebewind), yaitu pengkoordinasian prinsip


desentralisasi dan dekonsentrasi oleh kepala daerah, yang memiliki fungsi
ganda sebagai penguasa tunggal di daerah dan wakil pemerintah pusat di
daerah.

Akibat dari prinsip-prinsip tersebut, maka dikenal dengan adanya daerah


otonom dan wilayah administratif.

Meskipun harus diakui bahwa UU No.5/1974 adalah suatu komitmen politik,


namun dalam praktek yang terjadi adalah sentralisasi yang dominan dalam
perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu
fenomena yang paling menonjol dari hubungan antara sistem Pemda dengan
pembangunan adalah ketergantungan Pemda yang tinggi terhadap pemerintah
pusat.

Ada beberapa karakteristik yang sangat menonjol dari prinsip penyelenggaraan


Pemda menurut UU ini:

1. Wilayah negara dibagi ke dalam Daerah besar dan kecil yang bersifat otonom
atau administratif saja. Sekalipun tidak ada perbedaan yang tegas di antara
keduanya, tetapi kenyataannya sebuah wilayah pemerintahan mempunyai dua
kedudukan sekaligus, yaitu sebagai Daerah Otonom yang berpemerintahan
sendiri dan sebagai Wilayah Administratif yang merupakan representasi dari
kepentingan Pemerintah Pusat yang ada di Daerah.

2. Pemda diselenggarakan secara bertingkat, yaitu Dati I, Dati II sebagai Daerah


Otonom, dan kenudian Wilayah Administatif berupa Propinsi,
Kabupaten/Kotamadya, dan Kecamatan.

20
3. DPRD baik Tingkat I maupun II dan Kotamadya merupakan bagian dari
Pemda. Prisip ini baru pertama kali dalam sejarah perjalanan Pemda di
Indonesia karena pada umumnya DPRD terpisah dari Pemda.

4. Peranan Mendagri dalam penyelenggaraan Pemda dapat dikatakan bersifat


sangat eksesif atau berlebihan yang diwujudkan dengan melakukan pembinaan
langsung terhadap Daerah.

5. UU ini memberikan tempat yang sangat terhormat dan sangat kuat kepada
Kepala Wilayah ketimbang kepada Kepala Daerah.

6.Keuangan Daerah, sebagaimana umumnya dengan UU terdahulu, diatur


secara umum saja. `UU No.5/1974 meninggalkan prinsip “otonomi yang riil
dan seluas-luasnya” dan diganti dengan prinsip ”otonomi yang nyata dan
bertanggung jawab ”

B. UU No. 22 Tahun 1999

UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ditetapkan pada 7 Mei


1999 dan berlaku efektif sejak tahun 2000. Undang-undang ini dibuat untuk
memenuhi tuntutan reformasi, yaitu mewujudkan suatu Indonesia baru,
Indonesia yang lebih demokratis, lebih adil, dan lebih sejahtera.

UU No.22 tahun 1999 membawa perubahan yang sangat fundamental


mengenai mekanisme hubungan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah
Pusat. Perubahan yang jelas adalah mengenai pengawasan terhadap Daerah.
Pada masa lampau , semua Perda dan keputusan kepala daerah harus disahkan
oleh pemerintah yang lebih tingkatannya, seperti Mendagri untuk pembuatan
Perda Provinsi/ Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah mengesahkan Perda
Kabupaten/ Daerah Tingkat II.

Dengan berlakunya UU No.22 tahun 1999, Daerah hanya diwajibkan


melaporkan saja kepada pemerintah di Jakarta. Namun, pemerintah dapat
membatalkan semua Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum atau

21
dengna peraturan puerundangan yang lebih tinggi tingkatannya atau peraturan
perundangan yang lain. (Pasal 114 ayat 1). Ada beberapa ciri khas yang
menonjol dari UU ini:

1. Demokrasi dan Demikratisasi, diperlihatkan dalam dua hal, yaitu mengenai


rekrutmen pejabat Pemda dan yang menyangkut proses legislasi di daerah.

2. Mendekatkan pemerintah dengan rakyat, titik berat otonomi daerah


diletakkan kepada Daerah Kabupaten dan Kota, bukan kepada Daerah Propinsi.

3. Sistem otonomi luas dan nyata, Pemda berwenang melakukan apa saja yang
menyangkut penyelenggaraan pemerintah, kecuali 5 hal yaitu yang
berhubungan dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan politik luar negeri,
pertahanan dan keamanan negara, moneter, sistem peradilan, dan agama.

4. Tidak menggunakan sistem otonomi bertingkat, Daerah-daerah pada tingkat


yang lebih rendah menyelenggarakan urusan yang bersifat residual, yaitu yang
tidak diselenggarakan oleh Pemda yang lebih tinggi tingkatannya.

5. No mandate without founding, penyelenggaraan tugas pemerintah di Daerh


harus dibiayai dari dana Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara.

6. Penguatan rakyat melalui DPRD, penguatan tersebut baik dalam proses


rekrutmen politik lokal, ataupun dalam pembuatan kebijakan publik di Daerah.

C. UU No. 32 Tahun 2004

Dengan diundangkannya UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,


pada tanggal 15 Oktober 2004, UU No.22 tahun 1999 dinyatakan tidak berlaku
lagi. Sebenarnya antara kedua undang-undang tersebut tidak ada perbedaan
prinsipal karena keduanya sama-sama menganut asas desentralisasi.
Pemerintah Daerah berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonnomi dan tugas pembantuan. Otonomi yang
luas, nyata, dan bertanggung jawab.

22
UU No.32 tahun 2004 mengatur hal-hal tentang; pembentukan daerah dan
kawasan khusus, pembagian urusan pemerintahan, penyelenggaraan
pemerintahan, kepegawaian daerah, perda dan peraturan kepala daerah,
perencanaan pembangunan daerah, keuangan daerah, kerja sama dan
penyelesaian perselisihan, kawasan perkotaan, desa, pembinaan dan
pengawasan, pertimbangan dalamkebijakan otonomi daerah.

Menurut UU No.32 tahun 2004 ini, negara mengakui dan menghormati satuan-
satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus dan istimewa. Sehubungan
dengan daerah yang bersifat khusus dan istimewa ini, kita mengenal adanya
beberapa bentuk pemerintahan yang lain, seperti DKI Jakarta, DI Aceh, DI
Yogyakarta, dan provinsi-provinsi di Papua.

Bagi daerah-daerah ini secara prinsip tetap diberlakukan sama dengan daerah-
daerah lain. Hanya saja dengan pertimbangan tertentu, kepada daerah-daerah
tersebut, dapat diberikan wewenang khusus yang diatur dengan undang-
undang. Jadi, bagi daerah yang bersifat khusus dan istimewa, secara umum
berlaku UU No.32 tahun 2004 dan dapat juga diatur dengan UU tersendiri.

Ada perubahan yang cukup signifikan untuk mewujudkan kedudukan sebagai


mitra sejajar antara kepala derah dan DPRD yaitu kepala daerah dan wakil
kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat dan DPRD hanya berwenang
meminta laporan keterangan pertanggung jawaban dari kepala daerah.

Di daerah perkotaan, bentuk pemerintahan terendah disebut “kelurahan”. Desa


yang ada di Kabupaten/Kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan
statusnya menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemerintah desa, bersama
Badan Permusyawaratan Desa yang ditetapkan dengan perda. Desa menjadi
kelurahan tidak seketika berubah dengan adanya pembentukan kota, begitu pula
desa yang berada di perkotaan dalam pemerintahan kabupaten.

23
UU No.32/2004 mengakui otonomi yang dimiliki desa ataupun dengan sebutan
lain. Otonomi desa dijalankan bersama-sama oleh pemerintah desa dan badan
pernusyawaratan desa sebagai perwujudan demokrasi.

D. UU No. 23 tahun 2014

UU No. 23 tahun 2014 merupakan makanan pokok bagi praja Institut


Pemerintahan Dalam Negeri yang nantinya akan dijadikan acuan dalam
bertugas di pemerintah daerah. Secara keseluruhan undang-undang tersebut
memiliki kesamaan dengan UU No. 32 tahun 2004 namun ada beberapa pasal
yang mengalami perubahan. Kemudian ditambahkan, prinsip secara umum atau
garis besar UU Nomor 23 tahun 2014 ini merupakan kombinasi UU Nomor 5
tahun 1974 dan UU Nomor 32 tahun 2004. Sehingga fungsi Gubernur bukan
hanya sebagai kepala daerah melainkan juga sebagai kepala wilayah .

Di sisi lain, pada pasal 2 dinyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik


Indonesia ( NKRI ) dibagi atas daerah provinsi, provinsi dibagi atas daerah
kabupaten dan kota, kabupaten/kota dibagi atas kecamatan dan kecamatan
dibagi atas kelurahan dan/atau desa. Jadi, pasal ini menegaskan bahwa atasan
kepala desa/lurah adalah camat, atasan camat adalah bupati/walikota, dan
seterusnya. karna melaksanakan urusan pemerintahan umum. Bupati dan
walikota melibatkan urusan pemerintahan umum kepada camat, otomatis camat
merupakan kepala wilayah.

24
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh


pemerintahan daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Berbagai argument dan penjelasan mengenai fungsi Pemerintah Daerah


yaitu :

• Untuk terciptanya efisiensi-efektivas penyelenggaraan pemerintahan.

• Sebagai sarana pendidikan politik.

• Pemerintahan daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan.

• Stabilitas politik, Sharpe berargumentasi bahwa stabilitas politik nasional


mestinya berawal dari stabilitas politik pada tingkat lokal

• Kesetaraan politik (political equality).

• Akuntabilitas publik.

3. Tujuan dari Pemerintah Daerah adalah:

• mencegah pemusatan keuangan

• sebagai usaha pendemokrasian Pemerintah Daerah untuk mengikutsertakan


rakyat bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pemerintahan.

• Penyusunan program-program untuk perbaikan sosial ekonomi pada tingkat


local sehingga dapat lebih realistis.

25
4. Alasan pentinya di bentuk Pemerintah Daerah Ialah:

• Kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini sangat terpusat di Jakarta.


Sementara itu pembangunan di beberapa wilayah lain di lalaikan

• Pembagian kekayaan secara tidak adil dan merata

• Kesenjangan sosial (dalam makna seluas-luasnya) antara satu daerah dengan


daerah lain sangat terasa.

5. Sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan


Daerah, banyak aspek positif yang diharapkan dalam pemberlakuan Undang-
Undang tersebut. Otonomi Daerah dapat membawa perubahan positif di daerah
dalam hal kewenangan daerah untuk mengatur diri sendiri.

26
DAFTAR PUSTAKA

http://hitamandbiru.blogspot.com/2012/08/perbandingan-undang-undang-nomor-
5.html#ixzz3Vk1gSlwU

http://hitamandbiru.blogspot.com/2012/08/perbandingan-undang-undang-nomor-
5.html

http://brainly.co.id/tugas/1723432

Google:http//www.otonomidaerah.com. “latar belakang munculnya otonomi daerah.”

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

Widarta.2001. Cara Mudah Memahami Otonomi Daerah. Jakarta : Larela Pustaka


Utama

27

Anda mungkin juga menyukai