Anda di halaman 1dari 10

1.

Definisi
Initial assessment adalah untuk memprioritaskan pasien dan
menberikan penanganan segera. Informasi digunakan untuk membuat
keputusan tentang intervensi kritis dan waktu yang dicapai. Primary survey
merupakan pengkajian cepat dan tepat untuk mengidentifikasi dengan segera
masalah actual / potensial dari kondisi life threatening (berdampak terhadap
kemampuan pasien untuk mempertahankan hidup). Primary Survey adalah
mengatur pendekatan ke klien sehingga klien segera dapat diidentifikasi dan
tertanggulangi dengan efektif. Pemeriksaan Primary Survey berdasarkan
standar A-B-C dan D-E, dengan airway (A: jalan nafas), breathing (B:
Pernafasan), circulation (C: Sirkulasi, disability (D: Ketidakmampuan), dan
Exposure (E: Penerapan)
Penelitian Iswanto (2009) menunjukkan bahwa masih kurangnya
tingkat pengetahuan perawat tentang BLS dan mempengaruhi penanganan pada
pasien yang memerlukan tindakan yang cepat. Hasil ini menunjukkan bahwa
pentingnya pelatihan gawat darurat untuk perawat agar skill perawat menjadi
lebih baik. Hasil penelitian Muzaki (2012) menunjukkan tidak adanya
pengaruh pada pelatihan Basic Life Support terhadap pelaksanaan Primary
Survey pada perawat Instalasi Gawat Darurat (IGD)
2. Tujuan
a. Menentukan prioritas penilaian pada penderita multi trauma.
b. Menerapkan prinsip primary survei dan secondary survey pada
penderita multi trauma.
c. Menerapkan cara dan teknik terapi baik pada fase resusitasi.
d. Mengenal riwayat dan mekanisme cidera dalam membantu diagnosis
3. Komponen
Initial assesment meliputi :
1. Persiapan penderita
2. Triage
3. Survey primer (ABCDE)
4. Resusitasi
5. Pemeriksaan penunjang untuk survey primer
6. Survey sekunder (Head to Toe & anamnesis)
7. Pemeriksaan penunjang untuk survey sekunder
8. Pengawasan dan evaluasi ulang
9. Terapi definitif
Urutan dari initial assessment diterapkan secara berurutan atau sekuensial,
akan tetapi dalam praktek sehari-hari dapat dilakukan secara bersamaan atau
simultan.
1. Persiapan penderita
Persiapan pada penderita berlangsung dalam dua fase yang berbeda,
yaitu fase pra rumah sakit / pre hospital, dimana seluruh penanganan
penderita berlangsung dalam koordinasi dengan dokter di rumah sakit.
Fase kedua adalah fase rumah sakit/hospital dimana dilakukan persiapan
untuk menerima penderita sehingga dapat dilakukan resusitasi dengan
cepat.
a. Tahap Pra Rumah Sakit
Pelayanan korban dengan trauma pra rumah sakit biasanya
dilakukan oleh keluarga ataupun orang sekitar yang berbaik hati
menolong ( good samaritan ). Prinsip utama adalah tidak boleh
membuat keadaan lebih parah ( Do no Further Harm ).
Keadaan yang ideal adalah dimana unit gawat darurat yang datang
ke penderita sehingga ambulans harus memiliki peralatan yang
lengkap. Petugas yang datang adalah petugas khusus yang telah
mendapatkan pelatihan kegawatdaruratan. Selain itu, diperlukan
koordinasi dengan rumah sakit tujuan terhadap kondiri/ jenis
perlukaan sebelum penderita dipindahkan dari tempat kejadian. Hal
ini sangat penting mengingat koordinasi yang baik antara petugas
lapangan dengan petugas di rumah sakit akan menguntungkan
penderita.
Tindakan yang harus dilakukan oleh petugas lapangan/ paramedik
adalah:
1. Menjaga airway dan breathing.
2. Mengontrol perdarahan dan syok.
3. Imobilisasi penderita.
4. Pengiriman ke rumah sakit terdekat/ tujuan dengan segera.

b. Tahap Rumah Sakit


Pada fase rumah sakit perlu dilakukan perencanaan sebelum
penderita tiba, sebaiknya ada ruangan khusus resusitasi serta
perlengkapan airway (laringoskop, endotracheal tube) yang sudah
dipersiapkan. Selain itu, perlu dipersiapkan cairan kristaloid (mis :
RL) yang sudah dihangatkan, perlengkapan monitoring serta tenaga
laboratorium dan radiologi. Semua tenaga medik yang
berhubungan dengan penderita harus dihindarkan dari
kemungkinan penularan penyakit menular dengan cara
penganjuran menggunakan alat-alat protektif seperti masker/face
mask, proteksi mata/google, baju kedap air, sepatu dan sarung
tangan kedap air.

2. Triage
Triage adalah cara pemilahan penderita berdasarkan kebutuhan
terapai dan sumber daya yang tersedia Terapi didasarkan pada prioritas
ABC (Airway dengan kontrol vertebra servikal), Breathing, dan
Circulation dengan kontrol perdarahan.
Triage juga berlaku untuk pemilahan penderita di lapangan dan
rumah sakit yang akan dirujuk. Dua jenis keadaan triase yang dapat
terjadi:
a. Multiple Casualties
Musibah massal dengan jumlah penderita dan beratnya perlukaan
tidak melampaui kemampuan rumah sakit. Dalam keadaan ini
penderita dengan masalah yang mengancam jiwa dan multi trauma
akan dilayani terlebih dahulu.
b. Mass Casualties
Musibah massal dengan jumlah penderita dan beratnya luka
melampaui kemampuan rumah sakit. Dalam keadaan ini yang akan
dilakukan penanganan terlebih dahulu adalah penderita dengan
kemungkinan survival yang terbesar, serta membutuhkan waktu,
perlengkapan dan tenaga yang paling sedikit.

3. Survey primer (ABCDE)


Primary survey dilakukan untuk menilai keadaan penderita dan
prioritas terapi berdasarkan jenis perlukaan, tanda-tanda vital dan
mekanisme trauma. Pada primary survey dilakukan usaha untuk
mengenali keadaan yang mengancam nyawa terlebih dahulu dengan
berpatokan pada urutan berikut :
A : Airway
Yang pertama kali harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Hal ini
meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang disebabkan oleh
benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maxilla, fraktur
laring/trakhea. Usaha uhtuk membebaskan airway harus melindungi
vertebra servikal (servical spine control), dimulai dengan melakukan
chin lift atau jaw trust. Jika dicurigai ada kelainan pada vertebra
servikalis berupa fraktur maka harus dipasang alat immobilisasi serta
dilakukan foto lateral servikal.
Pemasangan airway definitif dilakukan pada penderita dengan
gangguan kesadaran atau GCS (Glasgow Coma Scale) ≤ 8, dan pada
penderita dengan gerakan motorik yang tidak bertujuan.
B : Breathing
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi
yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan
diafragma. Dada penderita harus dibuka untuk melihat ekspansi
pernafasan dan dilakukan auskultasi untuk memastikan masuknya udara
ke dalam paru. Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah
dalam rongga pleura. Sedangkan inspeksi dan palpasi dapat
memperlihatkan kelainan dinding dada yang mungkin mengganggu
ventilasi.
Trauma yang dapat mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat
adalah tension pneumothoraks, flailchest dengan kontusio paru dan open
pneumotoraks. Sedangkan trauma yang dapat mengganggu ventilasi
dengan derajat lebih ringan adalah hematothoraks, simple pneumothoraks,
patahnya tulang iga, dan kontusio paru.
C : Circulation
1. Volume darah dan cardiac output
Perdarahan merupakan sebab utama kematian yang dapat
diatasi dengan terapi yang cepat dan tepat di rumah sakit. Suatu
keadaan hipotensi pada trauma harus dianggap disebabkan oleh
hipovolemia sampai terbukti sebaliknya. Dengan demikian maka
diperlukan penilaian yang cepat dari status hemodinamik penderita
yang meliputi :
a. Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat
berkurang yang mengakibatkan penurunan kesadaran.
b. Warna kulit
Wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang
pucat meruoakan tanda hipovolemia.
c. Nadi
Perlu dilakukan pemeriksaan pada nadi yang besar
seperti arteri femoralis atau arteri karotis kiri dan kanan untuk
melihat kekuatan nadi, kecepatan, dan irama. Nadi yang tidak
cepat, kuat, dan teratur, biasanya merupakan tanda
normovolemia. Nadi yang cepat dan kecil merupakan tanda
hipovolemia, sedangkan nadi yang tidak teratur merupakan
tanda gangguan jantung. Apabila tidak ditemukan pulsasi dari
arteri besar maka merupakan tanda perlu dilakukan resusitasi
segera.
d. Perdarahan
Perdarahan eksternal dihentikan dengan penekanan pada
luka. Sumber perdarahan internal adalah perdarahan dalam
rongga thoraks, abdomen, sekitar fraktur dari tulang panjang,
retroperitoneal akibat fraktur pelvis, atau sebgai akibat dari
luka dada tembus perut.
D : Disability/neurologic evaluation
Pada tahapan ini yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran
dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat atau level cedera
spinal. GCS / Glasgow Coma Scale adalah sistem skoring sederhana dan
dapat meramal outcome penderita. Penurunan kesadaran dapat
disebabkan oleh penurunan oksigenasi atau/dan penurunan perfusi ke
otak, atau disebabkan trauma langsung.
E : Exposure/environmental
Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, biasanya dengan
cara menggunting dengan tujuan memeriksa dan mengevaluasi penderita.
Setelah pakaian dibuka penderita harus diselimuti agar tidak kedinginan.
4. Resusitasi
Resusitasi yang agresif dan pengelolaan cepat pada yang mengancam
nyawa merupakan hal yang mutlak bila ingin penderita tetap hidup.
a. Airway
Pada penderita yang masih sadar dapat dipakai nasofaringeal
airway. Bila penderita tidak sadar dan tidak ada refleks batuk (gag
refleks) dapat dipakai orofaringeal airway.

b. Breathing
Kontrol jalan nafas pada penderita yang airway terganggu karena
faktor mekanik, ada gangguan ventilasi dan atau ada gangguan
kesadaran, dicapai dengan intubasi endotrakheal baik oral maupun nasal.
Surgical airway / krikotiroidotomi dapat dilakukan bila intubasi
endotrakheal tidak memungkinkan karena kontraindikasi atau karena
masalah teknis.
c. Circulation
Bila ada gangguan sirkulasi harus dipasang minimal dua IV line.
Kateter IV yang dipakai harus berukuran besar. Pada awalnya
sebaiknya menggunakan vena pada lengan. Selain itu bisa juga
digunakan jalur IV line yang seperti vena seksi atau vena sentralis. Pada
saat memasang kateter IV harus diambil contoh darah untuk
pemeriksaan laboratorium rutin serta pemeriksaan kehamilan pada
semua penderita wanita berusia subur.
Pada saat datang penderita diinfus cepat dengan 2-3 liter cairan
kristaloid, sebaiknya Ringer Laktat. Bila tidak ada respon, berikan
darah segulungan atau (type specific). Jangan memberikan infus RL dan
transfusi darah terus menerus untuk terapi syok hipovolemik. Dalam
keadaan harus dilakukan resusitasi operatif untuk menghentikan
perdarahan.
5. Pemeriksaan penunjang untuk survey primer
a. Monitor EKG
Monitoring hasil resusitasi didasarkan pada ABC penderita.
1) Airway seharusnya sudah diatasi.
2) Brathing: pemantauan laju nafas ( sekaligus pemantauan airway
) dan bila ada pulse oximetry.
3) Circulation: nadi, tekanan nadi, tekanan darah, suhu tubuh dan
jumlah urine setiap jam. Apabila ada sebaiknya terpasang
monitor EKG.
4) Disability: nilai tingkat kesadaran penderita dan adakah
perubahan pupil
b. Kateter urin dan lambung
1) Kateter uretra
Produksi merupakan indikator yang peka untuk menilai
keadaan perkusi ginjal dan hemodinamik penderita. Kateter
urin jangan dipasang jika dicurigai ada ruptur uretra yang
ditandai dengan :
a) Adanya darah di orifisium uretra eksterna (metal bleeding)
b) Hematom di skrotum atau perineum
c) Pada Rectal Toucher, prostat letak tinggi atau tidak teraba.
d) Adanya fraktur pelvis.
Bila dicurigai ruptur uretra harus dilakukan uretrogram
terlebih dahulu.

2) Kateter lambung atau NGT


Kateter lambung dipakai untuk mengurangi distensi
lambung dan mencegah muntah. Isi lambung yang pekat akan
mengakibatkan NGT tidak berfungsi. Pemasangan NGT dapat
mengakibatkan muntah. Darah dalam lambung dapat
disebabkan darah tertelan, pemasangan NGT yang traumatik
( ada perlukaan lambung). Apabila lamina fibrosa patah
( fraktur basis kranii anterior ), kateter lambung harus dipasang
melalui mulut untuk mencegah masukknya NGT dalam rongga
otak.

c. Pemeriksaan rontgen dan pemeriksaan tambahan lainnya


Pemeriksaan foto rontgen harus selektif, dan jangan
menghambat proses resusitasi. Foto toraks dan pelvis dapat
mengenali kelainan yang mengancam nyawa, dan foto pelvis dapat
menunjukkan adanya fraktur pelvis.
Pemeriksaan DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage) dan
USG abdomen merupakan pemeriksaan bermanfaat untuk
menentukan adanya perdarahan intraabdomen.

6. Survey sekunder (Head to Toe & anamnesis)


Survey sekunder adalah pemeriksaan teliti yang dilakukan dari
ujung rambut sampai ujung kaki, dari depan sampai belakang dan
setiap lubang dimasukkan jari ( tube finger in every orifice ). Survey
sekunder hanya dilakukan apabila penderita telah stabil. Keadaan stabil
yang dimaksud adalah keadaan penderita sudah tidak menurun,
mungkin masih dalam keadaan syok tetapi tidak bertambah berat.
Suvey sekunder harus melalui pemeriksaan yang teliti pada setiap
lubang alami ( tubes and finger in every orifice )
a. Anamnesis
Anamnesis harus lengkap karena akan memberikan gambaran
mengenai cedera yang mungkin diderita. Beberapa contoh yang
dapat dilhat sebagai berikut:
1) Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk
pengaman mengalami: cedera wajah, maksilofacial, servikal,
thoraks, abdomen dan tungkai bawah.
2) Jatuh dari pohon setinggi 6 meter: perdarahan intrakranial,
fraktur servikal atau vertebra lain, fraktur ekstrimitas.
3) Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan
CO.
Anamnesis juga harus meliputi anamnesis AMPLE.
Riwayat AMPLE didapatkan dari penderita, keluarga ataupun
petugas pra- RS yaitu:
A : alergi
M : medikasi/ obat-obatan
P : penyakit sebelumnya yang diderita ( misalnya hipertensi,
DM )
L : last meal ( terakhir makan jam berapa )
E : events, yaitu hal-hal yang bersangkitan dengan sebab dari
cedera.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi, auskultasi, palpasi dan
perkusi.
1) Kulit Kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Seringkali penderita tampak
mengalami cedera ringan dan ternyata terdapat darah yang
berasal dari belakang kepala. Lakukan inspeksi dan palpasi
seluruh kepala dan wajah untuk melihat adanya laserasi,
kontusio, fraktur dan luka termal.
2) Wajah
Apabila cedera terjadi disekitar mata jangan lalai dalam
memeriksa mata karena apabila terlambat akan terjadi
pembengkakan pada mata sehingga pemeriksaaan sulit
dilanjutkan. Lakukan Re-Evaluasi kesadaran dengan skor GCS.
a) Mata: periksa kornea mata ada cedera atau tidak, pupil :
reflek terhadap cahaya, pembesaran pupil, visus
b) Hidung: apabila terdapat pembengkakan lakukan
palpasi akan kemungkinan krepitasi dari suatu fraktur.
c) Telinga: periksa dengan senter mengenai keutuhan
membran timpani atau adanya hemotimpanum.
d) Rahang atas: periksa stabilitas rahang atas.
e) Rahang Bawah: periksa akan adanya fraktur.
3) Vertebra Servikalis dan Leher
Pada saat memeriksa leher, kolar terpaksa dilepas. Jangan
lupa untuk melakukan fiksasi pada leher dengan bantuan
petugas lain. Periksa adanya cedera tumpul atau tajam. Deviasi
trakea dan simetri pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris dan
proteksi servikal. Jaga airway, pernafasan dan oksigenasi.
Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder.
4) Thoraks
Pemeriksaan dilakukan dengan look, listen, feel.
Inspeksi : dinding dada bagian depan, samping dan belakang
untuk adanya trauma tumpul/ tajam, pemakaian otot pernafasan
tambahan dan ekspansi torak bilateral.
Auskultasi: lakukan auskultasi pada bagian depan untuk bising
nafas ( bilateral ) dan bising jantung.
Palpasi: lakukan palpasi pada seluruh dinding dada untuk
adanya traumatajam/ tumpul, emfisema subkutan, nyeri tekan
dan krepitasi.
Perkusi: lakukan perkusi untuk mengetahui adanya hipersonor
dan keredupan.
5) Abdomen
Cedera intraabdomen biasanya sulit terdiagnosa , berbeda
dengan keadaan cedera kepala yang ditandai dengan
penurunan kesadaran, fraktur vertebrae dengan kelumpuhan (
penderita tidak sadar akan keluhan nyeri perutnya dan defans
otot/ nyeri tekan).
Inspeksi: inspeksi abdomen bagian depan dan belakang untuk
melihat adanya trauma tajam, tumpul dan adanya perdarahan
internal.
Auskultasi: auskultasi bising usus untuk mengetahui adanya
penurunan bising usus.
Palpasi: palpasi abdomen untuk mengetahui adanya nyeri
tekan, defans muskuler, nyeri lepas yang jelas.
Perkusi:lakukan perkusi mengetahui adanya nyeri ketok, bunyi
timpani akibat dilatasi lambung akut atau redup bila ada
hemoperitoneum.
Apabila ragu-ragu mengenai perdarahan intrabdomen dapat
dilakukan pemeriksaan DPL ataupun USG.
6) Pelvis
Cedera pelvis yang berat akan tampak pada pemeriksaan
fisik ( pelvis menjadi tidak stabil). Pada cedera berat ini,
kemungkinan penderita akan masuk dalam keadaan syok yang
harus segera diatasi. Bila ada indikasi lakukan pemasangan
PASG/ gurita untuk kontrol perdarahan dari fraktur pelvis.
7) Ektrimitas
Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat
inspeksi, jangan lupa untuk memeriksa adanya luka dekat
daerah fraktur terbuka, pada saat palpasi jangan lupa untuk
memeriksa denyut nadi distal dari fraktur dan jangan
dipaksakan untuk bergerak apabila sudah jelas mengalami
fraktur. Sindroma kompartemen ( tekanan intrakompartemen
dalam ekstrimitas meninggi sehingga membahayakan aliran
darah) mungkin akan luput dari diagnosis pada penderita yang
mengalami penurunan kesadaran.
8) Bagian Punggung
Periksa punggung dengan long roll ( memiringkan
penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh).

7. Pemeriksaan penunjang untuk survey sekunder


Pada secondary survey pertimbangkan perlunya diadakan
pemeriksaan tambahan seperti foto tambahan, CT-scan, USG,
endoskopi dsb.

8. Pengawasan dan evaluasi ulang


Penilaian ulang penderit dengan mencatat, melaporkan setiap
perubahan pada kondisi penderita dan respon terhadap resusitasi.
Monitoring tanda-tanda vital dan jumlah urine.
9. Terapi definitif
Terapi definitif pada umumnya merupakan porsi dari dokter
spesialis bedah. Tugas dokter yang melakukan penanganan pertama
adalah untuk melakukan resusitasi dan stabilisasi serta menyiapkan
penderita untuk dilakukannya tindakan definitive atau untuk dirujuk.
Proses rujukan harus sudah dimulai saat alas an untuk merujuk
ditemukan, karena menunda rujukan akan meninggikan morbiditas dan
mortalitas penderita. Keputusan untuk merujuk penderita didasarkan
atas data fisioligis penderita, cedera anatomis, mekanisme perlukaan,
penyakit penyerta serta factor- faktor yang dapat mengubah prognosis.
Idealnya dipilih rumah sakit terdekat yang cocok dengan kondisi
penderita. Tentukan indikasi rujukan, prosedur rujukan, kebutuhan
penderita selama perjalanan dan cara komunikasi dengan dokter yang
akan dirujuk.

Anda mungkin juga menyukai