Anda di halaman 1dari 37

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN HIV DENGAN

STIGMATISASI HIV DI RW 8 WILAYAH PUSKESMAS KELURAHAN


PEKOJAN 2

OLEH
dr. Lyon Clement

PEMBIMBING
dr. Irma Melina

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
PUSKESMAS KELURAHAN PEKOJAN 2
2020
HALAMAN PERSETUJUAN

Laporan mini project ini dibuat oleh dr. Lyon Clement sebagai salah satu persyaratan dalam
kelengkapan program internship.

Judul laporan : Hubungan antara Tingkat Pengetahuan HIV dengan Stigmatisasi HIV di RW 8
Wilayah Puskesmas Kelurahan Pekojan 2

Laporan ini telah disetujui oleh pembimbing program internship di Puskesmas Kelurahan
Pekojan 2.

Pembimbing : dr. Irma Melina


Tanda tangan :

Tanggal : Januari 2020

2
DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN..................................................................................... 2
DAFTAR ISI................................................................................................................ 3
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................................... 5
1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 5
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................... 6
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................................ 6
1.4 Manfaat Penelitian .......................................................................................... 7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 8
2.1 HIV/AIDS .......................................................................................................... 8
2.1.1 Definisi ........................................................................................................ 8
2.1.2 Cara Penularan dan Faktor Risiko .............................................................. 8
2.1.3 Patogenesis dan Gejala Klinis... .................................................................. 9
2.1.4 Diagnosis................................................................................................... 11
2.1.5 Penatalaksanaan Diabetes Melitus ............................................................ 12
2.1.6 Pencegahan ............................................................................................... 14
2.2 Pengetahuan ..................................................................................................... 14
2.3 Stigmatisasi ...................................................................................................... 15
2.4 Data Wilayah Puskesmas Pekojan 2 ................................................................ 17
2.4.1 Keadaan Geografis .................................................................................... 17
2.4.2 Data Kepegawaian .................................................................................... 17
2.4.3 Data 10 Penyakit Terbanyak Tahun 2018 ................................................. 17
BAB 3 METODE PENELITIAN .............................................................................. 18
3.1 Desain Penelitian ............................................................................................. 18
3.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian .......................................................................... 18
3.3 Populasi dan Subjek Penelitian ........................................................................ 18
3.4 Kriteria Pemilihan Subjek Penelitian ............................................................... 18
3.5 Teknik Pengambilan Sampel ........................................................................... 19
3.6 Teknik Pengumpulan Data dan Intervensi Penelitian ...................................... 19
3.7 Teknik Pengolahan dan Analisa Data .............................................................. 20
BAB 4 HASIL............................................................................................................ 22
4.1 Karakteristik Responden ................................................................................. 22
4.2 Analisis Univariat ............................................................................................ 22
4.3 Analisis Bivariat............................................................................................... 25
BAB 5 DISKUSI........................................................................................................ 28

3
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 30
6.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 30
6.2 Saran ................................................................................................................ 30
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 31
LAMPIRAN ............................................................................................................... 33

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Acquired Immunodeficiency Syndrome atau lebih dikenal dengan istilah AIDS
merupakan penyakit yang menyebabkan penurunan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan
oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). (Caroll, et al., 2016). Morbiditas dan mortalitas
pada AIDS terjadi akibat infeksi oportunistik yang muncul pada individu dengan system
kekebalan tubuh yang rendah. (Jameson, et al., 2016). HIV/AIDS merupakan salah satu pandemi
pada masyarakat modern dan menjadi salah satu masalah nasional maupun internasional.
dikarenakan HIV/AIDS meluas dengan cepat di seluruh dunia, menyerang berbagai golongan usia,
jenis kelamin, dan pekerjaan. (Nasronudin, 2007)
Pada akhir tahun 2018, secara global, 37,9 juta penduduk menderita HIV. 700.000 penduduk
di antaranya meninggal karena infeksi oportunistik dan komplikasinya. Namun demikian, hanya
24,5 juta penduduk yang mendapatkan akses pengobatan antiretroviral di akhir bulan Juni 2019.
(UNAIDS, 2019). Sementara itu, di Indonesia, jumlah kasus HIV yang dilaporkan dari tahun 2005
sampai dengan tahun 2019 mengalami kenaikan tiap tahunnya. Jumlah kumulatif kasus HIV yang
dilaporkan sampai dengan Juni 2019 sebanyak 349.882 penduduk (60,7% dari estimasi ODHA
tahun 2016 sebanyak 640.443 penduduk). Secara kumulatif, provinsi dengan jumlah kasus HIV
tertinggi di Indonesia adalah DKI Jakarta yaitu sebanyak 62.108 penduduk. (Kemenkes, 2019).
Salah satu tantangan dalam pengendalian HIV adalah stigmatisasi sosial dan
diskriminasi. Tantangan tersebut tidak hanya mempercepat penyebaran epidemi HIV, tetapi
juga berdampak pada respon pengobatan penderita HIV melalui isolasi sosial, stress emosional,
penolakan dari aspek sosial dan ekonomi. Walaupun ilmu tentang HIV dan penanggulangannya
sudah sangat berkembang, penelitian membuktikan bahwa stigmatisasi dan diskriminasi
terhadap penderita HIV masih terjadi dalam ruang lingkup interpersonal, komunitas, dan dalam
lingkp pelayanan kesehatan (Tran, et al., 2019). Tantangan ini ditemukan secara global baik
pada negara berkembang ataupun negara maju seperti Kanada sekalipun (Wagner, et al., 2017).
Analisis Riskesdas dan Susenas 2007 yang diterapkan oleh Oktaviani, et al. untuk
mengukur sikap stigma masyarakat Indonesia dengan empat pertanyaan, yaitu 1) setuju atau
tidak tentang merahasiakan, membicarakan dengan anggota keluarga lain, 2) konseling dan
pengobatan, 3) mencari pengobatan alternatif, dan 4) mengucilkan bila ada anggota keluarga
yang menderita HIV mengemukakan bahwa 62,7% responden bersikap dan berperilaku
stigmatisasi, diduga karena masih rendahnya pengetahuan mengenai HIV di Indonesia

5
(Oktaviani, et al. 2009). Fakta ini juga didukung oleh analisis SDKI 2012 yang dilakukan oleh
Situmeang, et al. yang menunjukkan bahwa 71,63% remaja di Indonesia masih mempunyai
stigma terhadpa ODHA dan 49,1% memiliki pengetahuan tentang HIV yang kurang.
Oleh karena itu, peneliti ingin berkontribusi untuk memberikan intervensi dalam rangka
meningkatkan pengetahuan dan menurunkan stigmatisasi mengenai HIV, sekaligus meneliti
mengenai hubungan antara pengetahuan dan stigmatisasi yang terjadi di masyarakat,
khususnya pada warga RW 8 wilayah Kecamatan Pekojan 2. Hal ini dilakukan dengan
merealisasikan penelitian mengenai hubungan antara pengetahuan dengan stigmatisasi HIV
yang dilakukan di Posyandu RW 8 wilayah Kecamatan Pekojan 2 untuk menjangkau
masyarakat di RW 8.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang penelitian, maka dapat ditentukan rumusan-rumusan
masalah berikut ini:
 Bagaimana hubungan antara pengetahuan dan stigmatisasi HIV pada warga yang
datang ke posyandu RW 8 wilayah Kecamatan Pekojan 2?
 Apakah terdapat perbedaan tingkat pengetahuan HIV pada warga yang datang ke
posyandu RW 8 wilayah Kecamatan Pekojan 2, sebelum dan sesudah intervensi
dilakukan?
 Apakah terdapat perbedaan sikap stigmatisasi HIV pada warga yang datang ke
posyandu RW 8 wilayah Kecamatan Pekojan 2, sebelum dan sesudah intervensi
dilakukan?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Tujuan Umum
 Mengetahui hubungan antara pengetahuan dan stigmatisasi HIV pada warga yang
datang ke posyandu RW 8 wilayah Kecamatan Pekojan 2.
 Mengetahui ada tidaknya perbedaan tingkat pengetahuan dan stigmatisasi HIV pada
warga yang datang ke posyandu RW 8 wilayah Kecamatan Pekojan 2, sebelum dan
sesudah intervensi dilakukan.
2. Tujuan Khusus
 Mengetahui karakteristik demografi warga yang datang ke posyandu RW 8 wilayah
Kecamatan Pekojan 2 meliputi usia, jenis kelamin, agama, dan tingkat pendidikan.

6
 Mengetahui akses warga yang datang ke posyandu RW 8 wilayah Kecamatan Pekojan
sa terhadap informasi mengenai HIV.
 Mengetahui tingkat pengetahuan HIV pada warga yang datang ke posyandu RW 8
wilayah Kecamatan Pekojan 2, sebelum dan sesudah intervensi dilakukan.
 Mengetahui bagaimana sikap stigmatisasi HIV pada warga yang datang ke posyandu
RW 8 wilayah Kecamatan Pekojan 2, sebelum dan sesudah intervensi dilakukan.

1.4 Manfaat Penelitian


1. Bagi Penulis
Sebagai informasi tambahan bagi penulis mengenai pengendalian HIV/AIDS di
wilayah kerja Puskesmas Pekojan 2, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, DKI Jakarta.
2. Bagi Masyarakat
Sebagai informasi bagi masyarakat agar menyadari pentingnya menghindari
stigmatisasi dalam rangka menekan penyebaran HIV, sehingga dapat menurunkan
angka morbiditas dan mortalitas akibat HIV.
3. Bagi Tenaga Kesehatan
Sebagai informasi tambahan bagi puskesmas pekojan 2 agar dapat
meningkatkan program penyuluhan dan edukasi untuk meningkatkan pengetahuan dan
menurunkan stigmatisasi HIV di wilayah kerja Puskesmas Pekojan 2, Kecamatan
Tambora, Jakarta Barat, DKI Jakarta.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 HIV/AIDS
2.1.1 Definisi
HIV atau Human Immunodeficiency Virus, adalah virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS (Acquired Immunodeficiency
Syndrome). AIDS dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh
menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi HIV. Sistem kekebalan tubuh yang menurun
menyebabkan meningkatnya kerentanan terhadap infeksi oportunistik yang menimbulkan
morbiditas dan mortalitas pada penderita AIDS. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.
(Carroll, et al. 2016).
2.1.2 Cara Penularan dan Faktor Risiko
HIV hanya dapat ditularkan kepada seseorang melalui cairan darah, semen, cairan
vagina, cairan rektal dan ASI dari ibu yang terinfeksi HIV ke anak. Cairan ini harus kontak
dengan membran mukosa atau jaringan yang rusak atau langsung disuntikan ke dalam aliran
darah seperti dari jarum suntik. (CDC, 2014).
Penularan HIV yang utama adalah melalui:
1. Hubungan seksual, baik secara vaginal atau anal tanpa menggunakan kondom.
2. Memiliki banyak partner dalam hubungan seksual atau memiliki infeksi menular
seksual lain dapat meningkatkan resiko infeksi saat hubungan seksual.
3. Penggunaan jarum suntik secara bergantian.
Sementara itu, penularan HIV yang jarang adalah melalui:
a. Penularan melalui ibu yang terinfeksi HIV. HIV dapat ditularkan dari ibu kepada anak
saat mengandung, saat melahirkan dan pemberian ASI.
b. Menerima transfusi darah atau transplantasi organ yang terkontaminasi dengan HIV.
c. Makan makanan yang telah dikunyah oleh orang yang terinfeksi HIV.
d. Digigit oleh orang yang terinfeksi HIV. Penularan melibatkan trauma berat dengan
kerusakan jaringan yang luas dan adanya darah. Tidak ada resiko penularan jika kulit
tidak rusak.
e. Hubungan seks oral dan proses ejakulasi pada mulut dari orang yang terinfeksi HIV.
f. Kontak antara kulit rusak, luka, atau selaput lendir dan darah yang terinfeksi HIV atau
cairan tubuh darah yang terkontaminasi.
g. Berciuman dengan mulut terbuka jika orang dengan HIV memiliki luka atau gusi
berdarah.

8
h. Tato atau “body piercing” jika jarum tidak diganti.
Namun demikian, HIV tidak dapat ditularkan melalui:
1. Kontak kasual seperti berjabat tangan, memeluk, penggunaan kamar mandi yang
sama, penggunaan piring dan gelas yang sama dan “social kissing” (berciuman sambil
mulut tertutup).
2. Udara
3. Air liur dan air mata
4. Gigitan serangga misalnya nyamuk
5. Makanan dan Minuman
Untuk semua cara penularan tersebut, viral load pada ODHA yang tinggi berhubungan
dengan risik penularan yang lebih besar pula. Viral load bergantung pada beberapa factor,
antara lain diobati atau tidaknya dengan ARV dan stadium klinis. Individu dengan viral load
yang tersupresi secara konstan tidak berisiko menularkan HIV ke individu lain.
Faktor risiko bagi individu yang tertular dapat dibagi menjadi tiga jenis faktor risiko,
antara lain faktor risiko hubungan seksual, kontak darah, dan faktor risiko perinatal. Faktor
risiko yang termasuk faktor risiko hubungan seksual antara lain:
1. Perilaku seksual, di mana hubungan anal lebih berisiko tinggi dibandingkan hubungan
vaginal, dan pihak reseptif lebih berisiko tinggi dibandingkan pihak insertif.
2. Laki-laki yang tidak disirkumsisi
3. Adanya infeksi menular seksual lainnya
4. Faktor genetik
5. Penggunaan kontrasepsi hormonal, yaitu DMPA diduga dapat meningkatkan risiko
tertular HIV, namun belum dapat dipastikan.
Sementara itu, faktor risiko yang termasuk faktor risiko kontak darah secara berturut-
turut dari risiko tertinggi adalah transfusi darah, penggunaan jarum suntik bergantian, tertusuk
jarum ke kulit, paparan membrane mukosa dengan darah, atau gigian dari penderita yang
menyebabkan perdarahan. Terakhir, seorang anak yang lahir dari ibu HIV menerima faktor
risiko perinatal melalui 3 cara yaitu pada saat berada dalam kandungan, saat dilahirkan, dan
saat menerima ASI dari ibu HIV yang tidak mendapatkan pengobatan ARV.
2.1.3 Patogenesis dan Gejala Klinis
Meskipun berbagai sel dapat menjadi target dari HIV, namun target utama infeksi HIV
yaitu sistem imunitas tubuh. Mekanisme utama infeksi HIV adalah melalui perlekatan selubung
glikoprotein virus gp120 pada molekul CD4 dengan bantuan koreseptor kemokin CCR5 dan
CXCR4. Molekul CD4 paling banyak terdapat pada sel limfosit T helper, namun sel lain seperti

9
makrofag dan sel dendritik dapat juga terinfeksi HIV melalui reseptor kemokin. Partikel virus
yang terinfeksi akan terbentuk pada saat sel limfosit T teraktivasi. Partikel HIV yang berikatan
dengan molekul CD4 dan reseptor kemokin akan kemudian masuk ke sel hospes melalui fusi
antara membran virus dengan membran sel hospes dengan bantuan gp41 yang terdapat pada
permukaan virus. Virus yang masuk ke sel inang kemudian mengadakan transkripsi balik
membentuk DNA provirus yang kemudian diintegrasikan ke genom sel inang.
Aktivasi sel T CD4+ akan mengakibatkan aktivasi provirus. Karena protein virus
dibentuk dalam sel hospes, maka membran plasma sel hospes akan disisipi oleh glikoprotein
virus yaitu gp41 dan gp120. RNA virus dan protein akan membentuk membran dan
menggunakan membran plasma sel hospes yang telah dimodifikasi dengan glikoprotein virus,
membentuk selubung virus dalam proses yang dikenal “budding” (Carroll, et al. 2016).
Fase perjalanan infeksi HIV dapat diklasifikasikan menjadi tiga tahap yaitu:
1. Tahap infeksi akut HIV
Dalam waktu 2-4 minggu setelah terinfeksi virus HIV, mayoritas, tetapi tidak semua
individu mengalami gejala mirip flu. Fase ini terdapat pada 40-90% kasus yang merupakan
keadaan klinis yang bersifat sementara yang berhubungan dengan replikasi virus dan sebagai
akibat dari respon imun spesifik terhadap virus. Proses replikasi tersebut menghasilkan virus-
virus baru yang jumlahnya jutaan dan menyebabkan terjadinya viremia yang memicu
timbulnya sindroma infeksi akut atau. Gejala yang paling umum adalah demam, kemudian
disusul dengan pembengkakan kelenjar, sakit tenggorokan, ruam, kelelahan, nyeri otot dan
sendi, dan sakit kepala. Gejala ini dapat berlangsung dari beberapa hari sampai beberapa
minggu. Virus ini menggunakan sel CD4 untuk bereplikasi dan menghancurkan sel tersebut
dan ini menyebabkan jumlah CD4 menurun dengan cepat.
2. Tahap latensi klinis
Setelah tahap infeksi akut HIV, tahap berikutnya adalah tahap yang dikenali sebagai
latensi klinis. Latensi berarti suatu periode di mana virus hidup atau berkembang dalam tubuh
manusia tanpa gejala. Selama tahap ini, orang yang terinfeksi HIV tidak memiliki gejala terkait
HIV atau hanya gejala ringan saja. Tahap ini juga dikenali sebagai tahap asimtomatik atau
infeksi kronik HIV. Individu dalam tahap bebas gejala ini masih dapat menularkan HIV kepada
orang lain selama viral load masih dapat terdeteksi, walaupun sudah mendapatkan terapi ARV.
Selama periode laten, HIV dapat berada dalam bentuk provirus yang berintegrasi
dengan genom DNA hospes, tanpa mengadakan transkripsi. Ada beberapa faktor yang dapat
mengaktivasi proses transkripsi. Monosit pada orang yang terinfeksi HIV cenderung
melepaskan sitokin dalam jumlah besar sehingga dapat menyebabkan meningkatkan
10
transkripsi virus. Infeksi beberapa virus lain tertentu dapat meningkatkan transkripsi provirus
DNA pada HIV sehingga berkembang menjadi AIDS.

Gambar 2.1. Perjalanan Penyakit HIV (Naif, 2013)


3. Tahap AIDS
Ini adalah tahap infeksi HIV yang terjadi ketika sistem kekebalan tubuh sudah sangat
mengalami kerusakan dan sangat rentan terhadap infeksi oportunistik oleh karena peningkatan
viral load secara berlebihan di dalam sirkulasi sistemik. Infesi oportunistik tertentu juga dapat
berkaitan dengan kejadian kanker, misalnya limfoma maligna pada infeksi EBV. Ketika jumlah
sel CD4 menurun di bawah 200 sel/mm3, maka seseorang telah memasuki tahap AIDS. Pada
seseorang dengan sistem kekebalan tubuh yang sehat, jumlah CD4 adalah antara 500 dan 1,600
sel/mm3. Selama tahap akhir infeksi HIV ini, orang yang terinfeksi HIV cenderung memiliki
gejala seperti penurunan berat badan yang cepat, demam berulang atau berkeringat pada malam
hari, kelelahan, pembengkakan kelenjar getah bening yang berkepanjangan di leher, diare yang
berlangsung lebih dari seminggu, luka pada mulut, anus atau alat kelamin, pneumonia dan
kehilangan memori, depresi dan gangguan neurologis lain. Tanpa pengobatan, orang dengan
AIDS biasanya dapat bertahan hidup sekitar 3 tahun. Saat menderita infeksi oportunistik yang
berbahaya, harapan hidup tanpa pengobatan hanya sekitar 1 tahun saja. (Naif, 2013).

2.1.4 Diagnosis
Tes HIV harus mengikuti prinsip berupa 5 komponen dasar yang telah disepakati secara
global yaitu 5C (informed consent, confidentiality, counseling, correct test results, connections

11
to care, treatment and prevention services). Prinsip 5C harus diterapkan pada semua model
layanan testing dan konseling (TK) HIV.
Diagnosis HIV dapat ditegakkan dengan menggunakan 2 metode pemeriksaan:
a. Metode pemeriksaan serologis
Antibodi dan antigen dapat dideteksi melalui pemeriksaan serologis. Adapun metode
pemeriksaan serologis yang sering digunakan adalah rapid immunochromatography
test (tes cepat) dan EIA (enzyme immunoassay). Secara umum tujuan pemeriksaan tes
cepat dan EIA adalah sama, yaitu mendeteksi antibodi saja (generasi pertama) atau
antigen dan antibodi (generasi ketiga dan keempat). Metode western blot sudah tidak
digunakan sebagai standar konfirmasi diagnosis HIV lagi di Indonesia
b. Metode pemeriksaan virologis
Pemeriksaan virologis dilakukan dengan pemeriksaan DNA HIV dan RNA HIV. Saat
ini pemeriksaan DNA HIV secara kualitatif di Indonesia lebih banyak digunakan untuk
diagnosis HIV pada bayi. Pada daerah yang tidak memiliki sarana pemeriksaan DNA
HIV, untuk menegakkan diagnosis dapat menggunakan pemeriksaan RNA HIV yang
bersifat kuantitatif atau merujuk ke tempat yang mempunyai sarana pemeriksaan DNA
HIV dengan menggunakan tetes darah kering (dried blood spot [DBS]). Pemeriksaan
virologis digunakan untuk mendiagnosis HIV pada:
1) bayi berusia dibawah 18 bulan.
2) infeksi HIV primer.
3) kasus terminal dengan hasil pemeriksaan antibodi negatif namun gejala
klinis sangat mendukung ke arah AIDS.
4) konfirmasi hasil inkonklusif atau konfirmasi untuk dua hasil laboratorium
yang berbeda.
Hasil pemeriksaan HIV dikatakan positif apabila:
a. tiga hasil pemeriksaan serologis dengan tiga metode atau reagen berbeda menunjukan
hasil reaktif.
b. pemeriksaan virologis kuantitatif atau kualitatif terdeteksi HIV. (Kemenkes, 2019)
2.1.5 Tatalaksana
Pada ODHA yang datang tanpa gejala infeksi oportunistik, ARV dimulai segera dalam
7 hari setelah diagnosis dan penilaian klinis. Pada ODHA yang sudah siap untuk memulai
ARV, dapat ditawarkan untuk memulai ARV pada hari yang sama, terutama pada ibu hamil.
Terapi ARV harus diberikan kepada semua ODHA tanpa melihat stadium klinis dan nilai CD4,
dan dilanjutkan seumur hidup.

12
World Health Organization mendorong penggunaan terapi ARV yang mempunyai
sedikit efek samping, lebih nyaman, dan paduan yang lebih sederhana. Terapi ARV pilihan
juga harus dapat digunakan bersama obat yang digunakan untuk berbagai ko-infeksi dan
komorbiditas yang umumnya ditemukan pada ODHA.

Gambar 2.2. Terapi ARV lini pertama pada orang dewasa (Kemenkes, 2019)
Berdasarkan telaah sistematik, kombinasi dosis tetap sekali sehari TDF+3TC(atau
FTC)+EFV lebih jarang menimbulkan efek samping berat, menunjukkan respons terapi dan
virologis yang lebih baik dibandingkan dengan NNRTI sekali atau dua kali sehari atau paduan
yang mengandung protease inhibitor (PI). EFV juga merupakan pilihan ARV jika digunakan
bersamaan dengan rifampisin pada ko-infeksi TB, dan dapat digunakan pada ibu hamil atau
perempuan usia subur. Meta-analisis dan beberapa laporan studi sesudahnya yang
membandingkan penggunaan EFV dengan obat ARV lain pada trimester pertama kehamilan
menunjukkan EFV tidak meningkatkan risiko kelainan kongenital seperti neural tube defect
pada bayi. Demikian juga dengan penggunaan TDF. Kombinasi dosis tetap yang tersedia di

13
Indonesia adalah TDF+3TC+EFV, sehingga kombinasi ini yang menjadi pilihan utama paduan
ARV lini pertama di Indonesia.
Pilihan lain pada paduan lini pertama adalah AZT+3TC+EFV, AZT+3TC+NVP, atau
TDF+3TC(atau FTC)+NVP. Telaah sistematik dan meta-analisis yang ada menunjukkan
substitusi karena efek samping penggunaan NVP lebih sering terjadi dibandingkan EFV, antara
lain karena hepatotoksisitas dan reaksi hipersensitivitas obat. Beberapa studi menunjukkan
efek samping NVP tersebut lebih sering muncul pada ibu hamil, namun tidak terbukti pada
studi-studi lainnya. Namun demikian, NVP tetap dapat digunakan secara hati-hati terutama
pada ODHA dengan CD4 yang tinggi dan ibu hamil (Kemenkes, 2019).

2.1.6 Pencegahan
Dalam usaha mengurangi infeksi HIV di masyarakat, berbagai kaedah telah diterapkan,
salah satunya adalah kaedah ABCDE yang disosialisasikan oleh Kemenkes, yaitu:
 Abstinence, yaitu menunda atau tidak melakukan kegiatan seksual sebelum menikah.
 Be faithful, yaitu saling setia kepada pasangannya.
 Condom, yaitu menggunakan kondom bagi orang yang melakukan perilaku seks berisiko.
 Drugs, tidak menggunakan jarum suntik secara bergantian dan tidak secara bersama-sama
dalam penggunaan napza.
 Equipment, yaitu menggunakan jarum dan alat-alat medis yang steril. (Kemenkes, 2019).

2.2 Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan pengetahuan ini terjadi setelah melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Proses penginderaan dapat terjadi melalui panca indera
manusia, yakni, penglihatan, pendengaran, penciuman, perasaan dan perabaan.
Pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan
menjadi kebiasaan yang baik daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Pada
hakikatnya, sebelum orang mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang tersebut terjadi proses
yang berurutan, yakni:
1. Awareness (kesadaran), yaitu orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus
terlebih dahulu
2. Interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus (objek)
3. Evaluation (menimbang-nimbang baik dan buruk sesuatu) hal ini berarti sikap responden
sudah lebih baik lagi.
4. Trial, orang yang telah mulai mencoba perilaku baru
5. Adaptation, subjek telah berperilaku sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya
terhadap stimulus.

14
Namun, dalam penelitian yang dilakukan Rogers, disimpulkan bahwa perubahan perilaku
tidak selalu melewati tahap-tahap di atas. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku
melalui proses seperti ini didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap positif, maka perilaku
tersebut akan bertahan selamanya. Sebaliknya perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan dan
kesadaran tidak akan berlangsung lama.
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan, yaitu:
1. Tahu (know) diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya
dan merupakan tingkat pengetahuan yang rendah.
2. Memahami (comprehension) diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara
benar.
3. Aplikasi (application) diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya.
4. Analisis (analysis) adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke
dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada
kaitannya satu sama lain.
5. Sintesis (synthesis) menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata
lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-
formulasi yang ada.
6. Evaluasi (evaluation) ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu objek atau materi.
Pengetahuan dapat diperoleh melalui proses belajar yang didapat dari pendidikan.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan isi
materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden (Notoadmodjo, 2003).

2.3. Stigmatisasi
Menurut Goffman, Stigma adalah segala bentuk atribut fisik dan sosial yang
mengurangi identitas sosial seseorang, mendiskualifikasikan orang itu dari penerimaan
seseorang. Menurut Rahman, ada beberapa bentuk stigma dalam masyarakat diantaranya
yaitu:
1. Labeling
Labeling yaitu pembedaan dan memberikan label atau penamaan berdasarkan
perbedaan yang dimiliki anggota masyarakat tersebut. Sebagian besar perbedaan

15
individu tidak dianggap relevan secara sosial, tapi beberapa perbedaan yang diberikan
bisa menonjol secara sosial.
2. Stereotip
Pengertian stereotip yaitu kerangka berpikir atau aspek kognitif yang terdiri dari
pengetahuan dan keyakinan tentang kelompok sosial dan traits tertentu. Stereotip
merupakan keyakinan tentang karakteristik yang merupakan keyakinan mengenai
atribut personal yang dimiliki orang-orang dalam suatu kelompok atau kategori sosial
tertentu.
3. Separation
Pengertian separation yaitu pemisahan “kita” (sebagai pihak yang tidak memiliki
stigma atau pemberi stigma) dengan “mereka” (kelompok yang mendapatkan stigma).
Hubungan label dengan atribut negatif akan menjadi suatu pembenaran saat individu
yang di label percaya bahwa dirinya memang berbeda sehingga hal tersebut bisa
dikatakan bahwa proses pemberian stereotip berhasil.
4. Diskriminasi
Pengertian diskriminasi yaitu perilaku merendahkan orang lain karena keanggotaannya
dalam kelompok. Diskriminasi merupakan komponen behavioral yang merupakan
perilaku negatif terhadap individu karena individu tersebut anggota dari kelompok
tertentu.

Stigma terhadap ODHA adalah suatu sifat yang menghubungkan seseorang yang
terinfeksi HIV dengan nilai-nilai negatif yang diberikan oleh mereka (masyarakat). Stigma
membuat ODHA diperlakukan secara berbeda dengan orang lain. Diskriminasi HIV adalah
suatu tindakan yang tidak adil pada seseorang yang secara nyata atau diduga mengidap HIV.
Banyak faktor yang memengaruhi terjadinya stigma pada ODHA di masyarakat.
Pendidikan kesehatan yang bertujuan meningkatkan pengetahuan mengenai HIV/AIDS dalam
banyak penelitian dibuktikan sebagai salah satu faktor yang paling memengaruhi terjadinya
pengurangan stigma. Orang yang memiliki pengetahuan cukup tentang faktor risiko, transmisi,
pencegahan, dan pengobatan HIV/AIDS cenderung tidak takut dan tidak memberikan stigma
terhadap ODHA. Selain pengetahuan yang kurang, pengalaman atau sikap negatif terhadap
penularan HIV dianggap sebagai faktor yang dapat memengaruhi munculnya stigma dan
diskriminasi. Pendapat tentang penyakit AIDS merupakan penyakit kutukan akibat perilaku
amoral juga sangat memengaruhi orang bersikap dan berperilaku terhadap ODHA.

16
2.4. Data Wilayah Puskesmas Pekojan 2
2.4.1. Keadaan Geografis
Kelurahan Pekojan merupakan dataran rendah dengan ketinggian 1 meter diatas
permukaan laut dengan luas wilayah 77,80 Ha. Kelurahan Pekojan terdiri dari 12 Rukun Warga
yang terbagi menjadi 144 Rukun Tetangga dengan batasan – batasan sebagai berikut:
Sebelah Utara : Kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara
Sebalah Selatan : Kelurahan Jembatan Lima, Jakarta Barat
Sebalah Timur : Kelurahan Roa Malaka, Jakarta Barat
Sebalah Barat : Kelurahan Pejagalan, Jakarta Utara
Kelurahan Pekojan memiliki dua puskesmas kelurahan yaitu Puskesmas Kelurahan
Pekojan 1 dan Pekojan 2 yang memiliki wilayah kerja masing – masing. Yang termasuk
wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Pekojan 2 adalah Rukun Warga 1, 3, 6, 7, 8 dan 9. Sisanya
menjadi wilayah kerja dari Puskesmas Kelurahan Pekojan 1.
2.4.2. Data Kepegawaian
NO TENAGA KESEHATAN Jumlah
1 Dokter Umum 1
2 Bidan 2
3 Perawat 1
4 Dokter Gigi 1
5 Asisten Apoteker 1
6 Petugas Kesehatan Lingkungan 1
7 Petugas Gizi 1
8 Administrasi 1
9 Cleaning Service 1
10 Satpam 1
Jumlah 11
2.4.3. Data 10 Penyakit Terbanyak Tahun 2018
No Nama Penyakit Jumlah Persentase
1 Hipertensi 848 29.8
2 Infeksi Saluran Pernafasan Atas 812 28.5
3 Faringitis 251 8.8
4 Myalgia 201 7.1
5 Diabetes Mellitus 173 6
6 Tuberculosis 133 4.7
7 Common Cold 129 4.5
8 Diare / GEA 106 3.7
9 Gastritis 101 3.5
10 Cephalgia 99 3.4
Jumlah 2,853 100%

17
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik potong lintang yang
bertujuan untuk mengetahui hubugan antara pengetahuan tentang HIV terhadap stigmatisasi
HIV di Posyandu RW 8 wilayah Puskesmas Pekojan 2, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat,
DKI Jakarta, Tahun 2019.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


3.2.1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di Posyandu RW 8 wilayah Puskesmas Pekojan 2.
3.2.2. Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada tanggal 17 Desember 2019.

3.3 Populasi dan Subjek Penelitian


3.3.1 Populasi Penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah semua warga yang datang ke posyandu RW 8
wilayah Puskesmas Pekojan 2, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, DKI Jakarta, di bulan
Desember 2019.
3.3.2 Subjek Penelitian
Subjek pada penelitian ini adalah semua warga yang datang ke Posyandu RW 8 wilayah
Puskesmas Pekojan 2, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, DKI Jakarta, di bulan Desember
2019.

3.4. Kriteria Pemilihan Subjek Penelitian


3.4.1. Kriteria Inklusi
 Warga yang datang ke Posyandu RW 8 wilayah Puskesmas Pekojan 2 pada
tanggal 17 Desember 2019
 Mampu dan bersedia mengisi kuesioner pengetahuan dan stigmatisasi HIV
3.4.2. Kriteria Eksklusi
 Warga yang merupakan kader RW 8 atau bagian dari tenaga medis
 Warga yang tidak bisa membaca atau menulis

18
3.5 Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan non-probability
sampling yaitu bahwa setiap anggota populasi tidak memiliki peluang yang sama untuk dipilih
menjadi sampel. Teknik yang dipilih adalah teknik total sampling dikarenakan jumlah populasi
yang cukup sedikit, yaitu kurang dari 100 sehingga seluruh populasi dijadikan sampel dalam
penelitian ini. Seluruh sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diikutsertakan
dalam penelitian ini.

3.6 Teknik Pengumpulan Data dan Intervensi Penelitian


3.6.1 Teknik Pengumpulan Data
Data diperoleh dari pengisian kuesioner tentang pengetahuan dan stigmatisasi HIV
berdasarkan penelitian Situmeang, et al. yang dilakukan sebanyak dua kali, yaitu sebelum dan
sesudah intervensi berupa penyuluhan dilakukan. Data yang dikumpulkan kemudian
dimasukkan secara manual ke dalam perangkat lunak untuk kemudian dilakukan analisis data
dengan menggunakan program.
3.6.2 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian berupa kuesioner tentang pengetahuan dan stigmatisasi HIV
berdasarkan penelitian Situmeang, et al. yang terdiri atas 12 butir pertanyaan untuk
pengetahuan dan 4 butir pertanyaan untuk stigmatisasi. Untuk setiap pertanyaan dengan
jawaban benar akan diberikan nilai 1. Untuk pertanyaan mengenai pengetahuan, hasil skor akan
dikategorikan menjadi “kurang baik” apabila skor < 8 dan akan dikategorikan menjadi “baik”
apabila skor ≥ 8. Sementara itu, untuk pertanyaan mengenai stigmatisasi, hasil skor akan
dikategorikan menjadi “stigmatisasi” apabila skor <3 dan akan dikategorikan menjadi “tidak
stigmatisasi” apabila skor ≥ 3.
3.6.3. Intervensi Penelitian
Intervensi yang dilakukan dalam penelitian ini berupa penyuluhan yang bertujuan untuk
meningkatkan pengetahuan responden tentang HIV dan menurunkan stigma responden
terhadap HIV. Sebelum dilakukan penyuluhan, responden diminta terlebih dahulu mengisi
kuesioner tersebut. Penyuluhan disampaikan secara lisan secara bergantian dalam kelompok
kecil berisi 8-12 orang dengan media penyuluhan berupa leaflet. Poin penting yang
disampaikan dalam intervensi penyuluhan tersebut adalah sebagai berikut:
 Definisi HIV dan AIDS

19
 Penyakit yang ditimbulkan oleh virus HIV dan dampak klinisnya bila sudah terjadi
AIDS
 Cara penularan virus HIV dan populasi yang berisiko tertular HIV
 Cara mendiagnosis HIV dan pengobatannya
 Tersedianya layanan untuk pengobatan bagi penderita HIV/AIDS di Puskesmas
 Stigmatisasi HIV dan contohnya dalam kehidupan sehari-hari
 Dampak stigmatisasi HIV terhadap angka kejadian HIV
 Ajakan bagi warga untuk mengurangi sikap stigma terhadap penderita HIV/AIDS
Setelah penyuluhan selesai, maka responden diminta lagi untuk mengisi kuesioner tentang
pengetahuan dan stigmatisasi HIV yang sama.

3.7 Teknik Pengolahan dan Analisa Data


3.7.1 Teknik Pengolahan Data
a. Pengolahan Data (Editing)
Meneliti kembali apakah lembar kuesioner sudah terisi dengan baik sehingga dapat di
proses lebih lanjut. Editing dapat dilakukan di tempat pengumpulan data sehingga jika
terjadi kesalahan maka upaya perbaikan dapat segera dilaksanakan.
b. Pengkodean (Coding)
Usaha mengklasifikasikan jawaban-jawaban yang ada menurut macamnya, menjadi
bentuk yang lebih ringkas dengan menggunakan klasifikasi yang sesuai dengan
kuesioner.
c. Pemasukan Data (Entry)
Memasukan data ke dalam perangkat lunak
d. Pembersihan Data (Cleaning)
Data yang telah dimasukkan ke dalam perangkat lunak diperiksa kembali untuk
mengkoreksi kemungkinan kesalahan.
3.7.2 Teknik Analisis Data
Analisis data akan dilakukan secara univariat dan bivariat. Dalam analisis univariat
dilakukan analisis mengenai karakteristik responden berupa usia, jenis kelamin, pendidikan
terakhir, agama, pernah atau tidaknya mendapatkan informasi tentang HIV, dan sumber
informasi tentang HIV. Dilakukan pula analisis dari tiap-tiap jawaban dari tiap butir pertanyaan
tentang pengetahuan dan stigmatisasi HIV untuk menilai setiap aspek dari kuesioner tersebut.

20
Dalam analisis bivariat, akan dilakukan analisis mengenai 3 hubungan antarvariabel.
Variabel yang akan dianalisis adalah perbedaan antara pengetahuan sebelum dan sesudah
intervensi dilakukan, stigmatisasi sebelum dan sesudah intervensi dilakukan, dan hubungan
antara pengetahuan dan stigmatisasi HIV. Pengetahuan sebelum dan sesudah intervensi
merupakan data kategorik dengan skala nominal dengan 2 kategori jawaban, yaitu “Kurang
Baik”, dan “Baik”. Stigmatisasi HIV sebelum dan sesudah intervensi merupakan data kategorik
dengan skala nominal dengan 2 kategori jawaban, yaitu “Stigmatisasi” dan “Tidak
Stigmatisasi”.
Oleh karena itu, perbedaan antara pengetahuan sebelum dan sesudah intervensi
dilakukan dan perbedaan antara stigmatisasi sebelum dan sesudah intervensi dilakukan
dianalisis dengan uji McNemar untuk data kategorik berpasangan. Perbedaan pengetahuan dan
stigmatisasi yang signifikan dinyatakan dengan nilai p < 0,05.
Sementara itu, hubungan antara pengetahuan dan stigmatisasi HIV hanya dianalisis
sebelum intervensi dilakukan untuk menghindari bias yang didapatkan akibat penyuluhan.
Hubungan tersebut dianalisis dengan uji Chi-square apabila memenuhi syarat uji Chi-square,
yaitu tidak boleh ada satu sel dengan expected count <5. Bila tidak memenuhi syarat tersebut,
akan dilakukan uji Fischer untuk tabel 2 x 2 sebagai uji alternatifnya. Hubungan yang bermakna
dinyatakan dengan nilai p < 0.05.

21
BAB IV
HASIL

4.1. Karakteristik Responden


Rentang usia responden berada di antara 20-58 tahun dengan rata-rata usia 34 tahun.
Responden paling banyak berusia 35 tahun dan 36 tahun, dengan masing-masing berjumlah 3
responden (10%). Berdasarkan tabel 4.1. didapatkan bahwa responden terdiri dari 100%
perempuan beragama Islam. Dari responden tersebut, mayoritas pendidikan terakhirnya adalah
SMA, yaitu berjumlah 12 responden (40%). Hanya 1 responden tidak bersekolah (3.3%) dan
hanya 1 responden yang pendidikan terakhirnya adalah sarjana (3.3%). 22 responden (73.3%)
mengaku pernah mendapatkan informasi mengenai HIV, di mana sumber informasi tentang
HIV paling banyak diperoleh melalui Puskesmas, yaitu sebanyak 13 dari 22 responden
(59.1%).
Tabel 4.1. Karakteristik Responden
Karakteristik Frekuensi Persentase
(n) (%)
Jenis Kelamin
Perempuan 30 100
Pendidikan Terakhir
Tidak Sekolah 1 3.3
SD 6 20.0
SMP 10 33.3
SMA 12 40.0
Sarjana 1 3.3
Agama
Islam 30 100
Pernah Mendapat Informasi Tentang HIV
Tidak 8 26.7
Ya 22 73.3
Sumber Informasi Tentang HIV
Puskesmas 13 59.1
RS 1 4.6
Sekolah 5 22.7
Televisi 3 13.6

4.2. Analisis Univariat


Tabel 4.2. membandingkan pengetahuan responden tentang HIV sebelum dan sesudah
intervensi dilakukan. Berdasarkan tabel tersebut, sebelum intervensi dilakukan, pertanyaan
mengenai VCT, penularan HIV melalui gigitan nyamuk, dan penularan HIV melalui makan
sepiring dengan penderita HIV, merupakan tiga butir pertanyaan dengan jawaban salah
terbanyak. Mayoritas responden tidak mengetahui tentang VCT, yaitu berjumlah 21 orang

22
(70%), kemudian mengetahui bahwa HIV dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk, yaitu
berjumlah 16 orang (53.3%), dan mengetahui bahwa HIV dapat ditularkan melalui makan
sepiring dengan penderita HIV, yaitu berjumlah 15 orang (50%).
Tabel 4.2. Pertanyaan dan Jawaban Tentang Pengetahuan HIV/AIDS
No Pertanyaan Jawaban Frekuensi (n) Persentase (%)
(B/S)* Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah
1 Apakah mungkin seseorang yang B 21 25 70 83.3
penampilannya tampak S 9 5 30 16.7
sehat ternyata ia telah tertular virus
HIV/AIDS?
2 Bagaimana cara mengetahui seseorang B 20 24 66.7 80
terinfeksi S 10 6 33.3 20
HIV/AIDS?
3 Apakah saudara tahu tentang adanya tes B 9 17 30 56.7
HIV/AIDS secara S 21 13 70 43.3
sukarela yang didahului dengan konseling
yang dikenal
dengan VCT yaitu Voluntary Counseling
and Testing?
4 Bisakah seseorang tertular virus HIV/AIDS B 14 25 46.7 83.3
melalui gigitan S 16 5 53.3 16.7
nyamuk?
5 Bisakah seseorang tertular virus HIV/AIDS B 30 30 100 100
karena digunaguna S 0 0 0 0
atau didukuni atau disantet?
6 Bisakah seseorang tertular virus HIV/AIDS B 15 25 50 83.3
dengan cara S 15 5 50 16.7
makan sepiring dengan orang yang sudah
terkena virus
HIV/AIDS?
7 Bisakah seseorang tertular virus HIV/AIDS B 29 29 96.7 96.7
karena S 1 1 3.3 3.3
menggunakan jarum suntik yang sama
secara bergantian?
8 Bisakah seseorang mengurangi B 23 27 76.7 90
kemungkinan tertular virus S 7 3 23.3 10
HIV dan AIDS dengan membatasi hubungan
seks dengan
seseorang yang tidak mempunyai pasangan?
9 Bisakah seseorang mengurangi B 22 28 73.3 93.3
kemungkinan tertular virus S 8 2 26.7 6.7
HIV/AIDS dengan cara memakai kondom
setiap melakukan
hubungan seks?
10 Apakah virus penyebab AIDS dapat B 23 29 76.6 96.7
ditularkan oleh S 7 1 23.3 2.3
seorang ibu ke anaknya selama kehamilan?
11 Apakah virus penyebab AIDS dapat B 21 28 70 93.3
ditularkan oleh S 9 2 30 6.7
seorang ibu ke anaknya saat melahirkan?
12 Apakah virus penyebab AIDS dapat B 22 28 73.3 93.3
ditularkan oleh S 8 2 26.7 6.7
seorang ibu ke anaknya selama menyusui?
Keterangan: *B = Jawaban Benar, S = Jawaban Salah

23
Sesudah intervensi dilakukan, berdasarkan tabel 4.2., didapatkan bahwa pada terdapat
perbaikan pengetahuan pada seluruh pertanyaan, ditandai dengan peningkatan jawaban benar
pada seluruh pertanyaan, kecuali pada pertanyaan mengenai apakah HIV dapat menular karena
diguna-guna atau didukuni atau disantet, di mana pertanyaan tersebut dijawab dengan benar
oleh semua responden baik sebelum ataupun sesudah intervensi. Sesudah intervensi, 17
responden (56.7%) telah mengetahui mengenai VCT dan 25 responden (83.3%) telah
mengetahui bahwa HIV tidak ditularkan melalui gigitan nyamuk ataupun makan sepiring
dengan penderita HIV.
Mayoritas responden sudah mengetahui mengenai pentingnya tidak berganti pasangan
dan menggunakan kondom setiap berhubungan seks dalam rangka mengurangi penularan HIV.
Sebelum intervensi dilakukan, 23 responden (76.7%) mengetahui bahwa tidak berganti
pasangan dapat menurunkan penularan HIV dan 22 responden (73.3%) mengetahui bahwa
menggunakan kondom dapat mencegah penularan HIV. Setelah intervensi dilakukan, jumlah
responden yang mengetahui tentang hal tersebut secara berturut-turut meningkat menjadi 27
dan 28 responden (90 dan 93.3%).
Pertanyaan mengenai penularan HIV dari ibu ke anak sudah dijawab dengan benar oleh
mayoritas responden. Sebelum intervensi dilakukan, 23 responden (76.7%) telah mengetahui
bahwa HIV dapat ditularkan dari ibu ke anak selama kehamilan, 21 responden (70%) telah
mengetahui bahwa HIV dapat ditularkan dari ibu ke anak saat melahirkan, dan 22 responden
(73.3%) juga telah mengetahui bahwa HIV dapat ditularkan dari ibu ke anak saat menyusui.
Setelah intervensi dilakukan, jumlah responden yang mengetahui tentang hal tersebut juga
semakin meningkat secara berturut-turut menjadi 29, 28, dan 28 responden (96.7%, 93.3%, dan
93,3%).
Berdasarkan tabel 4.3., sebelum dilakukan intervensi, stigmatisasi HIV/AIDS paling
banyak ditunjukkan dalam pertanyaan pertama, yaitu responden yang tidak akan membeli
sayuran segar dari petani atau penjual yang diketahui terinfeksi HIV, berjumlah 21 orang
(70%). Mayoritas responden juga masih menjawab tidak untuk pertanyaan mengenai guru yang
HIV tetapi tidak terlihat sakit sebaiknya diperbolehkan tetap mengajar di sekolah, yaitu 16
responden (53.3%). Mayoritas responden memilih untuk tidak merahasiakan informasi
mengenai anggota keluarganya bila anggota keluarganya terinfeksi HIV dan bersedia untuk
merawat anggota keluarga tersebut di rumah, secara berturut-turut 26 responden (86.7%) dan
23 responden (76.7%).
Setelah dilakukan intervensi, terjadi perubahan drastis pada pertanyaan pertama
menjadi 6 responden (20%) saja yang tetap tidak mau membeli sayuran segar dari petani atau
24
penjual yang diketahui terinfeksi HIV, sehingga didapatkan perubahan sikap stigmatisasi pada
50% responden. Perubahan juga dapat ditemukan pada pertanyaan ketiga, di mana setelah
dilakukan intervensi, didapatkan 27 responden (90%) yang bersedia merawat anggota keluarga
yang menderita AIDS di rumah, sehingga didapatkan perubahan sikap stigmatisasi pada 13,3%
responden.
Tabel 4.3. Pertanyaan dan Jawaban Tentang Stigmatisasi HIV/AIDS
No Pertanyaan Jawaban Frekuensi (n) Persentase (%)
Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah
1 Apakah saudara akan membeli Ya 9 24 30 80
sayuran segar dari Tidak 21 6 70 20
petani atau penjual yang
saudara ketahui terinfeksi
HIV/AIDS?
2 Jika salah satu anggota Ya 4 4 13.3 13.3
keluarga tertular virus Tidak 26 26 86.7 86.7
HIV/AIDS, apakah saudara
akan merahasiakannya?*
3 Jika salah satu anggota Ya 23 27 76.7 90
keluarga saudara menderita Tidak 7 3 23.3 10
AIDS, apakah saudara
bersedia merawatnya di rumah
saudara?
4 Jika seorang guru wanita Ya 14 14 46.7 46.7
diketahui tertular virus Tidak 16 16 53.3 53.3
HIV/AIDS tapi tidak kelihatan
sakit, menurut pendapat
saudara apakah ia sebaiknya
diperbolehkan tetap
mengajar di sekolah?
Keterangan: *Untuk pertanyaan nomor 2, jawaban ya menunjukkan adanya stigmatisasi
Namun demikian tidak terjadi perubahan sikap stigmatisasi mengenai merahasiakan
informasi HIV pada anggota keluarga dan tidak diperbolehkannya guru wanita dengan HIV
yang tidak menunjukkan gejala sakit untuk mengajar di sekolah. Pada kedua pertanyaan
tersebut, tidak terjadi perubahan sikap baik sebelum ataupun sesudah intervensi.

4.3. Analisis Bivariat


Pada penelitian ini dilakukan analisis mengenai perbedaan pengetahuan tentang HIV
sebelum dan sesudah dilakukan intervensi. Skor pengetahuan dikategorikan menjadi Kurang
Baik apabila skor kurang dari 8 dan Baik apabila skor lebih dari atau sama dengan 8. Hubungan
dianalisis dengan Uji McNemar untuk analisis data kategorik berpasangan. Hasil analisis pada
tabel 4.4. menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara pengetahuan tentang
HIV sebelum dan sesudah dilakukan intervensi, dibuktikan dengan nilai p < 0.05 (p = 0.016).

25
Dari 30 responden, sebelum intervensi, mayoritas responden yang berjumlah 22 orang
(77.3%) memiliki pengetahuan yang baik, sementara hanya didapatkan 8 responden (23.7%)
dengan pengetahuan yang kurang baik. Dari 8 responden tersebut, terdapat 7 responden
(87.5%) yang mengalami perubahan pengetahuan dari kurang baik menjadi baik, sementara
hanya 1 responden saja (12.5%) dengan pengetahuan yang kurang baik tetap tidak mengalami
perubahan. Tidak ada responden yang pengetahuannya berubah dari baik menjadi kurang baik.
Tabel 4.4. Analisis Perbedaan antara Pengetahuan HIV Sebelum dan Sesudah Intervensi
Pengetahuan Sesudah Total
Kurang Baik Baik
Pengetahuan Kurang Baik 1 (12.5%) 7 (87.5%) 8 (23.7%)
Sebelum Baik 0 (0%) 22 (100%) 22 (77.3%)
Total 1 (0.3%) 29 (96.7%) 30 (100%
p = 0.016
Pada penelitian ini juga dilakukan analisis mengenai perbedaan stigmatisasi HIV
sebelum dan sesudah dilakukan intervensi. Skor stigmatisasi dikategorikan menjadi
Stigmatisasi apabila skor kurang dari 3 dan Tidak Stigmatisasi apabila skor lebih dari atau sama
dengan 3. Hubungan dianalisis dengan Uji McNemar untuk analisis data kategorik
berpasangan. Hasil analisis pada tabel 4.4. menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan antara stigmatisasi HIV sebelum dan sesudah dilakukan intervensi, dibuktikan
dengan nilai p < 0.05 (p = 0.008).
Sebelum dilakukan intervensi didapatkan jumlah responden yang sama yang bersikap
stigmatisasi ataupun tidak, yaitu berjumlah 15 responden masing-masing (50%). Dari 15
responden yang awalnya bersikap stigmatisasi, 8 responden (53.3%) berubah menjadi tidak
bersikap stigmatisasi. Sementara itu, 7 responden (46.7%) lainnya tetap bersikap stigmatisasi.
Tidak ada responden yang awalnya tidak bersikap stigmatisasi kemudian menjadi bersikap
stigmatisasi.
Tabel 4.5. Analisis Perbedaan antara Stigmatisasi HIV Sebelum dan Sesudah Intervensi
Stigmatisasi Sesudah Total
Stigmatisasi Tidak Stigmatisasi
Stigmatisasi Sebelum Stigmatisasi 7 (46.7%) 8 (53.3%) 15 (50%)
Tidak Stigmatisasi 0 (0%) 15 (100%) 15 (50%)
Total 7 (23.3%) 23 (76.7%) 30 (100%)
p = 0.008
Analisis mengenai hubungan antara pengetahuan dan stigmatisasi HIV menggunakan
data yang diperoleh sebelum intervensi. Analisis data dengan menggunakan uji Fischer untuk

26
data kategorik tidak berpasangan pada tabel 2 x 2 yang tidak memenuhi kaidah Chi-square.
Terdapat 2 sel dengan Expected count kurang dari 5 sehingga tidak dapat dilakukan Uji Chi-
square. Berdasarkan uji Fischer tersebut didapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara
pengetahuan dan stigmatisasi HIV (p = 0.215).
Berdasarkan tabel 4.6., dari 8 responden dengan pengetahuan yang kurang baik, 2
responden (25%) yang bersikap stigmatisasi, sementara 6 responden (75%) tidak. Sementara
itu, dari 22 responden dengan pengetahuan yang baik, 13 responden (59.1%) bersikap
stigmatisasi, sementara 9 responden (40,9%) tidak.
Tabel 4.6. Hubungan antara Pengetahuan dan Stigmatisasi HIV
Stigmatisasi HIV Total
Stigmatisasi Tidak
Stigmatisasi
Pengetahuan Kurang Baik 2 (25%) 6 (75%) 8 (26.7%)
HIV Baik 13 (59.1%) 9 (40.9%) 22 (83.3%)
Total 15(50%) 15 (50%) 30 (100%)
p = 0.215

27
BAB V
DISKUSI
Karakteristik responden pada penelitian ini homogen dalam aspek jenis kelamin dan
agama, yaitu semua responden merupakan wanita beragama Islam. Kekurangan penelitian ini
adalah bahwa populasi penelitian tidak dapat merepresentasikan masyarakat RW 8 dan
masyarakat pada umumnya, karena tidak melibatkan laki-laki dan perspektif dari agama yang
berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh Hasnain, et al. terhadap puluhan negara Islam
membuktikan bahwa sejak tahun 2003 telah terjadi kasus epidemi HIV/AIDS di negara-negara
tersebut yang sulit dikendalikan, salah satunya disebabkan adanya stigmatisasi sosial yang
walaupun ada pada seluruh kultur, etnis, atau agama di dunia, dirasakan cukup kuat pada
komunitas dengan agama Islam. Masalah tersebut berkaitan dengan fakta bahwa seksualitas
seringkali merupakan hal yang pribadi dan tabu untuk dibicarakan sehingga seringkali menjadi
sulit untuk memodifikasi perilaku terkait dengan pencegahan penularan HIV/AIDS. Adanya
faktor tersebut mungkin dapat mempengaruhi hasil skor stigmatisasi dalam penelitian ini.
Mengenai sumber informasi HIV, mayoritas responden (73,3%) sudah pernah
menerima informasi mengenai HIV/AIDS dan paling banyak didapatkan dari Puskesmas
(59,1%). Hal ini menunjukkan pentingnya peranan Puskesmas dalam meningkatkan
pengetahuan dan menurunkan stigmatisasi HIV di masyarakat serta dalam memberikan
pelayanan untuk pengobatan HIV. Bukti ini sejalan dengan penelitian Li Li, et al. yang
dilakukan di RRC juga membuktikan bahwa layanan primer adalah pemeran utama yang
berhasil menurunkan stigmatisasi HIV dengan melakukan intervensi dalam memodifikasi
perilaku stigmatisasi dan modifikasi struktural, bahkan dalam komunitas yang cenderung
melakukan stigmatisasi.
Dari segi pengetahuan, hanya 30% responden yang pernah mendengar istilah VCT
walaupun tahu bahwa untuk diagnosis HIV dibutuhkan tes darah (66,7%), hal ini mungkin
disebabkan oleh istilah asing yang tidak biasa digunakan oleh masyarakat setempat. Namun
demikian, fakta ini membuktikan bahwa mayoritas masyarakat sudah mengetahui bahwa untuk
mendiagnosis HIV dibutuhkan tes darah. Sementara itu, kesalahan pengetahuan yang
terbanyak adalah penularan HIV melalui makan sepiring dengan penderita dan dari gigitan
nyamuk, namun setelah dilakukan intervensi kesalah tersebut sudah dapat dikoreksi. Salah
satu hal yang menarik pada penelitian ini adalah bahwa mayoritas responden telah menjawab
dengan benar dalam hal penularan HIV melalui hubungan seks tidak aman dan juga penularan
HIV dari ibu ke anak.

28
Aspek stigmatisasi yang masih banyak ditemukan adalah tidak bersedia untuk membeli
sayur dari pedagang dengan HIV (70%), tetapi sudah terjadi perubahan (menjadi 20%) setelah
dilakukan intervensi, mungkin saja dikarenakan dalam penyuluhan dijelaskan bahwa penularan
HIV tidak melalui makanan. Stigmatisasi yang belum dapat berubah adalah pandangan
mengenai guru wanita yang HIV sebaiknya tetap tidak mengajar. Hal serupa terjadi di Ghana,
di mana hanya terdapat 120 guru dengan HIV di negara tersebut yang tetap dapat bekerja pada
tahun 2014. Hal ini dikarenakan guru dengan HIV sering tidak masuk bekerja berkaitan dengan
penyakit yang dideritanya ataupun keadaan yang disebabkan oleh perilaku stigmatisasi
masyarakat. Dari segi jenis kelamin, berdasarkan penelitian Mona, et al. di Kanada, wanita
lebih sering mendapatkan sikap dan perilaku stigmatisasi di masyarakat dibandingkan pria.
Dalam hal ini, perempuan Asia termasuk salah satu yang paling menderita dampaknya.
Intervensi jelas mengubah pengetahuan dan stigmatisasi secara bermakna, tetapi
ternyata hubungan antara pengetahuan dan stigmatisasi belum dapat dikatakan bermakna
dalam penelitian ini. Bila ditinjau lebih lanjut, hal ini diduga karena banyaknya responden yang
baik pendidikannya, tetapi tetap bersikap stigmatisasi. Seperti yang ditemukan pada penelitian
oleh Situmeang et al. pada sampel yang jauh lebih besar, terdapat hubungan bermakna antara
pengetahuan dan stigmatisasi, tetapi diantara yang pengetahuannya cukup baik ternyata
64,75% stigmatisasi, sementara 35,25% tidak stigmatisasi, serupa dengan penelitian ini.
Hubungannya mungkin tidak dapat dinyatakan bermakna karena jumlah sampel yang
pengetahuannya rendah terlalu sedikit didapatkan dalam penelitian ini, yaitu hanya 8 orang
saja.

29
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan mengenai hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan antara pengetahuan dan stigmatisasi HIV sebelum dan sesudah
dilakukan intervensi berupa penyuluhan. Namun, belum dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara pengetahuan dan stigmatisasi HIV dikarenakan oleh
keterbatasan penelitian.
6.2 Saran
 Peneliti
o Diperlukan untuk menyingkirkan confounding factors dalam penelitian yang
mungkin dapat mengganggu hasil penelitian
o Keterbatasan dalam penelitian:
 Karakteristik responden terlalu homogen yaitu hanya jenis kelamin
perempuan dan agama Islam
 Desain penelitian dilakukan secara potong lintang sehingga tidak dapat
mengamati adanya perubahan pengetahuan dan sikap dalam jangka
panjang.
 Populasi penelitian yang ditentukan belum dapat mereprentasikan
populasi masyarakat yang sebenarnya
 Terlalu sedikit responden dengan pengetahuan awal yang buruk untuk
menyimpulkan ada tidaknya hubungan antara pengetahuan dan
stigmatisasi HIV
 Puskesmas
o Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi tambahan bagi puskesmas,
sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan, dengan melakukan intervensi
sosial untuk meningkatkan pengetahuan dan menurunkan stigmatisasi HIV di
masyarakat
 Masyarakat
o Melalui penelitian ini masyarakat diharapkan mendapatkan pengetahuan
mengenai HIV dan dapat mengubah sikap dan perilaku stigmatisasi terhadap
penderita HIV/AIDS.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Carroll KC, Hobden JA, Miller S, Morse SA, Mietzner TA, editors. Jawetz, Melnick,
& Adelberg’s medical microbiology. 27th ed. New York: McGraw Hill; 2016.
2. Jameson JL, Kasper DL, Longo DL, Fauci AS, Hausr SL, Loscalzo J, editors.
Harrison’s principle of internal medicine. 20th ed. New York: McGraw Hill; 2016.
3. Nasronudin. HIV & AIDS pendekatan biologi molekuler, klinis dan sosial. Surabaya:
Airlangga University Press; 2007.
4. UNAIDS. Global HIV & AIDS statistics - 2019 fact sheet[Internet]. [cited 2020 Jan 5];
Available from: https://www.unaids.org/en/resources/fact-sheet
5. Kemenkes RI. Laporan perkembangan HIV/AIDS dan penyakit infeksi menular seksual
(PMS) triwulan II tahun 2019. Edisi ke 1. Jakarta: Kemenkes; 2019.
6. Tran BX, Phan HT, Latkin CA, Nguyen HLT, Hoang CL, Ho CSH, Ho RCM.
Understanding Global HIV Stigma and Discrimination: Are Contextual Factors
Sufficiently Studied? (GAPRESEARCH). Int J Environ Res Public Health. 2019 May
29;16(11):1899. doi: 10.3390/ijerph16111899. PMID: 31146379; PMCID:
PMC6603743.
7. Wagner A.C., Girard T., McShane K.E., Margolese S., Hart T.A. HIV-Related Stigma
and Overlapping Stigmas Towards People Living With HIV Among Health Care
Trainees in Canada. AIDS Educ. Prev. 2017;29:364–376. doi:
10.1521/aeap.2017.29.4.364.
8. Oktarina O, Hanafi F, Budisuari MA, Hubungan antara karakteristik responden,
keadaan wilayah, dengan pengetahuan, sikap terhadap HIV/AIDS pada masyarakat
Indonesia. Bul Penelit Sist Kesehatan. 2009; 12:1-6.
9. Situmeang B, Syarif S, Mahkota R. Hubungan pengetahuan HIV/AIDS dengan stigma
terhadap orang dengan HIV/AIDS di kalangan remaja 15-19 tahun di Indonesia
(analisis data SDKI tahun 2012). Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia. 2017; 1:
35-43.
10. CDC. HIV transmission [Internet]. [cited 2020 Jan 5]; Available from:
https://www.cdc.gov/hiv/basics/transmission.html
11. Cohen MS, Bartlett JG, Bloom A. HIV infection: risk factors and prevention
strategies. UpToDate. 2019; 40: 1-10.
12. Naif HM. Pathogenesis of HIV Infection. Infect Dis Rep. 2013 Jun 6;5(Suppl 1):e6.
doi: 10.4081/idr.2013.s1.e6. PMID: 24470970; PMCID: PMC3892619.

31
13. Kemenkes RI. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.01.07/MENKES/90/2019 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Tatalaksana HIV. Edisi ke 1. Jakarta: Kemenkes RI; 2019.
14. Notoatmodjo, Soekidjo. Pendidikan dan perilaku kesehatan. Edisi ke 1. Jakarta:
Rineka Cipta; 2003.
15. Rahman A. Psikologi Sosial Integrasi Pengetahuan Wahyu dan Pengetahuan Empirik.
Jakarta: Raja Grafindo Persada; 2013.
16. Flowerdew J. Scholarly writers who use English as an additional language: what can
Goffman’s “stigma” tell us? J Engl Acad Purposes. 2008; 7: 77-86.
17. Shaluhiyah Z, Musthofa SB, Widjanarko B. Stigma masyarakat terhadap orang
dengan HIV/AIDS. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2015; 9: 333-9.
18. Hasnain M. Cultural approach to HIV/AIDS harm reduction in Muslim
countries. Harm Reduct J. 2005 Oct 27;2:23. doi: 10.1186/1477-7517-2-23. PMID:
16253145; PMCID: PMC1298319.
19. Li L, Wu Z, Liang LJ, Lin C, Guan J, Jia M, Rou K, Yan Z. Reducing HIV-related
stigma in health care settings: a randomized controlled trial in China. Am J Public
Health. 2013 Feb;103(2):286-92. doi: 10.2105/AJPH.2012.300854. Epub 2012 Dec
13. PMID: 23237175; PMCID: PMC3556241.
20. Ghana News Agency. Stigma is a problem for HIV positive teachers [Internet]. [cited
2020 Jan 4] Available from: https://www.ghananewsagency.org/education/stigma-is-
a-problem-for-hiv-positive-teachers-77094
21. Loutfy MR, Logie CH, Zhang Y, Blitz SL, Margolese SL, Tharao WE, Rourke SB,
Rueda S, Raboud JM. Gender and ethnicity differences in HIV-related stigma
experienced by people living with HIV in Ontario, Canada. PLoS One.
2012;7(12):e48168. doi: 10.1371/journal.pone.0048168. Epub 2012 Dec 27. PMID:
23300514; PMCID: PMC3531426.

32
LAMPIRAN 1: KUESIONER PENGETAHUAN DAN STIGMATISASI HIV
Nama :
Jenis Kelamin : Laki-laki / Perempuan
Tempat & Tanggal Lahir :
Alamat :
Pendidikan Terakhir : Tidak sekolah / SD / SMP / SMA / Sarjana
Agama : Islam / Katolik / Kristen Protestan / Buddha / Hindu / Lainnya
Nomor HP / Telepon :
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
SILAHKAN BERIKAN TANDA SILANG PADA UNTUK MENJAWAB PERTANYAAN
DI BAWAH INI!
BAGIAN PERTAMA
1. Apakah sebelumnya Bapak / Ibu pernah mendapatkan informasi mengenai HIV/AIDS?
□ YA □ TIDAK
2. Jika jawaban Pertanyaan 1 YA, dari manakah Bapak / Ibu mendapatkan informasi
mengenai HIV/AIDS? (boleh lebih dari 1)
□ PUSKESMAS □RS □SEKOLAH □KORAN □TELEVISI
□LAINNYA,………(SEBUTKAN)
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
BAGIAN KEDUA
1. Apakah Bapak/Ibu akan membeli sayuran segar dari petani atau penjual yang saudara
ketahui terinfeksi HIV/AIDS?
□ YA □ TIDAK
2. Jika salah satu anggota keluarga Bapak/Ibu tertular virus HIV/AIDS, apakah Bapak/Ibu
akan merahasiakannya?
□ YA □ TIDAK
3. Jika salah satu anggota keluarga Bapak/Ibu menderita AIDS, apakah Bapak/Ibu bersedia
merawatnya di rumah Bapak/Ibu?
□ YA □ TIDAK
4. Jika seorang guru wanita diketahui tertular virus HIV/AIDS tapi tidak kelihatan sakit,
menurut pendapat Bapak/Ibu, apakah sebaiknya guru tersebut diperbolehkan tetap mengajar
di sekolah?
□ YA □ TIDAK
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
BAGIAN KETIGA
1. Apakah mungkin seseorang yang penampilannya tampak sehat ternyata ia telah tertular
virus HIV/AIDS?
□ YA □ TIDAK
2. Bagaimana cara mengetahui seseorang terinfeksi HIV/AIDS? (BOLEH LEBIH DARI
SATU)
□ FISIK □ PERILAKU ORANG □ TES DARAH □
LAINNYA,……………… (SEBUTKAN)
3. Apakah saudara tahu tentang adanya tes HIV/AIDS secara sukarela yang didahului dengan
konseling yang dikenal dengan VCT yaitu Voluntary Counseling and Testing?
□ YA □ TIDAK
4. Bisakah seseorang tertular virus HIV / AIDS melalui gigitan nyamuk?
□ YA □ TIDAK
5. Bisakah seseorang tertular virus HIV / AIDS karena diguna-guna atau didukuni atau
disantet?
□ YA □ TIDAK

33
6. Bisakah seseorang tertular virus HIV / AIDS dengan cara makan sepiring dengan orang
yang sudah terkena virus HIV/AIDS?
□ YA □ TIDAK
7. Bisakah seseorang tertular virus HIV/AIDS karena menggunakan jarum suntik yang sama
secara bergantian?
□ YA □ TIDAK
8. Bisakah seseorang mengurangi kemungkinan tertular virus HIV dan AIDS dengan
membatasi hubungan seks dengan seseorang yang tidak mempunyai pasangan?
□ YA □ TIDAK
9. Bisakah seseorang mengurangi kemungkinan tertular virus HIV/AIDS dengan cara
memakai kondom setiap melakukan hubungan seks?
□ YA □ TIDAK
10. Apakah virus penyebab AIDS dapat ditularkan oleh seorang ibu ke anaknya selama
kehamilan?
□ YA □ TIDAK
11. Apakah virus penyebab AIDS dapat ditularkan oleh seorang ibu ke anaknya saat
melahirkan?
□ YA □ TIDAK
12. Apakah virus penyebab AIDS dapat ditularkan oleh seorang ibu ke anaknya selama
menyusui?
□ YA □ TIDAK

34
LAMPIRAN 2: MEDIA LEAFLET

35
36
LAMPIRAN III: FOTO KEGIATAN

37

Anda mungkin juga menyukai