Anda di halaman 1dari 50

PROGRAM IMUNISASI DI PUSKESMAS

PATARUMAN KABUPATEN BANDUNG


BARAT

Kajian Pustaka

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Laboratorium Ilmu Kesehatan


Masyarakat

Pembimbing:
H. Sutedja, dr., SKM

Disusun Oleh:

Fatharani Khairunisa (4151171425)


Eka Ulfah Rahmawati (4151171436)
Ayu Ameliya (4151171446)
Beni Saputra (4151171447)
Syifa Salsabila (4151171508)

LABORATORIUM ILMU KESEHATAN


MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga kami dapat menyusun kajian pustaka ini
sebagai salah satu syarat kepaniteraan di bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat,
Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Achmad Yani.
Dalam kajian pustaka ini kami membahas mengenai “Program Imunisasi di
Puskesmas Pataruman Kabupaten Bandung Barat”.
Dalam penulisan kajian pustaka ini, kami telah dibantu oleh banyak pihak.
Untuk itu melalui kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. H. Sutedja, dr., SKM, selaku Koordinator dan pembimbing kami di Bidang
Ilmu Kesehatan Masyarakat FK UNJANI.
2. Lastiyono Eko Putro, SKM, selaku Kepala Puskesmas Pataruman yang telah
memberikan bimbingan sekaligus pembimbing yang telah membimbing
penulisan makalah ini selama kepaniteraan di Puskesmas Pataruman.
3. Lina Wati, dr., selaku pembimbing yang telah membimbing penulisan makalah
ini selama kepaniteraan di Puskesmas Pataruman.
4. Sherly P, dr., selaku pembimbing yang telah membimbing penulisan makalah
ini selama kepaniteraan di Puskesmas Pataruman.
5. Seluruh staff dan karyawan Puskesmas Pataruman.
6. Pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa kajian pustaka ini masih jauh dari
sempurna karena keterbatasan pengetahuan, pengalaman, dan waktu. Oleh karena
itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan proses
pembelajaran ini dan mohon maaf atas segala kekurangannya.
Akhirnya kami berharap semoga kajian pustaka ini dapat bermanfaat
khususnya bagi penulis dan bagi semua pihak yang membacanya.

Cimahi, Oktober 2019


Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii


DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL .................................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1
1.2 Manfaat dan Tujuan ......................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 3
2.1 Imunisasi ............................................................................................................ 3
2.1.1 Tujuan Imunisasi ...................................................................................... 3
2.1.2 Indikator Program Imunisasi .................................................................. 4
2.1.3 Jenis Imunisasi .......................................................................................... 5
2.2 Penyelenggaraan Pelayanan Imunisasi ......................................................... 12
2.2.1 Perencanaan ............................................................................................ 12
2.2.2 Penyedian dan Distribusi Logistik......................................................... 14
2.2.3 Penyimpanan Logistik ............................................................................ 21
2.2.4 Pelaksanaan Pelayanan .......................................................................... 27
2.3 KIPI .................................................................................................................. 28
2.3.1 Etiologi KIPI............................................................................................ 30
2.3.2 Kelompok Risiko Tinggi KIPI ............................................................... 31
2.3.3 Pemantauan KIPI ................................................................................... 31
2.3.4 Evaluasi KIPI .......................................................................................... 36
2.4 Pencatatan dan Pelaporan.................................................................................. 36
BAB III APLIKASI PUSKESMAS ..................................................................... 39
3.1 Pelaksanaan Imunisasi Rutin di Puskesmas Pataruman .......................................... 39
3.1.1 Kajian Kampanye Imunisasi Berdasarkan Desa ............................................. 39
3.1.2 Kajian Kampanye Imunisasi Campak Berdasarkan Tingkat Pendidikan ......... 41
3.2 Kendala Puskesmas ................................................................................................. 41
BAB IV KESIMPULAN ....................................................................................... 44
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 45

iii
iv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Jadwal Pemberian Imunisasi…………………………………….... 9


Tabel 2.2 Jadwal Imunisasi Lanjutan pada Anak Di Bawah 2 Tahun……..... 10
Tabel 2.3 Jadwal Imunisasi Lanjutan pada Anak Usia Sekolah Dasar……... 10
Tabel 2.4 Jadwal Imunisasi Lanjutan pada Wanita Usia Subur…………….. 11
Tabel 2.5 Jenis Vaksin Sesuai Kelompok Umur……………………………. 11
Tabel 2.6 Ukuran ADS dan Penggunaan…………………………………… 15
Tabel 2.7 Jenis Standar Minimal Peralatan Program Imunisasi……………. 16
Tabel 2.8 Cara Penyimpanan Vaksin……………………………….………. 21
Tabel 2.9 Masa Pemakaian Vaksin Sisa…………………………………….. 23
Tabel 2.10 Kelebihan dan Kekurangan Vaccine Refigerator………………… 24
Tabel 3.1 Hasil Kampanye Imunisasi Puskesmas Pataruman per Desa…….. 40
Tabel 3.2 Hasil Kampanye Imunisasi Campak Puskesmas Pataruman per
Sekolah Dasar…………………………………………………...... 42
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Indikator Program Imunisasi………………………………….. 4


Gambar 2.2 Imunisasi Berdasarkan Jenis Penyelenggara………………….. 5
Gambar 2.3 Volume Beberapa Jenis Vaksin per Kemasan………………… 17
Gambar 2.4 Sistem Rantai Dingin…………………………………………. 18
Gambar 2.5 Penyimpanan Vaksin…………………………………………. 21
Gambar 2.6 Indikator VVM pada Vaksin………………………………….. 22
Gambar 2.7 Cold Box Disposable………………………………………….. 25
Gambar 2.8 Cold Box Reusable……………………………………………. 26
Gambar 2.9 Vaccine Carier atau Termos…………………………………… 26
Gambar 2.10 Cold/Cool Pack………………………………………………... 26
Gambar 2.11 Maturasi Program Imunisasi………………………………....... 29
Gambar 2.12 Alur Pelaporan dan Pelacakan Kasus KIPI………………….... 32
Gambar 2.13 Alur Pelaporan dan Kajian KIPI…………………………….... 34
Gambar 2.14 Gejala KIPI dan Tindakan yang Harus Dilakukan…………… 34
Gambar 2.15 Pencatatan dan Pelaporan Program Imunisai…………………. 37
Gambar 2.16 Pencatatan dan Pelaporan Imunisasi Bayi, Batita, dan WUS…. 37

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Imunisasi merupakan suatu proses pentransferan antigen atau antibodi secara
pasif yang bertujuan untuk meningkatkan kekebalan seseorang terhadap suatu
penyakit. Upaya pencegahan dari paparan penyakit tertentu sehingga individu
tidak akan mengalami suatu penyakit ataupun tetap mengalami penyakit tersebut
dengan efek lebih ringan. Tujuan lainnya adalah untuk menurunkan angka
insidensi penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (P3DI).
Imunisasi terbagi menjadi dua yaitu imunisasi dasar dan imunisasi lanjutan.
Imunisasi dasar adalah pemberian imunisasi awal untuk mencapai kadar
kekebalan diatas ambang perlindungan, sementara imunisasi lanjutaadalah
imunisasi ulangan untuk mempertahankan tingkat kekebalan di atas ambang
perlindungan atau untuk memperpanjang masa perlindungan.1,2
Program imunisasi telah dicanangkan oleh World Health Organization sejak
tahun 1974, hingga akhirnya terlaksana pertama kali di Indonesia pada tahun yang
sama dengan pencapaian target hanya 5%. Kini capaian imunisasi di Indonesia
pada tahun 2019 diharapkan menjadi 93%. Penentuan jenis imunisasi ini
didasarkan atas kajian ahli dan analisis epidemiologi atas penyakit-penyakit yang
menjadi prioritas suatu negara.. Salah satunya di Negara Indonesia, program
imunisasi mewajibkan setiap bayi (usia 0-11 bulan) mendapatkan imunisasi dasar
lengkap yang terdiri dari Hepatitis B, Bacillus Celmette-Guerin (BCG), Difteri
Pertusis Tetanus (DPT) - Haemophilus Influenzae Tipe B (Hib), Polio dan
Campak. Tak hanya pada anak imunisasi Tetanus-Toxoid (TT) pada ibu hamil dan
wanita usia subur.2,3
Indonesia menjadi salah satu negara prioritas yang diidentifikasi oleh World
Health Organization (WHO) dan United Nations Emergency Children’s Fund
(UNICEF) untuk melaksanakan akselerasi dalam pencapaian target 100%
Universal Child Immunization (UCI) desa atau kelurahan. Gerakan Akselerasi
Imunisasi Nasional (GAIN) adalah salah satu keadaan tercapainya imunisasi dasar

1
2

secara lengkap pada semua bayi (anak dibawah umur 1 tahun) dan berdasarkan
Rencana Program Jangka Menengah Nasional (RPJMN) pemerintah berkomitmen
untuk mencapai target >95% desa mencapai UCI pada tahun 2019.Cakupan desa
atau kelurahan UCI di Indonesia pada tahun 2018 kenyataannya hanya mencapai
88,6%.2,3
Cakupan imunisasi dasar lengkap pada bayi di Provinsi Jawa Barat tahun
2018 yaitu sebesar 83,9% dan menduduki urutan keenam belas dari seluruh
provinsi di Indonesia. Tiga provinsi dengan cakupan imunisasi dasar lengkap pada
bayi yang tertinggi yaitu Sumatera Selatan (100, 8%), Kepulauan Riau (100,7%),
dan Jawa Tengah (100,2%).4
Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat tahun 2017 di Kabupaten
Bandung Barat yang melakukan imunisasi dasar lengkap sebanyak 26.582 bayi
dari total populasi 30.554 bayi. Sedangkan ibu hamil dengan imunisasi TT
berjumlah 34.933 jiwa dan yang melakukan imunisasi TT berjumlah 25.464
jiwa.2,3
Puskesmas Pataruman yang berada di kabupaten Bandung Barat mencakup 5
desa, yaitu Desa Pataruman, Desa Situ Wangi, Desa Tanjung Wangi, Desa
Citapen, Desa Cipatik. Data dari puskesmas Pataruman pada bulan September
2019 program imunisasi dasar lengkap sudah memenuhi target UCI pada setiap
desanya. Cakupan terbanyak pada desa Citapen sebanyak 101% dan terendah pada
desa Tanjungwangi sebanyak 73%.

1.2 Manfaat dan Tujuan


Manfaat dan tujuan dari kajian pustaka ini adalah untuk memeroleh informasi
mengenai gambaran program imunisasi di Puskesmas Pataruman Kabupaten
Bandung Barat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Imunisasi
Imunisasi berasal dari kata imun, kebal atau resisten. Imunisasi pada anak,
berarti diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Diharapkan anak
kebal atau resisten terhadap suatu penyakit tetapi belum tentu kebal terhadap
penyakit yang lain.5
Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan
seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga apabila suatu saat
terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit
ringan.6
2.1.1 Tujuan Imunisasi
Imunisasi bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada
seseorang dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyaratkat.
Tujuan Umum
Menurunkan angka kesakitan, kematian dan kecacatan akibat Penyakit yang
Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I).6
Tujuan Khusus
a. Tercapainya cakupan Imunisasi dasar lengkap (IDL) pada bayi sesuai target
RPJMN.
b. Tercapainya Universal Child Immunization/UCI (Prosentase minimal 80% bayi
yang mendapat IDL disuatu desa/kelurahan) di seluruh desa/kelurahan
c. Tercapainya target Imunisasi lanjutan pada anak umur di bawah dua tahun
(baduta) dan pada anak usia sekolah dasar serta Wanita Usia Subur (WUS).
d. Tercapainya reduksi, eliminasi, dan eradikasi penyakit yang dapat dicegah
dengan Imunisasi.
e. Tercapainya perlindungan optimal kepada masyarakat yang akan berpergian ke
daerah endemis penyakit tertentu.
f. Terselenggaranya pemberian Imunisasi yang aman serta pengelolaan limbah
medis (safety injection practise and waste disposal management).6

3
4

2.1.2 Indikator Program Imunisasi


Seperti yang tertuang di dalam RPJMN dan Renstra Kementerian Kesehatan,
imunisasi memiliki 3 indikator dalam mengevaluasi kinerja program.
Ke 3 indikator tersebut adalah:
1. % Kab/Kota yang mencapai 80% imunisasi dasar lengkap tertuang di
dalam RPJMN
2. % anak usia 0-11 bulan yang mendapat imunisasi dasar lengkap tertuang
di dalam Renstra
3. % anak usia 12-24 bulan mendapat imunisasi DPT-HB-Hib lanjutan
tertuang di dalam Renstra

Gambar 2.1. Indikator Program Imunisasi.6

Pada tahun 2015 hanya indikator % anak usia 12-24 bulan mendapat imunisasi
DPT-HB-Hib lanjutan yang dapat mencapai target, sedangkan kedua indikator
lainnya tidak dapat mencapai target. Di tahun 2016 sampai 2017, semua indikator
dapat mencapai target. Hal ini menunjukkan secara nasional program imunisasi
sudah cukup baik pencapaiannya. Namun untuk meyakinkan apakah suatu daerah
berisiko atau tidak terhadap terjadinya kasus PD3I (Penyakit yang Dapat Dicegah
5

Dengan Imunisasi), maka kita harus mengetahui capaian imunisasi di level yang
lebih rendah yaitu kab/kota, kecamatan bahkan desa.7
2.1.3 Jenis Imunisasi
Imunisasi di Indonesia dibagi berdasarkan jenis penyelenggaraan menjadi
imunisasi program dan imunisasi pilihan. Imunisasi program adalah imunisasi
yang diwajibkan oleh pemerintah untuk seseorang sesuai dengan kebutuhannya
dalam rangka melindungi yang bersangkutan dan masyarakat sekitarnya dari
penyakit menular tertentu. Imunisasi program terdiri atas imunisasi rutin,
imunisasi tambahan, dan imunisasi khusus. Sedangkan imunisasi pilihan adalah
imunisasi yang dapat diberikan kepada seseorang sesuai dengan kebutuhannya
dalam rangka melindungi yang bersangkutan dari penyakit menular tertentu.6

Rutin

Program Tambahan
Khusus
Imunisasi

Pilihan

Gambar 2.2. Imunisasi Berdasarkan Jenis Penyelenggaraan.6

2.1.3.1 Imunisasi Rutin


Imunisasi rutin merupakan imunisasi yang dilakukan secara terus menerus dan
berkesinambungan. Imunisasi rutin terdiri atas imunisasi dasar dan imunisasi
lanjutan. Imunisasi dasar diberikan pada bayi sebelum berusia 1 tahun. Imunisasi
dasar terdiri atas:5
a. BCG
Vaksin BCG merupakan vaksin beku kering yang mengandung
Mycrobacterium bovis hidup yang dilemahkan. Indikasi pada vaksin ini untuk
pemberian kekebalan aktif terhadap tuberkulosis. Cara pemberian dan dosis
pada vaksin BCG yaitu 0,05 ml sebanyak 1 kali. Disuntikan secara intrakutan
6

di daerah lengan kanan atas (insertio musculus deltoideus). Efek samping 2–6
minggu setelah imunisasi BCG daerah bekas suntikan timbul bisul kecil
(papula) yang semakin membesar dan dapat terjadi ulserasi dalam waktu 2–4
bulan, kemudian menyembuh perlahan dengan menimbulkan jaringan parut
dengan diameter 2–10 mm. Penanganan efek samping apabila ulkus
mengeluarkan cairan perlu dikompres dengan cairan antiseptik. Apabila cairan
bertambah banyak atau koreng semakin membesar anjurkan orangtua
membawa bayi ke ke tenaga kesehatan.5
b. DPT-HB-HIB
Vaksin DTP-HB-Hib digunakan untuk pencegahan terhadap difteri,
tetanus, pertusis (batuk rejan), hepatitis B, dan infeksi Haemophilus influenzae
tipe b secara simultan. Cara pemberian dan dosis pada vaksin ini yaitu 0,5 ml.
vaksin harus diuntikan secara intramuscular pada anterolateral paha atas.
Kontraindikasi dari vaksin DPT-HB-HIB adalah kejang atau gejala kelainan
otak pada bayi baru lahir atau kelainan saraf. Efek samping terjadi reaksi lokal
sementara, seperti bengkak, nyeri, dan kemerahan pada lokasi suntikan,
disertai demam dapat timbul dalam sejumlah besar kasus. Kadang-kadang
reaksi berat, seperti demam tinggi, irritabilitas (rewel), dan menangis dengan
nada tinggi dapat terjadi dalam 24 jam setelah pemberian. Penangan efek
samping apabila terjadi orangtua dianjurkan untuk memberikan minum lebih
banyak (ASI atau sari buah). Jika demam, kenakan pakaian yang tipis. Bekas
suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin. Jika demam berikan
paracetamol 15 mg/kgBB setiap 3–4 jam (maksimal 6 kali dalam 24 jam).
Bayi boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat. Jika reaksi memberat
dan menetap bawa bayi ke dokter.5
c. Hepatitis B
Vaksin hepatitis B merupakan virus recombinan yang telah diinaktivasikan
dan bersifat non-infecious, berasal dari HBsAg. Cara pemberian dan dosis
yang diberikan yaitu 0,5 ml atau 1 (buah) HB PID, secara intramuscular,
sebaiknya pada anterolateral paha. Pemberian sebanyak 3 dosis. Dosis pertama
usia 0-7 hari, dosis berikutnya interval minimum 4 minggu (1 bulan).
7

Kontraindikasi dari vaksin hepatitis B merupakan penderita infeksi berat yang


disertai kejang. Efek samping reaksi lokal seperti rasa sakit, kemerahan dan
pembengkakan di sekitar tempat penyuntikan. Reaksi yang terjadi bersifat
ringan dan biasanya hilang setelah 2 hari. Apabila terjadi efek samping maka
orangtua dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI). Jika
demam, kenakan pakaian yang tipis. Bekas suntikan yang nyeri dapat
dikompres air dingin. Jika demam berikan paracetamol 15 mg/kgBB setiap 3–
4 jam (maksimal 6 kali dalam 24 jam). Bayi boleh mandi atau cukup diseka
dengan air hangat.5
d. Polio
Vaksin polio oral adalah Vaksin Polio Trivalent yang terdiri dari suspensi
virus poliomyelitis tipe 1, 2, dan 3 (strain Sabin) yang sudah dilemahkan.
Indikasi pada vaksin polio untuk pemberian kekebalan aktif terhadap
poliomielitis. Dosis yang diberikan 1 dosis (dua tetes) sebanyak 4 kali (dosis)
pemberian, dengan interval setiap dosis minimal 4 minggu secara peroral.
Kontraindikasi pada pasien yang akan divaksin pada individu yang menderita
immune deficiency tidak ada efek berbahaya yang timbul akibat pemberian
polio pada anak yang sedang sakit. Sangat jarang terjadi reaksi sesudah
imunisasi polio oral. Setelah mendapat vaksin polio oral bayi boleh makan
minum seperti biasa. Apabila muntah dalam 30 menit segera diberi dosis
ulang.5
Vaksin Inactive Polio Vaccine (IPV) adalah vaksin polio dengan bentuk
suspense injeksi. Vaksin ini digunakan apabila vaksin polio oral menjadi
kontraindikasi. Dosis yang diberikan 0,5 ml disuntikan secara intramuscular
atau subkutan dalam. Dari usia 2 bulan, 3 suntikan berturut-turut 0,5 ml harus
diberikan pada interval satu atau dua bulan. IPV dapat diberikan setelah usia
bayi 6, 10, dan 14 sesuai dengan rekomendasi dari WHO. Untuk orang dewasa
yang belum diimunisasi diberikan 2 suntikan berturut-turut dengan interval
satu atau 2 bulan. Kontra indikasi pada IPV yaitu sedang menderita demam,
penyakit akut atau penyakit kronis progresif. Hipersensitif pada saat
8

pemberian vaksin ini sebelumnya. Penyakit demam akibat infeksi akut: tunggu
sampai sembuh. Alergi terhadap Streptomycin.5
Efek samping yang dapat timbul yaitu reaksi lokal pada tempat
penyuntikan: nyeri, kemerahan, indurasi, dan bengkak bisa terjadi dalam
waktu 48 jam setelah penyuntikan dan bisa bertahan selama satu atau dua hari.
Apabila terjadi efek samping maka penangan pada orangtua dianjurkan untuk
memberikan minum lebih banyak (ASI). Jika demam, kenakan pakaian yang
tipis. Bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin. Jika demam
berikan paracetamol 15 mg/kgBB setiap 3–4 jam (maksimal 6 kali dalam 24
jam). Bayi boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat.5
e. Campak
Vaksin campak merupakan vaksin virus hidup yang dilemahkan. Dosis
yang diberikan 0,5 ml disuntikan secara subkutan pada lengan kiri atas atau
anterolateral paha, pada usia 9-11 bulan. Kontraindikasi pada vaksin ini
Individu yang mengidap penyakit immune deficiency atau individu yang
diduga menderita gangguan respon imun karena leukemia, limfoma. Efek
samping yang mungkin terjadi hingga 15% pasien dapat mengalami demam
ringan dan kemerahan selama 3 hari yang dapat terjadi 8–12 hari setelah
vaksinasi. Penanganan efek samping orangtua dianjurkan untuk memberikan
minum lebih banyak (ASI atau sari buah). Jika demam kenakan pakaian yang
tipis. Bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin. Jika demam
berikan paracetamol 15 mg/kgBB setiap 3–4 jam (maksimal 6 kali dalam 24
jam). Bayi boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat. Jika reaksi
tersebut berat dan menetap bawa bayi ke dokter.5
9

Tabel 2.1 Jadwal Pemberian Imunisasi.


Interval minimal untuk jenis
Umur Jenis
imunisasi yang sama
0 – 24 jam Hepatitis B
1 bulan BCG, Polio 1
2 bulan DTP-Hb-Hib 1, polio 2 1 bulan
3 bulan DTP-Hb-Hib 2, polio 3 1 bulan
4 bulan DTP-Hb-Hib 3, polio 4, IPV 1 bulan
9 bulan Campak
(dikutip dari: Permenkes No. 12 tahun 2017)

Imunisasi lanjutan merupakan merupakan ulangan imunisasi dasar untuk


mempertahankan tingkat kekebalan dan untuk memperpanjang masa perlindungan
anak yang sudah mendapatkan imunisasi dasar. Imunisasi lanjutan sebagaimana
diberikan pada: anak usia bawah dua tahun (Baduta), anak usia sekolah dasar dan
wanita usia subur (WUS).6
Imunisasi lanjutan yang diberikan pada Baduta terdiri atas imunisasi terhadap
penyakit difteri, pertusis, tetanus, hepatitis B, pneumonia dan meningitis yang
disebabkan oleh Hemophilus Influenza tipe b (Hib), serta campak. 6

Tabel 2.2 Jadwal Imunisasi Lanjutan pada Anak Bawah Dua Tahun.
Interval minimal setelah
Umur Jenis imunisasi
pemberian imunisasi dasar
DTP-HB-Hib 12 bulan dari DTP-HB-Hib 3
18 bulan
Campak 6 bulan dari campak dosis pertama
(dikutip dari: Permenkes No. 12 tahun 2017)

Imunisasi lanjutan yang diberikan pada anak usia sekolah dasar terdiri atas
imunisasi terhadap penyakit campak, tetanus, dan difteri. Imunisasi lanjutan yang
diberikan pada anak usia sekolah dasar diberikan pada bulan imunisasi anak
sekolah (BIAS) yang diintegrasikan dengan usaha kesehatan sekolah.6
10

Tabel 2.3 Jadwal Imunisasi Lanjutan pada Anak Usia Sekolah Dasar.
Sasaran Imunisasi Waktu pelaksanaan
Campak, Agustus
Kelas 1 SD
DT November
Kelas 2 SD Td November
Kelas 3 SD Td November
(dikutip dari: Permenkes No. 12 tahun 2017)

Tabel 2.4 Imunisasi Lanjutan pada Wanita Usia Subur.


Status Imunisasi Interval minimal pemberian Masa Perlindungan
T1 - -
T2 4 minggu setelah T1 3 tahun
T3 6 bulan setelah T2 5 tahun
T4 1 tahun setelah T3 10 tahun
T5 1 tahun setelah T4 Lebih dari 25 tahun
(dikutip dari: Permenkes No. 12 tahun 2017)

2.1.3.2 Imunisasi Tambahan


Imunisasi tambahan diberikan kepada kelompok umur tertentu yang paling
berisiko terkena penyakit sesuai kajian epidemiologis pada periode waktu tertentu.
Yang termasuk dalam kegiatan imunisasi tambahan adalah Backlog fighting,
Crash program, PIN (Pekan Imunisasi Nasional), Sub-PIN, Catch up Campaign
campak dan Imunisasi dalam Penanganan KLB (Outbreak Response
Immunization/ORI).6
2.1.3.3 Imunisasi Khusus
Imunisasi khusus merupakan kegiatan imunisasi yang dilakukan untuk
melindungi masyarakat terhadap penyakit tertentu pada situasi tertentu. Situasi
tertentu seperti persiapan keberangkatan calon jemaah haji/umrah, persiapan
perjalanan menuju negara endemis penyakit tertentu dan kondisi kejadian luar
biasa. Jenis imunisasi khusus, antara lain terdiri atas Imunisasi Meningitis
Meningokokus, Imunisasi Demam Kuning, dan Imunisasi Anti-Rabies.6
11

2.1.3.4 Imunisasi Catch Up


Penting untuk kita ketahui bahwa dasar pemberian imunisasi dasar sampai
usia 1 tahun bertujuan untuk mendapatkan kekebalan pertama kalinya. Pada saat
sang anak berusia 1-4 tahun, imunisasi yang diberikan merupakan imunisasi
ulangan yang bertujuan untuk memperpanjang masa kekebalan imunisasi
dasarnya. Masa ini juga ditujukan bagi mereka yang mengalami keterlambatan
imunisasi, untuk melengkapi imunisasinya (catch-up). Pemberian imunisasi yang
terlambat masih bisa dilanjutkan hingga anak usia <1 tahun. Beberapa imunisasi
harus diulang saat seseorang menjadi dewasa, seperti varicella dan hepatitis B,
bahkan pada usia dewasa tua atau usia lanjut, seperti pneumokokus dan
influenza.7,8
Pada bayi baru lahir hingga berusia 1 tahun, imunisasi dasar wajib dipenuhi
untuk memberikan kekebalan terhadap penyakit yang berbahaya pada awal masa
anak. Saat anak berusia 1-4 tahun, imunisasi ulangan bertujuan untuk
memperpanjang masa kekebalan imunisasi dasar tersebut. Masa ini juga berfungsi
untuk melengkapi imunisasi yang belum lengkap (catch up immunization).
Imunisasi diulang pada usia sekolah (5-12 tahun) dan usia remaja 13-18 tahun
sambil melengkapi imunisasi.8

Tabel 2.5 Jenis Vaksin Sesuai Kelompok Umur.


Kelompok Usia Jenis Imunisasi
BCG, Polio, Hepatitis B, DPT, Campak, HiB,
Lahir – Usia <1 tahun
Pneumokokus, Rotavirus
DPT, Polio, MMR, Tifoid, Hepatitis A, Varisela, ,
1 – 4 tahun
Influenza, HiB, Pneumokokus
DPT, Polio, Campak, MMR, Tifoid, Hepatitis A,
5 – 12 tahun
Varisela, Influenza, Pneumokokus
TT, Hepatitis B, MMR, Tifoid, Hepatitis A, Varisela,
12 – 18 tahun
Influenza, Pneumokokus, HPV
Lansia Influenza, Pneumokokus
(dikutip dari : IDAI)
12

2.2 Penyelenggaraan Pelayanan Imunisasi


Pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggung jawab dalam
penyelenggaraan pelayanan program imunisasi.6 Penyelenggaraan turut
dilaksanakan oleh masyarakat dengan mengupayakan kesinambungan
penyelenggaraan melalui perencanaan program dan anggaran terpadu (APBN,
APBD, LSM dan masyarakat).8
2.2.1 Perencanaan
Perencanaan harus disusun secara berjenjang mulai dari puskesmas,
kabupaten/kota, provinsi dan pusat. Perencanaan harus dilakukan secara benar
oleh petugas yang profesional. Ketidaktepatan dalam perencanaan akan
mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan program, tidak tercapainya target
kegiatan, pemborosan keuangan negara serta hilangnya kepercayaan masyarakat.6
Usulan perencanaan pemerintah daerah kabupaten/kota dan pemerintah daerah
provinsi secara berjenjang, terdiri dari jumlah sasaran pada daerah
kabupaten/kota, kebutuhan logistik, tenaga pengelola, pelaksanaan pelayanan,
pengelolaan limbah, dan pemantauan (evaluasi) sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.6
2.2.1.1 Jumlah Sasaran
1) Sasaran Imunisasi Rutin
a. Bayi pada Imunisasi Dasar
Jumlah bayi baru lahir dihitung/ditentukan berdasarkan angka yang
dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan. Sasaran ini digunakan untuk
menghitung imunisasi Hepatitis B, BCG dan Polio 1. Jumlah bayi baru lahir
di tingkat kecamatan dan desa dapat dihitung sebagai berikut: 5,6
Kecamatan:
Jumlah bayi lahir hidup kecamatan tahun lalu x Jumlah bayi kab/kota tahun ini
Jumlah bayi lahir hidup kab/kota tahun lalu
Desa/Kel :
Jumlah bayi lahir hidup desa/kelurahan tahun lalu x Jumlah bayi kecamatan tahun ini
Jumlah bayi lahir hidup kecamatan tahun lalu
atau
Desa = Pendataan sasaran per desa
13

Jumlah bayi yang bertahan hidup (surviving infant) dihitung/ditentukan


berdasarkan jumlah bayi baru lahir dikurangi dengan jumlah kematian bayi
yang didapat dari perhitungan angka kematian bayi dikalikan dengan jumlah
bayi baru lahir dengan rumus:5,6
Surviving Infant = Jumlah bayi – {Infant Mortality Rate (IMR) x Jumlah bayi}.
Sasaran ini digunakan untuk menghitung imunisasi yang diberikan pada
bayi usia 2–11 bulan.5,6
b. Anak Dibawah Usia 2 Tahun (Baduta) pada Imunisasi Lanjutan
 Untuk sasaran Imunisasi lanjutan pada baduta sama dengan jumlah
Surviving Infant (SI) tahun lalu.6
 Jumlah Baduta dihitung/ditentukan berdasarkan jumlah Surviving infant
(SI).6
c. Anak Sekolah Dasar pada Imunisasi Lanjutan
Jumlah sasaran anak sekolah didapatkan dari data yang dikeluarkan oleh
Kementerian Kesehatan.6
c. Wanita Usia Subur (WUS) pada Imunisasi Lanjutan
Batasan wanita usia subur yang menjadi sasaran imunisasi lanjutan adalah
antara 15-49 tahun. Jumlah sasaran WUS ini didapatkan dari data
Kementerian Kesehatan. Wanita usia subur terdiri dari WUS hamil dan tidak
hamil.5,6
WUS = 21,9% x Jumlah Penduduk.
2) Sasaran Imunisasi Tambahan
Sasaran imunisasi tambahan adalah kelompok risiko (golongan umur)
yang paling berisiko terkenanya kasus. Jumlah sasaran didapatkan
berdasarkan pendataan langsung.5
3) Sasaran Imunisasi Khusus
Sasaran imunisasi khusus ditetapkan dengan keputusan tersendiri
(misalnya: jemaah haji, masyarakat yang akan pergi ke negara tertentu).5
14

2.2.2 Penyedian dan Distribusi Logistik


Logistik Imunisasi terdiri dari vaksin, Auto Disable Syringe dan safety box.
Ketiga kebutuhan tersebut harus direncanakan secara bersamaan dalam jumlah
yang berimbang (system bundling).5,6
2.2.2.1 Vaksin

1) Menentukan Target Cakupan


Menentukan target cakupan adalah menetapkan berapa besar cakupan
yang akan dicapai pada tahun yang direncanakan untuk mengetahui kebutuhan
vaksin yang akan dibutuhkan. Penetapan target cakupan berdasarkan tingkat
pencapaian di tiap-tiap wilayah kerja.5,6
2) Menghitung Indeks Pemakaian Vaksin
Indeks pemakaian (IP) vaksin adalah dosis riil setiap kemasan vaksin.
Dalam menghitung jumlah kebutuhan vaksin harus diperhatikan beberapa hal,
yaitu jumlah sasaran, jumlah pemberian, target cakupan dan indeks pemakaian
vaksin dengan memperhitungkan sisa vaksin (stok) sebelumnya.5,6
Kebutuhan  {Jumlah Sasaran x Jumlah Pemberian x 100%} - Sisa Stok
IP Vaksin
Indeks pemakaian vaksin (IP) adalah pemakaian rata-rata setiap kemasan
vaksin. Cara menghitung IP adalah dengan membagi jumlah cakupan dengan
jumlah vaksin yang dipakai.5,6
Rumus:
IP Vaksin = Jumlah Cakupan / Jumlah Vaksin yang dipakai
2.2.2.2 Auto Disable Syringe
Alat suntik yang dipergunakan dalam pemberian imunisasi adalah alat suntik
yang akan mengalami kerusakan setelah sekali pemakaian (Auto Disable
Syringe/ADS). Ukuran ADS beserta penggunaannya terlihat seperti tabel
berikut:5,6
15

Tabel 2.6 Ukuran ADS dan Penggunaan.


No. Ukuran ADS Penggunaan
1. 0,05 ml Pemberian imunisasi BCG
Pemberian imunisasi DPT-HB-Hib,
2. 0,5 ml
Campak, DT, Td, dan IPV
3. 5 ml Untuk melarutkan BCG dan Campak
(dikutip dari: Permenkes No.12 Tahun 2017)

2.2.2.3 Safety Box


Safety box digunakan untuk menampung alat suntik bekas pelayanan
imunisasi sebelum dimusnahkan. Safety box berukuran 2,5 liter mampu
menampung 50 alat suntik bekas, sedangkan ukuran 5 liter menampung 100 alat
suntik bekas. Limbah imunisasi selain alat suntik bekas tidak boleh dimasukkan
ke dalam safety box. Berdasarkan sistem bundling maka penyediaan safety box
mengikuti jumlah ADS. Safety box yang sudah berisi alat suntik bekas tidak boleh
disimpan lebih dari 2 x 24 jam.5,6
2.2.2.4 Perencanaan Kebutuhan Peralatan Cold Chain
Vaksin merupakan bahan biologis yang mudah rusak sehingga harus disimpan
pada suhu tertentu (suhu 2 s/d 8 ºC untuk vaksin sensitif beku atau pada suhu -15
s/d -25 ºC untuk vaksin yang sensitif panas).5,6
Cara perhitungan kebutuhan coldchain adalah dengan mengalikan jumlah stok
maksimal vaksin (semua jenis vaksin) dengan volume setiap jenis dan
membandingkannya dengan volume lemari es/freezer.5
16

Tabel 2.7 Jenis Standar Minimal Peralatan Program Imunisasi.


Jenis Provinsi Kabupaten/Kota Puskesmas
Voltage Stabilizer V v v
Indikator pembekuan dan
V v v
pemantau suhu panas
Alat pencatat suhu kontinyu v v v
Thermometer v v v
ADS (Auto Disable Syringe) v v v
Safety Box v v v
Kendaraan berpendingin khusus v v -
Komputer v v v
Tabung pemadam kebakaran v v v
Suku cadang v v v
Tool kits v v v
(dikutip dari: Permenkes No.12 Tahun 2017)

Penentuan jumlah kapasitas cold chain harus dihitung berdasarkan volume


puncak kebutuhan vaksin rutin (maksimal stok) ditambah dengan kegiatan
tambahan (bila ada).6
Maksimal stok vaksin provinsi adalah 2 bulan kebutuhan ditambah 1 bulan
cadangan, kabupaten/kota 1 bulan kebutuhan ditambah 1 bulan cadangan,
Puskesmas 1 bulan kebutuhan ditambah dengan 1 minggu cadangan.6
Selain kebutuhan vaccine refrigerator dan freezer, harus direncanakan juga
kebutuhan vaksin carrier untuk membawa vaksin ke lapangan serta cool pack
sebagai penahan suhu dingin dalam vaksin carrier selama transportasi vaksin.6
Cara perhitungan kebutuhan cold chain adalah dengan mengalikan jumlah
stok maksimal vaksin (semua jenis vaksin) dengan volume setiap jenis vaksin, dan
membandingkannya dengan volume vaccine refrigerator/freezer.6
17

Gambar 2.3 Volume Beberapa Jenis Vaksin/ Kemasan.6

Cara menentukan volume vaccine refrigerator/freezer adalah dengan


mengukur langsung pada bagian dalam (ruangan) penyimpanan vaksin. Volume
bersih untuk penyimpanan vaksin adalah 70% dari total volume. Kegiatan seperti
BIAS, PIN, atau Outbreak Response Immunization (ORI) juga harus
diperhitungkan dalam perhitungan kebutuhan cold chain.6
2.2.2.5 Distribusi Logistik
Pemerintah bertanggung jawab dalam pendistribusian logistik sampai ke
tingkat provinsi. Pendistribusian selanjutnya merupakan tanggung jawab
pemerintah daerah secara berjenjang.5
18

Gambar 2.4 Sistem Rantai Dingin.5

Seluruh proses distribusi vaksin program dari pusat sampai ketingkat


pelayanan, harus mempertahankan kualitas vaksin tetap tinggi agar mampu
memberikan kekebalan yang optimal kepada sasaran. Berikut alur proses
distribusi logistik:5,6
a. Pusat ke Provinsi
1) Penyedia vaksin bertanggung jawab terhadap seluruh pengiriman vaksin dari
pusat sampai ke tingkat provinsi.
2) Dinas kesehatan provinsi mengajukan rencana jadwal penyerapan vaksin
alokasi provinsi yang dikirimkan kepada direktorat jenderal yang membawahi
bidang kefarmasian dan alat kesehatan kementerian kesehatan, tembusan kepada
direktorat jenderal kementerian kesehatan yang membawahi bidang
pengendalian penyakit. Subdit imunisasi serta kepada penyedia vaksin paling
lambat 10 hari kerja setelah alokasi vaksin diterima di provinsi.
3) Vaksin akan dikirimkan sesuai jadwal rencana penyerapan dan atau
permintaan yang diajukan oleh dinas kesehatan provinsi.
19

4) Pengiriman vaksin (terutama BCG) dilakukan secara bertahap (minimal


dalam dua kali pengiriman) dengan interval waktu dan jumlah yang seimbang
dengan memperhatikan tanggal kadaluarsa dan kemampuan penyerapan serta
kapasitas tempat penyimpanan.
5) Vaksin untuk kegiatan BIAS dikirimkan 1 (satu) bulan sebelum pelaksanaan
atau sesuai permintaan.
6) Vaksin alokasi pusat akan dikirimkan berdasarkan permintaan resmi dari
dinas kesehatan provinsi yang ditujukan kepada direktorat jenderal yang
membawahi bidang pengendalian penyakit kementerian kesehatan. direktur yang
membawahi bidang imunisasi dengan melampirkan laporan monitoring vaksin
pada bulan terakhir.
7) Dalam setiap pengiriman vaksin harus disertakan dokumen berupa:
a) SP (Surat Pengantar) untuk vaksin alokasi provinsi/SBBK (Surat Bukti
Barang Keluar) untuk vaksin alokasi pusat.
b) VAR (Vaccine Arrival Report) untuk setiap nomor batch vaksin.
c) Copy Certificate of Release (CoR) untuk setiap batch vaksin.
8) Wadah pengiriman vaksin berupa cold box disertai alat untuk
mempertahankan suhu dingin berupa:
a) Cool pack untuk vaksin Td, DT, Hepatitis B, dan DPT-HB-Hib.
b) Cold pack untuk vaksin BCG dan Campak.
c) Dry ice dan/atau cold pack untuk vaksin Polio.
9) Pelarut dan penetes dikemas pada suhu kamar terpisah dengan vaksin (tanpa
menggunakan pendingin).
10) Pada setiap cold box disertakan alat pemantau paparan suhu tambahan
berupa:
a) Indikator paparan suhu beku untuk vaksin sensitif beku (DT, Td, Hep.B
dan DPT-HB-Hib).
b) Indikator paparan suhu panas untuk vaksin BCG.
b. Provinsi ke Kabupaten/Kota
1) Merupakan tanggung jawab pemerintah daerah dengan cara diantar oleh
provinsi atau diambil oleh kabupaten/kota.
20

2) Dilakukan atas dasar permintaan resmi dari dinas kesehatan kabupaten/kota


dengan mempertimbangkan stok maksimum dan daya tampung tempat
penyimpanan.
3) Menggunakan cold box yang disertai alat penahan suhu dingin berupa:
a) Cool pack untuk vaksin DT, Td, Hepatitis B PID dan DPT-HB-Hib.
b) Cold pack untuk vaksin BCG, Campak dan Polio.
4) Apabila vaksin sensitif beku dan sensitif panas ditempatkan dalam satu wadah
maka pengepakannya menggunakan cold box yang berisi cool pack.
5) Dalam setiap pengiriman harus disertai dengan dokumen berupa:
a) VAR (Vaccine Arrival Report) yang mencantumkan seluruh vaksin.
b) SBBK (Surat Bukti Barang Keluar).
6) Pengepakan vaksin sensitif beku harus dilengkapi dengan indikator
pembekuan.
c. Kabupaten/ Kota ke Puskesmas
1) Dilakukan dengan cara diantar oleh kabupaten/kota atau diambil oleh
puskesmas.
2) Dilakukan atas dasar permintaan resmi dari puskesmas dengan
mempertimbangkan stok maksimum dan daya tampung penyimpanan vaksin.
3) Menggunakan cold box atau vaccine carrier yang disertai dengan cool pack.
4) Disertai dengan dokumen pengiriman berupa Surat Bukti Barang Keluar
(SBBK) dan Vaccine Arrival Report (VAR).
5) Pada setiap cold box atau vaccine carrier disertai dengan indikator
pembekuan.
d. Puskesmas ke Tempat Pelayanan
1) Vaksin dibawa dengan menggunakan vaccine carrier yang diisi coolpack
dengan jumlah yang sesuai ke seluruh fasilitas pelayanan kesehatan di wilayah
kerja puskesmas, baik pemerintah maupun swasta yang menyelenggarakan
pelayanan program imunisasi.
2) Dilakukan dengan cara diantar oleh puskesmas atau diambil oleh fasilitas
pelayanan kesehatan atas dasar permintaan resmi.
21

2.2.3 Penyimpanan Logistik


Kualitas vaksin harus dijaga tetap tinggi sejak diterima sampai didistribusikan
ketingkat berikutnya, vaksin harus selalu disimpan pada suhu yang telah
ditetapkan.5,6

Tabel 2.8 Cara Penyimpanan Vaksin.


Provinsi Kabupaten/Kota Puskesmas
a. Vaksin polio tetes a. Vaksin Polio Tetes a. Semua vaksin
disimpan pada suhu -15°C disimpan pada suhu -15°C disimpan pada suhu 2°C
s.d. -25°C pada freeze s.d. -25°C pada freezer. s.d. 8°C pada vaccine
room atau freezer. b. Vaksin lainnya refrigerator
b. Vaksin lainnya disimpan pada suhu 2°C b. Khusus vaksin
disimpan pada suhu 2°C s.d. 8°C pada cold room Hepatitis B, pada bidan
s.d. 8°C pada cold room atau vaccine refrigerator. desa disimpan pada suhu
atau vaccine refrigerator. ruangan, terlindung dari
sinar matahari langsung.
(dikutip dari: Permenkes No.12 Tahun 2017)

Gambar 2.5 Penyimpanan Vaksin.5,6

Penyimpanan pelarut vaksin diatur pada suhu 2°C s.d. 8°C atau pada suhu
ruang yang terhindar dari sinar matahari langsung. Sehari sebelum digunakan,
pelarut disimpan pada suhu 2°C s.d. 8°C. Beberapa ketentuan yang harus selalu
diperhatikan dalam pemakaian vaksin secara berurutan adalah sebagai berikut:5,6
22

a. Keterpaparan Vaksin terhadap Panas


Vaksin yang telah mendapatkan paparan panas lebih banyak (yang dinyatakan
dengan perubahan kondisi Vaccine Vial Monitor (VVM) A ke kondisi B) harus
digunakan terlebih dahulu meskipun masa kadaluwarsanya masih lebih panjang.
Vaksin dengan kondisi VVM C dan D tidak boleh digunakan.1,3

Gambar 2.6 Indikator VVM pada Vaksin.5,6

b. Masa Kadaluarsa Vaksin


Apabila kondisi VVM vaksin sama, maka digunakan vaksin yang lebih pendek
masa kadaluwarsanya (Early Expire First Out/EEFO).5,6
c. Waktu Penerimaan vaksin (First In First Out/ FIFO)
Vaksin yang terlebih dahulu diterima sebaiknya dikeluarkan terlebih
dahulu.Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa vaksin yang diterima lebih awal
mempunyai jangka waktu pemakaian yang lebih pendek.5,6
d. Pemakaian Vaksin Sisa
Vaksin sisa pada pelayanan statis (puskesmas, rumah sakit atau praktek swasta)
bisa digunakan pada pelayanan hari berikutnya. Beberapa persyaratan yang harus
dipenuhi adalah:5,6
a. Disimpan pada suhu 2°C s.d. 8°C
b. VVM dalam kondisi A atau B
c. Belum kadaluwarsa
23

d. Tidak terendam air selama penyimpanan


e. Belum melampaui masa pemakaian.

Tabel 2.9 Masa Pemakaian Vaksin Sisa


Jenis Vaksin Masa Pemakaian Keterangan
Polio 2 minggu
IPV 4 minggu Catumkan tanggal
DT 4 minggu pertama kali vaksin
Td 4 minggu digunakan
DPT-HB-Hib 4 minggu
BCG 3 jam Cantumkan waktu
Campak 6 jam vaksin dilarutkan
(dikutip dari: Permenkes No.12 Tahun 2017)

2.2.3.1 Sarana Penyimpanan Vaksin


1) Kamar Dingin dan Kamar Beku
a. Kamar dingin (cold room) adalah sebuah tempat penyimpanan vaksin
yang mempunyai kapasitas (volume) mulai 5.000 liter (5 m3) sampai
dengan 100.000 liter (100 m3). Suhu bagian dalamnya mempunyai
kisaran antara 2oC s/d 8oC.5,6
b. Kamar beku (freeze room) adalah sebuah tempat penyimpanan vaksin
yang mempunyai kapasitas (volume) mulai 5.000 liter (5 m3) sampai
dengan 100.000 liter (100 m3). Suhu bagian dalamnya mempunyai
kisaran antara -15oC s/d -25oC. Kamar beku utamanya berfungsi untuk
menyimpan vaksin polio.5,6
2) Vaccine Refrigerator adalah tempat menyimpan vaksin BCG, Td, DT,
Hepatitis B, Campak, IPV dan DPT-HB-Hib, pada suhu yang ditentukan
+2°C s.d. +8°C dapat juga difungsikan untuk membuat kotak dingin cair
(cool pack). Freezer adalah untuk menyimpan vaksin polio pada suhu
yang ditentukan antara -15oC s/d -25oC atau membuat kotak es beku (cold
pack).5,6
24

Bagian yang sangat penting dari vaccine refrigerator/freezer adalah


thermostat yang berfungsi untuk mengatur suhu bagian dalam pada vaccine
refrigerator/freezer.6
a. Bentuk buka dari depan (front opening)
Vaccine Refrigerator/freezer dengan bentuk pintu buka dari depan banyak
digunakan dalam rumah tangga atau pertokoan. Bentuk ini tidak dianjurkan
untuk penyimpanan vaksin.6
b. Bentuk buka keatas (top opening)
Bentuk top opening pada umumnya adalah freezer yang biasanya digunakan
untuk menyimpan bahan makanan, ice cream, daging serta vaccine refrigerator
untuk penyimpanan vaksin. Salah satu bentuk Vaccine Refrigerator top opening
adalah ILR (Ice Lined Refrigerator), yaitu lemari es buka atas yang dimodifikasi
dengan meletakkan kotak dingin cair (cool pack) pada sekeliling bagian dalam
freezer sebagai penahan dingin.6

Tabel 2.10 Kelebihan dan Kekurangan Vaccine Refrigerator.


Pintu Buka Atas Pintu Buka Bawah
Suhu tidak stabil Suhu lebih stabil
Pada saat pintu vaccine refrigerator Pada saat pintu vaccine refrigerator
dibuka ke depan maka suhu dingin dibuka ke atas maka suhu dingin dari
dari atas akan turun ke bawah dan atas akan turun ke bawah dan
keluar tertampung
Bila listrik padam relative tidak dapat Bila listrik padam relative suhu dapat
bertahan lama bertahan lama
Jumlah vaksin yang dapat ditampung Jumlah vaksin yang dapat ditampung
sedikit lebih banyak
Penyusunan vaksin agak sulit karena
Susunan vaksin menjadi mudah dan
vaksin tertumpuk dan tidak jelas
vaksin terlihat jelas dari samping
dilihat dari atas
(dikutip dari: Permenkes No.12 Tahun 2017)
25

2.2.3.2 Alat Pembawa Vaksin dan Alat Mempertahankan Suhu


Alat pembawa vaksin harus terstandarisasi oleh SNI dan PIS/PQS WHO, yang
terdiri dari:5,6
1) Cold box adalah suatu alat untuk menyimpan sementara dan membawa
vaksin. Pada umumnya memiliki volume kotor 40 liter dan 70 liter. Kotak
dingin (cold box) ada 2 macam, yaitu terbuat dari plastik atau kardus dengan
insulasi poliuretan.
2) Vaccine carrier adalah alat untuk mengirim/membawa vaksin dari
puskesmas ke posyandu atau tempat pelayanan imunisasi lainnya yang dapat
mempertahankan suhu 2oC s.d. 8oC.
2.2.3.3 Alat Mempertahankan Suhu
a. Kotak dingin beku (cold pack) adalah wadah plastic berbentuk segi empat
yang diisi dengan air yang dibekukan dalam freezer dengan suhu -15°C s/d -
25°C selama minimal 24 jam.5,6
b. Kotak dingin cair (cool pack) adalah wadah plastik berbentuk segi empat
yang diisi dengan air kemudian didinginkan dalam Vaccine Refrigerator
dengan suhu -3°C s.d +2°C selama minimal 12 jam (dekat evaporator).5,6

Gambar 2.7 Cold Box Disposable.5


26

Gambar 2.8 Cold Box Reusable.5

Gambar 2.9 Vaccine Carrier dan Termos.5

Gambar 2.10 Cold/Cool Pack.5


27

2.2.4 Pelaksanaan Pelayanan


Program imunisasi dapat dilaksanakan secara perorangan atau massal dengan
tetap mengacu pada prinsip dan aturan pelaksanaan. Berdasarkan tempat
pelayanan, program imunisasi dibagi menjadi:5,6
1) Pelayanan imunisasi di dalam gedung (komponen statis)
Untuk meningkatkan jangkauan pelayanan, imunisasi dapat diberikan
melalui fasilitas pemerintah maupun swasta, antara lain rumah sakit
pemerintah, puskesmas, instalasi pelayanan kesehatan di pintu masuk negara
(Kantor Kesehatan Pelabuhan), Unit Pelayanan Kesehatan Swasta (UPKS)
seperti rumah sakit swasta, praktek dokter, praktek bidan, dan klinik swasta.
2) Pelayanan imunisasi di luar gedung (komponen dinamis)
Pelayanan imunisasi di luar gedung yang dimaksud adalah posyandu, pos
pelayanan imunisasi di sekolah atau kunjungan rumah. Dalam pemberian
imunisasi, harus diperhatikan kualitas vaksin, pemakaian alat suntik, dan hal–
hal penting saat pemberian imunisasi (dosis, cara dan tempat pemberian,
interval pemberian, tindakan antiseptik dan kontra indikasi).
a. Kualitas Vaksin
Seluruh vaksin yang akan digunakan dalam pelayanan imunisasi harus
sudah memenuhi standard WHO serta memiliki Certificate of Release (CoR)
yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan. Beberapa hal
yang harus diperhatikan dalam menentukan kualitas dan keamanan vaksin
adalah vaksin belum kadaluwarsa, vaksin sensitif beku belum pernah
mengalami pembekuan, vaksin belum terpapar suhu panas yang berlebihan,
vaksin yang belum melampaui batas waktu ketentuan pemakaian vaksin yang
telah dibuka, vaksin yang telah dipakai pada tempat pelayanan statis bisa
digunakan lagi pada pelayanan berikutnya, sedangkan sisa pelayanan dinamis
harus dibuang.
b. Pemakaian alat suntik
Setiap pelayanan imunisasi harus menggunakan alat suntik yang akan
mengalami kerusakan setelah sekali pemakaian (Auto Disable Syringe/ADS),
baik untuk penyuntikan maupun pencampuran vaksin dengan pelarut.
28

c. Hal-hal yang penting saat pemberian imunisasi


- Dosis, cara pemberian dan tempat pemberian imunisasi.
- Interval pemberian (minimal antar dua pemberian antigen yang sama
adalah satu bulan, tidak ada batas maksimal antar dua pemberian
imunisasi).
- Tindakan antiseptik.
- Kontra indikasi, pada umumnya tidak terdapat kontra indikasi imunisasi
untuk individu sehat kecuali untuk kelompok risiko. Pada setiap sediaan
vaksin selalu terdapat petunjuk dari produsen yang mencantumkan indikasi
kontra serta perhatian khusus terhadap vaksin.

2.3 KIPI
KIPI adalah kejadian medik yang berhubungan dengan imunisasi baik berupa
reaksi vaksin, reaksi suntikan, efek farmakologis, kesalahan prosedur, koinsiden
atau hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan. KIPI serius merupakan
kejadian medis setelah imunisasi yang tak diinginkan yang menyebabkan rawat
inap atau perpanjangan rawat inap, kecacatan yang menetap atau signifikan dan
kematian, serta menimbulkan keresahan di masyarakat.5
Cakupan Imunisasi yang tinggi maka penggunaan pada vaksin juga meningkat
dan akibatnya kejadian berupa reaksi simpang yang diduga berhubungan dengan
Imunisasi juga meningkat. Hal ini bisa dilihat dalam maturasi Imunisasi yang
digambarkan oleh Robert T. Chen.6
29

Gambar 2.11 Maturasi Program Imunisasi.5,6

Keterangan:6
1. Prevaksinasi. Pada saat ini insidens penyakit masih tinggi (jumlah kasus
banyak), Imunisasi belum dilakukan sehingga KIPI belum menjadi masalah.
2. Cakupan meningkat.Pada fase ini, Imunisasi telah menjadi program di suatu
negara, maka makin lama cakupan makin meningkat yang berakibat penurunan
insidens penyakit. Seiring dengan peningkatan cakupan Imunisasi terjadi
peningkatan KIPI di masyarakat.
3. Kepercayaan masyarakat (terhadap Imunisasi) menurun. Meningkatnya KIPI
dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap program Imunisasi. Fase ini
sangat berbahaya oleh karena akan menurunkan cakupan Imunisasi, walaupun
kejadian KIPI tampak menurun tetapi berakibat meningkatnya kembali insidens
penyakit sehingga terjadi kejadian luar biasa (KLB).
4. Kepercayaan masyarakat timbul kembali. Apabila KIPI dapat diselesaikan
dengan baik, yaitu pelaporan dan pencatatan yang baik, penanganan KIPI segera,
maka kepercayaan masyarakat terhadap program Imunisasi akan pulih kembali.
Pada saat ini, cakupan Imunisasi yang tinggi akan tercapai kembali dan diikuti
penurunan angka kejadian penyakit, walaupun KIPI tampak akan meningkat lagi.
30

5. Eradikasi. Hasil akhir program Imunisasi adalah eradikasi suatu penyakit. Pada
fase ini telah terjadi maturasi kepercayaan masyarakat terhadap imunisasi,
walaupun KIPI tetap dapat dijumpai.
2.3.1 Etiologi KIPI
Komnas PP KIPI membagi etiologi KIPI yaitu klasifikasi etiologi dan
klasifikasi kausalitas. Klasifikasi etiologi lapangan terdiri atas:6
a. Vaccine product-related reaction (reaksi yang berkaitan dengan produk
vaksin)
b. Vaccine quality defect-related reaction (reaksi yang berkaitan dengan
defek kualitas vaksin)
c. Immunization error-related reaction (reaksi yang berkaitan dengan adanya
penyimpangan dalam pemberian Imunisasi)
d. Immunization anxiety-related reaction (reaksi yang berkaitan dengan
kecemasan yang berlebihan yang berhubungan dengan Imunisasi)/ reaksi
suntikan
e. Coincidental event (kejadian yang secara kebetulan bersamaan).
Sedangkan klasifikasi kausalitas dibagi menjadi:6
a. Klasifikasi Konsisten adalah klasifikasi yang namun bersifat temporal
dikarenakan bukti yang tidak cukup untuk menentukan hubungan
kausalitas.
b. Klasifikasi Inderteminate adalah klsifikssi informasi tambahan yang
dibutuhkan agar dapat membantu finalisasi penetapan kausal dan harus
mencari informasi dan pengalaman dari nara sumber baik nasional,
maupun internasional.
c. Klasifikasi Inkonsisten
Suatu kondisi utama atau kondisi yang disebabkan paparan terhadap
sesuatu selain vaksin.
d. Klasifikasi Unclassifable
Kejadian klinis dengan informasi yang tidak cukup untuk memungkinkan
dilakukan penilaian dan identifikasi penyebab.
31

2.3.2 Kelompok Risiko Tinggi KIPI


Harus diperhatikan untuk mengurangi risiko timbulnya KIPI yaitu apakah
resipien termasuk dalam kelompok risiko. Kelompok risiko adalah anak yang
mendapat reaksi simpang pada imunisasi terdahulu dan bayi berat lahir rendah.5
Jadwal imunisasi bayi pada bayi kurang bulan harus memperhatikan titer
imunitas pasif melalui transmisi maternal lebih rendah dari pada bayi cukup,
apabila berat badan bayi kecil (<1.000 gram) imunisasi ditunda dan diberikan
setelah bayi mencapai berat 2.000 gram atau berumur 2 bulan kecuali untuk
imunisasi hepatitis B pada bayi dengan ibu yang HBsAg positif.5
Jika bayi masih dirawat setelah umur 2 bulan, maka vaksin polio yang
dierikan adalah suntikan IPV ila vaksin tersedia, sehingga tidak menyebabkan
penyebaran virus vaksin polio melalui tinja. Pasien yang perlu diperhatikan juga
adalah pasien imunokompromais, pada resipien yang mendapatkan human
immunoglobulin, pasien HIV mempunyai risiko lebih besar untuk mendapatkan
infeksi.6
2.3.3 Pemantauan KIPI
Tujuan utama pemantauan KIPI adalah untuk mendeteksi dini, merespon KIPI
dengan cepat dan tepat, mengurangi dampak negatif imunisasi terhadap kesehatan
individu dan terhadap imunisasi. Hal ini merupakan indikator kualitas program.
Bagian yang terpenting dalam pemantauan KIPI adalah menyediakan informasi
KIPI secara lengkap agar dapat dengan cepat dinilai dan dianalisis untuk
mengidentifikasi dan merespon suatu masalah. Respon merupakan suatu aspek
tindak lanjut yang penting dalam pemantauan KIPI.6
32

Gambar 2.12 Alur Pelaporan dan Pelacakan Kasus KIPI.5,6

Pada keadaan tertentu KIPI yang menimbulkan perhatian berlebihan dari


masyarakat, maka pelaporan dapat dilakukan langsung kepada kementerian
kesehatan. Sub Direktorat Imunisasi/Komnas PP KIPI. Skema alur kegiatan
pelaporan dan pelacakan KIPI, mulai dari penemuan KIPI di masyarakat
kemudian dilaporkan dan dilacak hingga akhirnya dilaporkan pada menteri
kesehatan seperti skema berikut:
33

Gambar 2.13 Alur Pelaporan dan Kajian KIPI.5,6

Dari gambar di atas masyarakat akan melaporkan adanya KIPI ke puskesmas,


UPS atau RS. Kemudian UPS akan melaporkan ke puskesmas, sementara
puskesmas dan RS akan melaporkan ke dinas kesehatan kabupaten/kota. Untuk
kasus KIPI serius maka dinas kesehatan kabupaten/kota akan melakukan
konfirmasi kebenaran kasus KIPI serius tersebut, bila ternyata benar maka akan
melaporkan ke Dinas Kesehatan Provinsi. Kemudian bila perlu dilakukan
investigasi, maka dinas kesehatan provinsi akan berkoordinasi dengan Komda PP
KIPI dan Balai POM Provinsi serta melaporkan kedalam website keamanan
vaksin untuk dilakukan kajian oleh komite independen (KOMDA dan atau
KOMNAS PP KIPI).6
2.3.3.1 Kurun Waktu Pelaporan KIPI
Laporan seharusnya selalu dibuat secepatnya sehingga keputusan dapat dibuat
secepat mungkin untuk tindakan atau pelacakan. Kurun waktu pelaporan agar
mengacu pada tabel di bawah. Pada keadaan tertentu, laporan satu KIPI dapat
dilaporkan beberapa kali sampai ada kesimpulan akhir dari kasus.6
34

Gambar 2.14 Kurun Waktu Pelaporan KIPI Serius.5,6

2.3.3.2 Tindak Lanjut KIPI


Dengan adanya data KIPI dokter Puskesmas dapat memberikan pengobatan
segera. Apabila KIPI tergolong yang serius harus segera rujuk untuk dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut dan pemerian pengobatan segera.5,6
35
36

Gambar 2.15 Gejala KIPI dan Tindakan yang Harus Dilakukan.5,6

2.3.4 Evaluasi KIPI


Evaluasi yang dilakukan terdiri dari evaluasi rutin dan tahunan. Evaluasi rutin
dilakukan oleh Komda PP-KIPI/Dinkes provinsi minimal 6 bulan sekali. Evaluasi
rutin untuk menilai efektivitas pemantauan KIPI. Sedangkan untuk evaluasi
tahunan Evaluasi tahunan dilakukan oleh Komda PP-KIPI/Dinas Kesehatan
Provinsi untuk tingkat provinsi dan Komnas PP-KIPI/sub-direktorat Imunisasi
untuk tingkat nasional. Perkembangan KIPI dapat dinilai dari data laporan
tahunan di tingkat propinsi dan nasional.6

2.4 Pencatatan dan Pelaporan


Pencatatan dan pelaporan dalam pelaksanaan Imunisasi program sangat
penting dilakukan di semua tingkat administrasi untuk mendukung pengambilan
keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan kegiatan maupun evaluasi.6
Pencatatan dan pelaporan meliputi cakupan Imunisasi, stok dan pemakaian
Vaksin, ADS, Safety Box, monitoring suhu, kondisi peralatan Cold Chain, dan
kasus KIPI atau diduga KIPI.6
37

Gambar 2.16 Pencatatan dan Pelaporan Program Imunisasi.5,6

Pencatatan pelayanan Imunisasi rutin dilakukan di buku kesehatan ibu dan


anak, buku kohor ibu/bayi/balita, buku rapor kesehatanku, atau buku rekam
medis.6

Gambar 2.18 Pencatatan dan Pelaporan Imunisasi Bayi, Batita, WUS.5,6


38

Hal-hal yang dilaporkan adalah:6


1. Cakupan Imunisasi.
2. Dalam melaporkan cakupan Imunisasi, harus dipisahkan pemberian Imunisasi
terhadap kelompok di luar umur sasaran. Pemisahan ini sebenarnya sudah
dilakukan mulai saat pencatatan, supaya tidak mengacaukan perhitungan persen
cakupan.
3. Stok dan Pemakaian Vaksin.
4. Penerimaan, pemakaian dan stok vaksin setiap bulan harus dilaporkan bersama-
sama dengan laporan cakupan Imunisasi.
5. Sarana peralatan cold chain di puskesmas dan unit pelayanan lainnya
diidentifikasi baik jumlah maupun kondisinya dilaporkan oleh puskesmas,
kabupaten/kota, dan provinsi secara berjenjang minimal sekali setahun.
BAB III
APLIKASI DI PUSKESMAS

3.1 Pelaksanaan Imunisasi Rutin di Puskesmas Pataruman


Puskesmas Pataruman bertanggung jawab terhadap kesehatan 5 desa, yakni
Pataruman, Situwangi, Cipatik, Citapen, dan Tanjungwangi. Jumlah sasaran bayi
yang diimunisasi sebanyak 1081 bayi. Persentase jumlah yang diimunisasi HB0
pada wilayah Pataruman, yakni 85 %, BCG sebesar 83%, Pentabio 1 sebesar 84%,
Pentabio 2 sebesar 83%, Pentabio 3 sebesar 80%, Polio 1 83%, polio 2 sebesar
82%, Polio 3 yakni 82%, Polio 4 sebesar 81%, IPV sebesar 84%, campak 85%.
Persentase tertinggi desa yang sudah melakukan imunisasi dasar rutin, yakni desa
Citapen. Persentase terendah yang sudah diimunisasi dasar rutin, yakni desa
Tanjungwangi. Hasil tersebut menunjukan bahwa target minimal imunisasi dasar
rutin tercapai.
3.1.1 Kajian Kampanye Imunisasi Berdasarkan Desa
Kampenye Imunisasi yang dilakukan di kawasan Pataruman per desa
menunjukan bahwa desa Citapen memiliki jumlah imunisasi yang tertinggi dan
desa Tanjungwangi memiliki jumlah imunisasi yang terendah. Hasil ini
menunjukan bahwa kesadaran masyarakat dalam melakukan imunisasi belum
merata pada setiap desa. Masih diperlukan peran serta kepala desa, tokoh
masyarakat, dan Puskesmas dalam mengkampanyekan kegiatan imunisasi. Hasil
tersebut ditunjukan pada Tabel. mengenai jumlah imunisasi per desa.

39
Tabel. 3.1 Hasil Kampanye Imunisasi Puskesmas Pataruman per Desa
Jumlah Hasil Imunisasi (%)
Desa Sasaran HB0 BCG Pentabio1 Pentabio2 Pentabio3 Polio1 Polio2 Polio3 Polio4 IPV Campak
Bayi
Situwangi 185 83 81 79 79 76 81 79 79 77 72 76
Pataruman 261 81 83 85 83 73 81 78 79 73 82 74
Cipatik 200 84 83 86 84 87 83 86 84 89 87 96
Tanjungwangi 162 77 78 78 83 78 82 73 80 78 73 73
Citapen 273 98 87 89 85 86 87 88 88 90 96 101

40
3.1.2 Kajian Kampanye Imunisasi Campak Berdasarkan Tingkat Pendidikan
3.1.2.1 Tingkat Sekolah dasar
Puskesmas Pataruman melaksanakan Imunisasi campak pada 27 sekolah dasar
(SD) yang duduk di kelas 1. Berdasarkan laporan hasil kampanye imunisasi
campak, terdapat sasaran sebanyak 1262 siswa. Sasaran yang paling banyak
terdapat pada SD Batulayang dengan jumlah sasaran 96 siswa. Siswa yang
terbanyak telah diimunisasi terdapat pada SD Batulayang yaitu 88 siswa. Namun,
siswa/siswi yang paling banyak belum diimunisasi adalah siswa/siswi dari SD
Batulayang yaitu 7 anak. SD yang paling sedikit melakukan imunisasi adalah SD
MI Darul Hikmah, SD Babakan Sari, dan SD MI Cisalak 3 yaitu 18 siswa. Hal ini
disebabkan jumlah sasaran pada SD MI Darul Hikmah, SD Babakan Sari, dan SD
MI Cisalak 3 adalah 18 siswa. Laporan hasil Kampanye Imunisasi campak dapat
dilihat pada Tabel 3.2

3.2 Kendala Puskesmas


Kawasan Pataruman terdapat 27 SD. Kendala lain muncul pada sekolah dasar
yang disebutkan adalah karena siswa-siswi tidak hadir dikarenakan sakit.

41
Tabel 3.2 Hasil Kampanye Imunisasi Campak Puskesmas Pataruman per Sekolah Dasar
Hasil Imunisasi
Nama Sekolah Sasaran
Yang diimunisasi Persen Yang belum diimunisasi persen
SDN Terang 31 31 100% 0 0%
SDN Darmajaya 24 24 100% 0 0%
SDN Batulayang 96 88 92.71% 7 7.29%
SDN Darul Hikmah 34 34 100% 0 0%
MI Darul Hikmah 18 18 100% 0 0%
SDN Jatisari 46 40 86,96% 6 13,04%
SDN Babakan Sari 18 18 100% 0 0%
SDN Cipatik 1 51 51 100% 0 0%
SDN Cipatik 2 55 55 100% 0 0%
SDN Cipatik 3 83 77 92.77% 6 7.23%
SDN Saapan 54 54 100% 0 0%
SDN Citapen 1 72 72 100% 0 0%
SDN Citapen 2 25 25 100% 0 0%
SDN Tirtajaya 68 68 100% 0 0%
SDN Sukagalih 44 44 100% 0 0%
SDN Sadar Galih 63 63 100% 0 0%
MI Citapen 65 65 100% 0 0%

42
43

SDN Situwangi 61 61 100% 0 0%


SDN Paojansari 78 78 100% 0 0%
SDN Pasir Kalapa 26 26 100% 0 0%
SDN Budiwangi 88 83 94.32% 5 5,68%
SDN Tanjungwangi 24 24 100% 0 0%
Nama Desa Sasaran Hasil Imunisasi
SDN Sukasari 20 20 100% 0 0%
SDN Banyuresmi 39 39 100% 0 0%
MI Cisalak 1 34 34 100% 0 0%
MI Cisalak 2 27 27 100% 0 0%
MI Cisalak 3 18 18 100% 0 0%
jumlah 1262 1238 98.1% 24 1.9%
BAB IV
KESIMPULAN

Puskesmas Pataruman telah melaksanakan program imunisasi sesuai dengan


Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 12 pasal 1 tahun 2017 yang
menyebutkan bahwa imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan
kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit sehingga bila suatu saat
terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan.
Program imunisasi telah dilaksanakan secara teratur sesuai dengan peraturan yang
berlaku dan tepat waktu yaitu pada bulan September 2019. Meskipun demikian, target
minimal program imunisasi pada Puskesmas Pataruman secara keseluruhan sudah
tercapai. Kendala lain muncul pada sekolah dasar yang disebutkan adalah karena
siswa-siswi tidak hadir dikarenakan sakit.

44
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia 2018. Jakarta:


Departemen Kesehatan RI; 2019.
2. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. Profil Kesehatan provinsi Jawa Barat
2017. Padang: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat; 2019.
3. Ranuh, I.G.N., Suyitno, H., Hadinegoro, S.R., Kartasasmita, C.B.,
Ismoedijanto, Soedjatmiko. 2011. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Jakarta:
Satgas Imunisasi IDAI.
4. Kementerian Kesehatan RI. Kebijakan Penyelenggaraan Imunisasi. Jakarta:
Kemenkes RI; 2019.
5. Kementerian Kesehatan RI. Buku Ajar Imunisasi. Jakarta: Kemenkes RI;
2014.
6. Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Kemenkes RI Nomor 12 tahun 2017
tentang Penyelenggaraan Imunisasi. Jakarta: Kemenkes RI; 2017.
7. Kementerian Kesehatan RI. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan tahun
2015-2019. Jakarta: Kemenkes RI; 2015.
8. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Melengkapi/Mengejar Imunisasi. IDAI.
Jakarta: 2015.

45

Anda mungkin juga menyukai