Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Urtikaria pertama kali digambarkan dalam sastra Inggris pada tahun 1772, walaupun
sebenarnya penyakit telah diakui sepanjang sejarah. Urtikaria ditandai dengan onset edema
setempat pada kulit yang berhubungan dengan rasa gatal dan terbakar yang disebabkan oleh
bermacam-macam sebab.1,2 Urtikaria juga kadang dikenal sebagai hives, nettle rash, biduran,
kaligata.1,2

Urtikaria merupakan penyakit kulit yang sering dijumpai dan mengenai 15-25%
populasi semasa hidupnya. Urtikaria dapat terjadi secara akut maupun kronik. Urtikaria akut
adalah gangguan umum yang sering mendorong pasien untuk mencari pengobatan di unit
gawat darurat (UGD). Bahkan, urtikaria akut adalah penyakit kulit paling umum yang dirawat
di UGD.1 Urtikaria kronik yang terjadi setiap hari selama lebih dari 6 minggu dapat
mengganggu kualitas hidup seseorang.3

Kebanyakan kasus urtikaria adalah self-limited dan durasinya pendek. Namun, ketika
urtikaria menjadi kronik, maka akan menjadi masalah bagi pasien atau dokter yang merawat. 4
Walaupun patogenesis dan beberapa penyebab yang dicurigai telah ditemukan, ternyata
pengobatan yang diberikan kadang-kadang tidak memberi hasil seperti yang diharapkan. 2
Penatalaksanaan utama urtikaria meliputi langkah-langkah umum untuk mencegah atau
menghindari faktor pemicu dan farmakoterapi. Penatalaksanaan tersebut distratifikasikan
menjadi first-line therapy, second-line therapy, third-line therapy dan fourth-line therapy 3

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui penatalaksanaan urtikaria.
Serta untuk membahas serta mendiskusikannya. Mengingat penyakit ini sering dijumpai.
Dapat terjadi secara akut dan kronik. Keadaan ini merupakan masalah bagi pasien maupun
dokter. Walaupun patogenesis dan penyebab yang dicurigai telah ditemukan, ternyata
pengobatan yang diberikan kadang-kadang jauh dari harapan.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Urtikaria adalah kelainan kulit yang ditandai dengan peninggian kulit yang timbul
mendadak dan/atau disertai angioedema :ukurannya bervariasi, biasanya dikelilingi
eritema, terasa gatal atau sensasi terbakar.11 Peninggian (wheals) ditandai dengan edema
superfisial terbatas pada kulit, sebagian besar dikelilingi oleh eritema merah cerah dan
berhubungan dengan rasa gatal atau rasa terbakar yang kuat. Di urtikaria, wheals
berkembang dalam beberapa menit dan memiliki sifat sementara karena kulit kembali ke
penampilan normalnya dalam 1–24 jam. Angioedema adalah edema yang terasa terbakar,
tidak gatal, dan batas kurang tegas pada dermis bagian dalam dan subkutis, atau
membran mukosa. Biasanya, angioedema muncul sebagai pembengkakan kulit berwarna
merah dan, berkembang secara perlahan serta bertahan selama beberapa hari. Selain kulit
dan mukosa, usus juga dapat dipengaruhi oleh beberapa jenis angioedema, misalnya,
herediter angioedema. Angioedema dari faring atau laring dapat mengancam jiwa
melalui risiko sesak napas.4

2.2 Epidemiologi
Data epidemiologi urtikaria secara internasional menunjukkan bahwa urtikaria
(kronis, akut, atau keduanya) terjadi pada 15-25% populasi pada suatu waktu dalam
hidup mereka. Chronic idiopatic urticaria (CIU) terjadi hingga 0,5-1,5% populasi
semasa hidupnya. Insiden urtikaria akut lebih tinggi pada orang dengan atopi. Insiden
urticaria kronis tidak meningkat pada orang dengan atopi. Data epidemiologi urtikaria
berdasarkan usia menunjukkan bahwa urtikaria akut paling sering terjadi pada anak dan
dewasa muda, sedangkan CIU lebih sering terjadi pada dewasa dan wanita setengah
baya.4
Sebuah studi baru-baru ini melaporkan bahwa prevalensi dari semua jenis urtikaria
adalah 8,8% hingga 10,8%, dengan dominasi perempuan dan usia rata-rata 35 hingga 39
tahun. Berdasarkan penelitian oleh KJIM (2019) di Korea, prevalensi urtikaria semua
jenis selama 5 tahun adalah 4,5% dengan dominasi perempuan; Selain itu, prevalensi
tahunan semua jenis urtikaria meningkat selama 5 tahun. Prevalensi semua jenis urtikaria
lebih rendah daripada yang dilaporkan oleh penelitian sebelumnya, yang mungkin karena
penelitian ini berfokus pada urtikaria klinis yang memerlukan kunjungan rumah sakit.

2
Mengingat bahwa distribusi puncak semua jenis urtikaria terjadi pada kelompok usia 40
hingga 59 tahun, yang lebih tua dari yang dilaporkan sebelumnya, dan urtikaria lebih
umum pada individu yang lebih tua berdasarkan prevalensi spesifik usia, penelitian ini
menunjukkan bahwa klinis urtikaria penting di antara populasi yang lebih tua . Selain itu,
penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi tahunan semua jenis urtikaria meningkat
selama 5 tahun. Ada beberapa penelitian tentang perubahan dalam prevalensinya dan
studi tersebut menunjukkan bahwa kejadian urtikaria telah meningkat selama beberapa
dekade terakhir. Namun, prevalensi urtikaria fisik paling tidak meningkat.5

Di Indonesia, prevalensi urtikaria belum diketahui pasti. Penelitian di Palembang


tahun 2007 pada 3000 remaja usia 14-19 tahun, mendapatkan prevalensi urtikaria sebesar
42,78%.5 Sebanyak 8-20% populasi diperkirakan pernah atau akan menderita urtikaria
dalam perjalanan hidupnya dan sebanyak 0,1% akan berkembang menjadi urtikaria
kronis spontan. Prevalensi urtikaria kronis lebih kecil dibandingkan urtikaria akut, yaitu
1,8% pada dewasa dan berkisar antara 0,1-0,3% pada anak.7 Prevalensi urtikaria kronis
pada dewasa berdasarkan durasinya adalah: 6-12 minggu (52,8%), 3-6 bulan (18,5%), 7-
12 bulan (9,4%), 1-5 tahun (8,7%), >5 tahun (11,3%).11

2.3 Etiologi
Banyak penyebab dan / atau pemicu yang relevan dibahas. Perkembangannya
dikaitkan dengan infeksi virus, bakteri, parasit, atau cacing yang persisten dan konsumsi
makanan dan bahan tambahan makanan dan obat-obatan, tetapi sekitar 40% kasus,
urtikaria spontan kronis adalah proses autoimun / autoallergik / autoreaktif, tergantung
pada negara. Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya.
Diduga penyebab urtikaria bermacam-macam, antara lain: 6
2.3.1 Obat
Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik secara imunologik
maupun non-imunologik. Obat sistemik (penisilin, sepalosporin, dan diuretik)
menimbulkan urtikaria secara imunologik tipe I atau II. Sedangkan obat yang
secara non-imunologik langsung merangsang sel mast untuk melepaskan histamin,
misalnya opium dan zat kontras.

2.3.2 Makanan

3
Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria akut, umumnya akibat
reaksi imunologik. Makanan yang sering menimbulkan urtikaria adalah telur, ikan,
kacang, udang, coklat, tomat, arbei, babi, keju, bawang, dan semangka.

2.3.3 Gigitan atau sengatan serangga


Gigitan atau sengatan serangga dapat menimbulkan urtika setempat, hal ini
lebih banyak diperantarai oleh IgE ( tipe I ) dan tipe seluler ( tipe IV ).tetapi venom
dan toksin biasanya dapat mengaktifkan komplemen. Nyamuk, kepinding, dan
serangga lainnya dapat menimbulkan urtika bentuk popular di sekitar tempat
gigitan, biasanya sembuh dengan sendirinya setelah beberapa hari, minggu, atau
bulan.

2.3.4 Bahan fotosenzitiser


Bahan semacam ini, misalnya griseofulvin, fenotiazin, sulfonamid, bahan
kosmetik, dan sabun germisid sering menimbulkan urtikaria.
2.3.5 Inhalan
Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, asap, bulu
binatang, dan aerosol, umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria alergik (tipe
I). reaksi ini sering dijumpai pada penderita atopi dan disertai gangguan nafas.

2.3.6 Kontaktan
Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu binatang, serbuk
tekstil, air liur binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahan kimia, misalnya
insect repellent (penangkis serangga), dan bahan kosmetik.

2.3.7 Trauma Fisik


Trauma fisik dapat diakibatkan oleh faktor dingin, faktor panas, faktor
tekanan, dan emosi menyebabkan urtikaria fisik, baik secara imunologik maupun
non imunologik. Dapat timbul urtika setelah goresan dengan benda tumpul
beberapa menit sampai beberapa jam kemudian. Fenomena ini disebut
dermografisme atau fenomena Darier.

2.3.8 Infeksi dan infestasi


Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan urtikaria, misalnya infeksi
bakteri, virus, jamur, maupun infestasi parasit.

2.3.9 Psikis
Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung menyebabkan
peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi kapiler.
2.3.10 Genetik

4
Faktor genetik juga berperan penting pada urtikaria, walaupun jarang
menunjukkan penurunan autosomal dominant. Diantaranya ialah familial cold
urticaria, familial localized heat urticaria, vibratory angiodema.

2.3.11 Penyakit sistemik


Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat menimbulkan urtikaria,
reaksi lebih sering disebabkan reaksi kompleks antigen-antibodi.

2.4 Patogenesis
Aktivasi sel mast dermal memainkan peran kunci dalam patogenesis urtikaria.
Terlepas dari penyebab aktivasi sel mast, proses yang berkembang setelahnya adalah
serupa: fosforilasi tirosin dalam rantai beta dan gamma FcRI dengan produksi tirosin
kinase (ITAM). ITAM mengaktifkan mekanisme intraseluler yang menyebabkan
pelepasan granula dengan mediator yang sudah ada sebelumnya (histamin, heparin,
triptase, dan TNF-α) dan aktivasi sintesis sitokin / kemokin dan kimia antiinflamasi
baru.8 Histamin menentukan perkembangan fase inflamasi langsung, menginduksi
pelepasan neuropeptida (zat P, endorfin, enkephaline) dengan ujung saraf. Sel mast juga
mampu menghasilkan molekul vasoaktif (TNF-α, IL-6, aktivator trombosit, faktor
pertumbuhan endotel vaskular) tanpa degranulasi. Molekul vasoaktif memperburuk
gejala urtikaria dan bertanggung jawab atas inefisiensi antihistamin dan efek
imunodepresan pada beberapa pasien. Fase peradangan langsung ini berkembang
menjadi proses interaksi yang lebih kompleks antara sitokin, kemokin, dan molekul
adhesi yang mengatur reaksi vaskular dan spesifik kinetika sel. Sel-sel yang baru terlibat
mengeluarkan mediator inflamasi, mengintensifkan dan memperpanjang respons.
Bahkan pada kulit yang secara visual utuh, area ekspresi kemokin dan molekul adhesi
yang lebih besar dengan kadar T-limfosit yang lebih tinggi dapat dideteksi, yang
mengurangi ambang sensitivitas sel mast untuk memicu faktor. Sinyal protein pengatur
(SIRPs) bertanggung jawab untuk membatasi pelepasan mediator oleh sel mast dan
defosforilasi ITAM tirosin kinase. Cacat dalam fungsinya juga mempengaruhi
perkembangan urtikaria kronis. Selama eksaserbasi, aktivasi sistem pembekuan darah
dapat dideteksi. Trombin meningkatkan permeabilitas endotel vaskular dan
meningkatkan pelepasan mediator inflamasi oleh sel mast dan produksi komponen
komplemen C5a. C5a (anaphylatoxin) terlibat dalam aktivasi sel mast dan merupakan
chemoattractant untuk neutrofil dan eosinofil. Telah dicatat bahwa kadar fragmen

5
protrombin 1 + 2 dapat digunakan untuk penilaian aktivitas urtikaria spontan kronis pada
anak-anak. 2,7

FAKTOR NON IMUNOLOGIK FAKTOR IMUNOLOGIK

Bahan kimia pelepas mediator Reaksi tipe I (IgE)


(morfin,kodein) (inhalan, obat, makanan, infeksi)

Reaksi tipe IV (kontaktan)

Faktor fisik
(panas, dingin, trauma,
Pengaruh komplemen
sinar X, cahaya)

Aktivasi komplemen
SEL MAS klasik – alternatif
BASOFIL (Ag-Ab, venom, toksin)

Efek kolinergik Reaksi tipe II

Reaksi tipe III

Faktor genetik
(defisiensi C1 esterase inhibitor)

PELEPASAN MEDIATOR
(histamin, SRSA, serotonin,
kinin, PEG, PAF)

Alkohol VASODILATASI
Emosi PERMEABILITAS KAPILER ↑
Demam

Idiopatik? URTIKARIA

Gambar 2.1. Diagram Faktor Imunologik dan Non-Imunologik yang Menimbulkan Urtikaria2

2.5 Manifestasi Klinis


Pruritus adalah gejala yang paling menonjol. Tanda-tanda karakteristik lainnya
termasuk wheals dan flare yang bervariasi dalam ukuran, dengan wheals individu
6
biasanya hilang dalam 24 jam tanpa hiperpigmentasi residual. Dalam beberapa kasus,
urtikaria dapat terjadi bersamaan dengan angioedema yang biasanya melibatkan dermis
dalam dan lemak subkutan, seperti pada jaringan periorbital, bibir, lidah, dan tangan.
Angioedema dapat bertahan hingga 72 jam dan sering disertai dengan sensasi terbakar
dan / atau nyeri ringan. Gatal jarang terjadi pada angioedema.8

2.6 Klasifikasi
Urtikaria/angioedema dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi ataupun klinis,
namun dalam praktek sehari-hari lebih mudah mengklasifikasikannya secara klinis
daripada etiologi yang sulit untuk ditegakkan. Klasifikasi berguna dalam menentukan
pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan yang tepat bagi pasien urtikaria.9
Berdasarkan etiologinya urtikaria dibagi menjadi
1. Urtikaria imunologik : urtikaria autoimun, kontak alergi dan kompleks imun.
2. Urtikaria nonimunologik: urtikaria fisik, karena obat-obatan dan kontak non
alergi.
3. Urtikaria idiopatik.

Menurut European Academy of Allergology and Clinical Immunology (EAACI)


tahun 2006 secara klinis urtikaria diklasifikasikan menjadi :
1. Urtikaria spontan: urtikaria akut dan urtikaria kronis.
2. Urtikaria fisik: dermografik, delayed pressure, panas, dingin, solar dan
getaran.
3. Urtikaria spesifik: kolinergik, adrenergik, kontak (alergi/non alergi) dan
aquagenik.

7
Berikut akan dibahas mengenai jenis-jenis urtikaria berdasarkan etiologi dan
klinisnya : 6,10

Gambar 2.2. Klasifikasi dari Urtikaria10

2.6.1 Urtikaria Akut


Penyebab paling umum urtikaria akut (dengan atau tanpa angioedema) adalah
obat, makanan, infeksi virus, stres, infeksi parasit, racun serangga, dan alergen kontak
(mis., Lateks). Obat yang diketahui umumnya menyebabkan urtikaria dengan atau
tanpa angioedema termasuk antibiotik (terutama beta laktam dan sulfonamid), obat
antiinflamasi non-steroid (NSAID), asam asetilsalisilat (ASA), opiat dan narkotika.
Makanan utama yang menyebabkan urtikaria adalah susu, telur, kacang tanah, kacang

8
pohon, ikan, dan kerang. Urtikaria akut harus dibedakan dari anafilaksis yang
memiliki pemicu serupa termasuk makanan, obat-obatan, dan sengatan serangga. Pada
sekitar 50% pasien dengan urtikaria akut, penyebabnya tidak diketahui dan
kondisinya disebut sebagai urtikaria spontan akut (ASU). Hingga 36% pasien dengan
ASU dapat berkembang menjadi urtikaria spontan kronis.

2.6.2 Urtikaria Kronik


Prevalensi urtikaria kronis diperkirakan 0,5-5%. Urtikaria kronis lebih sering
terjadi pada orang dewasa, dengan onset usia puncak antara 20 dan 40 tahun, dan pada
wanita lebih sering daripada pria. Dalam urtikaria spontan kronis, pemicu eksternal
biasanya tidak dapat diidentifikasi. Pada sekitar 45% dari pasien ini, autoantibodi
imunoglobulin G (IgG) yang bersirkulasi mengenali antibodi IgE atau subunit alfa
dari reseptor IgE afinitas tinggi pada sel mast dan basofil, yang mengarah pada
stimulasi kronis sel-sel ini dan pelepasan histamin serta yang lainnya. Mediator
inflamasi menyebabkan urtikaria dan angioedema. urtikaria spontan kronis juga dapat
dikaitkan dengan adanya antibodi antitiroid pada sekitar 27% kasus. Banyak
gangguan autoimun lainnya, termasuk rheumatoid arthritis, systemic lupus
erythematosus (SLE), dermatomyositis, polymyositis, sindrom Sjogren, dan penyakit
Still, telah dikaitkan dengan urtikaria kronis. Pemeriksaan lebih lanjut untuk kondisi
ini tidak dijamin kecuali ada gejala yang jelas pada evaluasi klinis. Berbagai infeksi
kronis yang juga telah dikaitkan dengan urtikaria kronis, termasuk virus hepatitis B
dan C, virus Epstein-Barr, virus herpes simpleks, infeksi Helicobacter pylori, dan
infeksi parasit cacing. Dengan pengecualian infeksi parasit yang tidak terlalu ada
dalam sebagian besar kasus urtikaria kronis.
2.6.3 Inducible Urtikaria
Urtikaria yang dapat diinduksi oleh rangsangan fisik. Urtikaria fisik yang
paling umum adalah dermatographism (juga dikenal sebagai "skin writing"), di mana
lesi itu dibuat atau "tertulis" pada kulit dengan mengusap atau menggaruk kulit. Area
tekanan dari pakaian seperti garis pinggang (mis., Setelah mengenakan celana ketat)
dan area pergelangan kaki atau betis yang kontak dengan pita elastis dari kaus kaki
biasanya mempengaruhi. Urtikaria kolinergik biasanya akibat kenaikan suhu tubuh
basal yang terjadi setelah aktivitas fisik atau paparan panas. Stimulus fisik lain yang
dapat memicu urtikaria termasuk paparan dingin (urtikaria yang diinduksi dingin),
sinar ultraviolet (urtikaria surya), air (aquagenic urticaria), getaran dan olahraga. Lesi

9
yang dihasilkan oleh rangsangan fisik ini biasanya terlokalisasi pada area yang
dirangsang dan seringkali sembuh dalam waktu 2 jam. Namun, beberapa pasien
mungkin mengalami urtikaria tekanan tertunda yang sesuai dengan namanya, muncul
secara perlahan (mis., 30 menit hingga 12 jam) setelah tekanan diberikan, dan dapat
bertahan beberapa jam atau bahkan berhari-hari. Daerah yang terkena dampak
termasuk tangan dan kaki, terutama ketika tekanan konstan diterapkan ke area ini
selama rentang waktu tertentu atau dalam okupasi tertentu. Yang termasuk ke dalam
urtikaria inducible adalah :6,8,10
2.6.3.1 Dermographism
Dermographism merupakan bentuk paling sering dari urtikaria fisik
dan merupakan suatu edema setempat berbatas tegas yang biasanya berbentuk
linier yang tepinya eritem yang muncul beberapa detik setelah kulit digores.
Dermographism tampak sebagai garis biduran (linear wheal). Transient wheal
atau biduran yang sementara muncul secara cepat dan biasanya memudar
dalam 30 menit; akan tetapi, kulit biasanya mengalami pruritus sehingga bekas
garukan dapat muncul.

Gambar 2.3. Dermographisme. Tampak urtikaria dengan linear wheal.1

dd
2.6.3.2 Delayed pressure urticaria
Delayed pressure urticaria tampak sebagai lesi erythematous, edema
lokal, sering disertai nyeri, yang timbul dalam 0,5-6 jam setelah terjadi
s
tekanan terhadap kulit. Episode spontan terjadi setelah duduk pada kursi yang
keras, di bawah sabuk pengaman, pada kaki setelah berlari, dan pada tangan
setelah mengerjakan pekerjaan dengan tangan.

Gambar 2.4. Delayed Pressure Urticaria pada Kaki.1


10
2.6.3.3 Cold induced urticaria
Pada cold urticaria terdapat bentuk didapat (acquired) dan diturunkan
(herediter). Serangan terjadi dalam hitungan menit setelah paparan yang
meliputi perubahan dalam temperatur lingkungan dan kontak langsung dengan
objek dingin. Jarak antara paparan dingin dan onset munculnya gejala adalah
kurang lebih 2,5 jam, dan rata-rata durasi episode adalah 12 jam.

Gambar 2.5. Cold Urticaria. 1

2.6.3.4 Cholinergic urticaria


Cholinergic urticaria terjadi setelah peningkatan suhu inti tubuh.
Cholinergic urticaria terjadi karena aksi asetilkolin terhadap sel mast. Erupsi
tampak dengan biduran bentuk papular, bulat, ukuran kecil kira-kira 2-4 mm
yang dikelilingi oleh flare eritema sedikit atau luas merupakan gambaran khas
dari urtikaria jenis ini.

Gambar 2.6. Cholinergic Urticaria. 1

2.6.3.5 Solar urticaria

11
Solar urticaria timbul sebagai biduran eritema dengan pruritus, dan
kadang-kadang angioedema dapat terjadi dalam beberapa menit setelah
paparan dengan sinar matahari atau sumber cahaya buatan. Histamin dan
faktor kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil dapat ditemukan dalam darah
setelah paparan dengan sinar ultraviolet A (UVA), UVB, dan sinar/cahaya
yang terlihat.

2.6.3.6 Exercise-induced anaphylaxis


Exercise-induced anaphylaxis adalah gejala klinis yang kompleks
terdiri dari pruritus, urtikaria, angioedema (kutaneus, laringeal, dan intestinal),
dan sinkop yang berbeda dari cholinergic urticaria. Exercise-induced
anaphylaxis memerlukan olahraga/exercise sebagai stimulusnya. 9

Gambar 2.7. Exercise-induced anaphylaxis.14

2.6.3.7 Adrenergic urticaria


Adrenergic urticaria timbul sebagai biduran yang dikelilingi oleh
white halo yang terjadi selama stress emosional. Adrenergic urticaria terjadi
karena peran norepinefrin. Biasanya muncul 10-15 menit setelah rangsangan
faktor pencetus seperti emosional (rasa sedih), kopi, dan coklat.9,10

2.6.3.8 Aquagenic urticaria and aquagenic pruritus


Kontak kulit dengan air pada temperatur berapapun dapat
menghasilkan urtikaria dan atau pruritus. Air menyebabkan urtikaria karena
bertindak sebagai pembawa antigen-antigen epidermal yang larut air. Erupsi
terdiri dari biduran-biduran kecil yang mirip dengan cholinergic urticaria.9,10

2.7 Diagnosis

12
Diagnosis urtikaria, dengan atau tanpa angioedema, didasarkan terutama pada
riwayat klinis menyeluruh dan pemeriksaan fisik. Berdasarkan pada riwayat dan
pemeriksaan fisik, tes diagnostik juga dapat dipertimbangkan untuk membantu
memastikan diagnosis urtikaria akut, kronis atau diinduksi. 10

2.7.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Anamnesis dan pemeriksaan fisik harus mencakup informasi terperinci
mengenai: frekuensi, waktu, durasi dan pola kekambuhan lesi; bentuk, ukuran, situs
dan distribusi lesi; pemicu potensial (mis., makanan, obat-obatan, rangsangan fisik,
infeksi, sengatan serangga, kejadian stres); respons terhadap terapi sebelumnya yang
digunakan; dan riwayat atopi pribadi atau keluarga. Banyak kondisi yang dapat
dengan mudah dikacaukan dengan urtikaria, terutama vaskulitis urtikaria dan
mastositosis sistemik (lihat Tabel 2.1 untuk kondisi yang perlu dipertimbangkan
dalam diagnosis banding urtikaria). 10

Tabel 2.1 Kondisi yang perlu dipertimbangkan dalam mendiagnosis banding urtikaria

Di vaskulitis urtikaria, lesi biasanya lebih terasa nyeri daripada pruritus,


bertahan lebih dari 48 jam, dan meninggalkan memar atau perubahan warna pada
kulit. Mastocytosis sistemik (juga disebut penyakit sel mast sistemik) adalah kondisi
langka yang melibatkan organ internal, selain kulit. Dalam gangguan ini, sel mast

13
atipikal berkumpul di berbagai jaringan yang dapat mempengaruhi hati, limpa,
kelenjar getah bening, sumsum tulang dan organ lainnya. Awalnya, gejala urtikaria
dapat dibingungkan dengan erythema multiforme, dan sebaliknya, tetapi yang
terakhir berkembang sangat berbeda dengan adanya kulit lepuh, yang tidak terjadi
pada urtikaria.10
Penentuan subtipe urtikaria dan etiologinya juga dapat dilakukan meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik, tes diagnostik rutin. Urtikaria akut lebih sering
dijumpai dan biasanya cepat menghilang, tetapi identifikasi etiologi penting untuk
mencegah kekambuhan. Etiologi urtikaria akut sebagian besar dapat diketahui
melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik menyeluruh, jarang dibutuhkan
pemeriksaan penunjang. Pada anak, etiologi yang sering adalah infeksi virus dan
infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Makanan dan obat-obatan, seperti antibiotik
dan NSAID (nonsteroidal anti-inflammatory drug), dapat sebagai penyebab pada
anak ataupun dewasa. Tes diagnostik hanya diindikasikan apabila dicurigai didasari
oleh alergi tipe I.11

Tabel 2.2. Pertanyaan terkait urtikaria11


N Pertanyaan
o
1 Onset
2 Frekuensi dan durasi
3 Variasi diurnal
4 Korelasi dengan riwayat perjalanan, liburan, atau akhir minggu
5 Bentuk, ukuran, dan distribusi lesi
6 Ada/tidaknya angioedema
7 Keluhan, misalnya gatal atau nyeri
8 Riwayat urtikaria atau atopi, riwayat pada keluarga
9 Riwayat alergi, infeksi, atau penyakit sistemik yang sedang atau pernah diderita
10 Penyakit psikosomatis atau psikiatri
11 Operasi implan
12 Gangguan pencernaan (lambung/usus)
13 Induksi oleh agen fisik atau aktivitas fisik
14 Penggunaan obat-obatan (NSAIDs, injeksi, imunisasi, hormon, laksatif, supositoria,
tetes telinga atau mata, dan obat herbal)
15 Korelasi dengan makanan
16 Korelasi dengan siklus menstruasi
17 Kebiasaan merokok
18 Pekerjaan
19 Hobi
20 Stres
21 Kualitas hidup pasien terkait urtikaria dan efek emosional

14
22 Riwayat pengobatan dan respons terhadap pengobatan

Urtikaria kronis mempunyai lebih banyak etiologi dan subtipe, sehingga selain
anamnesis dan pemeriksaan fisik menyeluruh, dibutuhkan tes diagnostik rutin; antara lain
darah lengkap, fungsi hati, laju endap darah (LED), dan kadar C-reactive protein (CRP). Tes
diagnostik lanjutan dipertimbangkan pada urtikaria kronis berat dan persisten untuk
identifikasi faktor pencetus dan menyingkirkan diagnosis banding. Anamnesis penting untuk
menegakkan diagnosis, meliputi hal-hal seperti pada table 2.2.
Tes dermografisme untuk diagnosis urtikaria dermografik. Tes diagnostik rutin dan
lanjutan dapat dilihat pada tabel 2.3.
Urtikaria, terutama tipe kronis, dapat mengganggu kualitas hidup. Salah satu kriteria
penilaian kualitas hidup adalah Urticaria activity score (Tabel 4).

Tabel 2.3. Tes diagnostik yang direkomendasikan menurut tipe dan subtipe11

15
Tabel 2.4. Urticaria activity score.11

- Pemeriksaan Penunjang
Skin Prick Test (SPT) dan tes IgE spesifik serum dapat membantu
mengkonfirmasi diagnosis urtikaria akut yang dihasilkan dari reaksi alergi atau yang
diperantarai IgE (tipe I) terhadap alergen makanan umum, hipersensitivitas lateks,
hipersensitivitas sengatan serangga, dan antibiotik tertentu. Tes-tes ini paling baik
dilakukan oleh ahli alergi dengan pengalaman dalam menafsirkan hasil tes dalam
konteks klinis yang sesuai. Tes dan penilaian diagnostik tertentu dapat membantu
dalam diagnosis dan diagnosis banding urtikaria spontan kronik, termasuk: hitung
darah lengkap (CBC), dan laju sedimentasi eritrosit (ESR) atau protein C-reaktif
(CRP) sebagai penanda peradangan. Adanya autoantibodi tiroid mendukung proses
autoimun di urtikaria spontan kronis. Jika ada fitur atipikal, biopsi kulit, penilaian
serum tryptase dan tingkat komplemen, dan elektroforesis protein serum harus
dipertimbangkan. Tes kulit serum autologus (ASST) melibatkan injeksi intradermal
dari serum pasien sendiri (dikumpulkan saat pasien bergejala) ke dalam kulit yang
tidak terlibat. Reaksi whare dan flare positif dianggap sebagai indikasi sirkulasi
autoantibodi terhadap reseptor IgE afinitas tinggi atau IgE. Namun, harus dicatat
bahwa ASST tidak banyak digunakan dalam praktik klinis karena mungkin tidak
spesifik untuk urtikaria spontan kronis. Karena basofil juga terlibat dalam urtikaria
kronis, uji aktivasi basofil (kuantifikasi aktivasi basofil oleh flow cytometry) mungkin
berguna untuk skrining bentuk autoimun penyakit. Namun, studi konfirmasi lebih
lanjut diperlukan sebelum tes ini diterima secara luas sebagai alat diagnostik.
Kesulitan dalam pemeriksaan adalah adanya paparan terhadap stimulus yang dicurigai

16
menjadi penyebab harus selalu diawasi, karena sering diindikasikan untuk
mengkonfirmasi diagnosis urtikaria yang diinduksi. Urtikaria yang diinduksi dingin
biasanya dapat dikonfirmasikan dengan menggunakan uji es batu (mis., Menempatkan
es batu dalam kantong plastik tertutup di lengan bawah selama 5-10 menit).
Dermatografi dapat dikonfirmasikan dengan sedikit mengusap.10

2.8 Diagnosis Banding


Ada sejumlah besar kondisi (beberapa di antaranya jarang terjadi) yang dapat
menyebabkan gejala yang mirip dengan urtikaria. Sifat lesi transien dan pruritus adalah
salah satu aspek urtikaria yang paling khas, tetapi pruritus terkadang tidak ada.
Angioedema juga lebih mungkin dikaitkan dengan urtikaria daripada kondisi kulit
lainnya.
Jika tanda dan gejala tidak khas urtikaria, diagnosis lain yang dapat
dipertimbangkan termasuk:12
2.8.1 Dermatitis atopik
Biasanya sangat pruritus, tetapi dapat dibedakan dari urtikaria dengan sedikit
peninggian (papul) yang bersifat sementara, kulit yang terlalu kering dan kelainan
permukaan kulit lainnya, sangat terkait dengan riwayat atopi pribadi atau keluarga.
2.8.2 Dermatitis kontak
Dapat dibedakan dari urtikaria oleh sedikit peninggian (papul) yg bersifat
sementara dan adanya perubahan permukaan kulit seperti lepuh, kekeringan dan
pengelupasan.
2.8.3 Fixed Drug Eruption
Nyeri, bercak halus, bulat atau oval, sering dengan lepuh sentral yang
umumnya terjadi di tempat yang sama pada tubuh setiap kali minum obat tertentu
2.8.4 Erythema multiforme
Hipersensitifitas akut dan kadang-kadang berulang pada berbagai penyebab
termasuk infeksi dan obat-obatan. Lesi biasanya muncul pada wajah dan anggota
tubuh bagian distal dan dapat bertahan hingga tujuh hari.
2.8.5 Pemfigoid bulosa
Kondisi kronis dan autoimun yang biasanya menyerang orang lanjut usia.
Ditandai dengan erosi dan bula tegang yang diisi dengan cairan bening, keruh atau
bernoda darah, paling sering terjadi pada lipatan tubuh.
2.8.6 Vaskulitis urtikaria

17
Ditandai oleh bintil-bintil yang menyerupai urtikaria, tetapi bertahan lebih
lama dari 48 jam dan sering meninggalkan memar dan area pigmentasi yang
meningkat saat mereka menyelesaikan
2.8.7 Urtikaria papula
Papula yang bersifat pruritus yang dirawat di lokasi gigitan serangga, umum
terjadi pada anak kecil dan pada orang yang telah bepergian.
2.9 Penatalaksanaan
Di Indonesia, sampai saat ini belum ada pedoman terapi untuk urtikaria.
Sebagian besar institusi menganut pedoman terapi EAACI (European Academy of
Allergy and Clinical Immunology)/GA2LEN (the Global Allergy and Asthma
European Network)/EDF (the European Dermatology Forum)/WAO (World Allergy
Organization) yang diadopsi oleh AADV (Asian Academy of Dermatology and
Venereology) untuk urtikaria kronis di Asia pada tahun 2010.

Tatalaksana urtikaria, baik akut maupun kronis terdiri dari 2 hal utama, yaitu:
2.9.1 Identifikasi dan eliminasi faktor penyebab atau pencetus
Identifikasi faktor penyebab membutuhkan diagnostik yang
menyeluruh dan tepat. Jika didapatkan perbaikan setelah eliminasi faktor
diduga penyebab, faktor ini baru bisa disimpulkan sebagai penyebab jika
terjadi kekambuhan setelah tes provokasi.
2.9.2 Terapi
Tujuan utama terapi adalah menghilangkan keluhan. Panduan terapi
menurut EAACI/GA2LEN/EDF/WAO dapat dilihat pada Tabel 2.5.

18
Tabel 2.5. Manajemen Urtikaria menurut EEACI/GA2LEN/EDF/WAO11

2.9.2.1 Terapi Non Farmakologi untuk meminimalkan hiperresponsif kulit8


- Pencegahan dan perawatan kulit kering
- Disarankan untuk menggunakan krim atau lotion secara teratur tanpa
parfum untuk menjaga kulit tetap lembab dan mengurangi sensitivitas
kulit.

19
- Menghindari stimulasi kulit
- Faktor pencetus, seperti menggaruk, mengenakan pakaian ketat,
membawa benda berat, pijatan gesekan, uap dan uap panas, lulur,
menggunakan parfum, paparan sinar matahari yang banyak, dan
paparan suhu yang terlalu panas atau terlalu dingin harus dihindari.

2.9.2.2 Terapi Farmakologi


- Antihistamin H111
Antihistamin-H1 non-sedatif/ generasi kedua (azelastine,
bilastine, cetirizine, desloratadine, ebastine, fexofenadine,
levocetirizine, loratadine, mizolastine, dan rupatadine) memiliki
efikasi sangat baik, keamanan tinggi, dan dapat ditoleransi dengan
baik, sehingga saat ini digunakan sebagai terapi lini pertama.
Apabila keluhan menetap dengan pemberian antihistamin-H1 non-
sedatif selama 2 minggu, dosis antihistamin-H1 non sedatif dapat
ditingkatkan sampai 4 kali lipat dosis awal yang diberikan.
Antihistamin generasi pertama sudah jarang digunakan,
hanya direkomendasikan sebagai terapi tambahan urtikaria kronis
yang tidak terkontrol dengan antihistamin generasi kedua.
Antihistamin generasi pertama sebaiknya diberikan dosis tunggal
malam hari karena mempunyai efek sedatif.

- Antagonis H2
Antagonis H2 (cimetidine) diberikan dalam kombinasi
dengan antagonis H1 pada urtikaria kronis. Meskipun efikasinya
rendah, beberapa ahli berpendapat bias diberikan sebelum terapi
lini kedua.

- Antagonis reseptor leukotriene


Bukti efektivitas terapi ini masih terbatas, dan tingkat
rekomendasinya rendah. Dari beberapa penelitian, disimpulkan
bahwa terapi ini hanya bermanfaat pada urtikaria kronis spontan
yang berhubungan dengan aspirin atau food additives, tetapi tidak

20
bermanfaat pada urtikaria kronis lain. Terapi ini dapat dicoba pada
pasien yang tidak merespons pengobatan antihistamin.

- Kortikosteroid
Kortikosteroid digunakan hanya pada urtikaria akut atau
eksaserbasi akut urtikaria kronis. Belum ada consensus yang
mengatur pemberian kortikosteroid, disarankan dalam dosis
terendah yang memberikan efek dalam periode singkat. Salah satu
kortikosteroid yang disarankan adalah prednison 15 mg/hari,
diturunkan 1 mg setiap minggu.

- Agen anti-inflamasi
Meskipun bukti efikasinya masih terbatas, terapi ini dapat
dipertimbangkan karena harganya terjangkau dan efek sampingnya
minimal, antara lain menggunakan dapson, sulfasalazine,
hidroksiklorokuin, dan kolkisin.

- Imunosupresan
Imunosupresan yang saat ini digunakan adalah inhibitor
kalsineurin (siklosporin). Imunosupresan lain (azatioprin,
metotreksat, siklofosfamid, dan mikofenolat mofetil) dapat
dipertimbangkan untuk urtikaria kronis yang tidak merespons
antihistamin generasi pertama.

- Agen biologis
Obat baru yang sekarang mulai digunakan adalah
omalizumab. Omalizumab dianggap bisa menjadi obat pilihan
beberapa tahun lagi, tetapi mahal dan efek samping jangka panjang
masih belum diketahui.

21
Gambar. 2.8. Algoritma terapi Urtikaria11

.9.3 Manajemen Khusus


2.9.3.1. Pada Ibu Hamil
Generasi pertama yaitu sedatif H1-antihistamin seharusnya dihindari
pada wanita hamil, karena efek sedasinya. Generasi kedua, antihistamin
H1 non-sedasi harus menjadi pengobatan pilihan pertama, karena
dianggap risiko yang masih dapat diterima, dan diklasifikasikan sebagai
kategori kehamilan B (Studi reproduksi hewan telah gagal menunjukkan
risiko pada janin dan ada tidak ada studi yang memadai pada wanita hamil
). Lebih jauh lagi, pada wanita menyusui, sejumlah kecil penelitian telah
menunjukkan bahwa antihistamin H1 non-sedatif hampir sepenuhnya
dibersihkan dari ASI. Sehubungan dengan potensi paparan obat pada bayi
melalui menyusui, loratadin dan setirizin adalah pilihan yang lebih disukai
untuk menyusui, serta pada wanita hamil. 13

22
Selanjutnya terkait antihistamin, desloratadine, dan levocetirizine
juga dapat direkomendasikan. 13
Penggunaan kortikosteroid pada trimester pertama kehamilan tidak
dianjurkan karena kemungkinan peningkatan risiko terjadinya sumbing,
dan penggunaan siklosporin pada wanita hamil harus dipertimbangkan
dengan sangat hati-hati karena efek embriotoksik dan teratogenik yang
merugikan. Bukti yang dipublikasikan tentang penggunaan montelukast
selama kehamilan menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan risiko
malformasi utama di atas angka dasar pada populasi umum. Namun, satu
penelitian melaporkan berat lahir bayi yang secara signifikan lebih rendah
dari bayi yang ibunya telah dirawat dengan montelukast. Studi klinis lebih
lanjut diperlukan untuk dapat sepenuhnya mengevaluasi kemanjuran dan
keamanan montelukast pada wanita hamil. 13
Ada sedikit data yang dipublikasikan tentang keamanan omalizumab
pada wanita hamil dengan Kronik Urtikaria, terlepas dari satu studi kasus;
Namun, perkiraan kehamilan pada pasien dengan asma alergi parah yang
diobati dengan omalizumab, telah menilai hasil dari 169 wanita hamil
yang diobati dengan omalizumab. Tidak ada peningkatan atau pola nyata
pada anomali mayor yang diamati. Ini didukung oleh bukti kehidupan
nyata baru-baru ini pada dua pasien dengan asma berat yang dirawat
dengan omalizumab saat hamil. Dalam kedua kasus pengobatan dengan
omalizumab tidak mempengaruhi kehamilan atau bayi baru lahir mereka.13

2.9.3.2. Urtikaria pada Anak Kecil


Mengenai manajemen dan perawatan anak-anak dengan UK,
pedoman EAACI / GA2LEN / EDF / WAO mencegah penggunaan sedatif
antihistamin H1. Ini sangat penting, karena anak-anak lebih sensitif
terhadap dosis antihistamin H1 yang lebih tinggi daripada orang dewasa
dan akibatnya lebih mungkin mengalami efek samping. Antihistamin H1
generasi kedua yang tidak bersifat sedasi direkomendasikan sebagai terapi
lini pertama, diikuti dengan pemberian dosis yang disesuaikan dengan
berat badan jika gejalanya menetap setelah 2 minggu. Pilihan antihistamin
H1 non-sedasi pada anak-anak yang sangat muda akan sangat tergantung
pada ketersediaannya sebagai solusi dalam penggunaan oral. Hanya

23
antihistamin H1 non-sedasi dengan kemanjuran dan keamanan terbukti
(pada dosis yang lebih tinggi) pada pasien anak yang harus digunakan,
misalnya cetirizine, desloratadine, levocetirizine dan loratadine. Pedoman
tersebut menyarankan bahwa semua langkah perawatan selanjutnya harus
didasarkan pada masing-masing pasien. terapi singkat kortikosteroid
(maksimal 10 hari) mungkin diperlukan selama eksaserbasi, tetapi hati-
hati disarankan karena efek samping, termasuk penekanan pertumbuhan,
yang sangat relevan pada anak-anak.13

2.9.3.3. Urtikaria karena NSAID


Sudah terbukti bahwa aspirin dan NSAID lainnya dapat
menyebabkan urtikaria akut. Hipersensitivitas NSAID dapat disebut
urtikaria/ angioedema yang diinduksi oleh NSAID, jika tidak memiliki
penyakit kronis yang mendasarinya, atau NSAID-exacerbated cutaneous
disease (NECD) jika dikaitkan dengan UK. Tergantung pada subtipe UK,
diperkirakan bahwa hingga 50% pasien mengalami eksaserbasi terkait
dengan pengobatan NSAID.13
10. Prognosis
Prognosis urtikaria akut umumnya baik, bisa hilang dalam 24 jam. Urtikaria akut
hampir tidak pernah menimbulkan kematian, kecuali bila disertai angioedema saluran
napas bagian atas. Pada anak-anak, 20-30% urtikaria akut akan berkembang menjadi
urtikaria kronis dan angka hospitalisasi meningkat 3 kali lipat pada usia 0-4 tahun.
Prognosis urtikaria kronis ebih bervariasi. Sebanyak 30-50% remisi spontan, 20% dalam
5 tahun, dan 20% akan menetap setelah 5 tahun.11

24
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Urtikaria adalah reaksi vaskuler di kulit akibat faktor imunologik, non-
imunologik dan idiopatik dan secara klinis dapat dibedakan menjadi tiga yaitu urtikaria
spontan, urtikaria fisik dan urtikaria spesifik.
Penatalaksanaan utama urtikaria meliputi Identifikasi dan eliminasi faktor
penyebab/pencetus dan terapi non farmakologi ataupun farmakologi. Pada non
farmakologi yaitu minimalisir reaksi hipersensitif kulit seperti: memakai krim/lotion,
tidak menggaruk, tidak memakai baju ketat, tidak memakai parfum atau bahan iritan
lainnya dan pada terapi farmakologi, ada 4 lini terapi dimana antagonis reseptor
histamine H1 merupakan first-line therapy pada urtikaria. Namun ada beberapa kondisi
yang harus diperhatikan dalam penatalaksanaan terapi pada urtikaria seperti pada kondisi
ibu hamil, anak-anak, dan urtikaria dengan NSAID.

3.2 Saran
Penatalaksanaan urtikaria sebaiknya menggunakan stratifikasi terapi yaitu first-
line therapy, second-line therapy, third-line therapy dan fourth-line therapy.
Pada dekade selanjutnya, diharapkan terdapat penelitian-penelitian yang meneliti
tentang penatalaksanaan urtikaria secara holistik sehingga dapat menolong memperbaiki
kualitas hidup para penderita urtikaria.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Wong, H.K. (2009). Urticaria, Acute. Emedicine, Artikel. Diakses 15 Januari 2020,
dari http://emedicine.medscape.com/article/1049858-print
2. Djuanda, A. (2008). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
3. Poonawalla, T., Kelly, B. (2009). Urticaria – a review. Am J Clin Dermatol; 10(1): 9-
21.
4. Sheikh, J., Najib, U. (2009). Urticaria. Emedicine, Artikel. Diakses 15 Januari 2020,
dari http://emedicine.medscape.com/article/137362-print
5. Jeong-Hun Seo1 and Jae-Woo Kwon. 2019. Epidemiology of urticaria including
physical urticaria and angioedema in Korea. Korean J Intern Med 2019;34:418-425
6. Radonjic-Hoesli, Susanne; Hofmeier, Kathrin Scherer; Micaletto, Sara; Schmid-
Grendelmeier, Peter; Bircher, Andreas; Simon, Dagmar. 2018. Urticaria and
Angioedema: an Update on Classification and Pathogenesis. Clinical Reviews in
Allergy Immunology, 54(1):88-101.
7. Asya V. Kudryavtseva1, Katerina A. Neskorodova1, Petra Staubach2. 2018. Urticaria
in children and adolescents: An updated review of the pathogenesis and management.
DOI: 10.1111/pai.12967.Hal 17-24
8. Kanokvalai Kulthanan, Papapit Tuchinda, Leena Chularojanamontri,Pattriya
Chanyachailert. 2016. Clinical practice guideline for the diagnosis and management
of urticarial. Asian Pac J Allergy Immunol 2016;34:190-200
9. Fitria. 2013. Aspek Etiologi dan Klinis pada Urtikaria dan Angioedema. Jurnal
Kedokteran Syiah Kuala. 13 (2). Hal. 96-104
10. Amin Kanani, Stephen D. Betschel and Richard Warrington. 2018. Urticaria and
angioedema. Allergy Asthma Clin Immunol 2018, 14(Suppl 2):59. Hal 116-127.
11. Siannoto, M. 2017. Diagnosis dan Tatalaksana Urtikaria. Jurnal CDK-250..44 (3). Hal
190-194.
12. Anonim, The Diagnosis and Treatment of Urticaria. BPJ-43.hal.7-13.
13. Maurer, M. Gonzalo, M. Church, M. Sussman, G.2015. Management and treatment of
chronic urticaria (CU). Journal of the European Academy of Dermatology and
Venereology. 29(3). Hal 16-32.

26
27

Anda mungkin juga menyukai