PENDAHULUAN
Urtikaria pertama kali digambarkan dalam sastra Inggris pada tahun 1772, walaupun
sebenarnya penyakit telah diakui sepanjang sejarah. Urtikaria ditandai dengan onset edema
setempat pada kulit yang berhubungan dengan rasa gatal dan terbakar yang disebabkan oleh
bermacam-macam sebab.1,2 Urtikaria juga kadang dikenal sebagai hives, nettle rash, biduran,
kaligata.1,2
Urtikaria merupakan penyakit kulit yang sering dijumpai dan mengenai 15-25%
populasi semasa hidupnya. Urtikaria dapat terjadi secara akut maupun kronik. Urtikaria akut
adalah gangguan umum yang sering mendorong pasien untuk mencari pengobatan di unit
gawat darurat (UGD). Bahkan, urtikaria akut adalah penyakit kulit paling umum yang dirawat
di UGD.1 Urtikaria kronik yang terjadi setiap hari selama lebih dari 6 minggu dapat
mengganggu kualitas hidup seseorang.3
Kebanyakan kasus urtikaria adalah self-limited dan durasinya pendek. Namun, ketika
urtikaria menjadi kronik, maka akan menjadi masalah bagi pasien atau dokter yang merawat. 4
Walaupun patogenesis dan beberapa penyebab yang dicurigai telah ditemukan, ternyata
pengobatan yang diberikan kadang-kadang tidak memberi hasil seperti yang diharapkan. 2
Penatalaksanaan utama urtikaria meliputi langkah-langkah umum untuk mencegah atau
menghindari faktor pemicu dan farmakoterapi. Penatalaksanaan tersebut distratifikasikan
menjadi first-line therapy, second-line therapy, third-line therapy dan fourth-line therapy 3
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui penatalaksanaan urtikaria.
Serta untuk membahas serta mendiskusikannya. Mengingat penyakit ini sering dijumpai.
Dapat terjadi secara akut dan kronik. Keadaan ini merupakan masalah bagi pasien maupun
dokter. Walaupun patogenesis dan penyebab yang dicurigai telah ditemukan, ternyata
pengobatan yang diberikan kadang-kadang jauh dari harapan.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Urtikaria adalah kelainan kulit yang ditandai dengan peninggian kulit yang timbul
mendadak dan/atau disertai angioedema :ukurannya bervariasi, biasanya dikelilingi
eritema, terasa gatal atau sensasi terbakar.11 Peninggian (wheals) ditandai dengan edema
superfisial terbatas pada kulit, sebagian besar dikelilingi oleh eritema merah cerah dan
berhubungan dengan rasa gatal atau rasa terbakar yang kuat. Di urtikaria, wheals
berkembang dalam beberapa menit dan memiliki sifat sementara karena kulit kembali ke
penampilan normalnya dalam 1–24 jam. Angioedema adalah edema yang terasa terbakar,
tidak gatal, dan batas kurang tegas pada dermis bagian dalam dan subkutis, atau
membran mukosa. Biasanya, angioedema muncul sebagai pembengkakan kulit berwarna
merah dan, berkembang secara perlahan serta bertahan selama beberapa hari. Selain kulit
dan mukosa, usus juga dapat dipengaruhi oleh beberapa jenis angioedema, misalnya,
herediter angioedema. Angioedema dari faring atau laring dapat mengancam jiwa
melalui risiko sesak napas.4
2.2 Epidemiologi
Data epidemiologi urtikaria secara internasional menunjukkan bahwa urtikaria
(kronis, akut, atau keduanya) terjadi pada 15-25% populasi pada suatu waktu dalam
hidup mereka. Chronic idiopatic urticaria (CIU) terjadi hingga 0,5-1,5% populasi
semasa hidupnya. Insiden urtikaria akut lebih tinggi pada orang dengan atopi. Insiden
urticaria kronis tidak meningkat pada orang dengan atopi. Data epidemiologi urtikaria
berdasarkan usia menunjukkan bahwa urtikaria akut paling sering terjadi pada anak dan
dewasa muda, sedangkan CIU lebih sering terjadi pada dewasa dan wanita setengah
baya.4
Sebuah studi baru-baru ini melaporkan bahwa prevalensi dari semua jenis urtikaria
adalah 8,8% hingga 10,8%, dengan dominasi perempuan dan usia rata-rata 35 hingga 39
tahun. Berdasarkan penelitian oleh KJIM (2019) di Korea, prevalensi urtikaria semua
jenis selama 5 tahun adalah 4,5% dengan dominasi perempuan; Selain itu, prevalensi
tahunan semua jenis urtikaria meningkat selama 5 tahun. Prevalensi semua jenis urtikaria
lebih rendah daripada yang dilaporkan oleh penelitian sebelumnya, yang mungkin karena
penelitian ini berfokus pada urtikaria klinis yang memerlukan kunjungan rumah sakit.
2
Mengingat bahwa distribusi puncak semua jenis urtikaria terjadi pada kelompok usia 40
hingga 59 tahun, yang lebih tua dari yang dilaporkan sebelumnya, dan urtikaria lebih
umum pada individu yang lebih tua berdasarkan prevalensi spesifik usia, penelitian ini
menunjukkan bahwa klinis urtikaria penting di antara populasi yang lebih tua . Selain itu,
penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi tahunan semua jenis urtikaria meningkat
selama 5 tahun. Ada beberapa penelitian tentang perubahan dalam prevalensinya dan
studi tersebut menunjukkan bahwa kejadian urtikaria telah meningkat selama beberapa
dekade terakhir. Namun, prevalensi urtikaria fisik paling tidak meningkat.5
2.3 Etiologi
Banyak penyebab dan / atau pemicu yang relevan dibahas. Perkembangannya
dikaitkan dengan infeksi virus, bakteri, parasit, atau cacing yang persisten dan konsumsi
makanan dan bahan tambahan makanan dan obat-obatan, tetapi sekitar 40% kasus,
urtikaria spontan kronis adalah proses autoimun / autoallergik / autoreaktif, tergantung
pada negara. Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya.
Diduga penyebab urtikaria bermacam-macam, antara lain: 6
2.3.1 Obat
Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik secara imunologik
maupun non-imunologik. Obat sistemik (penisilin, sepalosporin, dan diuretik)
menimbulkan urtikaria secara imunologik tipe I atau II. Sedangkan obat yang
secara non-imunologik langsung merangsang sel mast untuk melepaskan histamin,
misalnya opium dan zat kontras.
2.3.2 Makanan
3
Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria akut, umumnya akibat
reaksi imunologik. Makanan yang sering menimbulkan urtikaria adalah telur, ikan,
kacang, udang, coklat, tomat, arbei, babi, keju, bawang, dan semangka.
2.3.6 Kontaktan
Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu binatang, serbuk
tekstil, air liur binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahan kimia, misalnya
insect repellent (penangkis serangga), dan bahan kosmetik.
2.3.9 Psikis
Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung menyebabkan
peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi kapiler.
2.3.10 Genetik
4
Faktor genetik juga berperan penting pada urtikaria, walaupun jarang
menunjukkan penurunan autosomal dominant. Diantaranya ialah familial cold
urticaria, familial localized heat urticaria, vibratory angiodema.
2.4 Patogenesis
Aktivasi sel mast dermal memainkan peran kunci dalam patogenesis urtikaria.
Terlepas dari penyebab aktivasi sel mast, proses yang berkembang setelahnya adalah
serupa: fosforilasi tirosin dalam rantai beta dan gamma FcRI dengan produksi tirosin
kinase (ITAM). ITAM mengaktifkan mekanisme intraseluler yang menyebabkan
pelepasan granula dengan mediator yang sudah ada sebelumnya (histamin, heparin,
triptase, dan TNF-α) dan aktivasi sintesis sitokin / kemokin dan kimia antiinflamasi
baru.8 Histamin menentukan perkembangan fase inflamasi langsung, menginduksi
pelepasan neuropeptida (zat P, endorfin, enkephaline) dengan ujung saraf. Sel mast juga
mampu menghasilkan molekul vasoaktif (TNF-α, IL-6, aktivator trombosit, faktor
pertumbuhan endotel vaskular) tanpa degranulasi. Molekul vasoaktif memperburuk
gejala urtikaria dan bertanggung jawab atas inefisiensi antihistamin dan efek
imunodepresan pada beberapa pasien. Fase peradangan langsung ini berkembang
menjadi proses interaksi yang lebih kompleks antara sitokin, kemokin, dan molekul
adhesi yang mengatur reaksi vaskular dan spesifik kinetika sel. Sel-sel yang baru terlibat
mengeluarkan mediator inflamasi, mengintensifkan dan memperpanjang respons.
Bahkan pada kulit yang secara visual utuh, area ekspresi kemokin dan molekul adhesi
yang lebih besar dengan kadar T-limfosit yang lebih tinggi dapat dideteksi, yang
mengurangi ambang sensitivitas sel mast untuk memicu faktor. Sinyal protein pengatur
(SIRPs) bertanggung jawab untuk membatasi pelepasan mediator oleh sel mast dan
defosforilasi ITAM tirosin kinase. Cacat dalam fungsinya juga mempengaruhi
perkembangan urtikaria kronis. Selama eksaserbasi, aktivasi sistem pembekuan darah
dapat dideteksi. Trombin meningkatkan permeabilitas endotel vaskular dan
meningkatkan pelepasan mediator inflamasi oleh sel mast dan produksi komponen
komplemen C5a. C5a (anaphylatoxin) terlibat dalam aktivasi sel mast dan merupakan
chemoattractant untuk neutrofil dan eosinofil. Telah dicatat bahwa kadar fragmen
5
protrombin 1 + 2 dapat digunakan untuk penilaian aktivitas urtikaria spontan kronis pada
anak-anak. 2,7
Faktor fisik
(panas, dingin, trauma,
Pengaruh komplemen
sinar X, cahaya)
Aktivasi komplemen
SEL MAS klasik – alternatif
BASOFIL (Ag-Ab, venom, toksin)
Faktor genetik
(defisiensi C1 esterase inhibitor)
PELEPASAN MEDIATOR
(histamin, SRSA, serotonin,
kinin, PEG, PAF)
Alkohol VASODILATASI
Emosi PERMEABILITAS KAPILER ↑
Demam
Idiopatik? URTIKARIA
Gambar 2.1. Diagram Faktor Imunologik dan Non-Imunologik yang Menimbulkan Urtikaria2
2.6 Klasifikasi
Urtikaria/angioedema dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi ataupun klinis,
namun dalam praktek sehari-hari lebih mudah mengklasifikasikannya secara klinis
daripada etiologi yang sulit untuk ditegakkan. Klasifikasi berguna dalam menentukan
pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan yang tepat bagi pasien urtikaria.9
Berdasarkan etiologinya urtikaria dibagi menjadi
1. Urtikaria imunologik : urtikaria autoimun, kontak alergi dan kompleks imun.
2. Urtikaria nonimunologik: urtikaria fisik, karena obat-obatan dan kontak non
alergi.
3. Urtikaria idiopatik.
7
Berikut akan dibahas mengenai jenis-jenis urtikaria berdasarkan etiologi dan
klinisnya : 6,10
8
pohon, ikan, dan kerang. Urtikaria akut harus dibedakan dari anafilaksis yang
memiliki pemicu serupa termasuk makanan, obat-obatan, dan sengatan serangga. Pada
sekitar 50% pasien dengan urtikaria akut, penyebabnya tidak diketahui dan
kondisinya disebut sebagai urtikaria spontan akut (ASU). Hingga 36% pasien dengan
ASU dapat berkembang menjadi urtikaria spontan kronis.
9
yang dihasilkan oleh rangsangan fisik ini biasanya terlokalisasi pada area yang
dirangsang dan seringkali sembuh dalam waktu 2 jam. Namun, beberapa pasien
mungkin mengalami urtikaria tekanan tertunda yang sesuai dengan namanya, muncul
secara perlahan (mis., 30 menit hingga 12 jam) setelah tekanan diberikan, dan dapat
bertahan beberapa jam atau bahkan berhari-hari. Daerah yang terkena dampak
termasuk tangan dan kaki, terutama ketika tekanan konstan diterapkan ke area ini
selama rentang waktu tertentu atau dalam okupasi tertentu. Yang termasuk ke dalam
urtikaria inducible adalah :6,8,10
2.6.3.1 Dermographism
Dermographism merupakan bentuk paling sering dari urtikaria fisik
dan merupakan suatu edema setempat berbatas tegas yang biasanya berbentuk
linier yang tepinya eritem yang muncul beberapa detik setelah kulit digores.
Dermographism tampak sebagai garis biduran (linear wheal). Transient wheal
atau biduran yang sementara muncul secara cepat dan biasanya memudar
dalam 30 menit; akan tetapi, kulit biasanya mengalami pruritus sehingga bekas
garukan dapat muncul.
dd
2.6.3.2 Delayed pressure urticaria
Delayed pressure urticaria tampak sebagai lesi erythematous, edema
lokal, sering disertai nyeri, yang timbul dalam 0,5-6 jam setelah terjadi
s
tekanan terhadap kulit. Episode spontan terjadi setelah duduk pada kursi yang
keras, di bawah sabuk pengaman, pada kaki setelah berlari, dan pada tangan
setelah mengerjakan pekerjaan dengan tangan.
11
Solar urticaria timbul sebagai biduran eritema dengan pruritus, dan
kadang-kadang angioedema dapat terjadi dalam beberapa menit setelah
paparan dengan sinar matahari atau sumber cahaya buatan. Histamin dan
faktor kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil dapat ditemukan dalam darah
setelah paparan dengan sinar ultraviolet A (UVA), UVB, dan sinar/cahaya
yang terlihat.
2.7 Diagnosis
12
Diagnosis urtikaria, dengan atau tanpa angioedema, didasarkan terutama pada
riwayat klinis menyeluruh dan pemeriksaan fisik. Berdasarkan pada riwayat dan
pemeriksaan fisik, tes diagnostik juga dapat dipertimbangkan untuk membantu
memastikan diagnosis urtikaria akut, kronis atau diinduksi. 10
Tabel 2.1 Kondisi yang perlu dipertimbangkan dalam mendiagnosis banding urtikaria
13
atipikal berkumpul di berbagai jaringan yang dapat mempengaruhi hati, limpa,
kelenjar getah bening, sumsum tulang dan organ lainnya. Awalnya, gejala urtikaria
dapat dibingungkan dengan erythema multiforme, dan sebaliknya, tetapi yang
terakhir berkembang sangat berbeda dengan adanya kulit lepuh, yang tidak terjadi
pada urtikaria.10
Penentuan subtipe urtikaria dan etiologinya juga dapat dilakukan meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik, tes diagnostik rutin. Urtikaria akut lebih sering
dijumpai dan biasanya cepat menghilang, tetapi identifikasi etiologi penting untuk
mencegah kekambuhan. Etiologi urtikaria akut sebagian besar dapat diketahui
melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik menyeluruh, jarang dibutuhkan
pemeriksaan penunjang. Pada anak, etiologi yang sering adalah infeksi virus dan
infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Makanan dan obat-obatan, seperti antibiotik
dan NSAID (nonsteroidal anti-inflammatory drug), dapat sebagai penyebab pada
anak ataupun dewasa. Tes diagnostik hanya diindikasikan apabila dicurigai didasari
oleh alergi tipe I.11
14
22 Riwayat pengobatan dan respons terhadap pengobatan
Urtikaria kronis mempunyai lebih banyak etiologi dan subtipe, sehingga selain
anamnesis dan pemeriksaan fisik menyeluruh, dibutuhkan tes diagnostik rutin; antara lain
darah lengkap, fungsi hati, laju endap darah (LED), dan kadar C-reactive protein (CRP). Tes
diagnostik lanjutan dipertimbangkan pada urtikaria kronis berat dan persisten untuk
identifikasi faktor pencetus dan menyingkirkan diagnosis banding. Anamnesis penting untuk
menegakkan diagnosis, meliputi hal-hal seperti pada table 2.2.
Tes dermografisme untuk diagnosis urtikaria dermografik. Tes diagnostik rutin dan
lanjutan dapat dilihat pada tabel 2.3.
Urtikaria, terutama tipe kronis, dapat mengganggu kualitas hidup. Salah satu kriteria
penilaian kualitas hidup adalah Urticaria activity score (Tabel 4).
Tabel 2.3. Tes diagnostik yang direkomendasikan menurut tipe dan subtipe11
15
Tabel 2.4. Urticaria activity score.11
- Pemeriksaan Penunjang
Skin Prick Test (SPT) dan tes IgE spesifik serum dapat membantu
mengkonfirmasi diagnosis urtikaria akut yang dihasilkan dari reaksi alergi atau yang
diperantarai IgE (tipe I) terhadap alergen makanan umum, hipersensitivitas lateks,
hipersensitivitas sengatan serangga, dan antibiotik tertentu. Tes-tes ini paling baik
dilakukan oleh ahli alergi dengan pengalaman dalam menafsirkan hasil tes dalam
konteks klinis yang sesuai. Tes dan penilaian diagnostik tertentu dapat membantu
dalam diagnosis dan diagnosis banding urtikaria spontan kronik, termasuk: hitung
darah lengkap (CBC), dan laju sedimentasi eritrosit (ESR) atau protein C-reaktif
(CRP) sebagai penanda peradangan. Adanya autoantibodi tiroid mendukung proses
autoimun di urtikaria spontan kronis. Jika ada fitur atipikal, biopsi kulit, penilaian
serum tryptase dan tingkat komplemen, dan elektroforesis protein serum harus
dipertimbangkan. Tes kulit serum autologus (ASST) melibatkan injeksi intradermal
dari serum pasien sendiri (dikumpulkan saat pasien bergejala) ke dalam kulit yang
tidak terlibat. Reaksi whare dan flare positif dianggap sebagai indikasi sirkulasi
autoantibodi terhadap reseptor IgE afinitas tinggi atau IgE. Namun, harus dicatat
bahwa ASST tidak banyak digunakan dalam praktik klinis karena mungkin tidak
spesifik untuk urtikaria spontan kronis. Karena basofil juga terlibat dalam urtikaria
kronis, uji aktivasi basofil (kuantifikasi aktivasi basofil oleh flow cytometry) mungkin
berguna untuk skrining bentuk autoimun penyakit. Namun, studi konfirmasi lebih
lanjut diperlukan sebelum tes ini diterima secara luas sebagai alat diagnostik.
Kesulitan dalam pemeriksaan adalah adanya paparan terhadap stimulus yang dicurigai
16
menjadi penyebab harus selalu diawasi, karena sering diindikasikan untuk
mengkonfirmasi diagnosis urtikaria yang diinduksi. Urtikaria yang diinduksi dingin
biasanya dapat dikonfirmasikan dengan menggunakan uji es batu (mis., Menempatkan
es batu dalam kantong plastik tertutup di lengan bawah selama 5-10 menit).
Dermatografi dapat dikonfirmasikan dengan sedikit mengusap.10
17
Ditandai oleh bintil-bintil yang menyerupai urtikaria, tetapi bertahan lebih
lama dari 48 jam dan sering meninggalkan memar dan area pigmentasi yang
meningkat saat mereka menyelesaikan
2.8.7 Urtikaria papula
Papula yang bersifat pruritus yang dirawat di lokasi gigitan serangga, umum
terjadi pada anak kecil dan pada orang yang telah bepergian.
2.9 Penatalaksanaan
Di Indonesia, sampai saat ini belum ada pedoman terapi untuk urtikaria.
Sebagian besar institusi menganut pedoman terapi EAACI (European Academy of
Allergy and Clinical Immunology)/GA2LEN (the Global Allergy and Asthma
European Network)/EDF (the European Dermatology Forum)/WAO (World Allergy
Organization) yang diadopsi oleh AADV (Asian Academy of Dermatology and
Venereology) untuk urtikaria kronis di Asia pada tahun 2010.
Tatalaksana urtikaria, baik akut maupun kronis terdiri dari 2 hal utama, yaitu:
2.9.1 Identifikasi dan eliminasi faktor penyebab atau pencetus
Identifikasi faktor penyebab membutuhkan diagnostik yang
menyeluruh dan tepat. Jika didapatkan perbaikan setelah eliminasi faktor
diduga penyebab, faktor ini baru bisa disimpulkan sebagai penyebab jika
terjadi kekambuhan setelah tes provokasi.
2.9.2 Terapi
Tujuan utama terapi adalah menghilangkan keluhan. Panduan terapi
menurut EAACI/GA2LEN/EDF/WAO dapat dilihat pada Tabel 2.5.
18
Tabel 2.5. Manajemen Urtikaria menurut EEACI/GA2LEN/EDF/WAO11
19
- Menghindari stimulasi kulit
- Faktor pencetus, seperti menggaruk, mengenakan pakaian ketat,
membawa benda berat, pijatan gesekan, uap dan uap panas, lulur,
menggunakan parfum, paparan sinar matahari yang banyak, dan
paparan suhu yang terlalu panas atau terlalu dingin harus dihindari.
- Antagonis H2
Antagonis H2 (cimetidine) diberikan dalam kombinasi
dengan antagonis H1 pada urtikaria kronis. Meskipun efikasinya
rendah, beberapa ahli berpendapat bias diberikan sebelum terapi
lini kedua.
20
bermanfaat pada urtikaria kronis lain. Terapi ini dapat dicoba pada
pasien yang tidak merespons pengobatan antihistamin.
- Kortikosteroid
Kortikosteroid digunakan hanya pada urtikaria akut atau
eksaserbasi akut urtikaria kronis. Belum ada consensus yang
mengatur pemberian kortikosteroid, disarankan dalam dosis
terendah yang memberikan efek dalam periode singkat. Salah satu
kortikosteroid yang disarankan adalah prednison 15 mg/hari,
diturunkan 1 mg setiap minggu.
- Agen anti-inflamasi
Meskipun bukti efikasinya masih terbatas, terapi ini dapat
dipertimbangkan karena harganya terjangkau dan efek sampingnya
minimal, antara lain menggunakan dapson, sulfasalazine,
hidroksiklorokuin, dan kolkisin.
- Imunosupresan
Imunosupresan yang saat ini digunakan adalah inhibitor
kalsineurin (siklosporin). Imunosupresan lain (azatioprin,
metotreksat, siklofosfamid, dan mikofenolat mofetil) dapat
dipertimbangkan untuk urtikaria kronis yang tidak merespons
antihistamin generasi pertama.
- Agen biologis
Obat baru yang sekarang mulai digunakan adalah
omalizumab. Omalizumab dianggap bisa menjadi obat pilihan
beberapa tahun lagi, tetapi mahal dan efek samping jangka panjang
masih belum diketahui.
21
Gambar. 2.8. Algoritma terapi Urtikaria11
22
Selanjutnya terkait antihistamin, desloratadine, dan levocetirizine
juga dapat direkomendasikan. 13
Penggunaan kortikosteroid pada trimester pertama kehamilan tidak
dianjurkan karena kemungkinan peningkatan risiko terjadinya sumbing,
dan penggunaan siklosporin pada wanita hamil harus dipertimbangkan
dengan sangat hati-hati karena efek embriotoksik dan teratogenik yang
merugikan. Bukti yang dipublikasikan tentang penggunaan montelukast
selama kehamilan menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan risiko
malformasi utama di atas angka dasar pada populasi umum. Namun, satu
penelitian melaporkan berat lahir bayi yang secara signifikan lebih rendah
dari bayi yang ibunya telah dirawat dengan montelukast. Studi klinis lebih
lanjut diperlukan untuk dapat sepenuhnya mengevaluasi kemanjuran dan
keamanan montelukast pada wanita hamil. 13
Ada sedikit data yang dipublikasikan tentang keamanan omalizumab
pada wanita hamil dengan Kronik Urtikaria, terlepas dari satu studi kasus;
Namun, perkiraan kehamilan pada pasien dengan asma alergi parah yang
diobati dengan omalizumab, telah menilai hasil dari 169 wanita hamil
yang diobati dengan omalizumab. Tidak ada peningkatan atau pola nyata
pada anomali mayor yang diamati. Ini didukung oleh bukti kehidupan
nyata baru-baru ini pada dua pasien dengan asma berat yang dirawat
dengan omalizumab saat hamil. Dalam kedua kasus pengobatan dengan
omalizumab tidak mempengaruhi kehamilan atau bayi baru lahir mereka.13
23
antihistamin H1 non-sedasi dengan kemanjuran dan keamanan terbukti
(pada dosis yang lebih tinggi) pada pasien anak yang harus digunakan,
misalnya cetirizine, desloratadine, levocetirizine dan loratadine. Pedoman
tersebut menyarankan bahwa semua langkah perawatan selanjutnya harus
didasarkan pada masing-masing pasien. terapi singkat kortikosteroid
(maksimal 10 hari) mungkin diperlukan selama eksaserbasi, tetapi hati-
hati disarankan karena efek samping, termasuk penekanan pertumbuhan,
yang sangat relevan pada anak-anak.13
24
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Urtikaria adalah reaksi vaskuler di kulit akibat faktor imunologik, non-
imunologik dan idiopatik dan secara klinis dapat dibedakan menjadi tiga yaitu urtikaria
spontan, urtikaria fisik dan urtikaria spesifik.
Penatalaksanaan utama urtikaria meliputi Identifikasi dan eliminasi faktor
penyebab/pencetus dan terapi non farmakologi ataupun farmakologi. Pada non
farmakologi yaitu minimalisir reaksi hipersensitif kulit seperti: memakai krim/lotion,
tidak menggaruk, tidak memakai baju ketat, tidak memakai parfum atau bahan iritan
lainnya dan pada terapi farmakologi, ada 4 lini terapi dimana antagonis reseptor
histamine H1 merupakan first-line therapy pada urtikaria. Namun ada beberapa kondisi
yang harus diperhatikan dalam penatalaksanaan terapi pada urtikaria seperti pada kondisi
ibu hamil, anak-anak, dan urtikaria dengan NSAID.
3.2 Saran
Penatalaksanaan urtikaria sebaiknya menggunakan stratifikasi terapi yaitu first-
line therapy, second-line therapy, third-line therapy dan fourth-line therapy.
Pada dekade selanjutnya, diharapkan terdapat penelitian-penelitian yang meneliti
tentang penatalaksanaan urtikaria secara holistik sehingga dapat menolong memperbaiki
kualitas hidup para penderita urtikaria.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Wong, H.K. (2009). Urticaria, Acute. Emedicine, Artikel. Diakses 15 Januari 2020,
dari http://emedicine.medscape.com/article/1049858-print
2. Djuanda, A. (2008). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
3. Poonawalla, T., Kelly, B. (2009). Urticaria – a review. Am J Clin Dermatol; 10(1): 9-
21.
4. Sheikh, J., Najib, U. (2009). Urticaria. Emedicine, Artikel. Diakses 15 Januari 2020,
dari http://emedicine.medscape.com/article/137362-print
5. Jeong-Hun Seo1 and Jae-Woo Kwon. 2019. Epidemiology of urticaria including
physical urticaria and angioedema in Korea. Korean J Intern Med 2019;34:418-425
6. Radonjic-Hoesli, Susanne; Hofmeier, Kathrin Scherer; Micaletto, Sara; Schmid-
Grendelmeier, Peter; Bircher, Andreas; Simon, Dagmar. 2018. Urticaria and
Angioedema: an Update on Classification and Pathogenesis. Clinical Reviews in
Allergy Immunology, 54(1):88-101.
7. Asya V. Kudryavtseva1, Katerina A. Neskorodova1, Petra Staubach2. 2018. Urticaria
in children and adolescents: An updated review of the pathogenesis and management.
DOI: 10.1111/pai.12967.Hal 17-24
8. Kanokvalai Kulthanan, Papapit Tuchinda, Leena Chularojanamontri,Pattriya
Chanyachailert. 2016. Clinical practice guideline for the diagnosis and management
of urticarial. Asian Pac J Allergy Immunol 2016;34:190-200
9. Fitria. 2013. Aspek Etiologi dan Klinis pada Urtikaria dan Angioedema. Jurnal
Kedokteran Syiah Kuala. 13 (2). Hal. 96-104
10. Amin Kanani, Stephen D. Betschel and Richard Warrington. 2018. Urticaria and
angioedema. Allergy Asthma Clin Immunol 2018, 14(Suppl 2):59. Hal 116-127.
11. Siannoto, M. 2017. Diagnosis dan Tatalaksana Urtikaria. Jurnal CDK-250..44 (3). Hal
190-194.
12. Anonim, The Diagnosis and Treatment of Urticaria. BPJ-43.hal.7-13.
13. Maurer, M. Gonzalo, M. Church, M. Sussman, G.2015. Management and treatment of
chronic urticaria (CU). Journal of the European Academy of Dermatology and
Venereology. 29(3). Hal 16-32.
26
27