Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

STRIKTUR URETRA
A. Pengertian
Striktur uretra adalah kondisi dimana suatu bagian dari uretra menyempit. Berbeda
dengan obstruksi pada uretra yang disebabkan oleh batu, striktur uretra merupakan adanya
oklus dari dari meatus uretralis karena adanya jaringan yang fibrotik dengan hipertrofi.
Jaringan fibrotik yan tumbuh dengan abnormal akan menutupi/ mempersempit meatus
uretralis, sehingga aliran urine (urine flow) akan menurun. (Prabowo & Pranata, 2014:
144)
Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra karena fibrosis pada dindingnya.
Penyempitan lumen ini disebabkan karena dindingnya mengalami fibrosis dan pada
tingkat yang lebih parah terjadi fibrosis korpus spongiosum. (Purnomo, 2011: 153).
Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra akibat adanya jaringan parut dan
kontriksi. (Suharyanto & Madjid, 2013: 271)
Dari beberapa definisi tersebut, disimpulkan bahwa Striktur uretra merupakan penyakit
atau kelainan yang berupa penyempitan atau konstriksi dari lumen uretra akibat adanya
obstruksi kemudian terbentuk jaringan fibrotik (jaringan parut) pada daerah uretra.
B. Etiologi
Berdasarkan penyebab/etiologinya struktur uretra di bagi menjadi 3 jenis :
a) Struktur uretra kongenital
Striktur ini bisanya sering terjadi di fossa navikularis dan pars membranase, sifat
striktur ini adalah stationer dan biasanya timbul terpisah atau bersamaan dengan
anomalia sakuran kemih yang lain.
b) Struktur uretra traumatik
Trauma ini akibat trauma sekunder seperti kecelakaan, atau karena instrumen,
infeksi, spasmus otot, atau tekanan dari luar, atau tekanan oleh struktur sambungan
atau oleh pertumbuhan tumor dari luar serta biasanya terjadi pada daerah kemaluan
dapat menimbulkan ruftur urethra, Timbul striktur traumatik dalam waktu 1 bulan.
Striktur akibat trauma lebih progresif daripada striktur akibat infeksi. Pada ruftur ini
ditemukan adanya hematuria gross.
c) Struktur akibat infeksi
Struktur ini biasanya sissebabkan oleh infeksi veneral. Timbulnya lebih lambat
daripada striktur traumatic.
Penyebab paling umum dari striktur uretra saat ini adalah traumatik atau
iatrogenik. Penyebab yang lebih jarang ditemui adalah peradangan atau infeksi,
keganasan, dan kongenital. Striktur akibat infeksi biasanya merupakan gejala
sekunder dari urethritis gonococcal, yang masih umum di beberapa populasi berisiko
tinggi. Penyebab yang paling penting adalah idiopati, reseksi transurethral,
kateterisasi uretra, fraktur panggul dan operasi hipospadia. Penyebab iatrogenik
keseluruhan (reseksi transurethral, kateterisasi uretra, sistoskopi, prostatektomi,
operasi brachytherapy dan hipospadia) adalah 45,5% dari kasus striktur. Pada pasien
yang lebih muda dari 45 tahun penyebab utama adalah idiopati, operasi hipospadia
dan fraktur panggul. Pada pasien yang lebih tua dari 45 tahun penyebab utama adalah
reseksi transurethraldan idiopathy. Penyebab utama penyakit penyempitan
multifokal/panurethral adalah kateterisasi uretra anterior, sedangkan fraktur panggul
adalah penyebab utama dari striktur uretra posterior.
Etiologi striktur pada wanita berbeda dengan laki-laki, etiologi striktura uretra
pada wanita radang kronis. Biasanya di derita wanita usia diatas 40 tahun dengan
sindroma sistitis berulang yaitu disuria, frekuensi dan urgensi. Diagnosis striktur
uretra dibuat dengan bougie aboul’e, tanda khas dari pemeriksaan bougie aboul’e
adalah pada waktu dilepas terdapat flik/hambatan. Pengobatan dari striktura uretra
pada wanita dengan dilatasi, kalo gagal dengan otis uretrotomi.

C. Derajat penyempitan Uretra


Sesuai dengan derajat penyempitan lumennya, striktur uretra dibagi menjadi tiga
tingkatan:
a) Ringan : jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen uretra.
b) Sedang : jika terdapat oklusi 1/3 sampai dengan ½ diameter lumen uretra.
c) Berat : jika terdapat oklusi lebih besar dari ½ diameter lumen uretra. Pada
penyempitan derajat berat kadangkala teraba jaringan keras di korpus spongiosum
yang dikenal dengan spongiofibrosis.
D. Patofisiologi
Residu urine yang sedikit mungkin akan menimbulkan gangguan, namun jika banyak
dan melebihi batas kapasitas vesika memungkinan terjadinya refluks dan jika berlangsung
kronis kemungkinan menimbulkan hidronephrosis. Selain itu, stagnansi urine yang lama
menimbulkan sedimentasi sehingga kemungkinan akan terjadi urolithiasis. Hal yang
paling kompleks dari dampak striktur adalah terjadinya gagal ginjal. Hal ini dikarenakan
refluks pada ginjal akan memperberat kerja ginjal untuk melakukan fungsinya.
Tubuh manusia memiliki banyak cara untuk mengatasi masalah, begitu pula dengan
akumulasi urine yang semakin bertambah dengan adanya striktur. Urine yang bersifat
asam/ basa akan berusaha mencari jalan baru sebgai saluran dengan meningkatkan
iritabilitas pada mukosa jaringan sekitar dan terbentukla fistel. (Prabowo & Pranata, 2014:
147-149)
Proses radang akibat trauma atau infeksi pada uretra akan menyebabkan terbentuknya
jaringan sikatrik pada uretra. Jaringan sikatriks pada lumen uretra menimbulkan hambatan
aliran urine hingga retensi urine. Aliran urine yang terhambat tersumbat mencari jalan
keluar di tempat lain (di sebelah proksimal striktura) dan akhirnya mengumpul di rongga
periuretra. Jika terinfeksi menimbulkan abses periuretra yang kemudian pecah membentuk
fistula uretrokutan. Pada keadaan tertentu dijumpai banyak sekali fistula sehingga disebut
sebagai fistula seruling. (Purnomo, 2011: 144)
Trauma yang menyebabkan striktura uretra adalah trauma tumpul pada selangkangan
(straddle injury) dan fraktur tulang pelvis. Proses radang akibat trauma atau infeksi pada
uretra akan menyebabkan terbentuknya jaringan sikatriks pada uretra. Jaringan sikatriks
pada lumen uretra menimbulkan hambatan aliran urine hingga retensi urine. Aliran urine
yang terhambat mencari jalan keluar di tempat lain (di sebelah proksimal striktura) dan
akhirnya mengumpul di rongga periuretra. Jika terinfeksi menimbulkan abses periuretra
yang kemudian pecah membentuk fistula uretrokutan. Pada keadaan tertentu banyak
dijumpai fistula sehingga disebut sebagai fistula seruling.
Tindakan yang kurang hati-hati pada pemasangan kateter dapat menimbulkan salah
jalan ( false route) yang menimbulkan kerusakan uretra dan menyisakan strikture
dikemudian hari. Demikian pula fiksasi kateter yang tidak benar pada pemakaian kateter
menetap yang menyebabkan penekanan kateter pada perbatasan uretra bulbo-pendulare
yang mengakibatkan penekanan uretra terus menerus, menimbulkan hipoksia uretra daerah
itu, yang pada akhirnya menimbulkan fistula atau strikur uretra.
E. Tanda dan Gejala
Manifestasi klinis pada umumnya mirip dengan obstruksi saluran kemih lainnya,
misalnya BPH. Namun ada beberapa yang khas dari klien striktur uretra, yaitu pancaran
urine yang kecil dan bercabang. Hal ini dikarenakan sumbatan/ obstruksi pada saluran
meatus uretralis, sehingga akan menurunkan patensi urine low dan obstruksi yang berada
di medial akan membuat alira urine terpecah, sehingga seolah-olah pancaran urine terbelah
dua. Gejala yang lain dari striktur uretra antara lain:
a) Frekuensi
Merupakan banyaknya jumlah berkemih dalam sehari. Peningkatan frekuensi
untuk berkemih pada klien striktur uretra dikarenakan tidak tuntasnya klien untuk
mengosongkan vesika, sehingga masih terdapat residu urine dalam vesika. Hal inilah
yang kemudian mendorong m.detrusor untuk berespon mengosongkan vesika.
b) Urgensi
Merupakan perasaan seseorang yang takut mengalami inkontinensia jika
tidak berkemih. Akumulasi yang kronis pada klien striktur uretra adalah
mengakibatkan iritabilitas vesika urinaria meningkat. Hal ini akan merangsang
persarafan yang mengontrol eliminasi uri untuk mengosongkan melalui efek
kontraksi pada bladder. Dengan demikian keinginan untuk miksi akan terjadi terus-
menurus pada striktur uretra.
c) Disuria
Merupakan rasa sakit dan kesulitan untuk melakukan miksi. Klien striktur
urtra akan mengalami iritabilitas mukosa, baik pada uretra maupun pada vesika
urinaria. Hal ini dikarenakan akumulasi urine yang melebihi kapasitas bladder dan
sifat pH dari urine yang cenderung asam/ basa akan melukai mukosa saluran kemih.
Selain itu, relaksasi vesika yang melebihi dari kemampuan otot vesika akan
menimbulkan inflamasi dan nyeri.
d) Inkontenensia urine
Merupakan ketidakmampuan untuk mengontrol miksi ( bahasa awam :
ngompol ) kejadian ini pada klien striktur uretra dipicu oleh iritabilitas sayaraf
perkemihan sehingga kemampuan untuk mengatur regulasi miksi menurun.
e) Urine menetes
Merupakan dampak dari residu urine dan adanya obsruksi pada meatus
uretralis, sehingga pancara urine melemah dan pengosongan tidak bisa spontan.
f) Penis membengkak
Bendungan urine dan obstruksi pada saluran uretra akan menyebabkan
resistensi kapiler jaringan sekitar meningkat dengan gejala inflamasi yang jelas,
sehingga penis akan membengkak.
g) Infiltrat
Jika obstruksi pada klien striktur uretra tidak tertangani dengan baik dan
terjadi dalam jangka waktu yang lama, maka kemungkinan infeksi pada striktur akan
terjadi mengingat urine merupakan media untuk pertumbuhan kuman yang baik. Jika
hal ini terjadi, inflamasi jaringan striktu akan menjadi abses dan infiltrasi akan terjadi
pula.
h) Abses
Diakibatkan oleh invasi bakteri melalui urine kepada jaringan obstruksi
striktur.
i) Fistel
Urine yang bersifat asam/ basa akan berusaha secara patologis untuk mencari
jalan keluar. Oleh karena itu, iritabilitas jaringan sekitar akan terus terjadi untuk
membuat saluran baru, sehingga kemungkinan akan terbentuk fistel sebagai jalan
keluar urine baru.
j) Retensio urine
Striktur yang total akan menghambat secara total aliran urine, sehingga urine
tidak akan keluar sedikit pun dan terakumulasi pada vesika urinaria.
k) Kencing bercabang
Pancaran urine yang kecil dan bercabang. Hal ini dikarenakan sumbatan/
obstruksi pada saluran meatus uretralis, sehingga akan menurunkan patensi urine
low dan obstruksi yang berada di medial akan membuat alira urine terpecah,
sehingga seolah-olah pancaran urine terbelah dua. (Prabowo & Pranata, 2014: 146)
F. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium
a) Urin dan kultur urin untuk mengetahui adanya infeksi
b) Ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal
2) Uroflowmetri
Uroflowmetri adalah pemeriksaan untuk menentukan kecepatan pancaran urin.
Volume urin yang dikeluarkan pada waktu miksi dibagi dengan lamanya proses miksi.
Kecepatan pancaran urin normal pada pria adalah 20 ml/detik dan pada wanita 25
ml/detik. Bila kecepatan pancaran kurang dari harga normal menandakan ada obstruksi
3) Radiologi
Diagnosa pasti dibuat dengan uretrografi, untuk melihat letak penyempitan dan
besarnya penyempitan uretra. Teknik pemeriksaan uretrogram adalah pemeriksaan
radiografi ureter dengan bahan kontras uretra. Untuk mengetahui lebih lengkap
mengenai panjang striktur adalah dengan membuat foto bipolar sistouretrografi dengan
cara memasukkan bahan kontras secara antegrad dari buli-buli dan secara retrograd dari
uretra. Dengan pemeriksaan ini panjang striktur dapat diketahui sehingga penting untuk
perencanaan terapi atau operasi
4) Instrumentasi
Pada pasien dengan striktur uretra dilakukan percobaan dengan memasukkan
kateter Foley ukuran 24 ch, apabila ada hambatan dicoba dengan kateter dengan ukuran
yang lebih kecil sampai dapat masuk ke buli- buli. Apabila dengan kateter ukuran kecil
dapat masuk menandakan adanya penyempitan lumen uretra.
5) Uretroskopi
Untuk melihat secara langsung adanya striktur di uretra.Jika diketemukan adanya
striktur langsung diikuti dengan uretrotomi interna (sachse) yaitu memotong jaringan
fibrotik dengan memakai pisau sachse.
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk penderita Striktur Uretra adalah dengan
menggunakan penatalaksanaan farmakologis dan non farmakologis.
1) Terapi Farmakologis
a) Bougie (Dilatasi)
Sebelum melakukan dilatasi, periksalah kadar hemoglobin pasien dan
periksa adanya glukosa dan protein dalam urin. Tersedia beberapa jenis bougie.
Bougie bengkok merupakan satu batang logam yang ditekuk sesuai dengan
kelengkungan uretra pria; bougie lurus, yang juga terbuat dari logam,
mempunyai ujung yang tumpul dan umumnya hanya sedikit melengkung;
bougie filiformis mempunyai diameter yang lebih kecil dan terbuat dari bahan
yang lebih lunak.

Berikan sedatif ringan sebelum memulai prosedur dan mulailah pengobatan


dengan antibiotik, yang diteruskan selama 3 hari. Bersihkan glans penis dan meatus
uretra dengan cermat dan persiapkan kulit dengan antiseptik yang lembut. Masukkan
gel lidokain ke dalam uretra dan dipertahankan selama 5 menit. Tutupi pasien dengan
sebuah duk lubang untuk mengisolasi penis.

Apabila striktur sangat tidak teratur, mulailah dengan memasukkan sebuah


bougie filiformis; biarkan bougie di dalam uretra dan teruskan memasukkan bougie
filiformis lain sampai bougie dapat melewati striktur tersebut. Kemudian lanjutkan
dengan dilatasi menggunakan bougie lurus.

Apabila striktur sedikit tidak teratur, mulailah dengan bougie bengkok atau
lurus ukuran sedang dan secara bertahap dinaikkan ukurannya. Dilatasi dengan bougie
logam yang dilakukan secara hati-hati. Tindakan yang kasar tambah akan merusak
uretra sehingga menimbulkan luka baru yang pada akhirnya menimbulkan striktur lagi
yang lebih berat. Karena itu, setiap dokter yang bertugas di pusat kesehatan yang
terpencil harus dilatih dengan baik untuk memasukkan bougie. Penyulit dapat
mencakup trauma dengan perdarahan dan bahkan dengan pembentukan jalan yang
salah (false passage). Perkecil kemungkinan terjadinya bakteremi, septikemi, dan syok
septic dengan tindakan asepsis dan dengan penggunaan antibiotik.

Gambar Dilatasi uretra dengan bougie

Gambar Dilatasi uretra pada pasien pria (lanjutan).


Bougie lurus dan bougie bengkok (F); dilatasi strikur
anterior dengan sebuah bougie lurus (G) dilatasi dengan
sebuah bougie bengkok (H-J)

b) Uretrotomi interna

Tindakan ini dilakukan dengan menggunakan alat endoskopi yang memotong


jaringan sikatriks uretra dengan pisau Otis atau dengan pisau Sachse, laser atau
elektrokoter. Otis uretrotomi dikerjakan pada striktur uretra anterior terutama bagian distal
dari pendulans uretra dan fossa navicularis, otis uretrotomi juga dilakukan pada wanita
dengan striktur uretra.

Indikasi untuk melakukan bedah endoskopi dengan alat Sachse adalah striktur
uretra anterior atau posterior masih ada lumen walaupun kecil dan panjang tidak lebih dari
2 cm serta tidak ada fistel, kateter dipasang selama 2- 3 hari pasca tindakan. Setelah pasien
dipulangkan, pasien harus kontrol tiap minggu selama 1 bulan kemudian 2 minggu sekali
selama 6 bulan dan tiap 6 bulan sekali seumur hidup. Pada waktu kontrol dilakukan
pemeriksaan uroflowmetri, bila pancaran urinnya < 10 ml/det dilakukan bouginasi.

c) Uretrotomi eksterna

Tindakan operasi terbuka berupa pemotongan jaringan fibrosis kemudian dilakukan


anastomosis end-to-end di antara jaringan uretra yang masih sehat, cara ini tidak dapat
dilakukan bila daerah strikur lebih dari 1 cm. Cara Johansson; dilakukan bila daerah striktur
panjang dan banyak jaringan fibrotik.

 Stadium I: daerah striktur disayat longitudinal dengan menyertakan sedikit jaringan


sehat di proksimal dan distalnya, lalu jaringan fibrotik dieksisi. Mukosa uretra dijahit
ke penis pendulans dan dipasang kateter selama 5-7 hari.

 Stadium II: beberapa bulan kemudian bila daerah striktur telah melunak, dilakukan
pembuatan uretra baru.
d) Uretroplasty

Dilakukan pada penderita dengan panjang striktur uretra lebih dari 2 cm atau dengan
fistel uretro-kutan atau penderita residif striktur pasca Uretrotomi Sachse. Operasi
uretroplasty ini bermacam-macam, pada umumnya setelah daerah striktur di eksisi, uretra
diganti dengan kulit preputium atau kulit penis dan dengan free graft atau pedikel graft
yaitu dibuat tabung uretra baru dari kulit preputium/kulit penis dengan menyertakan
pembuluh darahnya.

2) Penatalaksanaan Non Farmakologis


a) Menghindari terjadinya trauma pada uretra dan pelvis.
b) Tindakan transuretra dengan hati-hati, seperti pada pemasangan kateter.
c) Menghindari kontak langsung dengan penderita yang terinfeksi penyakit menular
seksual seperti gonorrhea, dengan jalan setia pada satu pasangan dan memakai
kondom.
d) Pengobatan dini striktur uretra dapat menghindari komplikasi seperti infeksi dan
gagal ginjal.
Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan.
pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu penentuan status
kesehatan dan pola pertahanan klien, mengidentifikasi kekuatan dan kebutuhan klien,
serta merumuskan diagnosis keperawatan.
Pengkajian dibagi menjadi 2 tahap, yaitu pengkajian pre operasi Sachse dan
pengkajian post operasi Sachse.
1. Pengkajian pre operasi Sachse
Pengkajian ini dilakukan sejak klien MRS sampai saat operasinya, yang
meliputi; a. Pengkajian fokus :
Palpasi :
1. Abdomen
Bagaimana bentuk abdomen. Pada klien dengan keluhan retensi
umumnya ada penonjolan kandung kemih pada supra pubik. Apakah ada
nyeri tekan, turgornya bagaimana. Pada klien biasanya terdapat hernia atau
hemoroid. Hepar, lien, ginjal teraba atau tidak. Peristaklit usus menurun atau
meningkat.
2. Genitalia dan anus
Pada klien biasanya terdapat hernia. Pembesaran prostat dapat teraba
pada saat rectal touché. Pada klien yang terjadi retensi urine, apakah
trpasang kateter, Bagaimana bentuk scrotum dan testisnya. Pada anus
biasanya ada haemorhoid.
Inspeksi :
a. Memeriksa uretra dari bagian meatus dan jaringan sekitarnya
b. Observasi adanya penyempitan, perdarahan, mukus atau cairan purulent
(nanah)
c. Observasi kulit dan mukosa membran disekitar jaringan
d. Perhatikan adanya lesi hiperemi atau keadaan abnormal lainnya pada penis,
scrotom, labia dan orifisium Vagina.
e. Iritasi pada uretra ditunjukan pada klien dengan keluhan ketidak nyamanan
pada saat akan mixi.
b. Pengkajian psikososial :
1. Respon emosional pada penderita sistim perkemihan, yaitu : menarik diri,
cemas, kelemahan, gelisah, dan kesakitan.
2. Respon emosi pada pada perubahan masalah pada gambaran diri, takut dan
kemampuan seks menurun dan takut akan kematian. Riwayat psikososial
terdiri dari :
a. Intra personal
Kebanyakan klien yang akan menjalani operasi akan muncul
kecemasan. Kecemasan ini muncul karena ketidaktahuan tentang
prosedur pembedahan. Tingkat kecemasan dapat dilihat dari perilaku
klien, tanggapan klien tentang sakitnya.
a. Inter personal
Meliputi peran klien dalam keluarga dan peran klien dalam
masyarakat.
b. Pengkajian diagnostik
Sedimen urine untuk mengetahui partikel-partikel urin yaitu sel,
eritrosit, leukosit, bakteria, kristal, dan protein.
c. Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama / kepercayaan, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, suku/ Bangsa, alamat, no. rigester dan
diagnosa medis.
d. Riwayat penyakit sekarang
Pada klien striktur urethra keluhan-keluhan yang ada adalah frekuensi ,
nokturia, urgensi, disuria, pancaran melemah, rasa tidak lampias/ puas sehabis
miksi, hesistensi, intermitency, dan waktu miksi memenjang dan akirnya
menjadi retensio urine.
e. Riwayat penyakit dahulu
Adanya penyakit yang berhubungan dengan saluran perkemihan,
misalnya ISK (Infeksi Saluran Kencing ) yang berulang. Penyakit kronis yang
pernah di derita. Operasi yang pernah di jalani kecelakaan yang pernah dialami
adanya riwayat penyakit DM dan hipertensi.
f. Riwayat penyakit keluarga
Adanya riwayat keturunan dari salah satu anggota keluarga yang
menderita penyakit striktur urethra Anggota keluarga yang menderita DM,
asma, atau hipertensi.
g. Pola Fungsi kesehatan
1. Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Klien ditanya tentang kebiasaan merokok, penggunaan tembakau,
penggunaan obat-obatan, penggunaan alkhohol dan upaya yang biasa
dilakukan dalam mempertahankan kesehatan diri (pemeriksaan kesehatan
berkala, gizi makanan yang adekuat).
2. Pola nutrisi dan metabolisme
Klien ditanya frekuensi makan, jenis makanan, makanan pantangan,
jumlah minum tiap hari, jenis minuman, kesulitan menelan atau keadaan
yang mengganggu nutrisi seperti nause, stomatitis, anoreksia dan vomiting.
Pada pola ini umumnya tidak mengalami gangguan atau masalah.
h. Pola eliminasi
Klien ditanya tentang pola berkemih, termasuk frekuensinya, ragu ragu,
jumlah kecil dan tidak lancar menetes – netes, kekuatan system perkemihan.
Klien juga ditanya apakah mengedan untuk mulai atau mempertahankan aliran
kemih. Klien ditanya tentang defikasi, apakah ada kesulitan seperti konstipasi
akibat dari p[enyempitan urethra kedalam rectum.
i. Pola tidur dan istirahat .
Klien ditanya lamanya tidur, adanya waktu tidur yang berkurang karena
frekuensi miksi yang sering pada malam hari ( nokturia ). Kebiasaan tidur
memekai bantal atau situasi lingkungan waktu tidur juga perlu ditanyakan.
Upaya mengatasi kesulitan tidur.
j. Pola Aktifitas
Klien ditanya aktifitasnya sehari – hari, aktifitas penggunaan waktu
senggang, kebiasaan berolah raga. Apakah ada perubahan sebelum sakit dan
selama sakit. Pada umumnya aktifitas sebelum operasi tidak mengalami
gangguan, dimana klien masih mampu memenuhi kebutuhan sehari – hari
sendiri.
k. Pola hubungan dan peran
Klien ditanya bagaimana hubungannya dengan anggota keluarga, pasien
lain, perawat atau dokter. Bagai mana peran klien dalam keluarga. Apakah klien
dapat berperan sebagai mana seharusnya.
l. Pola persepsi dan konsep diri
Meliputi informasi tentang perasaan atau emosi yang dialami atau
dirasakan klien sebelum pembedahan . Biasanya muncul kecemasan dalam
menunggu acara operasinya. Tanggapan klien tentang sakitnya dan dampaknya
pada dirinya. Koping klien dalam menghadapi sakitnya, apakah ada perasaan
malu dan merasa tidak berdaya.
m. Pola sensori dan kognitif
Pola sensori meliputi daya penciuman, rasa, raba, lihat dan pendengaran
dari klien. Pola kognitif berisi tentang proses berpikir, isi pikiran, daya ingat dan
waham. Pada klien biasanya tidak terdapat gangguan atau masalah pada pola
ini.
n. Pola reproduksi seksual
Klien ditanya jumlah anak, hubungannya dengan pasangannya,
pengetahuannya tantang seksualitas. Perlu dikaji pula keadaan seksual yang
terjadi sekarang, masalah seksual yang dialami sekarang (masalah kepuasan,
ejakulasi dan ereksi ) dan pola perilaku seksual
o. Pola Mekanisme Koping
Menanyakan apa klien merasakan stress, apa penyebab stress,
mekanisme penanggulangan terhadap stress yang dialami. Pemecahan masalah
biasanya dilakukan klien bersama siapa. Apakah mekanisme penanggulangan
stressor positif atau negatif.

Pemeriksaan fisik

a. Status kesehatan umum


Keadaan penyakit, kesadaran, suara bicara, status/ habitus, pernafasan,
tekanan darah, suhu tubuh, nadi.
b. Kulit
Apakah tampak pucat, bagaimana permukaannya, adakah kelainan
pigmentasi, bagaimana keadaan rambut dan kuku klien
c. Kepala
Bentuk bagaimana, simetris atau tidak, adakah penonjolan, nyeri kepala
atau trauma pada kepala.
d. Muka
Bentuk simetris atau tidak adakah odema, otot rahang bagaimana
keadaannya, begitu pula bagaimana otot mukanya.
e. Mata
Bagainama keadaan alis mata, kelopak mata odema atau tidak. Pada
konjungtiva terdapat atau tidak hiperemi dan perdarahan. Slera tampak
ikterus atau tidak.
f. Telinga
Ada atau tidak keluar secret, serumen atau benda asing. Bagaimana
bentuknya, apa ada gangguan pendengaran.
g. Hidung
Bentuknya bagaimana, adakah pengeluaran secret, apa ada obstruksi atau
polip, apakah hidung berbau dan adakah pernafasan cuping hidung.
h. Mulut dan faring
Adakah caries gigi, bagaimana keadaan gusi apakah ada perdarahan atau
ulkus. Lidah tremor ,parese atau tidak. Adakah pembesaran tonsil.
i. Leher
Bentuknya bagaimana, adakah kaku kuduk, pembesaran kelenjar limphe.
j. Thoraks
Betuknya bagaimana, adakah gynecomasti.
k. Paru
Bentuk bagaimana, apakah ada pencembungan atau penarikan.
Pergerakan bagaimana, suara nafasnya. Apakah ada suara nafas tambahan
seperti ronchi , wheezing atau egofoni.
l. Jantung
Bagaimana pulsasi jantung (tampak atau tidak).Bagaimana dengan iktus
atau getarannya.
m. Abdomen
Bagaimana bentuk abdomen. Pada klien dengan keluhan retensi
umumnya ada penonjolan kandung kemih pada supra pubik. Apakah ada
nyeri tekan, turgornya bagaimana. Pada klien biasanya terdapat hernia
atau hemoroid. Hepar, lien, ginjal teraba atau tidak. Peristaklit usus
menurun atau meningkat.
n. Genitalia dan anus
Pada klien biasanya terdapat hernia. Pembesaran prostat dapat teraba pada
saat rectal touché. Pada klien yang terjadi retensi urine, apakah trpasang
kateter, Bagaimana bentuk scrotum dan testisnya. Pada anus biasanya ada
haemorhoid.
o. Ekstrimitas dan tulang belakang
Apakah ada pembengkakan pada sendi. Jari – jari tremor apa tidak.
Apakah ada infus pada tangan. Pada sekitar pemasangan infus ada tanda
– tanda infeksi seperti merah atau bengkak atau nyeri tekan. Bentuk tulang
belakang bagaimana.
2. Pengkajian post operasi sachse
Pengkajian ini dilakukan setelah klien menjalani operasi, yang meliputi:
a. Keluhan utama
Keluhan pada klien berbeda – beda antara klien yang satu dengan yang
lain. Kemungkinan keluhan yang bisa timbul pada klien post operasi Sachse
adalah keluhan rasa tidak nyaman, nyeri karena spasme kandung kemih atau
karena adanya bekas insisi pada waktu pembedahan.
Hal ini ditunjukkan dari ekspresi klien dan ungkapan dari klien sendiri.
b. Keadaan umum
Kesadaran, GCS, ekspresi wajah klien, suara bicara.
c. Sistem respirasi
Bagaimana pernafasan klien, apa ada sumbatan pada jalan nafas atau
tidak. Apakah perlu dipasang O2. Frekuensi nafas , irama nafas, suara nafas.
Ada wheezing dan ronchi atau tidak. Gerakan otot Bantu nafas seperti
gerakan cuping hidung, gerakan dada dan perut. Tanda – tanda cyanosis ada
atau tidak.
d. Sistem sirkulasi
Yang dikaji: nadi ( takikardi/bradikardi, irama ), tekanan darah, suhu
tubuh, monitor jantung ( EKG ).
e. Sistem gastrointestinal
Hal yang dikaji: Frekuensi defekasi, inkontinensia alvi, konstipasi /
obstipasi, bagaimana dengan bising usus, sudah flatus apa belum, apakah ada
mual dan muntah.
f. Sistem muskuloskleletal
Bagaimana aktifitas klien sehari – hari setelah operasi. Bagaimana memenuhi
kebutuhannya. Apakah terpasang infus dan dibagian mana dipasang serta
keadaan disekitar daerah yang terpasang infus.
g. Sistem eliminasi
Apa ada ketidaknyamanan pada supra pubik, kandung kemih penuh . Masih
ada gangguan miksi seperti retensi. Kaji apakah ada tanda – tanda
perdarahan, infeksi. Memakai kateter jenis apa. Irigasi kandung kemih.
Warna urine dan jumlah produksi urine tiap hari. Bagaimana keadaan sekitar
daerah pemasangan kateter. Terapi yang diberikan setelah operasi : Infus
yang terpasang, obat – obatan seperti antibiotika, analgetika, cairan irigasi
kandung kemih.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Adapun diagnosa keperawatan yang mungkin muncul antara lain :

1. Diagnosa sebelum operasi


a. Perubahan eliminasi urine: frekuensi, urgensi, hesistancy, inkontinensi, retensi,
nokturia atau perasaan tidak puas setelah miksi sehubungan dengan obstruksi
mekanik : pembesaran prostat.
b. Nyeri berhubungan dengan penyumbatan saluran kencing sekunder terhadap
struktur urethra
c. Cemas berhubungan dengan hospitalisasi, prosedur pembedahan, kurang
pengetahuan tantang aktifitas rutin dan aktifitas post operasi
d. Resiko infeksi area pembedahan berhubungan dengan ketidak adekuatan
pertahanan primer
2. Diagnosa setelah operasi
a. Nyeri berhubungan dengan spasme kandung kemih dan insisi sekunder pada
Sachse.
b. Resiko cedera jatuh berhubungan dengan trauma cedera dari kerusakan uretra.
Intervensi Keperawatan
No. Diagnosa STANDAR KELUARAN STANDAR INTERVENSI
Keperawatan

Gangguan 1. Eleminasi urine


Eliminasi Urin Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan Perawatan Retensi Urin
gangguan eliminasi urin klien dapat teratasi dengan 1. Lakukan penilaian kemih
kriteria hasil: yang komprehensif berfokus
pada inkontinensia (misal
Eliminasi Urin: output urine, pola
Tujuan berkemih,fungsi kognitif, dan
No Indikator Awal masalah kencing praeksisten)
1 2 3 4 5
2. Gunakan spirit wintergreen di
1. Pola Eliminasi
pispot atau urinal.
2. Bau Urin 3. Masukkan kateter kemih yang
3. Jumlah Urin sesuai
4. Warna Urin 4. Anjurkan pasien/keluarga
5. Kejernihan Urin untuk mencatat output urin.
Keterangan: 5. Memantau asupan dan
1. Sangat terganggu keluaran.
2. Banyak terganggu 6. Memantau tingkat distensi
3. Cukup terganggu kandung kemihdengan
4. Sedikit terganggu palpasi dan perkusi
5. Tidak terganggu
Eliminasi Urin:
Tujuan
No Indikator Awal
1 2 3 4 5
1. Partikel urin
terlihat
2. Darah terlihat
dalam urin
3. Nyeri saat kencing
4. Rasa terbakar saat
berkemih
5. Retensi urin
Keterangan:
1. Berat
2. Cukup berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada
Nyeri akut Kontrol nyeri Manajemen nyeri
Tingkat nyeri 1. Lakukan pengkajian nyeri
Kepuasan klien: manajemen nyeri secara komprehensif
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 (lokasi, karakteristik,
durasi, dan intensitas
jam nyeri akut pada pasien dapat berkurang, dengan
nyeri)
kriteria hasil: 2. Observasi adanya
petunjuk nonverbal nyeri
Indikator Awal 1 2 3 4 5 3. Jelaskan pada pasien
Melaporkan terkait nyeri yang
nyeri dirasakan
berkurang
Terapi relaksasi
Mengenali
4. Gambarkan rasional dan
nyeri manfaat relaksasi seperti
Mengetahui nafas dalam
penyebab 5. Dorong pasien
nyeri mengambil posisi
Mencari nyaman
bantuan
Keterangan:
1. Tidak pernah menunjukkan
2. Jarang menunjukkan
3. Kadang-kadang menunjukkan
4. Sering menunjukkan
Secara konsisten menunjukkan
Ansietas Tingkat Kecemasan Penurunan kecemasan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x 24 1 Gunakan pendekatan
jam, ansietas pada pasien dapat teratasi, dengan kriteria yang menenangkan
2 Nyatakan dengan jelas
hasil:
harapan terhadap pelaku
pasien
3 Jelaskan semua prosedur
dan apa yang dirasakan
selama prosedur
4 Temani pasien untuk
Indikator Awal 1 2 3 4 5 memberikan keamanan
Menyambaikan dan mengurangi takut
5 Berikan informasi faktual
rasa takut
mengenai diagnosis,
Tekanan darah tindakan prognosis
Frekuensi nadi 6 Dorong keluarga untuk
Frekuensi menemani anak
pernafasan 7 Dengarkan dengan penuh
perhatian
8 Bantu pasien mengenal
situasi yang
menimbulkan kecemasan
9 Dorong pasien untuk
mengungkapkan
perasaan, ketakutan,
persepsi
10 Instruksikan pasien
menggunakan teknik
relaksasi
Resiko Infeksi Kontrol resiko Kontrol infeksi
area pembedahan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 1 Bersihkan lingkungan
jam, tidak terjadi infeksi pada pasien dengan kriteria setelah dipakai pasien
lain
hasil:
2 Pertahankan teknik
isolasi
3 Batasi pengunjung bila
perlu
4 Instruksikan pada
Indikator Awal 1 2 3 4 5 pengunjung untuk
Bau busuk mencuci tangan saat
berkunjung dan setelah
Suhu tubuh berkunjung
Nanah pada luka meninggalkan pasien
Kemampuan 5 Gunakan sabun
mengidentifikasi antimikrobia untuk cuci
faktor risiko tangan
6 Cuci tangan setiap
sebelum dan sesudah
tindakan keperawtan
7 Gunakan baju, sarung
tangan sebagai alat
pelindung
8 Pertahankan lingkungan
aseptik selama
pemasangan alat
Evaluasi
Evaluasi keperawatan dilakukan secara sistematis dan periodik setelah pasien
diberikan intervensi dengan berdasarkan pada berdasarkan pengkajian,
diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, dan implementasi
keperawatan. Evaluasi keperawatan ditulis dengan format SOAP dimana:
S (subjektif) yaitu respon pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
O (objektif) yaitu data pasien yang diperoleh oleh perawat setelah dilakukan
tindakan keperawatan.
A (analisis) yaitu masalah keperawatan pada pasien apakah sudah teratasi,
teratasi sebagian, belum teratasi, atau timbul masalah keperawatan baru
P (planning) yaitu rencana intervensi dihentikan, dilanjutkan, ditambah, atau
dimodifikasi
DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth. 2005. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC.

Bulecheck, et all. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC) Sixth Edition.


Mosby: Elsevier.

Lumen. Nicolaase, et al. Etiology of Urethral Stricture Disease in the 21st Century.
The journal of Uroogy. 2009; Vol 182, Issue 3, Pages 983-7

Riyadi, Mushab E. Hubungan anttara lama waktu terpasang kateter dengan tingkat
kecemasan pada klien yng terpasang kateter uretra di bangsal rawat inap
dewasa kelas III RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta. 2006.

Mundy, Anthony R. And Andrich, Daniela E. Urethral Strictures. BJU


International. 2010;107,6-26

Tijani KH, Adesnya AA, Ogo CN. The New pattern of Urethral Stricture Disease
in Lagos, Nigeria. Niger Postgrad Med J. 2009 Jun;16(2):162-5

Nording L, Liedberg H, Ekman P., et al. Influence of the Nervous System on


Experimentally induced urethral inflammation. Neurosci Lett. 1990 Jul
31;115(2-3):183-8.

Sugandi, Suwandi. Pola Penyakit Striktur Uretra dan Penanganannya di Rumah


Sakit Hasan Sadikin Bandung. MKB2003;Vol.35 No.2

Moorhead, et all. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC) Fifth Edition.


Mosby: Elsevier.

Morton, P.G., Fontaine, D., Hudak, C.M., Gallo, B.M. 2011. Keperawatan Kritis:
Pendekatakan Asuhan Holistik. Jakarta: EGC

NANDA International . 2015. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi.


Jakarta: EGC
Nanda International. 2015. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2015-
2017 Edisi 10. Jakarta: EGC.
Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC.

Purnomo, B.B. 2011. Dasar-Dasar Urologi Edisi Ke 3. Jakarta: CV. Agung Seto.

Putri, Puspa Utami. 2013. Discharge planning pada Klien dengan Urolitiasis Post
Ureterorenoscopy (URS) di Ruang Anggrek Tengah Kanan RSUP
Persahabatan. UNiversitas Indonesia [diakses online pada 8 Oktober 2017]
lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351454-PR-Puspa%20Utami.pdf

Sjamsuhidrajat R, W. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi ke-2. Jakarta :EGC.
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
& Suddarth. Jakarta : EGC.

Muttaqin, A. (2012). Pengkajian Keperawatan Aplikasi Pada Praktik Klinik.


Jakarta : Salemba Medika.

Prabowo, E., & Pranata, A. E. (2014). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Sistem
Perkemihan. Yogyakarta: Nuha Medika.

Purnomo, B. B. (2011). Dasar-Dasar Urologi Edisi Ketiga. Jakarta: CV Sagung


Seto.

Suharyanto, T., & Madjid, A. (2013). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan
Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta : Trans Info Media.

Anda mungkin juga menyukai