Anda di halaman 1dari 12
pembaruan pendidikan oe mendasar, Keingintan -msengubah kurtkuleins, pendidikan sian di dalam wo No 14 ahi 2008 tentang, Gara dan Dosen, hingga se- karang belum ada kepastian tentang arah dan format pendidikan guru, pendidikan-profesi guru, dan pendidikan/pelatihan lanjutan guru. Upaya meningkatkan profesionalitas guru masih terjébak pada hiruk-pikuk kebijakan strategis pada ranah hilir berupa serti- fikasi, tanjangan sertifikasi dan, yang paling gres, Uji Kompetéensi Awail secara oft-line yang penuh masalah. Di tengah aneka persoal- PENDEDIKAN, KEKUASAAN DAN KOLONIALISME an tentang guru. yang penyelesaiannya terkesan tanpa konsep itu, logiskah jika pemerintah mengeulirkan wacana perubahan kuri- kulum yang justra berpotensi menambah runyam persoalan dan perdebatan tentang upaya peningkatan mutu pendidikan? Pemerintah seharusnya berfokus dulu pada pemantapan pendidikan calon guru dan penuntasan aneka persoalan sertifika- si guru sehingga seluruh guru di Indonesia, atau setidak-tidaknya sebagian besar dari mereka, memiliki kualifikasi tidak hanya seca- ra formal sesuai ketentuan UU (bekwam) tetapi juga secara konkrit- nyata (bevoegd) dalam kiprah kesehariannya sebagai guru. Kalau- pun pembaruan pendidikan harus menyentuh aspek kurikulum, sebaiknya kurikulum pendidikan guru-lah yang dimatangkan dan diperbarui agar dihasilkan profil kompetensi guru yang purna. Sebagaimana dikatakan YB Mangunwijaya, sebaik apapun kuri- kulum pendidikan (umum) tidak akan berarti apa-apa jika guru sebagai ujung tombak pendidikan dan pengajaran tidak memiliki basis kompetensi yang solid dan memadai, meliputi sikap kritis, kreatif dan inovatif. Tulisan ini dilandasi kerangka pikir bahwa kurikulum, be- tapapun penting, berfungsi sebagai perangkat pengajaran semata dan bahwa faktor guru-lah yang seharusnya dijadikan fokus ke- bijakan peningkatan mutu pendidikan. Kurikulum menjabarkan visi dan konsep dasar pendidikan dan karena itu sering dianggap sebagai jantung pengajaran. Namun, sebagai perangkat, kuriku- jum hanyaiah (salah satu) alat untuk mencapai perbaikan pendi- dikan. Perubahan kurikulum, kendati niscaya kapanpun dan se- sering apapun, hanya akan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan jika faktor-faktor lain yang lebih krusial telah mendu- kung upaya itu. Dalam konteks ini guru memegang posisi kunci reformasi pendidikan—selain faktor dana, visi pendidikan dan skema luas hubungan pendidikan dengan pembangunan bidang Pe, Agus Suwignyo ekonomi, politik dan kebudayaan—sedemikian krusial sehingga Daoed Joesoef (Mendikbud 1978-1983) pernah berujar bahwa di dunia ini hanya ada dua profesi, yaitu profesi guru dan profesi Jain-lain. | Dua Tipe Guru Filsuf dan ahli pendidikan N. Driyarkara mengidentifikasi dua tipe guru: pertama, guru yang kebetulan dan, kedua, guru yang betul-betul. Guru yang kebetulan adalah mereka yang tidak memperoleh pendidikan atau persiapan menjadi guru, tetapi ka- rena suatu alasan menjalankan peran/fungsi sebagai guru. Guru yang betul-betul adalah mereka yang mengemban peran/fungsi sebagai guru setelah melalui persiapan memadai untuk peran, tu- gas dan fungsinya itu. Dengan identifikasi kedua tipe guru, hen- dak ditegaskan bahwa pendidikan guru merupakan proses pen- ting bagi menjadinya seseorang, guru. Meskipun demikian, proses pendidikan hanya menyangkut sisi formal dari upaya persiapan seseorang menjadi guru dan tidak menjamin bahwa melalui pe- latihan dan pendidikan, seorang calon guru akan menjadi guru betul-betul. Artinya, ada aspek selain pendidikan dan pelatihan yang krusial dalam proses menjadinya seseorang, guru. Aspek itu adalah motivasi. Menurut Driyarkara, guru yang kebetulan menjadi guru tidak akan pernah menjadi guru yang betul-betul. Ungkapan * bernada sinis ini tentu tidak dimaksudkan sebagai apa adanya. Yang hendak ditunjuk adalah aspek motivasi yang menjiwai laku profesi sebagai guru. Seseorang yang secara formal menjalani profesi guru—kendatipun awalnya ia menjadi guru secara serba kebetulan belaka, misalnya karena tidak mampu memilih profesi atau bidang pekerjaan lain—diharapkan telah memiliki Jandasan PENDIDIKAN, KEKUASAAN DAN KOLONIALISME Bg) motivasi (atau “jiwa”) yang kokoh dalam menerima.profesinya bukan sekedar sebagai pekerjaan, tetapi sebagai panggilan hidup. Ja menjalani profesi guru tidak dengan sikap dan cara pandang “apa adanya”, business as usual, tetapi dengan nyala api semangat yang menginspirasi kebaikan bagi murid-murid dan orang Iain. Sebagaimana tersaripatikan dalam konsep pendidikan pemerde- kaan Paulo Freite, proses pemerdekaan murid melalui interaksi pembelajaran akan terwujud jika para guru sebagai pendidik telah lebih dahulu mengalami proses itu. Motivasi guru dalam menji- wai profesi merupakan kunci bagi terciptanya proses pendidikan. yang memerdekakan. Dalam konteks tersebut, pendidikan guru, yang olehnya seseorang disiapkan secara formal untuk menjadi guru yang be- tul-betul, harus menjadi proses pemurnian dan pemantapan mo- tivasi guru. Oleh proses pemurnian motivasi itu, seseorang yang secara kebetulan belaka “nyemplung” ke dalam profesi guru, pada akhirnya menampilkan sosok guru yang betul-betul. Sudahkah program-program pendidikan dan profesionalisasi guru yang di- gulirkan pemerintah mengarah pada pemurnian motivasi profesi para calon guru? Sejauh ini, pemerintah berapaya menumbuhkan motivasi guru dan calon-calon guru melalui aneka skema insentif, khu- susnya berupa pemberian tunjangan profesi. Meskipun penting, upaya tersebut hanya menyentuh apa yang dipahami sebagai mo- tivasi eksternal. Guru yang betul-betul guru diandaikan mampu menumbuhkan di dalam dirinya motivasi internal atas panggilan profesinya. Rumusan pembelajaran yang kritis, kreatif, inovatif tersarikan dari gambaran sosok guru yang juga kritis, kreatif dan inovatif, kapanpun dan di manapun interaksi belajar-mengajar di- laksanakan. Idealisme tentang pendidikan. sebagai proses pemer- * dekaan hanya mungkin terwujud jika guru-guru bermotivasi kuat 1 e203, Agus Suwignyo menjalankan tugas, fungsi dan perannya, yaitu sebagai guru yang betul-betul, bukan guru yang kebetulan. Maka jelasiah bahwa re- formasi pendidikan harus dimulai dengan peningkatan kualitas guru, bukan perubahan kurikulum. Pendidikan Guru Sebagai Inti Ada kisah di masa lalu ketika reformasi pendidikan (dan agenda perubahan masyarakat) diawali dengan reformasi pendi- dikan guru. Kisah ini mungkin dapat menjadi inspirasi tentang proses pembuatan kebijakan. Bertahun-tahun setelah apa yang disebut Politik Etis secara resmi diluncurkan, masih terjadi perdebatan di antara para peja- bat pemerintah kolonial tentang arah kebijakan bagi warga pri- bumi. Satu kelompok pejabat, antara lain Abendanon (bapak kos R.A. Kartini), menghendaki agar fokus kebijakan diarahkan pada perbaikan taraf hidup para elit pribumi. Dengan meningkatnya taraf hidup para elit, kelompok pejabat ini yakin, hidup kawula/ rakyat akan turut terangkat sebab para elit priyayi pribumi meru- pakan pemimpin dan sumber hidup rakyatnya. Tetapi kelompok lain, yang dimotori misalnya oleh G.J. Nieuwenhuis, menghendaki cara lain. Jika tujuannya adalah mengangkat harkat hidup rakyat pribumi, maka kebijakan harus diarahkan langsung pada rakyat pribumi. Apa yang diperdebatkan di sini adalah arah dan agenda perubahan masyarakat sebagai terjemahan dari kehendak politik balas budi atau utang kehormatan pemerintah Belanda terhadap jajahannya. Dua pandangan itu memengaruhi kebijakan di bidang pen- didikan bagi warga pribumi. Pertanyaannya adalah, model pen- didikan seperti apa yang harus dibuat untuk mewujudkan tujuan Politik Etis? Kelompok yang meyakini bahwa perubahan masyara- PENDIDIKAN, KEKUASAAN DAN KOLONIALISME 23] kat dirulai dengan perubahan struktur kaum elit, mendorong di- bukanya sekolah-sekolah untuk kaum elit pribumi, yaitu apa yang disebut Sekolah Kelas Satu (Eerste-Klasse School), yang kemudian menjadi Hollands Inlandse School (HIS). Kelompok kedua, yang meyakini kebijakan langsung untuk rakyat, mendorong pembu- kaan dan perluasan sekolah-sekolah untuk rakyat jelata, berupa Sekolah Desa (Volksschoal) dan Sekolah Kelas Dua (Tweede-Klasse School). Sekolah Kelas Satu dan Sekolah Kelas Dua dibuka di Jawa tahun 1893; Sekolah Desa tahun 1907. Meskipun sekolah dengan berbagai tipe dan tujuan sudah didirikan, perubahan signifikan dalam hal muatan pengajaran ter- jadi hanya setelah dilakukannya serangkaian perombakan model sekolah guru untuk masing-masing sekolah dasar tersebut. Tahun 1904 kurikulum sekolah pendidikan guru (kweekschool voor Inlan- dse onderwijzers/onderwijzeressen —disebut singkat Kweekschool atau KS) diubah dari skema 3 tahun subtansi keilmuan dan didaktik/ metodik menjadi 3+1 (3 tahun substansi keilmuan + 1 tahun didak- tik/metodik). Tahun 1907, bersamaan dengan dibukanya Sekolah Desa untuk rakyat jelata, dilakukan reformasi sekolah pendidik- an guru secara lebih mendasar. Untuk calon guru Sekolah Desa, dibuka pula sekolah khusus pendidikan calon guru sekolah desa dalam bentuk kursus dan pelatihan. Sementara ita untuk calon guru Sekolah Kelas Satu, skema 3+1 diubah menjadi 3+3 (3 tahun substansi keilmuan dasar, 2 tahun substansi keilmuan lanjut dan 1 tahun didaktik/metodik). Untuk calon guru Sekolah Kelas Dua, dihadirkan kembali model Normaalschool 4 tahun. Maka ketika pada tahun 1914 Sekolah Kelas Satu ditrans- formasikan menjadi HIS dan diakreditasi setara dengan Sekolah Dasar untuk anak-anak berbangsa Eropa (Europeese Lagere School, ELS), calon-calon guru HIS telah disiapkan tujuh tahun sebelum- nya melalui pendidikan yang kurikulumnya berskema 3+3. Antara pao4 =©Agus Suwignyo ° 1914 sampai dengan berakhirnya pemerintahan kolonial Belanda tahun 1942, berbagai tipe sekolah dasar itu tidak mengalami pe~ tombakan, baik dari segi struktur maupun kurikulum. Meskipun demikian, berbagai model dan tipe sekolah pendidikan guru un- tuk sekolah-sekolah dasar tersebut terus-menerus diperbarui. Ta- hun 1916 didirikan Hoogere Kweekschool (HKS) di Purworejo dan Bandung sebagai model sekolah lanjutan pendidikan guru setelah Kweekschool. Tahun 1927, HKS diubah menjadi Hollands Inlandse Kweekschool (HTK), yang, terakreditasi setara dengan sekolah guru di Belanda sehingga lulusannya dapat melanjutkan tanpa matri- kulasi ke sekolah guru di Belanda atau ke sekolah guru Belanda di Hindia Belanda. Pesan dari cerita sejarah ini amat jelas: pen- didikan guru adalah inti dari reformasi pendidikan dan, bahkan, skema besar perubahan (atau pembangunan) masyarakat. Hasil dari kebijakan kolonial yang menempatkan perbaikan pendidikan guru sebagai inti terlihat pada sosok dan profil personal dan pro- fesional guru-guru Indonesia keluaran sekolah jaman dulu yang, sekalipun kolonial, menampakkan kepemilikan kompetensi ber- mutu yang purna. Sekarang pemerintah mengangankan suatu model pendidik- an untuk mendukung demokratisasi dan pertumbuhan ekonomi sebagaimana ditulis Wakil Presiden Boediono (Kompas, 27/8/2012). @ Anganan itu sah. Namun rasanya sangat simplistik jika kurikulum dan isinya-lah yang pertama-tama dijadikan fokus kebijakan. Mes- kipun secara normatif pernyataan Mendikbud Muhammad Nuh benar bahwa kurikulum berubah sesuai tuntutan zaman, namun tidak semua persoalan pendidikan bersumber pada kurikulum dan dapat diselesaikan dengan perubahan kurikulum. Keyakinan ini diperkuat fakta-fakta silang-sengkarut persoalan guru seba- gaimana telah diuraikan. Pelajaran dari masa lalu mungkin dapat dipetik untuk menegaskan bahwa pembenahan dan pemantapan PENDIDIKAN, KEKUASAAN DAN KOLONIALISME [22 pendidikan guru jauh lebih mendesak, mendasar dan berdampak bagi reformasi pendidikan daripada mengubah kurikulum. Dana untuk itu toh sudah tersedia lewat APBN. Tunggu apa lagi? Bulaksumur, 13 September 2012 p25 6©6Agus Suwignyo PENDIDIKAN, ” KEKUASAAN, DAN KOLONIALISME AGUS SUWIGNYO PENDIDIKAN, KEKUASAAN DAN KOLONIALISME Halaman: xiv +306 halaman Ukuran: 15x 23cm ISBN: 978-623-90003-0-1 Copyright © 2019 Agus Suwignyo Hak Cipta dilindungi undang-undang. All rights reserved Penyelaras Bahasa: Arya Desain Samput: Kuswanto Tata letak: tomotiff Diterbitkan oleh: Selarung Institute Jembatan Merah lil, No. 140 Cepit, Soropadan, Gejayan, Yogyakarta Emaik: instituteselarung@gmail.com Dicetak oleh: Percetakan Quantum Jogja II. Ngipik-Potorono, Baturetno, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta 55197 Email: percetakan_quantum@yahoo.com Bab 8 Menjadikan yang Lama, Baru: Perididikan Masyarakat Tahun 1950an ws... Bab 9 Kurikulum dan Politik (Kebijakan) Pendidikan .............. 107 Bab 10 Kemiskinan, Pendidikan dan Pengangguran....,-...0.0-- 131 Bab 11 Ke(tidak)adilan Sosial dalam Praktek Pendidikan ......... 171 Bab 12 Perguruan Swasta Menghadapi (Neo-)Liberalisasi ....... 187 PENDIDIKAN, KEKUASAAN DAN KOLONIALISME v Bab 13 Potret Mutakhir Pendidikan Guru .......ceccseesee Bab 14 Problematika Hulu-hilir Pendidikan Guru .........seceees Bab 15 Guru Dulu, Baru yang Lain-lain . Bab 16 Reformasi Pendidikan Guru Sejarah Bab 17 Ujian Nasional dan Integrasi Bangsa 7) Agus Suwignyo

Anda mungkin juga menyukai