Anda di halaman 1dari 15

KONSEP PENDIDIKAN ANAK DALAM Al-QUR’AN SURAT LUQMAN

Khairul Hamim
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram
Jalan Pendidikan No. 35 Mataram
Email: khairul_hamim@ymail.com

Abstrak: Anak merupakan karunia terindah yang diberikan oleh Allah Swt.. kepada manusia
untuk dididik dan diarahkan agar menjadi anak yang shaleh dan shalehah. Dalam Islam
orang tua berkewajiban memberikan pendidikan yang tepat bagi anak sesuai dengan al-
Qur’an, namun konsep pendidikan anak hingga kini belum menjadi perhatian yang serius,
baik dikalangan akademisi Islam maupun orang tua. Melalui studi library research dengan
contents analysist, dihasilkan bahwa konsep pendidikan anak dalam Qs. Luqman adalah
pertama, kewajiban memberika pendidikan tauhid; kedua, kewajiban berakhlak yang baik
kepada orang tua; ketiga, kewajiban beribadah dengan mendirikan salat; keempat, kewajiban
berdakwah di jalan Allah dengan cara menyeru pada kebaikan dan melarang berbuat
kejahatan; dan kelima, selalu sabar dan tidak sombong baik dalam penampilan maupun
dalam tutur kata.

Abstract: Child represent beautiful grant from above which given by Allah SWT to hu-
man being to be educated and instructed in order to become good child “shaleh and
shalehah”. In Islam the parents is obliged to give correct education to their child as ac-
cording to al-Qur’an, but education concept of child up to now have not yet become
serious attention, even though in Islam academician and also parents itself. Through study
of library research with contents analysis, that concept child education stated in Qs. Luqman
is first, the obligation to give education of tauhid; second, obligation to have good behav-
ior to parents; third, obligation to have religious service by shalat; fourth, obligation to
dakwah in Allah SWT rules by good informing and prohibit to do badness; and fifth,
always patient and not arrogant in attitude also in saying word

Kata Kunci: orang tua, luqman, pendidikan anak, tafsir

PENDAHULUAN
Dalam Islam, anak1 merupakan amanah dari Allah Swt. yang diberikan kepada orang
tua, masyarakat dan bangsa. Nasib dan masa depan bangsa di kemudian hari, ditentukan

1
Bisa jadi kata “anak” di ambil dari bahasa arab “’anaqa” yang berarti merangkul, karena kebiasaan anak
terhadap orang tuanya demikian pula kebiasaan orang tua terhadap anaknya adalah saling rangkul atau
berangkulan. Orang arab sendiri menggunakan kata “ibn” yang berasal dari kata “bana” dan kemudian
melahirkan kata “bina’” yang berarti bangunan. Sedangkan orang inggris menggunakan kata child yang mirip
dengan seed yang berarti benih. Pilihan ungkapan di atas, menggambarkan betapa anak diletakkan dalam
posisi yang sangat penting yaitu asal kejadian, sesuatu yang sangat dekat, dan berkaitan dengan kelangsungan
sejarah kemanusiaan.

113
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 9, No. 1, Januari 2013: 113-127

oleh anak bangsa hari ini. Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab kita bersama untuk
menyiapkan generasi penerus bangsa yang berkualitas, yaitu generasi yang kuat imannya,
mantap ilmunya, baik amalnya dan mulia akhlaknya.
Setiap keluarga tentu mendambakan lahirnya seorang anak, karena anak merupakan
pelengkap dan penyempurna keberadaan suatu keluarga.2 Keberadaan seorang anak dalam
sebuah keluarga tentu melahirkan konsekuensi yang dalam yakni adanya hak dan kewajiban
antara anak dan orang tua. Salah satu kewajiban orang tua kepada anaknya adalah memberikan
pendidikan kepadanya. Pendidikan terhadap anak selain merupakan kewajiban orang tua, ia
juga merupakan perintah dari Allah Swt.. agar mereka menjadi manusia yang berguna untuk
agama, masyarakat, bangsa dan negara.
Setiap keluarga muslim berkewajiban membimbing dan mengarahkan anak-anak dan
keturunannya agar menjadi anak yang shaleh. Karena memiliki anak yang shaleh berarti
seseorang sudah mempunyai “investasi” yang akan dinikmatinya nanti di akhirat kelak.
Sebagaimana hadith yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah RA yang berbunyi:

Artinya: Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah segala amal
perbuatannya kecuali tiga perkara yaitu sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak
yang sholeh yang mendoakan kedua orang tuanya.

Hadith di atas menegaskan bahwa mendidik anak merupakan tugas mulia yang dapat
mengantarkan orang tuannya menggapai surga. Persoalannya adalah bagaimana agar anak
kita dapat dan bisa menjadi anak yang shaleh, dalam situasi dan kondisi kehidupan sosial
budaya serta model pergaulan masyarakat dunia seperti sekarang ini.
Dalam sebuah buku yang berjudul “Tarbiyatul aulad fil Islam” yang di tulis oleh Dr.
Abdullah Nasih Ulwan, beliau menyebutkan lima metode yang perlu dilakukan orang tua
dalam mendidik anak-anaknya agar sang anak kelak menjadi anak yang shaleh dan shalehah.
Metode tersebut adalah Pertama, mendidik anak dengan keteladanan yang baik. Orang tua
harus memberikan contoh-contoh yang baik setiap harinya kepada anaknya dalam semua
tindakannya. Ini berarti kalau orang tua ingin memiliki anak yang shaleh maka yang shaleh
terlebih dahulu adalah dirinya sendiri, karena bagaimana mungkin ia akan membentuk pribadi
seorang anak menjadi shaleh jika ia sendiri tidak berprilaku shaleh. Kedua, mendidik anak

2
Baca Q.s. al-Imran (3): 38. Ayat ini menggambarkan betapa Nabi Zakaria as berdo’a berpuluh-puluh
tahun mendambakan kehadiran seorang anak.
3
Muhyiddin Abi Zakariya Yahya Bin Sharaf al-Nawawi, Riyadus}o lihin (Mesir: Mustafa Babul
Halabi,1969), hal. 357

114
Konsep Pendidikan Anak (Khairul Hamim)

dengan pembiasaan-pembiasaan yang baik. Berarti segala hal yang baik di dalam Islam sudah
harus diaksanakan oleh sang anak meskipun dia masih kecil, dan itu pula sebabnya mengapa
sang anak sudah harus melaksanakan shalat pada saat sang anak berumur tujuh tahun, padahal
anak yang berumur tujuh tahun itu masih belum wajib hukumnya mengerjakan shalat. Ini
tentu maksudnya agar anak terbiasa melaksanakan ajaran Islam. Pembiasaan-pembiasaan
yang baik harus ditanamkan kepada anak sejak kecil.
Ketiga, mendidik dengan pengajaran dan dialog. Hal ini berarti setelah anak mendapat
keteladanan dari orang tuanya lalu dibiasakan juga untuk melakukan sesuatu, maka ketika
diberi pengajaran tentang sesuatu yang harus dilaksanakannya itu, sang anak akan mudah
memahami dan menerima pengajaran. Apalagi pengajaran tersebut diajarkan dengan cara
dialog antara orang tua dengan anaknya, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim
pada saat ia diperintahkan untuk menyembelih Ismail As.4
Keempat, mendidik dengan cara memberi hukuman atau sanksi bila anak tidak mau
melaksanakan sesuatu yang diperintahkan agama, sementara ajakan dengan cara lemah lembut
sudah dilakukan namun tidak membuat sang anak mau berubah ke arah yang lebih baik.
Isyarat memberi sanksi atau hukuman kepada sang anak ini dapat dipahami dari hadith yang
berbunyi:

Artinya “Suruhlah anak-anakmu shalat bila berumur tujuh tahun dan pukullah jika
mereka sudah berumur sepuluh tahun”(H.R. Abu Daud).5

Dari hadith di atas dapat dipahami bahwa mendidik anak harus ada disiplin dan ketegasan
di dalamnya sehingga anak menjadi tahu dan sadar mana yang harus dikerjakan dan mana
yang harus ditinggalkannya. Sementara itu, kata pukul dalam hadith tersebut di atas bisa
saja dimaknai dengan sanksi dan orang tualah yang paling tahu sanksi yang paling tepat
untuk diberlakukan kepada anak-anaknya.
Kelima, metode dengan pengawasan dan nasehat. Berarti orang tua harus mengawasi
atau mengontrol aktivitas anaknya. Jika ia menjumpai anaknya melakukan hal yang kurang
baik maka tugas orang tua untuk memberi nasehat-nasehat dengan cara yang baik dan penuh

4
Gambaran suasana dialogis Nabi Ibrahim dengan anaknya (Ismail as) tersebut diabadikan dalam Al-
Qur’an surah al-Shaffat ayat: 102: “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-
sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar”.
5
Muhyiddin Abi Zakariya Yahya Bin Syaraf al-Nawawi, Riyadussolihin...., hal.141.

115
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 9, No. 1, Januari 2013: 113-127

kasih sayang sebagaimana yang dilakukan Lukman yang diceritakan dalam al-Qur’an surat
Luqman: 12-19.
Beberapa tips mendidik anak di atas sangat baik untuk dicoba dan dipraktikkan dalam
kehidupan sehari-hari, terlebih lagi jika disempurnakan dengan memperhatikan lebih detail
nasehat Lukman kepada anaknya sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Allah dalam Al-
qur’an surah Luqman ayat 12-19.
Nasehat-nasehat Luqman yang tercantum di dalam al-Qur’an inilah yang perlu diikuti
dalam mendidik anak dalam Islam. Profile kesalehan keluarga Luqman ini sangat penting
untuk dijadikan panutan dalam mendidik anak guna mewujudkan generasi yang unggul baik
unggul secara intelektual maupun spiritual.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian pustaka, yang mengambil objek ayat
al-Qur’an Surat al-Qur’an. Sebagai library research, , menjadikan teks atau dokumen sebagai
objek kajian. Peneitian jenis ini menurut Ardana, dkk, relevan untuk mendalami tema dan
atau kategori tertentu yang tertuang pada suatu teks, naskah atau narasi. 6 Penggunaan
pendekatan tersebut dalam studi ini adalah tepat, sebab data-datanya tersaji dalam bentuk
data tertulis, berupa ayat-ayat al-Qur’an dan kitab-kitab yang relevan, dengan tema
pendidikan anak dalam al-Qur’an.
Selanjutnya, sejumlah data yang berhasil dikumpulkan dianalisis dengan tehnik con-
tent analysis, atau memberikan penafsiran secara normatif dan kontekstekstual atas pesan
atau informasi yang memuat konsep pendidikan anak. Dalam pelaksanaannya, penulis
menempuh tiga langkah sebagaimana yang dirumuskan Muhadjir. Menurut Muhadjir,7 dalam
melakukan analisis isi ada tiga langkah yang ditempuh peneliti, yaitu: (1) menetapkan tema
dan kata kunci yang dicari dalam dokumen yang akan diteliti dan dikaji, (2) memberi makna
atas tema dan kata kunci tersebut, dan (3) melakukan interpretasi internal. Dengan demikian
konsep pendidikan anak dapat diungkap dalam ayat-ayat Qs. Luqman tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Sekilas tentang Luqman
Menurut Imam Suyuti dalam kitab Du>rrul Manthur menceritakan bahwa Luqman adalah
seorang hamba sahaya berkebangsaan Habsyi Najr. Ia bekerja sebagai tukang kayu,
bertubuhkecil, berhidung mancung, pandai berbicara, berkaki lebar dan Allah memberi hikmah

6
Ardana, dkk. Metodologi Penelitian Pendidikan (Malang, UMN, 2001), 96.
7
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1995), 90-94.

116
Konsep Pendidikan Anak (Khairul Hamim)

kepadanya, tetapi bukan kenabian. Ia juga termasuk pemuka di negeri Sudan dan Ethiopia,
yang terdiri atas tiga orang, mereka adalah Luqman, Najasyi dan Bilal bin Rabah.8
Diceritakan juga bahwa Luqman adalah salah seorang “Azur” yang hidup selama seribu
tahun. Dialah yang memberi fatwa kepada manusia sebelum diutusnya nabi Daud as. Ketika
datang Nabi Daud ia menghentikan fatwanya dan berkata “apakah aku tidak merasa cukup
bila Allah telah menganggap cukup bagiku (diberi hikmah). Luqman menurut riwayat itu
adalah hakim bagi bani Israil. Ia diseru untuk menunaikan kekhalifahan sebelum Daud As.
Ditanyakan kepadanya,”Wahai Luqman, apakah Allah menjadikanmu menjadi khalifah yang
memimpin manusia kepada kebenaran?” Ia menjawab,”Jika Allah menyuruhku maka aku
menerimanya karena aku tahu jika Allah berbuat demikian pasti Allah menolongku,
membimbingku, dan menjagaku dari perbuatan salah. Tapi jika tuhanku memberi pilihan
kepadaku maka aku akan memilih yang mudah bagiku dan tidak meminta pilihan yang dapat
mendatangkan musibah bagiku. “Bertanya malaikat, “mengapa demikian?” ia menjawab
karena seorang hakim lebih berat tanggung jawabnya dan lebih sulit, sementara kezaliman
akan menyelimutinya dari segala penjuru. Maka adakalanya dibiarkan dalam kezaliman atau
ditolong, jika ia berada dalam kebenaran, aksana laut yang selamat dari badai, tapi jika ia
berada dalam kesalahan maka ia telah salah jalan menuju surga. Menjadi hina di dunia lebih
baik daripada terhormat tapi kehilangan kebahagiaan akhirat.” Malaikat kagum dengan jawaban
indahnya itu. Setelah itu Luqman tidur dengan nyenyak dan diberikan kepadanya hikmah.
Ketika bangun ia telah berkata dengan hikmah. Kemudian diseru Daud as untuk menunaikan
kekhalifahan setelah Luqman dan ia menerimanya tanpa diberikan syarat seperti yang
disyaratkan kepada Luqman. Maka Daud tak luput dari kesalahan sampai Allah mengampuninya
dan Luqman membantunya dengan ilmu dan hikmah yang ia miliki. Berkata Daud As.
“Alangkah bahagianya engkau, wahai Luqman. Engkau diberikan hikmah maka terhindar
dari cobaan, tapi Daud diberikan kekhalifahan maka dicoba dengan dosa dan kesalahan.9
M. Quraisy Shihab menjelaskan bahwa tidak jelas apakah Luqman seorang nabi atau
bukan, tetapi mayoritas ulama berpendapat bahwa dia bukan nabi.10 Bahkan ada riwayat
yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad Saw. melalui Ibnu Umar bahwa beliu bersabda:
Aku berkata benar, sesungguhnya Luqman bukanlah seorang nabi, tetapi dia adalah
seorang hamba Allah yang banyak menampung segala hikmah, banyak merenung, dan
keyakinannya lurus. Dia mencintai Allah, maka Allah mencintainya, dan

8
Jalaluddin as-Suyuty, al-Du>rrul Mantsur fi Tafsir bi al- Ma’thur, Cet.I, (Beirut: Da>r al-Fikr,1983 M) h. 93.
9
Shalah al-Khalidy, Kisah-Kisah Al-Qur’an: Pelajaran dari Orang-Orang Terdahulu, Jiid 3 (Jakarta: Gema
Insani Press, 2000) h. 134.
10
M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi (Jakarta: Mizan, 2000) h. 67.

117
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 9, No. 1, Januari 2013: 113-127

menganugerahkan kepadanya hikmah. Suatu ketika dia tidur di siang hari. Tiba-tiba
dia mendengar suatu memanggilnya, ‘Hai Luqman, maukah engkau dijadikan Allah
khalifah yang memerintah di bumi?’ Luqman menjawab, ’kalau Tuhanku
menganugerahkan kepadaku pilihan, maka aku memilih afiat (perlindungan) dan tidak
memilih ujian. Akan tetapi bila itu ketetapanNya, maka akan kuperkenankan dan
kupatuhi karena aku tahu bahwa bila itu ditetapkan Allah bagiku, pastilah Dia akan
melindungku dan membantuku. ‘para malaikat yang tidak dilihat oleh Luqman bertanya,
‘mengapa demikian?’

“Luqman menjawab , ‘Karena pemerintah (penguasa) adalah kedudukan yang paling


sulit dan paling keruh, kezaliman menyelubunginya dari segala penjuru. Bila dia adil,
wajar dia selamat, dan bila dia keliru, keliru pula dia menelusuri jalan ke surga. Seorang
yang hidup hina di dunia lebih aman daripada ia hidup mulia (dalam pandangan manusia),
dan siapa memilih dunia, dengan mengabaikan akhirat, maka dia pasti dirayu oleh dunia
dan dijerumuskan olehnya. Dan ketika itu, dia tidak akan memperoleh sesuatu di akhirat.

“Para malaikat sangat kagum dengan ucapannya. Selanjutnya Luqman tertidur lagi.
Ketika dia terbangun, jiwanya telah dipenuhi hikmah, dan sejak itu seluruh ucapannya
adalah hikmah.
Luqman sangat terkenal dengan hikmahnya. Itulah sebabnya dia mendapat julukan al-
Hakim karena banyak hikmah yang dinisbatkan kepadanya. Al-Qur’an menetapkan bahwa
Allah lah yang telah mengaruniakan hikmah itu kepada Luqman, “wa laqad a>taina luqma>nal
hikmata; “dan telah kami berikan kepada Luqman hikmah”. Lalu apa sebenarnya makna
hikmah dalam al-Qur’an?. Secara bahasa sebagaimana tertera dalam kamus bahasa Indone-
sia kata Hikmah berarti kebijaksanaan; berguna; bermanfaat.11 Kata Hikmah merupakan
kata benda berasal dari bahasa Arab yaitu fi>l hakama-yahkumu yang berarti memerintah,
menghukum kemudian menjadi Hikmatun dan jamaknya (pluralnya) Hikam yang berarti
mengetahui yang benar.12 Dengan demikian hikmah dapat diartikan dengan mengetahui
sesuatu dengan pertimbangan akal sehat dan hati nurani.
Menurut al-Raghib hikmah adalah membenarkan sesuatu kebenaran dengan ilmu dan
akal. Hikmah dari Allah adalah mengetahui sesuatu dan mengakui keberadaannya dengan
tujuan untuk memutuskan sesuatu. Sedangkan hikmah dari manusia berarti mengetahui
sesuatu yang sudah ada dan mengerjakan perbuatan-perbuatan yang baik. Inilah yang
disifatkan kepada Luqman dalam firman Allah di atas dan memberi tahu kumpulan hikmah
yang disifatinya.

11
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua (Balaipustaka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1995) h. 351.
12
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: PT Hidakarya, 1989) h. 107.

118
Konsep Pendidikan Anak (Khairul Hamim)

Kata hikmah disebutkan di dalam al-Qur’an sebanyak dua puluh kali, dan jika
diperhatikan pada tiap-tiap ayat yang menyebutkannya maka kita akan terpesona oleh
keindahan-keindahannya.
1. Bahwa hikmah itu tidak datang kecuali dari Allah dan Ia-lah yang memberikan,
menganugerahkan, sekaligus menyerahkan hikmah tersebut kepada para pemiliknya.13
Karena hikmah itu hanya bersumber dari Allah dan ia maha mengetahui dan maha bijaksana,
ia tidak menganugerahkannya kecuali kepada orang-orang yang berhak menerimanya,
berbuat baik dengannya, dan mengambil manfaat darinya. Ia tidak sembarangan
memberikannya kecuali kepada orang-orang yang saleh yang taat kepada-Nya.
2. Al-Quran tidak menyipati orang-orang kafir dan zhalim dengan hikmah karena hikmah
merupakan suatu penghormatan dan kemuliaan, yang tidak diberikan kecuali kepada
orang-orang yang beriman, para nabi, atau orang-orang yang beriman yang shaleh.
3. Kata hikmah hanya diperuntukkan bagi apa-apa yang datang dari Allah karena firman
Allah semuanya adalah hikmah dan Allah menggariskan bahwa Dialah satu-satunya
sumber dan tempat hikmah.14

Hubungan Hikmah dan Sukur


Al-Qur’an menjelaskan adanya hubungan antara hikmah dan sukur, bahkan Hikmah di
Tafsirkan dengan Sukur.15 Hikmah adalah bersukur kepada Allah, karena hikmah ditafsirkan
dengan sukur, kata ‘anishkurlillahi “bersukur kepada Allah”, dan menurut para ulama ‘an
menunjukkan penafsiran (‘an tafsiriyah).
Menafsirkan hikmah dengan sukur, artinya bahwa sukur adalah buah kebaikan dari
hikmah maka setiap orang yang hakim pasti bersukur kepada Allah. Kalau ada orang yang
menganggap dirinya hakim tetapi ia tidak beriman kepada Allah dan tidak bersukur kepada-
nya, maka ia bukan hakim dania tidak memiliki hikmah. Hikmah tanpa sukur tidak berarti
apa-apa dan tidak ada manfaatnya. Ini merupakan bukti bahwa para filosof dan cendikiawan
kafir tidak mempunyai hikmah. Sebaliknya hikmah hanya dikhususkan bagi para cendikiawan
muslim, karena mereka adalah orang yang bersukur kepada-Nya. Sukur yang dimaksud disini
adalah sukur dalam arti yang umum dengan ketiga macamnya; sukur hati, lisan dan anggota
badan, yang kesemuanya itu ditujukan kepada Allah dan sebagai sarana untuk memuji
Allah, mengagungkannya dan menyayangi manusia karena-Nya.

13
Baca misalnya: Qs.Al-Baqarah (2): 231, 251, 268-269., Q.s. Al-Imran (3): 48 dan Qs. Al-Nisa’ (4): 54
dan 113. Qs. Al-Baqarah (2):129, 151, Qs. Al-Imran (2): 164 dan Q.s. al-Jum’ah ():2
14
Lihat misalnya: Qs. Al-Ma’idah: 110, Al-Nisa’: 113, Al-Isra’: 39, al-Zukhruf: 63, Shad: 20 dan Al-
Ahzab: 34
15
Shalah Al-Khalidy, Kisah-Kisah...,h. 145.

119
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 9, No. 1, Januari 2013: 113-127

Al-Imam al-Qummi al-Naisaburi berkata ketika mengomentari kalimat ‘anishkur lillah.


Para ulam berkata bahwa ini adalah masalah pembentukan, yaitu membentuk seseorang
menjadi orang yang bersukur. Sedangkan masalah taklif (tanggung jawab) adalah berlaku
sama baik ia orang bodoh maupun hakim. Dalam ayat ini juga terdapat peringatan bahwa
bersukur kepada yang berhak disembah adalah puncak semua ibadah dan hikmah. Manfaatnya
akan kembali kepada hamba yang menyembah, bukan pada yang disembah, karena sebetulnya
Ia tidak membutuhkan sukur dari hambanya. Dan Ia-lah yang paling berhak dipuji. Bentuk
idhofah dalam kalimat tersebut menunjukkan pengkhususan karena sukur yang sebenarnya
tidak boleh diberikan kecuali kepada Allah.16
Dari penjelasan para ulama di atas terlihat bahwa hikmah dan sukur mempunyai
hubungan yang erat dimana orang yang mendapat hikmah pasti dia menjadi bijaksana dan
orang yang bijaksana pasti pandai bersukur kepada yang memberi hikmah.

Nasehat Luqman: Tuntunan Anak Shaleh


Menarik untuk disimak bahwa Al-quran mengabadikan perbincangan yang terjadi antara
Luqman dengan anaknya sebagaimana yang tertera dalam surat Luqman ayat 13 yang
berbunyai:

Artinya: “Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi
pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”

Sebelum turunnya ayat di atas, terlebih dahulu turun ayat yang menjelaskan tentang
sebagian dari hikmah yang dianugerahkan kepada Luqman adalah perintah untuk bersukur
anas nikmat yang diberikan. Tentu saja salah satu nikmat tersebut adalah anak. Dan mensukuri
kehadiran anak adalah dengan mendidiknya.
Bila kita memperhatikan ayat 13 surah Luqman di atas, Allah Swt.. menjelaskan secara
jelas mengenai ucapan-ucapan Luqman ketika mendidik anaknya. Pada ayat tersebut Luqman
memanggil anaknya dengan panggilan mesra, “Ya Bunayya,” hai anakku, sebagai isyarat
bahwa mendidik anak haruslah didasari oleh rasa kasih sayang terhadap peserta didiknya.
Pada ayat di atas, Luqman memulai nasehatnya dengan menekankan perlunya menghindari
shirik (mempersekutukan Allah). Larangan ini sekaligus mengandung pengajaran tentang

16
Ibid., 146

120
Konsep Pendidikan Anak (Khairul Hamim)

wujud dan keesaan Tuhan. Bahwa redaksi pesannya berbentuk larangan, adalah karena setiap
keburukan apalagi syirik haruslah terlebih dulu dihilangkan sebagaimana ungkapan yang
menyatakan “al-takhliyya>t muqaddamun ‘ala at-tahliyyah” (penyingkiran keburukan harus
didahulukan dari penyandangan hiasan).17
Setelah kewajiban mengesakan Allah, selanjutnya Luqman menasehati anaknya untuk
senantiasa menghormati kedua orang tua, khususnya kepada ibu. Nasehat Luqman untuk
berbuat baik kepada ibu bapak, sopan santun kepada keduanya, menaati perintahnya dan
memperakukannya dengan baik merupakan tata krama dalam bermasyarakat. Di sini Luqman
mengemukakan kepada kita pokok-pokok ajaran Islam yang bersifat umum tentang berbuat
baik kepada orang tua, walaupun keduanya tidak beriman (kafir), tetapi berbuat baik harus
tetap dilakukan, tentunya pada urusan-urusan keduniaan dan tidak mengikutinya jika
mengajak kepada kekafiran.
Para ulama menetapkan bahwa beberapa ayat tersebut turun karena sikap Saad bin Abi
Waqqas terhadap ibunya, ketika ibunya memintanya agar berpaling dari Islam, dan ia
menuntut hal itu secara terus menerus, mengancamnya bahkan menyakitinya, tetapi Saad
bin Abi Waqqas tetap berpegang teguh pada keislamannya sampai ibunya menghentikan
ancamannya.
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya;
ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan
menyapihnya dalam dua tahun. bersukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu,
hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk memper-
sekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka jangan-
lah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan
ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu,
Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Luqman: 14-15)
Ada hal yang menarik dari kedua pesan pada ayat di atas, yakni keduanya disertai dengan
argumennya. Ketika melarang shirik, dia mengatakan, “Jangan mempersekutukan Allah,
sesungguhnya mempersekutukan-Nya adalah penganiyaan yang besar,” Sedangkan ketika
mewasiati anak menyangkut orangtuannya, ditekankannya bahwa Ibunya telah mengandung-
nya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun (Qs.
Luqman: 14).
Bahwa hanya ibu yang disebut di sini merupakan hal yang sangat wajar. Akan tetapi,
hal itu bukan berarti bahwa ayah diabaikan, karena ayahpun mengalami kepayahan pada
saat mendampingi ibu ketika hamil, dan pada saat bersama-sama ibu mendidik anak-anak

17
M. Quraisy Shihab, Secercah....., h. 69.

121
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 9, No. 1, Januari 2013: 113-127

mereka. Bukankah menurut al-Qur’an pendidikan anak tidak hanya merupakan tanggung
jawab ibu, tetapi juga merupakan tanggung jawab ayah? Perhatikanlah do’a yang diajarkan
al-Qur’an ini, “Wahai tuhanku, rahmatilah keduanya sebagaimana mereka berdua (merahmati
kami dalam) mendidik aku ketika kecil” (Qs. Al-Isra’: 24).
Demikian materi petunjuk yang disajikan Al-Qur’an dibuktikan kebenarannya dengan
argumentasi yang dipaparkan atau yang dapat dibuktikan oleh manusia melalui penalaran
akalnya yang dianjurkan oleh Al-Qur’an, pada saat dia mengemukakan materi tersebut.
Metode ini digunakan al-Quran agar manusia merasa bahwa dia ikut berperan dalam menemu-
kan kebenaran, dan dengan demikian mereka memiliki dan bertanggung jawab dalam memper-
tahankannya.
Dalam ayat 16 surah Luqman, tokoh yang dianugerahi hikmah itu kembali kepada akidah
dengan memperkenalkan sifat tuhan, khususnya yang berkaitan dengan sifat Maha
Mengetahui. Allah mampu mengungkap segala sesuatu betapapun kecilnya, “...walaupun
seberat biji sawi dan berada di dalam batu, atau di langit atau di dalam bumi...” 18
Materi pengajaran akidah diselingi dengan materi pelajaran akhlak, bukan saja agar
peserta didik tidak jenuh dengan satu materi, tetapi juga untuk mengisyaratkan bahwa ajaran
akidah dan akhlak merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kepercayaan akan
keesaan Allah dan berbakti kepada orangtua disusul dengan perintah ibadah shalat. Ini
menunjukkan bahwa ibadah itu setelah akidah. Setelah mengenal Allah dan beriman
kepadanya, baru ditunjukkan padanya syari’at-syari’at yang berhubungan dengan masalah
ibadah yang diwakili oleh ibadah shalat.
Pengarahan Luqman kepada anaknya untuk mengerjakan shalat, menunjukkan bahwa
shalat itu perkara yang sangat penting dan telah menjadi kewajiban-kewajiban orang
sebelumnya, karena ia merupakan salah satu penghubung antara hamba dengan tuhannya.
Setelah Luqman menasehati anaknya untuk mendirikan shalat, lalu ia menasehati anaknya
untuk berdakwah di jalan Allah dengan cara menyeru kepada kebaikan dan melarang dari
kejahatan (amar ma’ruf nahi munkar), sebagaimana dikemukakan pada ayat selanjutnya:
“Hai anakku, laksanakan shalat (secara bersinambung dan sempurna) dan suruhlah (orang
lain) mengerjakan yang makruf dan mencegah (mereka) dari mengerjakan yang mungkar
dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu sesungguhnya yang demikian itu termasuk
hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah) “ (Qs. Luqman [31]: 17).
Dalam nasehat itu secara implisit disebutkan bahwa amar ma’ruf nahi munkar adalah
setelah mendirikan shalat. Karena dengan shalat ia dapat berhubungan dengan Tuhannya

18
Quraisy, Secercah...,h.70

122
Konsep Pendidikan Anak (Khairul Hamim)

dan mendapatkan kekuatan dan ketegaran, juga keberanian. Dengan shalat, orang akan
bertambah keimanannya yang dapat membantunya melaksanakan dakwahnya. Dengan shalat
juga ia menjadi orang yang tidak suka kepada kejahatan maka ia melarang orang dari kejahatan
itu.
Komitmen untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar itu disadari oleh Luqman
seringkali tidak berjalan mulus. Namun pasti ada hambatan, rintangan bahkan juga tantangan
dan cobaan. Oleh karena itu ia melanjutkan nasehatnya kepada anaknya agar tetap bersabar
terhadap segala macam musibah yang menimpa. Orang yang menyeru kepada Allah,
menasehati manusia dan menganjurkan mereka untuk berbuat kebaikan atau melarangnya
berbuat jahat, berarti ia harus siap secara mental untuk menerima segala resiko yang ada
seperti dihina, dicaci maki, bahkan tidak jarang mendapat ancaman fisik. Jika ia tidak
mempunyai bekal kesabaran yang cukup, niscaya ia tidak akan bisa istiqamah di dalam
menjalankan perannya dalam berdakwah.
Menyuruh mengerjakan yang makruf, mengandung pesan untuk mengerjakannya terlebih
dahulu karena tidaklah wajar menyuruh orang lain sebelum diri sendiri mengerjakannya.
Sedangkan yang dimaksud dengan makruf adalah segala sesuatu yang diakui oleh adat istiadat
masyarakat sebagai hal yang baik selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai akidah dan
syari’at.
Akhirnya nasehat Luqman kepada anaknya ditutup dengan kewajiban bersikap lemah
lembut terhadap orang lain, sopan dalam berjalan dan berbicara. Sebagaimana Firman Allah
yang berbunyi:

Artinya: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong)
dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu
dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara
keledai.” (Qs. Luqman [31]: 19)

Pada ayat di atas terkandung beberapa nasehat Luqman yang sangat erat kaitannya
dengan dakwah. Dakwah amar ma’ruf nahi munkar akan berhasil manakala seseorang
mengedepankan budi pekerti yang mulia. Diantara budi pekerti mulya yang terkandung dalam
nasehat Luqman itu adalah:

123
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 9, No. 1, Januari 2013: 113-127

a. Janganlah memalingkan wajah dari manusia, yaitu janganlah sombong terhadap manusia,
karena engkau adalah orang yang menyeru kepada mereka dan menginginkan mereka
mengikuti dakwahmu. Mereka tidak akan mau mendengar dakwah kecuali mereka dekat
dengan mereka dan mau bergaul bersama mereka. Setelah itu baru menawarkan kepada
mereka ajakannya, menjelaskan agamanya dan memasukkan pemikiran pemikirannya
dengan rasa saling mencintai dan menyayangi juga tidak saling membanggakan diri.
Adapun kalau kamu sombong kepada mereka,takabbur, sombong, dan merendahkan
mereka dan membuang muka ketika bertemu, memandang mereka dengan sinis maka
mereka akan menolak ajakanmu.
Kata tus}a’ir terambil dari kata as}-s}a’ar 19 yang berarti penyakit yang menimpa unta
dan menjadikan lehernya menjadi keseleo, sehingga ia memaksakan dia dan berupaya
keras agar berpaling sehingga tekanan tidak tertuju kepada syaraf lehernya yang
mengakibatkan rasa sakit. Dari kata inilah ayat di atas menggambarkan upaya keras dari
seseorang untuk bersikap angkuh dan menghina orang lain. Memang seringkali penghinaan
tercermin pada keengganan melihat siapa yang dihina.20
b. Jangan berjaan di muka bumi dengan sombong” yaitu sikap yang mendukung gerakan
memalingkan muka terhadap manusia, dan ini merupakan buah dari takabbur, angkuh,
dan sombong. Berjalan dengan sombong artinya berjalan sambil berkhayal, bersiul tanpa
memperdulikan manusia sekitarnya. Ini adalah sikap yang tidak baik yang dimurkai oleh
Allah dan dibenci oleh makhluk. Di sebutkan kata fi al-Ardi pad ayat di atas menunjukkan
asal kejadian manusia bahwa manusia terbuat dari tanah, sehingga dia hendaknya jangan
menyombongkan diri dan melangkah dengan angkuh di tempat itu. Demikian kesan al-
Biqa’i sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab21. Sedangkan Ibnu ‘Asyur memperoleh
kesan bahwa bumi adalah tempat berjalan semua orang, yang kuat dan yang lemah, yang
kaya dan yang miskin, penguasa dan rakyat jelata. Mereka semua sama, sehingga tidak
wajar bagi pejalan yang sama menyombogkan diri dan merasa melebihi orang lain.
c. Sederhanalah dalam berjalan” ini merupakan petunjuk tentang cara berjalan yang baik
dan benar. Yaitu berjalan biasa-biasa saja dan punya maksud yang baik, bukan berjalan
dengan sombong, angkuh dan membanggakan diri, juga bukan berjalan dengan lemah,
hina dan tidak bergairah. Tetapi harus berjalan dengan tenang dan punya tujuan.
d. Rendahkanlah suaramu”. Merendahkan suara merupakan sopan santun yang akan
membuat dirinya disegani, omongannya didengar dan diterima oleh orang, tidak berbicara

19
afsir al-T}abari, hal.145.
20
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mis}bah, Jilid 11 (Jakarta: Lentera Hati, 1998) hal. 139.
21
Ibid.

124
Konsep Pendidikan Anak (Khairul Hamim)

dengan teriak-teriak atau berbicara kasar, kecuali orang yang jelek perangainya dan ragu-
ragu dalam menilai kebenaran omongannya dan harga dirinya (kurang percaya diri),
sehingga ia berusaha menutupi keragu-raguan tersebut dengan tipu daya dan berbicara
dengan kasar dan berteriak.22 Orang yang berbicara dengan berteriak tanpa maksud dan
tujuan yang jelas apalagi dibarengi dengan suara yang kasar maka perumpamaan suara
seperti itu adalah seperti suara keledai, yang melengking sehigga membuat pekak telinga
dan tidak senang didengar oleh orang. Akhirnya mengundang orang untuk menertawa-
kannya, menghinanya dan mengolok-oloknya sambil berpaling darinya. Walhasil aktivitas-
nya menjadi tidak berhasil atau gagal.
Demikian terbaca dalam pesan-pesannya di atas bagaimana Luqman menghimpun empat
dasar pokok pendidikan anak, yaitu, akidah, ibadah, akhlak terhadap orang lain dan akhlak
terhadap diri sendiri. Ada juga perintah moderasi yang merupakan ciri dari segala macam
kebijakan, serta perintah bersabar, yang merupakan syarat muthlak meraih sukses duniawi
dan ukhrawi.
Hal lain yang penting pula untuk digarisbawahi adalah pernyataan yang berkaitan dengan
petunjuk-petunjuk al-Qur’an yang mengundang pelaksanaan. Kenyataan tersebut adalah
bahwa petunjuk dimaksud hampir selalu dibarengi atau dirangkaikan dengan kewajiban takwa
serta anjuran untuk mendapatkan keridhaan-Nya. Dari sinilah bergabung takwa yang
menyinari hati dengan hikmah yang ditunjang oleh nalar sehingga petunjuk tersebut terlaksana
atas dasar kesadaran, bukan oleh dorongan rasa takut.
Sebagai implikasi dari pandangan Al-Qur’an tentang proses pertumbuhan dan
perkembangan jiwa manusia, Al-Qur’an dalam petunjuk-petunjuknya menjadikan penahapan
dan pembiasaan sebagai salah satu metode guna mencapai sasaran. Akan tetapi, perlu diper-
hatikan bahwa yang dilakukan oleh Al-Qur’an terhadap umatnya menyangkut pembiasaan-
pembiasaan dari segi yang pasif hanyalah dalam hal yang mempunyai hubungan erat dengan
kondisi sosial dan ekonomi, bukan menyangkut kondisi kejiwaan yang berhubungan dngan
akidah dan akhlak. Sedangkan dalam hal yang bersifat aktif ditemukan bahwa pembiasaan
tersebut menyangkut semua hal. Dari sini kita menemui Al-Qur’an sejak dini, melarang
secara pasti tanpa suatu proses pembiasaan terlebih dahulu.
Dalam hal yang sifatnya menuntut aktivitas, ditemui Al-Qur’an membiasakan umatnya
membiasakan diri tahap demi tahap. Misalnya, dalam shalat dimulai dengan menanamkan
rasa kebesaran Tuhan, disusul dengan pelaksanaan shalat dua kali sehari disertai dengan
kebolehan bercakap-cakap, disusul dengan kewajiban melaksanakannya lima kali sehari
dengan larangan bercakap-cakap.
22
Shalah al-Khalidy, Kisah-kisah...., h. 153.

125
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 9, No. 1, Januari 2013: 113-127

Apabila semua ini telah ditempuh, janji-janji tentang ganjaran pun telah dikemukakan,
namun sasaran yang dituju belum juga berhasil dicapai, maka pada saat itu Al-Qur ’an
menggunakan sanksi-sanksinya, yang ditempuhnya secara bertahap pula.23

Simpulan
Anak adalah anugerah Allah yang merupakan amanat. Dia adalah anggota keluarga
yang menjadi tanggung jawab orang tua sejak dia di dalam kandungan sampai dalam batas
usia tertentu. Tugas sebagai orang tua tidaklah mudah, melainkan memikul tanggung jawab
yang berat dalam mendidik anak-anaknya. Pesan-pesan Luqman terhadap anaknya patut
dijadikan panutan bagi seluruh orang tua dalam rangka membentuk pribadi anak mereka
menjadi anak yang saleh.
Pesan-pesan Luqman tersebut antara lain: pertama, Luqman menyuruh anaknya untuk
berauhid dan beriman kepada Allah Swt., dan melarangnya berbuat shirik dan kufur dan
menjelaskan keburukan dan akibatnya. Kedua, Luqman berwasiat kepada anaknya untuk
memperlakukan orang orang tuanya terutama ibu agar berbuat baik, sopan santun, taat dan
memperlakukannya dengan baik. Ketiga, berwasiat agar rajin beribadah dengan mendirikan
salat. Keempat, memerintahkan kepada anaknya untuk berdakwah di jalan Allah dengan
cara menyeru pada kebaikan dan melarang berbuat kejahatan. Kelima, Selalu sabar dan tidak
sombong baik dalam penampilan maupun dalam tutur kata. Kelima nasehat tersebut
merupakan inti darinasehat Luqman kepada anaknya yang patut ditiru dan digugu guna
menciptakan generasi yang unggul baik secara intelektual maupun spiritual.

Daftar Pustaka
Abdullah Muhammad bin Ahmad al- Ans}ari al-Qurtuby, Al-Jami’ Liah}kamil Qur’an (Beirut:
Da>r al-Ih}ya’ al-Turath, 1985).
Ishak Ahmad Farhan, al-Tarbiyah al-Islamiyah bainal As}olah wa al-Mu’as}irah (Oman: Da>r
al-Furqan).
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Kathir (Berit: Da>r al-Fikr, 1987).
Ibrahim Sa’adah, al-Islam wa Tarbiyah al-Insan (Urdun: Maktabah al-Mannar, 1985).
Jalaluddin as-Suyuty, al-Durrul Mantsur fi Tafsir bi al- Ma’thur, Cet.I, (Beirut: Dar al-
Fikr,1983 M).
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua (Balaipustaka Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1995).

23
M. Quraish Shihab, Secercah...., hal. 71.

126
Konsep Pendidikan Anak (Khairul Hamim)

M. Quraish Shihab, Tafsir al- Mis}bah (Jakarta: Lentera Hati, 2000).


———, Secercah Cahaya Ilahi (Jakarta: Mizan, 2000).
———, Wawasan al-Qur’an (Jakarta: Mizan, 2000).
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: PT Hidakarya, 1989).
Muhyiddin Abi Zakariya Yahya Bin Syaraf al-Nawawi, Riyadus}olihin (Mesir: Mustafa Babul
Halabi,1969).
Shalah al-Khalidy, Kisah-Kisah Al-Qur’an: Pelajaran dari Orang-Orang Terdahulu, Jiid 3
(Jakarta: Gema Insani Press, 2000).
Sa’id bin Abdillah, Us}ul al-Tarbiyah Al-Islamiyyah (Riyad: Darul Ulum, 1981).

127

Anda mungkin juga menyukai