Anda di halaman 1dari 9

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian makna sebagai istilah


Kata makna sebagai istilah mengacu pada pengertian yang sangat luas. Sebab itu,
tidak mengherankan nila ogden dan Richards dalam bukunya , the meaning of
meaning (1923), mendaftar enam belas rumusan pengertian makna yang berbeda-
beda antara yang satu dengan yang lainnya. Adapun batasan pengertian makna
dalam pembahasan ini, makna ialah hubungan antara Bahasa dengan dunia luar
yang telah disepakkati bersama oleh para pemakai Bahasa sehingga dapat
saling mengerti ( cf. Grice, 1957: Bolinger, 1981: 108 ). Dari batasan pengertian
itu dapet diketahui adanya tiga unsur pokok yang tercakup didalamnya, yakni (1)
makna adalah hasil hubungan antara Bahasa dengan dunia luar ( 2) penentuan
hubungan terjadi karena kesepakatan para pemakai serta (3) perwujudan makna
itu dapat digunakan untuk menyampaikan informasi sehingga dapat saling
mengerti.
Pandangan bahwa antara “ makna kata” dengan “ wujud yang dimaknai “
memiliki hubungan yang hakiki, akhirnya menimbulkan klasifikiasi makna kata
yang dibedakan antara yang kongkret , abstrak tunggal, jamak, khusus maupun
universal. Penentuan bentuk hubungan itu ternyata yang dibedakan antara yang
kongkret, abstrak , khusus dan universal. Makna suatu acuan atau denotatumnya
dapat berpindah-pindah. Kata mendung, misalnya, selain dapat diacukan pada
benda, juga dapat diacukan ke dalam “ suasana sedih “ . pada sisi lain, referen
yang sama dapat ditunjuk oleh kata yang bebeda-beda. Sudin sebagai guru, ayah
dari anak-anaknya, suami maupun tetangga yang baik dapat disebut pak guru,
bapak, mas, oom maupun sebuutan lainnya. Sebut lainnya. Sebab itulah kaum
nominalis menolak anggapan bahwa antara kata dengan wujud luar terdapat
hubungan ( Lyons, 1979:111).
Dalam nominalisme, hubungan antara makna kata dengan dunia luar semata-
mata bersifat arbitret meskipun sewenang-wenang penentuan hubungannya oleh
para pemakai dilatari oleh adanya konvensi. Sebab itulah, penunjukan makna
kata bukan bersifat perseorang, melainkan memiliki kebersamaan. Dari adanya
fungsi simbolik Bahasa yang tidak lagi diikat oleh dunia yang diacu itulah,
Bahasa akhirnya juga lebih membuka peluang untuk dijadikan media memahami
realitas, bukan realitas yang dikaji untuk memahami Bahasa.
Selain hubungan antara makna dengan dunia luar, masalah lain yang timbul
adalah, benerlah untuk kebahasaan menjadi unsur utama dalam mengemban
makna. Pertanyaan itu timbul karena kata berangkat, misalnya, yang diucapkan
oleh sesorang siswa dan ayah yang mau ke kantor kepada ibu, acuan maknanya
berbeda. Kata berangkat yang diucapkan seorang siswa kepada ibu dirumah
mengacu pada pengertian “ berangkat sekolah “ , sementara bagi sang ayah,
mengacu pada pengertian “ berangkat ke kantor “ kasus lain, misalnya kata kopi
yang di ucapkan di took kelontong berarti ‘ bubuk “, sedangkan dikedai berarti ‘
minuman”
Dari contoh diatas, secara sepintas dapat saja diambil kesimpulan bahwa
unsur pemakai dan konteksa social situasional juga ikut menentukan makna.
Dalam kajian teori makna pun, kenyataan seperti diatas, juga menimbulkan
perbedaan pandangan pendekatan. Sehubungan dengan masalah pandangan dan
pebdekatan itu. Alston menyebutkan adanya tigas pendekatan dalam teori makna
yang masing-masing memiliki dasar pusat pandang berbeda-beda. Tiga bentuk
pendekatan yang oleh Rahman ( 1968) dianggap lebih tepat disikapi sebagai tiga
tataran makna, menurut alston meliputi pendekatan (1) referiansal ( 2)
ideasional, dan ( 3) behavioral ( Alston, 1964)

B. Pengertian makna dan pendekatan referensial


Seperti telah diketahui, Bahasa memiliki berbagai fungsi. Tiga fungsi Bahasa
yang relevan diangkat sebagai pijakan awal pembahasan masalah (1) referensial
(2) idesional serta (3) pendekatan behavioral ini adalah, fungsi Bahasa sebagai (
1) wakil realitas yang menyertai proses berpikir manusia secara individual, ( 2)
sebagai media dalam mengolah pesan dan menerima informasi, serta ( 3) sebagai
fakta social yang mampu menciptakan berbagai bentuk komunikasi. Apabila
fungsi pertama menjadi pijakan awal pendekatan referiansal, fungsi kedua
menjadi dasar kajian pendekatan ideasional, maka fungsi ketiga adalah pusat
pandang dari pendekatan behavioral.
Dalam pendekatan referensial, makna diartikan sebagai label yang berada
dalam kesadaran manusia untuk menunjuk dunia luar. Sebagai label julukan,
makna itu hadir karena adanya kesadaran pengamatan terhadap fakta dan
penarikan kesimpulan yang keseluruhannya berlangsung secara subjektif.
Terdapatnya julukan simbolik dalam kesadaran individual itu, lebih lanjut
memungkinkan manusia untuk menyusun dan mengembangkan skema konsep.
Kata pohon, misalnya berdasarkan kesadaran pengamatan dan penarikan
kesimpulan, bukan hanya menunjuk jenis-jenis tumbuh-tumbuhan, melainkan
memperoleh julukan sebagai “ ciptaan “ , “ hidup” , “ fana” sehingga pohon
dalam baris puisi goenawan mohammad disebutnya… berbagai dingin diluar
jendela/mengekalkan yang esok mungkin tidak ada.
Kesadaran pengamatan dan penarikan kesimpulan dalam julukan, dan
pemaknaan tersebut, berlangsung melalui Bahasa. Akan tetapi, berbeda dengan
Bahasa keseharian , atau private language ( Harman, 1968). Dengan demikian,
makna dalam skema konsep bisa merambah ke dunia absurd yang mempribadi
dan terasing dari komunikasi keseharian.
Terdapat Bahasa perseorangan yang mempribadi tersebut lebih lanjut
menyebabkan keberadaan makna sangat ditentukan oleh adanya nilai, motivasi ,
sikap, pandangan, maupun minat secara individual. Apabila individu adalah juga
pengendali institusi masyarakat “ dapat disebar luaskan dan diakui sebagai milik
bersama. Akan tetapi, ada juga kemungkinan, ciri demikian ditandai antara lain
oleh adanya kata-kata khas yang dimaknai secara khusus oleh dua orang yang
berteman demikian akrab maupu kata-kata tertentu yang digunakan dalam puisi.
C. Pengertian Makna Dalam Pendekatan Ideasional

Kelemahan dalam pendekatan referensial, selain telah disebutkan diatas, juga


dikaiakan dengan masalah adanya paradoksal antara keberantungan pada wujud
yang diacu dan subjektifitas dalam memberi julukan. Selain itu, skema konsep yang
dianggap bersifat individual, karena duni kita merupakan dunia yang satu ini jug,
pada akhirnya bisa menjadi milik bersama. Seorang petani adalah salah satu diantara
petani lainnya, seorang penyair adalah satu diantara penyair lainnya. Kelemahan lain
yang sangat menarik sehubungan dengan kajian dalam butir-butir ini adalah
meniadakan hubungan hakiki makna dan bahasa sebagai hubungan antara bentuk
dan isi, mencabut makna dari konvensi dan mengeluarkannya dair konteks
komunikasi.
Dalam pendekatan idesional, makna adalah gambaran gagasan dari satu bentuk
kabahsaan yang bersifat sewenang-wenang, tetapi memiliki konvensi sehingga dapat
saling dimengerti. Gambaran kesatuan hubungan antara makna dan bentuk
kebahasaan itu secara jelas dapat dikaji dalam perumus Grice,..... X meant that P adn
X mean that P entail P. Dengan kata lain, X berarti P dan X memaknakan P seperti
dimiliki ole P. X dalam konsep Grice adalah perangkat kalimat sebagai bentuk
kebahasaan yang telah dimiliki satuan gagasan. Kalimat yang berbunyi, X
memaknakan P seperti yang dimiliki P memberikan gambaran tentang keharusan
memaknai X sebgai P seperti yang telah berda dalam konvensi bahwa P adalah P.
Meletakan komponen semantik pada adanya satuan gagasan, bukan berarti
pendekatan idesional mengabaikan makna pada aspek bunyi, kata, dan frase. Jerrold
J. Katz mengungkapkan bahwa penanda semantis dari bunyi, kata, dan frase sebagai
unsur-unsur pembangun kalimat, dapat langsugn diidentifikasi lewat kalimat.
Dengan mengidentifikasi unsur-unsur kalimat itu sebagai satuan gagasan,
diharapkan pemaknaan tidak berlangsung secara lepas-lepas, tetapi sudah mengacu
pda kesatuan makna yang dapat digunakan dalam komunikasi (Katz, dalam
Steinberg & Jokobovist, 1978: 297). Sebab itulah, apabila X adalah kata, menurut
Grice, X has meaning NN if it is used and comunication (Grice, 1957). Atau dengan
kata lain, kata setelah berada dalam komunikasi memiliki potensialitas makna yang
bermacam-macam. Mungkin makna 1,2,3... N.
Sehubungan dengan kegiatan berpikir, manusia berpikir menggunakan bahasa
yang juga bisa digunakan dalam komunikasi. Sebab itulah, kegiatan kegiatan
pengolahan pesan lewat bahasa atau encoding, penyampaian pesan lewat bahasa atau
koding.
Komponen pembabangun gagasan dalam enkode menurut Jerold Katz bisa saja
tidak sama persis dengan kode. Akan tetapi, yang pasti, hubungan linear itu haru
diikut daur, yakni hubunan timbal balik antara penyampai dan penerima pesan yang
ditandai oleh adanya “saling mengerti”. Grice juga menyebutkan suatu bentuk
kebahasaan itu dimaknai P oleh penutur adalah apabila pemaknaan P itu secara laras
nantinya juga dimaknai P oleh pendengarnya.

D. Pengertian Tentang Makna Dalam Pendekatan Behavioral

Dalam dua pendekatan yang telah diurai di depan, dapat diketahui bahwa (1)
pendekatan reveresiala dapat mengkaji makna lebih menekankan pada fakta sebagai
objek kesadaran pengamatan dan penarikan kesimpulan secara individual, dan (2)
pendekatan ideasional lebih menekankan pada keberadaan bahasa sebagai media
dalam mengolah pesan dalam menyampaikan informasi. Keberatan dari pendekatan
behavioral terhadap kedua pendekatan tersebut, salah satunya adalah, kedua
pendekatan itu telah mengabaikan konteks sosial dansituasional yang oleh kaum
behavioral dianggap berperan penting dalam menentukan makna.
Kritik lain terhadap pendekatan diatas adalah pada objek kajian utama yang
justrul tidak pernah diobservasikan secara langsung. Pernyataan dalam kajian
ideasional yang berkaitan dengan keselarasan pemahaman antara penutur dengan
pendengar dalam memaknai kode misalnya, dalam pendekatan behavioral dianggap
kajian spekulatif karena pengkaji dianggap tidak mampu meneliti karakteristik idea
atau pikiran penutur pendengar, sejalan dengan katifitas pengolahan pesan dan
pemahamannya. Sebab itualah, kajian makna yang bertolak dari pendekatan
behavioral, mengkaji makna dalam peristiwa ujaran (speech event) yang
berlangsung dalam situasi tertentu (speech situation). Satuan tuturan atau unit tekecil
yang mangandung makna penuh dari keseluruhan atau speech event yang
berlangsung dalam speech situation disebut speech act (Hymes, 1972: 56).
Penentuan makna dalam speech act menurut Searle harus bertolak dari berbagai
kondisi dan situasi yang melatari pemunculanannya (Searle, 1969). Unik ujaran yang
berbunyi masuk! Misalnya dapat berarti “di dalam garis” bila muncul misalnya
dalam permainan bulu tangkis, “berhasil” bagi yang main lotre, “silahkan ke dalam”
bagi tamu dan tuan rumah, ”hadir” bagi mahasiswa yang dipresetasi Pak Dosen.
Makna keseluruhan unit ujaran itu dengan demikian harus disesuaikan dengan latar
situasi dan bentuk sosial interaksi yang mengkondisikannya.
Konsep yang antara lain dikembangkan oleh Autin , Here, Searle, Alston, dll.,
akhirnya juga tidak dapat terlepas dari kritik. Kritik utama, yang datang dari
Chomsky, menganggap bahwa meletakan unsur luar bahasa sejajar dalam bahasa
dalam rangka menghadirkan makna, berarti menghilangkan aspek kreatif bahasa itu
sendiri yang dapat digunakan untuk mengekpresikan gagasan secara bebas. Bahasa
sebagai suatu sistem adalah “sistem dari sistem”. Perbendaharaan kata atau leksikon
pemakaiannya bukan hanya memperhatikan kaidah leksikal dan gramatikal,
melainkan juga ditentukan oleh refresentasi semantik. Konponen refresentasi
semantik yang menunjuk dunia luar pada dasarnya telah mengandung “sistem luar
biasa” itu ke dalam dirinya. Dengan demikian, konteks sosial dan situasional sebagai
sutu sistem bukan berada di luar bahasa, melainkan berada di dalam dan mewarnai
keseluruahan sistem kebahasaan itu sendiri (cf. Mc Cawley, 1978: 176) baru setelah
unsur yang tercakup di dalam deep structure itu laras, hadirlah surface struture yang
pemunculannya dalam tuturan juga memperhatikan kaidah fonologi atau
phonological rules. Konsep demikian, sedikit banyak juga mewaranai kajian
semiotik yang dilaksanakan oleh Moris.

E. Penerapan Tiga Pendekatan Dalam Studi Makna

Dari ketiga pendekatan yang telah diuraika diatas, dapat disimpulkan bahwa
pendekatan pertama mengaitkan makna dengan masalah nilai juga proses berfikir
manusia dalam memahami realitas lewat bahasa secar benar, pendekatan kedua
mengaitkan makna dengan kegiatan menysun dan meyampaikan kegiatan lewat
bahas, dan pendekatan ketiga mengaitkan makna dengan fakta pemakaian bahasa
dalam konteks-sosialsituasional. Dengan demikian, keberadaan ketiga pendekatan
tersebut lebih menyerupai satu rangkaian. Sebab itulah, Gilbert H. Harman,
misalnya, yang tidak menyetujui pemakaian ketiga istilah pendekatan tersebut, lebih
puas dengan menggunakan istilah three levels of meaning (1968)
Lebih lanjut, konsep dalam ketiga pendekatan itu masing-masing terus
berkembang dan menebarkan pengaruhnya. Konsep dalam pendekatan pertama,
misalnya yang dilandasi pemikiran para fisup seperti John Dewey, Rudolf Carnap,
maupun Bertad Russell, akhirnya memang lebih dengan kontemplasi dalam upaya
memahami realitas secara benar. Kajian yang erat dengan masalah filsafat itupun
sebenarnya tidak asing dari kehidupan manusia pada umumnya. Hal itu terjadi
karena di samping mahluk berpikir, manusia adalah juga mahluk pencari makna,
kegiatan soliloquy, ngudarasa, atau yang oleh Pak Anton Mulyono diindonesiakan
dengan ekacakap, oleh Dewey diartikan sebagai ......... is the product and reflex of
converse with others, sebagai suatu dialog antara diri dengan dunia luar yang telah
bersif.....transedental.
Selain itu, dalam tingkatan yang paling sederhana, kata itu sendiri hadir karena
adanya dunia luar. Kat perang bintang atau kartika yuda, bis susun, jembatan layang,
adalah kata-kata yang hadir untuk menamai luar. Dengan demikian, pada tingkat
awal, antara makan dan dunia luar. Dengan demikian, pada tingkat awal, antara
makna dengan dunia luar memang terdapat wigati. Sebab itulah dalam kajian
semantik, pendekatan referensial umumnya digunakan pada awal kajian. Bahkan
tokoh seperti Stephen Ulman yang banyak memberikan kritikan terhadap
refresential, konsep yang diajukan sehubungan dengan keberadaan makna, yakni
name, ‘bentuk fonetis kata’ sense ‘pengertian’, serta thing ‘referen acuan’ tidak
lebih hanya pembahasan dari model pembagian signifiant dan signifie dari Sausure
yang digabungkan dengan Basic triangle Ogden & Richard yang sebagai konsep
yang oleh Ulman diketahui bertolak dari pendekatan referensial (Ulman, 1977:57)
Apabila pendekatan referensial lebih berpusat pada masalah “bagaimana
mengolah suatu realitas secara benar” maka kajian semantik lewat pendekatan lewat
pendekatan ideasional lebih menekankan pada masalah “bagaimana menyampaikan
makan lewat struktur kebahasaan secar benar tanpa mengabaikan kesalarasan
hubungannya dengan realitas”. Pusat permasalahan dalam pendekatan ideasional itu
dalam kajiannya ternyata menunjukan adanya perbedaan. Pengkajian semantik yang
bertolak dari kajian pandangan generatif transformasi, misalnya, meskipun sama-
sama bertolak dari konsep dasar bahwa tata bahasa dalam setiap bahasa adalah a
system of rules that expreses the correspondence between sound and meaning in this
language (Comsky, 1971: 182), dalam pengembangan berikutnya menghadirkan dua
kubu yang berbeda. Kedua kubu tersebut lazim disebut (1) semantik interpretif yang
dikembangkan antara lain oleh Katz, Fodor, maupun Comsky sendiri dan Morris
Helle, serta (2) semantik generatif yang dikembangkan sendiri oleh filmore, Bach,
R lakop, George Lakoff, Mc Kauley, dan lain-lain (Lakoff, 1971: 232).
Perbedaan utama dari kedua itu ialah, kajian dalam semantik iteretatif
beranggapan bahwa komponen refresentasi semantik memiliki tingkatan tersendiri
sebelum deep strukture. Komponen refresentasi sematik itu berisis semantik content
of lexical item yang akhirnya membentu post leksikal strukture sebagai butir
leksikon yang membangun deep strukture (Chomsky, 1971: 185) wawasan tersebut
tidak sesuai dengan pandangan semanti generatif yang sebenarnya juga berpijak
pada konsep generatif transformasi yang dikembangkan oleh Chomsky. Bagi
mereka, pemilihan tingkat komponen refresentasi sematis lewat struktur dalam itu
pad dasarnya tidak perlu karena keduanya identik.

F. Peroses Kejiwaan dan Penguasaan Lambang Dalam Pemaknaan

Dalam komunikasi sehari-hari, keempat unsur yang disebutkan Osgood di atas,


bisa jadi tampil secara simultan dan spontan.akan tetapi adankalanyaproses
mekanistis itu mengalami hambatan. Hali itu terjadi apabila penanggap menjumpai
bentuk kgusus yang berada di luar pembendaharaan pengalamannya dalam
komunikasi keseharian. Bentuk khusus tersebut menjadi “sesuatu yang asing” bagi
penanggap, mungkin karena (a) pilihan kata dan penataan stukturnya, (b) acuan
maknanya sudah dipertinggi,atau mungkin (c) gambar peristiwanya telah terasa
lepas dari kehidupan rutin keseharian. Kalimat Goenawan Mohammad yang
berbunti Sang Iblis adalah kecongkakan diterkam oleh fikiran ragu,adalah slah satu
contoh paparan itu secara keseluruhan. Contohnya lain paparan demikian dpat
dijumpai di dalam karya sastra, baik puisi maupun prosa fiksi.
Menjumpai paparan demikian, proses psikologis penanggap dalam upaya
memahaminya menjadi rangkap. Hal itu terjadi karena kata bukan hanya berkaitan
dengan denotatum, melainkan juga desingnatum. Dalam kegiatan designatif,
mungkin sekali terjadi pembayangan yang bertentangan, mendatangkan keraguan.
Dan mungkin juga absurd. Maka bukan hanya menunjuk pada tanda, bukan hanya
menunjuk pada fakta keseharian, melainkan juga menunjukan hanya pada sesuatu
yang mempribadi, pada realitas lain yang transcendental.
Dalam situasi demikian memory bukan hanya berkaitan dengan ingatan makna
kata, relasi makna dalam stuktur maupun pemakaian, melainkan juga menunjuk pada
skema konsep pada sejumlah julukan suatu fakta yang dibentuk oleh pikiran maupun
pengetahuan penanggap. Dalam hal demikian itulah, konsep makna seperti yang
diajukan oleh teori referensial menjadi begitu wigati. Sebab itulah, penanggap yang
menguasai bahasa hanya pada tataran fungsi instrumental, yakni sebagai alat dalam
memenuhi kebutuhan fisis sehari-hari, akan membaca paparan itu sebagai sesuatu
yang “aneh”. Dalam hal demikian, keberadaan bahasa dalam fungsi personal,
heuristik, dan imajinatif, sedikit banyak sudah harus dirambah oleh penanggap.
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN
Dapat disimpulkan pendekatan semantik ada tiga aspek, Pendekatan pertama
mengaitkan makna dengan msalah nilai sea proses berpikir manusia dlam
memahami realitas lewat bahasa secara benar, pendekatan kedua mengaitkan makna
dengan kegiatan menyusun dan mengaitkan makna dengan fakta pemakaian bahasa,
dan pendekatan ketiga mengaitkan makna dengan fakta pemakaian bahasa dlam
konteks sosial-situasional.
B. SARAN
Mengingat terbatasnya pengetahuan tim penulis, begitu pula kurangnya rasa
ingin tahu dari tim penulis. Berharap pembaca bisa memaklumi jika terdapat adanya
kesalahan dalam penulisan atau kata-kata dalam makalah yang tim penulis susun.
Adapun kebenaran itu datangnya dari Allah SWT dan kekurangannya datangnya dari
tim penulis. Tim penulis berharap pembaca tidak puas dengan makalah yang tim
penulis buat ini dan pada akhirnya pembaca akan terus memperdalam pengetahuan
yang sangat luas. Dalam makalah ini juga, tim penulis butuh kritikan dan saran guna
perbaikan dimasa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin, 1985, Semantik Pengantar studi tentang makna, Malang: Sinar Baru
Algensid.

Anda mungkin juga menyukai