Semantik Kelompok 4
Semantik Kelompok 4
PEMBAHASAN
Dalam dua pendekatan yang telah diurai di depan, dapat diketahui bahwa (1)
pendekatan reveresiala dapat mengkaji makna lebih menekankan pada fakta sebagai
objek kesadaran pengamatan dan penarikan kesimpulan secara individual, dan (2)
pendekatan ideasional lebih menekankan pada keberadaan bahasa sebagai media
dalam mengolah pesan dalam menyampaikan informasi. Keberatan dari pendekatan
behavioral terhadap kedua pendekatan tersebut, salah satunya adalah, kedua
pendekatan itu telah mengabaikan konteks sosial dansituasional yang oleh kaum
behavioral dianggap berperan penting dalam menentukan makna.
Kritik lain terhadap pendekatan diatas adalah pada objek kajian utama yang
justrul tidak pernah diobservasikan secara langsung. Pernyataan dalam kajian
ideasional yang berkaitan dengan keselarasan pemahaman antara penutur dengan
pendengar dalam memaknai kode misalnya, dalam pendekatan behavioral dianggap
kajian spekulatif karena pengkaji dianggap tidak mampu meneliti karakteristik idea
atau pikiran penutur pendengar, sejalan dengan katifitas pengolahan pesan dan
pemahamannya. Sebab itualah, kajian makna yang bertolak dari pendekatan
behavioral, mengkaji makna dalam peristiwa ujaran (speech event) yang
berlangsung dalam situasi tertentu (speech situation). Satuan tuturan atau unit tekecil
yang mangandung makna penuh dari keseluruhan atau speech event yang
berlangsung dalam speech situation disebut speech act (Hymes, 1972: 56).
Penentuan makna dalam speech act menurut Searle harus bertolak dari berbagai
kondisi dan situasi yang melatari pemunculanannya (Searle, 1969). Unik ujaran yang
berbunyi masuk! Misalnya dapat berarti “di dalam garis” bila muncul misalnya
dalam permainan bulu tangkis, “berhasil” bagi yang main lotre, “silahkan ke dalam”
bagi tamu dan tuan rumah, ”hadir” bagi mahasiswa yang dipresetasi Pak Dosen.
Makna keseluruhan unit ujaran itu dengan demikian harus disesuaikan dengan latar
situasi dan bentuk sosial interaksi yang mengkondisikannya.
Konsep yang antara lain dikembangkan oleh Autin , Here, Searle, Alston, dll.,
akhirnya juga tidak dapat terlepas dari kritik. Kritik utama, yang datang dari
Chomsky, menganggap bahwa meletakan unsur luar bahasa sejajar dalam bahasa
dalam rangka menghadirkan makna, berarti menghilangkan aspek kreatif bahasa itu
sendiri yang dapat digunakan untuk mengekpresikan gagasan secara bebas. Bahasa
sebagai suatu sistem adalah “sistem dari sistem”. Perbendaharaan kata atau leksikon
pemakaiannya bukan hanya memperhatikan kaidah leksikal dan gramatikal,
melainkan juga ditentukan oleh refresentasi semantik. Konponen refresentasi
semantik yang menunjuk dunia luar pada dasarnya telah mengandung “sistem luar
biasa” itu ke dalam dirinya. Dengan demikian, konteks sosial dan situasional sebagai
sutu sistem bukan berada di luar bahasa, melainkan berada di dalam dan mewarnai
keseluruahan sistem kebahasaan itu sendiri (cf. Mc Cawley, 1978: 176) baru setelah
unsur yang tercakup di dalam deep structure itu laras, hadirlah surface struture yang
pemunculannya dalam tuturan juga memperhatikan kaidah fonologi atau
phonological rules. Konsep demikian, sedikit banyak juga mewaranai kajian
semiotik yang dilaksanakan oleh Moris.
Dari ketiga pendekatan yang telah diuraika diatas, dapat disimpulkan bahwa
pendekatan pertama mengaitkan makna dengan masalah nilai juga proses berfikir
manusia dalam memahami realitas lewat bahasa secar benar, pendekatan kedua
mengaitkan makna dengan kegiatan menysun dan meyampaikan kegiatan lewat
bahas, dan pendekatan ketiga mengaitkan makna dengan fakta pemakaian bahasa
dalam konteks-sosialsituasional. Dengan demikian, keberadaan ketiga pendekatan
tersebut lebih menyerupai satu rangkaian. Sebab itulah, Gilbert H. Harman,
misalnya, yang tidak menyetujui pemakaian ketiga istilah pendekatan tersebut, lebih
puas dengan menggunakan istilah three levels of meaning (1968)
Lebih lanjut, konsep dalam ketiga pendekatan itu masing-masing terus
berkembang dan menebarkan pengaruhnya. Konsep dalam pendekatan pertama,
misalnya yang dilandasi pemikiran para fisup seperti John Dewey, Rudolf Carnap,
maupun Bertad Russell, akhirnya memang lebih dengan kontemplasi dalam upaya
memahami realitas secara benar. Kajian yang erat dengan masalah filsafat itupun
sebenarnya tidak asing dari kehidupan manusia pada umumnya. Hal itu terjadi
karena di samping mahluk berpikir, manusia adalah juga mahluk pencari makna,
kegiatan soliloquy, ngudarasa, atau yang oleh Pak Anton Mulyono diindonesiakan
dengan ekacakap, oleh Dewey diartikan sebagai ......... is the product and reflex of
converse with others, sebagai suatu dialog antara diri dengan dunia luar yang telah
bersif.....transedental.
Selain itu, dalam tingkatan yang paling sederhana, kata itu sendiri hadir karena
adanya dunia luar. Kat perang bintang atau kartika yuda, bis susun, jembatan layang,
adalah kata-kata yang hadir untuk menamai luar. Dengan demikian, pada tingkat
awal, antara makan dan dunia luar. Dengan demikian, pada tingkat awal, antara
makna dengan dunia luar memang terdapat wigati. Sebab itulah dalam kajian
semantik, pendekatan referensial umumnya digunakan pada awal kajian. Bahkan
tokoh seperti Stephen Ulman yang banyak memberikan kritikan terhadap
refresential, konsep yang diajukan sehubungan dengan keberadaan makna, yakni
name, ‘bentuk fonetis kata’ sense ‘pengertian’, serta thing ‘referen acuan’ tidak
lebih hanya pembahasan dari model pembagian signifiant dan signifie dari Sausure
yang digabungkan dengan Basic triangle Ogden & Richard yang sebagai konsep
yang oleh Ulman diketahui bertolak dari pendekatan referensial (Ulman, 1977:57)
Apabila pendekatan referensial lebih berpusat pada masalah “bagaimana
mengolah suatu realitas secara benar” maka kajian semantik lewat pendekatan lewat
pendekatan ideasional lebih menekankan pada masalah “bagaimana menyampaikan
makan lewat struktur kebahasaan secar benar tanpa mengabaikan kesalarasan
hubungannya dengan realitas”. Pusat permasalahan dalam pendekatan ideasional itu
dalam kajiannya ternyata menunjukan adanya perbedaan. Pengkajian semantik yang
bertolak dari kajian pandangan generatif transformasi, misalnya, meskipun sama-
sama bertolak dari konsep dasar bahwa tata bahasa dalam setiap bahasa adalah a
system of rules that expreses the correspondence between sound and meaning in this
language (Comsky, 1971: 182), dalam pengembangan berikutnya menghadirkan dua
kubu yang berbeda. Kedua kubu tersebut lazim disebut (1) semantik interpretif yang
dikembangkan antara lain oleh Katz, Fodor, maupun Comsky sendiri dan Morris
Helle, serta (2) semantik generatif yang dikembangkan sendiri oleh filmore, Bach,
R lakop, George Lakoff, Mc Kauley, dan lain-lain (Lakoff, 1971: 232).
Perbedaan utama dari kedua itu ialah, kajian dalam semantik iteretatif
beranggapan bahwa komponen refresentasi semantik memiliki tingkatan tersendiri
sebelum deep strukture. Komponen refresentasi sematik itu berisis semantik content
of lexical item yang akhirnya membentu post leksikal strukture sebagai butir
leksikon yang membangun deep strukture (Chomsky, 1971: 185) wawasan tersebut
tidak sesuai dengan pandangan semanti generatif yang sebenarnya juga berpijak
pada konsep generatif transformasi yang dikembangkan oleh Chomsky. Bagi
mereka, pemilihan tingkat komponen refresentasi sematis lewat struktur dalam itu
pad dasarnya tidak perlu karena keduanya identik.
A. SIMPULAN
Dapat disimpulkan pendekatan semantik ada tiga aspek, Pendekatan pertama
mengaitkan makna dengan msalah nilai sea proses berpikir manusia dlam
memahami realitas lewat bahasa secara benar, pendekatan kedua mengaitkan makna
dengan kegiatan menyusun dan mengaitkan makna dengan fakta pemakaian bahasa,
dan pendekatan ketiga mengaitkan makna dengan fakta pemakaian bahasa dlam
konteks sosial-situasional.
B. SARAN
Mengingat terbatasnya pengetahuan tim penulis, begitu pula kurangnya rasa
ingin tahu dari tim penulis. Berharap pembaca bisa memaklumi jika terdapat adanya
kesalahan dalam penulisan atau kata-kata dalam makalah yang tim penulis susun.
Adapun kebenaran itu datangnya dari Allah SWT dan kekurangannya datangnya dari
tim penulis. Tim penulis berharap pembaca tidak puas dengan makalah yang tim
penulis buat ini dan pada akhirnya pembaca akan terus memperdalam pengetahuan
yang sangat luas. Dalam makalah ini juga, tim penulis butuh kritikan dan saran guna
perbaikan dimasa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin, 1985, Semantik Pengantar studi tentang makna, Malang: Sinar Baru
Algensid.