Anda di halaman 1dari 5

Pinokio

DI suatu kota, ada sebuah toko milik kakek Gepeto pembuat boneka. Ia tinggal seorang diri.
"Alangkah senangnya kalau boneka manis ini menjadi seorang anak," gumamnya.
Setelah kakek berbisik demikian, terjadi satu keajaiban.
"Selamat siang, Papa." Boneka itu berbicara dan mulai berjalan.
Dengan amat gembira, kakek berkata, "Mulai hari ini, engkau anakku. Kau kuberi nama Pinokio.
Agar kau menjadi anak pintar, besok kau mulai sekolah, ya!"
Keesokan paginya, Kakek Gepeto menjual pakaiannya dan dengan uang itu ia membelikan
Pinokio sebuah buku ABC. "Belajarlah baik-baik dengan buku ini!"
"Terima kasih, Papa. Aku pergi sekolah, dan akan belajar dengan giat."
"Hati-hati ya!" pesan kakek.
Tetapi, dari arah yang berlawanan dengan sekolahnya terdengar suara, "Drum, dum, dum, dum."
Ketika Pinokio mendekat ternyata itu adalah tenda sandiwara boneka. Pinokio lalu menjual buku
ABC-nya, membeli karcis dengan uang itu dan masuk ke dalam. Dalam tenda sandiwara, sebuah
boneka anak perempuan akan telah dikepung prajurit berpedang. "Lihat! Jahat sekali prajurit
itu!" Pinokio naik panggung dan menerjang boneka prajurit. Tali boneka itu putus dan jatuhlah
boneka itu. Pemilik sandiwara yang marah segera menangkap Pinokio dan akan melemparnya ke
api.

"Maafkan aku. Kalau aku dibakar, kasihan papa yang sudah tua," kata
Pinokio. "Aku berjanji pada papa untuk belajar di sekolah dengan rajin."
Karena iba, pemilik sandiwara melepaskan Pinokio dan memberinya beberapa keping uang.
"Gunakan uang ini untuk membeli buku-buku pelajaranmu," kata pemilik sandiwara tersebut.
Kemudian Pinokio pergi untuk membeli buku. Tetapi di tengah jalan, Rubah dan Kucing melihat
keadaan itu. Mereka menyapa Pinokio dengan ramah. "Selamat siang, Pinokio yang baik. Kalau
uang emas itu bertambah banyak, pasti papamu lebih senang, ya!"
"Bagaimana cara menambah uang emas ini?" tanya Pinokio.
"Gampang. Kau bisa menanamnya di bawah pohon ajaib. Lalu tidurlah, maka pada saat kau
bangun nanti, pohon itu akan berbuah banyak sekali uang emas."
Kemudian Pinokio diantar Rubah dan Kucing menanam uang emasnya di bawah pohon ajaib.
Ketika Pinokio mulai tidur siang. Rubah dan Kucing menggali uang emas itu dan menggantung
Pinokio di pohon setelah itu mereka pergi.
"Tolong!...," teriak Pinokio ketika sudah bangun dari tidurnya dan mengetahui dirinya tergantung
di sebuah pohon. Seorang Dewi yang melihat keadaan Pinokio, mengutus burung elang
menolongnya. Burung elang membawa Pinokio dengan paruhnya, dan membawanya ke ruangan
di mana Dewi telah menunggu. Dewi menidurkan Pinokio di tempat tidur dan memberinya obat.
"Nah, minumlah obat ini maka kau akan cepat sembuh. Setelah itu pulang, ya!" kata Dewi.
"Lebih baik mati daripada minum obat yang pahit." Pinokio terus menolak.
Akhirnya Dewi menjadi marah, "Plak plak!" Ia menampar. Lalu datanglah empat ekor kelinci
yang menggotong peti mati. Pinokio terkejut sekali, cepat-cepat ia meminum obat yang pahit itu.
"Pinokio, mengapa kau tidak pergi ke seolah?" tanya Dewi.
"Hmm.. di jalan, aku menjual buku-ku untuk anak miskin yang kelaparan dan membelikannya
roti. Karena itu, aku tidak bisa pergi ke sekolah." Tiba-tiba saja syuut hidung Pinokio mulai
memanjang.
"Pinokio! Kalau kau berbohong, hidungmu akan memanjang sampai ke langit."
"Maafkan aku. Aku tak akan berbohong lagi." Pinokio meminta maaf.
Dewi tersenyum, dan memerintahkan burung pelatuk mematuki hidung Pinokio,
mengembalikannya ke bentuk semula. "Ayo cepat kembali ke rumah, dan belajar ke sekolah!"
Di tengah perjalanan pulang, Pinokio bertemu dengan kereta dunia bermain. Pinokio tidak bisa
menahan diri untuk tidak naik. Pinokio telah lupa akan janjinya pada Dewi, setiap hari ia hanya
bermain-main.
Pada suatu hari, Pinokio terkejut melihat wajahnya yang terpantul di permukaan air. "Ah!
Telingaku jadi telinga keledai! Aku pun berbuntut!" teriaknya.
ernyata anak-anak lain pun telah menjadi keledai. Akhirnya Pinokio pun menjadi seekor keledai
dan dijual ke sirkus. Pinokio telah melanggar janjinya kepada Dewi, maka ia mendapat
hukuman.
Setiap hari ia dipecut dan harus melompati lingkaran api yang panas. Walaupun takut, Pinokio
tetap meloncat. Akhirnya ia terjatuh sampai kakinya patah.
Pemilik sirkus menjadi marah. "Keledai dungu! Lebih baik dibuang ke laut." Kemudian Pinokio
dilempar ke laut. Blup blup blup Pinokio tenggelam ke dasar laut, ikan-ikan datang
menggigitnya. Lalu kulit keledai terlepas, dan dari dalamnya muncul si Pinokio. "Terima kasih
ikan-ikan."
Sebenarnya Dewi melihat bahwa Pinokio telah menyadari kesalahannya dan memerintahkan
ikan-ikan untuk menolongnya.
Sambil berenang, Pinokio berjanji dalam hati, "Kali ini setelah aku pulang ke rumah, aku akan ke
sekolah dan belajar dengan giat. Aku juga akan membantu pekerjaan di rumah dan menjaga
papa."
Pada saat itu Hrrr, seekor ikan hiu besar datang mendekat dengan suara yang menyeramkan.
"Haaa! Tolong." Pinokio ditelan ikan hiu yang besar itu.
Dalam perut hiu benar-benar gelap gulita. Tetapi, di kejauhan terlihat seberkas sinar. Ternyata itu
adalah kakek Gepeto.
"Papa!"
"Pinokio!"
Mereka berdua saling berpelukan. "Aku pergi ke laut untuk mencarimu, dan aku ditelan hiu ini.
Tapi, ternyata di sini aku bertemu denganmu. Untung kita selamat!"
"Ayo, kita keluar dari sini!"
"Badanku sudah lemah. Kau saja yang pergi," ucap kakek.
"Aku tidak mau kalau tidak bersama-sama Papa." Ketika ikan hiu sedang tidur, Pinokio
melarikan diri dari mulut hiu dengan menggendong kakek Gepeto di punggungnya.
Dengan sekuat tenaga ia berenang sampai akhirnya tiba di pantai. Mereka menyewa sebuah
pondok petani terdekat. Sambil merawat kakek, Pinokio bekerja setiap hari. Akhirnya, kakek
menjadi sehat kembali.
"Pinokio, karena kaulah aku jadi sehat seperti ini. Terima kasih ya!"
"Papa, mulai sekarang aku akan lebih menurut lagi." Tiba-tiba saja sekeliling mereka menjadi
bersinar terang.
"Pinokio, kau telah menjadi seorang anak yang baik." Dewi muncul, dan mengubah Pinokio si
boneka menjadi seorang anak manusia. ***
Anak Kerang

Pada suatu hari seekor anak kerang di dasar laut mengadu dan mengeluh pada ibunya sebab
sebutir pasir tajam memasuki tubuhnya yang merah dan lembek. “Anakku,” kata sang ibu
sambil bercucuran air mata, “Tuhan tidak memberikan pada kita, bangsa kerang, sebuah tangan
pun, sehingga Ibu tak bisa menolongmu.”

Si ibu terdiam, sejenak, “Sakit sekali, aku tahu anakku. Tetapi terimalah itu sebagai takdir alam.
Kuatkan hatimu. Jangan terlalu lincah lagi. Kerahkan semangatmu melawan rasa ngilu dan nyeri
yang menggigit. Balutlah pasir itu dengan getah perutmu. Hanya itu yang bisa kau perbuat”,
kata ibunya dengan sendu dan lembut.

Anak kerang pun melakukan nasihat bundanya. Ada hasilnya, tetapi rasa sakit bukan alang
kepalang. Kadang di tengah kesakitannya, ia meragukan nasihat ibunya. Dengan air mata ia
bertahan, bertahun-tahun lamanya. Tetapi tanpa disadarinya sebutir mutiara mulai terbentuk
dalam dagingnya. Makin lama makin halus. Rasa sakit pun makin berkurang. Dan semakin lama
mutiaranya semakin besar. Rasa sakit menjadi terasa lebih wajar. Akhirnya sesudah sekian
tahun, sebutir mutiara besar, utuh mengkilap, dan berharga mahal pun terbentuk dengan
sempurna. Penderitaannya berubah menjadi mutiara, air matanya berubah menjadi sangat
berharga. Dirinya kini, sebagai hasil derita bertahun-tahun, lebih berharga daripada sejuta
kerang lain yang cuma disantap orang sebagai kerang rebus di pinggir jalan.
Pohon Apel

Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak lelaki yang senang bermain-main di
bawah pohon apel itu setiap hari. Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan
buahnya, tidur-tiduran di keteduhan rindang daun-daunnya. Anak lelaki itu sangat mencintai
pohon apel itu. Demikian pula pohon apel sangat mencintai anak kecil itu.

Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main dengan
pohon apel itu setiap harinya. Suatu hari ia mendatangi pohon apel. Wajahnya tampak sedih.

“Ayo ke sini bermain-main lagi denganku,” pinta pohon apel itu.


“Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi,” jawab anak lelaki itu.
“Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya.”
Pohon apel itu menyahut, “Duh, maaf aku pun tak punya uang… tetapi kau boleh mengambil
semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan
kegemaranmu.”

Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah apel yang ada di pohon dan pergi
dengan penuh suka cita. Namun, setelah itu anak lelaki tak pernah datang lagi. Pohon apel itu
kembali sedih.

Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel sangat senang melihatnya datang.

“Ayo bermain-main denganku lagi,” kata pohon apel.


“Aku tak punya waktu,” jawab anak lelaki itu.
“Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah
kau menolongku?”
“Duh, maaf aku pun tak memiliki rumah. Tapi kau boleh menebang semua dahan rantingku
untuk membangun rumahmu,” kata pohon apel. Kemudian anak lelaki itu menebang semua
dahan dan ranting pohon apel itu dan pergi dengan gembira.
Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah
kembali lagi. Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.

Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel merasa sangat bersuka cita
menyambutnya.

“Ayo bermain-main lagi deganku,” kata pohon apel.


“Aku sedih,” kata anak lelaki itu.
“Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau
memberi aku sebuah kapal untuk pesiar?”
“Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan
menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-
senanglah.” Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel itu dan membuat kapal yang
diidamkannya.
Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi datang menemui pohon apel itu.
Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian.

“Maaf anakku,” kata pohon apel itu.


“Aku sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu.”
“Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah apelmu,” jawab anak lelaki itu.
“Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat,” kata pohon apel.
“Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu,” jawab anak lelaki itu.
“Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu. Yang tersisa
hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini,” kata pohon apel itu sambil menitikkan air
mata.
“Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang,” kata anak lelaki.
“Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama
meninggalkanmu.”
“Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring
dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan
tenang.”

Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar pohon.

Pohon apel itu sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air matanya.

Anda mungkin juga menyukai